• Tidak ada hasil yang ditemukan

Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker 1855) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker 1855) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potensi sumberdaya perikanan laut Provinsi Banten tersebar di Laut Jawa, Selat Sunda, dan Samudera Hindia, dengan luas wilayah perairan lautnya sebesar 11.134,224 km2 (belum termasuk perairan nusantara/teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia/ZEEI). Namun demikian, pengembangan penangkapan ikan di Provinsi Banten saat ini masih terkonsentrasi di Laut Jawa dan Selat Sunda (SIMPOTDA Banten 2008).

lkan kuniran (Mullidae) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia (Ernawati dan Sumiono 2006). Harga ikan kuniran relatif murah, sehingga permintaan masyarakat terhadap ikan kuniran cukup tinggi. Salah satu lokasi pendaratan ikan kuniran yang cukup banyak adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Ikan kuniran yang didaratkan di PPP Labuan tersebut sebagian besar berasal dari perairan Selat Sunda.

Masyarakat di Labuan mengolah ikan kuniran sebagai ikan asin yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan ikan dalam bentuk segar. Hal ini membuat para nelayan meningkatkan hasil tangkapan ikan kuniran. Namun, penangkapan ikan kuniran diindikasikan tidak mengikuti kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan, diantaranya dengan melakukan penangkapan ikan kuniran secara berlebihan dan belum mengalami matang gonad.

Upaya penangkapan ikan kuniran yang terus meningkat menyebabkan pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran dapat melebihi batas MSY (Maximum

Sustainable Yield). Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan

(2)

1.2. Perumusan Masalah

Ikan kuniran merupakan ikan yang bernilai ekonomis. Ikan ini dipasarkan dalam keadaan segar maupun dalam bentuk olahan berupa ikan asin. Semakin tinggi permintaan pasar terhadap ikan kuniran, maka akan menyebabkan intensitas penangkapan ikan kuniran cenderung tidak terkendali. Upaya penangkapan ikan kuniran yang terus meningkat dan tidak terkendali menyebabkan ikan yang tertangkap makin berukuran kecil yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah hasil tangkapan. Hal ini dapat diduga bahwa ikan kuniran telah mengalami overeksploitasi.

Permasalahan-permasalahan seperti ini dapat mengkhawatirkan pada masa yang akan datang bagi perkembangan regenerasi sumberdaya ikan kuniran tersebut, sehingga diperlukan informasi mengenai aspek reproduksi ikan kuniran agar pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran dapat dikelola secara berkelanjutan. Secara skematis, perumusan masalah penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan kuniran

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek reproduksi ikan kuniran

(Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda, Labuan meliputi proporsi kelamin,

ukuran pertama kali matang gonad, musim pemijahan, potensi reproduksi, dan pola pemijahan. Hasil tangkapan menurun Ukuran tangkap yang masih kecil Intensitas penangkapan tidak terkendali Lingkungan

- Organ reproduksi - Jenis kelamin - TKG dan IKG - Fekunditas - Diameter telur

Aspek reproduksi ikan: - Proporsi kelamin - Ukuran pertama kali

matang gonad - Potensi reproduksi - Musim dan pola

(3)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Kuniran Upeneus moluccensis

Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) merupakan jenis ikan yang memiliki bentuk badan agak memanjang, pipih pada bagian depan punggung, dan panjang tubuhnya dapat mencapai 20 cm (www.fishbase.org). Menurut Bleeker (1855) in www.fishbase.org, klasifikasi ikan kuniran (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Mullidae Genus : Upeneus

Spesies : Upeneus moluccensis Nama FAO : Goldband goatfish

Nama Lokal : Biji Nangka (Jawa)dan Kuniran (Banten)

Gambar 2. Ikan kuniran (Upeneus moluccensis)

(4)

jenis substrat berpasir, pasir berlumpur atau dasar kerikil di kedalaman berkisar 10-120 m (Golani 1994 in Ismen 2005). Ikan kuniran atau biji nangka (Upeneus

moluccensis) ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang (Salim 1994 in

Sjafei dan Susilawati 2001). Ikan ini tertangkap di perairan Selat Sunda tiap bulan dengan potensi 22% dari produksi perikanan di perairan Selat Sunda yaitu sebesar 1.791.660 kg (Saadah 1998 in Sjafei dan Susilawati 2001). Jika upaya penangkapan ditingkatkan, maka mortalitas pun akan meningkat. Apabila hal ini terjadi terus menerus, maka yang terjadi adalah terancamnya kelestarian sumberdaya ikan demersal, salah satunya adalah ikan kuniran (Ernawati dan Sumiono 2006).

2.2. Aspek Reproduksi

Reproduksi merupakan suatu tahapan penting pada siklus hidup untuk menjamin kelangsungan hidup suatu spesies. Sjafei et al. (1992) menyatakan bahwa pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu

pre-spawning, spawning, dan post-spawning. Pada periode pre-spawning,

berlangsung penyiapan gonad untuk menghasilkan telur dan sperma, peningkatan kematangan gonad dan penyiapan telur dan sperma yang akan dikeluarkan. Periode

pre-spawning merupakan bagian dari proses reproduksi yang paling panjang

dibandingkan dengan periode lainnya. Periode spawning pada ikan adalah proses pengeluaran telur dan sperma dan pembuahan telur oleh sperma. Pada umumnya periode spawning berlangsung dalam waktu yang singkat. Ikan memilih tempat dan waktu spawning yang tepat untuk memastikan bahwa telur yang dihasilkan akan memperoleh kondisi yang paling baik, yaitu ketersediaan makanan yang sesuai dan cukup, lingkungan yang sesuai, dan aman dari predator. Periode post-spawning dimulai penetasan telur, perkembangan larva sampai menjadi ikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses reproduksi tersebut adalah makanan yang cukup dan kondisi perairan yang baik (Rizal 2009).

(5)

2.2.1.Proporsi kelamin

Perhitungan proporsi kelamin adalah dengan membandingkan antara jumlah ikan jantan dan betina (Steel dan Torrie 1980 in Sulistiono et al. 2001a). Proporsi kelamin dapat menduga keseimbangan populasi dengan asumsi bahwa perbandingan ikan jantan dan betina dalam suatu populasi yang seimbang adalah 1:1 (Purwanto et al. 1986 in Susilawati 2000), atau setidaknya ikan betina lebih banyak untuk mempertahankan kelestarian populasi (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001a). Selain itu, ikan betina lebih aktif mencari makanan untuk menutrisi tubuhnya agar perkembangan gonad dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan telur yang baik pula (Nikolsky 1963). Pada umumnya, proporsi kelamin ikan kuniran di perairan dalam keadaan yang tidak seimbang dimana ikan betina memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Azhar (1992) in Sjafei dan Susilawati (2001) melakukan penelitian terhadap ikan kuniran

(Upeneus tragula) di perairan Muara Kamal, Jakarta Utara dan didapatkan proporsi

ikan jantan dan betina dalam keadaan yang tidak seimbang (1:1,1). Ikan kuniran

(Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten yang diteliti oleh Sjafei

dan Susilawati (2001) juga mempunyai proporsi ikan kuniran jantan dan betina tidak seimbang (1:1,25). Triana (2011) melakukan penelitian terhadap ikan kuniran

(Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Jakarta dan didapatkan pula proporsi ikan

jantan dan betina tidak dalam keadaan yang seimbang (1:1,5). Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismen (2005) terhadap ikan kuniran (Upeneus

moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur mendapatkan rasio kelamin

ikan jantan dan betina yang hampir dalam keadaan seimbang, yaitu sebesar 1:1,07 (Ismen 2005).

(6)

2.2.2.Faktor kondisi

Faktor kondisi secara kuantitatif dibutuhkan untuk melihat kondisi ikan yang berhubungan dengan beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhinya pada kurun waktu tertentu (Handayani 2006). Faktor kondisi ini menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendie 1997). Adanya perubahan faktor lingkungan secara periodik akan mempengaruhi kondisi dari ikan tersebut (Handayani 2006). Faktor kondisi dapat naik, dapat juga turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan bagi ikan, khususnya bagi ikan betina. Menurut Patulu (1963) in Effendie (1997), nilai faktor kondisi ikan berfluktuasi dengan ukuran ikan tersebut. Peningkatan nilai faktor kondisi terjadi pula pada waktu ikan mengisi gonadnya dengan cell sex dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan (Effendie 1997).

Faktor kondisi dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan cenderung menggunakan cadangan lemak dalam tubuhnya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan tersebut akan menurun (Effendie 1979). Penurunan faktor kondisi juga dipengaruhi oleh aktivitas ikan dalam melakukan adaptasi terhadap kondisi lingkungan selama proses pematangan gonad hingga proses pemijahan selesai (Saadah 2000). Pada umumnya, nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Effendie (1997) menyatakan bahwa faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan, karena ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk proses reproduksi dan bertahan hidup dibandingkan dengan ikan jantan.

2.2.3.Ukuran pertama kali matang gonad

(7)

1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa perbedaan spesies, umur, ukuran, dan sifat-sifat fisiologis. Faktor eksternal berupa makanan, kondisi lingkungan (suhu dan arus), dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin (Lagler 1962 in Warjono 1990).

Udupa (1974) in Musbir et al. (2006) menyatakan bahwa ukuran pertama kali ikan matang gonad bervariasi antar jenis maupun dalam jenis itu sendiri, sehingga individu yang berasal dari satu kelas umur atau dari kelas panjang yang sama tidak selalu mencapai ukuran pertama kali matang gonad yang sama. Adanya perbedaan kecepatan tumbuh (Nikolsky 1969 in Susilawati 2000), perbedaan strategis hidup atau pola adaptasi ikan (Busing 1987 in Susilawati 2000), serta adanya perbedaan kondisi perairan menyebabkan ikan-ikan muda yang berasal dari telur yang menetas pada waktu bersamaan akan mencapai tingkat kematangan gonad pada ukuran yang berlainan. Ukuran pertama kali ikan matang gonad juga dipengaruhi oleh kelimpahan individu, ketersediaan makanan, dan faktor lingkungan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda-beda (Nikolsky 1963).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001) terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten diperoleh ukuran pertama kali ikan kuniran matang gonad sebesar 120 mm (ikan jantan) dan 125 mm (ikan betina). Hasil penelitian Triana (2011) dengan spesies ikan yang sama

(U. moluccensis) di perairan Teluk Jakarta memperoleh ukuran pertama kali ikan

kuniran matang gonad sebesar 173 mm (ikan jantan) dan 155 mm (ikan betina). Ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki sebesar 110 mm untuk ikan betina dan 105 mm untuk ikan jantan (Ozvarol et al. 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismen (2005) terhadap ikan kuniran

(U. moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur diperoleh ukuran pertama

kali matang gonad ikan kuniran betina dan jantan adalah 110 mm.

2.2.4.Waktu pemijahan

(8)

diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak melakukan reproduksi (Affandi et al. 2007). Penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara morfologis dan histologis. Secara morfologis dilakukan dengan mengamati tanda-tanda umum dan ukuran gonad secara visual, sedangkan secara histologis dilakukan dengan mengamati perkembangan gonad melalui fase perkembangan sel dari gonad tersebut yang didasarkan pada penelitian mikroskopik. Penentuan tingkat kematangan gonad secara mikroskopik jarang sekali digunakan kecuali untuk penelitian yang memerlukan keterangan yang sangat khusus. Penentuan dengan cara ini banyak menggunakan peralatan histologis seperti mikrotom dan menggunakan bahan kimia yang kadang-kadang sulit diperoleh (Effendie 1979).

Novitriana et al. (2004) menyatakan bahwa waktu pemijahan ikan adalah bulan-bulan yang memiliki jumlah ikan jantan dan betina yang telah mengalami matang gonad, sedangkan puncak pemijahan dilihat pada bulan dimana ikan jantan dan betina yang telah matang gonad terdapat dalam jumlah yang besar. Tingkat kematangan gonad yang terdapat dalam satu bulan pengamatan berbeda-beda. Ketidakseragaman perkembangan gonad ini diduga adanya dua kelompok ikan yang waktu pemijahannya berbeda (Brojo dan Sari 2002). Waktu pemijahan ikan kuniran

(Upeneus moluccensis) di Teluk Jakarta terjadi pada bulan Juli-September (Triana

2011). Ismen (2005) memperoleh waktu pemijahan ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur terjadi pada bulan Juni dan September. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ozvarol et al. (2010), waktu pemijahan ikan kuniran

(U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki terjadi pada bulan Juli dan Oktober.

(9)

Bagenal (1987) in Yustina dan Arnentis (2002) menyatakan bahwa ikan yang memiliki indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20% adalah kelompok ikan yang dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya. Menurut Pulungan et al. (1994) in Yustina dan Arnentis (2002), umumnya ikan yang hidup di perairan tropis dapat memijah sepanjang tahun. Nilai indeks kematangan gonad ikan akan bervariasi, baik jantan maupun betina (Sulistiono et al. 2001b). Biusing (1998) in Sulistiono et al. (2001b) menyatakan bahwa pada umumnya nilai indeks kematangan gonad jantan lebih rendah daripada betina.

2.2.5.Potensi reproduksi

Potensi reproduksi ikan dapat diketahui dari nilai fekunditas. Nikolsky (1963) menyatakan bahwa jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total. Royce (1972) in Effendie (1997) menyatakan bahwa fekunditas total adalah jumlah telur yang dihasilkan ikan selama hidup, sedangkan fekunditas relatif adalah jumlah telur per satuan bobot atau panjang. Fekunditas dilakukan dengan mengambil telur dari ikan yang memiliki TKG III dan IV yang dianalisis menggunakan metode gabungan (gravimetrik dan volumetrik) (Effendie 1997). Keeratan hubungan antara fekunditas terhadap panjang dan bobot tubuh tidak dapat dilakukan. Variasi fekunditas ini juga disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah. Selain itu, variasi fekunditas tersebut juga disebabkan adanya penyebaran produksi telur yang tidak merata (Warjono 1990).

(10)

induk, ukuran telur, kondisi lingkungan, kepadatan populasi, dan ketersediaan makanan (Satyani 2003 in Pellokila 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001), nilai fekunditas yang dihasilkan oleh ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten berkisar antara 19.116-89.344 butir telur. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Triana (2011) mendapatkan nilai fekunditas ikan kuniran di perairan Teluk Jakarta berkisar antara 26.658-75.030 butir telur. Penelitian yang dilakukan oleh Ismen (2005) memperoleh nilai fekunditas ikan kuniran (U.

moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur berkisar antara 19.714-64.452

butir telur. Ozvarol et al. (2010) memperoleh nilai fekunditas terhadap ikan kuniran

(U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki berkisar antara 2.231-139.065 butir telur.

2.2.6.Tipe pemijahan

Tipe pemijahan pada setiap spesies berbeda-beda. Pendugaan tipe pemijahan pada ikan dapat dilihat dari ukuran diameter telur ikan tersebut. Diameter telur dapat diukur dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi dengan mikrometer okuler yang sudah ditera dengan mikrometer objektif terlebih dahulu (Sulistiono et al. 2001a). Menurut Prabhu (1956) dan Kagwade (1968) in Warjono (1990), tipe pemijahan ikan berhubungan dengan perkembangan diameter telur dalam ovarium. Pengukuran diameter telur pada gonad yang sudah matang berguna untuk menduga frekuensi pemijahan yaitu dengan melihat modus penyebarannya (Prabhu 1956 in Susilawati 2000). Lama pemijahan dapat diduga dari frekuensi ukuran telur ikan. De Jong (1940) in Warjono (1990) menyatakan bahwa apabila telur yang berada dalam ovarium berukuran sama, maka sifat pemijahan spesies tersebut pendek (total). Sebaliknya apabila telur yang berada dalam ovarium tidak berukuran sama, maka sifat pemijahan spesies tersebut panjang (partial).

(11)

adalah tipe pemijahan yang tidak bertahap dimana ikan melepaskan telurnya secara menyeluruh (Sulistiono et al. 2001b).

(12)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan waktu pengambilan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh yaitu di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Provinsi Banten yang merupakan hasil tangkapan nelayan di perairan sekitar Pulau Rakata, Pulau Sebesi, Pulau Panaitan, dan di sekitar perairan Selat Sunda, Banten (Gambar 3). Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda Sumber: Peta Hidro Oseanografi (2004)

3.2. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah penggaris, timbangan digital, alat bedah, mikroskop, pipet tetes, gelas ukur, mikrometer, kaca preparat, cawan petri, baki, tissue/lap, botol sampel, kamera digital, dan laptop. Bahan yang digunakan adalah ikan kuniran Upeneus moluccensis, formalin 4%, dan akuades (Lampiran 1 dan 2).

(13)

3.3. Metode Kerja

3.3.1.Pengambilan ikan contoh

Pengambilan ikan contoh dilakukan selama tujuh bulan pengamatan yaitu bulan Maret-September 2011. Ikan contoh tersebut diambil + 100 ekor secara acak pada setiap pengambilan contoh, dan kemudian diukur panjang dan ditimbang bobotnya. Selanjutnya, dilakukan pembedahan ikan contoh untuk diambil organ reproduksi ikan kuniran berupa gonad dan ditentukan jenis kelamin. Langkah selanjutnya adalah melakukan pengamatan dan analisis terhadap aspek reproduksi ikan tersebut, diantaranya tingkat kematangan gonad, fekunditas, diameter telur, proporsi kelamin, dan indeks kematangan gonad. Secara keseluruhan terdapat 453 ekor ikan kuniran yang diamati selama penelitian.

3.3.2.Pengumpulan data

a. Tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad (TKG) ikan kuniran ditentukan secara morfologi dengan berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, dan perkembangan isi gonad. Data yang dibutuhkan adalah ukuran gonad dan bentuk morfologi gonad. Tahap-tahap perkembangan gonad ikan ditentukan secara morfologi yang merupakan modifikasi dari Cassie (Tabel 1).

Tabel 1. Penentuan TKG secara morfologi (Effendie 1979)

TKG Betina Jantan

I

Ovari seperti benang, panjangnya sampai ke depan rongga tubuh, dan permukaannya

licin

Testes seperti benang,warna jernih, dan ujungnya terlihat di rongga tubuh

II

Ukuran ovari lebih besar. Warna ovari kekuning-kuningan, dan telur belum

terlihat jelas

Ukuran testes lebih besar dan warnanya seperti susu

III Ovari berwarna kuning dan secara

morfologi telur mulai terlihat

Permukaan testes tampak bergerigi, warna makin putih dan ukuran makin besar

IV

Ovari makin besar, telur berwarna kuning, mudah dipisahkan. Butir minyak tidak

tampak, mengisi 1/2-2/3 rongga perut

Dalam keadaan diawet mudah putus, testes semakin pejal

V Ovari berkerut, dinding tebal, butir telur sisa terdapat didekat pelepasan

(14)

b. Jenis kelamin

Penentuan jenis kelamin ikan kuniran dilakukan dengan melihat ciri-ciri dan perbedaan yang terdapat pada gonadnya. Ikan jantan memiliki gonad yang berwarna keputihan berupa testes, sedangkan ikan betina memiliki gonad yang berwarna kemerahan berupa ovum.

c. Diameter telur

Diameter telur ditentukan dari ikan betina yang memiliki TKG III dan IV, yaitu dengan mengamati diameter dari telur yang diamati fekunditasnya. Diameter telur diukur sebanyak 50 butir dengan 3 kali ulangan menggunakan mikroskop yang telah dilengkapi dengan mikrometer.

3.4. Analisis Data 3.4.1.Proporsi kelamin

SR (Sex ratio) atau proporsi kelamin adalah bagian dari jantan dan betina dalam suatu populasi. Nilai dari proporsi yang berdasarkan kelamin ini diamati karena adanya perbedaan tingkah laku berdasarkan kelamin, kondisi lingkungan, dan penangkapan. Proporsi jantan betina ini dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1997):

Pj adalah Proporsi kelamin (jantan atau betina) (%), A adalah jumlah jenis ikan tertentu (jantan atau betina) (ind), dan B adalah jumlah total individu ikan yang ada (ind).

(15)

Χ2

adalah nilai bagi peubah acak yang sebaran penarikan contohnya menghampiri sebaran khi kuadrat (Chi-square), oi adalah jumlah frekuensi ikan jantan dan betina yang teramati (ind), dan ei adalah jumlah frekuensi harapan dari ikan jantan dan betina (ind).

3.4.2.Faktor kondisi

Faktor kondisi (K) juga digunakan dalam mempelajari perkembangan gonad ikan jantan maupun betina yang belum dan sudah matang gonad yang dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1997):

K adalah faktor kondisi, W adalah bobot tubuh ikan contoh (gram), L adalah panjang total ikan contoh (mm), a adalah konstanta, dan b adalah intercept.

Menurut Effendie (1979), nilai K yang berkisar antara 2-4 menunjukkan bahwa badan ikan tersebut berbentuk agak pipih. Sedangkan nilai K yang berkisar antara 1-3 menunjukkan bahwa badan ikan tersebut berbentuk kurang pipih.

3.4.3.Ukuran pertama kali matang gonad

Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata ikan kuniran yang pertama kali matang gonad adalah metode Spearman-Karber (Udupa 1986 in Musbir et al. 2006):

(16)

pertambahan panjang pada nilai tengah, pi adalah proporsi ikan matang gonad pada kelas panjang ke-i dengan jumlah ikan pada selang panjang ke-i, ni adalah jumlah ikan pada kelas panjang ke-i, qi adalah 1 – pi, dan M adalah panjang ikan pertama kali matang gonad sebesar antilog m.

3.4.4.Indeks kematangan gonad (IKG)

IKG adalah perbandingan antara bobot gonad terhadap tubuh ikan. Peningkatan IKG akan seiring dengan peningkatan tingkat kematangan gonad ikan tersebut dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1997):

IKG adalah indeks kematangan gonad (%), BG adalah bobot gonad (gram), dan BT adalah bobot tubuh (gram).

3.4.5.Fekunditas

Fekunditas adalah jumlah telur masak sebelum dikeluarkan pada saat ikan memijah. Fekunditas dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Effendie 1997):

(17)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1.Organ reproduksi

Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap ikan. Tingkat kematangan gonad ikan ditentukan secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, dan perkembangan isi gonad. Penentuan tingkat kematangan gonad ikan menggunakan tabel modifikasi dari Cassie (Tabel 1). Pada Gambar 4 dan 5 disajikan gambar tingkat kematangan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) yang diperoleh selama pengamatan untuk kedua jenis kelamin.

Gambar 4. Gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina

TKG I TKG II

(18)

Gambar 5. Gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan

Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa ikan kuniran betina pada tingkat kematangan gonad pertama (TKG I) memiliki ovari seperti benang. Pada TKG II, ukuran ovari semakin besar dan berwarna merah kekuning-kuningan serta belum terlihat butir telur. Pada TKG III, ovari berwarna kuning dan secara morfologi butir telur mulai terlihat. Pada TKG IV, ukuran ovari semakin besar dan butir telur dapat terlihat dengan jelas, serta sudah dapat dipisahkan.

Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa ikan kuniran jantan memiliki testes seperti benang dan berwarna transparan pada TKG I. Pada TKG II, ukuran testes semakin besar dan warna testes seperti agak keputihan. Untuk TKG III pada jantan permukaan testes tampak bergerigi dan warna makin putih. Adapun untuk TKG IV pada jantan tidak ditemukan selama penelitian.

4.1.2.Perbandingan jenis kelamin

Proporsi kelamin atau perbandingan jenis kelamin merupakan perbandingan jenis kelamin betina dan jantan. Jenis kelamin betina dan jantan ditentukan secara morfologi dengan mengamati bentuk dan warna gonad ikan tersebut. Pada Tabel 2 disajikan proporsi kelamin ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina dan jantan selama tujuh bulan pengamatan.

(19)

Tabel 2. Proporsi kelamin ikan kuniran betina dan jantan

Jumlah ikan contoh

(ind)

Proporsi (%)

X² hitung X² tabel Uji

Chi-square

Betina Jantan

Maret 34 58,824 41,177 5,733 3,182 Tidak seimbang

April 83 81,928 18,072 35,391 3,182 Tidak seimbang

Mei 70 82,857 17,143 35,261 3,182 Tidak seimbang

Juni 68 57,353 42,647 1,699 12,706 Seimbang

Juli 75 57,333 42,667 15,209 4,303 Tidak seimbang

Agustus 60 36,667 63,333 27,306 3,182 Tidak seimbang

September 63 53,968 46,032 10,512 3,182 Tidak seimbang

Total 453 62,693 37,307 52,5733 3,1824 Tidak seimbang

Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa pada seluruh bulan pengamatan kecuali pada bulan Agustus, proporsi ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Ini berarti jumlah ikan betina yang tertangkap lebih banyak dibandingkan ikan jantan. Pada bulan Agustus, proporsi ikan kuniran jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan betina. Menurut Effendie (1997), perbandingan jenis kelamin dalam pemijahan tiap-tiap spesies ikan berbeda-beda. Keadaan tidak seimbangnya proporsi antara ikan kuniran betina dan jantan diduga ikan betina dan ikan jantan tidak berada dalam satu area pemijahan sehingga peluang tertangkapnya ikan kuniran betina dan jantan tidak sama. Selain itu, sedikitnya jumlah ikan kuniran jantan yang tertangkap dapat disebabkan karena waktu pengambilan yang kurang tepat dan siklus ikan jantan lebih pendek. Adapun ikan contoh pada bulan Agustus, ikan kuniran betina diduga melakukan ruaya untuk pemijahan yang menyebabkan pada bulan tersebut jumlah ikan kuniran betina lebih sedikit tertangkap dibandingkan dengan ikan jantan.

(20)

4.1.3.Faktor kondisi

Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan secara fisik untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Berdasarkan hasil analisis terhadap ikan kuniran selama tujuh bulan pengamatan diperoleh bahwa faktor kondisi atau kemontokan ikan, baik betina maupun jantan, pada setiap bulan berbeda-beda. Pada Gambar 6 disajikan grafik faktor kondisi ikan kuniran betina dan jantan selama tujuh bulan pengamatan.

Gambar 6. Nilai tengah faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina (a) dan jantan (b) berdasarkan bulan pengamatan

Ikan kuniran memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif, yaitu pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan bobot. Berdasarkan Gambar 6 terlihat bahwa terjadi perubahan faktor kondisi pada masing-masing bulan pengamatan untuk ikan kuniran betina dan jantan. Nilai faktor kondisi ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan jantan. Nilai faktor kondisi terbesar ikan kuniran jantan dan betina terdapat pada bulan Juli, yaitu sebesar 1,0668 dan 1,2143 (Lampiran 4). Hal tersebut diduga karena ikan kuniran sedang mengalami kematangan gonad. Pada bulan tersebut juga nilai faktor kondisi tertinggi terdapat pada TKG III dan IV. Menurut Patulu (1963) in Effendie (1997), nilai faktor kondisi

(21)

ikan berfluktuasi dengan ukuran ikan tersebut. Peningkatan nilai faktor kondisi terdapat pula pada waktu ikan mengisi gonadnya dengan cell sex dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan (Effendie 1997). Nilai faktor kondisi rata-rata ikan kuniran berkisar antara 0,4848-1,3952 untuk ikan betina dan pada ikan kuniran jantan berkisar antara 0,6842-1,2184. Secara keseluruhan, nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Namun perbedaan nilai faktor kondisi tersebut tidak terlalu signifikan.

4.1.4.Ukuran pertama kali matang gonad

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode Spearman-Karber, ukuran pertama kali ikan kuniran (Upeneus moluccensis) matang gonad adalah 144 mm untuk ikan betina dan 159 mm untuk ikan jantan (Lampiran 5). Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran betina lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan.

4.1.5.Tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan memijah. Komposisi tingkat kematangan gonad pada setiap saat dapat digunakan untuk menduga waktu pemijahan pada ikan. Pada Gambar 7 disajikan grafik tingkat kematangan gonad ikan kuniran betina dan jantan berdasarkan pengamatan terhadap ikan contoh setiap bulannya.

Gambar 7. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina (a) dan jantan (b) berdasarkan bulan pengamatan

(22)

Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina dan jantan yang terdapat pada tiap bulan pengamatan dari bulan Maret-September lebih banyak didominasi oleh ikan-ikan yang masih dalam fase pertumbuhan (TKG I dan II). Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran yang banyak tertangkap adalah ikan-ikan yang masih melakukan pertumbuhan dan belum mengalami matang gonad. Selain itu, terlihat bahwa ikan-ikan untuk kedua jenis kelamin yang telah matang gonad (TKG III dan IV) terdapat pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September. Selama penelitian, tingkat kematangan gonad yang terdapat dalam satu bulan pengamatan berbeda-beda.

4.1.6.Indeks kematangan gonad (IKG)

Indeks kematangan gonad merupakan cara untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad pada setiap kematangan secara kuantitatif. Selain dengan mengetahui tingkat kematangan gonad, pendugaan waktu pemijahan pada ikan dapat ditentukan dari nilai indeks kematangan gonad ikan tersebut. Effendie (1997) menyatakan bahwa sejalan dengan pertumbuhan gonad, maka gonad yang dihasilkan akan semakin bertambah besar dan berat hingga batas maksimum ketika terjadi pemijahan. Pada Gambar 8 disajikan grafik indeks kematangan gonad ikan kuniran betina dan jantan selama tujuh bulan pengamatan.

(23)

Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa nilai indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda mengalami fluktuasi. Pada gambar juga menunjukkan bahwa nilai indeks kematangan gonad ikan kuniran yang terbesar terdapat pada bulan Maret dan Juli. Selain itu, nilai indeks kematangan gonad ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan (Lampiran 6).

4.1.7.Fekunditas

Fekunditas merupakan jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total (Nikolsky 1963). Nilai fekunditas pada ikan kuniran betina TKG III dan IV berdasarkan metode gabungan berada pada kisaran 15.611-156.300 butir telur (Lampiran 7). Hubungan antara fekunditas dengan panjang total ikan kuniran ditunjukkan melalui persamaan F=124,9891L0,0072 dan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,0052 (Lampiran 8). Hubungan fekunditas terhadap bobot tubuh ikan kuniran ditunjukkan melalui persamaan F=20,8431W0,0438 dan diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,0188 (Lampiran 9). Hal ini menunjukkan bahwa hanya 0,52% dari keragaman nilai fekunditas ikan kuniran yang dapat dijelaskan oleh panjang total dan hanya 1,88% dari keragaman nilai fekunditas yang dapat dijelaskan oleh bobot tubuh. Dari hasil analisis diperoleh variasi nilai fekunditas yang cukup besar terhadap panjang dan bobot tubuh ikan.

4.1.8.Diameter telur

(24)

Gambar 9. Diameter telur ikan kuniran (Upeneus moluccensis)betina

Berdasarkan Gambar 9 dapat terlihat bahwa sebaran diameter telur ikan kuniran mencapai puncak pada selang 0,2302-0,2518 mm yang selanjutnya terus mengalami penurunan (Lampiran 10). Diameter telur dengan frekuensi terendah terdapat pada selang kelas 0,4038-0,4254 mm. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebaran diameter telur ikan kuniran memiliki satu modus. Selain itu, selama penelitian diameter telur yang berada dalam ovarium berukuran sama.

4.2. Pembahasan 4.2.1.Proporsi kelamin

Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan dan betina di perairan Selat Sunda memiliki proporsi yang tidak seimbang yaitu 1:1,7. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azhar (1992) in Sjafei dan Susilawati (2001) terhadap ikan kuniran (Upeneus

tragula) di perairan Muara Kamal, Sjafei dan Susilawati (2001) terhadap ikan

(25)

Iskenderun, Mediterania Timur bahwa rasio kelamin ikan jantan dan betina sebesar

1:1,07. Selain itu, diperoleh nilai L∞ sebesar 243 mm dan K sebesar 0,218 untuk ikan kuniran betina, sedangkan L∞ sebesar 225 mm dan K sebesar 0,236 untuk ikan kuniran jantan (Ismen 2005). Menurut hasil penelitian Fadlian (2012) terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di perairan Selat Sunda diperoleh L∞ sebesar 211,22 mm

dan K sebesar 0,12 untuk ikan kuniran betina, sedangkan L∞ sebesar 166,27 mm dan K sebesar 0,23 untuk ikan kuniran jantan. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran jantan memiliki koefisien pertumbuhan yang lebih besar dibandingkan dengan ikan betina, sehingga ikan kuniran jantan lebih cepat mencapai panjang asimtotik (panjang yang tidak dapat dicapai oleh ikan) yang pada akhirnya akan cepat mengalami kematian dan menyebabkan jumlah ikan kuniran betina lebih banyak tertangkap dibandingkan dengan ikan jantan. Purwanto et al. (1986) in Susilawati (2000) menyatakan bahwa perbandingan ikan jantan dan betina dalam suatu populasi diharapkan dalam keadaan yang seimbang yaitu 1:1, atau setidaknya ikan betina lebih banyak untuk mempertahankan kelestarian populasi (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001b). Selain itu, ikan betina lebih aktif mencari makanan untuk proses perkembangan gonad agar dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan telur yang baik pula (Nikolsky 1963).

4.2.2.Ukuran pertama kali matang gonad

Ukuran pertama kali ikan kuniran (Upeneus moluccensis) matang gonad adalah 144 mm untuk ikan betina dan 159 mm untuk ikan jantan. Triana (2011) menyatakan bahwa ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran (Upeneus

moluccensis) betina di Teluk Jakarta sebesar 155 mm dan ikan jantan sebesar 173

mm. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran betina lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan. Penelitian yang dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001) memperoleh ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran

(Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Labuan sebesar 120 mm untuk ikan jantan

(26)

Iskenderun, Mediterania Timur diperoleh ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran betina dan jantan adalah 110 mm.

Adanya perbedaan kecepatan tumbuh (Nikolsky 1969 in Susilawati 2000), perbedaan strategis hidup atau pola adaptasi ikan (Busing 1987 in Susilawati 2000), serta adanya perbedaan kondisi perairan menyebabkan ikan-ikan muda yang berasal dari telur yang menetas pada waktu yang bersamaan akan mencapai tingkat kematangan gonad pada ukuran yang berlainan. Dengan demikian, dapat diduga bahwa ikan kuniran betina di perairan Selat Sunda lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan untuk mempertahankan kelestariannya dalam suatu populasi. Ukuran pertama kali ikan matang gonad juga dipengaruhi oleh kelimpahan, ketersediaan makanan, suhu, periode, dan faktor lingkungan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda-beda (Nikolsky 1963).

4.2.3.Waktu pemijahan

(27)

menurun (Rininta 1998 in Saadah 2000). Dengan demikian, dapat diduga bahwa waktu pemijahan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda adalah pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September dengan puncak pemijahan pada bulan Maret dan Juli.

Waktu pemijahan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di Teluk Jakarta terjadi pada bulan Juli-September (Triana 2011). Ismen (2005) memperoleh waktu pemijahan ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur terjadi pada bulan Juni dan September. Penelitian yang dilakukan oleh Ozvarol et al. (2010) memperoleh waktu pemijahan ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki terjadi pada bulan Juli dan Oktober. Hal ini mengindikasikan bahwa ikan kuniran (U. moluccensis) di perairan Selat Sunda melakukan pemijahan sebanyak dua kali selama satu tahun. Bagenal (1987) in Yustina dan Arnentis (2002) menyatakan bahwa ikan yang memiliki indeks kematangan gonad lebih kecil dari 20% adalah kelompok ikan yang dapat memijah lebih dari satu kali setiap tahunnya. Selama penelitian tingkat kematangan gonad yang terdapat dalam satu bulan pengamatan berbeda-beda. Ketidakseragaman perkembangan gonad ini diduga adanya dua kelompok ikan yang waktu pemijahannya berbeda (Brojo dan Sari 2002).

(28)

4.2.4.Potensi reproduksi

Potensi reproduksi pada ikan dapat diduga dengan melihat nilai fekunditas yang dihasilkan oleh ikan tersebut. Fekunditas merupakan jumlah telur yang terdapat dalam ovari ikan dinamakan fekunditas individu, fekunditas mutlak atau fekunditas total (Nikolsky 1963). Nilai fekunditas pada ikan kuniran betina TKG III dan IV berdasarkan metode gabungan berada pada kisaran 15.611-156.300 butir telur. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001), nilai fekunditas yang dihasilkan oleh ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten berkisar antara 19.116-89.344 butir telur. Penelitian yang dilakukan oleh Triana (2011) menunjukkan bahwa nilai fekunditas yang dihasilkan oleh ikan kuniran dengan spesies yang sama di perairan Teluk Jakarta berkisar antara 26.658-75.030 butir telur. Penelitian yang dilakukan oleh Ismen (2005) diperoleh nilai fekunditas ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur berkisar antara 19.714-64.452 butir telur dan Ozvarol et al. (2010) memperoleh nilai fekunditas terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki berkisar antara 2.231-139.065 butir telur. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuniran memiliki potensi reproduksi yang cukup tinggi, karena diduga dapat menghasilkan jumlah individu baru yang melimpah.

Brojo et al. (2001) in Mulyoko (2010) menyatakan bahwa fekunditas ikan di alam akan bergantung pada kondisi lingkungannya. Apabila ikan hidup pada kondisi yang banyak ancaman predator, maka jumlah telur yang dikeluarkan akan semakin banyak atau fekunditas yang dihasilkan akan semakin besar. Sedangkan ikan yang hidup pada kondisi yang sedikit predator, maka telur yang dikeluarkan akan sedikit pula atau fekunditas yang dihasilkan kecil. Oleh karena itu, semakin banyak fekunditas yang dihasilkan oleh ikan, maka potensi reproduksi dari suatu spesies juga akan semakin besar.

(29)

keragaman nilai fekunditas yang dapat dijelaskan oleh bobot tubuh. Analisis hubungan fekunditas terhadap panjang total dan bobot tubuh ikan kuniran memperoleh nilai determinasi yang kecil yaitu 0,52% dan 1,88% dan diperoleh variasi nilai fekunditas yang cukup besar terhadap panjang dan bobot tubuh ikan. Menurut Warjono (1990), keeratan hubungan antara fekunditas terhadap panjang dan bobot tubuh tidak dapat dilakukan. Variasi fekunditas ini disebabkan oleh adanya kelompok ikan yang baru memijah dan sudah memijah, sehingga produksi telur cenderung lebih tinggi daripada ikan yang baru memijah. Selain itu, variasi fekunditas tersebut juga disebabkan adanya penyebaran produksi telur yang tidak merata.

4.2.5.Pola pemijahan

Pola pemijahan atau tipe pemijahan pada ikan diduga dari sebaran diameter telur. Sebaran diameter telur ikan kuniran mencapai puncak pada selang 0,2302-0,2518 mm. Sebaran frekuensi diameter telur ikan kuniran terdapat modus penyebaran satu puncak yang artinya kelompok spesies ikan kuniran mengeluarkan telur secara total (total spawner). Total spawner adalah tipe pemijahan yang tidak bertahap dimana ikan melepaskan telurnya secara menyeluruh (Sulistiono et al. 2001b).

(30)

spawner memiliki ukuran diameter telur yang kecil, fekunditas yang besar, dan musim pemijahan yang tetap (Connell 1987 in Pellokila 2009).

4.3. Pengelolaan

Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) merupakan ikan demersal kecil di perairan Selat Sunda. Ikan kuniran ini merupakan ikan yang bernilai ekonomis bagi masyarakat setempat sebagai ikan konsumsi. Ikan ini dipasarkan dalam keadaan segar maupun dalam bentuk olahan. Masyarakat di Labuan mengolah ikan kuniran sebagai ikan asin yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan ikan dalam bentuk segar. Hal ini membuat para nelayan meningkatkan hasil tangkapan ikan kuniran. Jika upaya penangkapan terhadap ikan kuniran terus ditingkatkan, maka akan menyebabkan ikan-ikan yang tertangkap berukuran semakin kecil yang pada akhirnya akan menurunkan hasil tangkapan nelayan. Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan yang tepat untuk menjamin keberlanjutan sumberdaya ikan dalam suatu perairan. Salah satu bentuk pengelolaan tersebut adalah melakukan pengaturan waktu penangkapan dan ukuran ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap.

(31)
(32)

5.

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Proporsi kelamin ikan kuniran jantan dan betina yang diperoleh selama penelitian adalah 1:1,7. Jumlah ikan kuniran betina lebih banyak dibandingkan dengan ikan jantan sehingga keberlanjutan populasi ikan kuniran di perairan Selat Sunda masih dapat dipertahankan. Ikan kuniran betina lebih cepat mencapai matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan dengan ukuran pertama kali matang gonad berkisar antara 144 mm (ikan betina) dan 159 mm (ikan jantan). Waktu pemijahan ikan kuniran di perairan Selat Sunda diduga terjadi pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September dengan puncak pemijahan pada bulan Maret dan Juli. Potensi reproduksi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) cukup tinggi yaitu sebesar 15.611-156.300 butir telur dengan pola pemijahan secara total (total spawner).

5.2. Saran

(33)

REPRODUKSI IKAN KUNIRAN

Upeneus

moluccensis

(Bleeker 1855) DARI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG

DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

FADILATUL HUSNA

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(34)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker 1855) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2012

(35)

RINGKASAN

Fadilatul Husna. C24080037. Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker 1855) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten. Dibimbing oleh Ali Mashar dan Yonvitner.

lkan kuniran (Mullidae) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia (Ernawati dan Sumiono 2006), salah satunya di perairan Selat Sunda. Upaya penangkapan ikan kuniran yang terus meningkat dapat menyebabkan ikan yang tertangkap makin berukuran kecil yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah hasil tangkapan. Untuk mengetahui potensi populasi ikan di masa mendatang perlu dikaji aspek reproduksi ikan kuniran agar pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran dapat dikelola secara berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aspek reproduksi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda, Labuan meliputi proporsi kelamin, ukuran pertama kali matang gonad, musim pemijahan, potensi reproduksi, dan pola pemijahan.

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret-September 2011 dengan interval waktu pengambilan ikan contoh setiap satu bulan sekali. Lokasi pengambilan ikan contoh adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Banten. Ikan contoh merupakan ikan hasil tangkapan nelayan di perairan sekitar Pulau Sebesi, Pulau Rakata, Pulau Panaitan, dan sekitar perairan Selat Sunda secara umum. Ikan contoh diambil dengan metode penarikan contoh acak sederhana (PCAS) sebanyak + 100 ekor untuk masing-masing bulan pengamatan, dan selanjutnya diamati di Laboratorium Biologi Perikanan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi ikan kuniran jantan dan betina sebesar 37% dan 63% (1:1,7) dengan uji Chi-square dimana thitung > ttabel. Perbandingan ikan kuniran jantan dan betina di perairan Selat Sunda tersebut tergolong dalam keadaan yang tidak seimbang Faktor kondisi ikan kuniran jantan dan betina berkisar antara 0,4848-1,3952. Ikan kuniran betina lebih cepat mengalami matang gonad dibandingkan dengan ikan jantan dengan ukuran pertama kali matang gonad sebesar 144 mm (ikan betina) dan 159 mm (ikan jantan). Musim pemijahan ikan kuniran (Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda diduga terjadi pada bulan Maret, April, Juli, Agustus, dan September. Potensi reproduksi ikan kuniran di perairan Selat Sunda cukup besar yaitu sebesar 15.611-156.300 butir telur. Diameter telur ikan kuniran berkisar antara 0,1000-0,4250 mm dengan modus penyebaran satu puncak yang terjadi secara periodik dengan pola pemijahan secara total (total

spawner).

(36)

REPRODUKSI IKAN KUNIRAN

Upeneus moluccensis

(Bleeker 1855) DARI PERAIRAN SELAT SUNDA YANG

DIDARATKAN DI PPP LABUAN, BANTEN

FADILATUL HUSNA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(37)

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul

:

Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker 1855) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten Nama : Fadilatul Husna

Nomor Pokok : C24080037

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Tanggal lulus: 04 Juni 2012

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002 Pembimbing I,

Ali Mashar, S.Pi, M.Si NIP.19750118 200701 1 001

Pembimbing II,

(38)

PRAKATA

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Reproduksi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis (Bleeker 1855) dari Perairan Selat Sunda yang Didaratkan di PPP Labuan, Banten”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan September 2011 di PPP Labuan, Banten. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, masukan, maupun arahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2012

(39)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ali Mashar, S.Pi, M.Si dan Dr. Yonvitner, S.Pi, M.Si, masing-masing selaku Pembimbing I dan Pembimbing II skripsi yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Ir. Ridwan Affandi, DEA selaku dosen penguji tamu serta Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Ketua Program Studi yang telah memberikan saran dalam penyusunan skripsi ini.

3. Ir. Gatot Yulianto, M.Si, selaku Pembimbing Akademik atas dukungannya kepada penulis selama menuntut studi di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan.

4. Keluarga tercinta: Papa, Mama, Uda (Izul, Dedi, Depit), Uni (Era, Il, Tia, Imel), keponakan-keponakan (Ivan, Zaky, Aam, dan Rayyan), Paetek Aswil, Tek Lia, dan Ami, serta seluruh keluarga besar atas doa, kasih sayang, semangat, perhatian, kesabaran, dan dukungan baik moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis.

5. Seluruh staf Tata Usaha dan civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, terutama Mbak Widar dan Mbak Maria atas bantuan dan dukungannya.

6. Para staf PPP Labuan, Banten dan Bapak Kaliri atas bantuan dan kerja samanya. 7. Teman seperjuangan: Rikza, Ria, Nimas, Ennie, Ami, Cia, Doni, Tilla, Icha, Rina, Rani, Yuli, Rizal, Ayu, Rena, Elfrida, dan Hilda atas bantuan, semangat, dukungan, nasihat selama penelitian hingga penyusunan skripsi.

8. Teman-teman MSP 45, MSP 46: Kanti, Eka, Dina, Hendri, Wening, Dea, Vinni, Indah, Aang, Iman, Ibad, Selvia, Tamimi, Gentha, dan teman-teman yang lain yang tidak mungkin disebut satu persatu.

(40)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada tanggal 15 Maret 1990 sebagai putri keempat dari empat bersaudara dari pasangan H. Akmal Piliang dan Hj. Rahmayati. Pendidikan formal pernah dijalani penulis berawal dari TK Aisyiah Stabat (1994-1996), SDN 1 Stabat (1996-2002), SMPN 1 Stabat (2002-2005), SMAN 1 Stabat (2005-2008). Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI, kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Imu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Biologi Perikanan (2010/2011 dan 2011/2012), Asisten Mata Kuliah Dinamika Populasi Ikan (2011/2012), dan Asisten Mata Kuliah Pengkajian Stok Ikan (2011/2012). Penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Profesi Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai sekretaris divisi Pengembangan Sumberdaya Mahasiswa (PSDM) (2010-2011) serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB.

(41)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

1.PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Perumusan Masalah ... 2 1.3. Tujuan ... 2

2.TINJAUAN PUSTAKA ... 3 2.1. Ikan Kuniran Upeneus moluccensis ... 3 2.2. Aspek Reproduksi ... 4 2.2.1. Proporsi kelamin ... 5 2.2.2. Faktor kondisi ... 6 2.2.3. Ukuran pertama kali matang gonad ... 6 2.2.4. Waktu pemijahan ... 7 2.2.5. Potensi reproduksi ... 9 2.2.6. Tipe pemijahan ... 10

3.METODE PENELITIAN ... 12 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 12 3.2. Alat dan Bahan ... 12 3.3. Metode Kerja ... 13 3.3.1. Pengambilan ikan contoh ... 13 3.3.2. Pengumpulan data ... 13 3.4. Analisis Data ... 14 3.4.1. Proporsi kelamin ... 14 3.4.2. Faktor kondisi ... 15 3.4.3. Ukuran pertama kali matang gonad ... 15 3.4.4. Indeks kematangan gonad (IKG) ... 16 3.4.5. Fekunditas ... 16

(42)

4.1.7. Fekunditas ... 23 4.1.8. Diameter telur ... 23 4.2. Pembahasan ... 24 4.2.1. Proporsi kelamin ... 24 4.2.2. Ukuran pertama kali matang gonad ... 25 4.2.3. Waktu pemijahan ... 26 4.2.4. Potensi reproduksi ... 28 4.2.5. Pola pemijahan ... 29 4.3. Pengelolaan... 30

5.KESIMPULAN DAN SARAN ... 32 5.1. Kesimpulan ... 32 5.2. Saran ... 32

DAFTAR PUSTAKA ... 33

(43)

DAFTAR TABEL

(44)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan kuniran ... 2 2. Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) ... 3 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda ... 12 4. Gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina ... 17 5. Gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) jantan ... 18 6. Nilai tengah faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina

(a) dan jantan (b) berdasarkan bulan pengamatan ... 20 7. Tingkat kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina

(a) dan jantan (b) berdasarkan bulan pengamatan ... 21 8. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis) betina

(45)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Alat- alat yang digunakan selama melakukan penelitian ... 36 2. Bahan-bahan yang digunakan selama melakukan penelitian ... 38 3. Uji Chi-square terhadap proporsi kelamin betina dan jantan pada ikan

kuniran (Upeneus moluccensis) ... 38 4. Faktor kondisi ikan kuniran (Upeneus moluccensis) selama tujuh bulan

pengamatan ... 39 5. Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran (Upeneus

moluccensis) dengan metode Spearman-Karber ... 39

6. Indeks kematangan gonad ikan kuniran (Upeneus moluccensis)... 41 7. Nilai fekunditas ikan kuniran (Upeneus moluccensis) ... 41 8. Hubungan fekunditas ikan kuniran (Upeneus moluccensis) terhadap

panjang total ... 43 9. Hubungan fekunditas ikan kuniran (Upeneus moluccensis) terhadap

(46)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Potensi sumberdaya perikanan laut Provinsi Banten tersebar di Laut Jawa, Selat Sunda, dan Samudera Hindia, dengan luas wilayah perairan lautnya sebesar 11.134,224 km2 (belum termasuk perairan nusantara/teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia/ZEEI). Namun demikian, pengembangan penangkapan ikan di Provinsi Banten saat ini masih terkonsentrasi di Laut Jawa dan Selat Sunda (SIMPOTDA Banten 2008).

lkan kuniran (Mullidae) termasuk dalam kelompok ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis dan tersebar di seluruh wilayah perairan Indonesia (Ernawati dan Sumiono 2006). Harga ikan kuniran relatif murah, sehingga permintaan masyarakat terhadap ikan kuniran cukup tinggi. Salah satu lokasi pendaratan ikan kuniran yang cukup banyak adalah di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Ikan kuniran yang didaratkan di PPP Labuan tersebut sebagian besar berasal dari perairan Selat Sunda.

Masyarakat di Labuan mengolah ikan kuniran sebagai ikan asin yang memiliki nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan ikan dalam bentuk segar. Hal ini membuat para nelayan meningkatkan hasil tangkapan ikan kuniran. Namun, penangkapan ikan kuniran diindikasikan tidak mengikuti kaidah-kaidah pengelolaan sumberdaya perikanan, diantaranya dengan melakukan penangkapan ikan kuniran secara berlebihan dan belum mengalami matang gonad.

Upaya penangkapan ikan kuniran yang terus meningkat menyebabkan pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran dapat melebihi batas MSY (Maximum

Sustainable Yield). Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan

(47)

1.2. Perumusan Masalah

Ikan kuniran merupakan ikan yang bernilai ekonomis. Ikan ini dipasarkan dalam keadaan segar maupun dalam bentuk olahan berupa ikan asin. Semakin tinggi permintaan pasar terhadap ikan kuniran, maka akan menyebabkan intensitas penangkapan ikan kuniran cenderung tidak terkendali. Upaya penangkapan ikan kuniran yang terus meningkat dan tidak terkendali menyebabkan ikan yang tertangkap makin berukuran kecil yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah hasil tangkapan. Hal ini dapat diduga bahwa ikan kuniran telah mengalami overeksploitasi.

[image:47.595.101.526.68.834.2]

Permasalahan-permasalahan seperti ini dapat mengkhawatirkan pada masa yang akan datang bagi perkembangan regenerasi sumberdaya ikan kuniran tersebut, sehingga diperlukan informasi mengenai aspek reproduksi ikan kuniran agar pemanfaatan sumberdaya ikan kuniran dapat dikelola secara berkelanjutan. Secara skematis, perumusan masalah penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan kuniran

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji aspek reproduksi ikan kuniran

(Upeneus moluccensis) di perairan Selat Sunda, Labuan meliputi proporsi kelamin,

ukuran pertama kali matang gonad, musim pemijahan, potensi reproduksi, dan pola pemijahan. Hasil tangkapan menurun Ukuran tangkap yang masih kecil Intensitas penangkapan tidak terkendali Lingkungan

- Organ reproduksi - Jenis kelamin - TKG dan IKG - Fekunditas - Diameter telur

Aspek reproduksi ikan: - Proporsi kelamin - Ukuran pertama kali

matang gonad - Potensi reproduksi - Musim dan pola

(48)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ikan Kuniran Upeneus moluccensis

Ikan kuniran (Upeneus moluccensis) merupakan jenis ikan yang memiliki bentuk badan agak memanjang, pipih pada bagian depan punggung, dan panjang tubuhnya dapat mencapai 20 cm (www.fishbase.org). Menurut Bleeker (1855) in www.fishbase.org, klasifikasi ikan kuniran (Gambar 2) adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Famili : Mullidae Genus : Upeneus

Spesies : Upeneus moluccensis Nama FAO : Goldband goatfish

Nama Lokal : Biji Nangka (Jawa)dan Kuniran (Banten)

Gambar 2. Ikan kuniran (Upeneus moluccensis)

(49)

jenis substrat berpasir, pasir berlumpur atau dasar kerikil di kedalaman berkisar 10-120 m (Golani 1994 in Ismen 2005). Ikan kuniran atau biji nangka (Upeneus

moluccensis) ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang (Salim 1994 in

Sjafei dan Susilawati 2001). Ikan ini tertangkap di perairan Selat Sunda tiap bulan dengan potensi 22% dari produksi perikanan di perairan Selat Sunda yaitu sebesar 1.791.660 kg (Saadah 1998 in Sjafei dan Susilawati 2001). Jika upaya penangkapan ditingkatkan, maka mortalitas pun akan meningkat. Apabila hal ini terjadi terus menerus, maka yang terjadi adalah terancamnya kelestarian sumberdaya ikan demersal, salah satunya adalah ikan kuniran (Ernawati dan Sumiono 2006).

2.2. Aspek Reproduksi

Reproduksi merupakan suatu tahapan penting pada siklus hidup untuk menjamin kelangsungan hidup suatu spesies. Sjafei et al. (1992) menyatakan bahwa pada umumnya proses reproduksi pada ikan dapat dibagi dalam tiga periode, yaitu

pre-spawning, spawning, dan post-spawning. Pada periode pre-spawning,

berlangsung penyiapan gonad untuk menghasilkan telur dan sperma, peningkatan kematangan gonad dan penyiapan telur dan sperma yang akan dikeluarkan. Periode

pre-spawning merupakan bagian dari proses reproduksi yang paling panjang

dibandingkan dengan periode lainnya. Periode spawning pada ikan adalah proses pengeluaran telur dan sperma dan pembuahan telur oleh sperma. Pada umumnya periode spawning berlangsung dalam waktu yang singkat. Ikan memilih tempat dan waktu spawning yang tepat untuk memastikan bahwa telur yang dihasilkan akan memperoleh kondisi yang paling baik, yaitu ketersediaan makanan yang sesuai dan cukup, lingkungan yang sesuai, dan aman dari predator. Periode post-spawning dimulai penetasan telur, perkembangan larva sampai menjadi ikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses reproduksi tersebut adalah makanan yang cukup dan kondisi perairan yang baik (Rizal 2009).

(50)

2.2.1.Proporsi kelamin

Perhitungan proporsi kelamin adalah dengan membandingkan antara jumlah ikan jantan dan betina (Steel dan Torrie 1980 in Sulistiono et al. 2001a). Proporsi kelamin dapat menduga keseimbangan populasi dengan asumsi bahwa perbandingan ikan jantan dan betina dalam suatu populasi yang seimbang adalah 1:1 (Purwanto et al. 1986 in Susilawati 2000), atau setidaknya ikan betina lebih banyak untuk mempertahankan kelestarian populasi (Purwanto et al. 1986 in Sulistiono et al. 2001a). Selain itu, ikan betina lebih aktif mencari makanan untuk menutrisi tubuhnya agar perkembangan gonad dapat berkembang dengan baik dan menghasilkan telur yang baik pula (Nikolsky 1963). Pada umumnya, proporsi kelamin ikan kuniran di perairan dalam keadaan yang tidak seimbang dimana ikan betina memiliki proporsi yang lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Azhar (1992) in Sjafei dan Susilawati (2001) melakukan penelitian terhadap ikan kuniran

(Upeneus tragula) di perairan Muara Kamal, Jakarta Utara dan didapatkan proporsi

ikan jantan dan betina dalam keadaan yang tidak seimbang (1:1,1). Ikan kuniran

(Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten yang diteliti oleh Sjafei

dan Susilawati (2001) juga mempunyai proporsi ikan kuniran jantan dan betina tidak seimbang (1:1,25). Triana (2011) melakukan penelitian terhadap ikan kuniran

(Upeneus moluccensis) di perairan Teluk Jakarta dan didapatkan pula proporsi ikan

jantan dan betina tidak dalam keadaan yang seimbang (1:1,5). Namun, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismen (2005) terhadap ikan kuniran (Upeneus

moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur mendapatkan rasio kelamin

ikan jantan dan betina yang hampir dalam keadaan seimbang, yaitu sebesar 1:1,07 (Ismen 2005).

(51)

2.2.2.Faktor kondisi

Faktor kondisi secara kuantitatif dibutuhkan untuk melihat kondisi ikan yang berhubungan dengan beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhinya pada kurun waktu tertentu (Handayani 2006). Faktor kondisi ini menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk survival dan reproduksi (Effendie 1997). Adanya perubahan faktor lingkungan secara periodik akan mempengaruhi kondisi dari ikan tersebut (Handayani 2006). Faktor kondisi dapat naik, dapat juga turun. Keadaan ini merupakan indikasi dari musim pemijahan bagi ikan, khususnya bagi ikan betina. Menurut Patulu (1963) in Effendie (1997), nilai faktor kondisi ikan berfluktuasi dengan ukuran ikan tersebut. Peningkatan nilai faktor kondisi terjadi pula pada waktu ikan mengisi gonadnya dengan cell sex dan akan mencapai puncaknya sebelum terjadi pemijahan (Effendie 1997).

Faktor kondisi dipengaruhi oleh ketersediaan makanan dan pada ikan betina dipengaruhi oleh indeks kematangan gonad. Pada saat makanan berkurang jumlahnya, ikan akan cenderung menggunakan cadangan lemak dalam tubuhnya sebagai sumber energi selama proses pematangan gonad dan pemijahan sehingga faktor kondisi ikan tersebut akan menurun (Effendie 1979). Penurunan faktor kondisi juga dipengaruhi oleh aktivitas ikan dalam melakukan adaptasi terhadap kondisi lingkungan selama proses pematangan gonad hingga proses pemijahan selesai (Saadah 2000). Pada umumnya, nilai faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Effendie (1997) menyatakan bahwa faktor kondisi ikan betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan, karena ikan betina memiliki kondisi yang lebih baik untuk proses reproduksi dan bertahan hidup dibandingkan dengan ikan jantan.

2.2.3.Ukuran pertama kali matang gonad

(52)

1997). Faktor-faktor yang mempengaruhi ukuran pertama kali ikan matang gonad adalah faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa perbedaan spesies, umur, ukuran, dan sifat-sifat fisiologis. Faktor eksternal berupa makanan, kondisi lingkungan (suhu dan arus), dan adanya individu yang berlainan jenis kelamin (Lagler 1962 in Warjono 1990).

Udupa (1974) in Musbir et al. (2006) menyatakan bahwa ukuran pertama kali ikan matang gonad bervariasi antar jenis maupun dalam jenis itu sendiri, sehingga individu yang berasal dari satu kelas umur atau dari kelas panjang yang sama tidak selalu mencapai ukuran pertama kali matang gonad yang sama. Adanya perbedaan kecepatan tumbuh (Nikolsky 1969 in Susilawati 2000), perbedaan strategis hidup atau pola adaptasi ikan (Busing 1987 in Susilawati 2000), serta adanya perbedaan kondisi perairan menyebabkan ikan-ikan muda yang berasal dari telur yang menetas pada waktu bersamaan akan mencapai tingkat kematangan gonad pada ukuran yang berlainan. Ukuran pertama kali ikan matang gonad juga dipengaruhi oleh kelimpahan individu, ketersediaan makanan, dan faktor lingkungan pada suatu habitat atau perairan yang berbeda-beda (Nikolsky 1963).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sjafei dan Susilawati (2001) terhadap ikan kuniran (U. moluccensis) di perairan Teluk Labuan, Banten diperoleh ukuran pertama kali ikan kuniran matang gonad sebesar 120 mm (ikan jantan) dan 125 mm (ikan betina). Hasil penelitian Triana (2011) dengan spesies ikan yang sama

(U. moluccensis) di perairan Teluk Jakarta memperoleh ukuran pertama kali ikan

kuniran matang gonad sebesar 173 mm (ikan jantan) dan 155 mm (ikan betina). Ukuran pertama kali matang gonad ikan kuniran (U. moluccensis) di Teluk Antalya, Turki sebesar 110 mm untuk ikan betina dan 105 mm untuk ikan jantan (Ozvarol et al. 2010). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ismen (2005) terhadap ikan kuniran

(U. moluccensis) di Teluk Iskenderun, Mediterania Timur diperoleh ukuran pertama

kali matang gonad ikan kuniran betina dan jantan adalah 110 mm.

2.2.4.Waktu pemijahan

(53)

diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi dengan yang tidak melakukan reproduksi (Affandi et al. 2007). Penentuan tingkat kematangan gonad dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara morfologis dan histologis. Secara morfologis dilakukan dengan mengamati tanda-tanda umum dan ukuran gonad secara visual, sedangkan secara histologis dilakukan dengan mengamati perkembangan gonad melalui fase perkembangan sel dari gonad tersebut yang didasarkan pada penelitian mikroskopik. Penentuan tingkat kematangan gonad secara mikroskopik jarang sekali digunakan kecuali untuk penelitian yang memerlukan keterangan yang sangat khusus. Penentuan dengan cara ini banyak menggunakan peralatan histologis seperti mikrotom dan menggunakan bahan kimia yang kadang-kadang sulit diperoleh (Effendie 1979).

Novitriana et a

Gambar

Gambar 1. Skema perumusan masalah sumberdaya ikan kuniran
Gambar 3. Peta daerah penangkapan ikan kuniran di perairan Selat Sunda
Gambar 4. Gonad ikan kuniran ( Upeneus moluccensis) betina
Gambar 5. Gonad ikan kuniran (      Upeneus moluccensis) jantan
+7

Referensi

Dokumen terkait

perlindungan TKI, karena keberhasilan perlindungan terhadap TKI tidak dapat hanya dilakukan satu pihak saja, diperlukan kerja sama berbagai pihak baik dari

1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, permukiman didefinisikan sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan

Pematuhan dan memenuhi terma, syarat dan Endorsemen Polisi ini oleh Orang Yang Diinsuranskan atau oleh mana-mana Pihak Menuntut di bawah Polisi ini setakat yang ia berkaitan

Program Kemitraan Masyarakat (PKM) penerapan budidaya padi metode SRI dengan teknologi bioorganik plus dilakukan pada Kelompok Tani (K.T) Sakinah dan Kelompok Tani (K.T)

Sarwono (2011) Menyatakan bahwa pupuk organik mempunyai banyak kelebihan, apabila dibandingkan dengan pupuk anorganik yaitu pupuk yang memiliki unsur hara yang

Untuk itu ditawarkan solusi yaitu dibuat oven yang lebih efisien dalam penggunaan energi dan higienis serta dibuat rak penyimpanan sehingga wingko yang

Untuk itu ditawarkan solusi yaitu dibuat oven yang lebih efisien dalam penggunaan energi dan higienis serta dibuat rak penyimpanan sehingga wingko yang

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari lapangan dan perhitungan dengan menggunakan rumus persentase dan “r” Product Moment, dapat disimpulkan bahwa: (1) Persentase