• Tidak ada hasil yang ditemukan

Egoisme istri sebagai alasan perceraian: analisis beberapa pustusan No.76/Pdt.G/2009 PA.Depok, No. 914 ?pdt.G/2009/PA. Depok, No1301/Pdt.G/2008/PA.Depok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Egoisme istri sebagai alasan perceraian: analisis beberapa pustusan No.76/Pdt.G/2009 PA.Depok, No. 914 ?pdt.G/2009/PA. Depok, No1301/Pdt.G/2008/PA.Depok"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Oleh :

PIPIH MUHAFILAH NIM : 106044101434

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A

(2)

EGOISME ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN

(Analisis Beberapa Putusan No 76/Pdt. G/2009/PA. Depok, No. 914/Pdt. G/2009/PA. Depok, No. 1301/Pdt. G/2008/PA. Depok)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Pipih Muhafilah

NIM: 106044101434

Di bawah bimbingan:

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA NIP. 19500306 197603 1 001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

(3)
(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan perempuan agar dapat

berhubungan satu sama lain, saling mengasihi dan mencintai, serta menghasilkan keturunan, juga agar hidup berdampingan secara damai dan sejahtera sesuai dengan

perintah Allah SWT dan petunjuk Rasulullah SAW. Oleh karena itu, untuk memperoleh kehormatan iman seseorang, salah satunya ialah dengan menikah.

1

Nikah adalah salah satu pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan

hidup masyarakat. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur jalan kehidupan manusia dalam berumah tangga dan menghasilkan

keturunan, tetapi juga dapat di pandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan (ta’aruf) antara satu kaum dengan kaum yang lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan satu sama lain. Pernikahan adalah suatu akad

yang menghalalkan hubungan kelamin antara seorang pria dan wanita, untuk saling membantu dan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban serta bertujuan untuk

membina rumah tangga yang tentram dan bahagia.1

1

(5)

Pernikahan atau perkawinan merupakan sunnatullah yang dengan sengaja

diciptakan oleh Allah SWT yang antara lain tujuannya untuk melakukan keturunan dan juga untuk menentramkan jiwa, mewujudkan (melestarikan) keturunan, memenuhi kebutuhan biologis, serta latihan memikul tanggung jawab.2 Firman Allah

SWT:

…..

تﺎﻳراﺬﻟا

:

49

Artinya:”…..Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah”. (Q.S:Az-zariyat;49)

Pada hakikatnya, seseorang yang melakukan aqad dalam pernikahan adalah saling berjanji serta berkomitmen untuk saling membantu, menghargai dan

menghormati satu dengan yang lainnya. Tujuan pernikahan itu tetulis pada Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi ”Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah”.3

Keluarga sakinah akan membawa terciptanya masyarakat yang baik. Keluarga yang bahagia juga akan berdampak baik bagi lingkungan masyarakat.

Untuk menciptakan keluarga yang sejahtera, tentram, dan damai diperlukan

2

M.Ali Hasan, Pedoman Hidup Rumah Tangga Dalam Islam,( Jakarta: Pernada Media,2003 ), hal.1

3

(6)

3

Selain itu juga tujuan dari pernikahan yaitu untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera, dan bahagia. Harmonis

dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhi kehidupan lahir

batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antar angggota keluarga.4

Menikah bukan hanya menyatukan dua pribadi tetapi lebih dari itu, yang

terkait dengan keluarga masing-masing pihak. Oleh karenanya sudah tidak aneh lagi jika seandainya terjadi pertengkaran-pertengkaran kecil yang mewarnai cerita rumah

tangga. Seiring berjalannya waktu dan kondisi jiwa seseorang pun akan berubah, hal ini dapat mempengaruhi hubungan keduanya. Selain latar belakang (culture) yang berbeda, sifat manusia yang dinamis (tidak tepat/berubah) akan berpengaruh pada

pembinaan ketentraman kehidupan berkeluarga, dapat diatasi atau tidaknya persoalan tersebut tergantung bagaimana dari masing-masing pihak menghadapinya.

Munculnya perubahan pandangan hidup yang berbeda antara suami istri, maka akan timbul perselisihan atau perbedaan pendapat antara keduanya,

4

(7)

berubahnya kecenderungan hati pada masing-masing pihak, memungkinkan

timbulnya krisis rumah tangga yang merubah suasana harmonis menjadi percekcokan, persesuaian menjadi pertikaian, kasih sayang menjadi kebencian.5

Islam sangat memperhatikan masalah keluarga bagi para penganutnya.

Apabila landasan keluarga itu kuat, landasan negara pun akan kuat pula. Oleh karena itu, Islam sangat tidak mengabaikan peranan pribadi antara anggota keluarga itu

demi perenungan kemanusiaan belaka. Islam memberi hak setiap anggota sesuai dengan kehidupannya, lalu mengajukannya untuk mengemban tanggung jawab dengan penuh ketakwaan. Abduttawab Haikal dalam bukunya “Rahasia Perkawinan

Rasulullah SAW” mengatakan bahwa; “dalam Islam, rumah tangga merupakan dasar bagi kehidupan manusia dan juga merupakan faktor utama dalam masyarakat”.6

Namun demikian, tidak jarang terjadi bahwa tujuan mulia tersebut tidak sesuai dengan yang diharapkan.7Karena sering kita temukan dalam sebuah bahtera keluarga suami membenci isterinya atau sebaliknya, karena perkawinan tidak

dibangun di atas pondasi rumah tangga yang dipenuhi rasa kasih sayang, pengertian, komunikasi yang baik, serta suami isteri yang tidak menjalankan kewajibannya

masing-masing. Hak tersebut bisa berupa hak bersama, misalnya hak

5

Ibid, hal. 220

6

Abduttawab Haekal, Rahasia Perkawinan Rasulullah SAW, (Jakarta:Pedoman Ilmu

Jaya,1993),cet.ke-1, hal.5

7

Chuzaemah.T.Yanggo dan A.Hafidz Anshari.AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer,

(8)

5

sama mendapatkan ‘kesenangan’, hak isteri terhadap suami, seperti hak kebendaan

(mahar dan nafkah), dan hak non kebendaan (keadilan), hak suami terhadap isteri, misalnya suami harus ditaati oleh isteri dan lain sebagainya. Jika beberapa unsur di atas belum terpenuhi, maka kehidupan keluarga tidak akan berjalan dengan baik.8

Perkawinan bukanlah semata-mata guna pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan yang utama adalah pemenuhan manusia akan kebutuhan afeksional, yaitu

kebutuhan mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman dan terlindungi, dihargai, diperhatikan atau sejenisnya, serta terpenuhi hak dan kewajiban masing-masing. Demikian pula halnya dengan kebutuhan materi, bukanlah merupakan

landasan utama mencapai kebahagiaan.9 Karena pada kenyataannya membina suatu perkawinan yang bahagia tidaklah mudah bahkan sering kehidupan perkawinan

kandas di tengah jalan, akibatnya timbullah perceraian. Perceraian merupakan problematika dalam keluarga yang akan membawa kehancuran, terutama bagi anak-anak.

Al-Quran menggambarkan beberapa situasi dalam kehidupan suami isteri yang menunjukkan adanya keretakan dalam rumah tangga yang berujung pada

perceraian. Keretakan dan kemelut rumah tangga itu bermula dari tidak berjalannya aturan yang ditetapkan Allah SWT bagi kehidupan suami isteri dalam bentuk hak

8

Sayid Sabiq, Fiqh As-sunnah, Juz 11, ( Beirut; Dar el- Fikr, 1983), hal. 135

9

(9)

dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Allah SWT menjelaskan

beberapa usaha yang harus dilakukan dalam menghadapi kemelut tersebut agar perceraian tidak sampai terjadi. Dengan begitu Allah SWT mengatisipasi kemungkinan terjadinya perceraian dan menempatkan perceraian tersebut sebagai

alternatif terakhir yang tidak mungkin dihindarkan.10

Dalam problematika rumah tangga pada masyarakat kita yang mayoritas

laki-laki memiliki peran yang lebih dominan dibandingkan perempuan dan posisi perempuan dianggap lemah dalam masyarakat, istri memiliki peluang untuk mendapatkan perlakuan yang kurang baik dan tidak jarang disertai juga dengan

kekerasan dalam pertengkaran tersebut. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan suami yang menjadi korban kekerasan tersebut.

Seorang suami yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, dikarenakan sikap isteri yang egois, keras kepala, ingin menang sendiri sehingga tidak lagi menghormati suami sebagai pemimpin rumah tangga. Dan dampaknya

akan menimbulkan perselisihan serta pertengkaran di antara keduanya dan dapat berujung kepada perceraian.

Karena dari permasalahan sikap egois isteri terhadap suami dalam rumah tangga yang berdampak pada perceraian itu, maka penulis melakukan penelitian tentang “Egoisme Isteri Sebagai Alasan Perceraian (Analisa Beberapa Putusan

10

(10)

7

No.76/Pdt. G/2009/PA. Depok. No. 914/Pdt. G/2009/PA. Depok, No. 1301/Pdt.

G/2008/PA. Depok)”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis membatasi pada sejauh mana keegoisan istri terhadap suami dapat menjadi alasan

perceraian. Dengan objek penelitian beberapa putusan di Pengadilan Agama Depok.

2. Perumusan Masalah

Masalah utama dalam skripsi ini penulis rumuskan sebagai berikut;

Alasan perceraian karena keegoisan istri tidak diatur secara khusus dalam

perundang-undangan, baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975

tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

serta Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Tetapi

kenyataannya, putusan di Pengadilan Agama Depok mengabulkan keegoisan istri

terhadap suami dijadikan sebagai alasan perceraian.

(11)

1. Bagaimana pandangan fiqh dan hukum positif tentang egoisme istri terhadap

suami bisa dijadikan alasan perceraian?

2. Faktor apa saja yang melatar belakangi sikap keegoisan istri terhadap suami ?

3. Sejauh mana sikap keegoisan istri terhadap suami bisa dijadikan alasan

perceraian seperti dalam beberapa putusan Pengadilan Agama Depok?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan beberapa permasalahan sebagai berikut :

1. Untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Syariah

(S.Sy) S1 di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Untuk memahami pandangan fiqh dan hukum positif tentang sikap egois istri

terhadap suami dalam rumah tangga bisa menjadi salah satu alasan perceraian di Pengadilan Agama Depok.

3. Untuk mengetahui beberapa kasus tentang sikap keegoisan istri terhadap suami

dalam rumah tangga yang dijadikan sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama Depok, serta sebab-sebab timbulnya keegoisan istri.

(12)

9

1. Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam menambah

khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia.

2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran yang

bermanfaat dalam menjawab perkembangan hukum Islam di Indonesia.

3. Secara pragmatis, hasil penelitian ini menjadi bahan utama penyusunan

penulisan tentang hukum sebagai syarat memperoleh sarjana hukum Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Tinjauan Kajian ( Review ) Terdahulu

Adapun fungsi dari studi review yaitu untuk menghindari dari tuduhan duplikasi dan penjiplakan (plagiat) atau peniruan atas judul yang hampir sama pada

judul-judul skripsi sebelumnya. Dalam studi review yang penulis lakukan, ada satu skripsi yang berjudul “Isteri Nusyuz Karena Selingkuh Sebagai Pemicu Terjadinya Perceraian (Analisis Putusan No.1236/Pdt.G/2008/PAJT) ” oleh Ummu Salamah

(105044101434).

Adapun perbedaan tema skripsi tersebut dengan tema skripsi yang akan

(13)

diajukan oleh suami terhadap isteri yang nusyuz karena selingkuh. Jadi, Ummu

Salamah lebih memfokuskan selingkuhnya seorang isteri sebagai perbuatan nusyuz isteri terhadap suami.

Sedangkan tema masalah yang akan diangkat penulis yaitu sikap keegoisan

isteri terhadap suami dan pengaruhnya dalam pernikahan sehingga meninggalkan dan melalaikan kewajiban sebagai isteri, dan hal tersebut adalah termasuk dalam

perbuatan nusyuz seorang isteri pada suami. Tetapi penulis tidak membahas secara khusus tentang nusyuz tersebut, melainkan pada skripsi ini lebih membahas kepada beberapa masalah seperti yang tercantum dibawah ini, yaitu ;

1. Bagaimana pandangan fiqh dan hukum positif tentang egoisme istri terhadap suami sebagai alasan perceraian.

2. Faktor apa saja yang melatar belakangi sikap keegoisan istri terhadap suami.

3. Sejauh mana sikap keegoisan istri terhadap suami bisa dijadikan alasan perceraian.

E. METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Masalah

(14)

11

untuk menggambarkan suatu objek secara sistimatis.11 Maka cara yang dilakukan

yaitu dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan, dan mendeskripsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut. Kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan, sehingga ditemukan kesimpulan

yang obyektif logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

a. Data Primer

Didapatkan dari Pengadilan Agama Depok beberapa putusan cerai talak

mengenai egoisme isteri sebagai alasan perceraian. Dan wawancara terhadap hakim, kemudian data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan

dengan masalah yang dikaji.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi

kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Quran, Hadis, buku-buku

ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam( KHI), serta peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

11

(15)

3. Tekhnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara;

a. Menganalisis terhadap beberapa putusan Pengadilan Agama Depok tentang sikap egoisme istri terhadap suami dalam rumah tangga bisa menjadi salah satu

alasan perceraian.

b. Interview atau wawancara, adalah suatu percakapan dengan mempunyai

tujuan.12Interview yang sering disebut juga wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara (interviewer)13. Dalam hal ini penulis

mengadakan dialog langsung dengan hakim Pengadilan Agama Depok.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses pengecekan dan pengaturan secara sistimatis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain yang dikumpulkan untuk meningkatkan pemahaman terhadap bahan-bahan tersebut agar dapat

dipresentasikan temuannya kepada orang lain.14 Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan “Analisa Kualitatif” yaitu menganalisis dengan

12

Imron Arifin, Penelitian Kualitatif dalam Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan Keagamaan, (Malang; Kalimasahada Press,1994), cet. ke-1, hal. 63

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian,(Jakarta; PT.Rinika Cipta,1996),cet. X, hal. 144

14

(16)

13

cara menguraikan dan mendeskripsikan beberapa putusan perkara perceraian di

Pengadila Agama Depok akibat keegoisan isteri terhadap suami sebagai alasan perceraian. Dan menghubungkan dengan hasil interview dari pihak yang menyelesaikan perkara ini, dalam hal ini yaitu hakim Pengadilan Agama Depok.

Sehingga didapatkan suatu kesimpulan yang obyektif logis, konsisten, dan sistimatis sesuai dengan tujuan yang dilakukan data penulis dalam penelitian ini.

F. Sistimatika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut :

Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, studi kajian

(review) terdahulu, metode penelitian, dan sistimatika penulisan.

Bab kedua memuat teori-teori yang meliputi pengertian hukum Islam, pengertian hak dan kewajiban suami isteri menurut Kompilasi Hukum Islam,

pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri, pengertian dan pengaruh keegoisan isteri menurut fiqh.

(17)

perceraian, yaitu perkara nomor 76/Pdt.G/2009/PA. Depok, perkara nomor 914/Pdt.

G/2009/PA. Depok, dan perkara nomor 1301/Pdt. G/PA. Depok.

Bab keempat berisi analisis beberapa putusan Pengadilan Agama yang meliputi profil Pengadilan Agama Depok, duduk perkara (posita), tuntutan hukum

(petitum), pertimbangan hukum yang dipakai majelis hakim dalam penetapan putusan, dan

analisis penulis terhadap putusan tersebut.

(18)

BAB II

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM HUKUM ISLAM

A. Pengertian Hukum Islam

Secara khusus dalam bahasa Arab tidak terdapat peristilahan “hukum Islam”

secara teknik, oleh karena itu sulit ditemukan artinya secara definif.1 Melainkan istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh

al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syariah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law. Dalam Quran maupun Al-Sunnah, istilah al-hukm al-Islam tidak dijumpai. Yang digunakan adalah kata

[image:18.609.106.537.48.395.2]

syari’at yang dalam penjabarannya kemudian lahir istilah fiqh. Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan

dijelaskan pengertian syariah dan fiqh.2

Untuk menyebut hukum Islam, kata yang biasa digunakan adalah fikih dan syariat, kedua kata ini tidak sama artinya, namun keduanya berkaitan maksudnya.

Syariat atau hukum Syara’ secara sederhana diartikan; ”Seperangkat aturan dasar tentang tingkah laku manusia, yang ditetapkan secara umum dan dinyatakan secara

langsung oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.” Sedangkan fikih biasa diartikan dengan

1

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen RI, 2008), hal. 67

2

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 3

(19)

hasil penalaran pakar hukum (mujtahid) atas dasar hukum syara’ dan dirumuskan

dalam bentuk aturan yang terinci.3

Secara bahasa syariah berasal dari kata ﺎ ﺮ – عﺮ ﻳ – عﺮ yang berarti membuat syariat/undan-undang.4 Penggunaannya dalam Al-Quran diartikan sebagai

jalan yang jelas yang membawa kemenangan. Dalam terminologi ulama Ushul al-Fiqh, syariah adalah titah (khitab) Allah SWT yang berhubungan dengan perbuatan

mukallaf (muslim, baligh, dan berakal sehat), baik berupa tuntutan, pilihan, atau perantara (sebab, syarat, penghalang. Jadi konteksnya, adalah hukum-hukum yang bersifat praktis (a’maliyah).5

Berkenaan dengan istilah fikih menurut bahasa adalah faham. Kata fikih berasal dari kata faqiha-yafqahu atau yang berati ‘alima-ya’lamu artinya

pemahaman.6 Adapun fikih dalam pengertian terminologi, fikih adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaliyah) yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci.7

3

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi., hal. 67

4

Ahmad Syafi’i, Kamus Annur, (Surabaya: Halim Jaya Surabaya, t.t), hal. 109

5

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, hal.3-4

6

Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia Kajian Posisi Hukum Islam Dalam Politik Hukum Islam Pemerintahan Orde Baru Dan Era Reformasi., hal. 69

7

(20)

17

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa antara syariah dan fikih memiliki

hubungan yang sangat erat. Karena fikih adalah formula yang dipahami dari syariah. Syariah tidak bisa dijalankan dengan baik, tanpa dipahami melalui fikih atau pemahaman yang memadai, dan diformulasikan secara baku. Fikih sebagai hasil

usaha memahami, sangat dipengaruhi oleh tuntutan ruang dan waktu yang melingkupi Faqih ( jamak fuqaha) yang memformulasikannya. Karena itulah, sangat

wajar jika kemudian terdapat perbedaan-perbedaan dalam rumusan mereka.8

B. Pengertian Hak dan Kewajiban

Pengertian “hak” menurut bahasa yaitu kebenaran.9 Atau yang memiliki arti

kekuasaaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu, atau dalam arti lain wewenang menuntut hukum. Menurut istilah yaitu menurut para pendapat ulama fiqh

yang sebagian ulama mutaakhirin ”hak adalah sesuatu hukum yang telah ditetapkan secara syara” atau dengan kata lain hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat atau pada keduanya, yang diakui oleh syara’.10

Adapun pengertian kewajiban yaitu yang berasal dari kata “wajib”, dan menurut bahasa kata “wajib” bermakna “fardhu” atau sesuatu yang harus dilakukan,

tidak boleh tidak dilaksanakan.11 Dan adapun secara istilah yaitu “suatu pekerjaan

8

Ibid., hal. 5 9

Ahmad Syafi’i, Kamus Arab Annur, (Surabaya: Halim Jaya Surabaya, t.t), hal.57

10

(21)

yang apabila dilakukan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan mendapatkan

dosa.12

Hak dan kewajiban adalah dua sisi yang paling bertimbal balik dalam suatu transaksi. Hak salah satu pihak merupakan kewajiban bagi pihak lain, begitu pun

sebaliknya kewajiban salah satu pihak menjadi hak bagi pihak yang lain. Keduanya saling berhadapan dan diakui dalam hukum Islam.13

Hak dan kewajiban suami isteri muncul sejak mereka terikat dalam suatu ikatan yang sah melalui akad (ijab-qabul). Pada saat itu pula, suami isteri memikul tanggung jawab untuk memenuhi seluruh hak dan kewajibannya sebagai suami isteri.

Hak dan kewajiban suami isteri terdiri atas hak dan kewajiban yang bersifat materiil dan hak kewajiban yang bersifat immaterial. Hak dan kewajiban materiil berkaitan

dengan pemenuhan kebutuhan lahiriyah seperti suami berkewajiban menyediakan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan kepada isteri dan anak-anaknya. Sedangkan hak dan kewajiban immateriil berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan

batiniyah seperti hubungan seksual, kasih sayang, perlindungan dan jaminan

11

ImamMuhammad Abu Zahra, Ushuulul al- Fiqhi, (Daarul al-Fikri Al-A’rabi, t.t), hal. 28

12

Abdul Hamid Hakim, Mabadiul al- Awaliyah Fi~ Ushulu al-Fiqh Wa Qawai’dul al- Fiqhiyah, (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.t), hal. 7

13

(22)

19

keamanan yang harus diberikan suami kepada isterinya.14

Pada hubungan suami isteri dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan begitu pula isteri mempunyai hak. Di balik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan begitu pula isteri memiliki beberapa kewajiban. Adanya hak dan

kewajiban antara suami isteri dalam kehidupan rumah tangga dapat dilihat dalam beberapa ayat Al-Quran dan hadits Nabi SAW.15

Dalam Al-Quran pada surat al-Baqarah ayat 228:

ةﺮ ﻟا

:

228

ِ

Artinya :“…..Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf, akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”(Q.S. Al-Baqarah:228)

Dan dalam hadis Nabi salah satunya hadits dari Amru bin al-Ahwash:

صﻮ ﻷا

وﺮ

,

أ

ﻟا

د

عا

....

إ

ن

ﺋﺎ

ً

14

Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, ( Jakarta: Kencana, 2009), hal. 179

15

(23)

Artinya: Dari A’mru ibnu Akhwas, bahwasanya ia telah menyaksikan haji wada’….. “Ketahuilah bahwa kamu mempunyai hak yang harus dipikul oleh isterimu dan isterimu juga mempunyai hak yang harus kamu pikul”. (H.R. Ibnu Majah dan At-Tirmizi).

Pemenuhan hak dan kewajiban suami isteri dilakukan secara adil dan makruf.

Adil bermakna kewajiban dan tanggung jawab dilakukan secara berimbang oleh suami isteri, dimana mereka sama-sama berusaha untuk menjalankannya, tanpa

menganggap yang satu lebih superior dan yang lain adalah inferior. Suami isteri dalam menjalankan kewajibannya memiliki kedudukan yang sama (equal) sesuai dengan peran, kapasitas dan tanggung jawabnya. Makruf bermakna pemenuhan

kewajiban suami isteri dilakukan berdasarkan kemampuan dari masing-masing pihak, dan tidak ada pemaksaan kehendak satu pihak terhadap pihak yang lain dalam

memenuhi hak dan kewajibannya. Perwujudan hak dan kewajiban suami isteri dalam rumah tangga didasarkan pada kepatutan dan nilai ukur yang ada dalam masyarakat.17

16

Imam Muhammad Ali ibn Muhammad As-Syaukani, Subulus as-Salam jilid V, (Maktabah Al-Aiman, Tt,), hal. 232. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Juz I, (Daarul al-Ihya Turosul al-Arobiy), hal 595. At-Tirmizi, Sunan At-Tirmizi Juz IV, (Darul Kutub Al-Alamiyah, 1994),hal. 310

17

(24)

21

B. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Kompilasi Hukum Islam

Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah hak dan kewajiban suami isteri diatur dalam pasal 77-84. Adapun isi dalam pasal-pasal tersebut, secara garis besar mempertegas kembali dalam pasal 30-34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Dalam pasal-pasal tersebut dikemukakan bahwa suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, wa rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia, dan memberikan bantuan batin yang satu kepada yang lain. Selain itu suami isteri juga harus memikul kewajiban

untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka. Suami isteri harus mempunyai tempat yang ditentukan bersama. Dalam rumah tangga itu kedudukan suami adalah

kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.18

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Kewajiban suami dalam rumah tangga adalah;

(1) Membimbing isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai urusan dalam

rumah tangga yang penting diputuskan bersama-sama oleh suami isteri.

18

(25)

(2) Melindungi isteri dan memberikan segala keperluan hidup berumah tangga

sesuai dengan kemampuannya.

(3) Memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan member kesempatan belajar pengetahuan yang berguna bagi agama, nusa, dan bangsa.

(4) Sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, pakaian, tempat dan kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya

pengobatan bagi isteri dan anak serta membiayai pendidikan anak.19

Kewajiban suami sebagaimana telah dikemukakan di atas, khususnya kewajiban suami yang berkaitan nafkah, pakaian, tempat tinggal, biaya rumah

tangga, perawatan, pengobatan gugur apabila isteri nusyuz. Isteri dianggap nusyuz jika ia tidak berbakti lahir batin kepada suami dalam batas-batas yang dibenarkan

oleh hukum Islam kecuali dengan alasan yang sah. Apabila isteri tidak nusyuz lagi, maka suami wajib memberikan ketentuan yang yang telah ditetapkan sebagaimana tersebut diatas seperti kewajibannya sebelum isteri nusyuz. Ketentuan ada atau tidak

adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.20

Suami wajib pula menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan

anak-anaknya atau bekas`isteri yang dalam masa iddah. Tempat kediaman yang berfungsi

19

Kompilasi Hukum Islam pasal. 83

20

(26)

23

sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat

rumah tangga.21 Ketentuan ini berlaku juga kepada seorang suami yang beristri lebih dari satu orang kecuali ada perjanjian kawin.22 Jika para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

C. Pelanggaran Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Pelanggaran adalah sebuah perilaku yang kurang baik karena tidak mematuhi,

mengikuti serta melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan dan juga dapat merugikan seseorang. Dalam sebuah pernikahan, salah satu pelanggaran yang dilakukan yaitu tidak terpenuhinya hak dan kewajiban bersama antara suami dan

isteri atau sebaliknya salah satu diantara kedua belah pihak tidak memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing.

Pernikahan adalah sebuah ikatan yang suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia, mawaddah, dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah SWT seperti dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Oleh

karena itu, keutuhan dalam rumah tangga harus dijaga sejak pernikahan dilaksanakan, dengan melakukan serta memenuhi hak dan kewajibannya

masing-masing.

21

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 34 22

(27)

Apabila hak dan kewajiban masing-masing tidak terlaksana maka keduanya

yaitu suami isteri telah melanggar aturan yang telah ditentukan dalam hukum pernikahan. Karena hak dan kewajiban suami isteri telah diatur secara baik dan pasti dalam Al-Quran, Hadis, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ,serta dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam.23

Syahrizal Abbas dalam bukunya mengutip sebuah tulisan dari M. Hoballah yang berjudul “Marriage, Divorce, and Inheritance in Islamic Law” yang di

dalamnya menerangkan, bahwasanya Hoballah menyebutkan dari beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa penyebab utama ketidaknyamanan rumah tangga

dikarenakan tidak terpenuhinya hak dan kewajiban suami isteri secara adil dan makruf, baik hak dan kewajiban yang bersifat materiil maupun hak dan kewajiban yang bersifat immateriil.24

Selain karena tidak terpenuhinya hak dan kewajiban di antara masing-masing pihak merupakan sebuah bentuk pelanggaran dalam hak dan kewajiban suami isteri.

Adapun bentuk lain dari pelanggaran hak dan kewajiban suami isteri dalam keluarga yaitu adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga baik itu dilakukan oleh suami

23

Syahrijal Abbas, Mediasi Dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional ,hal.179

24

(28)

25

kepada isteri atau sebaliknya, namun biasanya perempuan lebih banyak menjadi

korban kekerasan daripada pelaku karena dianggap kaum lemah dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun.

Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menurut

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap/segala perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam kehidupan rumah tangga.25Berdasarkan data-data yang direkam dari berbagai lembaga pendampingan korban kekerasan dalam rumah tangga dan kasus

yang ditangani oleh kepolisian, bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi adalah;

1. Kekerasan Fisik 2. Kekerasan Seksual 3. Kekerasan Psikis

4. Kekerasan Ekonomi/ Penelantaran Ekonomi26

Islam menghendaki seseorang tidak boleh melakukan kekerasan kepada

siapapun (menjadi pelaku), dan memerintahkan untuk tidak menjadi korban. Karena

25

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang Press, 2008 ), hal. 268

26

(29)

itu pelaku kekerasan harus ditindak tegas, demikian pula perlindungan terhadap

korban kekerasan untuk pulih dan bisa hidup normal.

Dalam sebuah hadits yang dikutip oleh Mufidah Ch dari hadits yang diriwayatkan Imam al Turmudzi:

نﺎ

و

ا

ص

.

ﺪﺛ

أ

أ

ـ

ﻟا

د

عا

ر

ل

ص

.

م

....

أ

و

ا

ـﻮ

ا

ﻟﺎ

ءﺎ

ا

ه

نا

آ

ن

ذ

) .

ﺮ ﻟا

اور

يﺬ

(

27

Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, bahwasnya ayahku telah mengatakan kepadaku bahwa ia telah menyaksikan haji wada’ bersama Rasulullah SAW…. “Ingatlah aku berpesan agar kalian berbuat baik terhadap perempuan karena mereka sering menjadi sasaran pelecehan diantara kalian, padahal sedikitpun kalian tidak berhak memperlakukan mereka, kecuali untuk kebaikan itu”.(H.R. Imam Turmudzi)

Dengan adanya tindak kekerasan dalam keluarga, maka kebahagiaan dalam

rumah tangga tidak tercipta dan jauh dari tujuan pertama perkawinan yaitu mebentuk keluarga yang sakinah. Karena kebahagiaan dalam keluarga serta membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah merupakan harapan bagi semua

orang.

27

(30)

27

D. Pengertian dan Pengaruh Keegoisan Isteri Menurut Fiqh

Kata “Keegoisan” dalam istilah kamus istilah psikologi adalah berasal dari kata”ego” yang berarti suatu unsur ke-pribadian yang dikuasai oleh prinsip kenyataan.28Sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia “egois” yang berarti

mementingkan diri sendiri. Dan arti kata “egoisme” bermakna suatu sikap yang menujukkan ketamakan, sehingga tindakannya hanya untuk kepentingan diri sendiri,

seseorang yang belum mengerti hubungan kausal, dan belum dapat menyadarkan

differensiasi, serta juga belum mengerti pandangan yang berbeda.29

Bahwa manusia pada dasarnya hanya termotivasi oleh kepentingan sendiri

atau pribadi tanpa peduli dampak yang akan terjadi setelah itu. Karena semua orang mempunyai keegoisan masing-masing dan keegoisannya sama, yang membedakan

adalah bagaimana kita setiap individu mengontrol keegoisan tersebut.30

Sikap keegoisan yang dimiliki setiap individu akan terlihat lebih besar, jika dia tidak bisa mengontrol dengan baik keegoisan yang dia miliki. Contohnya, yaitu

ketika seseorang dihadapkan dengan masalah kehidupan yang beraneka ragam, maka akan terlihat pada dirinya sikap keegoisan yang dia miliki, apakah dia akan dapat

mengontrol dengan baik atau tidak dalam mengatasi masalah tersebut. Karena pada

28

M. Noor HS, Himpunan Istilah Psikologi, (Jakarta: CV. Pedoman llmu jaya, 1997), hal. 60

29

Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 67

30

(31)

dasarnya jika seseorang dalam suatu masalah, dia lebih mementingkan dirinya

sendiri.

Contoh lain yang sering terjadi dalam realita kehidupan yaitu, ketika seseorang berbeda pendapat atau pandangan akan suatu hal, maka masing-masing

akan lebih mempertahankan pendapat pribadi dan merasa bahwa pendapatnya paling benar, padahal alangkah lebih baik dan indah jika perbedaan bisa disatukan dan tidak

saling menguntungkan diri sendiri tanpa mendahulukan ego nya masing-masing. Itulah sikap keegoisan yang dimiliki setiap insan.31

Sikap egois adalah fitrah yang yang dimiliki setiap yang bernyawa baik

manusia atau hewan dan makhluk lainnya. Tetapi Tuhan memberikan kelebihan bagi manusia yaitu berupa akal yang berguna untuk membedakan mana yang baik dan

buruk, mana kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Jika manusia tidak bisa membedakan hal-hal tersebut, apa bedanya manusia dengan hewan.32

Sikap keegoisan dalam rumah tangga merupakan sebuah problem relasi

(hubungan) antara suami isteri. Karena dalam proses pencapaian keluarga sakinah pastinya mengalami kendala-kendala dengan berbagai masalah kehidupan yang ada.

Dimana setiap masalah menjadi tanggung jawab bersama dalam mencari solusi tanpa

31

Lonely Pasangan, artikel diakses pada 20 Juli 2010 dari http//www.happiestwives.org

32

(32)

29

mengabaikan satu sama lainnya. Namun demikian, seringkali suami isteri enggan

memecahkan masalah dengan fikiran jernih, dikarenakan beberapa faktor yaitu:33

1. Faktor emosi

Dalam menghadapi masalah suami isteri dihadapkan mampu mengendalikan emosi karena emosi dan mudah marah merupakan bagian dari perbuatan setan. Jika suami isteri masih dalam emosi dan masing-masing mempertahankan

egonya maka tidak akan menyelesaikan masalah. Rasulullah SAW menegaskan dalam hadisnya :

أ

ه

ة

أ

ن

ر

ل

ص

.

م

.

ل

ا

ﺪﻳ

ﻟا

إ

اﻟ

ا

.

)

ي

ر

ﺎ ﻟا

او

ر

( 34

Artinya: Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda “ Orang-orang yang kuat bukannya orang yang kuat secara fisik, tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika ia sedang marah”. (HR. Bukhairi)

2. Faktor kurang pengertia/pemahaman

Seringkali keterbatasan pemahaman dan pengertian suami isteri terhadap masalah yang dihadapi menyebabkan kesalah pahaman sehingga masalahnya

menjadi semakin rumit. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya suami isteri saling mengkomunikasikan apa yang dipahami oleh masing-masing tentang masalah

yang sedang dihadapi, menjelaskan duduk persoalannya agar masing-masing

33

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hal. 189-194

34

(33)

….

لا

ناﺮ

:

159

Artinya : “… Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.(QS. Al-Imran: 159)

3. Faktor gender stereotype (pelabelan negatif)

Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasan su’udzan/buruk

sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab. Gender stereotype atau memberikan label negatif atas dasar perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu penyebab buruk sangka pada pasangannya. Untuk menghilangkan gender

stereotype suami isteri merupakan langkah positif agar dapat menumbuhkan rasa saling menghargai, saling percaya dan memandang positif pasangannya.

Dalam QS. Al-Baqarah 216 Allah menegaskan :

(34)

31

Artinya : “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.(QS.Al-Baqarah: 216)

4. Faktor dominasi pihak yang kuat.

Posisi suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah

positif ketika menjalankan fungsi melindungi, mengayomi dan memberdayakan. Tetapi posisi sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi dengan fungsi-fungsi

yang semestinya, sehingga memicu lahirnya hubungan suami isteri yang timpang. Pihak yang merasa kuat, kuasa dengan dalih meluruskan isteri, biasanya suami yang sering muncul sebagai pihak yang dominan. Demikian

pula pihak yang merasa lemah, kendatipun mempunyai ide yang cemerlang tidak akan mengambil peran dan memberikan kontribusinya terhadap

penyelesaian masalah. QS. Al-Baqarah 228 menyebutkan:

….

ةﺮ ﻟا

:

228

(35)

Sikap keegoisan yang merupakan salah satu dari problem relasi (hubungan)

suami isteri dalam keluarga bisa timbul dari berbagai pihak, yaitu sikap egois yang datang dari suami terhadap isteri atau sebaliknya sikap egois isteri terhadap suaminya.35

Penyebab dari sikap keegoisan ini adalah karena adanya perbedaan pendapat, cara pandang, dan kecendrungan antara suami isteri dan anggota keluarga lainnya.

Padahal perbedaan merupakan keniscayaan dan juga dapat dipandang sebagai rahmah yang dapat digunakan sebagai modal untuk saling melengkapi satu sama lain. Yang penting diperhatikan adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk

mengakomodir seluruh perbedaan yang ada secara adil, tanpa diskriminasi melalui proses demokrasi yang ditandai dengan keterbukaan, komunikasi efektif dan saling

menghargai satu sama lain. Seringkali yang terjadi di dalam sebuah keluarga masing-masing anggota keluarga memandang perbedaan yang ada sebagai ancaman dan problem yang menghambat keharmonisan hubungan antar anggota keluarga.36

Sikap keegoisan isteri dalam persfektif hukum Islam adalah apabila dampak dari keegoisan ini ia melalaikan dan meninggalkan kewajibannya sebagi isteri, maka

hal tersebut adalah merupakan tindakan nusyuz seorang isteri terhadap suaminya. Karena dampak dari sikap egois isteri adalah salah satu bentuk nusyuz isteri. Oleh

35

Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, hal. 189-194

36

(36)

33

karena itu, selanjutnya akan dibahas lebih khusus mengenai masalah nusyuz

tersebut.37

Adapun pengertian nusyuz yaitu yang berasal dari bahasa Arab ialah nasyaza, yansyuzu, nusyuzan, (ازﻮ – ﺰ ﻳ – ﺰ ) yang memberi beberapa pengertian.

Antaranya nusyuz memberi arti bangkit dari tempatnya atau bangun.38 Dan menurut istilah nusyuz adalah meninggalkan kewajiban suami isteri. Nusyuz tidak hanya

terjadi dari pihak isteri, tetapi juga dari pihak suami.

Nusyuz dari pihak suami bersikap keras terhadap isterinya, tidak mau menggaulinya, dan tidak bersedia memberi nafkah. Nusyuz dari pihak isteri dapat

berupa tidak patuh dan taat kepada suaminya salah satunya sikap egois isteri, dan juga tidak mau mengurus kepentingan rumah tangga serta meninggalkan rumah

tanpa izin suami.39 Berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) : 259 dan dalam QS. Al-Mujadalah (58) : 11:

ةﺮ ﻟا

:

259

37

Ibid., hal. 297

38

Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam Menurut Al-Quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, ( Kuala Lumpur: Kolej Universiti Islam Malaysia, 2007), h. 1

39

(37)

Artinya : “Dan lihatlah kepada tulang-tulang (keledai) itu, bagaimana kami menyusunnya kembali kemudian kami menyalutnya dengan daging”. (Q.S.Al-Baqarah:259)

….

ﺔﻟدﺎ ﻟا

:

11

Artinya : “Apabila diminta kepada kamu untuk bangun, maka bangunlah.”(Q.S. Al-Mujadalah: 11)

Selain itu juga nusyuz mempunyai arti tempat yang tinggi. Dari segi istilah para ulama memberikan beberapa pengertian atau definisi mengenai nusyuz.

Terdapat beberapa nash-nash Al-uran dan Sunah mengenai nusyuz. Yaitu firman Allah SWT QS. An- nisa (4) : 34 :

.

ءﺎ ﻟا

:

34

Artinya: “Perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan pendurhakaan (nusyuz), hendaklah kamu menasehati mereka (sekiranya mereka…) pulangkanlah mereka ditempat tidur dan (sekiranya mereka tetap ingkar) pukullah mereka (dengan pukulan yang ringan dengan tujuan untuk mendidik). Jika mereka kembali taat kepada kamu, janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar ”.(QS. An-Nisaa: 34)

(38)

35

.

ءﺎ ﻟا

:

128

Artinya : “ Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(QS. An-Nisaa: 128)

Adapun sabda Rasulallah SAW mengenai nusyuz yaitu :

وﺎ

ﻳﺔ

أ

أ

ن

ر

ل

ﻟا

ص

.

م

...

إ

ذ

ا

أآ

و

ه

إ

ذ

إ

ا

آ

و

ب

ﻟا

و

و

إ

.

)

دواد

ﻮ أ

اور

,

و

أ

و

أ

(

40

Artinya : Dari Hakim ibnu Mua’wiyah dari ayahnya, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad SAW “..Suami harus memberi makan kepadanya (isteri) jika ia makan dan kamu berikan kepadanya pakaian jika ia membutuhkan pakaian dan janganlah sekali memukul di muka serta kamu tidak boleh memperolok-oloknya dan juga kamu tidak meninggalkannya kecuali di rumah sendiri.”(H.R. Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

Berdasarkan kepada nash-nash Al-Quran dan Sunnah, jelas menunjukkan bahwa nusyuz berkemungkinan kepada pihak antar suami atau isteri atau kedua-duanya secara sekaligus. Sebagai mahluk yang diciptakan oleh Allah SWT, Dia

40

(39)

Maha Mengetahui setiap kelebihan dan kelemahan yang ada pada manusia. Allah

SWT telah menggariskan panduan yang perlu diikuti oleh setiap insan bagi menghadapi pasangan nusyuz supaya tindakan yang diambil adalah tindakan yang bijaksana dan tidak melampaui batasan-batasan yang ditetapkan oleh syara’.41

Menurut al-Farra’, nusyuz terbagi kepada tiga kategori yaitu nusyuz isteri terhadap suaminya, nusyuz suami tehadap isterinya, dan kedua-duanya baik suami

maupun isteri. Di bawah ini penjelasannya mengenai nusyuz tersebut:42

1. Nusyuz Isteri

Nusyuz dipihak isteri ialah seorang yang durhaka terhadap suaminya, angkuh,

sombong, dan ingkar tehadap suami serta tidak melaksanakan tanggung jawab seorang isteri seperti yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.

Seseorang isteri bisa dikategorikan nusyuz, apabila isteri menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan badan seperti halnya suami isteri, keluar tanpa dengan izin suami, tidak membenarkan tamu memasuki rumah

tanpa izin suami, serta meminta cerai kepada suami tanpa alasan yang tidak pasti. Sabda Rasulullah SAW:

أ

ه

ة

ر

ﻟا

ص

.

م

...

إذ

د

ا

رﺎ

إ

أ

إ

ا

تﺎ

نﺎ

ﻟا

ﺋﻜ

41

Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam menurut Al-quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, hal. 5.

42

(40)

37

Artinya: dari Abu Huraiarah R.A dari Nabi SAW …“Apabila suami mengajak isterinya ke tempat tidur, namun isterinya menolak ajakan tersebut dan tidakan tersebut membuat suaminya marah, maka para malaikat akam melaknatinya (isteri) sampai waktu pagi”.(H.R.Muslim)

Hadis ini menegaskan haram bagi isteri menolak ajakan suami untuk

bersetubuh tanpa ada alasan atau udzur syari’ seperti dalam masa haid atau seumpamanya. Selain itu juga berpuasa sunat atau membolehkan tamu masuk (tamu

laki-laki) tanpa izin suami terlebih lagi apabila tamu tersebut tidak disukai suaminya maka hal tersebut dianggap nusyuz. Sabda Rasulullah SAW:

ر

ةﺮﻳﺮه

أ

ص

لﻮ ر

نأ

.

م

...

أة

م

و

ز

و

هﺎ

إ

ﺈذ

و

ذﺄ

ن

إ

ﺈذ

.

)

اور

ىرﺎ ﻟا

(

44

Artinya: dari Abu Hurairah R.A bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Tidak halal bagi seorang perempuan berpuasa sedangkan suaminya ada bersama kecuali sudah mendapatkan izin dari suaminya dan tidak harus bagi isteri membenarkan orang lain masuk ke rumahnya dengan izinya (suami)”.(H.R. Bukhari)

43

Abi Abdillah Muhammad Ibn Ismail Bukhori, Matan Bukhari Masykul Bihasyiyati Sanadi, (T.t: Daarun Nahru an-Naylu, t.th), juz.3, hal. 260. Muslim Bin Hijaj, Sahih Muslim Juz II, (Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1992), hal 1059.

44

(41)

Isteri merupakan amanah Allah SWT yang wajib dijaga dan dipelihara

dengan sebaik mungkin oleh suami. Suami perlu mendidik isteri dengan pengetahuan agama terlebih lagi apabila suami mendapati isterinya nusyuz.

Seorang suami diberi kuasa oleh Allah SWT untuk mengajar serta mendidik

isteri, namun mereka tidak boleh bertindak sesuka hati. Sebaliknya, mereka hendaklah bertindak menurut panduan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

Apabila suami bertindak di luar batasan yang telah ditetapkan oleh syara’, ketika mendidik isteri yang nusyuz bukannya menyelesaikan masalah tetapi lebih memperburuk keadaan.45Sabda Rasulullah SAW:

صﻮ ﻷا

وﺮ

نﺎ

.

عادﻮﻟا

ﺪﻬ

أ

أ

ﺛﺪ

ص

لﻮ ر

.

م

...

إ

ا

ﻟﺎ

ءﺎ

ا

و

إ

ن

أ

ج

ء

ﻟا

أ

ن

ذ

ه

آ

و

إ

ن

آ

ل

أ

ج

ﻟﺎ

ا

ﻟﺎ

ءﺎ

ا

.

)

دواد

ﻮ أ

اور

,

و

و

ﺪ أ

أ

(

46

Artinya: Dari Sulaeman A’mru ibnu Akhwas, ayahku telah berkata padaku bahwasanya ia telah menyaksikan haji wada’ bersama rasulullah SAW… “Nasehati isteri dengan cara baik, sesungguhnya mereka dijadikan dari tulang rusuk yang bengkok dan antara tulang rusuk yang paling sekali ialah tulang yang paling atas. Jika hendak diperbetulkan dengan cara kasar niscaya ia akan patah dan sekiranya dibiarkan maka akan berterusanlah ia dalam keadaan bengkok. Maka nasehatilah isterimu dengan baik.” (H.R. Abu dawud, Ahmad dan Ibnu Majah).

45

Norzulaili Mohd Ghazali, Nusyuz, Syiqaq dan Hakam menurut Al-quran, Sunah dan Undang-Undang Keluarga Islam, hal. 7

46

(42)

39

Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat an-Nisa ayat 34, terdapat tiga

kaidah yang patut digunakan oleh suami dalam menangani isteri nusyuz.

.

ءﺎ ﻟا

:

34

Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya. Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”.(Q.S.An-Nisaa: 34)

Al-Quran menawarkan tiga langkah dalam menyelesaikan sengketa keluarga yang muncul karena nusyuz, yaitu memberikan nasihat, memisahkan tempat tidur, dan memukul. Ketiga langkah ini harus ditempuh secara berurut dan tidak boleh

menerapkan langkah memukul sebagai langkah awal dalam kasus nusyuz, akan tetapi harus bertahap seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran.47

Tujuan dari ketiga langkah dalam menyelesaiakan masalah nusyuz yaitu untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan

dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul

47

(43)

mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. Bila cara pertama telah ada

manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.48

Sikap keegoisan yang berdampak buruk terhadap kelangsungan hidup rumah tangga yang ditunjukkan seorang isteri dalam perspektif hukum Islam disebut

dengan nusyuz, bukanlah semata-mata tanpa alasan bersikap demikian. Karena banyak alasan bagi para isteri, khususnya pada zaman sekarang yaitu zaman modern

banyak motivasi yang mendorong perempuan untuk melakukan sesuatu yang positif dan juga membantu suami dalam melangsungkan kesejahteraan kehidupan keluarga. Tetapi terkadang suami tidak mengerti dengan hal yang dilakukan isteri, mereka

menganggap isteri bersikap egois dan ingin menang sendiri tanpa mempedulikan perintah suami serta keluarga.49

Pada kehidupan modern ini tidak memberi peluang untuk membatasi gerak kaum perempuan, kini sudah banyak perempuan yang terjun dalam dunia karier. Motivasi yang mendorong perempuan terjun ke dunia karier, antara lain adalah

sebagai berikut:

1. Pendidikan. Pendidikan dapat melahirkan perempuan karier dalam berbagai

lapangan kerja.

48

Ibid., hal. 191 49

(44)

41

2. Terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan yang mendesak. Karena keadaan

keuangan tidak menentu atau pendapat suami tidak memadai/mencukupi kebutuhan, atau karena suami telah meninggal dan tidak meninggalkan harta untuk kebutuhan anak-anak dan rumah tangganya yang harus ia tanggung

sendirian, sementara kebutuhan makin membutuhkan pemenuhan sehingga dengan sendirinya ia harus bekerja di luar rumah.

3. Untuk alasan ekonomis agar tidak tergantung pada suami, walaupun suami mampu memenuhi segala kebutuhan rumah tangga, karena sifat perempuan adalah selagi ada kemampuan sendiri, tidak ingin selalu meminta kepada

suami.

4. Untuk mencari kekayaan sebanyak-banyaknya. Ini biasanya dilakukan

perempuan yang menganggap bahwa uang di atas segala segalanya, dimana yang paling penting dalam hidupnya adalah menumpuk kekayaan.

5. Untuk mengisi waktu yang lowong. Di antara perempuan ada yang merasa

bosan diam di rumah karena tidak mempunyai kesibukan dengan urusan rumah tangganya. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan rasa bosan tersebut,

ia ingin mencari kegiatan di bidang usaha, dan sebagainya.

(45)

diatasi, oleh sebab itu ia mencari jalan keluar dengan menyibukkan diri di

luar rumah.

7. Untuk mengembangkan bakat. Bakat dapat melahirkan perempuan karier. Seorang yang bukan sarjana, namun berbakat dalam bidang tertentu, akan

lebih berhasil dalam kariernya dibanding seorang sarjana dari fakultas tertentu yang tidak berbakat. Dengan munculnya faktor-faktor tersebut, maka

semakin terbuka bagi perempuan untuk terjun ke dunia karier.50

Terjunnya perempuan dalam dunia karier, banyak membawa pengaruh terhadap segala aspek kehidupan, baik kehidupan pribadi, keluarga maupun

kehidupan masyarakat sekitarnya.51

Hal demikian di atas dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Jika

wanita atau isteri yang terjun ke dunia karier lebih menimbulkan dampak negatif, maka dapat dikatakan sebagai sifat egoisme yang ditunjukkan seorang wanita atau isteri dan hal wanita atau isteri seperti ini disebut sebagai tindakan nusyuz seorang

isteri terhadap suami sesuai dengan perspektif hukum Islam.

50

Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), hal. 63

51

(46)

BAB III

ISI POKOK BEBERAPA PUTUSAN

A. ISI POKOK PERKARA NOMOR 76/Pdt.G/ 2009/PA. DEPOK

1. Duduk Perkara/Posita

Dalam nomor perkara 76/Pdt.G/2009/PA. Depok adalah perkara cerai talak, dimana pihak Pemohon adalah seorang suami yang bernama Arif bin Sukma (nama samaran), berumur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, yang beralamat di Gang Bakti IV Kp. Pitar RT. 04 RW. 15 No. 12 Kelurahan Pancoran Mas, Kecamatan. Pancoran Mas Kota. Depok. Suami (Arif) melawan isterinya yang bernama Mira binti Kurniawan (nama samaran) berumur 32 tahun juga sama seperti suaminya, agama Islam, dia berprofesi sebagai salah satu Guru Swasta dan bertempat tinggal di jalan Sawo RT.04 RW. 014 No.68 Kelurahan Depok Raya, Kecamatan Pancoran Mas, Depok. Selanjutnya disebut sebagai Termohon1

Bahwasanya antara Arif dan Mira adalah suami isteri yang sah, mereka telah melaksanakan pernikahan pada tanggal 4 Agustus 1999 di Pancoran Mas kota Depok dengan kutipan akta nikah nomor 534/15/VIII/1999 tanggal 06 Agustus 1999 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Mas, kota Depok. Sebelum masalah datang menghampiri kehidupan rumah tangga mereka

1

Lampiran Nomor Perkara 76/Pdt.G/2009/PA. Depok, hal. 87

(47)

berdua, awalnya mereka hidup harmonis dan rukun. Tetapi sampai mereka bercerai, keduanya belum dikaruniai seorang anak di tengah kehidupan rumah tangganya. Sampai akhirnya, sejak bulan Januari 2008 terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus diantara keduanya yang disebabkan oleh keegoisan isteri, ingin menang sendiri dan selalu menganggap pendapatnya paling benar. Selain itu juga isteri selalu curiga kepada suami, dia menduga bahwa suaminya memiliki wanita idaman lain, dan dugaannya di sebabkan percaya dengan perkataan orang lain atau gossip, padahal dia sendiri tidak pernah melihat kebenarannya bahwa suami tersebut memiliki hubungan dengan wanita lain.2

Penyebab lain dari perselisihan mereka adalah adanya intervensi atau selalu turut campur masalah rumah tangga dari pihak lain yaitu terutama dari pihak keluarga isteri. Bahkan pihak keluarga isteri pernah menghina Arif (suami) di hadapan Mira (isteri), tetapi Mira lebih mengutamakan keluarganya dengan tanpa mengutamakan harga diri suami di hadapan keluarganya. Dan puncak dari perselisihan mereka yaitu pada bulan September 2008, isteri mengusir suami dari rumahnya hingga akhirnya suami tinggal dengan kakaknya.3 Sejak saat itu mereka hidup masing-masing dengan berdomosili pada alamat yang telah disebutkan di atas.

Dalam mengatasi permasalahan rumah tangga mereka, masing-masing pihak keluarga telah melakukan upaya damai agar kehidupan rumah tangga mereka

2

Ibid., hal. 87

3

(48)

45

kembali hidup rukun dan harmonis seperti sebelum masalah datang menghampiri keduanya. Tetapi upaya damai tersebut tidaklah membuahkan hasil, karena mereka tetap ingin mengakhiri kehidupan rumah tangganya dengan perceraian.

2. Tuntutan/Petitum Perkara

Adapun tuntutan dalam permohonan suami yaitu meminta kepada majelis hakim mengabulkan permohonannya dengan pertimbangan permasalahan kehidupan rumah tangga yang terjadi antara Pemohon dan Termohon. Selain itu, menetapkan dan memberi izin kepada Pemohon (suami) mengucapkan ikrar talak terhadap Termohon (isteri) di depan Pengadilan Agama Depok setelah putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap dan menetapkan biaya perkara menurut hukum.

Akibat dari perceraian tersebut suami harus tetap memberi nafkah iddah setiap bulannya sejumlah Rp. 600.000-, mut’ah berupa cincin emas 5 gram 23 karat dan nafkah lampau terhitung September 2008 sampai dengan Februari 2009 sejumlah Rp. 500.000 atau Rp. 3.000.000 -, bahwa pemberian nafkah iddah dan nafkah lampau akan dibayar secara berangsur 3 bulan untuk tiga kali pembayaran masing-masing Rp. 1.600.000 4

Selama dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan, pemohon dalam repliknya menjawab bahwa dia tetap ingin bercerai dengan termohon. Begitupun

4

(49)

sebaliknya, termohon dalam dupliknya tetap ingin mengakiri kehidupan rumah tangganya dengan perceraian dan tidak keberatan atas kesediaan pemohon untuk memberikan nafkah iddah, mut’ah, serta nafkah lampau bagi termohon.5

Dan masing-masing pihak yang berperkara telah mengajukan bukti berupa fhoto copy Kutipan Akta Nikah Nikah Nomor 534/15/VIII/1999 tanggal 6 Agustus 1999 dari yang dikeluarkan oleh KUA kecamatan Pancoran Mas Kota Depok (dahulu kabupaten Bogor oleh Ketua Majelis diberi kode (P), dan saksi-saksi dari keluarga di persidangan bertujuan untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya.

3. Pertimbangan Hukum

Majelis hakim telah berupaya melakukan mediasi pada tanggal 10 Februari 2009 sesuai dengan Perma No. 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, tetapi atas pertimbangan masalah rumah tangga yang tidak bisa lagi dicari jalan keluar yang baik diantara pemohon dan termohon, maka mediasi tidak membuahkan hasil yang baik.6

Pertimbangan lainnya yaitu berdasarkan bukti-bukti yang telah disebutkan diatas, maka majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk mengucapkan ikrar talak satu raj’i terhadap termohon. Selain itu dengan adanya perselisihan dan

5

Ibid., hal. 87

6

(50)

47

pertengkaran terus menerus diantara mereka, maka seperti yang telah diatur pada Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 juncto Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam mengabulkan permohonan Pemohon. Dan berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maka biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.7

B. ISI POKOK PERKARA NOMOR 914/Pdt.G/2009/PA. Depok

1. Duduk Perkara/Posita

Pada nomor perkara 914/Pdt.G/2009/PA.Depok yaitu perkara cerai talak juga seperti perkara yang pertama. Di dalamnya dijelaskan para pihak yang berperkara adalah Cipto bin Marzuki (samaran) suami sebagai pemohon yang berusia 26 tahun, agama Islam, pendidikan SMU, pekerjaannya sebagai buruh dan sekarang bertempat tinggal jalan Pondok Terong Bojong Pulo gang Pulo No.18 RT. 03 RW. 03, Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Dan termohon atau tergugat adalah Indri binti Dermawan (samaran) berusia 22 tahun, agama Islam, pendidikan SD, pekerjaan ibu rumah tangga, tempat tinggal di jalan Pondok Terong Bojong Pulo Gang Pulo No.49 RT. 03 RW. 03, Kelurahan Bojong Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.8

7

Ibid., hal. 87

8

(51)

Pemohon dan termohon telah mengikat janji dalam sebuah ikatan suci pernikahan menjadi suami isteri, pernikahan tersebut telah dilaksanakan pada tanggal 20 April 2006, di Pancoran mas, Kota Depok, dengan Kutipan Akta Nikah nomor 803/161/IV/2006 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok.9

Selama menjalani kehidupan rumah tangga, mereka hidup rukun, harmonis, bahagia. Tetapi, kehidupan di dunia ini seperti roda selalu berputar terkadang di bawah dan di atas, begitupun hidup terkadang bahagia dan sedih dengan berbagai masalah yang datang menghampiri sehingga membuat kebahagiaan yang ada hilang di tengah kehidupan manusia.

Masalah rumah tangga yang datang menghampiri suami isteri tersebut (Cipto dan Indri) yaitu sejak Januari 2009, membuat perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang disebabkan isteri egois, ingin menang sendiri, keras kepala, dan mengabaikan serta menyepelekan nasihat dari suami.10

Puncak dari perselisihan keduanya yaitu pada bulan Maret 2009, termohon (isteri) minta dipulangkan kerumah orang tuanya. Akhirnya pemohon (suami) mengantarkan pulang isteri ke rumah orang tuanya, dengan permasalah keluarga tersebut suami sudah tidak sanggup lagi untuk mempertahankan rumah tangganya

9

Ibid., hal. 95

10

(52)

49

karena sikap isteri yang kurang baik terhadap suami. Sejak saat itu pula keduanya pisah rumah dan akhirnya pemohon mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Depok untuk mengakhiri kehidupan rumah tangga beserta isteri dengan bercerai.11

Dalam mengatasi masalah rumah tangga antara pemohon dan termohon, pihak keluarga dari keduanya telah berupaya untuk mendamaikan pemohon dan termohon, tetapi tidak menghasilkan jalan keluar yang baik dan tidak bisa kembali hidup rukun.12

2. Petitum/Tuntutan Perkara

Mengenai tuntutan yang diinginkan oleh pemohon dalam permohonannya kepada majelis hakim yaitu, agar mengabulkan permohonannya dan menetapkan untuk memberi izin kepada pemohon mengucapkan ikrar talaq terhadap termohon di depan sidang pengadilan setelah memiliki kekuatan hukum tetap, serta menetapkan biaya perkara menurut hukum.13

Selama proses pemeriksaan perkara dalam persidangan yang telah ditentukan pemohon dan termohon tidak pernah hadir, padahal keduanya telah dipanggil secara resmi dan patut, dan tidak pernah menyuruh orang lain sebagai wakilnya. Ternyata ketidakhadirannya itu disebabkan suatu halangan yang sah.

11

Ibid., hal. 95

12

Ibid., hal. 95

13

(53)

2. Pertimbangan Hukum

Berdasarkan atas maksud dan tujuan permohonan pemohon dalam petitum/tuntutan adalah ingin bercerai, tetapi para pihak yang berperkara tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak pernah juga menyuruh orang lain sebagai wakilnya, padahal pihak pengadilan telah memanggil keduanya dengan resmi dan patut.14

Pertimbangan hukum lain yang digunakan majelis hakim yaitu berdasarkan ketentuan Pasal 124 HIR, permohonan pemohon dinyatakan gugur. Bahwasanya majelis hakim berpendapat tidak adanya kesungguh-sungguhan dengan permohonan pemohon. Dan oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat(1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, semua biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada pemohon.15

C. ISI POKOK PERKARA NOMOR 1301/Pdt. G/2008/PA. Depok

1. Duduk Perkara/Posita

Bahwa Pemohon dan Termohon dalam surat permohonannya tertanggal 15 Desember 2008 telah mendaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Depok dengan register perkara Nomor 1301/pdt. G/2008/PA. Depok. Pada perkara ini

14

Ibid., hal. 95

15

(54)

51

seperti dua perkara sebelumnya, adalah perkara cerai talaq. Dimana pemohonnya adalah suami yang bernama Ahmad bin Daud (samaran) berumur 26 tahun, agama Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan karyawan swasta dan beralamat di tinggal di jalan Andara RT. 01 RW.01 No. 43, Kelurahan Pangkalan Jati Baru, Kecamatan Limo, kota Depok. Adapun termohon adalah Siti binti Jhoni (samaran) berumur 26 tahun, agama Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal di jalan H. Terin RT. 02 RW.03 No. 60, Kelurahan Pangkalan Jati Baru, Kecamatan Limo, Kota Depok.16

Bahwa antara pemohon dan termohon adalah suami isteri yang sah, dan telah melaksanakan pernikahan pada tanggal 23 Februari 2004, dengan Kutipan Akta Nikah Nomor 163/119/II/2004 tanggal 24 Februari 2004, yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Limo, Kota Depok. Dan selama pernikahan keduanya telah dikaruniai dua orang anak yang bernama Puteri (samaran) umur 5 tahun dan Rizal (samaran) umur 9 bulan.

Semula kehidupan rumah tangga mereka adalah rukun dan harmonis, tetapi sejak tahun 2005 badai kehidupan rumah tangga menerpa mereka dengan berbagai masalah yang datang. Penyebab permasalahan tersebut adalah karena sikap isteri

16

(55)

yang mempunyai sifat keras kepala, egois dan mau menang sendiri, merasa pendapatnya yang paling benar sehingga seringkali nasehat Pemohon diabaikan.17

Alasan lain yang membuat suami menceraikan isterinya yaitu karena sikap isteri yang acuh atau kurang memperhatikan ayah mertua yang sudah lanjut usia dan mulai sakit-sakitan, padahal tempat mereka tinggal bersebelahan dengan ayah mertua.18 Seharusnya sebagai anak menantu, dia harus menghormati dan bersikap baik terhadap orang tua (mertua) layaknya kepada orang tua kandung sendiri.

Setiap kali pemohon dan termohon bertengkar, termohon selalu pergi meninggalkan rumah dan pergi ke rumah orang tuanya sehingga termohon melalaikan kewajiban sebagai isteri. Termohon juga selalu curiga akan penghasilan pemohon yang hanya sebagai karyawan swasta. Dan puncak dari perselisihan keduanya yaitu pada tanggal 19 Agustus 2008 ketika salah satu anak dari mereka sedang sakit, seharusnya sebagai seorang ibu atau orang tua merawat dan membawa berobat anaknya ke rumah sakit, tapi termohon memulai perselisihan dengan mengungkit penghasilan pemohon dan pergi meninggalkan rumah, dan dari sikap isteri yang tak kunjung berubah membuat pemohon tidak sanggup lagi untuk

17

Gambar

gambaran yang jelas mengenai pengertian hukum Islam, terlebih dahulu akan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam musyawarah yang dihadiri oleh Kepala Desa Wates, Kepala Desa Undaan Lor, serta beberapa warga yang tergabung dalam kelompok tani tersebut salah satunya menghadirkan

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir karya tulis ilmiah yang berjudul “Perbedaan Penurunan

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pertumbuhan dan

Gambar 4.7 Persentase Tarif yang Dibayar Penumpang Minibus L-300 Koperasi APS pada Hari Kerja

Dengan selesainya penelitian ini, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang akan dapat memberikan informasi yang dapat dipakai sebagai bagian upaya penting

Presenta se = 76% Pengaruh tergolong sedang Besarnya pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Heads Together (NHT) terhadap hasil belajar Fiqih Peserta didik

secara khusus. 3) Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar sarana fasilitas tersebut antara lain

Comparison Of Game Series Learning Strategy With Conventional Learning In Improving The Ability Of Fundamental Motor Skill Of Elementary School Students In