• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Ukuran Lebar Lengkung Gigi Dan Lebar Lengkung Alveolar Maloklusi Klas II Divisi 1 Dan Klas I Oklusi Normal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Ukuran Lebar Lengkung Gigi Dan Lebar Lengkung Alveolar Maloklusi Klas II Divisi 1 Dan Klas I Oklusi Normal"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN UKURAN LEBAR LENGKUNG

GIGI DAN LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR

MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1 DAN KLAS I

OKLUSI NORMAL

TESIS

OLEH

N A Z R U D D I N

047028007

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS ORTODONTI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PERBEDAAN UKURAN LEBAR LENGKUNG GIGI DAN LEBAR

LENGKUNG ALVEOLAR MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1 DAN

KLAS I OKLUSI NORMAL

T E S I S

Untuk memperoleh Gelar Spesialis Ortodonti

dalam Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ortodonti pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara

OLEH :

N A Z R U D D I N

047028007

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS ORTODONTI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2009  

(3)

PERSETUJUAN TESIS

Judul Tesis : PERBEDAAN UKURAN LEBAR LENGKUNG GIGI

DAN LENGKUNG ALVEOLAR MALOKLUSI KLAS

II Divisi 1 KLAS I OKLUSI NORMAL

Nama mahasiswa : N a z r u d d i n

N I M : 047028007

Program Spesialis : Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ortodonti

Menyetujui Komisi Pembimbing :

( Drg. Nurhayati harahap,Sp.Ort.(K) ) ( Drg. Erna S, Sp.Ort. )

NIP. 19481230 197802 2 002 NIP. 19540212 198102 2 001

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Ketua Program PPGS-1 Ortodonti

( Drg.Nurhayati Harahap, Sp.Ort.(K) )

(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 01 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Nurhayati Harahap, drg., Sp.Ort ( K)

Anggota : Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort

Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort

(5)

PERNYATAAN

PERBEDAAN UKURAN LEBAR LENGKUNG GIGI DAN LEBAR

LENGKUNG ALVEOLAR MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1 DAN

KLAS I OKLUSI NORMAL

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan,11September 2009

(6)

KATA PENGANTAR

Puji sjukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia yang dilimpahkanNya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini untuk melengkapi sebagian persyaratan guna mendapat sebutan Dokter Gigi Spesialis I bidang Ilmu Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis dengan setulus-tulusnya menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terimakasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah member izin untuk

mengikuti pendidikan Dokter Gigi Spesialis dan juga atas bantuan studi yang telah diberikan selama pendidikan.

2. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas

Sumatera Utara yang telah memberi izin untuk mengikuti pendidikan Dokter Gigi Spesialis di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua Departemen Ortodonti beserta staf atas kerjasama dan

bantuan-bantuan selama penulis melaksanakan pendidikan.

4. Nurhayati Harahap drg. Sp.Ort(K), selaku pembimbing utama yang telah

memberikan bimbingan yang sangat berharga dari awal sampai selesainya penulisan ini.

5. Erna Sulistiawaty drg. Sp.Ort., selaku pembimbing pendamping atas

pengarahan dan bimbingannya dari awal sampai selesainya penulisan ini.

6. Muslim Yusuf drg. Sp.Ort. atas saran-saran dan bantuan selama penulis

mengikuti pendidikan.

7. Rekan-rekan seangkatan, atas kekerabatan dan kerjasama yang sangat baik

selama pendidikan berlangsung.

8. Istri dan anak-anak yang saya sayangi yang telah memberikan bantuan dan

dorongan selama mengikuti pendidikan.

9. Semua pihak yang telah membantu sehingga tesis ini dapat diselesaikan,

(7)

Akhirnya harapan penulis semoga karya tulis ini dapat berguna dalam pengembangan ilmu selanjutnya di bidang Ilmu Kedokteran Gigi, khususnya dibidang Ortodonti.

Medan 12 Septembar 2009.

(8)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

ABSTRAK ... xi

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis... 3

1.4. Tujuan penelitian ... 3

1.5. Manfaat Penelitian... 3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Gambaran Umum Malo klusi Klas II Divisi 1 ... 4

2.2. Beberapa Cara Pengukuran ... 7

2.3. Landasan Teori ...11

BAB 3. METODE PENELITIAN... 13

3.1. Disain Penelitian ...13

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...13

3.3. Populasi dan Sampel ...13

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...13

3.5. Besar Sampel... 14

3.6. Identifikasi Variabel... 15

3.7. Bahan dan Alat Ukur ...18

3.8. Cara Pengukuran ...19

3.9. Defenisi Operacional ...21

3.10.Cara Pengumpulan Data ... 22

3.11. Metode Analisis Data ...22

BAB 4. HASIL PENELITIAN ...25

(9)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37

6.1. Kesimpulan ... 37

6.2. Saran ...37

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 38

LAMPIRAN... 40

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 : Hasil uji statistik perbandingan pengukuran dua operator dengan

rumus Dhalberg...26

Tabel 2 : Nilai rerata hasil pengukuran Klas I oklusi normal ...27

Tabel 3 : Nilai rerata hasil pengukuran Klas II divisi 1 ...27

Tabel 4 : Perbandingan hasil pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar

maksila ... 30

Tabel 5 : Perbandingan hasil pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar

mandibula... 30

Tabel 6 : Perbandingan hasil pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar

Klas I dan Klas II divisi 1 pada maksila dan mandibula ... 31

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Cara pengukuran jarak intermolar maksila dan mandibula

menurut Loh...8

Gambar 2. Pengukuran menurut Rakosi untuk gigi permanen (A) gigi susu (B) ...8

Gambar 3. Pengukuran menurut Lux ...9

Gambar 4. Pengukuran menurut Isik ...9

Gambar 5. Pengukuran menurut Staley ...10

Gambar 6. Pengukuran menurut Uysal ...10

Gambar 7. Alat ukur digital caliper...18

Gambar 8. Alat tulis wax berwarna...18

Gambar 9. Cara pengukuran untuk maksila...19

Gambar 10. Cara pengukuran untuk mandibula ...20

Gambar 11. Bar graph pengukuran lengkung maksila ...26

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Lampiran 1, Kerangka Konsep ... 40

2. Lampiran 2, Alur penelitian ... 41

3. Lampiran 3, Hasil Uji Statististik T- Test Untuk Maksila ... 42

4. Lampiran 4, Hasil Uji Statistik T-Test Untuk Mandibula... 43

5. Lampiran 5, Hasil uji statistik perbandingan pengukuran dua operator menurut Dahlberg... 44

6. Lampiran 6, Nilai Rerata Hasil Pengukuran pada Klas I Oklusi Normal ... 44

7. Lampiran 7, Nilai Rerata Hasil Pengukuran pada Klas II Divisi 1... 45

8. Lampiran 8, Hasil Perbandingan Pengukuran Lebar Lengkung Gigi dan Alveolar Maksila... 45

9. Lampiran 9, Hasil Perbandingan Pengukuran Lebar Lengkung Gigi dan Alveolar Mandibula ... 46

(13)

ABSTRAK

Masa transisi pertumbuhan gigi geligi dari gigi susu, gigi bercampur ke gigi

permanen dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada panjang lengkung gigi,

lebar intermolar dan interkaninus, dan hubungan skeletal maksila dan mandibula.

Maloklusi Klas II divisi 1 merupakan salah satu anomali yang dapat terjadi pada masa

transisi tersebut.

Tujuan penelitian ini yaitu untuk membandingkan dimensi transversal Klas II

divisi 1 dengan Klas I oklusi normal. Pada penelitian ini telah dilakukan pengukuran

pada empat puluh empat buah model gigi yang diperoleh dari arsip klinik

Departemen Ortodonti, dengan maloklusi Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal

sebagai kontrol grup. Paired sample t-test telah digunakan untuk membandingkan ke

dua grup. Dari hasil pengukuran didapatkan perbedaan yang bermakna pada regio

lebar lengkung alveolar interkaninus maksila UAC-C (P < 0.05) , lebar lengkung

alveolar intermolar maksila UAM-M (P < 0.05), lebar lengkung alveolar intermolar

mandibula LAM-M (P < 0.05), dimana pada region-regio ini Klas II divisi 1

mempunyai lebar lengkung alveolar yang lebih sempit dari pada Klas I . Dan hasil

yang sangat bermakna dijumpai pada regio lebar lengkung gigi interpremolar maksila

UP-P (P < 0.001). pada regio ini lebar lengkung gigi Klas I lebih besar dari pada

Klas II divisi 1. Demikian juga lebar lengkung alveolar interkaninus mandibula

LAC-C (P < 0.001) dan lebar lengkung alveolar interpremolar mandibula LAP-P (P <

0.01), pada regio-regio ini Klas II divisi 1 mempunyai lebar lengkung alveolar yang

(14)

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa

dan rencana perawatan maloklusi Klas II divisi 1.

(15)

ABSTRACT

The transition stage growth of the dentition from deciduous teeth, mixed

dentition to permanent dentition has an impact to dental arch length, intermolar and

intercanine widths and skeletal relation of maxilla and mandibula. Class II division 1

malocclusion is an anomaly as a result of this transition stage growth of the dentition.

The aim of this study was to compare the transverse dimensions of dental

arches and alveolar arches in canine, premolar and molar regions. This study was

performed using measurements on dental casts of forty four from archives of clinic

Department of Orthodontic, Class II division 1 and Class I normal occlusion as a

control group. A paired sample t-test was applied for comparisons of the groups. The

finding indicated that there were significant differences in intercanine alveolar width

maxilla UAC-C (P<0.05), intermolar alveolar width maxilla UAM-M (P<0.05),

intermolar alveolar width mandibula LAM-M (P<0.05) in which in these regions

Class II division 1 have smaller alveolar width than Class I. Very significant

differences was found in region of interpremolar tooth width maxilla UP-P (P<0.001)

in this region the tooth width of Class II division 1 smaller than Class I, also in

regions of intercanine alveolar width mandibula LAC-C (P < 0.001)and interpremolar

alveolar width mandibula LAP-P (P < 0.01) , in which in these regions Class II

division 1 have smaller alveolar arch widths than Class I normal occlusion. This

study could useful to assist diagnosis and treatment planning of Clas II division 1.

 

 

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Maloklusi Klas II dilaporkan merupakan disharmoni dentoskletal yang paling

sering ditemukan pada pasien-pasien ortodonti. Komponen transversal pada pasien

Klas II adalah sangat penting seperti halnya dengan komponen sagital dan vertikal.

Varela (1998) melaporkan defisiensi pertumbuhan transversal maksila dan

pertumbuhan sagital mandibula dapat dikatakan sebagai penyebab tipe oklusi Klas II

divisi 1. Walaupun demikian pada salah satu dari studi yang terdahulu oleh Frohlich

(1961) menemukan tidak ada perbedaan pada dimensi transversal antara objek Klas I

oklusi normal dan Klas II divisi 1, tetapi dalam hal ini ia hanya melakukan

pengukuran pada satu regio saja yaitu regio intermolar. 10,12,15,17,22,25,28

Staley (1985) menyatakan bahwa pasien dengan maloklusi klas II divisi 1 mempunyai

lebar lengkung gigi interkaninus, intermolar dan lebar lengkung alveolar yang lebih

sempit dari pada Klas I oklusi normal. Buschang dan kawan-kawan (1994) telah

mengevaluasi perbedaan pada morfologi lengkung gigi diantara pasien-pasien wanita

dewasa yang belum dirawat dengan maloklusi Klas I, Klas II divisi 1 dan Klas II

divisi 2, dan melaporkan bahwa Klas II divisi 1 wanita mempunyai lengkung yang

panjang dan lebar tranversal yang lebih sempit dari klas I oklusi normal. Tollaro

(1996) menemukan bahwa pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 mempunyai 

 

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gambaran Umum Maloklusi Klas II dan Klas I Oklusi Normal

Maloklusi Klas II

Maloklusi Klas II merupakan maloklusi yang disebabkan oleh problema

skeletal dan dental. Problema skeletal ini dapat dilihat dari pengukuran SNA, SNB

dan ANB. Sudut ANB ini biasanya lebih besar dari normal ( 4 derajat ). Klas II ini

dapat diakibatkan oleh karena SNA yang lebih besar dari normal sedangkan SNB

normal, atau SNA normal SNB lebih kecil dari normal, juga dapat diakibatkan oleh

ke dua-duanya yaitu SNA lebih besar dan SNB lebih kecil dari normal.

Tetapi dapat juga dijumpai pada beberapa individu dengan hubungan molar

Klas I dan kaninus Klas II dengan overjet lebih besar dari normal yang disebabkan

oleh karena adanya spacing dan protrusi gigi maksila. Kemungkinan lain yaitu dapat

dijumpai hubungan molar Klas II dengan hubungan kaninus Klas I, overjet normal,

yang disebabkan oleh karena adanya gigi crowded atau hilangnya beberapa gigi di

maksila disebelah mesial dari molar pertama.3,7

Angle membagi Klas II ini ke dalam dua divisi yaitu :

Klas II divisi 1

Malokusi ini ditandai dengan adanya proklinasi insisivus atas dengan resultan

bertambahnya overjet. Di regio anterior juga dijumpai overbite yang dalam. Tanda- 

 

(18)

tanda lainnya yaitu adanya aktivitas otot yang abnormal. Bibir atas biasanya

hipotonik, pendek dan tidak menutupi gigi anterior. Bibir bawah berada di bagian

palatal gigi atas, sehingga gambaran ini disebut dengan “lip trap”.3

Lidah menempati postur bawah oleh karena itu tidak dapat melawan aktifitas

otot buccinator. Hal ini mengakibatkan lengkung atas menjadi lebih sempit di daerah

premolar dan kaninus, sehingga menyebabkan bentuk maksila seperti huruf V.

Gangguan otot yang lain yaitu hiperaktif otot mentalis. Ketidakseimbangan ke dua

otot itu dan perubahan posisi lidah mengakibatkan lengkung gigi atas menjadi lebih

sempit.3,8,20

Klas II divisi 2

Maloklusi ini juga mempunyai hubungan molar Klas II. Gambaran klinik

maloklusi ini yaitu insisivus sentralis atas berinklinasi ke lingual dan insisivus

lateralis atas tipping ke labial berimpit dengan insisivus sentralis. Variasi ini

membentuk insisivus sentralis berinklinasi ke lingual, dan insisivus lateralis dengan

kaninus tipping ke labial. Pasien juga menunjukkan adanya deep overbite anterior.

Insisivus sentralis atas yang berinklinasi ke lingual akan menyebabkan

lengkung maksila berbentuk square (persegi), berbeda dengan Klas II divisi 1.

Jaringan gingiva di daerah labial mandibula sering mengalami trauma oleh karena

insisivus sentralis atas tipping ke lingual secara berlebihan. Aktivitas otot-otot

(19)

Klas I oklusi normal

Menurut Graber (1969) oklusi adalah hubungan antara permukaan oklusal

gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah yang terjadi selama pergerakan dari rahang

bawah dan berakhir pada kontak penuh dari lengkung gigi rahang atas dan rahang

bawah. Sedang oklusi normal adalah hubungan yang terjadi diantara gigi yang sama

dalam rahang yang sama terhadap gigi-gigi lawan pada waktu gigi-gigi tersebut

mendekati oklusi akhir dan kondilus berada pada kedudukan dalam sentral fossa

glenoidalis.8,16,20

Angle (1965) menyatakan bahwa oklusi adalah hubungan normal dari

bidang-bidang inklinasi oklusal gigi pada waktu rahang ditutup. Tiap lengkung gigi-gigi

menggambarkan lengkung yang indah dan semua gigi membentuk suatu lengkung

yang serasi, masing-masing gigi saling mempertahankan hubungan tonjol yang

selaras dan tiap bidang inklinasi menahan kedudukan gigi dalam lengkung gigi.

Selanjutnya Angle membuat pernyataan yang disebut dengan “Key of occlusion”

yang maksudnya bahwa semua gigi adalah penting, tetapi yang terpenting adalah

molar pertama permanen karena kedudukannya didalam rahang yang dianggap

sebagai kunci dari oklusi. Hipotesa ini merupakan dasar dari klassifikasi maloklusi

Angle yang berdasarkan filsafat bahwa dalam oklusi normal semua gigi harus berada

dalam ke dua lengkung gigi, dan adanya hubungan antero posterior dari molar tetap

rahang atas dan rahang bawah yang benar, dimana tonjol mesiobukal molar pertama

tetap rahang atas beroklusi pada groove bukal molar pertama permanen rahang

(20)

Menurut Salzman (1968) ciri-ciri normal oklusi adalah :

1. posisi aksial gigi-gigi yang benar

2. overbite dan overjet yang normal

3. hubungan gigi-gigi individual normal, tidak ada rotasi

4. hubungan lengkung gigi satu terhadap yang lain dan terhadap muka dan kepala

normal.8,20

Andrew (1972) membuat batasan enam kunci oklusi normal sebagai berikut 1 :

1. hubungan molar menunjukkan tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas

beroklusi dalam celah antara tonjol mesial dan sentral dari molar pertama

rahang bawah

2. angulasi mahkota yang benar

3. inklinasi mahkota dari masing-masing gigi menjamin keseimbangan oklusi

4. tidak ada rotasi gigi

5. tidak ada celah diantara gigi geligi

6. adanya kurva Spee yang datar terhadap dataran oklusal

2.2. Beberapa Cara Pengukuran Lebar Lengkung Gigi dan Alveolar

Dari beberapa literatur dapat dilihat bahwa cara pengukuran lebar lengkung

gigi dan alveolar berbeda-beda, seperti yang dilakukan oleh Loh (1999), ia hanya

melakukan pengukuran dengan melihat hubungan transversal intercuspal di regio

molar, misalnya apakah hubungan intercuspal molar cusp to cusp atau crossbite,

kemudian mengukur jarak intermolar (Gambar 1). Rakosi (1993) melakukan

(21)

gigi bercampur. Pada gigi permanen pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak

interpremolar pertama di anterior dan jarak intermolar pertama di posterior baik di

maksila dan di mandibula. Pada gigi bercampur pengukuran dilakukan dengan

mengukur jarak intermolar gigi molar susu pertama dan jarak intermolar gigi molar

pertama permanen maksila dan mandibula (Gambar 2). Ke dua penulis ini belum

menunjukkan bagaimana cara mengukur lebar lengkung alveolar. 13,20

A B

Gambar 1. Cara pengukuran menurut Loh, dengan mengukur jarak intermolar maksila dan mandibula. A. Pada kasus bukal crossbite, B. Kasus oklusi cusp to cusp. 14

A B

(22)

Lux (2003) hanya melakukan pengukuran lebar lengkung gigi di satu regio saja yaitu

di regio intermolar pertama (Gambar 3). 14

Gambar 3. Pengukuran menurut Lux, hanya dilakukan pada daerah intermolar maksila ( A ) dan mandibula ( B ).14

Isik dan Narbantgil (2006) dalam penelitiannya hanya melakukan pengukuran

lebar lengkung gigi dimana pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak di empat

regio yaitu interkaninus, interpremolar pertama, interpremolar ke dua dan intermolar

pertama (Gambar 4). 12

Gambar 4. Pengukuran menurut Isik (1), interpremolar pertama (2), interpremolar ke dua (3), intermolar (4). Pengukuran lebar lengkung alveolar belum dilakukan.12

Beberapa peneliti lain seperti Staley dan Sturtz (1985) sudah mulai melakukan

(23)

interkaninus, jarak interpremolar pertama, jarak interpremolar ke dua, jarak

intermolar pertama dan satu pengukuran lebar lengkung alveolar di regio molar

pertama (Gambar 5). 22

Gambar 5. Pengukuran menurut Staley lebar interkaninus (1), lebar interpremolar I (2), lebar interpremolar II(3), lebar intermolar I (4), lebar intermolar II (5), dan lebar alveolar intermolar (6).22

Uysal (2005) melakukan pengukuran dengan cara yang sedikit berbeda yaitu

dengan melakukan pengukuran lebar lengkung gigi di daerah interkaninus,

interpremolar pertama dan intermolar pertama, dan untuk pengukuran lebar lengkung

alveolar yaitu di regio kaninus, premolar dan molar baik untuk di maksila maupun di

mandibula (Gambar 6). 26,27

A B

Gambar 6. Pengukuran menurut Uysal A maksila, B mandibula.27

Dalam penelitian ini akan dilakukan pengukuran seperti yang dilakukan oleh

(24)

2.3. Landasan Teori

Klasifikasi Angle pada Klas II menunjukkan klasifikasi yang sederhana,

sedangkan dalam faktanya maloklusi Klas II itu tidak dapat dilihat hanya dari single

diagnostic. Oleh karena itu harus dilihat komponen-komponen lain untuk

menegakkan diagnosis maloklusi tersebut seperti komponen posisi skeletal maksila,

dentoalveolar maksila, skeletal mandibula dan dentoalveolar mandibula. Dalam hal

ini juga harus dipertimbangkan komponen sagital, vertikal dan transversal. 5,13,20

Menurut Moorres (1969) dan DeKock (1972), pertambahan yang moderat

pada lebar lengkung gigi dapat diharapkan khususnya di daerah anterior, sampai gigi

kaninus permanen erupsi. Setelah itu lebar lengkung biasanya berkurang di daerah

anterior dan posterior. Steiner dan kawan-kawan (1964) melaporkan bahwa dimensi

lebar interkaninus dan intermolar di mandibula mempunyai tendensi yang kuat untuk

relaps, oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan baik pada waktu membuat

rencana perawatannya. 8,16,21

Beberapa operator antusias tentang kemungkinan perawatan pada maksila,

khususnya untuk merawat dimensi transversal. Defisiensi maksila secara transversal,

kenyataannya dapat merupakan salah satu penyebab terjadinya problema dental di

regio kraniofasial. Sehingga sebagai bagian dalam mengevaluasi pasien, jarak

transversal ini haruslah di ukur dengan baik. 6,15,25,26,27

Dari komponen skeletal maksila dapat dijumpai hasil dari beberapa penelitian

yaitu posisi maksila lebih ke anterior dari komponen kraniofasial. Tetapi beberapa

(25)

Demikian juga posisi komponen dentoalveolar maksila dimana dijumpai gigi

anterior maksila yang protrusif. Pada laporan-laporan peneliti terdahulu banyak hasil

yang berbeda-beda seperti posisi relatif dari molar pertama maksila ke struktur

skeletal maksila. Altemus mengatakan gigi posterior lokasinya lebih ke mesial di

maksila, sementara Baldridge dan Elsasser serta Wyllie menyatakan tidak ada

perbedaan pada posisi molar maksila diantara grup Klas II dan Klas I. 9,23

Secara umum banyak peneliti hanya melihat bahwa pada maloklusi Klas II

yang utama adalah problema sagital dan vertikal. Sedangkan Mc.Namara menyatakan

bahwa kebanyakan Klas II itu mempunyai problema transversal. 6,12,15

Pada pengukuran komponen transversal ini (lebar lengkung gigi dan lebar

lengkung alveolar) beberapa peneliti mempunyai hasil yang berbeda-beda. Perbedaan

dalam penemuan penelitian itu mungkin menunjukkan adanya kesalahan atau

kekurangan dalam metode pengukuran yang dilakukan. Oleh karena itu dalam

penelitian ini akan mencoba mengabungkan beberapa metode pengukuran yang ada

untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.

 

 

 

(26)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Disain Penelitian

Merupakan studi perbandingan deskriptif analitik, untuk mengetahui ukura

lebar lengkung gigi dan lebar lengkung alveolar Klas II divisi 1.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian Departemen Ortodonti FKG-USU.

Waktu penelitian Maret 2009 – Juli 2009.

3.3. Populasi dan Sample

Populasi terjangkau penelitian ini adalah model studi Klas II divisi 1 dari arsip

pasien-pasien pada klinik Departemen Ortodonti (jumlah 68 pasang) dan model

studi mahasiswa FKG-USU semester V (jumlah 82 pasang) tahun 2004-2005 juga

dari arsip klinik Departemen Ortodonti. Semuanya telah masa gigi permanen dan

belum pernah mendapatkan perawatan ortodonti.

Sampel dipilih dari model studi pasien-pasien yang mempunyai kelainan maloklusi

Klas II divisi 1, dan model studi mahasiswa yang mempunyai Klas I oklusi normal.

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi Klas II divisi 1:

a. Hubungan skeletal Klas II ( ANB > 40)

b. Hubungan molar Klas II bilateral pada oklusi sentrik

 

(27)

c. Gigi insisivus maksila protrusif ( > 1300)

d. Overjet berlebih (lebih dari 4 mm )

e. Tidak ada karies dan tambalan proksimal

Kriteria inklusi Klas I oklusi normal :

a. Hubungan skeletal Klas I (ANB=2 - 40)

b. Hubungan molar Klas I bilateral pada oklusi sentrik

c. Lengkung gigi maksila dan mandibula tersusun baik dengan kurang dari 2

mm spacing dan crowding

d. Hubungan overjet dan overbite normal

e. Tidak ada gigi yang karies dan tambalan proksimal

Kriteria eksklusi :

a. Model gigi mengalami kerusakan

b. Rontgen foto tidak bisa dibaca

3.5. Besar Sampel

Besar sampel dihitung dengan rumus : 11,17

)

d : penyimpangan terhadap populasi atau ketepatan absolut yang diinginkan

(28)

Jumlah model yang didapatkan pada arsip Departemen Ortodonti tahun 2004-2005

yaitu 150 model (Klas II divisi 1, 68 model dan Klas I oklusi normal 82 model),

maka: Maka setiap grup Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal masing-masing berjumlah

44.

3.6. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas

Model-model studi Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1 dari arsip klinik

Departemen Ortodonti FKG USU tahun 2004-2005 sebanyak 150 pasang dan

belum pernah mendapatkan perawatan ortodonti.

2. Variabel terikat

Pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar adalah jarak transversal yang

diukur pada maksila dan mandibula.

3. Variabel tidak terkendali

a. Cara penyimpanan model kurang baik

b. Waktu pencetakan dan pengisian gips

4. Variabel terkendali

a. Model diperoleh dari pasien yang berumur 18 tahun keatas

(29)

c. Jenis bahan cetak dan gips

d. Rontgen foto

e. Cara dan daerah yang diukur pada studi model

f. Kemampuan operator mengukur studi model

(30)

Hubungan antara variabel

Variabel bebas

Model-model studi Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1 dari arsip klinik Departemen Ortodonti FKG USU tahun 2004-2005 sebanyak 150 pasang dan belum pernah mendapatkan perawatan ortodonti.

Variabel terikat

Pengukuran lebar lengkung gigidan alveolar adalah jarak transversal yang diukur pada maksila dan mandibula.

Variabel terkendali

model diperoleh dari pasien yang berumur 18 tahun keatas

     Variabel tidak terkendali

cara penyimpanan model kurang baik

waktu pencetakan dan

pengisian gips keadaan gigi di maksila dan mandibula sudah masa gigi

permanen

jenis bahan cetak dan gips Rontgen foto

cara dan daerah yang diukur pada studi model

kemampuan operator mengukur studi model 

(31)

3.7. Bahan dan Alat Ukur

Bahan yaitu model stuai gigi Klas II divisi 1 dan Klas I yang dalam keadaan

baik, alat ukur yang digunakan yaitu digital kaliper merek Krisbow dengan

ketepatan dua digit dibelakang koma (Gambar 7), pinsil wax berwarna kuning untuk

Klas I dan merah untuk Klas II divisi1 (Gambar 8).

Gambar 7. Alat ukur digital caliper merek Krisbow (USA).

(32)

3.8. Cara Pengukuran

Cara pengukuran dilakukan menurut metode Tancan Uysal dimana dilakukan

pengukuran pada dua belas regio pengukuran pada setiap pasang model yaitu:

Pengukuran pada maksila (Gambar 9):

a. Lebar interkaninus (UC-C)

b. Lebar interpremolar (UP-P)

c. Lebar intermolar (UM-M)

d. Lebar alveolar kaninus (UAC-C)

e. Lebar alveolar premolar (UAP-P)

f. Lebar alveolar molar (UAM-M)

Gambar 9. Cara pengukuran untuk maksila.

(33)

Pengukuran pada mandibula (Gambar 10) :

a. Lebar interkaninus (LC-C)

b. Lebar interpremolar (LP-P)

c. Lebar intermolar (LM-M)

d. Lebar alveolar kaninus (LAC-C)

e. Lebar alveolar premolar (LAP-P)

f. Lebar alveolar molar (LAM-M)

Gambar 10. Cara pengukuran untuk mandibula.

Setiap pengukuran dilakukan oleh dua operator untuk menghindari kesalahan

dalam pengukuran, kemudian dilakukan uji statistik untuk menentukan batas

kesalahan dalam pengukuran itu dengan menggunakan rumus Dahlberg. 26

Sx =

N D

2

2

(34)

Bila nilai hasil pengukuran yang didapatkan berada antara 0.35 sampai 0.94 berarti

nilai tersebut masih dapat diterima.

3.9. Defenisi Operasional ( dalam mm )

a. . Lebar interkaninus maksila (UC-C) : yaitu jarak antara ujung cusp

kaninus kanan dan kiri.

b. Lebar interpremolar maksila (UP-P) : yaitu jarak antara ujung cusp

bukal premolar pertama kanan dan kiri.

c. Lebar intermolar maksila (UM-M) : yaitu jarak antara ujung cusp

mesiobukal molar pertama kanan dan kiri.

d. Lebar alveolar kaninus maksila (UAC-C) : yaitu jarak antara dua titik

pada mucogingival junction diatas ujung cups kaninus maksila kanan

dan kiri.

e. Lebar alveolar premolar maksila (UAP-P) : yaitu jarak antara dua titik

pada mucogingival junction diatas titik kontak interdental premolar

pertama dan ke dua maksila.

f. Lebar alveolar molar maksila (UAM-M) : yaitu jarak antara dua titik

pada mucogingival junction diatas ujung cups mesiobukal molar

pertama maksila.

g. Lebar interkaninus mandibula (LC-C) : yaitu jarak antara ujung cusp

kaninus kanan dan kiri.

h. Lebar interpremolar mandibula (LP-P) : yaitu jarak antara ujung cusp

(35)

i. Lebar intermolar mandibula (LM-M) : yaitu jarak antara titik diatas

bukal groove di tengah-tengah permukaan bukal.

j. Lebar alveolar kaninus mandibula (LAC-C) : yaitu projeksi dari titik

UAC-C pada mandibula.

k. Lebar alveolar premolar mandibula (LAP-P) : yaitu projeksi dari titik

UAP-P pada mandibula.

l. Lebar alveolar molar mandibula (LAM-M) : yaitu projeksi dari titik

UAM-M pada mandibula.

3.10. Cara Pengumpulan Data

Sampel dibagi atas 2 grup yaitu grup I maloklusi Klas II divisi 1 dan grup II

Klas I dengan oklusi normal. Data dikumpulkan dengan melakukan pengukuran pada

model studi pasien di maksila dan mandibula. Pada daerah yang akan diukur

ditentukan titiknya terlebih dahulu dan ditandai dengan pinsil wax berwarna untuk

memudahkan melihatnya, pada studi model Klas II-1 dengan pinsil yang berwarna

merah dan Klas I dengan warna kuning. Kemudian dilakukan pengukuran transversal

seperti pada 3.8.

3.11. Analisis Data

Seluruh data dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan computer dengan

(36)

KERANGKA KONSEP

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERKANINUS MAKSILA (UC-C) DAN MANDIBULA (LC-C)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERPREMOLAR MAKSILA (UP-P) DAN MANDIBULA (LP-P)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERMOLAR MAKSILA (UM-M) DAN MANDIBULA (LM-M)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERKANINUS MAKSILA (UAC-C) DAN MANDIBULA (LAC-C)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERPREMOLAR MAKSILA (UAP-P) DAN MANDIBULA (LAP-P)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERMOLAR MAKSILA (UAM-M) DAN MANDIBULA (LAM-(UAM-M)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERKANINUS MAKSILA(UC-C) DAN MANDIBULA (LC-C)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERPREMOLAR MAKSILA (UP-P) DAN MANDIBULA (LP-P)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERMOLAR MAKSILA (UM-M) DAN MANDIBULA (LM-M)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERKANINUS MAKSILA (UAC-C) DAN MANDIBULA (LAC-(UAC-C)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERPREMOLAR MAKSILA (UAP-P) DAN MANDIBULA (LAP-P)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERMOLAR MAKSILA (UAM-M) DAN MANDIBULA (LAM-(UAM-M)

(37)

ALUR PENELITIAN

MENENTUKAN POPULASI & SAMPEL

MENETAPKAN VARIABEL MENETAPKAN KRITERIA SAMPEL

MENGUMPULKAN STUDI MODEL KLAS I OKLUSI IDEAL MENGUMPULKAN STUDI MODEL

KLAS II DIVISI 1

MENYIAPKAN BAHAN DAN ALAT UKUR :

DIGITAL CALIPER

PINSIL WAX BERWARNA

MENENTUKAN CARA PENGUKURAN

MELAKUKAN PENGUKURAN TRANSVERSAL MAKSILA

MELAKUKAN PENGUKURAN TRANSVERSAL MANDIBULA

PENGUMPULAN DATA

 

ANALISIS DATA  

 

(38)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Deskriptif statistik, standard deviation, minimum dan maksimum, dan

perbandingan statistik pengukuran lebar lengkung alveolar dan lebar lengkung gigi

pada kedua grup ( Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1 ) dapat dilihat pada tabel

2,3,4,5 dan 6 . Dari hasil analisa statistik perbedaan yang signifikan dijumpai pada

dimensi lebar lengkung alveolar dan lebar lengkung gigi pada pengukuran di maksila

dan mandibula antara sampel Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1. Oleh karena

itu hipotesa dapat diterima.

Perbedaan statistik dari ke dua grup secara signifikan dijumpai pada enam dari

dua belas pengukuran. Lebar lengkung alveolar pada interkaninus maksila dan lebar

lengkung alveolar pada intermolar maksila pada Klas I oklusi normal secara

signifikan lebih lebar bila dibandingkan dengan sampel Klas II divisi 1. Lebar

lengkung gigi pada interpremolar maksila secara signifikan lebih sempit pada Klas II

divisi 1.

Pengukuran lebar lengkung gigi pada interkaninus, demikian juga lengkung

alveolar interpremolar dan intermolar mandibula secara signifikan lebih lebar pada

Klas I oklusi normal bila dibandingkan dengan grup maloklusi Klas II divisi 1.

Bar graph dari pengukuran dapat dilihat pada gambar 11 dan gambar 12.

Demikian juga hasil uji statistik dengan rumus Dahlberg pengukuran yang dilakukan

oleh dua operator dapat dilihat pada tabel 1.

 

(39)

Tabel 1. Hasil uji statistik perbandingan pengukuran dua operator menurut Dahlberg

Pengukuran Kalkulasi Dahlberg

transversal Klas I oklusi normal Klas II divisi 1

UC-C 0.20 0.21

UP-P 0.25 0.32

UM-M 0.29 0.54

UAC-C 0.43 0.38

UAP-P 0.53 0.22

UAM-M 0.18 0.16

LC-C 0.32 0.28

LP-P 0.27 0.28

LM-M 0.24 0.25

LAC-C 0.84 0.36

LA-P 0.13 0.23

LAM-M 0.16 0.31

Pengukuran dilakukan oleh dua operator kemudian dilakukan uji statistik

dengan menggunakan rumus Dahlberg’s. Perbedaan diantara ke dua pengukuran tidak

signifikan karena nilai yang didapatkan berada pada 0.35 mm – 0.94 mm, dan

menurut Dahlberg hasil ini termasuk dalam batas yang dapat diterima (tabel 1).

Gambar 11. Bar Graph pengukuran lebar lengkung Gambar 12. Bar Graph pengukuran lebar lengkung

gigi dan aleveolar maksila Klas I Oklusi gigi dan alveolar mandibula Klas I Oklusi

(40)

Tabel 2. Nilai rerata hasil pengukuran pada Klas I oklusi normal

Pengukuran Klas I oklusi normal

Transversal Mean SD Min Max

Tabel 3. Nilai rerata hasil pengukuran pada Klas II divisi 1

Pengukuran Klas II divisi 1

(41)

Hasil pengukuran transversal lebar lengkung gigi dan lebar lengkung alveolar

adalah sebagai berikut :

Lebar lengkung gigi interkaninus maksila (UC-C)

Lebar lengkung gigi interkaninus pada maksila tidak berbeda antara Klas I

oklusi normal dan Klas II divisi 1 (P>0.05).

Lebar lengkung gigi interkaninus mandibula (LC-C)

Lebar lengkung gigi interkaninus mandibula tidak berbeda antara Klas I

oklusi normal dan Kelas II divisi 1 (P>0.05).

Lebar lengkung gigi interpremolar maksila (UP-P)

Terdapat perbedaaan yang sangat bermakna dari lebar lengkung gigi

interpremolar maksila, dimana lebar lengkung gigi interpremolar maksila dijumpai

lebih sempit pada Klas I oklusi normal bila dibandingkan dengan Klas II divisi 1

(P<0.01).

Lebar lengkung gigi interpremolar mandibula (LP-P)

Tidak terdapat perbedaan lebar lengkung gigi interpremolar mandibula

(P>0.05).

Lebar lengkung gigi intermolar maksila (UM-M)

Tidak terdapat perbedaan pada lebar lengkung gigi intermolar maksila pada

(42)

Lebar lengkung gigi intermolar mandibula (LM-M)

Tidak terdapat perbedaan lebar lengkung gigi intermolar mandibula Klas I dan

Klas II divisi 1 (P>0.05).

Lebar lengkung alveolar interkaninus maksila (UAC-C)

Lebar lengkung alveolar interkaninus maksila pada Klas I oklusi normal lebih

lebar dari pada Klas II divisi 1, demikian juga dengan lebar lengkung alveolar

interkaninus pada mandibula (P<0.05).

Lebar lengkung alveolar interkaninus mandibula (LAC-C)

Terdapat perbedaan yang sangat bermakna dimana lebar lengkung alveolar

interkaninus pada Klas I lebih lebar dari pada Klas II divisi 1 (P<0.001).

Lebar lengkung alveolar interpremolar maksila (UAP-P)

Tidak terdapat perbedaan antara Klas I dan Klas II divisi 1 (P>0.05).

Lebar lengkung alveolar interpremolar mandibula (LAP-P)

Terdapat perbedaan yang sangat bermakna pada lebar lengkung alveolar

interpremolar pada mandibula antara sampel Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1

dimana pada Klas II-1 lebar lengkung alveolar lebih sempit (P<0.01).

Lebar lengkung alveolar intermolar maksila (UAM-M)

Dijumpai perbedaan yang bermakna pada lebar lengkung alveolar intermolar

pada ke dua grup dimana pada Klas I oklusi normal lebih lebar dari pada Klas II

(43)

Lebar lengkung alveolar intermolar mandibula (LAM-M)

Terdapat perbedaan yang bemakna antara ke dua grup dimana Klas I oklusi

normal lebar lengkung alveolar intermolarnya lebih lebar dari pada lebar lengkung

alveolar intermolar pada Klas II – 1 (P<0.05).

Tabel 4. Hasil perbandingan pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar maksila

Tabel 5. Hasil perbandingan pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar mandibula

Pengukuran Klas I oklusi normal Klas II divisi 1 t - test

Transversal Mean SD Min Max Mean SD Min Max

LC-C 27.11 1.98 23.39 31.26 27.46 1.82 24.09 30.15 0.545

LP-P 35.32 2.20 31.38 40.72 35.20 1.98 30.82 38.02 0.849

LM-M 47.52 2.35 43.80 52.37 47.05 2.34 41.90 50.85 0.515

LAC-C 34.80 2.64 29.40 30.86 30.96 2.79 24.18 37.26 0.0001*

LAP-P 48.68 2.53 43.10 54.39 45.75 3.04 37.46 51.00 0.001 *

LAM-M 58.66 2.54 55.61 63.79 56.64 2.85 49.79 62.32 0.018 *

(44)

Tabel 6. Hasil pengukuran perbandingan lebar lengkung gigi dan alveolar Klas I

oklusi normal dan Klas II divisi 1 pada maksila dan mandibula

Pengukuran Klas I oklusi normal Klas II divisi 1 t-test

Transversal Mean SD Min Max Mean SD Min Max

Keterangan : * = signifikan

(45)

BAB 5

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan lebar lengkung gigi dan lebar

lengkung alveolar Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal pada subjek yang belum

pernah mendapatkan perawatan ortodonti. Pengukuran lebar lengkung yang diuraikan

di tulisan ini akan dapat membantu klinisi untuk mendiagnosa dan membuat suatu

rencana perawatan ortodonti pada pasien-pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1.

Lebar interkaninus telah banyak diteliti pada studi-studi terdahulu tetapi

hasilnya berbeda-beda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh karena umur yang

berbeda dan beratnya maloklusi pada subjek yang diteliti.5.12,15,22,26

Frochlich melakukan penelitian lebar interkaninus Klas II divisi 1 dan

membandingkannya dengan Klas I oklusi normal dengan pada sampel anak-anak dan

menemukan bahwa lebar lengkung interkaninus Klas II divisi 1 tidak berbeda dengan

Klas I oklusi normal. Penelitian ini hanya melakukan pengukuran di satu regio saja,

oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang lebih luas.12,22,23

Beberapa penelitian yang meneliti perubahan pertumbuhan pada lebar

lengkung dalam arah transversal menemukan bahwa lebar lengkung kaninus dan

molar tidak mengalami perubahan setelah pasien berumur 13 tahun pada wanita dan

16 tahun pada laki-laki. Oleh karena itu pada penelitian ini dipilih subjek yang sudah

dewasa atau subjek dengan lebar lengkung yang telah selesai pertumbuhannya.6,26

 

(46)

Pada sampel Klas I oklusi normal yang diambil sebagai sampel hanya yang

mempunyai kriteria tanpa crowded atau dengan crowded yang ringan, sedang pada

sampel Klas II divisi 1 tidak adanya crowded tidak termasuk kriteria.

Beberapa peneliti lain juga membuat kriteria yang hampir sama yaitu

menggunakan Klas I untuk grup kontrol dengan lengkung yang baik dan hanya

sedikit crowded atau tidak ada malposisi gigi yang parah. Studi lain untuk analisa

maloklusi Klas II juga menggunakan sampel Klas I tanpa malposisi atau maloklusi

gigi.2,5,25,26

Para klinisi mempunyai spekulasi bahwa obstruksi nasal, kebiasaan

menghisap jari, menekan-nekan lidah, posisi lidah yang rendah, cara penelanan yang

abnormal dan kebiasaan-kebiasaan menghisap lain, merupakan penyebab lebar

lengkung gigi maksila menjadi lebih kecil pada Klas II divisi 1 bila dibandingkan

dengan Klas I oklusi normal.4,26

Pada studi yang dilakukan oleh Bishara dan kawan-kawan perbedaan antara

lebar intermolar mandibula dan maksila secara signifikan lebih besar pada laki-laki

dengan normal oklusi bila dibandingkan dengan Klas II divisi 1. Pada wanita mereka

menemukan ada tendensi yang sama tetapi grup lain secara statistik tidak

menunjukkan perbedaan. Lebih jauh lagi pada studi tersebut ada dijumpai konstriksi

yang relatif pada maksila pada semua perkembangan yaitu pada gigi susu, gigi

bercampur dan gigi permanen.6,25

Staley dan kawan-kawan juga Bishara dan kawan-kawan menyatakan bahwa

konstriksi yang relatif pada maksila itu secara klinis berguna untuk membandingkan

(47)

karena pada dasarnya perbedaan itu lebih konsisten dan interpretasi hasilnya dapat

diperoleh.6,22

Pada orang dewasa dengan normal oklusi Staley dan kawan-kawan

menemukan lebar intermaksila yang lebih besar dari subjek dengan maloklusi Klas II

divisi 1. Berbeda halnya dengan yang ditemukan Frohlich dimana ia menemukan

pada sampel anak-anak tidak dijumpai perbedaan. Pada studi lain oleh Staley

menemukan hanya pada subjek laki-laki dengan normal oklusi yang mempunyai lebar

intermolar yang lebih besar bila dibandingkan dengan grup Klas divisi 1.22

Staley menyatakan bahwa lengkung gigi maksila secara keseluruhan lebih

sempit pada maloklusi Klas II divisi 1 dari normal oklusi. Bila dibandingkan lebar

lengkung gigi dan alveolar Klas II divisi 1 dan sampel oklusi normal, secara statistik

perbedaan yang signifikan lebih mudah dijumpai pada kebanyakan lebar lengkung

maksila pada pasien dengan Klas II divisi 1. Semua pengukuran lebar lengkung

alveolar maksila dan lebar interpremolar lebih besar pada sampel oklusi normal.

Walaupun demikian lebar lengkung intermolar lebih besar pada sampel Klas II divisi

1.12,23,26

Tollaro dan kawan-kawan membagi subjek maloklusi Klas II dengan dan

tanpa diskrepansi transversal di daerah lengkung posterior. Mereka menemukan pada

kasus Klas II dimana diskrepansi interlengkung ini disebabkan oleh karena adanya

lengkung maksila yang lebih sempit. Pada subjek tersebut tidak ada perbedaan yang

signifikan ditemukan pada lebar antar lengkung mandibula.25

Bishara dan kawan-kawan menganjurkan sebaiknya koreksi diskrepansi

(48)

karena itu klinisi harus lebih hati-hati dalam mengoreksi masalah diskrepansi yang

ada pada Klas II divisi 1 oleh karena dijumpai hasil yang berbeda-beda pada diagnosa

diskrepansi transversal dan sagital.6,14

Staley melaporkan bahwa subjek dengan normal oklusi mempunyai lebar

kaninus maksila yang lebih besar dari pada sampel dengan maloklusi Klas II, tetapi

tidak ada perbedaan dijumpai pada lebar kaninus mandibula. Bishara dan

kawan-kawan telah mempelajari pertumbuhan lebar lengkung gigi maksila dan mandibula

dan panjang lengkung pada subjek dengan maloklusi Klas II divisi 1 dan subjek

normal oklusi, dan melaporkan tidak ada perbedaan pada hasil pengukuran lebar

kaninus mandibula dan maksila pada ke dua grup. Hal ini berlawanan dengan yang

ditemukan oleh Sayin dan kawan-kawan bahwa lebar interkaninus mandibula secara

signifikan lebih besar pada Klas II divisi 1 dari pada Klas I oklusi normal, dan pada

pengukuran lebar interkaninus maksila tidak ada perbedaan pengukuran yang

bermakna.6,22,25,29,30

Pada studi ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan Staley dimana dari

hasil pengukuran dijumpai tidak terdapat perbedaan lebar interkaninus maksila

antara maloklusi Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal (P>0.05), demikian juga

pada lebar interkaninus mandibula secara signifikan tidak terdapat perbedaan pada

sampel Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal (P>0.05). Perbedaan yang bermakna

terlihat pada lebar interpremolar dimana lebar interpremolar maksila lebih sempit

pada Klas II divisi 1 dari pada Klas I oklusi normal (P<0.01), lihat tabel 6.

Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa lebar yang lebih sempit pada

(49)

palatal dan oleh karena basis lengkung gigi lebih sempit UAC-C (P<0.05) dan

UAM-M (P<0.05) . Juga dapat dilihat bahwa diskrepansi transversal pada Klas II divisi 1

berasal dari gigi posterior maksila UP-P (P<0.01) dan dari lengkung alveolar maksila

UAC-C (P<0.05) dan UAM-M (P<0.05) . Demikian juga pada mandibula diskrepansi

berasal dari lengkung alveolar mandibula LAC-C (P<0.001) dan lengkung alveolar

posterior mandibula LAP-P (P<0.01) dan LAM-M (P<0.05), lihat tabel 4 dan 5.

Oleh karena itu rapid maxillary expansion dapat dipertimbangkan untuk

digunakan dari pada slow maxillary expansion sebelum atau selama perawatan

maloklusi Klas II divisi 1.

Informasi mengenai dimensi lengkung maksila dan mandibula adalah penting

bagi klinisi dalam bidang ortodonti, prostodonti dan oral surgery. Hal itu juga

diperlukan oleh anthropologist dan pelajar-pelajar yang mempelajari human oral

biology. Suatu survey besar lengkung dapat membantu klinisi untuk memilih secara

tepat bentuk sendok cetak untuk perawatan ortodonti atau prostodonti.

 

 

 

 

 

 

 

(50)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

a Lebar interpremolar maksila secara signifikan lebih sempit pada Klas II

divisi 1 bila dibandingkan dengan Klas I oklusi normal.

b. Lebar alveolar di daerah interkaninus dan intermolar maksila secara

signifikan lebih sempit pada Klas II divisi 1 dari pada Klas I oklusi normal.

c. Seluruh lebar alveolar pada mandibula pada regio interkaninus,

interpremolar dan intermolar secara signifikan lebih sempit pada Klas II

divisi 1 bila dibandingkan dengan Klas I oklusi normal.

6.2. Saran

a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar.

b. Perlu dilakukan perbandingan antara laki-laki dan perempuan.

c. Perlu dilakukan penelitian pada gigi susu, gigi bercampur.

 

 

 

(51)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Andrew LF. The six keys to normal occlusion. Am J Orthod.

1972:62:296-309.

2. Adam CP,Ken WJ. Overbite and face height in 44 male subjects with Class I,

Clas II/1 and Class II/2 occlusion. Euro J Orthod 1981;3:125-129.

3. Bhalajhi SI. Orthodontics the Art and Science, New Delhi, Arya (Medi)

Publishing Co. 1998, 397-406.

4. Braun S, Hnat WP, Fender DE. The form of human dental arch. Angle Orthod

1998;68:29-36.

5. Buschang PH, Stroud J,Alexander RG. Difference in dental arch morphology

among adult females with untreated Class I and Class II malocclusion. Eur J Orthod. 1994:16:47-52.

6. Bishara SE, Bayati P, Jacobsen JR. Longitudinally comparisons of dental arch

changes in normal and untreated Class II division 1 subjects and their clinical implications. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 1996;110:483-489.

7. Bishara SE. Textbook of Orthodontics, Philadelphia, WB. Saunders Company

2001:55-60.

8. De Kock WH. Dental arch depth and width studied longitudinally from 12

years of age to adulthood. Am J Orthod. 1972;62:56-66.

9. Flores C, Aych A. Skeletal and dental changes in Class II division 1

malocclusions treated with splint type Herbst appliance. Angle Orthod J. 2006:1-11.

10.Frohlich FJ. A longitudinal studi of untreated Class II type malocclusion.

Trans Euro Orthod Soc. 1961;37:137-159

11.Graber TM. Orthodontics Principles and practice, 3 rd., Philadelphia, WB.

Saunders Company 1972 :180-188.

12.Isik Fulya, Diden Narbantgil. A comparative sudy of cephalometric and arch

width characteristics of Class II division 1 and division 2 malocclusions. Euro J Orthod. 2006;28:179-183.

13.Loh P. Basic Guide in Orthodontic Diagnosis, Manila, Philiphine copyright.

1999;108-125.

14.Lux CJ. Dental arch width and mandibular-maxillary base width in Class II

malocclusion between early mixed and permanent dentition. Angle Orthod J. 2003;73(6):674-685.

15.Lux CJ, Conradt C. Dental arch widths and mandibular-maxillary base widths

in Class II malocclusion between early mixed and permanent dentition. Angle Orthod J 2005;75(6):941-947.

16.Moorness CFA, Gron AM, Lebret LML. Growth studies of the dentition = a

review. Am J Orthod. 1969;55:600-616.

17.Mc Namara JA, Brudon WL. Orthodontics and dentofacial orthopedics. Ann

Arbor Mich. Nudan Press. 2001;63-84.

18.Moyers RE. Handbook of Orthodontics, 3rd ed. Chicago, Year Book Medical

(52)

19.Nazir M. Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia. 1985;340-345.

20.Rakosi T. Orthodontics Diagnosis, New York, Thieme Medical Publishers

Inc. 1993; 208-209.

21.Sillman JH. Dimensional changes of the dental arches : longitudinal studi

from birth to 25 years. Am J Orthod. 1964;50:824-842.

22.Staley RN, Sturtz WR. A comparison arch widths in adults with normal

occlusion and adults with Class II division 1 malocclusion. Am J Orthod. 1985;88(2):163-169.

23.Sidlansklas A, Svalkanskiene. Assesment of skeletal and dental pattern of

Class II division 1 malocclusion with relevance to clinical practice. Stom Baltic Dent Maxillofac J. 2006;8:3-8.

24.Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta, Binarupa Aksara. 1995;197-198.

25.Tollaro L, Beccetti T. Role of posterior transverse interarch discrepancy in

Class II division 1 malocclusion during the mixed dentition phase. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 1996;110:417-422.

26.Uysal T. Dental and alveolar widths in normal occlusion and Class III

malocclusion. Angle Orthod J. 2005;75(5):809-813.

27.Uysal T. Dental and alveolar arch widths in normal occlusion, Class II

division 1 and Class II division 2.Angle Orthod J. 2005;75(6):941-947.

28.Varela J. Early developmental traits in Class I malocclusion. Acta Odontol

Scand. 1998;56:375-377.

29.Walkow TM, Peck S. Dental arch width in Class II division 2 deep-bite

malocclusion. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 2002;122:608-613.

(53)

Lampiran 1. KERANGKA KONSEP

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERKANINUS MAKSILA (UC-C) DAN MANDIBULA (LC-C)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERPREMOLAR MAKSILA (UP-P) DAN MANDIBULA (LP-P)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERMOLAR MAKSILA (UM-M) DAN MANDIBULA (LM-M)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERKANINUS MAKSILA (UAC-C) DAN MANDIBULA (LAC-C)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERPREMOLAR MAKSILA (UAP-P) DAN MANDIBULA (LAP-P)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERMOLAR MAKSILA (UAM-M) DAN MANDIBULA (LAM-M)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERKANINUS MAKSILA(UC-C) DAN MANDIBULA (LC-C)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERPREMOLAR MAKSILA (UP-P) DAN MANDIBULA (LP-P)

LEBAR LENGKUNG GIGI INTERMOLAR MAKSILA (UM-M) DAN MANDIBULA (LM-M)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERKANINUS MAKSILA (UAC-C) DAN MANDIBULA (LAC-C)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERPREMOLAR MAKSILA (UAP-P) DAN MANDIBULA (LAP-P)

LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERMOLAR MAKSILA (UAM-M) DAN MANDIBULA (LAM-M)

(54)

Lampiran 2. ALUR PENELITIAN

MENETAPKAN VARIABEL MENENTUKAN POPULASI & SAMPEL

MENETAPKAN KRITERIA SAMPEL

MENGUMPULKAN STUDI MODEL

KLAS II DIVISI 1

MENGUMPULKAN STUDI MODEL KLAS I OKLUSI IDEAL

MENYIAPKAN BAHAN DAN ALAT UKUR :

DIGITAL CALIPER

PINSIL WAX BERWARNA

MENENTUKAN CARA PENGUKURAN

MELAKUKAN PENGUKURAN TRANSVERSAL MAKSILA

MELAKUKAN PENGUKURAN TRANSVERSAL MANDIBULA

PENGUMPULAN DATA

ANALISIS DATA

(55)

Lampiran 3. HASIL UJI STATISTIK T-TEST UNTUK MAKSILA

Independent Samples Test

(56)

Lampiran 4. HASIL UJI STATISTIK T-TEST UNTUK MANDIBULA

Independent Samples Test

.223 .639 -.610 42 .545 -.3495 .57339 -1.50665 .80765

-.605 39.235 .549 -.3495 .57764 -1.51767 .81867

.007 .933 .192 42 .849 .1208 .63061 -1.15179 1.39346

.190 38.759 .850 .1208 .63672 -1.16731 1.40897

.223 .639 .656 42 .515 .4655 .70919 -.96570 1.89670

.656 40.489 .516 .4655 .70960 -.96812 1.89912

.061 .806 4.651 42 .000 3.8364 .82481 2.17188 5.50095

4.676 41.313 .000 3.8364 .82037 2.18002 5.49281

.477 .493 3.443 42 .001 2.9358 .85274 1.21494 4.65673

3.502 42.000 .001 2.9358 .83830 1.24407 4.62760

.137 .713 2.460 42 .018 2.0210 .82148 .36319 3.67881

2.486 41.764 .017 2.0210 .81303 .37996 3.66204

(57)

Lampiran 5.

Tabel 1. Hasil uji statistik perbandingan pengukuran dua operator menurut Dahlberg

Pengukuran Kalkulasi Dahlberg

transversal Klas I oklusi normal Klas II divisi 1

UC-C 0.20 0.21

Tabel 2. Nilai rerata hasil pengukuran pada Klas I oklusi normal

Pengukuran Klas I oklusi normal

(58)

Lampiran 7.

Tabel 3. Nilai rerata hasil pengukuran pada Klas II divisi 1

Pengukuran Klas II divisi 1

Transversal Mean SD Min Max

(59)

Lampiran 9.

Tabel 5. Hasil perbandingan pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar mandibula

Pengukuran Klas I oklusi normal Klas II divisi 1 t - test

Transversal Mean SD Min Max Mean SD Min Max

LC-C 27.11 1.98 23.39 31.26 27.46 1.82 24.09 30.15 0.545

LP-P 35.32 2.20 31.38 40.72 35.20 1.98 30.82 38.02 0.849

LM-M 47.52 2.35 43.80 52.37 47.05 2.34 41.90 50.85 0.515

LAC-C 34.80 2.64 29.40 30.86 30.96 2.79 24.18 37.26 0.0001*

LAP-P 48.68 2.53 43.10 54.39 45.75 3.04 37.46 51.00 0.001 *

LAM-M 58.66 2.54 55.61 63.79 56.64 2.85 49.79 62.32 0.018 *

Lampiran 10.

Tabel 6. Hasil pengukuran perbandingan lebar lengkung gigi dan alveolar Klas I

oklusi normal dan Klas II divisi 1 pada maksila dan mandibula

Pengukuran Klas I oklusi normal Klas II divisi 1 t-test

(60)

 

 

4 x 6 

RIWAYAT HIDUP

Nama : Nazruddin

Tempat dan tanggal lahir : Pematang Siantar, 22 Juni 1952

Agama : Islam

Status : Kawin

Jabatan : Sekretaris Departemen Ortodonti

FakultasKedokteran Gigi Universitas Sumatera

Utara

Alamat : Jl.Kasuari No. 71-B Sunggal, Medan

Telp. 061-8453691

Pendidikan : * Sekolah Rakyat Negeri 6 P.Siantar (1965)

* Sekolah Menengah Pertama Negeri IV P.Siantar

(1968)

* Sekolah Menengah Atas Negeri II P.Siantar

(61)

* Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara (1978)

* Pendidikan post-graduate bidang Ortodonti di

Departemen Orthodonti School of Dentistry

University of Hiroshima, Japan (1985)

* S-3 ( Ph.D) di Departemen Orthodonti School of

Dentistry University of Hiroshima, Japan (1989)

Pangkat/Golongan : * CPNS Golongan IIIa 1980

* Asisten Ahli Madya/Penata Muda Tkt.I/Gol.

IIIa 1982

* Lektor Muda /Penata/Gol. IIIc 1984

* Lektor Kepala Madya/Penata Tkt.I/Gol. IIId 1996

* Guru Besar/Pembina/Gol IVa 2008

Gambar

Gambar 2. A. Pengukuran menurut Rakosi A. gigi permanen, B. gigi susu.20
Gambar 3. Pengukuran menurut Lux, hanya dilakukan  pada daerah intermolar maksila ( A )                   dan mandibula ( B ).14
Gambar 6. Pengukuran menurut Uysal  A maksila, B mandibula.27
Gambar 7. Alat ukur digital caliper merek Krisbow (USA).
+7

Referensi

Dokumen terkait

Efek yang dihasilkan oleh Jasper Jumper adalah distalisasi molar-molar maksila, retroklinasi gigi anterior maksila, menekan mandibula dan gigi-ge!igi mandibula ke anterior, intrusi

Keadaan ini ditandai dengan overjet yang besar, deep overbite, proklinasi gigi insisivus maksila dan diikuti dengan pola skeletal Klas Il,. Maloklusi Klas Il divisi 1 dapat

Tujuan Penelitian : Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah ada perbedaan lebar lengkung gigi pada maloklusi klasifikasi Angle yang berbeda di SMPN I Salatiga

pada maksila antara klas I dengan klas II mungkin ini dikarenakan pada penelitian ini hanya melihat hubungan molar pertama dan tidak memasukkan ciri-ciri umum yang terdapat

Pengukuran lebar interpremolar maksila dari titik terdistal cekung mesial pada oklusal gigi premolar pertama ke titik yang sama pada sisi yang berlainan (a), pengukuran

Hasil: Hasil penelitian menunjukan bahwa 7 dari 10 jurnal menyatakan terdapat perbedaan yang signifikan pada lebar lengkung interkaninus antara maloklusi angle klas I dan

Ukuran lengkung gigi dipengaruhi oleh ukuran tulang basal dan fungsi otot- otot mulut. Idealnya, lengkung gigi dengan gigi harus memiliki hubungan yang

Korkhaus Serta Hubungan Antara Lebar dan Panjang Lengkung Gigi Terhadap Tinggi Palatum pada Suku Jawa.. Handbook of