• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Partisipasi Pengasuh Pohon dalam Program Pohon Asuh di Gunung Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Partisipasi Pengasuh Pohon dalam Program Pohon Asuh di Gunung Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

  BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sumberdaya alam berupa hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang memiliki nilai sangat strategis. Meskipun sumberdaya alam ini termasuk kategori potensi alam yang dapat diperbaharui (renewable), sebagai amanat Tuhan Yang Maha Esa, pengelolaan kekayaan alam ini harus benar-benar dilakukan secara arif, bijaksana dan profesional. Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa hutan merupakan suatu ekosistem, artinya konsep pengelolaannya harus menyeluruh yang memadukan unsur biotik dan abiotik beserta unsur lingkungan lainnya yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan secara lestari (sustainable). Sebagaimana diketahui bahwa hutan memiliki fungsi antara lain sebagai :

a) Pengatur iklim, baik mikro maupun makro b) Penata air

c) Pemenuhan kebutuhan kayu dan non kayu serta jasa/manfaat ekonomi d) Menyediakan lapangan kerja

e) Pertahanan negara

Dengan kata lain, sumberdaya hutan memiliki peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara.

Hutan di dalam wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terwujud atau tidaknya misi tersebut tergantung pada : pertama, sistem pengelolaan hutan, kedua, moral dan profesionalisme para penyelenggara/pelaksananya, ketiga, faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Namun yang terpenting untuk mewujudkan misi tersebut adalah sistem pengelolaan hutan yang mendahulukan kepentingan masyarakat.

(2)

  Pengurusan sumberdaya hutan maupun sumberdaya alam lainnya yang telah berlangsung selama ini belum memberikan peran yang maksimal kepada masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di dalam maupun di sekitar kawasan dimana sumberdaya itu berada. Pengurusan sumberdaya hutan dan sumber-sumber daya lainnya bahkan telah cenderung memisahkan masyarakat dari alam yang selama ini telah menjadi bagian dari kehidupannya. Kondisi ini diantaranya telah mengakibatkan melemahnya sense of belonging dan public responsibility di kalangan masyarakat atas sumberdaya alam. Dari kondisi ini kemudian kita saksikan bahwa di satu sisi kontrol sosial atas keberadaan dan pengelolaan sumberdaya alam sangat lemah sehingga degradasi dan ketidakadilan pemanfaatan sumberdaya alam terus berjalan, di sisi lain masyarakat tidak mendapatkan manfaat yang optimal dari keberadaan sumberdaya alam itu sendiri. Lebih ironis dari hal itu, seringkali kita saksikan bahwa masyarakat yang secara langsung menerima dampak negatif dari kondisi pengurusan sumberdaya alam dan hutan.

Menyadari hal ini, pengurusan sumberdaya alam, tidak bisa tidak harus mengikutsertakan masyarakat sejak mulai dari awal penetapan tujuan pengurusan sumberdaya tersebut. Masyarakat yang merupakan bagian dari sumberdaya tersebut harus ikut menentukan arah pengurusan sumberdaya alam bagi kepentingan mereka maupun bagi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

(3)

  disepakati fungsinya, yaitu dalam melakukan pemanfaatan, perlindungan dan konservasi suatu kawasan hutan.

Dalam pengelolaan hutan partisipatif indikator pertama dalam pelaksanaanya oleh masyarakat di lapangan adalah penanaman pohon. Program penanaman pohon seperti Reboisasi dan GN-RHL yang saat ini masih dilakukan, baik oleh pemerintah maupun gerakan swadaya masyarakat, cenderung menjadi aura seremonial belaka dan menghabiskan banyak biaya tanpa hasil signifikan. Hal itu disebabkan belum adanya manajemen perawatan dan pemeliharaan pohon yang jelas serta belum melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya secara langsung di lapangan. Pohon-pohon yang ditanam akhirnya dibiarkan tanpa pemeliharaan dan pengawasan. Tidak jarang, bibit yang ditanam hilang, rusak, atau dicabut oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Jika tidak, pohon-pohon itu mati sebelum sempat tumbuh akibat terserang penyakit.

Memelihara pohon selalu lebih sulit daripada sekedar menanam. Jika menanam ribuan pohon bisa selesai dalam setengah hari, merawatnya membutuhkan bukan hanya waktu dan perhatian lebih banyak, tetapi juga biaya lebih besar. Pada kondisi demikian, partisipasi masyarakat dan stakeholder terkait sangat diperlukan untuk memelihara dan merawat pohon yang telah ditanam. Dalam hal ini bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat diwujudkan dalam bentuk Program Pohon Asuh dan Pohon Adopsi.

(4)

  berikutnya. Dengan kata lain diberi jaminan selama 3 tahun bahwa pohon yang diasuh dapat hidup dan bertumbuh. Kewajiban utama orang tua asuh adalah memberikan biaya pemeliharaan pohon asuh. Biaya asuh ini sudah termasuk penyediaan bibit pohon, pembuatan lubang tanam, penanaman, pembuatan dan penempelan papan nama (tree tag), dan pemeliharaan pohon selama 3 tahun sejak pohon ditanam. Pohon yang diasuh akan tercatat atas nama orang tua asuhnya, diidentifikasi dengan nomor dalam data base yang dilengkapi peta lokasi tempat tumbuhnya. Para orang tua asuh akan menerima sertifikat untuk setiap pohon yang diasuhnya. Setiap pohon yang sudah punya orang tua asuh akan dipelihara oleh pengasuh pohon secara intensif selama 3 tahun.

Bertolak dari uraian di atas maka akan dikaji lebih lanjut mengenai sejauh mana keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan melalui penelitian yang berjudul ”Tingkat Partisipasi Pengasuh Pohon dalam Program Pohon Asuh di Gunung Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

1.2Rumusan Masalah

Pohon asuh dan pohon adopsi merupakan program baru dalam sistem pengelolaan hutan secara lestari dan berkelanjutan. Program Pohon Asuh ini berbasiskan pada pengelolaan hutan partisipatif sehingga dalam pengelolaannya melibatkan berbagai pihak diantaranya Perhutani, masyarakat dan pihak pengelola sendiri. Dalam hal ini, masyarakat memiliki peran yang sangat penting karena masyarakat yang turun langsung ke lapangan sebagai pengasuh pohon. Oleh karena itu, penelaahan mengenai tingkat partisipasi pengasuh pohon di Desa Karang Tengah ini difokuskan pada :

1. Bagaimana tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh?

2. Seberapa besar tingkat keberhasilan Program Pohon Asuh yang telah dilaksanakan?

(5)

  1.3Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengidentifikasi tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh.

2. Mengidentifikasi tingkat keberhasilan Program Pohon Asuh yang telah dilaksanakan.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh.

1.4Manfaat penelitian

(6)

  BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pengelolaan Hutan Partisipatif

Perum Perhutani (1990) mengemukakan bahwa perhutanan sosial diberi pengertian sebagai program pembangunan dan pengamanan hutan dengan cara mengikutsertakan masyarakat dalam mengelola hutan, dengan tujuan meningkatkan fungsi-fungsi hutan secara optimal dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus perbaikan lingkungan dan menjaga kelestariannya. Pengertian perhutanan sosial tersebut lebih menekankan sebagai program bukan sebagai sistem pengelolaan hutan oleh karena itu pada awal pengembangannya oleh perhutani program perhutanan sosial meliputi kegiatan di dalam kawasan hutan, yaitu pengembangan agroforestri dan di luar kawasan hutan, yaitu pengembangan kelompok tani hutan (KTH) dan usaha produktif lainnya.

Wiersum (1987) memberikan tiga strategi umum social forestry, yaitu (a) community comunal forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh masyarakat secara kolektif, dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan, maupun lahan negara; (b) farm forestry, yaitu hutan yang dikelola oleh individu atau perorangan, dapat dilaksanakan pada lahan yang dikuasai oleh masyarakat secara kolektif, lahan milik perorangan maupun lahan negara; dan (c) publicly-managed forestry for local community development, yaitu hutan yang dikelola oleh negara untuk pembangunan masyarakat lokal, yang dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik perorangan maupun lahan milik negara.

Pamulardi (1995) dengan mengacu pada beberapa arahan penting GBHN 1993-1998 yang terkait dengan lingkungan hidup dan kehutanan, yang menekankan agar fokus pengelolaan hutan dan lingkungan hidup tidak hanya pada manfaat ekonomi, melainkan lebih jauh harus menjadi harapan dan amanat untuk meningkatkan :

a. Kesadaran akan pentingnya konservasi dan keanekaragaman alam hayati

(7)

  c. Pemerataan kesejahteraan sosial ke seluruh wilayah Indonesia.

Anonim (2001) dalam prosiding semiloka mengemukakan bahwa penatagunaan hutan yang dilakukan secara partisipatif akan menghasilkan kesepahaman bersama mengenai beberapa hal, terutama mengenai :

1. Eksistensi kawasan hutan beserta fungsinya sebagaimana dirinci dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dan eksistensi tanah-tanah masyarakat di dalam maupun di sekitar kawasan hutan (penetapan batas fungsi kawasan)

2. Penggunaan kawasan hutan berdasarkan kaidah-kaidah dan norma-norma yang ada, serta hak dan kewajiban masyarakat dan stakeholder lainnya dalam seluruh kegiatan pengelolaan kawasan.

(8)

 

Hasil PHBM (TS)

Modal usaha,

Saprodi

Gambar 1 Bagan interaksi antar stakeholder dalam penyelenggaraan monumen KAHMI.

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan salah satu usaha dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Menurut Najiyati et al. (2005) pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekanan di segala bidang dan sektor kehidupan. Program pemberdayaan yang dapat menstimulasi kemandirian masyarakat adalah program yang sifatnya partisipatif.

2.2 Pengertian Masyarakat Desa Hutan

Koentjaraningrat (1990) mendefinisikan masyarakat sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terkait oleh rasa identitas bersama. Menurut Soekanto (1982) masyarakat adalah kelompok atau himpunan orang-orang yang hidup bersama dan terjalin hubungan satu sama lainnya sehingga menghasilkan

Rekruitmen peserta, subsidi dan bimbing

(9)

  kebudayaan. Sedangkan pengertian dari desa merupakan himpunan penduduk yang cenderung homogen dengan sifat kegotongroyongan dan kekeluargaan yang tinggi serta bermata pencaharian utama dari sektor pertanian. Sehingga masyarakat desa adalah himpunan penduduk agraris cenderung homogen yang menempati wilayah tertentu dan memiliki kebudayaan dengan sifat kekeluargaan dan kegotongroyongan yang tinggi.

Menurut Perum Perhutani (2009) masyarakat desa hutan (MDH) adalah kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan kegiatan yang berinteraksi dengan sumberdaya hutan untuk mendukung kehidupannya. Dalam pembangunan masyarakat desa hutan falsafahnya adalah bahwa pembangunan atau pembinaan masyarakat di sekitar hutan merupakan bagian dari pembangunan kehutanan (Fakultas Kehutanan 1987). Menurut Soedjarwo (1985) dalam Fakultas Kehutanan (1987) bahwa pembangunan kehutanan adalah untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari sumber daya alam hutan dalam rangka meningkatkan sumber devisa negara, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan penyelamatan hutan, tanah dan air serta pembinaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lestari.

2.3 Partisipasi Masyarakat Desa Hutan

Pengertian partisipasi menurut kamus besar bahasa Indonesia (Depdikbud 1986) adalah hal turut berperan serta dalam suatu kegiatan. Partisipasi dapat pula

diartikan keikutsertaan seseorang secara sukarela tanpa dipaksa sebagaimana yang dijelaskan Sastropoetro (1988) bahwa partisipasi adalah keterlibatan spontan dengan kesadaran disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan.

(10)

  sering pula diterjemahkan sebagai kerelaan masyarakat untuk menerima ganti rugi meskipun dalam musyawarah tidak terjadi kesepakatan, kerelaan berkorban untuk orang banyak, kesediaan untuk menerima kehadiran sebuah proyek. Meningkatkan partisipasi dalam pemerintah daerah harus dilakukan dengan cara meningkatkan keterlibatan warga secara langsung dalam pengambilan keputusan oleh perseorangan atau kelompok dalam kegiatan publik (Cunill, 1991: Rosenberg 1994 dalam New Economics Foundation 2001).

Dalam perkembangannya, partisipasi terbagi dalam dua pola yaitu pola partisipasi secara individu dan pola partisipasi secara kelompok. Seseorang yang inovatif dan aktif dalam setiap kegiatan pembangunan akan sangat membantu dirinya dan keluarganya untuk meningkatkan taraf hidup secara ekonomis dan spiritual. Sebagai mahluk sosial, maka pola individu harus dikembangkan kepada anggota yang lain, sehingga tercipta pola partisipasi secara berkelompok atau secara menyeluruh ( Levis 1996).

Pamudji (1997) menyatakan bahwa bentuk-bentuk partisipasi terdiri dari : 1. Partisipasi dalam perencanaan kegiatan, yaitu keterlibatan dalam bentuk

kehadiran, menyampaikan pendapat dan pengambilan keputusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan yang akan dilaksanakan

2. Partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan, yaitu keterlibatan dalam bentuk penyediaan dana, pengadaan sarana, berkorban waktu dan tenaga sejak persiapan kegiatan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan kegiatan yang berupa pemeliharaan hasil-hasil kegiatan

3. Partisipasi dalam pengendalian kegiatan monitoring, pengawasan dan evaluasi, yaitu keterlibatan warga masyarakat dalam bentuk : penyusunan pedoman pengendalian (melalui survey partisipatif), pengumpulan data (melalui survey partisipatif), dan penilaiannya (melalui penilaian partisipatif) 4. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil kegiatan, yaitu keterlibatan masyarakat

dalam bentuk pemanfaatan.

(11)

  penatagunaan hutan adalah dalam menetapkan fungsi dan batas suatu kawasan hutan, serta bagaimana menggunakan kawasan secara adil dan berkelanjutan (Anonim 2001).

New Economics Foundation (2001) mengungkapkan partisipasi adalah sebuah kata tak jelas yang memiliki arti berbeda bagi setiap orang. Salah satu cara untuk memahami partisipasi adalah dengan menggunakan versi “tangga partisipasi” yang dikembangkan pertama kali oleh Sherry Arnstein. Tangga ini membantu kita memahami apa yang dimaksud oleh seseorang saat dia berbicara mengenai ‘partisipasi’ atau ‘keterlibatan’.

  Pengawasan oleh warga

   

  Pendelegasian Kekuasaan      Kekuasaan

Warga

    Kemitraan

 

    Konsultasi

 

        Menginformasikan       Tokenisme    

Penenteraman

     

Manipulasi             Tidak Ada Partisipasi 

Slamet (1980) mengemukakan bahwa syarat-syarat yang diperlukan agar masyarakat dapat berpartisipasi adalah :

1) Adanya kesempatan untuk membangun atau ikut dalam pembangunan 2) Adanya kemampuan untuk memanfaatkan kesempatan tersebut 3) Adanya kemampuan untuk berpartisipasi.

(12)

  Pengkajian desa partisipatif adalah metode kajian terhadap kondisi desa dan masyarakat melalui proses pembelajaran bersama guna memberdayakan masyarakat desa yang bersangkutan agar memahami kondisi desa dan kehidupannya sehingga mereka dapat berperan langsung dalam pembuatan rencana dan tindakan secara partisipatif (Perum Perhutani 2009).

Kartasubrata (1986) mengemukakan bahwa dorongan dan rangsangan untuk berpartisipasi mencakup faktor-faktor kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya tidak hanya diberikan pada waktu pelaksanaannya saja tetapi juga mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemantauan, penilaian dan kemudian distribusi hasilnya. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Madrie (1986), faktor pribadi yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi seseorang dalam melakukan suatu kegiatan meliputi : tingkat pendidikan, kosmopolitan dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan. Menurut Khairuddin (1992), terdapat korelasi positif antara tingkat pendidikan dan pemilikan tanah dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertanian.

2.4 Konsep Pohon Asuh dan Pohon Adopsi

Pada prinsipnya konsep pohon asuh dan pohon adopsi berlandaskan pada pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Pengertian dari pohon asuh adalah sebuah konsep menanam pohon, dimana orang tua asuh memberikan donasi dengan jumlah uang tertentu untuk biaya menanam dan memelihara pohon tersebut sampai jangka waktu tertentu. Sedangkan pohon adopsi adalah seorang donatur pohon asuh menyumbangkan sejumlah dana untuk memelihara pohon yang sudah ada, dimana pohon tersebut akan dijaga dan tidak akan ditebang dalam jangka waktu tertentu. Pihak yang akan menjaga pohon milik donatur adalah masyarakat sekitar hutan sehingga bisa mendapatkan manfaat ekonomi dari pohon/hutan, dengan demikian gangguan kelestarian hutan tersebut akan berkurang. Prinsip pendanaan dilakukan pada awal kerjasama sampai perjanjian dalam jangka waktu tertentu.

(13)

  akan ditanam. Orang tua asuh melakukan pemeliharaan pohon sampai pohon tersebut dianggap bisa tumbuh mandiri. Mulai dari pembibitan, penanaman, pemupukan, pemberantasan hama dan gulma (Katenzo 2008).

Menurut Fitri (2008) pohon yang diadopsi akan tercatat atas nama ‘orang tua asuh’nya diidentifikasi dengan nomor dalam data base yang dilengkapi peta lokasi tempat tumbuhnya. Para ‘orang tua asuh’ akan menerima sertifikat untuk setiap pohon yang menjadi anaknya. Setiap pohon yang sudah punya orang tua asuh akan dipelihara secara intensif selama usia ‘balita’ hingga ia sampai pada usia amannya. Untuk selanjutnya pohon-pohon akan dilindungi secara hukum hingga pohon tersebut bisa tumbuh sampai akhir hayatnya secara alami.

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (2007) dalam rangka memperbaiki kondisi hutan khususnya di areal perluasan Taman Nasional, perlu dikembangkan sebuah program adopsi pohon yang akan melibatkan masyarakat dalam kegiatan dan penanamannya. Tujuan dari pelaksanaan program ini adalah untuk mendorong publik untuk lebih memberikan perhatian kepada lingkungan melalui kegiatan adopsi pohon sekaligus mendukung tercapainya program konservasi sumberdaya hutan.

(14)

  yaitu anggota LMDH Wana Sejahtera yang ditunjuk untuk melaksanakan pemeliharaan Pohon Asuh/Adopsi di lokasi Monumen Tanaman KAHMI. Periode pengasuhan dan adopsi pohon ini dilakukan selama 3 tahun. Bila dalam masa 3 tahun, pohon tersebut mengalami kegagalan tumbuh atau kematian, maka pohon akan segera diganti pada musim tanam berikutnya. Dengan kata lain diberi jaminan selama 3 tahun bahwa pohon yang diasuh dapat hidup dan bertumbuh. Kewajiban utama orang tua asuh adalah memberikan biaya. Biaya asuh ini sudah termasuk penyediaan bibit pohon, pembuatan lubang tanam, penanaman, pembuatan dan penempelan papan nama (tree tag), dan pemeliharaan pohon selama 3 tahun sejak pohon ditanam. Pohon yang di asuh akan tercatat atas nama orang tua asuhnya, diidentifikasi dengan nomor dalam data base yang dilengkapi peta lokasi tempat tumbuhnya. Para orang tua asuh akan menerima sertifikat untuk setiap pohon yang menjadi anaknya. Setiap pohon yang sudah punya orang tua asuh akan dipelihara oleh pengasuh lapangan secara intensif selama 3 tahun.

Program penanaman pohon adopsi dapat dilakukan pada lahan milik maupun lahan negara. Pada prinsipnya bahwa program pembangunan hutan dalam bentuk pohon adopsi yang menjadi pemilikan bersama dalam periode tertentu yang berdasarkan asas manfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi. Masyarakat sekitar hutan mendapatkan kompensasi berupa finansial selama periode tertentu dalam pemeliharaan dan pengawasan pohon tersebut.

2.5 Konsep Pemeliharaan Tanaman

(15)

  Metode pemeliharaan tanaman hutan menurut Kosasih et al. (2006) terdiri dari penyulaman tanaman, penyiangan tanaman, pendangiran tanaman, pemupukan tanaman, pemangkasan cabang, dan perlindungan/pengendalian hama. Penyulaman tanaman adalah kegiatan penanaman kembali bagian-bagian yang kosong, bekas tanaman yang mati/diduga akan mati dan rusak sehingga terpenuhi jumlah tanaman normal dalam satu kesatuan luas tertentu sesuai dengan jarak tanamnya. Penyulaman tanaman pokok hanya dilakukan maksimal selama daur yaitu 1 sampai 2 bulan setelah penanaman pada tahun pertama dan pada akhir tahun kedua. Penyulaman sebaiknya dilakukan pada sore hari atau pada pagi hari di musim hujan. Besarnya intensitas penyulaman tergantung pada persentase jadi tanaman, seperti yang diuraikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Intensitas penyulaman tanaman hutan Persentase Jadi

(16)

  nemathoda, jamur, bakteri, benalu) agar tidak menimbulkan kerusakan ekonomi berarti (Kosasih et al. 2006).

2.6 Kesehatan Tanaman

Tanaman dinyatakan sehat apabila pertumbuhannya baik (daun dan batang segar), batang lurus, tajuk lebat dan tidak terserang hama dan penyakit. Tanaman tidak sehat apabila pertumbuhan tidak baik, batang tidak lurus, daun pucat kekuning-kuningan dan terserang hama penyakit (Departemen Kehutanan 2004). Menurut Harbagung (1996) salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman adalah keadaan tanah. Pada tempat-tempat yang berlereng curam biasanya terjadi erosi sehingga tanahnya tidak subur dan sebaliknya daerah yang datar dan rendah merupakan tempat tampungan sedimen sehingga unsur haranya tinggi dan baik untuk pertumbuhan tanaman.

Kosasih et al. (2006) menyatakan tanaman atau pohon dikatakan rusak atau sakit apabila pada tanaman tersebut timbul gejala atau tanda-tanda kerusakan pada bagian tanaman atau pertumbuhan tanaman tidak normal/tidak sehat yang dapat mengakibatkan produksinya mengalami kemunduran sampai sampai menimbulkan kematian tanaman. Tanaman bisa rusak atau sakit karena serangan sejenis atau beberapa jenis hama dan penyakit. Gejala atau tanda-tanda serangan hama diantaranya :

1. Hama akar

Gejala kerusakan pada akar adalah perubahan pada daun, akar atau leher akan putus, kulit akar di daerah leher akan terkelupas

2. Hama pengeruk kulit dan kayu

Gejala dari serangan hama ini adalah :

a. Terjadi perubahan pada permukaan kulit menjadi kuning, kemerahan atau coklat, perubahan ini disebabkan karena adanya serbuk gerek yang menempel pada permukaan, kulit, keluarnya getah atau lendir dari liang gerek atau campuran antara serbuk gerek dengan getah dan lendir

b. Perubahan warna daun menjadi hijau pucat, kekuningan, atau kemerahan c. Liang-liang gerek yang bercabang-cabang atau tidak pada kulit dan

(17)

  3. Hama penggerek pucuk

Serangan penggerek pucuk pada pohon dalam tingkat pancang dan tiang menimbulkan kerusakan yang cukup berarti.

Gejala atau tanda-tanda serangan penyakit diantaranya : 1. Penyakit oleh bakteri

Bakteri dapat menyerang seluruh tubuh tanaman. Gejala umum serangannya dapat berbentuk :

a. Pembusukan basah

b. Tumor atau kanker pada bagian tanaman/pohon c. Tanaman layu

d. Pertumbuhan abnormal, kerdil bagian tanaman mengerut

e. Perubahan warna pada daun, batang, bunga dan buah menimbulkan titik-titik hingga bercak-bercak

f. Dalam akar hingga batang terdapat banyak lendir yang berwarna keputihan

g. Buah keriput dan masak belum waktunya h. Nekrosis kudis dan paru

2. Penyakit oleh cendawan

Gejala umum serangan cendawan sebagai berikut :

a. Ciri khas akibat serangan cendawan adalah busuk atau kering. Serangan dimulai dengan adanya bercak-bercak seperti lingkaran pada bagian tanaman yang diserang, dengan garis batas warnanya lebih tua dari warna keseluruhan. Warna bercak sering dimulai dengan warna agak kekuningan dan berubah hingga warna coklat sampai coklat tua

b. Pembusukan pada akar hingga tanaman layu c. Pembusukan pada teras-teras batang

d. Pembusukan pada bagian tanaman karena kanker

(18)

  3. Penyakit oleh virus

a. Gejala umum dari serangan virus pada tanaman yaitu terjadi perubahan warna, morfologi, histologi dan sitologi serta perubahan mikroorganisme. b. Perubahan morfologi antara lain dapat berupa :

1. Daun menjadi tebal, mengecil atau menggulung/keriting 2. Warna daun berubah seperti pita-pita panjang

3. Bunga mengecil dan pembentukannya lebih awal 4. Buah mudah gugur sebelum waktunya (prematur) 5. Pertumbuhan tanaman tidak normal

2.7 Penilaian Keberhasilan Program Pohon Asuh

Tujuan dari penilaian keberhasilan tanaman kehutanan menurut Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi (1979) adalah untuk memperoleh gambaran dan kesimpulan tentang hasil akhir dari kegiatan Perhutanan Sosial. Gambaran dan kesimpulan tersebut dipakai sebagai dasar untuk menetapkan langkah-langkah lebih lanjut, baik dalam rangka pemeliharaan maupun dalam rangka pengulangan kegiatan.

(19)

  BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Babakan Madang, Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Bogor, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bogor, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, tepatnya di Gunung Hambalang, Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan untuk keperluan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Alat tulis 2. Kuisioner

3. Peta wilayah desa 4. Kalkulator

5. Papan jalan

6. Panduan wawancara

7. Alat perekam suara (tape recorder) 8. Alat dokumentasi berupa camera digital

9. Data demografi/monografi desa, serta alat, bahan dan informasi lainnya yang mendukung dalam penelitian.

3.3Sasaran Penelitian

(20)

  3.4Jenis Data

Terdapat dua jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini, meliputi : 1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh secara langsung dari pengasuh pohon yang menjadi responden, data-data tersebut meliputi :

a. Data umum (karakteristik) responden : nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, status dalam keluarga, mata pencaharian utama dan sampingan serta tingkat pendidikan

b. Data tentang kegiatan yang dilakukan pengasuh pohon dalam pemeliharaan pohon asuh baik tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan : kontrak kerja, penentuan jenis tanaman, pembuatan tree tag, keaktifan dalam LMDH, berdiskusi dengan Perhutani dan KAHMI, penanaman, penyulaman, penyiangan, pendangiran, pemupukan, pemberantasan hama dan penyakit, pembabatan jalur antar tanaman, pengairan atau penyiraman serta kondisi fisik tanaman

c. Informasi lahan : luas pemilikan lahan, status kepemilikan lahan, jarak tempuh, asal usul lahan dan luas penguasaan hutan

d. Data potensi ekonomi rumah tangga : usaha di bidang kehutanan, bidang pertanian, dan non pertanian

e. Data pengeluaran rumah tangga : biaya pemeliharaan, konsumsi makanan dan minuman, pakaian, pendidikan dan sebagainya.

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini menyangkut keadaan lingkungan baik fisik, sosial ekonomi masyarakat dan data lain yang berhubungan dengan penelitian ini, data-data tersebut meliputi :

a. Data tentang kondisi umum lokasi penelitian yang terdiri atas : letak dan luas lokasi, topografi, iklim, suhu, curah hujan per tahun, keadaan tanah serta keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat

(21)

  c. Data keadaan penduduk : umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

mata pencaharian, dan jumlah penduduk secara keseluruhan.

3.5 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu : 1. Teknik observasi

Data dikumpulkan melalui pengamatan secara langsung terhadap berbagai kegiatan di lapangan, keadaan daerah penelitian dan pengamatan kondisi fisik tanaman

2. Teknik wawancara

Data yang dikumpulkan melalui tanya jawab yang dilakukan langsung terhadap responden yang terlibat dalam pemeliharaan pohon asuh serta berbagai pihak yang terkait untuk melengkapi data dan informasi. Wawancara dapat dilakukan secara terstruktur (kuisioner) maupun bebas 3. Studi pustaka

Data dikumpulkan melalui proses mencari, mencatat dan mempelajari study literatur serta pengumpulan data-data dari instansi terkait.

3.6 Metode Pengambilan Contoh Responden

Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah metode dalam pengambilan sampel dengan atas dasar pertimbangan pribadi peneliti (Danim 2004). Pertimbangan dalam penentuan responden dilakukan dengan mempertimbangkan biaya, tenaga, waktu dan keadaan di lapangan yaitu blok pengasuhan pohon. Unit sampel penelitian adalah pengasuh pohon. Jumlah sampel yang diambil berdasarkan metode Slovin (Wulandari 1999 dalam Kaskoyo 2009), dengan rumus sebagai berikut :

n = N

N ²

Keterangan : n = jumlah sampel

N = jumlah populasi

(22)

  Berdasarkan perhitungan rumus di atas, dengan diketahui jumlah populasi pengasuh pohon yang tercatat secara kontrak sebanyak 33 orang maka jumlah unit sampel dalam penelitian ini adalah 19 orang pengasuh pohon serta jumlah tanaman atau pohon asuh yang diamati kesehatannya sebanyak 1334 pohon asuh. Selain itu pihak Perhutani dan pihak pengelola yaitu KAHMI juga menjadi responden, dimana data-data yang diperoleh akan bersifat melengkapi dan memperkuat data di lapangan.

3.7 Metode Pengolahan Data

Data kualitatif yang diperoleh melalui wawancara dan studi literatur diolah menjadi data kuantitatif dengan cara tabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif diolah dengan cara sebagai berikut :

1. Partisipasi pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh a) Partisispasi tahap perencanaan Program Pohon Asuh

Tingkat partisipasi atau keikutsertaan pengasuh pohon dalam tahap kegiatan perencanaan pohon asuh dapat dilihat dari keterlibatan mereka di dalam : (1) Penandatanganan kontrak kerja sebagai pengasuh pohon dengan pihak Perhutani dan KAHMI; (2) Penentuan jenis tanaman; (3) Pembuatan papan nama pohon (tree tag); (4) Mengikuti kegiatan LMDH; (5) Melakukan diskusi dengan Perhutani dan KAHMI.

Keterlibatan atau keikutsertaan masyarakat sebagai pengasuh pohon dalam tahap perencanaan ini dapat dijadikan dasar dalam kriteria pemberian nilai (score), dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pemberian skor partisipasi pengasuh pohon dalam pemeliharaan pohon asuh tahap perencanaan

No ( 1 )

Intensitas Keikutsertaan ( 2 )

Skor ( 3)

1 Tidak terlibat 0

2 Terlibat 1 kegiatan 1

3 Terlibat 2 kegiatan 2

4 Terlibat 3 kegiatan 3

5 Terlibat 4 kegiatan 4

(23)

  Indeks skor dari kegiatan-kegiatan tahap perencanaan di atas memiliki nilai 1 sehingga dapat dicapai oleh responden besaran nilai yang berkisar antara 0 sampai dengan 5. Pemberian kategori tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam pemeliharaan pohon asuh dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kategori tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam pemeliharaan pohon asuh tahap perencanaan

b) Partisipasi tahap pelaksanaan Program Pohon Asuh

Tingkat partisipasi atau keikutsertaan pengasuh pohon dalam tahap pelaksanaan dapat dilihat pada proses pemeliharaan pohon. Pemeliharaan pohon asuh dapat dilihat dari aspek keterlibatan mereka di dalam : (1) penanaman; 2) penyulaman; (3) penyiangan; (4) pendangiran; (5) pemupukan; (6) pemberantasan hama dan penyakit; (7) babat bersih jalur antar tanaman dan (8) pengairan atau penyiraman.

Kategori pemberian nilai (score) berdasarkan jumlah keterlibatan dan keikutsertaan pengasuh pohon dalam pelaksanaan pengelolaan hutan melalui program pohon asuh ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Pemberian skor partisipasi pengasuh pohon dalam pemeliharaan pohon asuh tahap pelaksanaan

(24)

  Indeks skor yang dapat diraih responden dari kegiatan-kegiatan pemeliharaan pohon asuh memiliki nilai 1 sehingga dapat dicapai oleh responden besaran nilai yang berkisar antara 0 sampai dengan 8. Pemberian kategori tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam pemeliharaan pohon asuh dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Kategori tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam pemeliharaan pohon asuh tahap pelaksanaan

No

c) Partisipasi dalam Program Pohon Asuh

Tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh ini dapat dilihat dari keterlibatan dan keikutsertaannya baik itu pada tahap perencanaan maupun pada tahap pelaksanaan Program Pohon Asuh. Oleh karena itu indeks skor partisipasi masyarakat sekitar hutan sebagai pengasuh pohon dalam Program Pohon Asuh ini diperoleh dengan cara mengakumulasikan indeks skor pada tahap perencanaan dan tahap pelaksanaan. Indeks skor pada tahap perencanaan berkisar antara 0 – 5, sedangkan Indeks skor pada tahap pelaksanaan berkisar antara 0 – 8. Sehingga besar skor tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam program Pohon Asuh berkisar antara 0 – 13. Kategori tingkat partisipasi pengasuh pohon dalam program Pohon Asuh dapat dilihat pada Tabel 6.

(25)

  2. Keberhasilan tanaman dalam Program pohon asuh

Penilaian tingkat keberhasilan fisik tanamanan pohon asuh dilakukan pada persentase tumbuh/jadi tanaman dan kesehatan tanaman.

a) Persentase tumbuh/jadi tanaman.

Pengukuran persentase tanaman tumbuh/jadi dapat dilakukan dengan cara mengamati semua pohon asuh secara langsung di lapangan. Dimana pohon asuh yang diamati adalah pohon yang dipelihara dan dirawat oleh pengasuh pohon yang menjadi responden. Persentase jadi tanaman dihitung dengan cara:

Persentase tanaman jadi/tumbuh = / x 100%

Tabel 7 Kelas persentase tumbuh/jadi tanaman dalam program pohon asuh No

b) Kesehatan tanaman.

Tanaman pohon asuh yang diteliti terutama yang mengalami kerusakan, kemudian dicatat kondisi fisiknya ke dalam tabel pengamatan. Pohon yang sehat juga dihitung jumlahnya dan dimasukan ke dalam tabel pengamatan. Sedangkan untuk membedakan antara pohon yang sehat dan sakit adalah dengan cara melihat adanya tipe kerusakan yang terdapat pada pohon. Persentase tanaman sehat dapat dihitung dengan cara :

Persentase tanaman sehat = x 100%

Tabel 8 Kelas persentase tanaman sehat dalam program pohon asuh No

(1)

(26)

  3.8Metode Analisis Data

Tahap ini dilakukan setelah pengumpulan data di lapangan. Kuisioner yang telah terjawab dikelompokan berdasarkan karakteristik dari responden.

3.8.1 Analisis Korelasi Rank Spearman

Metoda Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan menggunakan uji statistik. Data yang diperoleh diolah melalui tahap editing, scoring, coding, dan entri data ke komputer. Uji statistik digunakan untuk menguji hubungan tingkat partisipasi pengasuh pohon dengan karakteristik pengasuh pohon. Untuk melakukan uji statistik tersebut dilakukan dengan analisis Rank Correlation Spearman (rs), yang dapat menguji keeratan hubungan antar

variabel yang diukur dengan menggunakan software SPSS 16.0 FOR WINDOWS. Seperti yang dikemukakan oleh Sarwono (2006) bahwa korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada dan tidaknya hubungan antara dua variabel, yaitu variabel bebas dan variabel tergantung yang berskala ordinal (non-parametrik). Variabel independen (bebas) penelitian ini adalah variabel umur, pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, pekerjaan utama, pekerjaan sampingan, pendapatan, luas lahan, jarak tempuh dan keberhasilan fisik tanaman. Sedangkan variabel dependen (tergantung) dalam penelitian ini menggunakan variabel tingkat partisipasi pengasuh pohon. Menurut Irianto (2008), Spearman Correlation tidak memperhatikan sifat hubungan linear antara kedua variabel yang akan dicari korelasinya. Adapun persamaan Rank Correlation Spearman (rs)

yang digunakan menurut (Irianto 2008) adalah sebagai berikut :

r

s(rho)= 1

∑ ²

Keterangan :

rs (rho)= korelasi Rank Spearman

(27)

  Koefisien Rank Correlation Spearman (rs) ini berlaku untuk data dalam bentuk

peringkat. Datanya mungkin telah dikumpulkan dalam bentuk peringkat atau mungkin baru ditentukan peringkatnya kemudian (Steel dan Torrie 1980).

Sarwono (2006) menyatakan bahwa nilai Rank Correlation Spearman (rs)

dapat menghasilkan angka positif (+) atau negatif (–). Tanda positif (+) menyatakan hubungan peringkat antara kedua variabel bersifat searah. Searah mempunyai makna jika variabel bebas besar maka variabel tergantungnya juga besar. Sebaliknya apabila tandanya negatif (–) menyatakan hubungan peringkat antar kedua variabelnya berlawanan atau bertolak belakang (bersifat tidak searah). Tidak searah mempunyai makna jika variabel bebas besar maka variabel tergantungnya menjadi kecil. Angka korelasi berkisar antara 0 sampai dengan 1. Besar kecilnya angka korelasi menentukan kuat atau lemahnya kedua variabel. Patokan angkanya adalah sebagai berikut :

0,00 – 0,25 : korelasi sangat lemah (dianggap tidak ada) 0,26 – 0,50 : korelasi cukup

0,51 – 0,75 : korelasi kuat 0,76 – 1,00 : korelasi sangat kuat

Uji Signifikansi Hasil Korelasi

Menurut Priyatno (2009), signifikansi hubungan antara dua variabel dapat dianalisis dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Hipotesis

H0 : Hubungan antara dua variabel tidak signifikan

H1 : Hubungan antara dua variabel signifikan

2. Patokan pengambilan keputusan

Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak

Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima

3. Keputusan

Keputusan diambil berdasarkan angka probabilitas yang diperoleh berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas.

(28)

  Keputusan Uji Hipotesis

Sarwono (2006) mengemukakan bahwa untuk menentukan keputusan perlu dilakukan uji hipotesis dengan ketentuan sebagai berikut :

1. Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat

H1 : Ada hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat

2. Uji Hipotesis

Jika probabilitas < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima

Jika probabilitas > 0,05, maka H0 diterima dan H1 ditolak

3. Keputusan

Keputusan diambil berdasarkan angka probabilitas yang diperoleh berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas.

Untuk mengetahui besarnya sumbangan atau peranan variabel bebas terhadap variabel tergantung menurut Sarwono (2006), dapat dihitung dengan rumus koefisien determinasi sebagai berikut :

KD = rs2 x 100%

 

Keterangan :

KD = koefisien determinasi rs = korelasi Rank Spearman

(29)

  BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

 

4.1Kondisi Umum Gunung Hambalang 4.1.1 Sejarah Gunung Hambalang

Gunung Hambalang merupakan salah satu hutan peninggalan Belanda yang berupa plat dan kelompok hutan yang terdiri dari kelompok hutan Hambalang Barat dan kelompok hutan Hambalang Timur. Nama Hambalang ini diberikan karena nama tersebut dinggap mudah untuk diingat banyak orang. Pada awalnya kelompok hutan ini hanya berfungsi untuk mempermudah administratif suatu wilayah karena Gunung Hambalang ini memisahkan dua wilayah yang berbeda. Namun sejak kelompok hutan Hambalang tersebut telah resmi menjadi binaan Perum Perhutani pada tahun 1973, maka fungsi hutan tersebut berubah menjadi kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Kelompok hutan yang menjadi lokasi penanaman program Pohon Asuh dan Pohon Adopsi saat ini adalah kelompok hutan Hambalang Barat (Dephut 2006).

4.1.2 Letak dan Luas Gunung Hambalang

Lokasi program Pohon Asuh dan Pohon Adopsi ini terletak di Petak 1, Kelompok Hutan Hambalang Barat, Bagian Hutan Mega Mendung, RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor dengan wilayah administratif termasuk Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Kawasan ini merupakan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Luas Gunung Hambalang sekitar 200 ha sedangkan luas lokasi program Pohon Asuh adalah 9, 80 ha (Dephut 2006).

Adapun batas-batas Gunung Hambalang yang menjadi lokasi program Pohon Asuh dan Pohon Adopsi adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Ex Perkebunan PT. Hambalang

Sebelah Timur : Petak 2 Kawasan Hutan RPH Babakan Madang, BKPH Bogor, KPH Bogor

(30)

  4.1.3 Kondisi Fisik Gunung Hambalang

Sebelum dijadikan lokasi program Pohon Asuh dan Pohon Adopsi, Gunung Hambalang ini merupakan tegakan hutan yang bergerombol dengan jenis-jenis pohon yang ada adalah mahoni, pinus, kaya, antoteka, picung, nangka, durian dan lain sebagainya. Sebagian areal ditanami jenis tanaman palawija oleh masyarakat sekitar yang umumnya berupa singkong, pisang, pandan wangi dan sereh wangi. Penggarapan lahan hutan oleh masyarakat sekitar selama ini dalam pembinaan KPH Bogor, karena mayoritas masyarakat adalah petani dengan tingkat pendapatan yang rendah.

Topografi Gunung Hambalang bervariasi mulai dari datar sampai agak curam, terletak pada ketinggian sekitar 520 sampai 590 mdpl. Iklim di wilayah ini termasuk type A (Schmidt and Fergusson) dengan curah hujan rata-rata mencapai 1.200 mm/tahun, dimana curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Februari dan terendah pada bulan Agustus. Suhu rata-rata daerah ini yaitu 20ºC-32ºC. Jenis tanah di kawasan ini adalah asosiasi latosol coklat dengan batuan induk adalah batuan endapan dan vulkan. Struktur tanah sarang dan sedikit berbatu. Struktur tanah sarang merupakan tanah yang gembur dan memiliki agregat yang cukup besar, memiliki mikropori dan makropori yang seimbang. Kedalaman humus agak dalam dengan fisiografi tanah vulkan dan batu lipatan (Dephut 2006).

4.1.4 Aksesibilitas

(31)

  4.1.5 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Desa yang berbatasan langsung dan masyarakatnya banyak berinteraksi dengan lokasi program pohon asuh adalah Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor terutama masyarakat Dusun Sukamantri RT 1 sampai RT 3 RW 13. Masyarakat Desa Karang Tengah telah cukup lama menggarap kawasan hutan ini yaitu sejak sekitar tahun 1975. Penggarapan kawasan hutan oleh masyarakat sekitar semakin meningkat dengan terjadinya penjualan besar-besaran tanah milik kepada pengembang (developer), sehingga kepemilikan tanah di desa tersebut rata-rata ± 0,03 ha/KK. Penggarapan lahan kawasan hutan ini menyebabkan degradasi lahan. Keterbatasan petani akan pengetahuan dan modal dalam budidaya jenis tanaman semusim menyebabkan petani menanami lahan hutan hanya dengan jenis tanaman singkong dan pisang, sehingga menyebabkan tanah di kawasan hutan tersebut semakin miskin akan unsur hara. Menurut data dan informasi dari Perhutani KPH Bogor, para penggarap di petak 1 tersebut berasal dari kampung Sukamantri, Babakan, Lewigoong dan Gelewer (Dephut 2006).

4.2Kondisi Umum Desa Penelitian 4.2.1Letak dan Luas Desa Penelitian

Berdasatkan Data Monografi Desa Karang Tengah tahun 2011, desa ini terletak di wilayah selatan Kecamatan Citeureup dengan luas wilayah sebesar 2.894 ha. Dilihat dari pembagian wilayah administratifnya Desa Karang Tengah ini terdiri dari 3 dusun, 15 RW dan 56 RT dan terbagi menjadi beberapa kampung yaitu : Wangun I, Wangun II, Wangunlandeuh, Leuwigoong, Sukamantri, Cigobang, Cimandala, Depok, Gelewer dan Babakan. Adapun mengenai batas wilayah Desa Karang Tengah adalah sebagai berikut :

Sebelah Utara : Desa Hambalang, Kecamatan Citeureup Sebelah Timur : Desa Cibadak, Kecamatan Sukamakmur

Sebelah Selatan : Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Madang Sebelah Barat : Desa Sumur Batu, Kecamatan Babakan Madang

(32)

 

Gambar 3 Peta desa lokasi penelitian.

4.2.2Kondisi Fisik Desa Penelitian

(33)

  4.2.3Aksesibilitas dan Sarana Prasarana Desa Penelitian

Jalan untuk menuju Desa Karang Tengah pada umumnya sudah dilakukan pengaspalan. Jarak desa lokasi penelitian ini cukup strategis. Jarak dengan ibukota negara RI Jakarta relatif dekat dan mudah untuk dijangkau yaitu sekitar 60 Km, dapat ditempuh melalui jalan tol Jagorawi keluar dari pintu tol Sentul Selatan. Jarak Desa Karang Tengah denga ibukota Propinsi Jawa Barat adalah ± 175 Km, sementara dengan ibukota pemerintah Kabupaten Bogor berjarak ± 25 Km. Sarana transportasi umum yang dapat dipergunakan oleh penduduk Desa Karang Tengah untuk menghubungkan masing-masing desa dengan ibukota kecamatan adalah angkot, ojek dan sepeda, dengan jumlah angkot 60 buah, ojek 505 buah dan sepeda 306 buah. Desa Karang Tengah memiliki satu kantor kepala desa dengan luas bangunan sebesar 350 meter yang telah dibangun sejak tahun 2007 (Desa Karang Tengah 2011). Untuk lebih jelasnya mengenai sarana dan prasarana yang dimiliki Desa Karang Tengah dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Sarana dan prasarana yang terdapat di desa lokasi penelitian No 2. Sarana Pemerintahan :

(34)

  Sumber : Data Monografi Desa Karang Tengah (2011)

4.2.4Tata Guna Lahan Desa Penelitian

Tata guna lahan di Desa Karang Tengah terdiri dari tanah sawah, tanah kering dan tanah basah. Tata guna lahan secara rinci disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Tata guna lahan di Desa Karang Tengah No.

(1)

Tata Guna Lahan (2)

Luasan (Ha) (3)

1. Tanah Sawah

a. Irigasi Teknis

b. Irigasi Setengah Teknis c. Irigasi Sederhana

d. Tadah Hujan/Sawah Rendengan

240

a. Pekarangan/Bangunan b. Tegalan/Kebun

c. Ladang/Tanah Huma

10,5 11,5 12,6

3. Tanah Basah

a. Balong/Empang/Kolam 2,5

(35)

  4.2.5Kondisi Sosial Ekonomi Desa Penelitian

Kependudukan/Demografi

Jumlah penduduk yang berada di Desa Karang Tengah dapat dilihat pada Tabel 11 yang dapat menggambarkan sumberdaya manusia yang tersedia dan perbandingan antara penduduk laki-laki dan perempuan. Sedangkan sumberdaya yang produktif dapat digambarkan dari struktur umur penduduk yang dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 11 Data kependudukan berdasarkan jenis kelamin No

(1)

Jenis Kelamin

(2)

Jumlah Penduduk (orang)

Sumber : Data Monografi Desa Karang Tengah (2011)

Struktur umur penduduk berkaitan dengan angkatan kerja yang sebagian besar berasal dari golongan produktif, yaitu usia 15 – 60 tahun. Dengan demikian, potensi angkatan kerja dapat dideteksi melalui jumlah pendududuk usia produktif. Secara umum seluruh lokasi penelitian memiliki sumberdaya/angkatan kerja yang potensial, hal ini dapat dilihat dari cukup besarnya jumlah kelompok umur 19 – 55 tahun yang termasuk ke dalam usia produktif.

Tabel 12 Struktur umur penduduk di Desa Karang Tengah No

(1)

Struktur Umur (tahun) (2)

(36)

 

Gambar 4 Persentase struktur umur penduduk Desa Karang Tengah.

Penduduk Desa Karang Tengah pada umumnya beragama Islam dimana pengaruh tokoh agama (ajengan) terhadap masyarakat cukup tinggi. Selain agama Islam terdapat pula penganut agama Kristen Protestan dan Kristen Khatolik. Jumlah penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada Tabel 13 di bawah ini.

Tabel 13 Jumlah penduduk berdasarkan agama No

(1)

Agama (2)

Jumlah Penduduk (jiwa) (3)

Sumber : Data Monografi Desa Karang Tengah (2011)

Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk di Desa Karang Tengah pada umumnya dapat dikatakan rendah. Hal ini dapat dilihat mayoritas penduduknya sebesar 39,57 % hanya dapat menempuh pendidikan sampai jenjang Sekolah Dasar (SD) bahkan masih terdapatnya penduduk yang buta huruf. Tingkat pendidikan yang relatif rendah ini disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, diantaranya letak desa yang relatif jauh dari pusat kota, kurangnya pemahaman akan pentingnya pendidikan serta tingkat pendapatan yang rendah. Tingkat pendidikan di desa lokasi penelitian disajikan pada Tabel 14.

(37)

  Tabel 14 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan

No (1)

Pendidikan/Tamat (2)

Jumlah Penduduk (jiwa) (3)

1. Belum Sekolah 1.011 2. Tidak Tamat Sekolah 1.061 3. SD/Sederajat 2.554 4. SLTP/Sederajat 1.226 5. SLTA/Sederajat 500 6. Akademi/Sederajat 51 7. Buta Huruf 51

Total 6.454 Sumber : Data Monografi Desa Karang Tengah (2011)

Gambar 5 Persentase jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan.

Mata Pencaharian

Berdasarkan Data Monografi Desa Karang Tengah (2011), kondisi geografis di lokasi penelitian dapat mempengaruhi mata pencaharian penduduknya. Kondisi alam Desa Karang Tengah yang berbukit dan memiliki tanah yang subur memungkinkan usaha pada sektor pertanian. Keadaan alam seperti ini berbanding lurus dengan mata pencaharian penduduk yang sebagian besar adalah sebagai petani, baik petani sawah maupun petani ladang. Jenis produksi pertanian yang dominan dari Desa Karang Tengah adalah pisang dan singkong, sehingga terdapat pula industri kecil pengolahan tepung singkong. Selain itu ada pula buruh tani atau petani

16%

Tidak Tamat Sekolah

SD/Sederajat

SLTP/Sederajat

SLTA/Sederajat

Akademi/Sederajat

(38)

  yang mempunyai pekerjaan lainnya disamping kegiatan bertaninya seperti mengojek atau beternak. Penduduk yang beternak umumnya memelihara ternak seperti kerbau, ayam dan kambing. Jenis mata pencaharian lainnya yang banyak dilakukan penduduk Desa Karang Tengah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari yaitu sebagai Pedagang. Hanya sebagian kecil dari penduduknya yang bekerja sebagai pegawai negeri, guru, TNI maupun POLRI. Desa Karang Tengah ini juga memiliki Home Industri sebanyak 6 buah sehingga dapat menyerap tenaga kerja. Pada Tabel 15 akan dijelaskan secara rinci mengenai jenis mata pencaharian lainnya di Desa Karang Tengah.

Tabel 15 Mata pencaharian penduduk di Desa Karang Tengah No

(1)

Jenis Pekerjaan (2)

Jumlah Penduduk (jiwa) (3) Sumber : Data Monografi Desa Karang Tengah 2011

(39)

  BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Umur

Umur seseorang merupakan salah satu karakteristik internal individu yang ikut mempengaruhi fungsi biologis dan psikologis individu tersebut. Menurut Kammaluddin (1994) umur individu digolongkan kedalam tiga golongan usia kerja produktif, yaitu : (1) usia tidak produktif, yaitu umur < 25 tahun dan > 65 tahun, (2) usia produktif, yaitu umur > 45 tahun sampai dengan umur 65 tahun, dan (3) usia sangat produktif, yaitu umur 25 tahun sampai dengan 45 tahun. Pengasuh pohon dalam program pohon asuh ini rata-rata berumur 43 tahun. Pada kisaran umur seperti ini, responden termasuk golongan usia sangat produktif dan potensial dalam bekerja, mereka biasa melakukan kegiatan bertani dan berladang, berdagang setiap hari, menjadi buruh ataupun pegawai negeri.

Sebagian besar responden di Desa Karang Tengah berada pada rentang umur 41 - 50 tahun yaitu sebanyak 8 orang atau sebesar 42,11% dan termasuk dalam kategori usia sangat produktif. Semakin besar persentase usia responden dalam kategori sangat produktif, akan semakin besar potensi dan peluang mengembangkan usaha, karena pada usia ini seseorang berada dalam kondisi yang dinamis. Sementara pada rentang umur ≤ 30 tahun sebanyak 2 orang yaitu 10,53%. Responden dengan rentang umur 31 – 40 tahun dan 51 – 60 tahun memiliki jumlah berturut - turut sebanyak 5 orang dan 4 orang dengan persentase 26,31% dan 21,05 %. Sebaran umur pengasuh pohon dalan program Pohon Asuh dijelaskan di bawah ini pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran umur responden

No Umur (Thn)

Blok SR Blok A Blok B Blok C Blok AD N

total % (3) (4) (5) (6) (7)

(1) (2) N N N N N (8) (9) 1 ≤ 30 0 0 1 1 0 2 10,53 2 31-40 2 1 1 1 0 5 26,32 3 41-50 1 5 1 0 1 8 42,11 4 51-60 1 0 1 1 1 4 21,05 5 ≥ 61 0 0 0 0 0 0 0,00

(40)

 

Gambar 7 Umur pengasuh pohon antar blok pohon asuh.

Pengasuh pohon yang menjadi responden dalam penelitian ini berumur minimal 18 tahun dan maksimal 60 tahun, sehingga untuk rentang umur ≥ 61 tahun persentasenya adalah 0,00%. Hal ini dikarenakan pada umur ≥ 61 tahun penduduk sudah kurang produktif artinya sudah tidak bisa bekerja lagi sehingga mereka lebih mempercayakan kepada anak-anaknya untuk bekerja atau mengolah lahan.

5.1.2 Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu modal dasar yang diharapkan dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia serta peningkatan kualitas SDM. Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting diperhatikan dalam melakukan suatu kegiatan, karena pendidikan dapat membentuk pola pikir, pandangan dan sikap masyarakat yang positif akan usaha rehabilitasi kondisi daerah yang kritis, dalam hal ini melalui program Pohon Asuh. Tingkat pendidikan ini tentunya sangat berpengaruh dalam hal penyerapan informasi dan tingkat pengetahuan serta yang terpenting adalah kesadaran responden akan kegiatan Pohon Asuh ini. Kebutuhan pendidikan merupakan suatu hal yang diperlukan pertimbangan cukup matang bagi setiap keluarga petani. Pendidikan yang dijalani akan sesuai dengan pendapatan yang diperoleh petani. Tingkat pendidikan sebagian besar responden yang masih rendah merupakan salah satu hal

(41)

  penting yang harus diperhatikan oleh instansi terkait dalam menentukan kebijakan program rehabilitasi hutan kedepannya.

Pada umumnya tingkat pendidikan formal pengasuh pohon dalam program Pohon Asuh ini masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari adanya responden yang sama sekali tidak pernah mengenyang bangku sekolah. Pendidikan tertinggi responden yaitu tingkat SMA. Sebagian besar responden hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD yaitu sebanyak 16 orang atau sebesar 84,21%. Sementara untuk responden yang menyelesaikan pendidikannya hingga tingkat SMP sebanyak 1 orang dan tingkat SMA sebanyak 1 orang dengan presentase masing-masing sebesar 5,26%. Responden yang tidak pernah bersekolah sebanyak 1 orang atau 5,26 %. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendidikan pengasuh pohon dalam program Pohon Asuh ini dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17 Tingkat pendidikan responden

No Pendidikan Blok SR Blok A Blok B Blok C Blok AD N

Persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 8 Tingkat pendidikan pengasuh pohon perblok.

0

Tidak Sekolah SD SMP SMA

(42)

  Tingkat pendidikan formal seseorang berpengaruh besar terhadap kapasitas belajarnya, karena ada kegiatan tertentu yang memerlukan tingkat pengetahuan tertentu agar ia dapat memahaminya. Rendahnya tingkat pendidikan responden di daerah penelitian disebabkan beberapa faktor, antara lain karena aksesibilitas yang rendah, kondisi perekonomian responden yang umumnya berpenghasilan rendah, masih kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan serta kurangnya dukungan dan motivasi dari orang tua terhadap anak-anaknya.

5.1.3 Mata Pencaharian Utama

Mata pencaharian utama sebagai pekerjaan yang menjadi pokok penghidupan masyarakat (sumbu atau pokok), yang dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kesempatan untuk memperoleh suatu pekerjaan dan kemampuan untuk memanfaatkan potensi diri yang dimiliki seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Selain itu penguasaan teknologi dan penerapannya pada berbagai kegiatan sehari-hari juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Saat ini penerapan teknologi pada berbagai kegiatan pertanian secara tidak langsung akan meningkatkan efisiensi pengolahan (memperkecil biaya pengolahan) dan dapat membantu meningkatkan pendapatan masyarakat.

(43)

  Tabel 18 Karakteristik mata pencaharian utama responden

No Pekerjaan Blok SR Blok A Blok B Blok C Blok AD N

Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa sebagian besar mata pencaharian utama responden adalah sebagai petani, baik sebagai petani ladang, sawah maupun petani hutan dengan jumlah sebanyak 9 orang atau 47,37%. Rata-rata lamanya pekerjaan tersebut telah mereka lakukan selama 26 tahun, responden telah melakukan kegiatan bertani sejak usia masih kecil untuk membantu pekerjaan orang tuanya sehingga responden memiliki banyak pengalaman pekerjaan dalam hal bertani. Selain tersedianya potensi lahan yang baik untuk bertani, responden lebih banyak memilih pekerjaan ini karena untuk bertani tidak memerlukan modal besar dan hasil dari kegiatan bertani ladang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari sehingga tidak perlu membeli. Meskipun hasil yang diperoleh dari bertani ini relatif masih kecil dibandingkan dengan pekerjaan lainnya.

Gambar 9 Mata pencaharian utama pengasuh pohon perblok. 25

Buruh Tani Petani Penyadap  Pinus

Mata Pencaharian Utama

Blok SR

Blok A

Blok B

Blok C

(44)

  Selain petani, mata pencaharian utama lain yang banyak dilakukan oleh responden adalah sebagai pedagang yaitu sebanyak 6 orang dengan presentase 31,58%. Di Desa Karang Tengah peluang untuk menjadi seorang pedagang cukup besar karena meskipun desa ini dekat dengan kota Bogor dan ibukota Jakarta, akan tetapi tempat-tempat untuk berbelanja kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder masyarakat masih jarang serta sebagian besar masyarakat tidak memiliki alat transportasi, hal ini menyebabkan akses masyarakat untuk berbelanja ke pasar lebih sulit. Sehingga baru-baru ini, sebagian dari responden banyak yang lebih memilih untuk menjadi pedagang keliling di Desa Karang Tengah. Responden yang menjadi pedagang rata-rata masih berusia muda, yaitu 39 tahun dan pengalaman mereka dalam berdagang masih dikatakan relatif baru yaitu 5 tahun.

Jenis mata pencaharian utama lainnya yang dilakukan responden untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah penyadap pinus, buruh tani, kuli dan karyawan Perhutani yang masing-masing sebanyak 1 orang atau 5,26% dari total responden. Pekerjaan utama responden yang relatif lebih baik adalah pegawai perhutani, akan tetapi dalam proses pemeliharaan pohon asuh di lapangan pegawai perhutani tersebut menggunakan jasa buruh tani.

5.1.4 Mata Pencaharian Sampingan

Mata pencaharian sampingan dilakukan apabila pendapatan dari mata pencaharian utama tidak mencukupi. Artinya kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh tambahan pendapatan sehingga kebutuhan untuk hidup sehari-hari dapat terpenuhi. Selain untuk menambah pendapatan, mata pencaharian sampingan juga dilakukan manakala tersedianya waktu luang di luar mata pencaharian utama. Sehingga untuk memanfaatkan waktu luang tersebut supaya epektif maka dilakukanlah pekerjaan-pekerjaan lain yang sifatnya hanya sebagai pelengkap.

(45)

  karakteristik mata pencaharian sampingan di Desa Karang Tengah dapat dilihat pada Tabel 19.

Tabel 19 Karakteristik mata pencaharian sampingan responden

No Pekerjaan Blok SR Blok A Blok B Blok C Blok AD N

Sebagian besar mata pencaharian sampingan responden adalah petani yaitu sebanyak 7 orang dengan presentase 36,84% dengan rata-rata lamanya bekerja adalah 11 tahun. Responden yang memiliki mata pencaharian utama di luar sektor pertanian memanfaatkan waktu luangnya untuk menggarap lahan yang dimilikinya sehingga mata pencaharian sampingan mereka sebagian besar adalah sebagai petani. Mata pencaharian sampingan lainnya yaitu buruh listrik, tukang ojek, kuli, peternak dan pedagang. Sebagian responden ada yang tidak memiliki mata pencaharian sampingan yaitu sebanyak 3 orang atau 15,79%. Hal ini disebabkan waktu responden habis untuk menggarap lahan pertanian serta pendapatan dari mata pencaharian utama sudah melebihi cukup untuk keperluan sehari-hari dan pendidikan keluarga.

25 25 25

Buruh Listrik Tukang Ojek Petani Kuli Pedagang Peternak Tidak Ada

Persentase

Mata Pencaharian Sampingan

Blok SR

Blok A

Blok B

Blok C

Blok AD

(46)

  Selain responden memiliki mata pencaharian sampingan, adanya anggota keluarga lain atau istri yang bekerja dan membantu responden bekerja di lahan juga akan menambah pendapatan dan mengepektifkan waktu kerja.

5.1.5 Jumlah Tanggungan Keluarga

Jumlah tanggungan keluarga merupakan banyaknya anggota keluarga yang secara ekonomi (biaya hidup, biaya pendidikan dan keperluan sehari-harinya) masih dibebankan kepada kepala keluarga. Jumlah tanggungan keluarga ini akan mempengaruhi pendapatan dan tingkat produksi dalam bekerja. Jumlah tanggungan keluarga berbanding lurus dengan pendapatan artinya semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka pendapatan pun harus semakin meningkat.

Jumlah Tanggungan Keluarga (JTK) responden di lokasi penelitian paling banyak adalah 9 orang, sementara jumlah tanggungan keluarga paling sedikit adalah 1 orang. Sebagian besar responden memiliki JTK dengan kisaran 6 sampai dengan 8 orang yaitu sebanyak 14 orang dengan presentase 73,68%. Responden yang memiliki JTK 0 sampai dengan 2 orang yaitu sebanyak 1 orang atau 5,26%. Sedangkan responden yang memiliki JTK 9 sampai dengan 11 orang yaitu sebanyak 2 orang atau 10,53%. Sementara itu, responden yang memiliki JTK 3 sampai dengan 5 orang sebanyak 2 orang dengan persentase 10,53%. Untuk lebih jelasnya jumlah tanggungan keluarga responen dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20 Jumlah tanggungan keluarga responden

No JTK Blok SR Blok A Blok B Blok C Blok AD N

total % (orang) (3) (4) (5) (6) (7)

(1) (2) N N N N N (8) (9) 1 0 - 2 0 0 0 1 0 1 5,26 2 3 - 5 0 1 1 0 0 2 10,53 3 6 - 8 4 4 2 2 2 14 73,68 4 9 - 11 0 1 1 0 0 2 10,53

Total 4 6 4 3 2 19 100

(47)

  keras untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya. Namun selain menjadi beban ekonomi, jumlah anggota keluarga yang banyak dapat pula menjadi modal tenaga kerja dalam meningkatkan pendapatan keluarga yaitu dengan cara memberdayakan anggota keluarganya untuk menggarap lahan.

Gambar 11 Jumlah tanggungan keluarga pengasuh pohon perblok.

5.1.6 Pendapatan

Bertani merupakan mata pencaharian utama bagi sebagian besar responden di lokasi penelitian, akan tetapi pekerjaan ini masih belum dapat meningkatkan pendapatan petani dari masa ke masa. Karena sektor pertanian masih bersifat subsisten artinya suatu sistem bertani dimana tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari petani dan keluarga saja, bukan bersifat komersil (mencari keuntungan).

Tingkat pendapatan ini dilihat dari besarnya pendapatan yang diterima oleh responden dari mata pencaharian utama, karena untuk pendapatan dari mata pencaharian sampingan besarnya tidak menentu setiap bulan. Pendapatan minimal responden di lokasi penelitian adalah sebesar Rp. 42.000,00 perbulannya dengan mata pencaharian utama sebagai petani, sedangkan pendapatan responden yang paling tinggi adalah sebesar Rp. 2.000.000,00/bulan bermata pencaharian utama sebagai Pedagang. Sebagian besar tingkat pendapatan responden masih berkisar antara Rp. 300.001,00 sampai dengan Rp. 600.000,00 dan sebagian besar bermata

0 0

Jumlah Tanggungan Keluarga

Blok SR

Blok A

Blok B

Blok C

(48)

  pencaharian utama sebagai petani yaitu sebanyak 8 orang atau 42,11%. Tingkat pendapatan ini masih berada di bawah upah minimum regional (UMR) Kabupaten Bogor tahun 2010 yaitu sebesar Rp. 1.056.914,00. Sementara itu, tingkat pendapatan responden yang lebih dari Rp. 1.500.000,00 yaitu sebanyak 2 orang dengan presentase 10,53%. Tingkat pendapatan responden yang berada di atas UMR kabupaten Bogor tahun 2010 rata-rata bermata pencaharian utama sebagai pedagang, pegawai dan petani yang menggarap lahan dengan luasan lebih dari 20 Ha. Tingkat pendapatan responden yang kurang dari atau sama dengan Rp 300.000,00 sebanyak 3 orang, sama halnya dengan banyaknya responden yang memperoleh pendapatan antara Rp 600.001,00 sampai dengan Rp 900.000,00 dan antara Rp.1.200.001,00 sampai denganRp 1.500.000,00 dengan persentase masing–masing sebesar 15,79%. Untuk lebih jelasnya, tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Tabel 21 dan persentase tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 12.

Tabel 21 Tingkat pendapatan responden

No Pendapatan per bulan (Rupiah)

Blok SR Blok A Blok B Blok C Blok AD N

total % (3) (4) (5) (6) (7)

(1) (2) N N N N N (8) (9)

1 ≤ 300.000 1 1 1 0 0 3 15,79 2 300.001-600.000 1 2 2 1 2 8 42,11 3 600.001-900.000 1 1 0 1 0 3 15,79 4 900.001-1.200.00 0 0 0 0 0 0 0,00 5 1.200.001-1.500.000 1 0 1 1 0 3 15,79 6 > 1.500.000 0 2 0 0 0 2 10,53

Total 4 6 4 3 2 19 100

(49)

 

Gambar 12 Tingkat pendapatan per bulan pengasuh pohon perblok.

5.1.7 Luas Lahan

Luas lahan responden terdiri dari lahan yang dimiliki sendiri (hak milik) dan lahan yang digarap oleh responden. Responden yang memiliki lahan sendiri sebanyak 89, 47%, sedangkan responden yang tidak mempunyai lahan sendiri yaitu sebanyak 2 orang atau 10,53%. Luas kepemilikan lahan terbesar responden adalah 2,134 Ha. Responden yang mempunyai lahan sendiri sebagian besar (78,85%) luas lahannya kurang dari sama dengan 0,5 Ha. Luas kepemilikan lahan responden dapat dilihat pada Tabel 22 di bawah ini.

Tabel 22 Luas kepemilikan lahan responden

No

Pendapatan per Bulan (Rupiah)

Blok SR

Blok A

Blok B

Blok C

(50)

  Berdasarkan pada tabel 20, dapat dilihat bahwa sebagian besar responden di Desa Karang Tengah memiliki lahan kurang dari 0,50 Ha yaitu 89,47% atau sebanyak 17 orang. Sedangkan 52,6 % responden memiliki lahan dengan kisaran luas 0,51 Ha - 1,00 Ha atau sebanyak 1 orang. Hanya sebagian kecil responden yang memiliki lahan lebih dari 2 Ha yaitu sebesar 52,6 %.

Selain lahan yang dimiliki sendiri (hak milik), responden juga memiliki lahan garapan yang digunakan untuk sektor pertanian. Lahan garapan ini berarti lahan milik orang lain maupun lahan milik Perhutani yang digunakan atau diolah oleh responden untuk bertani dengan pembagian hasil tani berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang bersangkutan. Luas lahan garapan responden dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23 Luas lahan garapan responden

No Luas Lahan Garapan (Ha)

Blok SR Blok A Blok B Blok C Blok AD N total % (3) (4) (5) (6) (7)

(1) (2) N % N % N % N % N % (8) (9) 1 0 - 1,00 2 50 4 66,67 2 50 2 66,67 0 0 10 52,63 2 1,01-2,00 1 25 1 16,67 1 25 1 33,33 1 50 5 26,32 3 2,01-3,00 0 0 1 16,67 0 0 0 0 0 0 1 5,26 4 3,0-4,00 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,00 5 4,01-5,00 0 0 0 0 0 0 0 0 1 50 1 5,26 6 > 5,00 1 25 0 0 1 25 0 0 0 0 2 10,53

Total 4 100 6 100 4 100 3 100 2 100 19 100

Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan, luas lahan minimum yang digarap oleh responden adalah seluas 0,005 Ha sedangkan luas lahan terbesar yang digarap yaitu seluas 27 Ha. Sebagian besar (52,63%) luas lahan yang digarap oleh responden tidaklah terlalu luas, respondenhanya menggarap lahan seluas 0 sampai dengan 1,00 Ha yaitu sebanyak 10 orang. Responden yang menggarap lahan seluas 1,01 Ha sampai dengan 2 Ha sebesar 26,32%. Hanya sebagian kecil responden yang menggarap lahan lebih dari 5 Ha yaitu sebanyak 2 orang atau 10,53 Ha.

(51)

  5.1.8 Jarak Tempuh

Aksesibilitas responden ke lahan lokasi penanaman Program Pohon Asuh ditentukan oleh jarak tempuh. Jarak tempuh adalah jarak yang dilalui pengasuh pohon dari tempat tinggal (rumah) menuju lokasi Program Pohon Asuh. Aksesibilitas responden ke lahan lokasi penanaman Program Pohon Asuh memiliki jarak tempuh yang tidak terlalu jauh, karena dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Namun yang menjadi kendala yaitu jembatan untuk menyebrangi sungai pada saat ini dalam keadaan rusak berat dan sudah tidak layak digunakan lagi untuk lalu lintas pejalan kaki. Sehingga untuk menuju lokasi lahan Pohon Asuh, responden harus turun langsung menyebrangi sungai. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.

Gambar 13 Sungai dan jembatan menuju lokasi pohon asuh.

(52)

  berasal dari Dusun Lewi Goong yang merupakan dusun kedua terdekat dari lokasi Pohon Asuh. Jarak tempuh responden ke lahan lokasi Pohon Asuh dapat dilihat pada Tabel 24.

Tabel 24 Jarak tempuh responden ke lokasi pohon asuh

No

Persentase jarak tempuh responden terhadap lokasi pohon asuh dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.

Gambar 14 Jarak tempuh pengasuh pohon perblok.

Jarak tempuh sebagian besar responden yang kurang dari 1 km ini menggambarkan bahwa lokasi penanaman Pohon Asuh cukup dekat dengan tempat tinggal pengasuh pohon, dengan demikian diharapkan tingkat produktifitas responden dalam memelihara pohon asuh dapat terjaga dengan baik.

(53)

  5.2 Pengelolaan Program Pohon Asuh

5.2.1 Pengelolaan Dana

Pada Program Pohon Asuh, ketersediaan dana merupakan faktor penting yang sangat diperlukan dalam pelaksanaannya, karena pemeliharaan tanaman asuh ini memerlukan dana yang tidak sedikit untuk jangka waktu 3 tahun. Sumber dana dalam program Pohon Asuh berasal dari para donatur yang selanjutnya disebut sebagai orang tua asuh. Para orang tua asuh masing-masing menyumbangkan dana sebesar Rp. 60.000,00/pohon untuk 3 tahun. Dana tersebut dipergunakan untuk penyediaan bibit pohon, pembuatan lubang tanam, penanaman, pembuatan dan penempelan papan nama (tree tag), serta pemeliharaan pohon asuh selama 3 tahun sejak pohon ditanam. Selain itu dana juga dialokasikan untuk upah pengasuh lapangan yang memelihara pohon asuh.

Berdasarkan hasil survey dan wawancara di lokasi penelitian, terdapat 33 orang pengasuh lapangan. Pada awalnya pembagian upah kerja pengasuh lapangan dilakukan tiga bulan sekali sebesar Rp. 120.000,00 per orangnya, sistem pembagian upah tersebut kemudian berubah yaitu dilakukan satu bulan sekali sebesar Rp. 90.000,00 per orangnya. Namun cara pembagian upah secara merata tersebut dirasakan kurang epektif dan berdampak kecemburuan sosial diantara pengasuh lapang yang rajin memelihara pohon asuh. Oleh karena itu, pada awal bulan Juni 2011 dilakukan perubahan sistem pembagian upah yaitu dengan sistem absensi pekerjaan. Upah diberikan setiap bulan sekali, besarnya upah perorang tidak sama rata karena ditentukan berdasarkan pekerjaannya. Rata-rata upah terbesar yang diterima pengasuh lapang sebesar Rp. 180.000,00/bulan namun terkadang ada juga pengasuh lapangan yang tidak memperoleh upah sama sekali karena tidak turut serta dalam pemeliharaan tanaman asuh. Secara keseluruhan, besarnya dana pemeliharaan yang diberikan kepada LMDH adalah Rp.1.500.000,00/bulan.

Gambar

Tabel 4  Pemberian  skor  partisipasi  pengasuh  pohon dalam pemeliharaan pohon    asuh tahap pelaksanaan
Tabel 5  Kategori  tingkat  partisipasi  pengasuh pohon dalam pemeliharaan pohon  asuh tahap pelaksanaan
Tabel 7  Kelas persentase tumbuh/jadi tanaman dalam program pohon asuh  No  (1)  Kelas Tumbuh/Jadi (2)  Skor (%) (3)  1  Sangat tinggi    81,00 - 100,00  2  Tinggi   61,00 - 80,00  3  Sedang   41,00 - 60,00  4  Rendah   21,00 - 40,00   5  Sangat rendah   0
Tabel 9  Sarana dan prasarana yang terdapat di desa lokasi penelitian  No  (1)  Sarana Prasarana (2)  Jumlah (3)  Keterangan (4)  1
+7

Referensi

Dokumen terkait