FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PENGGUNAAN ORGAN TUBUH
A. Profil Majelis Ulama Indonesia
a. Sejarah Perkembangan Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah organisasi keulamaan yang bersifat independen, tidak beraplikasi kapada salah satu aliran politik, madzhab atau aliran keagamaan Islam yang ada di Indonesia.118
Adanya suatu wadah yang dapat menampung, menghimpun dan mempersatukan pendapat-pendapat dan pikiran-pikiran dari para ulama Indonesia, sudah lama menjadi hasrat dan keinginan umat Islam Indonesia dan pemerintahan republik Indonesia. Dengan adanya wadah ini diharapkan partisipasi para ulama yang telah mempunyai tempat khusus di hati rakyat Indonesia, terhadap pembangunan nasionalnya akan lebih dapat terus ditingkatkan. Musyawarah yang diadakan atas prakasa pusat dakwah Islam Indonesia ini, bertemakan :“Mewujudkan kesatuan amaliah sosial umat Islam dalam masyarakat dan partisipasi alim ulama dalam pembangunan nasional”. Dalam musyawarah ini banyak peserta (ulama) yang mengusulkan perlu adanya Majelis Ulama yang didalamnya mencakup lembaga fatwa.119
118
Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Bandung : remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 65
119
Sekretariat MUI Masjid Istiqlal., 15 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : Sekretatariat MUI Masjid Istiqlal, hlm. 45-46
MUI berdiri pada tanggal 17 Rajab 1395 H bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 M di Jakarta sebagai hasil musyawarah nasional I MUI yang berlangsung pada tanggal 12 s/d 18 Rajab 1395 H/ 21 s/d 27 Juli 1975 M di balai sidang jakarta. Musyawarah ini diselengarakan oleh sebuah panitia yang di angkat oleh Menteri agama dengan surat keputusan No. 28 tanggal 1 juli 1975, yang diketuai oleh Letjen. Purn. H. Soedirman dan tim penasehat yang terdiri dari Prof.Dr. Hamka, K.H. Abdullah Syafe’i dan K.H.M. Syukri Ghazali.120
Tujuan pokok musyawarah di samping untuk membentuk majelis ulama tingkat pusat sebagai tindak lanjut dari pembentukan majelis ulama di daerah-daerah juga dimaksud untuk memperkokoh ketahanan nasional dan meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama dalam mensukseskan pembangunan.121
Menteri penerangan Mashuri, SH, menyatakan bahwa “Pembentukan majelis ulama ini merupakan satu manifestasi dari pada usaha pembangunan kita, suatu langkah yang penting karena pembangunan kita tidak hanya bidang materiil melainkan juga spiritual, pembangunan manusia seutuhnya. Lebih-lebih dengan perkembangan di Indonesia, kaum komunis selalu berusaha menciptakan perpecahan antara kita sama kita. Maka dengan adanya majelis ulama ini kita hendak membendung usaha kaum komunitas tersebut”.122
120
MUI., 20 Tahun Majelis Ulama Indonesia, Jakarta : MUI Pusat, hlm. 13
121
Sekretariat MUI Masjid Istiqlal ., 15 Tahun MUI., hlm. 47
122Ibid
Menjelang musyawarah timbul kekhawatiran dari sementara golongan masyarakat , namun kekhawatiran itu hampir menjadi hilang setelah Bapak Presiden memberikan garis-garis. Dalam amanat tersebut beliau menggariskan:123
1. Tugas para ulama adalah amar ma’ruf Nahi munkar. 2. Majelis ulama hendaknya menjadi penterjemah.
3. Majelis ulama agar mendorong, memberi arah dan menggerakkan masyarakat dalam membangun diri dan masa depannya.
4. Majelis ulama agar memberi bahan-bahan pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada pemerintah.
5. Majelis ulama agar menjadi penghubung antar emerintah dan ulama.
6. Kepengurusan majelis ulama sebaiknya mengambarkan diwakilinya unsur-unsur dari segenap golongan.
7. Majelis ulama ini cukup hanya mempunyai pengurus saja dan tidak perlu mempunyai anggota.
8. Sebab itu, majelis ulama ini tidak perlu mendirikan madrasah, masjid, rumah sakit, dan sebagainya.
9. Majelis ulama tidak perlu melakukan politik.
10.Untuk lebih meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama kita perlu membentuk semacam badan konsultasi antara umat beragama di Indonesia ini.
Tanda berdirinya MUI dalam bentuk piagam berdirinya MUI yang ditanda tangani oleh 53 orang ulama yang terdiri dari 26 orang ketua-ketua MUI daerah tingkat I seluruh Indonesia, 10 orang ulama unsur organisasi Islam tingkat pusat
123 Ibid
yaitu NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, PERTI, Al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, Dewan Masjid Indonesia dan Al-Ittihadiyah; 4 orang ulama dari Dinas Rohaniah Islam AD, AU, AL dan POLRI, serta 13 orang ulama undangan perorangan.124
Visi dan Misi MUI a. Visi
Terciptanya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, memperoleh ridlo dan ampunan Allah SWT (baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur) menuju masyarakat berkualitas (khaira ummah) demi terwujudnya kejayaan Islam dan kaum muslimin (izzul Islam wal-muslimin) dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia sabagai manifestasi dari rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).125
b. Misi
1. Menggerakkan kepemimpinan dan kelembagaan umat secara efektif dengan menjadikan ulama sabagai panutan (qudwah hasanah), sehingga mampu mengarahkan dan membina umat Islam dalam menanamkan dan memupuk aqidah Islamiyah, serta menjalankan syariah Islamiyah;
2. Melaksanakan dahwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar dalam mengembangkan akhlak karimah agar terwujud masyarakat berkualitas (khaira ummah) dalam berbagai aspek kehidupan;
124
MUI., 20 Tahun MUI., hlm. 13
125
Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, Jakarta: Sekretariat MUI, 2005, hlm. 20
3. Mengembangkan ukhuwah Islamiyah dan kebebasan dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan umat Islam dalam wadah negara kesatuan republik Indonesia.126
Peran MUI
MUI mempunyai peran utamayaitu :127
a. Sebagai pewaris tugas para Nabi (warasat al-anbiyah)
MUI berperan sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi, yaitu menyebarkan ajaran Islam serta memperjuangkan terwujudnya suatu kehidupan sehari-hari secara arif dan bijaksana yang berdasarkan Islam. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi, majelis ulama Indonesia menjelaskan fungsi profektif yaitu memperjuangkan perubahan kehidupan agar berjalan sesuai ajaran Islam, walaupun dengan konsekuensi akan menerima kritik, tekanan, dan ancaman karena perjuangannya bertentangan dengan sebagian tradisi, budaya , dan peradaban manusia.
b. Sebagai pemberi fatwa
MUI berperan sebagai pemberi fatwa bagi umat Islam baik di minta maupun tidak dimnita. Sebagai lembaga pemberi fatwa majelis ulama Indonesia mengakomodasi aspirasi umat Islam Indonesia yang sangat beragam aliran paham dan pemikiran serta organisasi keagamaan.128
c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (ri’ayat wa khadim al-ummah)
126Ibid ., hlm. 20-21 127Ibid ., hlm. 24-25 128Ibid ., hlm. 24
MUI berperan sebagai pelayan umat (khdim al-ummah) yaitu melayani umat Islam dan masyarakat luas dalam memenuhi harapan, inspirasi, dan tuntutan mereka. Dalam kaitan ini, majelis ulama Indonesia senantiasa berikhtiar memenuhi permintaan umat Islam, baik langsung maupun tidak langsung, akan bimbingan dan fatwa keagamaan. Bgitu pula, majelis ulama Indonesia berusaha selalu tampil didepan dalam membela dan memperjuangkan aspirasi umat dan masyarakat luas dalam hubungannya dengan pemerintah.129
d. Sebagai pelopor gerakan ishlah
MUI berperan sebagai juru damai terhadap perbedaan yang terjadi di kalangan umat. Apabila terjadi perbedaan pendapat dikalanagan umat Islam maka MUI dapat menempuh jalan al-jam’u wat taufiq (kompromi dan persesuaian) dan tarjih (mencari hukum yang lebih kuat). Dengan demikian diharapkan tetap terpelihara semangat persaudaraan di kalangan umat Islam Indonesia.130
e. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
MUI berperan sebagai wahana penegakan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu dengan menegaskan kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan dengan penuh hikmah dan istiqomah. Dalam menjalankan fungsinya ini majelis ulama Indonesia tampil di barisan terdepan sebagai kekuatan moral (moral force) bersama berbagai potensi bangsa lainnya untuk melakukan rehabilitasi sosial.131
Orientasi MUI
129
Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, hlm. 25
130Ibid
., hlm. 26
131Ibid
MUI mempunyai orientasi pengkhidmatan, yaitu :132
Diniyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang didasari semua langkah dan kegiatannya pada nilai dan ajaran Islam. Karena Islam adalah agama yang berdasarkan prinsip tauhid dan mempunyai ajaran yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.
Irsyadiyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan dakwah wal irsyad, yaitu upaya untuk mengajak umat manusia kepada kebaikan serta melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar dalam arti yang seluas-luasnya. Setiap kegiatan majelis ulama Indonesia dimaksudkan untuk dakwah dan dirancang untuk berdimensi dakwah.133 Istijabiyah, MUI adalah pengkhidmatan ijabiyah yang senantiasa memberikan positif terhadap setiap permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui prakarsa kebijakan (amal shaleh) dalam semangat berlomba dalam kebaikan (fastabiq al-khairat).134 Hurriyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan independent yang bebas dan merdeka serta tidak tergantung maupun terpengaruh oleh pihak-pihak lain dalam mengambil keputusan, mengeluarkan pikiran, pandangan dan pendapat.135
Ta’awuniyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang mendasari diri pada semangat tolong-menolong untuk kebaikan dan ketakwaan dalam membela kaum dhua’fa untuk meningkatkan harkat dan martabat, serta derajat kehidupan masyarakat. Semangat ini dilaksanakan atas dasar persaudaraan di kalangan seluruh
132
Ibid., hlm. 21-23
133
Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, hlm. 21-22
134
Ibid., hlm. 22
135Ibid
lapisan golongan umat Islam. Ukhuwah Islammiyah ini merupakan landasan bagi majelis ulama Indonesia untuk mengembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) sebagai bagian intergral bangsa Indonesia dan memperkokoh persaudaraan manusia (ukhuwah basyariyah) sebagai anggota masyarakat dunia.136 Syuriah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang menekankan prinsip musyawarah dalam mencapai kemufakatan melalui pengembangan setiap demokrasi, akomodatif, dan aspiratif, terhadap berbagai aspirasi yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat.
Tasamuh, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang mengembangkan sikap toleransi dan moderat dalam menghadapi masalah-masalah khilafiyah.137
Qudwah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang mengedepantan kepeloporan dan keteladanan melalui prakarsa kebajikan yang bersifat perintisan untuk kebutuhan kemaslakatan umat.138
Abdualiyah, MUI adalah wadah pengkhidmatan yang menyadari dirinya sebagai anggota masyarakat dunia yang ikut aktif memperjuangkan perdamaian dan tatanan dunia yang sesuai dengan hal itu, majelis ulama Indonesia menjalin hubungan
136
Depag. RI., Profil Lembaga Sosial Keagamaan Di Indonesia, Jakarta: Depag. RI., 2002, hlm. 64
137
Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, hlm. 23
138Ibid.
dan kerjasama dengan lembaga/organisasi Islam internasional di berbagai negara.(profil lembaga social keagamaan).139
Fungsi MUI140
a. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami.
b. Sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama dan cendekiawan muslim untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang ukhuwah Islamiyah.
c. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi antar umat beragama. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik
diminta maupun tidak diminta. b. Kedudukan fatwa Majelis Ulama Indonesia
Jumhur ahli fiqh telah sepakat bahwa apabila terdapat sesuatu kejadian yang memerlukan ketetapan hukum, pertama-tama hendaklah dicari dahulu dalam al-Qur an, kalau ketakutan hukumnya sudah ada dalam al-Qur an, maka ditetapkanlah hukumnya sesuai yang ditunjuk al-Qur an, tetapi apabila ketetapan hukum itu tidak ditemukan dalam al-Qur an barulah meneliti as-Sunnah, jika dalam as-Sunnah terdapat ketetapan hukumnya, maka ditetapkanlah menurut petunjuk as-Sunnah, menurut al-Syaukani jika ada nash as-sunnah yang menetapkan hukumnya, maka barulah beralih kepada tahap pemeriksaan putusan dari para mujtahiddin yang
139
Depag. RI., Profil Lembaga Sosial Keagamaan Di Indonesia, hlm. 64
140
Sekretariat MUI, Himpunan Keputusan Musyawarah Nasional VII MUI Tahun 2005, hlm. 23
menjadi ijma’ (keputusan bersama) dari masa ke masa tentang masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya itu. Kalau ada ditetapkanlah padanya. Sekiranya ijma’ dalam masalah tersebut tidak didapatkan, maka hendakny qiyas dengan menggunakan ketentuan Illat, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh ijtihadnya.141
Namun demikian, tidak berarti setiap orang dapat melakukan ijtihad (mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk dapat mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’), karena untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang dapat membawa derajat mujtahid. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi antara lain : mengetahui ketentuan-ketentuan hukum dalam al-Qur an dan sunnah, mengetahui masalah-masalah ijma’ dan tidak boleh menetapkan hukum yang bertentangan dengan apa yang telah diputuskan secara ijma, mengetahui bahasa Arab, mengetahui ilmu ushul fiqh, mengetahui nasikh (yang menghapuskan) dan mansukh (yang dihapuskan).142
Dalam melakukan ijtihad untuk menetapkan sebuah fatwa hukum, maka MUI berpedoman pada pedoman fatwa ulama Indonesia yang ditetapkan dalam surat keputusan MUI Nomor : U-596/MUI/X/1997. Dalam surat keputusan tersebut, terdapat tiga bagian proses utama dalam menentukan fatwa, yaitu dasar-dasar umum penetapan fatwa, teknik dan kewenangan organisasi dalam penetapan fatwa.143
141
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevensinya Bagi Pembahasan Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: logos, 1999, hlm. 80
142Ibid.
, hlm. 87-94
143
Depag. RI., Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Dijen BPIH Depag RI, 2003, hlm. 1
Dasar-dasar umum penetapan fatwa MUI ditetapkan dalam 2 ayat (ayat 1 dan 2) pada ayat 1 dikatakan bahwa setiap fatwa didasarkan pada adillat al-ahkam yang paling kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat. Dalam ayat berikutnya (ayat 2) dijelaskan bahwa dasar-dasar fatwa adalah al-Qur an, hadits, ijma, qi as, dan dalil-dalil hukum lainnya.144
Sedangkan prosedur penetapan fatwa dilakukan sebagai berikut :145
1. Setiap masalah yang disampaikan kepada Komisi hendaklah terlebih dahulu dipelajari dengan seksama oleh para anggota Komisi atau Tim Khusus sekurang-kurangnya seminggu sebelum disidangkan.
2. Mengenai masalah yang telah jelas hukumnya (Qat’i ) hendaklah komisi menyampaikan sebagai adanya dan fatwa menjadi gugur setelah diketahui ada nass-nya dari Al-Qur an dan aS-Sunnah.
3. Dalam masalah yang terjadi khilafiyyah di kalangan mazhab, maka yang difatwakan adalah hasil tarjih setelah memperhatikan fiqih muqaram (Perbandingan) dengan menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh muqaram yang berhubungan dengan pen-tarjih-an
Kewenangan MUI adalah fatwa tentang : a). Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat Islam Indonesia secara nasional, b). Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke daerah lain.146
144Ibid , hlm. 4 145Ibid ., hlm. 5 146Ibid ., hlm. 6-7
B. Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Kemajuan dalam bidang iptek dan tuntutan pembangunan yang telah menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan, juga menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru, banyak persoalan yang berperan waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan tidak pernah dibayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan. Di sisi lain kesadaran keberagaman umat Islam di bumi nusantara ini semakain tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat mendapatkan jawaban (fatwa) yang tepat dari pandangan ajaran Islam.147
Dasar penetapan fatwa yang dilakukan oleh MUI adalah sebagai berikut :148 a. Setiap keputusan fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan sunnah Rasul
yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
b. Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul sebagaimana ditentukan dalam pasal 2 agar berdasarkan keputusan sidang komisi fatwa MUI, keputusan fatwa hendaknya tidak bertentangan dengan ijma’, qi as, dan mu’tabar dan dalil-dalil hukum yang seperti : istihsân, maslahah mursalah dan sadd az-zari’ah. c. Sebelum mengambil keputusan fatwa hendaknya ditinjau pendapat-pendapat para
Imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
147
Depag. RI., Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI, Depag RI:Jakarta, 2003. hlm. 1
148
d. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil keputusan fatwanya dipertimbangkan.
Berkaitan dengan masalah yang dibahas yaitu mengenai penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika. Maka komisi fatwa MUI setelah menimbang dan memperhatikan dari berbagai sudut pandang. Bahwasanya penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika hukumnya haram, kecuali dalam keadaan darurat, dan keputusan tersebut berdasarkan pada sidang komisi fatwa MUI berlangsung pada tanggal 27 Rabi’ul Akhir 1421 H / 30 Juli 2000 M yang membahas tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
1. Rumusan Masalah
a. Diketahui sejumlah obat-obatan dan kosmetika mengandung unsur atau bahan yang berasal dari organ (bagian) tubuh atau ari-ari (tembuni) manusia.
b. Menurut sebagian dokter, urine (air seni) manusia dapat menjadi obat (menyembuhkan) sejumlah jenis penyakit.
c. Bagaimanakah hukum menggunakan obat-obatan dan kosmetika seperti dimaksudkan di atas?
d. Oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa tentang hukum dimaksud untuk dijadikan pedoman.149
2. Dalil/Dasar
a. firman Allah SWT
149 Ibid
: ,‚
oX 8YI
}px~04; $q
0| X$G
( A — d
r];]v[¤
¥
[ …,‚
PQ
Ÿ Rs$G
„]+ &o
cK
Artinya“...Maka, barang siapa terpaksa karena kelaparan, tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Qs. Al-Maidah : 3)
b. Hadits Nabi SAW yang menyatakan, antara lain :
ﺽ !"# $ % !& !'( ) !* # ﺕ
,
ﺏ .
/
150
Artinya: “Berobatlah, karena Allah tidak membuat penyakit kecuali membuat pula obatnya selain satu penyakit, yaitu pikun” (HR. Abu Daud)
0#ﺏ ﺕ" #&12# &3 ! ! 4'ﻥ6 ) !*#7
,
ﺏ .
/
151
Artinya: “Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap penyakit; oleh karena itu, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram” (HR. Abu Daud)
8 $ # 9 8 $ ( 6 &2( :; <= ﻥ # >
?
@ A#B#ﺏ !C #! %D ;
?
ﺏ E$ *
# ﺏ :#;
#
,
F G .
/
152Artinya: “Sekelompok orang dari suku Ukl atau Urainah datang dan mereka tidak cocok dengan Madinah (sehingga mereka jatuh sakit), maka Nabi memerintahkan agar mereka diberi unta perah dan meminum air kencing dan susu unta tersebut...” (HR.Al-Bukhari)
c. Pendapat sebagian ulama menegaskan
150
Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud., JUZ II, Baerut,Daar al-Kutub al-Ilmiah, 1993, hlm. 219
151Ibid
., hlm. 252
152
Imam Abdullah Muhammad Ismail., Shohih Bukhori, JUZ 1, Baerut, Daar Kutub al-Ilmiah, 1993, hlm. 79
! K.+ +! +LM@ + ﻥ+(+!$ .+N OP +Q+ +!+3 +R )+S<1 +(+SA S$ +!
+T
?
+<ﺡ
6 U + 7
+V
OW 0
D
+
7J + 5+N%3KJ"+ +!
+; ﺡ+ 0 5+ 9' *)+<KX + + +GY+
7
?+V
Z [ +C
D
153Artinya: Imam Zuhri (w. 124 H) berkata, “Tidak halal meminum air seni manusia karena suatu penyakit yang diderita, sebab itu adalah najis, Allah berfirman: “...Dihalalkan bagi kamu yang baik-baik...” (QS. Al-Mai’dah. 5:5)”; dan Ibnu Mas’ud (w.32) berkata tentang sakar (minuman keras), “Allah tidak menjadikan obatmu pada sesuatu yang diharamkan atasmu” (Riwayat Al-Bukhari)
d. Kaidah fiqh menegaskan
+\ .+- ,
- 3210
V
Artinya: “Kondisi darurat membolehkan hal-hal yang dilarang ( diharamkan)”154
3. Keputusan fatwa.
a. Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :155
1) Penggunaan obat-obatan adalah mengkonsumsinya sebagai pengobatan, bukan menggunakan obat pada bagian luar tubuh; Penggunaan air seni adalah meminumnya sebagai obat.
2) Penggunaan kosmetika adalah memakai alat kosmetika pada bagian luar tubuh dengan tujuan perawatan tubuh atau kulit agar tetap atau menjadi baik dan indah.
3) Darurat adalah kondisi-kondisi keterdesakan yang bila tidak dilakukan maka dapat mengancam eksistensi jiwa manusia.
153
Imam Bukhori., Sohih Bukhori, JUZ V, Semarang: Toha Putra, hlm. 248
154
Jaih Mubarok, Kaidah Fiqih Sejarah dan Kaidah Asasi., hlm. 149
155
b. Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organmanusia (juz’ul-insan) hukumnya haram.156
c. Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, seperti disebut pada butir a.2 hukumnya adalah haram.
d. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya haram.
e. Hal-hal tersebut pada butir b, c, dan d di atas boleh dilakukan dalam keadaan dharurat syari’ah.
f. Menghimbau kepada semua pihak agar tidak memproduksi atau menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengadung unsure bagian organ manusia, atau berobat dengan air seni manusia.157
156Ibid,.
hlm. 266
157 Ibid
BAB IV ANALISIS FATWA A. Penggunaan Analisis Batasan Darurat
Perkembangan atau pertumbuhan yang dinamis secara terus menerus melahirkan berbagai peristiwa baru yang tidak ditunjukkan ketentuan hukumnya secara spesifik dan pasti dalam al-Qur an. Kondisi demikian melahirkan kesenjangan antara nash al-Qur an dengan peristiwa-peristiwa yang terlahir sebagai produk dari dinamika peradaban manusia tersebut, yakni berkesudahannya nash dan tidak berkesudahannya peristiwa-peristiwa baru.
Tidak setiap orang atau kelompok masyarakat mampu untuk mengembangkan daya pikirnya untuk melakukan ijtihad.158 Terhadap kelompok masyarakat ini, ulama dan masyarakat yang memiliki pemahaman yang lebih terhadap agama harus mampu membimbing dan mengarahkan umatnya kejalan kebenaran.
Dalam konteks inilah kita memahami bahwa sesungguhnya fatwa memiliki peran yang cukup signifikan sebagai media atau instrumen untuk menjadi arahan bagaiman sikap dan perilaku yang harus ditunjukkan oleh umat Islam. Dalam hal ini majelis ulama Indonesia adalah sebuah lembaga yang berperan untuk memberikan fatwa terhadap setiap permasalahan yang terjadi baik diminta ataupun tidak.159
Pada bab sebelumnya telah penulis kemukakan keputusan fatwa MUI tentang penggunaan organ tubuh manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika
158
Nasrun Rusli., Konsep Ijtihad al-Syaukani, Relevensinya Bagi Pembahasan Hukum Islam diIndonesia, hlm. 87
159
kecuali dalam keadaan darurat syar’iyah boleh dilakukan. Dalam uraian tersebut terdapat permasalahan yang perlu mendapat pembahasan dan analisis serta pemecahannya. Berkisar pada keharaman penggunaan organ tubuh, ari-ari, air seni manusia bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika kecuali dalam keadaan dharurat serta sejauh mana batasan darurat tersebut bagi kepentingan obat-obatan dan kosmetika.
Namun demikian dengan menggunakan data-data yang telah terkumpul, dan tidak lepas dari kajian hujjah para ulama sebagai studi komparatif yang penulis gunakan untuk mencapai suatu kesimpulan yang dapat menggambarkan fatwa secara obyektif. Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan apa yang dimaksud dengan darurat, menurut Wahbah Al-Zuhaili darurat yaitu datangnya kondisi bahaya atau kesulitan yang amat berat kepada tubuh, kehormatan, akal, harta dan yang berkaitan dengannya. Ketika itu boleh atau tidak dapat tidak harus mengerjakan yang dilarang (diharamkan), atau meninggalkan yang diwajibkan-Nya atau menunda waktu pelaksanaannya guna menghindari kemadharatan yang diperkirakan dapat menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh syara’.160 Dalam keputusan fatwa MUI penulis sependapat dengan adanya fatwa yang telah