• Tidak ada hasil yang ditemukan

NENDEN MEITASARI E1407

DAFTAR LAMPIRAN

1.1 Latar Belakang

Sumberdaya alam berupa hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang memiliki nilai sangat strategis. Meskipun sumberdaya alam ini termasuk kategori potensi alam yang dapat diperbaharui (renewable), sebagai amanat Tuhan Yang Maha Esa, pengelolaan kekayaan alam ini harus benar-benar dilakukan secara arif, bijaksana dan profesional. Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa hutan merupakan suatu ekosistem, artinya konsep pengelolaannya harus menyeluruh yang memadukan unsur biotik dan abiotik beserta unsur lingkungan lainnya yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan secara lestari (sustainable). Sebagaimana diketahui bahwa hutan memiliki fungsi antara lain sebagai :

a) Pengatur iklim, baik mikro maupun makro b) Penata air

c) Pemenuhan kebutuhan kayu dan non kayu serta jasa/manfaat ekonomi d) Menyediakan lapangan kerja

e) Pertahanan negara

Dengan kata lain, sumberdaya hutan memiliki peranan yang sangat penting dalam menunjang pembangunan bangsa dan negara.

Hutan di dalam wilayah Republik Indonesia dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terwujud atau tidaknya misi tersebut tergantung pada : pertama, sistem pengelolaan hutan, kedua, moral dan profesionalisme para penyelenggara/pelaksananya, ketiga, faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya. Namun yang terpenting untuk mewujudkan misi tersebut adalah sistem pengelolaan hutan yang mendahulukan kepentingan masyarakat.

Secara makro bahwa pengelolaan hutan yang berkelanjutan harus dilakukan dengan pendekatan tiga prinsip kelestarian yaitu kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi dan kelestarian sosial. Ketiga prinsip kelestarian merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya.

  Pengurusan sumberdaya hutan maupun sumberdaya alam lainnya yang telah berlangsung selama ini belum memberikan peran yang maksimal kepada masyarakat, terutama bagi mereka yang berada di dalam maupun di sekitar kawasan dimana sumberdaya itu berada. Pengurusan sumberdaya hutan dan sumber-sumber daya lainnya bahkan telah cenderung memisahkan masyarakat dari alam yang selama ini telah menjadi bagian dari kehidupannya. Kondisi ini diantaranya telah mengakibatkan melemahnya sense of belonging dan public responsibility di kalangan masyarakat atas sumberdaya alam. Dari kondisi ini kemudian kita saksikan bahwa di satu sisi kontrol sosial atas keberadaan dan pengelolaan sumberdaya alam sangat lemah sehingga degradasi dan ketidakadilan pemanfaatan sumberdaya alam terus berjalan, di sisi lain masyarakat tidak mendapatkan manfaat yang optimal dari keberadaan sumberdaya alam itu sendiri. Lebih ironis dari hal itu, seringkali kita saksikan bahwa masyarakat yang secara langsung menerima dampak negatif dari kondisi pengurusan sumberdaya alam dan hutan.

Menyadari hal ini, pengurusan sumberdaya alam, tidak bisa tidak harus mengikutsertakan masyarakat sejak mulai dari awal penetapan tujuan pengurusan sumberdaya tersebut. Masyarakat yang merupakan bagian dari sumberdaya tersebut harus ikut menentukan arah pengurusan sumberdaya alam bagi kepentingan mereka maupun bagi kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1991 mengenai kehutanan dinyatakan bahwa penatagunaan hutan meliputi penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan. Dengan pengertian itu, maka sedikitnya ada dua hal pokok yang perlu menjadi perhatian dalam pelaksanaan penatagunaan hutan partisipatif. Pertama, partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam penentuan fungsi suatu kawasan hutan yang secara makro dan indikatif telah direncanakan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik sebagai kawasan hutan lindung, kawasan konservasi seperti Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dan Kawasan Suaka Alam (KSA), taman buru maupun kawasan hutan produksi. Kedua, partisipasi masyarakat dalam penatagunaan hutan diperlukan untuk mencapai kesepahaman bersama dalam menetapkan penggunaan kawasan yang telah

  disepakati fungsinya, yaitu dalam melakukan pemanfaatan, perlindungan dan konservasi suatu kawasan hutan.

Dalam pengelolaan hutan partisipatif indikator pertama dalam pelaksanaanya oleh masyarakat di lapangan adalah penanaman pohon. Program penanaman pohon seperti Reboisasi dan GN-RHL yang saat ini masih dilakukan, baik oleh pemerintah maupun gerakan swadaya masyarakat, cenderung menjadi aura seremonial belaka dan menghabiskan banyak biaya tanpa hasil signifikan. Hal itu disebabkan belum adanya manajemen perawatan dan pemeliharaan pohon yang jelas serta belum melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya secara langsung di lapangan. Pohon-pohon yang ditanam akhirnya dibiarkan tanpa pemeliharaan dan pengawasan. Tidak jarang, bibit yang ditanam hilang, rusak, atau dicabut oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Jika tidak, pohon-pohon itu mati sebelum sempat tumbuh akibat terserang penyakit.

Memelihara pohon selalu lebih sulit daripada sekedar menanam. Jika menanam ribuan pohon bisa selesai dalam setengah hari, merawatnya membutuhkan bukan hanya waktu dan perhatian lebih banyak, tetapi juga biaya lebih besar. Pada kondisi demikian, partisipasi masyarakat dan stakeholder terkait sangat diperlukan untuk memelihara dan merawat pohon yang telah ditanam. Dalam hal ini bentuk partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dapat diwujudkan dalam bentuk Program Pohon Asuh dan Pohon Adopsi.

Salah satu program yang sedang berjalan saat ini adalah Program Pohon Asuh dan Pohon Adopsi yang dilaksanakan oleh KAHMI (Korp Alumni Himpunan Mahasiswa Islam) dan Perhutani, pada lahan milik Perhutani di Gunung Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Program Pohon Asuh ini mengimplementasikan pendekatan partisipatif dalam rangka keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Dengan program ini, masyarakat dapat terlibat aktif dalam penghijauan atau penanaman pohon yaitu sebagai orang tua asuh dan pengasuh dari pohon yang akan ditanam. Pengasuh pohon akan melakukan pemeliharan pohon sampai pohon tersebut dianggap bisa tumbuh mandiri. Mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemupukan, pemberantasan hama dan gulma. Bila dalam masa 3 tahun, pohon tersebut mengalami kegagalan tumbuh atau kematian, maka pohon akan segera diganti pada musim tanam

  berikutnya. Dengan kata lain diberi jaminan selama 3 tahun bahwa pohon yang diasuh dapat hidup dan bertumbuh. Kewajiban utama orang tua asuh adalah memberikan biaya pemeliharaan pohon asuh. Biaya asuh ini sudah termasuk penyediaan bibit pohon, pembuatan lubang tanam, penanaman, pembuatan dan penempelan papan nama (tree tag), dan pemeliharaan pohon selama 3 tahun sejak pohon ditanam. Pohon yang diasuh akan tercatat atas nama orang tua asuhnya, diidentifikasi dengan nomor dalam data base yang dilengkapi peta lokasi tempat tumbuhnya. Para orang tua asuh akan menerima sertifikat untuk setiap pohon yang diasuhnya. Setiap pohon yang sudah punya orang tua asuh akan dipelihara oleh pengasuh pohon secara intensif selama 3 tahun.

Bertolak dari uraian di atas maka akan dikaji lebih lanjut mengenai sejauh mana keterlibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan melalui penelitian yang berjudul ”Tingkat Partisipasi Pengasuh Pohon dalam Program Pohon Asuh di Gunung Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Dokumen terkait