,
EMOSIONAL DAN SPIRITUAL ANAK
(Studi Kasus di Lingkungan RT.004 RW.01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara )
Diajukan Kepada Fakultas
ff*rrah
dan Keguruan (FITK)Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.D
Oleh :
Klairatul Mashfirah
109011000051JT]RUS$[ PENDIDIKAF{ AGAMA
ISLAM
FAKT]LTAS
ILMU TARBIYAII
DAFT KNGURUANTUNTVERSITAS
ISLAM
I\IEGERI
SYARIF HIDAYATT]LLAH
JAKARTA
t435Ht20t4l0'd
l rln
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi berjudul Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01
Kelurahan Kamal Muarao Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara) disusun oleh KHAIRATUL MAGI{FIRAH Nomor Induk Mahasiswa 109011000051,
diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus dalam Ujian Munaqasah pada tanggal 05 Mei 2014 dihadapan dewan penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar
sarjana Sl (S.Pd.D dalam bidang Pendidikan Agama Islam.
Jakarta, 05 Mei 2014
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Program Studi)
Dr. H. Abdul Maiid Khon. M.As
NrP. 19580707 198703 1 00s
Seketaris (Sekretaris JurusaniProdi) Marhamah Saleh. Lc. MA
NIP. 19720313 200801 2 010
Penguji I
Prof. Dr. Armai Arief, MA NrP.19560119 198603 1 003
Penguji II
Dr. H. Sapiudin Sidiq. MA NrP. 19670328 200003 1 001
Mengetahui:
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kegu{Uan
Tanggal
/*y7
tlf
,otqan dan l(esurua
,
pry
Peranan
Orang Tua Dalam
Pengembangan KecerdasanEmosional
Dan Spiritual Anak
(Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara
Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara )
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
Sebagai Salah Satu Syarat trntuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)
Oleh:
Khairatul Maehfirah 109011000051
Di
bawah bimbingan Dosen Pembimbing $kripsi\
NIP : 19710319 199803 2 001
JT]RUS$T PENDIDIKAN AGAMA
ISLAM
FAKT]LTAS
ILMU TARBIYAH
DAII KEGURUAII
T]NTVERSITAS
ISLAM NMGERI
SYARIF HIDAYATT]LLAH
JAKARTA
Skripsi
ini
berjudul Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional dan Spiritual Anak di Lingkungan RT. 004' RW. 01' KelurahanKamal Muara,
Kecamatan Penjaringan,Jakarta Utara
disusun olehKhairatul Maghfirah,
NIM.
109011000051, Jurusan Pendidikan Agarna Islam,Fakultas
Ilmu
Tarbiyahdan
Keguruan, Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya
ilxoiah yang berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang
ditetapkan oleh fakultas.
Jakart4 15 April2014
Yang mengesahkarl
JI. lr. H. Juanda No 95 Cipudat 15412 htdoEda Hal 1t1
SURAT PERNYATAAN KARYA
SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Khairatul Maghfirah
Jakart4 30 Okeober 1992
10901 l0000sr
Pendidikan Agama Islam
Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan
Emosional dan Spiritual Anak di Lingkungan RT. 004,
RW.
01
KelurahanKamal
Muara
KecamatanPenj aringan Jakarta Utara. Dosen Pembimbing : Dr. Sururin,llA
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apayang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasatr.
Jakart4 15 April2014
Mahasiswa Ybs.
Khairatul Magbfirah NIM. 109011000051 Nama
Tempat Tel. Lahir
NIM
KHAIRATUL MAGHFIRAH, NIM 109011000051. The Role of Parents in Improving Emotional and Spiritual Intelligence of Children (a Case Study in the Area of RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara).
Emotional and spiritual intelligence are very important for human being. The effort of developing those intelligences must be started from parents because they are the first who are known by their children. The parents are the first school for their children.
The purpose of this research is to describe and know the role of parents in improving emotional and spiritual intelligence of children in area RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. This research used qualitative research approach, therefore the method that was used in this research is descriptive method. In addition, in collecting data, the writer used library research and field research.
ABSTRAK
KHAIRATUL MAGHFIRAH, NIM 109011000051. PERANAN ORANG TUA DALAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN SPIRITUAL ANAK (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara).
Kecerdasan emosional dan spiritual sangat penting dalam dan bagi kehidupan manusia. Upaya dalam mengembangkan kecerdasan tersebut haruslah dimulai dari orang tua, karena orang tualah yang pertama kali dikenal oleh seorang anak, orang tua merupakan madrasah pertama untuk anaknya.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan mengetahui peranan orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak di lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan penelitian kualitatif dan metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Dan di dalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (Library Research) dan penelitian lapangan (Field Research).
KATA PENGANTAR
ميحرلا نمحرلا ها مسب
Assalamu’alaikum, wr. wb.
Segala puji bagi Allah, yang telah memberikan rahmat dan kekuatan untuk
menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat akhir dalam menyelesaikan program S1
di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Syukur alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kepada Allah swt.,
Tuhan Maha Pengasih, yang tak pernah pilih kasih. Tuhan Maha Penyayang,
Yang sayang-Nya tiada terbilang. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada
teladan mulia kita Nabi Muhammad saw., yang memandu kita dalam menggapai
kebahagiaan didunia dan akhirat, kepada keluarga, sahabat dan kita sebagai
pengikutnya yang mendapat syafaat di Yaumil Akhir. Amin.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak sedikit
hambatan dan kesulitan yang penulis hadapi. Namun, berkat bantuan dan motivasi
yang tak ternilai dari berbagai pihak, akhirnya penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan.
Penulis berusaha dengan kemampuan yang ada untuk menghasilkan
penulisan yang baik dan berguna. Dalam penyusunan laporan ini, penulis banyak
mendapatkan bimbingan, dukungan dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ibu Dra. Nurlena Rifa’i, MA. Ph.D., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.
3. Bapak Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag. Ketua Jurusan PAI.
4. Ibu Marhamah Saleh, Lc. MA. sekretaris Jurusan PAI.
5. Ibu Dra. Sofiah, M.Ag dosen penasehat akademik Jurusan PAI Kelas B.
6. Ibu Dr. Sururin, MA. Selaku dosen pembimbing skripsi, yang dengan penuh
kesabaran serta keikhlasan telah banyak meluangkan waktunya, arahan dan
7. Bapak dan Ibu dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik
dan membimbing penulis selama perkuliahan berlangsung, semoga ilmu yang
diberikan bermanfaat bagi sesama dan membawa keberkahan.
8. Seluruh staff dan karyawan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK)
terutama jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) yang telah memberikan
kontribusi selama penulis menjadi mahasiswa.
9. Pimpinan dan staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan FITK, yang turut
memberikan pelayanan dan fasilitas untuk meminjam buku-buku perkuliahan
dan refrensi untuk skripsi ini.
10. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang tak hentinya berdoa untuk penulis, terima
kasih untuk segenap kasih sayang yang tiada berbatas waktu. Bagiku
Ayahanda dan Ibunda tercinta adalah permata terindah pilihan Allah untukku.
11. Seluruh keluarga, Kakak, Adik, Encang, Encing dan masih banyak lagi
anggota keluarga yang lainya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang
telah memberikan dukungan baik secara moril ataupun materil.
12. Kawan-kawan seperjuangan di FITK, jurusan PAI angkatan 2009. Khususnya
PAI kelas B, Nisrina Nur Amelia (Sisin), Maghfirah Ngabalin (Maghe), Nur
Faizah (Oren), Nurdianah (Dhi), Ulfa Nurul Hikmah yang telah memberikan
dukungan untuk tetap semangat, terima kasih sudah menjadi teman yang baik
untuk penulis.
13. Kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini,
penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Akhirnya hanya kepada Allah semata penulis berserah diri, memohon dan
menyerahkan segala persoalan. Semoga penulisan ini dapat bermanfaat bagi
semua. Penulis menyadari segala kekurangan dan kesalahan. Untuk itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan dimasa
mendatang.
Wassalamu’alaikum, wr. wb.
Jakarta, 05 Mei 2014 Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Pembatasan Masalah ... 7
D. Perumusan Masalah ... 8
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN TEORI ... 9
A. Peranan Orang Tua ... 9
1. Pengertian Peranan ... 9
2. Pengertian Orang Tua ... 11
3. Peran Orang Tua ... 13
4. Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua ... 21
B. Kecerdasan Emosional (EQ) ... 26
1. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 26
2. Esensi Kecerdasan Emosional ... 29
3. Karakteristik Kecerdasan Emosional ... 32
4. Peranan Orang Tua dalam Pengembangan Kecerdasan Emosional 36 C. Kecerdasan Spiritual (SQ) ... 39
1. Pengertian Kecerdasan Spiritual ... 39
2. Karakteristik Kecerdasan Spiritual ... 43
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 56
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 56
B. Metode Penelitian ... 56
C. Populasi dan Sampel ... 58
D. Teknik Pengumpulan data ... 58
E. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 60
F. Instrumen Penelitian ... 61
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 66
A. Deskripsi Data ... 66
B. Analisis Data ... 68
C. Interpretasi Data ... 94
BAB V PENUTUP ... 98
A. Kesimpulan ... 98
B. Saran ... 98
DAFTAR PUSTAKA ... 100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap anak yang dilahirkan telah memiliki potensi, salah satunya
potensi dalam bentuk kecerdasan, baik itu kecerdasan intelektual (IQ),
kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), maupun kecerdasan
lainnya.
Dalam Islam, setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah. Fitrah yang
dimaksud dapat berupa potensi, sebelum manusia dilahirkan ke dunia, Allah
telah memberinya potensi.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak
dilahirkan seorang anak melainkan dengan fitrah, maka orang tuanyalah
yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”.1
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 tentang sistem
pendidikan nasional tertera bahwa Pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, sekaligus meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Selain itu pendidikan diharapkan dapat meningkatkan kehidupan manusia
kearah yang sempurna. Sehingga pendidikan berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.2 Dalam rangka mencapai tujuan pendidikan, Islam
mengupayakan pengembangan seluruh potensi manusia agar berjalan
seimbang dan dinamis demi terwujudnya seluruh potensi manusia secara
sempurna. Potensi yang dimiliki manusia merupakan kekayaan dalam diri
manusia yang amat berharga dari Allah, karena setiap mereka adalah khalifah
di muka bumi ini.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah: 30).3
Potensi atau kecerdasan-kecerdasan tersebut akan sangat
mempengaruhi kepribadian, bahkan mungkin kegagalan atau kesuksesannya.
Namun bukan berarti proses itu semuanya telah usai, tidak dapat diubah dan
tidak dapat dipengaruhi. Karena kepribadian seseorang bersumber dari
bentukan keluarga, sekolah dan lingkungan. Atau lebih dikenal dengan
sebutan tri pusat pendidikan.
Orang tua, pendidik dan lingkungan memiliki peran yang sangat
penting dalam mengarahkan dan mengembangkan potensi yang telah
2 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang System Pendidikan Nasional, (Yogyakarta:
Media Wacana Press, 2003), Cet. III, h. 12.
diberikan oleh Allah pada diri anak tersebut. Kunci pertama dalam
pengembangan kecerdasan anak terletak pada lingkungan keluarganya,
terutama orang tua. Ada pepatah mengatakan bahwa buah jatuh tidak jauh
dari pohonnya, baik buruknya anak tergantung didikkan orang tuanya, karena
orang tua adalah madrasah pertama untuk anaknya.
Pendidikan dalam keluarga merupakan dasar yang tidak boleh
dilupakan. Anak selain bagian dari keluarga, juga merupakan bagian dari
masyarakat, yang dipundaknya terpikul beban pembangunan di masa
mendatang dan juga sebagai generasi penerus dari sebelumnya. Oleh karena
itu, orang tua harus lebih memperhatikan dan selalu membimbing serta
mendidik anaknya dengan baik, sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan
kebahagiaan akhirat. Sebagaimana dalam Al-Qur‟an surat An-Nisa ayat 9,
Allah mengingatkan kepada orang tua agar memperhatikan keturunannya.
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar”. (QS. An-Nisa : 9).4
Ayat di atas mengisyaratkan kepada orang tua agar tidak
meninggalkan anak mereka dalam keadaan lemah. Lemah di sini maksudnya
adalah lemah dalam segala aspek kehidupan, seperti: lemah iman, psikis,
pendidikan, ekonomi, terutama lemah iman (spiritual).
Fenomena yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia saat ini yang
masih menganggap bahwa seseorang yang cerdas adalah yang mendapat nilai
tertinggi, IQ-nya berada di atas rata-rata. Siswa yang cerdas adalah siswa
yang nilai raportnya tinggi. Sementara sikap, kreativitas, kemandirian, emosi
dan spiritualitasnya belum mendapat penilaian yang proporsional. Sehingga
keyakinan umum di masyarakat bahwa jika anak mereka mendapat nilai A,
maka mereka akan meraih gelar yang baik dan mendapat pekerjaan yang
layak, dengan gaji yang memuaskan yang akan menjamin keberhasilan dan
kebahagiaan sepanjang hidupnya.
Paradigma tersebut masih dapat ditemukan saat ini, dan itu bukan
karena kebanyakan orang masih berpikir dengan cara lama, tapi juga karena
memang paradigma dan sistem evaluasi pendidikan belum beranjak dari
paradigma lama dan cara berpikir positivistik.5 Jika paradigma dan hal ini
terus terjadi di dalam pendidikan Indonesia, apa yang terjadi di kemudian
hari?.
Orang tua tentu menginginkan anaknya dapat menjadi pribadi yang
unggul, tidak hanya cerdas secara intelektualnya saja, melainkan cerdas
secara emosional dan cerdas secara spiritualnya.
Cerdas secara intelektual tidak bisa dijadikan parameter untuk
menentukan tinggi-rendahnya kecerdasan manusia dan intelektual bukanlah
satu-satunya penentu sebuah keberhasilan. Baru-baru ini mitos itu telah
dipatahkan oleh Daniel Goleman, ia mengatakan bahwa keberhasilan siswa
tidak hanya ditentukan oleh IQ melainkan juga ditentukan oleh EQ.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur
kehidupan emosinya, agar dapat mengungkapkannya secara selaras melalui
keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan
keterampilan sosial.6
Anak yang memiliki EQ tinggi lebih mampu mengenal emosinya
sendiri, lebih mampu secara bijaksana menentukan sikap dan mengambil
keputusan; lebih mampu mengendalikan emosi diri agar dapat terungkap
dengan seimbang dan selaras; lebih mampu memotivasi diri lebih tekun
dalam menghadapi frustasi, lebih tampil menyelesaikan konflik dan
mengatasi stress sehingga kemampuan berpikirnya tidak terganggu dan
sekaligus cukup berkonsentrasi terhadap berbagai materi pelajaran yang
diterimanya. Anak tersebut lebih mampu berempati, peka terhadap perasaan
orang lain, lebih peduli pada keadaan disekitarnya. Dengan demikian lebih
mudah bergaul dan berkomunikasi, dapat bekerja sama dengan baik dalam
lingkungan sosialnya.7
Selain itu bermunculan lagi istilah baru tentang kecerdasan yang intinya
menolak anggapan bahwa IQ bukanlah sebagai satu-satunya parameter untuk
mengukur kecerdasan manusia, seperti SQ (Spiritual Quotient) atau yang
lebih akrab dikenal dengan kecerdasan spiritual yang dipopulerkan oleh
Danah Johar dan Ian Marshall.
Danah Johar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual
adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu
kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam makna yang
lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan
hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah
kecerdasan jiwa, yaitu kecerdasan yang dapat membantu manusia
menyembuhkan dan membangun diri manusia secara utuh.8 SQ adalah
landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif.
Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi seorang manusia.
Kecerdasan spiritual (SQ) juga memungkinkan diri menyatukan
hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani
kesenjangan antara diri dan orang lain. SQ juga membantu menjalani hidup
pada makna yang lebih dalam; menghadapi baik dan jahat, hidup dan mati,
serta asal-usul sejati dari penderitaan dan keputus-asaan manusia.9
Ketiadaan kecerdasan spiritual bisa sangat berbahaya. Karena, bisa
saja ketika seseorang memiliki IQ tinggi dan EQ tetapi tidak diimbangi
dengan SQ maka bisa terjadi ketimpangan dalam pribadi seseorang dan bisa
saja akibat dari ketimpangan tersebut akan berdampak pada lingkungan
social. Misalnya orang yang pandai membuat bom atau senjata, ketika IQ-nya
tidak diimbangi dengan EQ dan SQ, bom atau senjata tersebut
disalahgunakan untuk tindak kejahatan (kriminalitas), seperti fenomena yang
bisa dilihat sekarang ini banyak sekali aksi terorisme yang meresahkan
7 Nuraida, Character Building untuk Guru, (Jakarta: Aulia Publishing House, 2007), h. 78. 8 Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ, Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berpikir
Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2001), h. 135.
masyarakat, prilaku bunuh diri dan korupsi yang sudah merajarela kini sudah
mewarnainya dan menjadi masalah serius bangsa ini.
Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna
ibadah terhadap setiap prilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan
pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya (hanif) dan memiliki pola pemikiran tauhid (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.10
Kecerdasan bukanlah kemampuan genetis yang dibawa sejak lahir,
tetapi merupakan hasil pembentukan atau perkembangan yang dicapai oleh
seorang individu, dan proses pembelajarannya berlangsung seumur hidup.
Upaya pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual
perlu mendapat perhatian yang serius dari para orang tua. Karena orang tua
adalah pendidik pertama anak sebelum anaknya memasuki pendidikan formal
atau sekolah.
Orang tua mempunyai posisi sebagai pemimpin keluarga atau rumah
tangga. Selin itu juga, sebagai pembentuk pribadi utama dalam kehidupan
anak. Kepribadian orang tua, sikap, dan tata cara hidup mereka merupakan
unsur-unsur pendidikan yang secara tidak langsung dengan sendirinya akan
masuk dalam pribadi anak yang sedang tumbuh.11
Ringkasnya, orang tua merupakan model atau figur bagi anak. Prilaku
anak meniru didasari oleh keingintahuan anak yang semakin besar
mencoba-coba sesuatu sesuai dengan tumbuh-kembangnya.12
Pengembangan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak
perlu dilakukan oleh orang tua sejak dini. Sebab masa anak-anak inilah masa
pembentukan pondasi dan masa kepribadian yang akan menentukan
pengalaman anak selanjutnya agar menjadi generasi yang mampu
mengembangkan dirinya secara optimal.
Beranjak dari apa yang telah dipaparkan di atas, dapat dipahami
bahwa orang tua mempunyai peranan penting dalam pengembangan
10 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
(ESQ), (Jakarta: Arga, 2001), Cet. I, h. 57.
11 Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama. (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), Cet. XVII, h. 67.
kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anaknya. Berdasarkan hal
tersebut, penulis bermaksud untuk mengulas lebih dalam, dan selanjutnya akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “PERANAN ORANG TUA DALAM PENGEMBANGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SPIRITUAL ANAK (Studi Kasus di Lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan Jakarta
Utara)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang dapat
diidentifikasikan adalah sebagai berikut :
1. Adanya paradigma yang mengatakan bahwa kecerdasan intelektual adalah
segalanya dan akan membawa keberhasilan serta kesuksesan dalam hidup
atau kebahagiaan hidup.
2. Terjadi ketimpangan orientasi pendidikan yag lebih menekankan pada
aspek kecerdasan intelektual daripada kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual.
3. Adanya ketimpangan prilaku sosial, hal ini akibat ketiadaan atau
kurangnya kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
4. Para orang tua lebih mementingkan kecerdasan intelektual, dan anak
diserahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah. Padahal peran orang tua
sangat penting dalam pengembangan kecerdasan emosional dan
kecerdasan spiritual anak khususnya dalam lingkungan keluarga.
5. Masa anak-anak merupakan masa yang paling penting dan baik untuk
menanamkan nilai-nilai kehidupan sebagai pondasi kehidupan dewasa
nantinya.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi yang telah dipaparkan diatas, Skripsi yang
Yang pertama, orang tua yang dimaksud adalah orang tua yang
memiliki anak di lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara,
Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Dan anak yang dimaksud adalah anak
yang berusia mulai dari 10 sampai 17 tahun.
Kemudian mengenai kecerdasan, penulis hanya membahas dua
kecerdasan yaitu: Kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Karena
keduanya sangat berkaitan erat dan penting untuk dipaparkan.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalahnya adalah :
Bagaimanakah peran orang tua dalam pengembangan EQ dan SQ anak di
lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan
Penjaringan, Jakarta Utara?.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan yang telah penulis tuliskan di atas,
maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk menjelaskan dan mengetahui peranan orang tua dalam
mengembangkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual anak di
di lingkungan RT. 004 RW. 01 Kelurahan Kamal Muara, Kecamatan
Penjaringan, Jakarta Utara.
Sedangkan kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Dengan adanya penelitian ini penulis mendapatkan pengalaman baru,
memperkaya khazanah ilmu dan pengetahuan yang akan dijadikan modal
untuk kelak ikut serta berkontribusi dalam mengembangkan EQ dan SQ
anak.
2. Orang tua, melalui penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan
membantu orang tua dalam mendidik dan mengembangkan kecerdasan
BAB II
KAJIAN TEORI
A.Peranan Orang Tua 1. Pengertian Peranan
Peranan adalah kata dasar dari “peran” yang ditambahkan akhiran “an”, peran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti perangkat tingkah laku yang diharapkan dapat dimiliki oleh orang yang berkedudukan
dalam masyarakat.1
Peranan menurut Levinson sebagaimana yang dikutip oleh Soerjono
Soekanto, sebagai berikut:
“peranan adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat, peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat, dan peranan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.”2
Kata peran setelah mendapatkan akhiran “an”, kata peranan memiliki arti yang berbeda, diantaranya:
a) peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu
peristiwa.3
b) peranan adalah konsekuensi atau akibat kedudukan atau status
seseorang.4
1 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), h. 333.
2 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: CV. Rajawali, 1990), cet. IV, h. 269.
Menurut Biddle dan Tomas, peran adalah serangkaian rumusan yang
membatasi perilaku-perilaku yang diharapkan dari pemegang kedudukan
tertentu. Misalnya dalam keluarga, perilaku ibu dalam keluarga diharapkan
bisa memberi anjuran, penilaian, sangsi dan lain-lain. Kalau peran ibu
digabungkan dengan peran ayah maka menjadi peran orang tua dan menjadi
lebih luas sehingga perilaku-perilaku yang diharapkan juga menjadi lebih
beraneka ragam.5
Peranan adalah seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada
individu yang menempati kedudukan sosial tertentu.6 Harapan-harapan akan
menjadi pertimbangan dari norma-norma sosial, oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa peranan itu ditentukan oleh norma-norma yang ada di
dalam masyarakat. Peranan ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan
yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di
dalam keluarga.
Peranan diartikan sebagai suatu pola tingkah laku tertentu yang
merupakan ciri khas semua petugas dari semua pekerjaan atau jabatan
tertentu.7 Pribadi manusia beserta aktifitas-aktifitasnya tidak semata-mata
ditentukan oleh pengaruh-pengaruh dan proses-proses yang berlangsungg
tetapi juga dipengaruhi oleh sejauhmana peranan manusia dalam
mempengaruhi proses itu.
Berdasarkan definisi di atas, dapat dilihat bahwa peranan merupakan
aspek yang dinamis. Peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Bila dihubungkan dengan kata “orang tua” memiliki arti bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan oleh orang tua, baik ayah
maupun ibu. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan adalah sesuatu yang
menjadi bagian atau seseorang yang mempunyai wewenang dalam
menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya untuk
mencapai tujuan. Peranan alangkah lebih baiknya dilaksanakan oleh
4 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. I, ed. 1, h. 73.
5 Sarlito Wirawan Sarwono, Teori-teori Psikologi Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. V, h. 224.
6 Davit Berry, Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 106.
individu-individu yang dianggap mampu melaksanakan perannya. Misalnya
orang yang berkedudukan di dalam masyarakat, seperti peran guru dalam
mengatasi kebodohan, peran orang tua dalam mendidik anak, dan jika suatu
peran itu dilaksanakan dengan baik maka dapat mewujudkan kehidupan
manusia yang aman dan damai.
2. Pengertian Orang Tua
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah orang tua diartikan
dengan: ayah dan ibu kandung, orang-orang tua atau orang yang dianggap
tua (cerdik, pandai, ahli dan sebagainya), atau orang yang dihormati
(disegani) dikampung (masyarakat).8
Dalam bahasa Arab istilah orang tua dikenal dengan sebutan “
Al-Walid”.9 Pengertian tersebut dapat dilihat dalam Al-Qur‟an surat Lukman
ayat 14:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”.10
Dalam bahasa Inggris istilah orang tua dikenal dengan sebutan “parent” yang artinya “orang tua laki-laki atau ayah, orang tua perampuan atau ibu”.11 Orang tua memiliki arti sebagai orang yang dituakan, dikatakan
tua karena berdasarkan kematangan dan pengalaman hidupnya.
Menurut para ulama, orang tua adalah pria dan wanita yang berjanji
dihadapan Sang Khalik dalam perkawinan untuk hidup sebagai suami istri
8 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), cet. I, h. 627.
9 Ahmad Warson Munawwi, Kamus Al-Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. XIV, h. 1580.
10 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, juz 21(Jakarta: PT. Sinergi Indonesia, 2012), h. 581.
dan siap sedia memikul tanggung jawab sebagai ayah dan ibu dari
anak-anak yang dilahirkannya. Ini berarti bahwa pria dan wanita yang terikat
dalam perkawinan siap sedia untuk menjadi orang tua.12
Menurut M. Nashir Ali menjadi orang tua adalah dua orang yang
membentuk keluarga, segera bersiap mengemban (memperkembangkan) fungsinya sebagai “orang tua”. Menjadi orang tua dalam arti menjadi bapak atau ibu dari anak-anaknya, menjadi penanggung jawab dari lembaga
kekeluargaannya sebagai satu sel anggota keluarga, dan di dalam keluarga
cinta dari ayah ibu dan sanak saudaranya sangat penting untuk
membesarkan seorang anak lahir batin. Tanpa cinta dalam keluarga itu,
seorang menjadi kerdil lahir-batin, atau rusak dan timpang
perkembangannya.13
Dari pengertian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa
orang tua adalah ayah dan ibu yang merawat dan mendidik anaknya, mereka
pemimpin bagi anak dan keluarganya, juga orang tua adalah panutan dan
cerminan bagi anaknya yang pertama kali ia kenal, ia lihat dan ia tiru,
sebelum anak mengenali lingkungan sekitarnya.
Orang tua selain telah melahirkan anak ke dunia ini, orang tua juga
mengasuh dan membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang
baik dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, orang tua jugalah yang selalu
mendampingi dan membantu anak-anaknya untuk mengenal hal-hal apa saja
yang ada di dunia ini, serta menjawab dengan jelas tentang sesuatu yang
tidak dimengerti oleh buah hati mereka.
Hubungan orang tua dan anak sangat berpengaruh terhadap
perkembangan emosional anaknya, terutama dasar-dasar kelakuan seperti
sikap, reaksi, tingkah laku, agamanya dan dasar-dasar kehidupan lainnya.
Orang tua juga merupakan pusat kehidupan rohani si anak dan
sebagai penyebab kenalnya seorang anak dengan dunia luar. Maka, setiap
reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari sangat dipengaruhi
oleh peran orang tuanya. Jadi, orang tua atau ibu dan ayah memiliki peranan
yang sangat penting atas pendidikan anak-anaknya dan sudah jelas
pengetahuan pertama yang diterima seorang anak adalah dari orang tuanya.
Kini jelaslah bahwa, seorang anak akan menjadi manusia yang baik
sangat tergantung pada sifat-sifat yang tumbuh dalam kehidupan keluarga
tempat anak tersebut dibesarkan. Kelak kehidupan anak tersebut juga akan
mempengaruhi masyarakat sekitarnya, sehingga pendidikan keluarga yang
dalam hal ini dilakukan oleh orang tua merupakan dasar terpenting untuk
kehidupan anak sebelum masuk sekolah dan terjun kemasyarakat.
3. Peran Orang Tua
Orang tua sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak, sebab
orang tua merupakan guru pertama dan utama bagi anaknya, orang tua juga
sebagai pondasi utama bagi perkembangan pribadi anak.
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anak
mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan.
Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan
keluarga.14
Orang tua adalah pendidik utama dan pertama, dikatakan utama
karena pendidikan dari tempat ini mempunyai pengaruh besar bagi
kehidupan anak kelak dikemudian hari, dikatakan pertama karena di tempat
inilah anak mendapatkan bimbingan dan kasih sayang untuk yang pertama
kalinya, dari orang tuanyalah anak pertama kali mengenal dunia, mengenal
dasar-dasar pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup. Karena
perannya yang sangat penting maka orang tua harus benar-benar
menyadarinya sehingga mereka dapat memperankannya sebagaimana
mestinya.
Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan tentang empat
peran orang tua dalam mendidik anak, yaitu:
a. Peran Orang Tua Sebagai Teladan
Seringkali anak cenderung memandang orang tua sebagai model
dalam melakukan peran sebagai orang tua, sebagai suami atau istri, atau
model hidup sebagai anggota masyarakat,15 oleh sebab itu untuk
membawa anak kepada kedewasaan, orang tua harus memberi teladan
yang baik karena anak suka mengimitasi kepada orang yang lebih tua
atau orang tuanya.16
Orang tua yang soleh merupakan contoh teladan yang baik bagi
perkembangan anak, baik jiwa, pribadi, maupun pembentukan prilaku
anak. Apabila orang tua membiasakan diri untuk berprilaku dan
berakhlak baik, taat kepada Allah, menjalankan syariat agama, serta
memiliki jiwa sosial, maka dalam diri anak akan timbul dan terbentuk
sifat yang ada pada orang tuanya, karena ia akan meniru dan mencontoh
apa yang ia lihat dalam kehidupannya sehari-hari dari tingkah laku orang
tuanya.17
b. Peran Orang Tua sebagai Pendidik
Orang tua juga berperan dalam mendidik anak dan
mengembangkan kepribadiannya, karena pada dasarnya pendidikan anak
adalah tanggung jawab orang tua. Pendidikan anak secara umum di
dalam keluarga terjadi secara alamiah, tanpa disadari oleh orang tua,
namun pengaruh dan akibatnya amat besar. Karena itulah, suasana
keluarga, ketaatan orang tua beribadah, dan perilaku, sikap dan cara
hidup yang sesuai dengan ajaran Islam, akan menjadikan anak yang lahir
dan dibesarkan dalam keluarga baik, beriman dan berakhlak terpuji.
c. Peran Orang Tua sebagai Motivator
Motivasi merupakan dasar tanggung jawab orang tua terhadap
anaknya. Motivasi adalah unsur penting dalam tarbiyah dan tidak boleh
disepelekan. Memberi dorongan kepada anak memainkan peranan
penting dalam jiwa, memicu gerak positif konstruktif dan mengungkap
potensi dan jati dirinya yang terpendam. Sebagaimana ia dapat
15Kartini Kartono, Op. cit., hal. 28.
16 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 155.
meningkatkan kontinuitas kerja dan mendorongnya untuk terus maju
kearah yang benar.18
Motivasi memiliki peran besar bagi anak sehingga akan terus
menerus dilakukan, membantu selalu mengetahui hobi anak-anak,
kemampuan dan kekuatan mereka. Diantara motivasi yang bermanfaat
adalah memberi semangat kepada anak untuk melakukan hal-hal yang
baik yang mengarahkan kepada komitmen dan berpegang teguh kepada
nilai ajaran agama, seperti memberi buku-buku Islami, mengajak hadir ke
majlis ulama, peryaan hari besar Islam, khutbah dan seminar.19
Sidney D Craig dalam buku “Mendidik dengan Kasih”,
menjelaskan bahwa orang tua dapat memotivasi anak dengan berbicara
atau bertindak terhadap anak dengan jalan sedemikian rupa agar didalam
diri anak tercipta hasrat untuk berbuat sesuai dengan yang diharapkan
orang tua.20 Karena dengan dorongan itulah dapat memacu semangat
kreativitas anak di dalam mengembangkan sesuatu, terutama dalam
menuntut ilmu pengetahuan, sehingga dengan demikian semangat anak
bertambah, di samping itu pula ia merasakan bahwa dirinya ada perhatian
dan bimbingan dari orang tua.
d. Orang Tua Sebagai Pemberi Kasih Sayang
Menurut Zakiah Daradjat, “orang tua secara kodrati diberi Allah perasaan kasih sayang dan kemampuan untuk menyayangi serta kecendrungan menolong dan merawat anak”.21
Pada umumnya ibu yang
memgang peranan penting terhadap pendidikan anak-anaknya sejak anak
itu dilahirkan. Ibu sebagai pendidik dan pengatur rumah tangga, baik atau
buruknya pendidikan ibu terhadap anak akan berpengaruh besar terhadap
18 Mahmud Ibnu Abdul Hafidh Suwaid, Cara Nabi Mendidik Anak,Terj. dari Manhaj
Tarbiyah Nabawiyah Lith Thifli, oleh Hamim Thohari, dkk, (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat,
2004), Cet. 1, hal. 94.
19 Al-Maghribi bin as-Said al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak (Panduan
Mendidik Anak Sejak Masa Kandungan Hingga Dewasa),Terj. dari Kaifa Turabbi Waladan
Shalihan oleh Zaenal Abidin,(Jakarta: Daarl Haq, 2004), hal. 383-385.
20 Sidney D Craig, Mendidik dengan Kasih, Terj. dari Raising Your Child, Not by Force but by
Love oleh YB Tugiarso, (Yogyakarta: Kanisius. 1990), .hal. 87.
perkembangan dan watak anak. Kelangsungan anak sejak lahir berada di
tangan ibu.
Kasih sayang orang tua terhadap anaknya merupakan salah satu
bentuk pendidikan yang sangat baik bagi perkembangan anak. Sebab
anak akan merasakan ikatan batin yang cukup kuat dalam membina
hubungan cinta kasih antara dirinya dengan kedua orang tuanya. Dalam
syariat Islam pun dianjurkan kepada orang tua, para pendidik dan
orang-orang yang bertanggung jawab atas pendidikan anak untuk memiliki sifat
kasih sayang.
Kasih sayang berarti menyediakan situasi yang baik bagi
perkembangan emosi anak, dan mendukung dengan cara yang jelas
dikenali oleh anak, yaitu dengan cara melibatkan secara aktif dalam
kehidupan emosi anak.22
Berikut akan penulis uraikan mengenai bentuk kasih sayang pada
umumnya yang dapat mengembangkan kecerdasan intelegensi dan
emosional anak serta spiritualnya.
1) Mendongeng atau Bercerita Untuk Anak
Hampir semua anak sangat senang mendengar cerita dan
dongeng dari ayah, ibu atau siapa saja. Mula-mula yang paling
disenangi oleh anak adalah cerita anak yang menyangkut dunianya
sendiri. Kesenangan dan kegembiraan anak mendengarkan cerita
dongeng ini hendaknya dimanfaatkan oleh segenap orang tua dalam
rangka mendidik anaknya. Sebagaimana dikutip oleh para ahli
psikologi dan pendidikan:
“anak-anak yang secara teratur didongengi akan memiliki perbendaharaan kata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan anak-anak yang tidak pernah mendengarkan dongeng. Mereka lebih pandai dalam mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Adapula menfaat yang penting untuk masa sekolah, anak belajar mendengarkan dengan tekun, dan konsentrasi pada suatu hal”.23
22 Lawrence E. Shapiro, Mengajarkan Emotional Intelligent Pada Anak, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 29.
Al-Qur‟an mempergunakan cerita sebagai alat pendidikan
seperti cerita tentang Nabi dan Rasul terdahulu, cerita kaum yang
hidup terdahulu baik yang ingkar kepada Allah ataupun yang beriman
kepada-Nya.
Allah telah menceritakan kepada Rasulullah SAW cerita yang
paling baik, tentang kejadian-kejadian baik, sebagaimana cerminan
bagi umat manusia dan menjadi peneguh Rasulullah SAW seperti
yang terdapat dalam firman-Nya:
. . . .
.
“Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka
berfikir.” (Q.S. Al-A‟raf: 176).24
2) Pemberian Pujian dan Hadiah
Menurut Henry N. Siahan, “pujian yang bersifat konstruktif (membangun) ialah pujian yang jujur dari hati yang tulus ikhlas, wajar, memberikan dorongan dan semangat. Pujian yang bersifat destruktif (merusak) ialah pujian yang berlebih-lebihan, tidak wajar, dibuat-buat dan kadang-kadang pujian seperti ini menjengkelkan”.25
Sebagai ayah dan ibu yang bijaksana harus bersedia membagi
waktunya dengan anak. Memuji anak bila ia melakukan sesuatu
perbuatan yang baik, dan menunjukkan bahwa mereka ikut khawatir
mengenai hal yang ditakutkan anak bila anak merasa lemah dalam
suatu pelajaran tertentu di sekolah. Tidak sepatutnya orang tua
mengecam anak, bahkan sebaliknya orang tua harus turut
memperlihatkan bahwa mereka ikut khawatir akan prestasi anak
tersebut. Kalau merasakan adanya simpati dari orang tua maka anak
mau menceritakan kesulitannya, sehingga orang tua lebih mudah
untuk memberikan bantuan kepada anaknya.
Setiap anak yang mendapatkan kasih sayang akan merasakan
hidupnya lebih bahagia, dan kebahagiaan membantu perkembangan
anak. Mereka menjadi lebih mudah menaruh perhatian pada hal di luar
24 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, juz 9, (Jakarta: PT. Sinergi Pustaka Indonesia, 2012), h. 233.
dirinya, bersedia memikirkan orang lain, dan yang lebih penting juga
mampu menunjukkan simpati pada orang lain.
Dalam memberikan pujian dan hadiah setiap orang tua harus
bertindak proporsional, jadi orang tua hanya memuji dan memberi
hadiah pada anak yang berhasil melaksanakan tugasnya.
Di sisi lain pemberian pujian kepada anak tidak terlalu banyak
memberi manfaat. Hal ini akan menimbulkan sikap sombong pada diri
anak karena ia merasa lebih dari yang lain. Pujian dan pemberian
hadiah ini bertujuan memberi semangat dan dorongan kepada anak
sebagai apresiasi agar anak mampu menjadi yang lebih baik lagi.
3) Menghargai Anak
Menghargai anak dalam setiap tingkah lakunya merupakan
dorongan yang akan merangsang anak melakukan hal-hal yang baik
untuk dirinya. Tindakan ini juga dapat menanamkan toleransi diantara
anak dan orang tua.
Orang tua sering kali mengolok-olok anak dalam bentuk apapun,
hal ini menyebabkan si anak merasa tidak dihargai. Hukuman,
perintah, larangan yang dilakukan tanpa alas an yang masuk akal dan
wajar juga menyebabkan anak merasa tidak dihargai. Demikian pula
tindakan dan sikap orang tua yang selalu menunjukkan kekuasaan dan
kebesaran akan memberikan pengertian pada anak bahwa ia tidak
dihargai. Akibat dari hilangnya rasa harga diri itu antara lain anak
akan merasa rendah diri, tindak berani bertindak, lekas marah dan
sebagainya.26
Empati, merupakan cara yang tepat dilakukan oleh orang tua
guna memahami dan menyelami perasaan anak sehingga ia merasa
dihargai. Dengan adanya penghargaan dari orang tuanya akan timbul
di dalam diri anak rasa percaya diri.
4) Menciptakan Komunikasi Antara Orang Tua dan Anak
Masalah yang tidak pernah habis dibicarakan orang dalam
kehidupan manusia ialah hubungan atau komunikasi antara orang tua
dan anak.
“Pada hakikatnya, komunikasi yang bisa menguntungkan kedua belah pihak ialah komunikasi timbal balik, yang di dalam komunikasi tersebut terdapat spontanitas serta keterbukaan”.27
Dalam kondisi seperti ini, orang tua akan dapat mengetahui dan
mengikuti perkembangan jalan pikiran anak. Orang tua dapat
menggunakan situasi komunikasi untuk anak berkembang dan belajar.
Sedangkan untuk si anak, pikiran anak akan berkembang karena anak
dapat mengungkapkan isi hati (pikirannya), bisa memberi usul dan
pendapat berdasarkan penalarannya.
Gagal berkomunikasi dengan anak mungkin juga merupakan
suatu bentuk penolakan, namun tidak selalu demikian. Barang kali
orang tua sibuk, sehingga tidak mau diganggu oleh anaknya, atau lupa
bahwa ia mempunyai anak yang memerlukan perhatian. Oleh karena
itu, hendaknya setiap orang tua menyediakan waktu mereka untuk bisa
mendengarkan pendapat mereka, dan hendaklah bersikap bijaksana
atau berempati untuk menjadi pendengar yang baik untuk
anak-anaknya.
Kasih sayang adalah sesuatu yang indah, suci dan diidamkan
oleh setiap orang. Sebagaimana cinta, kasih sayang tidak akan lahir
tanpa orang yang melahirkannya. Seseorang tidak akan memperoleh
kasih sayang apabila tidak ada orang lain yang memberi. Secara
demikian wajar kalau kita mengenal berbagai macam bentuk kasih
sayang, semua sangat tergantung kepada kondisi penyayang dan yang
disayangi. Dengan bertitik tolak kepada kasus hubungan orang tua
dengan anaknya bisa membedakan berbagai bentuk kasih sayang
berikut ini:28
a) Suatu bentuk kasih sayang dimana orang tua bersikap aktif
sementara si anak bersikap pasif. Dalam hubungan ini orang tua
memberi kasih sayang yang berlebihan terhadap anaknya, baik
berupa materi ataupun non materi, sementara si anak hanya
menerima saja, mengiyakan tanpa sedikit pun berusaha
memberikan respon. Kondisi semacam ini biasanya akan
menciptkan anak yang senantiasa takut, kurang berani menyatakan
pendapat, minder atau dengan kata lain cenderung membentuk
sosok anak yang tidak mampu berdiri sendiri.
b) Suatu bentuk kasih sayang dimana orang tua bersikap pasif
sementara anak bersikap aktif. Dalam bentuk ini si anak
mencurahkan kasih sayang kepada kedua orang tuanya secara
berlebihan, kasih sayang ini diberikan secara sepihak. Orang tua
cenderung mendiamkan tingkah lakunya dan tidak memberikan
respon terhadap apapun yang diperbuat anak.
c) Suatu bentuk kasih sayang dimana orang tua bersikap pasif
sementara si anak juga bersikap pasif. Dalam bentuk ini jelas
masing-masing pihak membawa cara hidup dan tingkah lakunya
tanpa saling memperhatikan satu sama lain. Suasana keluarga
terasa dingin, tidak ada tegur sapa, dan yang jelas tiada kasih
sayang. Kecenderungan yang menonjol dalam bentuk ini orang tua
hanya memenuhi segala kebutuhan anak dalam bidang materi
semata-mata.
d) Suatu bentuk kasih sayang dimana orang tua bersikap aktif
sementara si anak juga bersikap aktif. Dalam bentuk ini orang tua
dan anak saling memberi kasih sayang secara berlebihan sehingga
hubungan antara orang tua dan anak terasa intim dan mesra, saling
mencintai, saling menghargai, dan yang lebih jelas saling
4. Tugas dan Tanggung Jawab Orang Tua
Anak adalah makhluk ciptaan Allah swt. yang hadir di tengah
keluarga atas dasar fitrah. Mereka menjadi sumber kebahagiaan keluarga
yang harus dijaga dan dipertahankan kesuciannya oleh kedua orang tuanya
demi pertumbuhan kepribadiannya, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa
yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6).29
Dalam firman-Nya tersebut, Allah swt. memerintahkan segenap orang
beriman agar memelihara diri dan keluarganya dengan penuh tanggung
jawab agar terhindar dari bahaya dunia dan akhirat. Untuk menindaklanjuti
tugas dan kewajibannya, orang tua dituntut menjadi pendidik pertama dan
utama bagi putra-putrinya.
Anak adalah amanah Allah swt. maka orang tua wajib menjaga
keselamatan lahir dan kesucian batinnya. Orang tua pun wajib
mengupayakan biaya yang cukup untuk keperluan jasmani anak-anaknya,
tetapi yang lebih penting adalah berusaha mencerdasakan anak dan
memperbaiki budi perketinya. Dengan kata lain, pola pendidikan orang tua
terhadap anak-anak adalah keserasian antara pemenuhan kepentingan dan
kebutuhan jasmani dengan pendidikan keagamaan dan keluhuran budi
pekertinya.30
Tugas dan tanggung jawab orang tua untuk mengasuh dan mendidik
anak sejak masa bayi bukanlah suatu usaha yang mudah. Orang tualah yang
bertanggung jawab membentuk masa depan anak-anak mereka. Hal tersebut
bukanlah soal kecil, karena berhasil atau gagal dalam tanggung jawab ini
29 Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, Terj. dari Al- Jami’ Lil Ahkam Al-Qur’an,
oleh Mahmud Hamid Utsman dan M. Ibrahim Hifnawi,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), Juz. 28, Jilid. 18, Cet. 1, hal. 744.
berarti membawa pengaruh yang luas, baik dalam lingkungan keluarga itu
sendiri maupun kepada masyarakat dan bangsa.31
Sebelum membahas lebih luas lagi, penulis akan mengemukakan
beberapa fungsi keluarga yang harus dilaksanakan. Berikut adalah beberapa
fungsi keluarga:32
a. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosialisasi menunjuk pada peranan keluarga dalam
membentuk kepribadian anak. melalui fungsi ini, keluarga berusaha
mempersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan
memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat. Dengan demikian sosialisasi berarti
melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak.
b. Fungsi afeksi
Kasih sayang atau rasa cinta merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia. Pandangan psikiatri mengatakan bahwa penyebab utama
gangguan emosional, prilaku, dan kesehetan fisik adalah ketiadaan cinta,
yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih sayang dalam suatu
lingkungan yang intim.
c. Fungsi edukatif
Keluarga merupakan guru pertama dalam pendidikan anak. hal itu
dapat dilihat dari pertumbuhan seorang anak mulai dari bayi, belajar jalan
hingga mampu berjalan.
d. Fungsi religious
Fungsi keagamaan ini mendorong semua komponen keluarga untuk
berkembang menjadi insan-insan agama yang penuh keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Model pendidikan agama dalam keluarga dapat dilakukan dengan
berbagai cara: Pertama, dengan menampilkan penghayatan dan perilaku
keagamaan yang sungguh-sungguh. Kedua, pengadaan sarana ibadah.
31 Wauran, Pendidikan Anak Sebelum Sekolah, (Bandung: Indonesia Publishing House, 1977), Cet. 6, hal. 20.
Ketiga, hubungan sosial yang baik antara anggota keluarga dan lembaga
keagamaan.
e. Fungsi protektif
Keluarga merupakan tempat yang nyaman bagi para anggotanya.
Keluarga berfungsi melindungi para anggotanya dari hal-hal yang
negatif. Dalam masyarakat, keluarga harus memberi perlindungan fisik,
ekonomis dan psikologis bagi seluruh anggotanya.
f. Fungsi rekreatif
Fungsi rekreatif bertujuan memberikan suasana yang sangat
gembira dalam lingkungan keluarga. Fungsi rekreatif dijalankan untuk
mencari dan mendapatkan hiburan.
Keluarga dengan pembagian tugas antara ayah dan ibu tidak ada
artinya jika mereka masing-masing jalan sendiri tanpa adanya kordinasi.
Menurut Hasbullah, fungsi dan peranan orang tua dalam keluarga adalah
sebagai berikut:
a. Pengalaman pertama masa kanak-kanak
Keluarga adalah pendidik pertama bagi seorang anak untuk
mulai mengenal hidupnya. Hal ini harus disadari dan dimengerti
disetiap keluarga, bahwa anak dilahirkan di dalam keluarga yang
tumbuh dan berkembang sampai anak melepaskan diri dari ikatan
keluarga. Lembaga pendidikan keluarga memberikan pengalaman
yang pertama merupakan faktor yang terpenting dalam perkembangan
kepribadian anak.
b. Menjamin kehidupan emosional anak
Suasana di dalam keluarga merupakan suasana yang meliputi
rasa cinta dan simpati yang sewajarnya, suasana yang aman dan
tentram. Melalui keluarga, kehidupan emosional atau kebutuhan akan
rasa kasih saying dapat dipenuhi atau dapat berkembang dengan baik.
Hal ini dikarenakan adanya hubungan darah antara anak dan orang
c. Menanamkan dasar pendidikan moral
Pendidikan moral dalam keluarga dapat ditanamkan sejak dini
melalui keteladanan, yang biasanya tercermin dalam sikap dan
perilaku orang tua sebagai teladan yang tepat dicontoh oleh anaknya.
Dengan teladan ini, melahirkan gejala identifikasi positif, yakni
penyamanan diri dengan orang ditiru dan hal ini sangat penting dalam
membentuk kepribadian seorang anak. Segala nilai yang dikenal anak
akan melekat pada orang-orang yang disenangi dan dikagumi, inilah
salah satu proses yang ditempuh anak mengenai nilai.
d. Memberikan dasar pendidikan sosial
Dalam kehidupan keluarga, merupakan basis yang sangat
penting dalam peletakan dasar-dasar pendidikan sosial anak. Sebab
pada dasarnya keluarga merupakan lembaga sosial resmi yang
minimal terdiri dari ayah, ibu dan anak. Perkembangan benih-benih
kesadaran sosial pada anak dapat dipupuk sedini mungkin, terutama
melalui keluarga yang penuh keserasian seperti misalnya tolong
menolong, gotong-royong, bersama-sama menjaga ketertiban,
kedamaian, kebersihan, dan kenyamanan dalam segala hal.
e. Peletakan dasar-dasar keagamaan
Keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Di
samping sangat menentukan dalam menanamkan dasar-dasar moral,
yang tidak kalah penting adalah berperan besar dalam proses
internalisasi dan transformasi nilai-nilai keagamaan dalam pribadi
anak.33
Masa kanak-kanak adalah masa yang paling baik untuk
meresapkan dasar-dasar hidup beragama, dalam hal ini tentu saja
terjadi dalam keluarga. Anak seharusnya dibiasakan ikut serta untuk
menjalankan ibadah, mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan seperti
mengaji dan sebagainya. Kegiatan seperti ini sangat besar
pengaruhnya terhadap kepribadian anak. Kenyataan membuktikan,
bahwa anak yang masa kecilnya tidak tahu-menahu dengan segala hal
yang berhubungan dengan keagamaan, maka setelah dewasa mereka
pun tidak ada perhatian terhadap hal-hal yang mengenai tentang
keagamaan, hidupnya gersang dan sulit untuk dikontrol.
Anak-anak sejak masa bayi hingga usia sekolah memilki
lingkungan tunggal yaitu keluarga. Kebiasaan yang dimiliki anak
sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga, sejak ia bangun
tidur sampai ia tidur kembali. Orang tua adalah pendidik kodrati bagi
anaknya. Tanggung jawab orang tua tidak hanya terletak pada materi
saja, akan tetapi pada pendidikan non materinya. Beberapa hal yang
termasuk tanggung jawab orang tua, antara lain:
a. Mencintai
Cinta adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar,
berarti secara kongkret bahwa orang tua harus terbuka kepada
anak-anaknya.
b. Memberikan Perlindungan
Anak-anak sangat mengharapkan perlindungan dari orang
tuanya hingga mereka merasa aman dan kerasan. Percaya
mempercayai adalah syarat mutlak untuk menciptakan suasana
aman dan tentram. Suasana keterbukaan yang memberikan
kesempatan pada anak untuk ikut berbagi kebahagiaan,
keberhasilan namun juga kegagalan dan keprihatinan.
c. Memberikan Bimbingan
Orang tua harus menerima bakat dan kemampuan yang ada
pada anak, tetapi tetap bertumpu pada asas pokok yaitu menerima
anak apa adanya. Agar kemampuan anak berkembang, orang tua
harus menciptakan ruang lingkup yang menyenangkan dan
menghindari segala hal yang menekan anak. Jadi bimbingan harus
didasarkan atas kepercayaan kepada anak dan bimbingan orang tua
d. Memberikan Pengakuan
Orang tua harus menghargai pribadi seorang anak. Anak
berhak untuk didekati dengan penuh respek. Anak pun mempunyai
hak-hak di rumah, di keluarga dan di sekolah. Walaupun masih
amat bergantung pada orang lain dan masih amat lemah, ia
hendaklah diperlakukan sebagai pribadi.
e. Kebutuhan akan Disiplin
Anak adalah manusia yang harus didewasakan. jadi sedikit
demi sedikit sesuai dengan umurnya ia harus diajari dan dibiasakan
bahwa ia adalah mahluk sosial yang harus bergaul dengan orang
lain atau sesamanya. Ia harus belajar bahwa pergaulan berarti ada
aturan, ada batas-batas pada perilakunya.
Orang tua hendaknya menjadi contoh kedisiplinan ini,
apabila anak melihat bahwa ayah dan ibu mereka adalah orang
yang tahu akan disiplin, maka ia akan menerima bahwa kepadanya
dituntut disiplin juga. Disiplin pula adalah salah satu syarat untuk
dapat mencintai dan menghargai orang lain.34
Telah dijelaskan diatas bahwa tanggung jawab pendidikan
anak terletak ditangan orang tuanya dan tidak bisa dipikulkan
kepada orang lain, kecuali ada berbagai keterbatasan orang tua,
maka sebagian tanggung jawab dilimpahkan kepada orang lain
(sekolah).
B.Kecerdasan Emosional (EQ)
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Istilah emosi berasal dari kata “emutus” atau “emovere” yang artinya mencerca “to stir up” yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu,
misalnya emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang yang
menyebabkan orang tertawa, marah, dilain pihak merupakan suasana hati
untuk menyerang dan mencerca sesuatu.35
Daniel Goleman merumuskan emosi sebagai perasaan dan
pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis serta serangkaian kecenderungan untuk
bertindak.36 Oleh karena itu, secara umum emosi mempunyai fungsi untuk
mencapai sesuatu pemuasan atau perlindungan diri atau bahkan
kesejahteraan pribadi pada saat berhadapan dengan lingkungan atau objek
tertentu, emosi dapat juga dikatakan sebagai alat yang merupakan wujud
dari perasaan yang kuat.37
Dalam beberapa buku, istilah Emotional Quotient biasanya
dituliskan Emotional Intelligence (EI). Tapi istilah itu mengacu pada suatu
arti yaitu kecerdasan emosional. Istilah kecerdasan emosional pertama kali
dilontarkan pada tahun 1990 oleh Psikolog Peter Salovey dari Harvard
University dan John Mayer dari University of Hampshire untuk
menerangkan kualitas emosi yang tampaknya penting bagi keberhasilan.38
Mereka mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai himpunan bagi
kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan untuk memantau perasaan
dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah
semuanya, dan menggunakan informasi untuk membimbing pikiran dan
tindakan.
Pakar psikologi Robert K. Cooper dan Ayman Sawaf mengatakan
bahwa: Emotional Intelligence is the ability to sense, understand, and
effectively apply the power and acumen of emotions as a source of human
energy, information, connection and influence. (kecerda