LANDASAN TEORI A. Pengertian dan Macam-Macam Halal Haram 1. Pengertian Halal dan Haram
Halal adalah yang boleh, yang terbebas dari ikatan larangan-larangan dan telah diizinkan oleh syriat dalam melakukannya.21 Haram adalah perkara yang dilarang melakukannya oleh syariat dengan pelarangan yang sungguh-sungguh. Apabila ia tidak melanggar larangan tersebut, maka ia akan mendapatkan hukuman di akhirat berupa siksaan, dan bisa saja hukuman tersebut dilakukan di dunia.22
Menurut ulama ushul fiqh terdapat dua definisi haram, yaitu dari segi esensinya serta dari segi bentuk dan sifatnya. Dari segi batasan dan esensinya merumuskan haram dengan sesuatu yang dituntut syari’at (Allah swt dan Rasul-Nya) untuk ditinggalkan melalui tuntutan secara pasti dan mengikat. Dan segi bentuk dan sifatnya merumuskan haram dengan suatu perbuatan yang pelakunya dicela.23
Ungkapan yang digunakan Al-Qur an dan sunnah untuk menunjukkan haram. Diantaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :24
a. Tuntutan yang langsung menggunakan lafadz at-tahrîm dan yang seakar dengannya. Misalnya, dalam surat an-Nisa’ ayat 23
21
Qaradhawi Yusuf, Halal Haram Dalam Islam, Jakarta: Akbar Eka Sarana, 2005, hlm. 15
22Ibid
., hlm. 15
23
Abdul Aziz Dahlan, et al., Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Iktiar Baru Van Houve, 1997,hlm. 523
24Ibid
YT c*X&
6R2;+%
6 Cd ef
6 C 5 V' g0
bcK
Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu” dan surah al-An;am ayat 145
h O
i/
Fj: f
Q
9k ef
l %m B
n oXp q
> %5
r]
,-s?& Y8
i/ B
[ f
L_ C
7p d;U
f
' U
On% Rst
f
96,,
X uvw9
I K
Artinya : “Katakanlah : Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku. Sesuatu yang diharamkanbagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi”.
Lafadz diharamkan dalam kedua ayat di atas menunjukan secara pasti hukum keharamannya.25
b. An-Nahy (lafadz An-Nahy). Karena lafadz An-nahy memfaedahkan keharamanya. Misalnya dalam surat Al. An’am ayat 151
./0
g X;B,5
xn &70 $s;
I IK
Artinya : “Jangan kamu mendekati” dalam ayat tersebut menunjukan hukum haram.c. Tuntutan untuk menjahui suatu perbuatan. Misalnya dalam surat Al-Maidah ayat 90
pyLF
N OPQ
z ' 0
A B
XY , ;{
|w ;U ; 0
8} x~A!" 0
6 , ;W!" 0
koY•
Y: €
Kh
: ,8;+<=
% ( • dY• ,‚
6 Cƒ ,
[ , ;s 5
„jK
25Ibid ., hlm. 524Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syetan, maka jahuilah perbuatan-perbuatan itu agar kami mendapat keberuntungan.”
Lafadz “ Jauhilah “ dalam ayat ini juga merupakan lafadz yang menunjukan hukum haram.26
d. Lafadz “ La yakhillu “ (tidak dihalalkan). Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 230
[ …,‚
,B
,-.$,‚
h
?f,Q
:
F g
>k3† &
$wC',5
O‡: W
?%0| X$G
bcjK
Artinya “Kemudian jika si suami menolaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya, hinnga dia kawin dengan suami yang lain.“
e. Sesuatu yang dibarengei dengan ancaman hukuman. Misalnya dalam surat An-Nur ayat 4
N OPQ 0
[ X
T V'x~, ;
o6 ]
],
5‚
p g g
0 Q FpyR^
] ˆ F Y• ,‚
H 04 ]
V ‚ •
./0
(;B,5
6‰&Š
‹V F py ^
'F g f
>
(Œ , ef0
6 ˆ
[ RBwt $s;
K
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan 4 orang saksi, maka dosalah mereka ( yang menuduh itu ) delapan puluh kali dera, dan janganlah kami terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka adalah orang-orang yang fasik.
“Lafadz“ Deralah” merupakan ancaman Allah SWT hukumnya haram.27
26
Addul Aziz Dahlan., et al., Ensklopedi Hukum Islam., hlm. 524
27Ibid
f. Setiap lafadz yang menunjukan pengingkaran terhadap suatu pekerjaan dengan pengingkaran yang amat ditekankan, seperti ungkapan ghadaba Allah ( Allah melaknat ) dan qatala Allah ( Allah memerangi )
Dalam suatu hadist dijelaskan
+ * + 0"+345+ +67 + " + + 89+:5+ +; 1 + + 89+:5+ +<ﺡ + "+!+>1
7
+
+?
+ @ "+ + +AB" 8 +C
D
Artinya: “Yang halal adalah sesuatu yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, yang haram adalah sesuatu yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya. Dan hal-hal yang tidak disebutkan Allah hukumnya adalah pemberian-Nya, maka terimalah pemberian-Nya, Allah bukan lupa dengan hal-hal yang tidak disebutkan-Nya.”
Maka baik yang ditegaskan halalnya atau hukum ditegaskan tetapi tidak ada larangan, semua termasuk ke dalam istilah halal atau mubah ini berlaku untuk benda, manfaat, dan segala urusan keduniaan.28
2. Macam Halal dan Haram
Sebagai mana dikemukakan dalam pendahuluan, masalah kehalalan produk yang akan dikonsumsi merupakan persoalan besar dan urgen, sehingga apa yang akan dikonsumsi itu benar-benar halal, dan tidak tercampur sedikit pun barang haram. Oleh karena tidak semua orang dapat mengetahui kehalalan suatu produk secara pasti, sertifikat halal sebagai bukti penetapan fatwa halal bagi suatu produk yang dikeluarkan MUI merupakan suatu keniscayaan yang mutlak diperlukan keberadaannya.29
28
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatulah, Ensiklopedi Islam Insdonesia, Jakarta: Djambatan, 1999, hlm. 289-290
29
Depag. RI., Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, Jakarta: Depag. RI.,2003, hlm 14
Dalam Islam makanan merupakam tolak ukur dari segala cerminan penilaian awal yang bisa mempengaruhi berbagai bentuk perilaku seseorang. Makanan bagi umat Islam tidak sekedar kebutuhan lahiriyah, tapi juga bagian kebutuhan spiritual yang mutlak dilindungi. Seseorang muslim tidak dibenarkan mengkonsumsi sesuatu makanan sebelum ia tahu benar akan kehalalannya. Mengkonsumsi yang haram, atau yang belum diketahui kehalalannya akan berakibat buruk, baik di dunia maupun di akhirat.30
Menurut hukum Islam secara garis besar perkara (benda) haram terbagi menjadi 2 (dua) yaitu haram li-dhâtih dan haram li-ghairih. Kelompok pertama, subtansi benda tersebut diharamkan oleh agama, sedangkan yang kedua, substansinya bendanya halal (tidak haram) namun cara penangannya tidak dibenarkan oleh ajaran Islam. Contohnya, kambing yang dipotong secara tidak Syar’i, bendanya halal tetapi diperoleh dengan cara yang dilarang oleh agama, misalnya hasil mencuri, menipu, korupsi, dan sebagainya.31
Mengenai benda yang haram karena benda (zatnya) itu sendiri dapat terperinci secara mendetail, bahwa segala sesuatu ada dipermukaan atau di dalam perut bumi tidak akan melampaui tiga macam keolmpok golongan, yakni adakalanya berupa tambang seperti garam, tanah liat, sebagainya. Adakalanya berupa tanaman (nabati) dan adakalanya berupa binatang (hayawani).32
30
Thabieb al-Asyhar, Bayaha Makanan Haram Bagi Kepentingan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003, hlm.73-74
31
Depag. RI.,Sistem dan Prosedur Penetapan Fatwa Produk Halal MUI., hlm. 14
32
Al-Ghazali, al-Halal wal Haram terj. Ahmad Sunarto “halal dan haram” Jakarta: Pustaka amani, hlm. 24
Benda tambang merupakan bagian bumi atau segala sesuatu yang dikeluarkan dari bumi dan berwujud benda mati. Benda-benda semacam ini halal dimakan kecuali jika dengan memakan sedikit atau banyak, maka dengan demikian hukumnya haram. Jadi keharaman benda tambang semata-mata karena akan menimbulkan atau mendatangkan bahaya.33
Benda nabati, dari golongan benda ini tidak ada yang diharamkan untuk memakannya kecuali yang dapat memusnahkan kehidupan atau merusak kesehatan. Tentang yang melenyapkan akal itu, seperti obat, ganja, narkotika, khamr, dan benda-benda lain yang memabukkan. Yang memusnahkan kehidupan semacam racun yang merusak kesehatan misalnya, obat-obatan yang diminium tidak sesuai dengan resep. Jadi ringkasnya, semua itu diharamkan karena adanya bahaya yang timbul dari masing-masing benda tadi. Untuk arak (khamr) atau segala sesuatu yang memabukkan maka hukumnya tetap haram meskipun minum sedikit. Hal ini karena keharaman khamr sudah qath’ î (sudah pasti) dari nash al-Qur an.34
Benda hayawani dalam hal ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu yang boleh dimakan dan yang haram dimakan. Binatang-binatang yang halal dimakan dapat tetap halal dimakan, apabila cara penyembelihannya dilakukan menurut syari’at Islam, atau tidak mati dengan sendirinya, kecuali ikan dan belalang tetap halal tanpa disembelih.35 33Ibid ., hlm. 25 34Ibid ., hlm. 25 35 Ibid ., hlm. 25
Sayyid Sabiq membagi makanan/benda yang haram secara dzatiyah (substansi barangnya) ke dalam dua kategori yaitu : jamad (benda mati) dan hayawan (binatang).36
Jamad (benda mati) yaitu semua jenis makanan yang berwujud benda mati, hukumnya halal selama tidak najis, misalnya membahayakan dan memabukkan. Najis, misalnya darah mutanajis yaitu sesuatu yang terkena najis misalnya minyak samin yang di dalamnya ada bangkai tikus. Barang yang diharamkan karena membahayakan seperti racun. Yang diharamkan karena memabukkan adalah khamr (minuman keras). Barang ini mutlak keharamannay karena menghilangkan keseimbangan emosi dan akal bagi peminumnya.37
Hayawan (binatang), hukum bintang yang halal dimakan dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu : Pertama, binatang darat. Hukum binatang dari jenis ini adalah ada sebagian halal dan sebagian yang lain haram. Halalnya binatang yang hidup di darat seperti : sapi liar, unta liar, kijang, dan sebagainya. Binatang itu semua halal untuk dimakan berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Dalam As-Su nah binatang yang halal yaitu ayam, kuda, khimar, anab (sejenis biawak), kelinci, belalang dan jenis burung kecil.38
Adapun binatang darat yang diharamkan adalah binatang sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3 yaitu bangkai, darah, daging babi, daging binatang yang disembelih selain atas nama Allah, hewan yang mati tercekik,
36
Thabieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2003, hlm. 126-135
37 Ibid
., hlm. 126
38 Ibid
terpukul, terjatuh, tertanduk, tertekam oleh binatang buas (kecuali yang sempat disembelih) dan binatang yang disembelih untuk berhala.39
Termasuk binatang yang haram dimakan adalah binatang yang dikategorikan menjijikan, misalnya : ular, kalajengking, jenis kumbang dan sebangsanya, kuku binatang, kutu rambut, dan sebangsanya. Hewan yang termasuk buas, yaitu yang mempunyai taring yang kuat dan burung yang mempunyai pelatuk yang kuat yang bias melukai. Contoh binatang buas adalah harimau, macan kumbang, macan tutul, anjing pelacak, kera, gajah, buaya, jerapah, dan sebagainya. Hewan-hewan yang diperintahkan Islam membunuhnya seperti tikus, kalajengking, burung elang, lipan, dan sebagainya. Hewan yang dilarang oleh Islam untuk membunuh seperti semut, lebah, dan burung belatuk.40
Kategori yang kedua adalah binatang laut, setiap binatang laut adalah halal, walaupun tidak berbentuk ikan, dan tidak haram semua binatang laut kecuali yang mengandung racun yang membahayakan baik berupa ikan atau lainya baik hasil buruan atau bangkai yang ditemukan.41
B. Prinsip Dasar Halal dan Haram
Allah SWT telah menghalalkan banyak hal dan sangat sedikit pengharaman karena banyaknya, Allah tidak membatasi yang menghalalkan bagi kita. Kebijakan Allah dalam tentang halal dan haram telah menjaga kemampuan manusia dalam
39 Ibid
., hlm. 132
40
Thabieb al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani., hlm. 134
41Ibid
bersabar mencegah beberapa keperluan. Berikut prinsip-prinsip dasar mengenai halal dan haram yang ditemukan Yusuf Qardhawi sebagai berikut:42
a. Asal tiap sesuatu adalah mubah, bahwa asal sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal atau mubah. Tidak ada satupun yang haram, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari syari’ yang mengharamkanya. Yang berwenang membuat hukum itu sendiri, yaitu Allah dan Rasul. Berdasarkan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 29 :
ˆ
• OPQ
L'% "
6 C,
!"
' U •
b„K
Artinya : “Dialah dzat yang menjadikan untuk kamu apa-apa yang ada di bumi ini semuanya “ ( Qs. Al-Baqarah : 29 ).43
X<Ž •0
g C,
670 tt
0
!"
' + i,ˆ
& €
>
[ B
L• 7,‘
ŠT ’
r“ ,B ”
L_ XPC$s d
IcK
Artinya : “ Dan Dia menundukan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir” (Qs. Al-Jâtsiyah : 13).44b. Menentukan halal dan haram semata-mata hak Allah. Bahwa Islam telah memberikan suatu batas wewenang untuk menentukan halal dan haram, yaitu dengan melepaskan hak tersebut dari tangan manusia, betapapun tingginya kedudukan
42
Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, terj. Mu’ammal hamidy “Halal dan Haram Dalam Islam” Semarang: Bina Ilmu, 1993, hlm. 14
43
Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 13
44 Ibid
manusia tersebut dalam bidang agama maupun duniawi. Hak tersebut semata-mata milik Allah.45
Al-Qur an telah mengecap kepada orang musyrik yang berani mengharamkan dan menghalalkan tanpa ijin Allah, dalam surat Yunus ayat 59:
h O
]! 0 0 f
Q
D •A f
ƒQ
6 C,
• €
r–;W*
]!‚ —,‚
& €
' X &
#$ % &0
h O
ƒQQ 0
L_ ‘ f
6 C,
Y“ f
%5
˜Q
L_ | ™;s,5
„K
Artinya : “Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rizqi yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal”. Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikam izn kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?”. (Qs. Yunus : 59).46
Firman Allah juga dalam surat an-Nahl ayat 116
./0
RB,5
w~,5
6R2dV'wt; f
9}j+,C;
$+ ˆ
h % &
$+ ˆ0
› X &
| ™;s d ”
%5
˜Q
9}j+,C;
>
[ B
N OPQ
[ | ™;s
%5
˜Q
9}j+,C;
./
[ , ;s
II K
Artinya : “ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ Ini halal dan ini haram “, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah . Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung “ ( Qs. An-Nahl : 116 ).47
Dari ayat-ayat di atas dapat diketahui bahwa hanya Allah yang berhak menentukan halal dan haram. Para ahli fiqih sedikitpun tidak berwenang menetapkan
45
Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam, hlm. 19
46
Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, hlm. 315
47 Ibid
hukum syara’ dalam kedudukanya sebagai imam atau mujtahid, mereka tidak suka berfatwa mengatakan ini halal ini haram kecuali menurut apa yang terdapat dalam Al-Qur an dengan tegas tanpa memerlukan tafsiran.48
c. Mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram sama dengan syirik. d. Mengharamkan yang halal akan mengakibatkan timbulnya kejahatan dan bahaya. Dalam pemahaman halal dan haram ada beberapa alasan yang rasional demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.49
Mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa suatu keburukan dan binasa. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumya halal, kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar dari pada maanfatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.50
e. Setiap yang halal tidak memerlukan yang haram. Salah satu kebaikan Islam dan kemudahanya yang dibawakan untuk kepentingan umat manusia ialah islam tidak mengharamkan sesuatu kecuali di situ memberikan suatu ganti (way out) yang lebih baik guna mengatasi kebutuhan itu. Allah mengharamkan mencari untung dengan menjalankan riba, tetapi dibalik itu diberikan ganti dengan suatu perdagangan yang memberi untung. Allah telah mengharamkan berbuat zina, tetapi dibalik itu diberikan ganti berupa perkawinan yang halal. Allah telah mengharamkan khamr tetapi dibalik
48
Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, hlm. 22
49Ibid
., hlm. 24-29
50Ibid
itu Ia berikan gantinya berupa minuman yang lezat yang berguna bagi rohani dan jasmani.51
f. Apa saja yang membawa kepada haram adalah haram. Apabila islam telah mengharamkan sesuatu, maka cara apapun yang dapat membawa kepada perbuatan haram, hukumnya haram, misalnya arak. Rasulullah saw melaknat kepada yang meminumnya, yang membuat (memeras), yang membawanya, yang diberinya, yang menjualnya, dan seterusnya. Dari sinilah, maka para ulama ahli fiqih membuat suatu kaedah apa saja yang membawa kepada perbuatan haram, maka itu adalah haram.52 g. Bersiasat terhadap hal yang haram, hukumnya haram. Sebagaimana Islam telah mengharamkan seluruh perbuatan yang dapat membawa kepada haram dengan cara-cara yang nampak, maka begitu pula islam mengharamkan semua siasat untuk berbuat haram dinilai haram.53
h. Niat baik tidak dapat melepaskan yang haram. Masalah haram tetap dinilai haram, begitu pun baik dan mulianya niat dan tujuan itu. Bagaimanapun baiknya rencana selama dia tidak dibenarkan oleh Islam, maka selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji. Sebab islam selamanya menginginkan tujuan yang suci dan caranyapun harus suci juga.54
i. Menjauhkan diri dari syubhat karena takut terlibat dalam haram. Masalah halal sudah jelas, boleh dikerjakan. Dan soal haram pun sudah jelas, sama sekali tidak ada
51
Ibid., hlm. 33-34
52
Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam., hlm. 35
53Ibid
., hlm. 36
54Ibid
keringanan untuk mengerjakanya, selama masih dalam keadaan normal. Di balik itu ada suatu persoalan, yaitu antara halal yang haram (syubhat) suatu persoalan yang tidak begitu jelas antara halal dan haram. Hal ini karena tidak jelasnya dalil atau karena tidak jelasnya jalan untuk menggunakan dalil yang ada terhadap suatu peristiwa. Terhadap persoalan ini memberikan suatu sikap berhati-hati karena takut berbuat haram. Dengan demikian seorang muslim diharuskan untuk menjauhkan diri dari masalah yang masih syubhat, sehingga tidak terseret untuk berbuat kepada yang haram.55
j. Sesuatu yang haram berlaku untuk semua orang. Haram dalam pandangan Islam mempunyai ciri menyeluruh. Oleh karena itu tidak ada sesuatu yang diharamkan, selain orang Arab tetapi halal buat orang Arab. Apa saja yang diharamkan, haram juga untuk seluruh umat manusia.56
k. Keadaan terpaksa membolehkan yang terlarang. Islam sangat mengerti dan memudahkan terhadap kepentingan hidup manusia serta kelemahan manusia dalam menghadapi kepentinganya itu. Oleh karena itu seorang muslim dalam keadaan yang sangat memaksa, diperkenankan melakukan yang haram karena dorongan keadaan dan sekedar menjaga diri dari kebinasaan.57 Sesuai dengan firman Allah SWT:
A B
›oX &
6R2;+% œ
,p d;U ;
›< Q 0
96,, 0
X c•' Ž;
Q 0
h ˆef
• & g
| X
˜Q
: ,‚
oX 8YI
0| X$G
ž; g
./0
(U
™$,‚
96;] B
55Ibid ., hlm. 41-42 56Yusuf Qaradlawi, Halal Haram Fil Islam, hlm. 43
57Ibid
&;+%
>
[ B
PQ
Ÿ Rs$G
]U &o
IacK
Artinya : Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meninginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Qs. Al-Baqarah : 173).58
Dari Ayat ini, para ahli fiqih menetapkan suatu prinsip yang sangat berharga sekali, yaitu : keadaan terpaksa yang membolehkan yang terlarang, tetapi ayat itupun memberikan suatu pembatasan terhadap pelakunya (orang yang disebut dalam keadaan terpaksa) yaitu tidak disengaja dan tidak melewati batas. Maksudnya tidak sengaja untuk mencari kelezatan dan tidak melewati batas ketentuan hukum.59
C. Pengertian dan Kriteria Darurat 1. Pengertian Darurat
Darurat itu berasal dari kata yang artinya sempit. Adapun kalimat itu sama seperti yang berarti sesuatu, kebutuhan, hajat, dan terpaksa.60 Darurat menurut istilah berarti keadaan yang mendesak, yang membuat seseorang jika tidak melakukan atau memakan apa yang dilarang, keselamatan jiwa akan terancam.61
Menurut Ibnu Nujaim (ahli fiqh madzhab Hanafi) darurat berarti sampainya seseorang kepada suatu batas, apabila tidak melakukan perbuatan yang dilarang akan
58
Depag. RI., Al-Qur’an dan terjemahannya, hlm. 42
59
Yusuf Qaradlawi., Halal Haram Fil Islam, hlm. 47
60
Al-Munawir, Kamus Arab-Indonesia terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 819
61
dapat mencelakakan dirinya.62 Tatkala madzhab Maliki mendefinisikan darurat sebagai suatu kekhawatiran atas kebinasaan diri, baik berdasarkan keyakinan maupun berdasarkan dugaan yang kuat. Darurat ini tidak terwujud kecuali ada suatu keadaan yang memaksa untuk melakukan yang diharamkan agar terpelihara diri dari kebinasaan, seperti haus dan lapar yang berlebihan akan sakit yang membawa kematian.
Sedangkan menurut Al-Suyuthi, “Darurat ialah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.63
Menurut Wahbah Al-Zuhaily, darurat ialah datangnya kondisi bahaya atau kesulitan yang amat sangat kuat kepada diri manusia yang membuat dia khawatir akan terjadi kerusakan atau sesuatu yang menyakiti jiwa, anggota tubuh, kehormatan, dan yang bertalian dengannya. Ketika itu boleh tidak mengerjakan yang diharamkan atau meninggalkan yang diwajibkan, atau menunda untuk pelaksanaannya guna menghindari kemadharatan yang diperkirakan dapat menimpa dirinya selama tidak keluar dari syarat-syarat yang ditentukan oleh syara.64
Dari definisi tersebut hampir sama atau mirip, yakni tidak hanya menyangkut darurat tentang kebutuhan makan saja, tetapi kalau kita lihat lebih umum, yakni selain mencankup darurat makanan juga mencankup mempertahankan diri dari
62
Abdul Aziz Dahlan,et al.,Ensiklopedi Hukum Islam, hlm. 260
63
Abdul Rosyad Shiddiq, Fiqih Darurat. Jakarta: Pustaka Azzam, 2001, hlm. 18
64
Wahbah Az-Zuhaili, Nazhariyah Al-Dlarurah Al-Syar’iyah. Tej. Said Agil Al-Munawar “Konsep Darurat Dalam Hukum Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997, hlm. 72
penganiayaan dari harta dan kehormatan. Ada sebagian ulama yang mendefinisikan darurat sebagai suatu keadaan yang memaksa untuk melanggar sesuatu yang dilarang oleh agama. Ini berarti selain mencankup darurat makan juga mencankup darurat menolak segala sesuatu yang dapat mengancam keselamatan nyawa atau anggota-anggota badan atau kehormatan atau akal bahkan harta benda.65
2. Kriteria Darurat
Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk memenuhi penolakan bahaya, bukan untuk selain itu. Dengan demikian memakan dan meminum sesuatu yang dilarang dalam keadaan darurat dibolehkan. Para ulama telah memberikan kriteria seseorang yang dapat dikelompokkan ke dalam keadaan darurat.66
a. Keadaan darurat itu benar telah terjadi. Artinya, bahwa seseorang benar-benar dapat diduga akan kehilangan nyawa atau harta menurut pengalaman yang ada.
b. Orang yang dalam keadaan darurat itu benar-benar dihadapkan pada keterpaksaan untuk melakukan yang diharamkan atau meninggalkan yang diperintahkan agama. Artinya, bahwa disekelilingnya tak ada lagi yang dapat membantu menyelamatkan jiwanya, kecuali yang haram tersebut.67
65
Abdul Rosyad Shiddiq., Fiqih Darurat, hlm. 18
66
Tim Penyusun Dewan Redaksi, Ensiklopedi Islam 1, hlm. 293-294
67Ibid
c. Orang tersebut benar-benar dalam keadaan lemah untuk mencari sesuatu yang halal dalam menyelamatkan dirinya. Artinya, kalau dia masih sanggup untuk