• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi Kepentingan Obat Dan Kosmetika : Analisis Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia No.2.Tahun 2000

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan Organ Tubuh Manusia Bagi Kepentingan Obat Dan Kosmetika : Analisis Keputusan Fatwa Majlis Ulama Indonesia No.2.Tahun 2000"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

Nomor : Istimewa Jakarta, 12 Mei 2008 Hal : Revisi Judul Skripsi

Lampiran : Satu (1) buah proposal skripsi, out line dan daftar pustaka sementara Kepada Yth

Bapak Drs. Djawahir Hejazziey, SH, MA Koordinator Teknik Non Reguler

Fakultas Syari’ah dan Hukum Di

Tempat

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Teriring salam di atas saya do’akan semoga Bapak berada dalam keadaan sehat wal’afiat dan selalu berada dalam lindungan Allah SWT, serta sukses selalu dalam menjalankan aktifitas sehari-hari. Amin Ya Rabbal’alamin

Sehubungan dengan telah terpenuhinya jumlah SKS sebagai salah satu syarat dalam menulis skripsi maka dari itu, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Ahmad Sonifuniam

NIM : : 204044103018

Jurusan / Prodi : Ahwalus’syaksiyah / Peradilan Agama Semester : VIII

Untuk itu saya menulis skripsi sebagai syarat mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (SHI). Adapun Judul yang saya ajukan adalah “Analisis Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia No. 2 Tentang Penggunaan Organ Hewan Bagi Kepentingan Obat-Obatan dan Kosmetika”.

Sebagai bahan pertimbangan untuk bapak maka saya lampirkan satu (1) buah proposal skripsi, out line, dan daftar pustaka sementara.

Demikianlah surat permohonan ini saya ajukan dengan harapan bapak dapat memakluminya, dan atas perhatian bapak saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

(2)

PENGGUNAAN ORGAN TUBUH MANUSIA BAGI

KEPENTINGAN O B A T D A N K O S M E T I K A

(ANALISIS KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA

INDONESIA NO. 2. TAHUN 2000)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

AHMAD SONIFUNIAM

NIM : 204044103018

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

PENGGUNAAN ORGAN TUBUH MANUSIA BAGI

KEPENTINGAN O B A T D A N K O S M E T I K A

(ANALISIS KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA

INDONESIA NO. 2. TAHUN 2000)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

AHMAD SONIFUNIAM

NIM : 204044103018

Di Bawah Bimbingan:

Drs. H. A. Basiq Djalil, SH,MA NIP. 150 169 102

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGAM STUDI AHWAL ALSYAKHSHIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratn memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya dapat gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima hukuman dan sanksi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, November 2008

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI……….. iv

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah……… 1

B.

Batasan dan Rumusan Masalah………. 7

C.

Tujuan Penelitian……….. 9

D.

Metode Penelitian………. 9

E.

Kajian Terdahulu………... 11

F.

Sistematika Penulisan………..13

BAB II LANDASAN TEORI

A.

Pengertian dan Macam Halal Haram………..14

B.

Prinsip Dasar Halal Haram………... 21

C.

Pengertian dan Kriteria Darurat……… 28

D.

Metode

Ist

î

nb

â

ath

(

Qi as

,

Istihs

â

n

,

Mashlahah

Mursalah

,

dan Istish

â

b)………. 37

(6)

B.

Kedudukan Fatwa MUI……… 58

C.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia………... 61

BAB IV ANALISIS FATWA MUI

A.

Analisis Batasan Darurat……….. 67

B.

Ist

î

nb

â

th

Menetapkan Hukum……….. 75

C.

Analisis Penulis……….... 79

BAB V PENUTUP

A.

Kesimpulan………82

B.

Saran……… ..84

DAFTAR PUSTAKA……… . .85

(7)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Tiada kata yang pantas penulis ucapkan selain memanjatkan untaian uji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan ni’mat, rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabat, dan kepada kita semua selaku umatnya yang mengharapkan safaatnya di hari akhir nanti.

Pada dasarnya dalam proses penulisan skripsi ini, penulis mengalami berbagai kesulitan, akan tetapi dengan kekuatan, bantuan serta partisipasinya dari baebagai pihak, baik moril maupun materiil, Alhamdulillah akhirnya skripsi ini dapat selesai dengan baik. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis perlu menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya terutama kepada Bapak:

1. Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma., S.H., MA., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H. A. Basiq Djalil., S.H., M.A., selaku Ketua Jurusan Al Akhwal Al Syakhsiyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis. 3. Kamarusdiana., S. Ag. MH., selaku sekretaris Jurusan Al Akhwal Al

(8)

4. Drs. Djawahir Hejazziey, SH., MA., selaku Ketua Non-Reguler Fakultas Syari’ah dan HUkum UIN Jakarta dan Drs. H. Ahmad Yani, MA., selaku Skretaris Non-Reguler Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Dosen serta karyawan di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis.

6. Pimpinan serta staff Perpustakaan Utama UIN serta Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam melengkapi litelatur guna mendukung skripsi ini.

7. Ibunda (Siti Aminah) dan ayahanda (Ahmadi) tercinta yang telah memberikan dorongan, semangat, mendo’akan serta memberikan limpahan kasih sayang, motivasi, dan saran baik secara moril maupun materiil sehingga Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan kuliah ini. 8. Kakakku ( Akhid Ahmadi, Ummi Kulsum, Abdul Halim Alharis, Yaroh,

Siti Magfiroh, Yadi, Samsul Ma’arif dan Hanifah) yang telah memberikan semangat serta dorongannya baik moril atau materiil. 9. Pengurus Masjid At-Tawqa II Pamulang II dan Pengajian Niftakul

(9)

10.Sahabat-sahabatku Majid, Badruz, Melqi, Anwar, Bon2, Bang Ayub dan Lontong, dkk yang telah banyak membantu moril maupun materiil dalam penulisan ini.

11.kepada seluruh teman-teman seperjuangan angkatan tahun ajaran 2004/2005 yang berkonsentrasi pada Peradilan Agama.

Akhirnya semua partisipasi dari semua pihak penulis serahkan semuanya kepada Allah SWT, semoga segala dibalas oleh Allah yang berlipat ganda sebagai amal baik. Dan skripsi ini bermanfaat dan sekaligus dapat menambah ilmu kepada kita semua. Amin

Ciputat,19 November 2008

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk yang memiliki sifat bertanggung jawab karena ia memiliki kemampuan untuk memilih secara sadar dalam meraih cita-cita dalam kehidupannya. Sadar akan hal itu berarti, mengetahui kondisi yang ada dan konsekwensi yang akan ditimbulkannya. Manusia dapat berperan dengan baik dalam kelompok kecil maupun kelompok masyarakat bahkan dalam pembentukan ulang norma-norma disekitarnya ketika berhadapan dengan tantangan-tantangan untuk membuat pilihan-pilihan yang secara mandiri dalam hidup dengan gaya yang dimiliki.1

Agama Islam memiliki aturan-aturan yang menjaga manusia dari kerusakan. Menjauhkan manusia dari tiap-tiap zahrah kerendahan serta seterusnya yang membimbing manusai itu mencapai puncak kemuliaan, kebahagiaaan, dan kesempurnaan.2

Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta keberhasilan pembangunan akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan manusia. Tidak saja membawa kemudahan, kebahagiaan dan kesenangan, melainkan juga menimbulkan sejumlah persoalan. Disisi lain kesadaran keberagaman umat Islam, khususnya di Indonesia. Pada dasawarsa terakhir ini semakin tumbuh subur

1

Muhammad, R. Lukman Fauroni, Visi Al-Qur`an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta : Salemba Diniyah, 2002, hlm . 99

2

(11)

dan meningkat. Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan, penemuan maupun aktivitas baru sebagai produk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, memunculkan pertanyaan, bagaimanakah kedudukan hal tersebut dalam pandangan hukum Islam?3

Salah satu persoalan yang cukup mendesak yang dihadapi umat Islam adalah membanjirnya produk obat-obatan dan kosmetika. Dengan semakin meningkatnya tingkat keimanan seseorang, menumbuhkan kehati-hatian dalm memilih produk yang akan dikonsumsi. Karena mengkonsumsi yang halal dan suci merupakan perintah agama. Dalam Al-Qur an disebutkan:

!"

#$ %

&

'(*+,-./0

234,5

670

8 9

: ,8;+<=

>

?& A B

6 C,

D F 

G H (

I JK

Artinya: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; Karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Baqarah : 168).4

LMN OPQ

0

RS

:

T

2*U,-6 C V';O

W0

X CYP

0

ZQ

[ B

]! RS

%

^

B

L_ F(

,5

IabK

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” (Qs. Albaqarah : 172).5

3

Departemen Agama, Sistem dan Prosedur Penerapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : 2003, hlm. 25

4

Departemen Agama, Al-Qur`an dan terjemahannya, Semarang Toha Putra 1989, hlm. 41

5Ibid

(12)

Ayat-ayat di atas menyatakan bahwa mengkonsumsi yang halal hukumnya wajib karena merupakan perintah agama. Tetapi juga menunjukan bahwa mengkonsumsi yang halal merupakan salah satu bentuk perwujutan dari rasa syukur dan keimanan kepada Allah.

Teknologi pembuatan obat-obatan dan kosmetik sama pesatnya dengan perkembangan teknologi pangan. Menurut wakil ketua lembaga pengkajian pangan, obat-obatan dan kosmetik, Majelis Ulama Indonesia, Anna P Roeslem, banyak kosmetika yang beredar di Indonesai mengandung bahan tidak halal, bahan-bahan yang diragukan kehalalannya diantaranya plasenta.6 Plasenta atau ari-ari ini merupakan organ manusia yang berfungsi sebagai media nutrisi untuk embrio yang ada dalam kandungan. Ia memiliki bobot seberat 600 gram berdiameter 16-18 cm dan mengandung 200 ml darah yang berisi jaringan seperti spon. Selam berfungsi sebagai sumber kehidupan. Embrio plasenta kaya akan kandungan darah dan juga protein seperti albumin, hormon seperti estrogin dan subtansi lain seperti asam, deoxy ribo nukleat. Semula plasenta digunakan dalam bidang farmasi, karena organ ini mempunyai fungsi yang luas. Di antaranya adalah untuk menyembuhkan cacar bawaaan, terapi kangker, kehilangan protein akut melalaui luka bakar, infeksi bakteri yang berulang dan serius serta menginitis.7

Kosmetik bagi wanita, telah menjadi bagaian hidup dalam kesehariannya. Kosmetik mereka pakai untuk mempercantik diri dan merawat kecantikan itu agar

6

http://www.halal.guid.info/contet/view/610/38, Jum’at, 2 Maret 2007

7

(13)

tidak lekas pudar. Tak jarang berbagai produk di coba demi mencapai tujuannya meski terkadang mereka mengabaikan terhadap bahan baku kosmetik itu sendiri. Bagi muslimah tak hanya fungsi kosmetik yang mesti mereka pikirkan. Namun wanita muslimah juga harus memperhatikan kehalalan bahan baku kosmetik yang mereka gunakan.8

Dulu perusahaan kosmetika menggantungkan pada bahan-bahan yang memiliki khsiat yang misterius, seperti minyak yang diperoleh dari kura-kura yang meningkatkan peremajaan kulit atau mengencangkan otot yang terdapat didagu. Kemudian minyak ikan paus, royal jelly yang berasal dari lebah ratu, ekstrak embrio anak ayam, serum darah kuda, dan ekstrak kulit babi yang mempunyai khasiat khusus9.

Semakin maju teknologi semakin banyak pula alternati-alternatif bahan baku kosmetik yang digunakan, sebagai contoh plasenta, ekstrak plasenta merupakan sumber proterin yang bisa berasal dari hewan maupun manusia, biasanya ia menjadi bahan baku krem regenerasi untuk memperbaiki elastisitas kulit dan mencegah degenerasi sel, sehingga menghasilkan fungsi kulit yang diinginkan. Seiring dengan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan kulit yang cantik dan menawan, produk-produk berplasenta semakin digemari. Tetapi tanpa informasi yang mendamai kepada konsumen tidak menutup kemungkinan masyarakat akan terjebak kepada produk yang sebenarnya najis dan dilarang agama, preparat kosmetik yang menggunakan

8

http://www.halal.guid.info/contet/610/38, Jum’at, 2 Maret 2007

9

(14)

plasenta dan turunannya tidak jelas sumber plasenta ynag digunakan. Apakah berasal dari plasenta manusia atau hewan, keduanya memiliki permasalahan yang sama ditinjau dari sudut kehalalan.10

Penggunaan babi dan turunannya atau bagian tubuh manusia dalam dunia kedokteran memang lazim terjadi. Perusahaan-perusahan farmasi secara terbuka, sudah bukan rahasia lagi jika bagian tubuh manusia atau pun penggunaan babi dimanfaatkan dalam pembuatan produk-produk seperti vaksin, sediman obat dan bahan kosmetik11.

Namun apakah informasi tersebut sampai pada konsumen muslimah yang menggunkan? Hadist Nabi SAW mengatakan :

!

:

"

$

!

%

&'

(

$

!

)

*

&'

+

12

Artinya: “Dari Abu Hurairah Ra. Dari Nabi Saw. Beliau berkata : Kalau Allah menurunkan penyakit, maka Allah menurunkan obatnya”

Sebagai negeri dengan penduduk mayoritas muslim, menyediakan produk halal menjadi sebuah kewajiban, namun hingga kini kesadaran perusahaan untuk mensertifikasi halal masih kurang data MUI hanya 16.040 atau sekitar 20 % produk yang bersertifikat halal. Dimana jumlah itu didominasi produk pangan. Sedangkan perusahaan obat dan kosmetik yang bersertifikat halal baru 5%. Ketua Komisi Fatwa MUI KH. Ma`ruf Amin mengatakan seperti halnya makanan, kehalalan kosmetik dan

10

http://www.hala.guid.info/contet/view/891/38. Jum’at, 2 Maret 2007

11

http://www.halal.guid.info/contet/view/610/38. Jum’at, 2 Maret 2007

12

(15)

obat-obatan di Indonesai sangat penting. Ia berpendapat, jangan sampai kosmetik dan obat-obatan di Indonesia yang digunakan masyarakat muslim Indonesia adalah barang-barang yang haram atau bercampur dengan bahan yang haram. Disinilah perlunya sertifikasi halal bagi kosmetik dan obat-obatan.13

Disisi lain khususnya untuk pengobatan, konsumen seringkali berlindung dibalik status darurat. Bila tujuannya untuk pengobatan dan tidak tersedia bahan halal maka bahan haram pun tidak mengapa. Kaidah fikih menegaskan :

,

-.

/

0

1

2

3

-14

Artinya: “Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan”)

Sekali pun kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang (diharamkan) tetapi tidak boleh sengaja menjatuhkan kepada keadaan dan melewati batas hukumnya. Tetapi harus berusaha mengikatkan diri kepada pangkal kehalalan terus berusaha mencari yang halal.15

Alasan yang mendasar pengambilan masalah skripsi yang penulis susun adalah karena dalam keadaan darurat, kurangnya sosialisasi produk yang diharamkan sehingga masyarakat tidak tau produk mana saja yang mengandung organ tubuh manusia dan air seni manusia termasuk benda najis maka haram digunakan untuk obat.

13

http://www.halal.guid.info/contet/view/610/38, Jum’at, 5 Maret 2007

14

Jaih Mubarok, Kaidah Fikih Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 149

15Ibid

(16)

Banyaknya produk yang belum jelas kehalalannya, tentunya sangat membingungkan orang Islam. Atas dasar itu MUI menetapkan lembaga yang dipandang berkompeten dalam memberikan jawaban terhadap masalah sosoial yang timbul.

MUI mengeluarkan fatwa mengenai penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika sebagai respon terhadap permasalahan yang mulai meresahkan masyarakat. MUI menganggap bahwa penggunaan organ tubuh, ari-ari dan air seni manusia haram digunakan untuk obat-obatan dan kosmetika, kecuali dalam darurat diperbolehkan digunakan sebagai obat.

Berangkat dari masalah di atas, maka bagai mana fatwa MUI dalam mengatasi terhadap masalah yang timbul, khususnya penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika

B. Batasan Dan Rumusan

1. Batasan Masalah

Masalah skripsi ini dibatasi sebagai berikut: “Dalam Islam sangat menghormati organ tubuh manusia walau telah wafat karena sebagai makhluk adam sangat dimuliakan oleh Allah, tapi dalam kenyataan ada sebagian organ manusia digunakan untuk kepengtingan kosmetika dan obat-obatan karena ingin menjadikan kulit yang cantik dengan mengabaikan kehalalan produk yang digunakan. Seperti menggunakan organ tubuh manusia yang sebagai mana Islam melarangnya.”

a. Kosmetika adalah suatu produk yang digunakan untuk perawatan kulit agar tetap menjadi baik atau indah

(17)

c. Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah keagamaan dan berlaku untuk umum.

d. Batasan adalah larangan yang tidak boleh dilanggar

e. Darurat ialah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila kita tidak dilakukan akan dapat mengancam jiwa manusia

2. Rumusan Masalah

Adapun Rumusan tersebut diperinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa hukum penggunaan organ manusia untuk kepentingan obat-obatan dan

kosmetika menurut fatwa MUI ?

2. Bagaimana istînbâth hukum yang dilakukan MUI ? 3. Apa batasan darurat yang diperbolehkan MUI ? C. Tujuan Penelitian

Dengan memperhatikan rumusan masalah, maka pembahasan skripsi ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui fatwa MUI No. 2 thn 2000 tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika

2. Untuk mengetahui istînbâth hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan hukum penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika 3. Untuk mengetahui batasan darurat yang diperbolehkan MUI tentang penggunaan

organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika D. Metode Penelitian

(18)

perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri.16 Secara umum metode penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut :

1.Metode pengumpulan data

Sesuai dengan keperluan studi ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (Libiary research)17 yaitu penelitian yang bertujuan untuk menbuat model atau ingin membandingkan apa yang terjadi dengan kejadian yang sebenarnya maka menggunakan teori. Dengan membaca teks atau dari hasil meneliti buku-buku yang memuat uraian yang berkenaan tentang keputusan fatwa MUI No. 2 thn 2000 tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.

Pada metode ini penulis mempergunakan system pencarian sumber data melalui dua sumber data yaitu :18

a. Sumber data primer

Sumber data primer yang penulis gunakan metode dokumentasi19 yaitu: barang-barang tertulis. Penelitian menyelidiki bendan-benda tertulis seperti majalah, dokumen dan buku yang membahas keputusan fatwa MUI No.2 tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.

b. Sumber data skunder

16

Furchan Arief, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, Surabaya: 1992, hlm. 21-22

17

Hadi Sutrisno, Metodelogi Researgh, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2004, hlm. 10

18

Joko Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1991, hlm. 87-88

19

(19)

Data sekunder ini meliputi berbagai bahan yang secara tidak langsung berkaitan dengan pokok masalah. Sumber data sekunder diantaranya: buku-buku lain yang berikaitan dengan permasalahan, media masa, media cetak ataupun hasil-hasil penelitian.

2. Metode analisis data

Untuk menganalisis data yang telah dikumpul dan diteliti, selanjutnya dilakukan suatu analisis untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya terhadap pokok masalah yang akan dikaji.

Adapun metode yang digunakan dalam analisis data ini adalah metode deskriptif20 analisis yakni suatu metode analisis yang menekankan pada pemberian sebuah gambaran terhadap data yang telah terkumpul, bertujuan untuk menggambarkan secara obyektif tentang keputusan fatwa MUI No.2 tentang penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.

Metode ini sangat berguna untuk menghasilkan kesimpulan yang falit dan dapat menggambarkan secara obyektif fatwa MUI tentang penggunaan obat-obatan dan kosmetika

3. Teknik Penulisan

Adapun mengenai teknik penulisan karya tulis ini, penulis mengacu kepada buku pedoman penulisan skripsi yang disusun oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007

E. Kajian Terdahulu

20

(20)

Kajian terdahulu dimaksudkan untuk memberikan informasi tentang penelitian atau karya-karya ilmiah lain yang berhubungan dengan penelitian yang akan diteliti agar tidak terjadi penggandaan atau duplikasi.

1. Skripsi Catur Nopianto yang berjudul “penerapan fatwa MUI dalam melahirkan produk halal (studi kasus McDonald Indonesia)”. Dalam skripsi tersebut membahas tentang seputar proses sertifikasi di McDonald Indonesia yaitu hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana proses mekanisme untuk mendapat sertifikasi halal dari MUI dan prosedur-prosedur aoa saja yang ditetapkan oleh MUI terhadap McDonald, guna mempertahankan label yang sudah disahkan oleh MUI.

2. Skripsi Masrukin yang berjudul “mekanisme standarisasi halal haram produk vetsin (studi fatwa MUI tahun 2000 tentang MSG yang menggunakan boctosoytone). Skripsi tersebut membahas tentang penggunaan bactosoytone yang mengandung enzim babi untuk produk penyedap rasa. MUI telah menetapkan fatwa produk penyedap rasa (MSG) yang menggunakan bactosoytone dalam proses produknya adalah haram.

3. Skripsi Muhammad Maksum yang berjudul “argumentasi fatwa haram? Halal produk monosodium glutamate ajinomoto dan pengikatnya”. Skripsi tersebut membahas mengenai produk penyedap rasa (MSG) dari PT, ajinomoto Indonesia yang menggunakan mameno adalah halal.

(21)

a. Dalam fatwa MUI tentang penggunaan organ tubuh, ari-ari dan air seni manusia hukumnya haram kecuali dalam keadaan darurat boleh menggunakan organ tubuh manusia tapi tidak boleh lebih.

b. Fatwa MUI tenteng produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto Indonesia yang menggunakan bactosoytore dalam proses produksinya adalah haram. c. Sedangkan fatwa MUI tentang produk penyedap rasa (MSG) dari PT. Ajinomoto

Indonesia yang menggunakan mameno adalah halal.

F. Sistematika Penulisan

Mengenai sistematika penulisan, dalam hal ini penulis membaginya dalam lima bab yang secara garis besar sebagai berikut :

Bab Pertama tentang pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab Kedua tentang landasan teori. Dalam bab ini berisi tiga sub bab. Pertama, tentang definisi halal haram, macam halal haram, prinsip dasar halal haram. Kedua, tentang definisi darurat, tingkatan darurat, batasan-batasan darurat, dan hukum darurat. Ketiga, tentang metode istinbath hukum (qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan istishab).

Bab Ketiga tentang profil singkat MUI, keputusan fatwa MUI No. 2 tentang penggunaan obat-obatan dan kosmetika.

(22)

Analisis istinbath hukum yang dilakukan MUI dalam menetapkan hukum penggunaan organ tubuh bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.

(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian dan Macam-Macam Halal Haram

1. Pengertian Halal dan Haram

Halal adalah yang boleh, yang terbebas dari ikatan larangan-larangan dan telah diizinkan oleh syriat dalam melakukannya.21 Haram adalah perkara yang dilarang melakukannya oleh syariat dengan pelarangan yang sungguh-sungguh. Apabila ia tidak melanggar larangan tersebut, maka ia akan mendapatkan hukuman di akhirat berupa siksaan, dan bisa saja hukuman tersebut dilakukan di dunia.22

Menurut ulama ushul fiqh terdapat dua definisi haram, yaitu dari segi esensinya serta dari segi bentuk dan sifatnya. Dari segi batasan dan esensinya merumuskan haram dengan sesuatu yang dituntut syari’at (Allah swt dan Rasul-Nya) untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat. Dan segi bentuk dan sifatnya merumuskan haram dengan suatu perbuatan yang pelakunya dicela.23

Ungkapan yang digunakan Al-Qur an dan sunnah untuk menunjukkan haram. Diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :24

a. Tuntutan yang langsung menggunakan lafadz at-tahrîm dan yang seakar dengannya. Misalnya, dalam surat an-Nisa’ ayat 23

21

Qaradhawi Yusuf, Halal Haram Dalam Islam, Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2005, hlm. 15

22Ibid

., hlm. 15

23

Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Iktiar Baru Van Houve, 1997,hlm. 523

24Ibid

(24)

YT

c*X&

6R2;+%

6 Cd

ef

6 C

5

V' g0

bcK

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu” dan surah al-An;am ayat 145

h

O

i/

Fj: f

Q

9k

ef

l %m B

n oXp

q

> %5 

r] 

,-s?&

Y8

i/ B

[ f

L_

C

7p d;U

f

'

U

On% Rst

f

96,,

X uvw9

I K

Artinya : “Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku. Sesuatu yang diharamkanbagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi”.

Lafadz diharamkan dalam kedua ayat di atas menunjukan secara pasti hukum keharamannya.25

b. An-Nahy (lafadz An-Nahy). Karena lafadz An-nahy memfaedahkan keharamanya. Misalnya dalam surat Al. An’am ayat 151

./0

g X;B,5

xn &70 $s;

I IK

Artinya : “Jangan kamu mendekati” dalam ayat tersebut menunjukan hukum haram.

c. Tuntutan untuk menjahui suatu perbuatan. Misalnya dalam surat Al-Maidah ayat 90

pyLF

N OPQ

z '

0

A B

XY , ;{

|w ;U

;

0

8}

x~A!"

0

6 ,

;W!"

0

koY•

Y: €

Kh

: ,8;+<=

% ( • dY•

,‚

6 Cƒ

,

[ ,

;s

5

„jK

25Ibid

(25)

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jahuilah perbuatan-perbuatan itu agar kami mendapat keberuntungan.”

Lafadz “ Jauhilah “ dalam ayat ini juga merupakan lafadz yang menunjukan hukum haram.26

d. Lafadz “ La yakhillu “ (tidak dihalalkan). Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 230

[ …,‚

,B

,-.$,‚

h

?f,Q

:

F

g

>k3†

&

$wC',5

O‡:

W

?%0| X$G

bcjK

Artinya “Kemudian jika si suami menolaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, hinnga dia kawin dengan suami yang lain.“

e. Sesuatu yang dibarengei dengan ancaman hukuman. Misalnya dalam surat An-Nur ayat 4

N OPQ

0

[ 

X

T V'x~, ;

o6

]

],

5‚

p

g

g

0 Q

FpyR^

]

ˆ F

Y•

,‚

H

04 ]

V

./0

(;B,5

6‰&Š

‹V

F py

^

'F g f

>

(Œ

,

ef0

6

ˆ

[ RBwt $s;

K

Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka dosalah mereka ( yang menuduh itu ) delapan puluh kali dera, dan janganlah kami terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka adalah orang-orang yang fasik.

“Lafadz“ Deralah” merupakan ancaman Allah SWT hukumnya haram.27

26

Addul Aziz Dahlan., et al., Ensklopedi Hukum Islam., hlm. 524

27Ibid

(26)

f. Setiap lafadz yang menunjukan pengingkaran terhadap suatu pekerjaan dengan pengingkaran yang amat ditekankan, seperti ungkapan ghadaba Allah ( Allah melaknat ) dan qatala Allah ( Allah memerangi )

Dalam suatu hadist dijelaskan

+ * + 0"+345+

+67 + " + + 89+:5+ +; 1 + + 89+:5+ +<ﺡ + "+!+>1

7

+

+?

+ @ "+ + +AB" 8 +C

D

Artinya: “Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, yang haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya. Dan hal-hal yang tidak disebutkan Allah hukumnya adalah pemberian-Nya, maka terimalah pemberian-Nya, Allah bukan lupa dengan hal-hal yang tidak disebutkan-Nya.”

Maka baik yang ditegaskan halalnya atau hukum ditegaskan tetapi tidak ada larangan, semua termasuk ke dalam istilah halal atau mubah ini berlaku untuk benda, manfaat, dan segala urusan keduniaan.28

2. Macam Halal dan Haram

Sebagai mana dikemukakan dalam pendahuluan, masalah kehalalan produk yang akan dikonsumsi merupakan persoalan besar dan urgen, sehingga apa yang akan dikonsumsi itu benar-benar halal, dan tidak tercampur sedikit pun barang haram. Oleh karena tidak semua orang dapat mengetahui kehalalan suatu produk secara pasti, sertifikat halal sebagai bukti penetapan fatwa halal bagi suatu produk yang dikeluarkan MUI merupakan suatu keniscayaan yang mutlak diperlukan keberadaannya.29

28

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatulah, Ensiklopedi Islam Insdonesia, Jakarta: Djambatan, 1999, hlm. 289-290

29

(27)

Dalam Islam makanan merupakam tolak ukur dari segala cerminan penilaian awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk perilaku seseorang. Makanan bagi umat Islam tidak sekedar kebutuhan lahiriyah, tapi juga bagian kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi. Seseorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi sesuatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram, atau yang belum diketahui kehalalannya akan berakibat buruk, baik di dunia maupun di akhirat.30

Menurut hukum Islam secara garis besar perkara (benda) haram terbagi menjadi 2 (dua) yaitu haram li-dhâtih dan haram li-ghairih. Kelompok pertama, subtansi benda tersebut diharamkan oleh agama, sedangkan yang kedua, substansinya bendanya halal (tidak haram) namun cara penangannya tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Contohnya, kambing yang dipotong secara tidak Syar’i, bendanya halal tetapi diperoleh dengan cara yang dilarang oleh agama, misalnya hasil mencuri, menipu, korupsi, dan sebagainya.31

Mengenai benda yang haram karena benda (zatnya) itu sendiri dapat terperinci secara mendetail, bahwa segala sesuatu ada dipermukaan atau di dalam perut bumi tidak akan melampaui tiga macam keolmpok golongan, yakni adakalanya berupa tambang seperti garam, tanah liat, sebagainya. Adakalanya berupa tanaman (nabati) dan adakalanya berupa binatang (hayawani).32

30

Thabieb al-Asyhar, Bayaha Makanan Haram Bagi Kepentingan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003, hlm.73-74

31

Depag. RI.,Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI., hlm. 14

32

(28)

Benda tambang merupakan bagian bumi atau segala sesuatu yang dikeluarkan dari bumi dan berwujud benda mati. Benda-benda semacam ini halal dimakan kecuali jika dengan memakan sedikit atau banyak, maka dengan demikian hukumnya haram. Jadi keharaman benda tambang semata-mata karena akan menimbulkan atau mendatangkan bahaya.33

Benda nabati, dari golongan benda ini tidak ada yang diharamkan untuk memakannya kecuali yang dapat memusnahkan kehidupan atau merusak kesehatan. Tentang yang melenyapkan akal itu, seperti obat, ganja, narkotika, khamr, dan benda-benda lain yang memabukkan. Yang memusnahkan kehidupan semacam racun yang merusak kesehatan misalnya, obat-obatan yang diminium tidak sesuai dengan resep. Jadi ringkasnya, semua itu diharamkan karena adanya bahaya yang timbul dari masing-masing benda tadi. Untuk arak (khamr) atau segala sesuatu yang memabukkan maka hukumnya tetap haram meskipun minum sedikit. Hal ini karena keharaman khamr sudah qath’ î (sudah pasti) dari nash al-Qur an.34

Benda hayawani dalam hal ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu yang boleh dimakan dan yang haram dimakan. Binatang-binatang yang halal dimakan dapat tetap halal dimakan, apabila cara penyembelihannya dilakukan menurut syari’at Islam, atau tidak mati dengan sendirinya, kecuali ikan dan belalang tetap halal tanpa disembelih.35

33Ibid

., hlm. 25

34Ibid

., hlm. 25

35 Ibid

(29)

Sayyid Sabiq membagi makanan/benda yang haram secara dzatiyah (substansi barangnya) ke dalam dua kategori yaitu : jamad (benda mati) dan hayawan (binatang).36

Jamad (benda mati) yaitu semua jenis makanan yang berwujud benda mati, hukumnya halal selama tidak najis, misalnya membahayakan dan memabukkan. Najis, misalnya darah mutanajis yaitu sesuatu yang terkena najis misalnya minyak samin yang di dalamnya ada bangkai tikus. Barang yang diharamkan karena membahayakan seperti racun. Yang diharamkan karena memabukkan adalah khamr (minuman keras). Barang ini mutlak keharamannay karena menghilangkan keseimbangan emosi dan akal bagi peminumnya.37

Hayawan (binatang), hukum bintang yang halal dimakan dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu : Pertama, binatang darat. Hukum binatang dari jenis ini adalah ada sebagian halal dan sebagian yang lain haram. Halalnya binatang yang hidup di darat seperti : sapi liar, unta liar, kijang, dan sebagainya. Binatang itu semua halal untuk dimakan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dalam As-Su nah binatang yang halal yaitu ayam, kuda, khimar, anab (sejenis biawak), kelinci, belalang dan jenis burung kecil.38

Adapun binatang darat yang diharamkan adalah binatang sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3 yaitu bangkai, darah, daging babi, daging binatang yang disembelih selain atas nama Allah, hewan yang mati tercekik,

36

Thabieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003, hlm. 126-135

37 Ibid

., hlm. 126

38 Ibid

(30)

terpukul, terjatuh, tertanduk, tertekam oleh binatang buas (kecuali yang sempat disembelih) dan binatang yang disembelih untuk berhala.39

Termasuk binatang yang haram dimakan adalah binatang yang dikategorikan menjijikan, misalnya : ular, kalajengking, jenis kumbang dan sebangsanya, kuku binatang, kutu rambut, dan sebangsanya. Hewan yang termasuk buas, yaitu yang mempunyai taring yang kuat dan burung yang mempunyai pelatuk yang kuat yang bias melukai. Contoh binatang buas adalah harimau, macan kumbang, macan tutul, anjing pelacak, kera, gajah, buaya, jerapah, dan sebagainya. Hewan-hewan yang diperintahkan Islam membunuhnya seperti tikus, kalajengking, burung elang, lipan, dan sebagainya. Hewan yang dilarang oleh Islam untuk membunuh seperti semut, lebah, dan burung belatuk.40

Kategori yang kedua adalah binatang laut, setiap binatang laut adalah halal, walaupun tidak berbentuk ikan, dan tidak haram semua binatang laut kecuali yang mengandung racun yang membahayakan baik berupa ikan atau lainya baik hasil buruan atau bangkai yang ditemukan.41

B. Prinsip Dasar Halal dan Haram

Allah SWT telah menghalalkan banyak hal dan sangat sedikit pengharaman karena banyaknya, Allah tidak membatasi yang menghalalkan bagi kita. Kebijakan Allah dalam tentang halal dan haram telah menjaga kemampuan manusia dalam

39 Ibid

., hlm. 132

40

Thabieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani., hlm. 134

41Ibid

(31)

bersabar mencegah beberapa keperluan. Berikut prinsip-prinsip dasar mengenai halal dan haram yang ditemukan Yusuf Qardhawi sebagai berikut:42

a. Asal tiap sesuatu adalah mubah, bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal atau mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari syari’ yang mengharamkanya. Yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul. Berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 29 :

ˆ

• OPQ

L'%

"

6 C,

!"

'

U

b„K

Artinya : “Dialah dzat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya “ ( Qs. Al-Baqarah : 29 ).43

X<Ž

•0

g C,

670

tt

0

!"

'

+ i,ˆ

&

>

[ B

L•

7,‘

ŠT

r“

,B ”

L_ XPC$s d

IcK

Artinya : “ Dan Dia menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir” (Qs. Al-Jâtsiyah : 13).44

b. Menentukan halal dan haram semata-mata hak Allah. Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan

42

Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, terj. Mu’ammal hamidy “Halal dan Haram Dalam Islam” Semarang: Bina Ilmu, 1993, hlm. 14

43

Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 13

44 Ibid

(32)

manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawi. Hak tersebut semata-mata milik Allah.45

Al-Qur an telah mengecap kepada orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa ijin Allah, dalam surat Yunus ayat 59:

h

O

]! 0 0 f

Q

D •A f

ƒQ

6 C,

• €

r–;W*

]!‚

—,‚

&

'

X

&

#$ %

&0

h

O

ƒQQ

0

L_ ‘ f

6 C,

Y“ f

%5 

˜Q

L_ | ™;s,5

„K

Artinya : “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rizqi yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikam izn kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”. (Qs. Yunus : 59).46

Firman Allah juga dalam surat an-Nahl ayat 116

./0

RB,5

w~,5

6R2dV'wt;

f

9}j+,C;

$+

ˆ

h %

&

$+

ˆ0

›

X

&

| ™;s d ”

%5 

˜Q

9}j+,C;

>

[ B

N OPQ

[ | ™;s

%5 

˜Q

9}j+,C;

./

[ ,

;s

II K

Artinya : “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ Ini halal dan ini haram “, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah . Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung “ ( Qs. An-Nahl : 116 ).47

Dari ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa hanya Allah yang berhak menentukan halal dan haram. Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan

45

Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam, hlm. 19

46

Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, hlm. 315

47 Ibid

(33)

hukum syara’ dalam kedudukanya sebagai imam atau mujtahid, mereka tidak suka berfatwa mengatakan ini halal ini haram kecuali menurut apa yang terdapat dalam Al-Qur an dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.48

c. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik. d. Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya kejahatan dan bahaya. Dalam pemahaman halal dan haram ada beberapa alasan yang rasional demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.49

Mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa suatu keburukan dan binasa. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumya halal, kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar dari pada maanfatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.50

e. Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram. Salah satu kebaikan Islam dan kemudahanya yang dibawakan untuk kepentingan umat manusia ialah islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu ganti (way out) yang lebih baik guna mengatasi kebutuhan itu. Allah mengharamkan mencari untung dengan menjalankan riba, tetapi dibalik itu diberikan ganti dengan suatu perdagangan yang memberi untung. Allah telah mengharamkan berbuat zina, tetapi dibalik itu diberikan ganti berupa perkawinan yang halal. Allah telah mengharamkan khamr tetapi dibalik

48

Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, hlm. 22

49Ibid

., hlm. 24-29

50Ibid

(34)

itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat yang berguna bagi rohani dan jasmani.51

f. Apa saja yang membawa kepada haram adalah haram. Apabila islam telah mengharamkan sesuatu, maka cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya haram, misalnya arak. Rasulullah saw melaknat kepada yang meminumnya, yang membuat (memeras), yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya, dan seterusnya. Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaedah apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.52 g. Bersiasat terhadap hal yang haram, hukumnya haram. Sebagaimana Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram dengan cara-cara yang nampak, maka begitu pula islam mengharamkan semua siasat untuk berbuat haram dinilai haram.53

h. Niat baik tidak dapat melepaskan yang haram. Masalah haram tetap dinilai haram, begitu pun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana selama dia tidak dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranyapun harus suci juga.54

i. Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terlibat dalam haram. Masalah halal sudah jelas, boleh dikerjakan. Dan soal haram pun sudah jelas, sama sekali tidak ada

51

Ibid., hlm. 33-34

52

Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam., hlm. 35

53Ibid

., hlm. 36

54Ibid

(35)

keringanan untuk mengerjakanya, selama masih dalam keadaan normal. Di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal yang haram (syubhat) suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haram. Hal ini karena tidak jelasnya dalil atau karena tidak jelasnya jalan untuk menggunakan dalil yang ada terhadap suatu peristiwa. Terhadap persoalan ini memberikan suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram. Dengan demikian seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga tidak terseret untuk berbuat kepada yang haram.55

j. Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang. Haram dalam pandangan Islam mempunyai ciri menyeluruh. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan, selain orang Arab tetapi halal buat orang Arab. Apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh umat manusia.56

k. Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang. Islam sangat mengerti dan memudahkan terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentinganya itu. Oleh karena itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.57 Sesuai dengan firman Allah SWT:

A B

›oX

&

6R2;+%

œ

,p d;U

;

›<

Q

0

96,,

0

X c•' Ž;

Q

0

h ˆef

• & g

| X 

˜Q

:

,‚

oX 8YI

0| X$G

ž;

g

./0

(U

™$,‚

96;] B

55Ibid

., hlm. 41-42

56

Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, hlm. 43

57Ibid

(36)

&;+%

>

[ B

PQ

Ÿ Rs$G

]U &o

IacK

Artinya : Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meninginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Qs. Al-Baqarah : 173).58

Dari Ayat ini, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu : keadaan terpaksa yang membolehkan yang terlarang, tetapi ayat itupun memberikan suatu pembatasan terhadap pelakunya (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa) yaitu tidak disengaja dan tidak melewati batas. Maksudnya tidak sengaja untuk mencari kelezatan dan tidak melewati batas ketentuan hukum.59

C. Pengertian dan Kriteria Darurat

1. Pengertian Darurat

Darurat itu berasal dari kata yang artinya sempit. Adapun kalimat itu sama seperti yang berarti sesuatu, kebutuhan, hajat, dan terpaksa.60 Darurat menurut istilah berarti keadaan yang mendesak, yang membuat seseorang jika tidak melakukan atau memakan apa yang dilarang, keselamatan jiwa akan terancam.61

Menurut Ibnu Nujaim (ahli fiqh madzhab Hanafi) darurat berarti sampainya seseorang kepada suatu batas, apabila tidak melakukan perbuatan yang dilarang akan

58

Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, hlm. 42

59

Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam, hlm. 47

60

Al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 819

61

(37)

dapat mencelakakan dirinya.62 Tatkala madzhab Maliki mendefinisikan darurat sebagai suatu kekhawatiran atas kebinasaan diri, baik berdasarkan keyakinan maupun berdasarkan dugaan yang kuat. Darurat ini tidak terwujud kecuali ada suatu keadaan yang memaksa untuk melakukan yang diharamkan agar terpelihara diri dari kebinasaan, seperti haus dan lapar yang berlebihan akan sakit yang membawa kematian.

Sedangkan menurut Al-Suyuthi, “Darurat ialah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.63

Menurut Wahbah Al-Zuhaily, darurat ialah datangnya kondisi bahaya atau kesulitan yang amat sangat kuat kepada diri manusia yang membuat dia khawatir akan terjadi kerusakan atau sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh, kehormatan, dan yang bertalian dengannya. Ketika itu boleh tidak mengerjakan yang diharamkan atau meninggalkan yang diwajibkan, atau menunda untuk pelaksanaannya guna menghindari kemadharatan yang diperkirakan dapat menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh syara.64

Dari definisi tersebut hampir sama atau mirip, yakni tidak hanya menyangkut darurat tentang kebutuhan makan saja, tetapi kalau kita lihat lebih umum, yakni selain mencankup darurat makanan juga mencankup mempertahankan diri dari

62

Abdul Aziz Dahlan,et al.,Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 260

63

Abdul Rosyad Shiddiq, Fiqih Darurat. Jakarta: Pustaka Azzam, 2001, hlm. 18

64

(38)

penganiayaan dari harta dan kehormatan. Ada sebagian ulama yang mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk melanggar sesuatu yang dilarang oleh agama. Ini berarti selain mencankup darurat makan juga mencankup darurat menolak segala sesuatu yang dapat mengancam keselamatan nyawa atau anggota-anggota badan atau kehormatan atau akal bahkan harta benda.65

2. Kriteria Darurat

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan bahaya, bukan untuk selain itu. Dengan demikian memakan dan meminum sesuatu yang dilarang dalam keadaan darurat dibolehkan. Para ulama telah memberikan kriteria seseorang yang dapat dikelompokkan ke dalam keadaan darurat.66

a. Keadaan darurat itu benar telah terjadi. Artinya, bahwa seseorang benar-benar dapat diduga akan kehilangan nyawa atau harta menurut pengalaman yang ada.

b. Orang yang dalam keadaan darurat itu benar-benar dihadapkan pada keterpaksaan untuk melakukan yang diharamkan atau meninggalkan yang diperintahkan agama. Artinya, bahwa disekelilingnya tak ada lagi yang dapat membantu menyelamatkan jiwanya, kecuali yang haram tersebut.67

65

Abdul Rosyad Shiddiq., Fiqih Darurat, hlm. 18

66

Tim Penyusun Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 1, hlm. 293-294

67Ibid

(39)

c. Orang tersebut benar-benar dalam keadaan lemah untuk mencari sesuatu yang halal dalam menyelamatkan dirinya. Artinya, kalau dia masih sanggup untuk mencari yang halal, maka keadaannya tersebut delum dapat dikatakan darurat. d. Yang dilakukan oleh orang yang berada dalam keadaan darurat tersebut tidak

sampai melanggar prinsip-prinsip dasar Islam, seperti pemeliharaan terhadap hak-hak orng lain, tidak memudharatkan orng lain, dan tidak menyang kut masalah akidah. Misalnya, walaupun karena darurat zina dan murtad tetap tidak dihalalkan karena perbuatan tersebut merupakan suatu perbuatan yang benar-benar dilarang dan merupakan prinsip dasar Islam.68

e. Kebolehan darurat ini hanya terbatas sekedar melepaskan diri dari keadaan tersebut. Misalnya, jika seseorang sangat kelaparan dan satu-satunya yang akan dimakan itu hanya daging babi, maka yang hanya dibolehkan untuknya adalah memakan daging babi itu sekedar untuk mempertahankan hidup untuk mencari yang halal.69

f. Jika keadaan darurat itu menyangkut penyakit, maka harus dijelaskan oleh dokter yang dapat dipercaya, baik agamanya maupun ilmunya di bidang itu, bahwa satu-satunya obat adalah yang diharamkan itu.

g. Jika menyangkut kepentingan suatu negara, maka pihak penguasa benar-benar yakin bahwa keadaan yang dihadapin itu adalah negara dalam keadaan terancam bahaya, ada kesulitan yang sangat mengkhawatirkan keutuhan negara atau

68Ibid

., hlm. 293

69Ibid

(40)

kepentingan rakyat banyak terancam bahaya. Misalnya, dalam masalah utang luar negeri yang harus dibayar dengan bunga yang cukup tinggi. Jika pemerintah menganggap bahwa satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan Negara itu adalah dengan pinjam luar negeri dengan bunga tinggi itu, maka para fukaha (ahli fiqih) membolehkannya. Jadi dalam keadaan negara terancam keuangan riba dibolehkan, jika memang itu satu-satunya jalan.70

h. Ibnu Hazm menambahkan satu syarat lagi, yaitu keadaan orang yang darurat itu telah melalui waktu satu hari satu malam.

3. Batasan-Batasan Darurat

Mengenai batasan-batasan dharurat yang memperbolehkan sesuatu yang diharamkan, dipahami dari definisi, dapat membatasi pengertian darurat sebagai berikut :71

1. Darurat dimaksud harus sudah ada bukan ditunggu, dengan kata lain kekhawatiran akan kebinasaan atau hilangnya jiwa atau lima kebutuhan yang mendasar yaitu: agama, jiwa, kehormatan, akal, dan harta betul-betul ada dalam kenyataan melalui dugaan yang kuat.

2. Orang yang terpaksa itu tidak punya pilihan lain kecuali melanggar perintah-perintah atau larangan-larangan syara’, atau tidak ada cara lain yang dibenarkan untuk menghindari kemadharatan selain melanggar hukum.

70

Tim Penyusun Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 1, hlm. 294

71

(41)

3. Kemadharatan memaksa di mana kekuatiran akan hilangnya jiwa atau anggota tubuh walau dalam keadaan yang diharamkan bersama yang dibolehkan, seperti seseorang yang dipaksa untuk memakan bankai dengan ancaman yang mengkhawatirkan hilangnya nyawa atau anggota tubuhnya, sedangkan dihadapannya ada yang halal dan baik, atau kuatir akan tidak kuat berjalan sehingga ia tertinggal rombongan.72

4. Jangan sampai orang yang terpaksa melanggar prinsip-prinsip syara’ yang pokok seperti memelihara hak-hak orang lain, menciptakan keadilan, menunaikan amanah, menghindari kemadharatan seperti memelihara prinsip keberagaman serta pokok-pokok akhidah Islam; umpamanya diharamkannya zina, pembunuhan, kufur, dan perampasan dalam kondisi bagai manapun.73

5. Bahwa orang yang terpaksa membatasi diri pada hal yang dibenarkan melakukannya karena darurat itu guna menghindari kemadharatan.

6. Dalam darurat berobat, karena tidak ada obat selain dari yang diharamkan atau cara lain yang dapat menggantikan yang haram.74Terdapat bahaya yang mengancam kehidupan, adanya pernyataan dari dokter muslim yang dapat dipercaya.

7. Menurut madzhab Hanafi, makna darurat yang menyangkut rasa lapar ialah seandainya seseorang tidak mau mengkonsumsi barang yang diharamkan dikhawatirkan ia bisa meninggal dunia atau setidaknya ada anggota tubuhnya

72Ibid

., hlm. 74

73Ibid

., hlm. 74

74

(42)

yang akan cacat. Misalnya seseorang yang dipaksa akan dibunuh atau akan dipotong salah satu anggota tubuhnya apabila ia tidak mau memakan atau meminum sesuatu yang diharamkan, itu berarti ia sedang dalam keadaan darurat yang memperbolehkan ia memakan bangkai, karena ia mengkhawatirkan nyawanya atau salah satu anggota tubuhnya. Disebutkan dalam kitab Taisîirut-Tahrîir, gugurnya keharaman arak dan bangkai bagi seseorang yang terpaksa harus meminum atau memakannya, adalah karena ia merasa khawatir atas keselamatan nyawanya, kerana menahan haus dan dahaga.75

8. Menurut madzhab Maliki, darurat yang memperbolehkan mengkonsumsi sesuatu yang diharamkan ialah rasa takut akan keselamatan nyawa baik berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan. Ada juga yang berpendapat, darurat ialah menjga jiwa dari kematian atau dari bahaya yang sangat berat. Itu tidak disyaratkan harus menunggu sampai benar-benar menjelang kematian, karena mkan pada waktu seperti itu sudah tidak ada gunanya.76

9. Menurut madzhab Syafi’i, sesungguhnya rasa lapar yang teramat sangat itu tidak cukup hanya diatasi dengan hanya memakan bangkai dan sebagainya. Seperti halnya ulama-ulama dari madzhb lain, mereka semua sepakat tidak wajib harus menungu sampai kematian itu sebentar lagi datang. Hal itu karena pada dasarnya, sesuatu yang diharamkan itu tidak boleh dilakukan dan tidak boleh diterjang kecuali karena ada alasan darurat. Dan darurat itu punya standar tersendiri.

75

Abdul Rosyad Shiddiq., Fiqih Darurat., hlm. 31-33

76Ibid

(43)

Apabila seseorang sampai pada batas yang apabila ia tidak mau mengkonsumsi sesuatu yang dilarang agama ia bisa mati atau hampir mati, itu artinya ia sudah berada pada batas puncak darurat yang berarti ia boleh memakan sesuatu yang diharamkan.77

4. Hukum Darurat

Maksud dari hukum darurat disisni ialah efek yang ditimbulkan dari hukum darurat tersebut dan menunutut ditetapkannay ketetapa-ketetapan hukum pengecualian untuk individu, kelompok ataupun masyarakat dan cocok untuk mereka yang lalu menghendaki kebolehannya yang dilarang atau ditinggalkan yang wajib atau ditunda pelaksaannya dengan menentang kaidah-kaidah umum yang berlaku menyeluruh yang diterapkan dalam keadaan-keadaan biasa. Dalam tema hukum darurat, akan membicarakan efek yang langsung dari darurat yang tentunya sangat berpengaruh dalam lingkungan masyarakat. Darurat serupa dengan hajat memiliki ketetapan-ketetapan hokum yang telah kita kenal yaitu mengenai pemaksaan, rukhshoh, kaidah-kaidah serta penyerapan-penyerapan masing-masing dari kedua-duanya.78

Di antara ketetapan-ketetapan hukum yang paling menonjol adalah bahwa kadangkala terbatas pada terangkatnya tanggung jawab ukhrawi menghilangkan keharaman, dan kadangkala ada yang wajib mungkin juga ditunda pelaksanaan yang wajib itu. Dalam pembahasan kali ini akan kami sebutkan pengaruh pelaksanaan

77

Abdul Rosyad Shiddiq, Fiqih Darurat. Jakarta: Pustaka Azzam, 2001., hlm 33-34

78

(44)

dalam beberapa ketentuan hukum, dan pengaruh madyarakat dalam mempermudah ketetapan-ketetapan hukum.79

Tentang pengaruh keterpaksaan ini akan kami bahas dalam keadaan darurat. Di sini secara garis besar kami ketengahkan dua keadaan yaitu : keadaan darurat makan dan keadaan darurat yang dipaksa. Contohnya untuk pembahasan dalam keadaan darurat makan yaitu dibolehkannya sesuatu yang dilarang untuk sementara guna menghindari kemadharatan dari jiwa. Dalam hal ini maka diperbolehkan bagi orang yang dalam keadaan terpaksa memakannya di antara makanan da minuman yang telah diharamkan Allah SWT seperti bangkai, darah, daging babi, minuman khamr, dan sebagainya.80

Sedangkan masalah tentang pemaksaan, ialah diperbolehkannya untuk melakukan perbuatan yang diharamkan ketika bebas, atau mungkin juga diberikan keringanan untuk itu. Tetapi keharamannya untuk selamanya tidak mungkin terhapus. Mungkin juga tidak dibolehkan dan tidak diberikan keringanan sama sekali.81

Pemaksaan itu tidak selamanya dipandang sebagai salah satu factor yang membolehkan hal-hal yang dilarang, tetapi ada kalanya dilarang itu menjadi boleh karenanya. Namun kadangkala terjadi sebaliknya pada saat itu pemaksaan akan dipandang sebagai salah satu penghalang tanggung jawab dan bukan merupakan factor yang membolehkan yang haram.82

79Ibid

., hlm. 303

80Ibid

., hlm. 303-304

81

Ibid., hlm. 304

82

(45)

D. Metode Is înbâth Hukum

1. Pengertian Istînbâth Hukum

Secara bahasa istînbâth berarti mengeluarkan atau menarik. Upaya mengeluarkan (menetapkan kesimpulan) hukum dari dalil-dalil(nas). Istînbâth juga diartikan sebagai ijtihad, yang artinya mengerahkan segenap upaya dan kemampuan secara sungguh-sungguh untuk mengeluarkan atau menetapkan kesimpulan hokum dari dalil-dalilnya.83

Orang yang melakukan istînbâth disebut mujtahid mustarbit, artinya seseorang yang berijtihad untuk menetapkan kesimpulan hukum dari dalilnya (al-Qur an dan hadish). Selain itu ada juga mujtahid muthabbiq, yaitu orang yang melakukan ijtihad (upaya) untuk menerapkan hukum hasil istînbâth. Untuk dapat melakukan istînbâth seseorang harus mengerti dan memahami ilmu ushul fiqh, maka istînbâth juga berarti proses dan upaya mengambil hukum dari dalil-dalil tertentu dengan menggunakan metodologi istînbâth yang telah dirumuskan dalam ilmu ushul fiqh.84

Orang yang melakukan istînbâth harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :85

1. Mengetahui hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur an (al-Gazali menyebutnya sebagai ayat-ayat ahkâm atau hukum)

2. Mengetahui hukum-hukum yang terkandung dalam sunnah (hadis ahkâm)

83

Tim Penyusun, Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 2. Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, hlm. 279

84Ibid

., hlm. 279

85Ibid

(46)

3. mengetahui mazhab-mazhab mujtahid yang telah lalu dan metode-metode istînbâth-nya.

4. mengetahui hakikat (kiyâs dan rukun serta syaratnya, dan 5. bersikap adil dan memiliki akhlak serta kepribadian yang baik.

Dengan memperhatikan kriteria mujtahid mustânbit yang begitu ketat, maka ada sebagian ulama seperti Muhammad Abu Zahrah (ahli fikih dan usul fikih) dan Yusuf al-Qardawi (ahli fikih) mengelompokkan mujtahid pada mujtahid mustaqil (mandiri), mujtahid mazhab, dan mujtahid murajjih (yang menguatkan suatu hukum). Dari segi jumlah pelaku istînbâth, mujtahid dikelompokkan menjadi mujtahid fardi (perorangan) dan mujtahid jama’i (kolektif).86

Dalam metode-metode istînbâth yang telah dikembangkan oleh para ahli ushul masih terdapat perbedaan pendapat diantara mereka dalam memberkan penekanan dan kekuatannya sebagai metode istînbâth. Metode-metode tersebut adalah qiâs, istihsân, istislâh, dan istishâb. Menurut Al-Syatibi dasarnya metode istînbâth adalah hukum yang diambil secara induktif. Meskipun tidak ada ketentuan tertentu dalam nas, kekuatannya sebagai dalil bersifat qat’’î, walaupun demikian penerapannya bersifat zanni (tidak pasti lawan qa’î). Karena itu dalam penerapan hukum dikenal istilah nazariyat i’tibar al-maal (teori penerapan hukum yang melihat pada dampaknya) seperti hilah (menghindari hukum yang lebih berat menuju hukum

86Ibid

(47)

yang lebih ringan) dan sad azzarî’ah(menghindari jalan yang membawa pada mafsadat/kerusakan).87

2. Metode Istînbâth a. Qi as (analogi)

Qi as adalah menyamakan suatu masalah atau kejadian yang tidak ada nasnya dengan masalah yang sudah ada nas hukumnya, karena ada

persamaan ilah (sebab) antara kedua masalah tersebut.88 Sedangkan qi as menurut ulama ushul ialah menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya.89

Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum mengenai suatu kejadian, dan telah diketahui illat hukum itu dengan metode di antara metode-metode untuk mengetahui illat hukum, kemudian terdapat nashnya dalam illat seperti illat hukum dalam kejadian itu, maka kejadian lain itu harus disamakan dengan kejadian yang ada nashnya dalam hukumnya dengan dasar menyamakan dua kejadian tersebut dalam illatnya, karena hukum itu dapat ditemukan ketika telah ditemukan illatnya.90

Ada empat hal yang harus dipenuhi dalam qi as, yaitu :91

87

Tim Penyusun, Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 2. hlm. 279-280

88Ibid

., hlm. 279-280

89

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Hlm. 74

90Ibid

., hlm. 74

91

(48)

1. Kejadian dalam nash yang diambil sebagai tempat analogi

2. Kejadian baru yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam nash (yang dianalogikan)

3. Hukum asal dijelaskan secara konkret dalam nash.

4. IIlat hukum, yaitu sesuatu yang dimaksud syar’i (pembuat hukum syariat, yakni Allah SWT) dalam menghukumi suatu kejadian.

Menurut pendapat jumhur ulama Islam, bahwa qi as adalah juga hujjah syar’iyah atas hukum-hukum mengenai perbuatan manusia (amaliyah), dan ia menduduki martabat yang keempat di antara hujjah-hujjah syar’iyah dengan pengertian, apabila tidak didapati dalam suatu kejadian itu, hukum menurut nash atau Ijma, akan tetapi terdapat kesamaan illat dengan suatu kejadian yang telah terdapat hukumnya dalam nash.92

Setiap qi as terdiri dari empat sendi, yaitu :93

a. Al-Ashlu, yaitu sesuatu yang ada hukumnya dalam nash. Disebut Maqis Alaihi (yang dijadikan ukuran), atau Mahmul Alaihi (yang dijadikan pertanggung), atau Musyabbah Bib (yang dibuat keserupaan).

b. Al-Far’u, yaitu sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash, tetapi ada maksud menyamakan kepada al-Ashlu dalam hukumnya.

c. Hukum Ashal, yaitu hukum syara yang ada nashnya menurut asal dan dimaksud dengan ini sebagai pangkal hukum bagi cabang.

92

Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushulul Fiqih., hlm. 77

93Ibid.

(49)

d. Al-Illat, yaitu keadaan yang dijadikan dasar oleh hukum asal berdasarkan wujudnya keadaan itu pada cabang, maka disamakanlah cabang itu kepada asal, mengenai hukumnya. Maka meminum khamar adalah asal. Karena telah terdapat nash bagi hukumnya. Yaitu firman Allah ( = maka jauhilah), yang menunjukkan atas keharaman meminum khamar karena illat memabukkan.94 b. Istihsân

Istihsân menurut bahasa ialah menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah ulama ushul ialah berpindahnya seorang mujhahid dari tuntutan qi as jali (qi as nyata) kepada qi as khafi (qi as samara). Atau dari hukum kulli (umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan dia mencela akalnya.95 Ada pendapat lain menyebut istihsan sebagai memilih satu dari dua dalil yang lebih kuat. Perpindahan tadi disebabkan beberapa hal, yakni kepentingan pengecualian hukum, urf (kesepakatan, adat istiadat), dan maslahat atau karena untuk menghindarkan kesulitan

Referensi

Dokumen terkait