PERBEDAAN UKURAN LEBAR LENGKUNG
GIGI DAN LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR
MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1 DAN KLAS I
OKLUSI NORMAL
TESIS
OLEH
N A Z R U D D I N
047028007
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS ORTODONTI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PERBEDAAN UKURAN LEBAR LENGKUNG GIGI DAN LEBAR
LENGKUNG ALVEOLAR MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1 DAN
KLAS I OKLUSI NORMAL
T E S I S
Untuk memperoleh Gelar Spesialis Ortodonti
dalam Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ortodonti pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
OLEH :
N A Z R U D D I N
047028007
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER GIGI SPESIALIS ORTODONTI FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2009
PERSETUJUAN TESIS
Judul Tesis : PERBEDAAN UKURAN LEBAR LENGKUNG GIGI
DAN LENGKUNG ALVEOLAR MALOKLUSI KLAS
II Divisi 1 KLAS I OKLUSI NORMAL
Nama mahasiswa : N a z r u d d i n
N I M : 047028007
Program Spesialis : Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis Ortodonti
Menyetujui Komisi Pembimbing :
( Drg. Nurhayati harahap,Sp.Ort.(K) ) ( Drg. Erna S, Sp.Ort. )
NIP. 19481230 197802 2 002 NIP. 19540212 198102 2 001
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ketua Program PPGS-1 Ortodonti
( Drg.Nurhayati Harahap, Sp.Ort.(K) )
Telah diuji
Pada tanggal : 01 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Nurhayati Harahap, drg., Sp.Ort ( K)
Anggota : Erna Sulistyawati, drg., Sp.Ort
Muslim Yusuf, drg., Sp.Ort
PERNYATAAN
PERBEDAAN UKURAN LEBAR LENGKUNG GIGI DAN LEBAR
LENGKUNG ALVEOLAR MALOKLUSI KLAS II DIVISI 1 DAN
KLAS I OKLUSI NORMAL
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan,11September 2009
KATA PENGANTAR
Puji sjukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia yang dilimpahkanNya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini untuk melengkapi sebagian persyaratan guna mendapat sebutan Dokter Gigi Spesialis I bidang Ilmu Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Penulis dengan setulus-tulusnya menghaturkan penghargaan yang setinggi-tingginya dan terimakasih sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah member izin untuk
mengikuti pendidikan Dokter Gigi Spesialis dan juga atas bantuan studi yang telah diberikan selama pendidikan.
2. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatera Utara yang telah memberi izin untuk mengikuti pendidikan Dokter Gigi Spesialis di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
3. Ketua Departemen Ortodonti beserta staf atas kerjasama dan
bantuan-bantuan selama penulis melaksanakan pendidikan.
4. Nurhayati Harahap drg. Sp.Ort(K), selaku pembimbing utama yang telah
memberikan bimbingan yang sangat berharga dari awal sampai selesainya penulisan ini.
5. Erna Sulistiawaty drg. Sp.Ort., selaku pembimbing pendamping atas
pengarahan dan bimbingannya dari awal sampai selesainya penulisan ini.
6. Muslim Yusuf drg. Sp.Ort. atas saran-saran dan bantuan selama penulis
mengikuti pendidikan.
7. Rekan-rekan seangkatan, atas kekerabatan dan kerjasama yang sangat baik
selama pendidikan berlangsung.
8. Istri dan anak-anak yang saya sayangi yang telah memberikan bantuan dan
dorongan selama mengikuti pendidikan.
9. Semua pihak yang telah membantu sehingga tesis ini dapat diselesaikan,
Akhirnya harapan penulis semoga karya tulis ini dapat berguna dalam pengembangan ilmu selanjutnya di bidang Ilmu Kedokteran Gigi, khususnya dibidang Ortodonti.
Medan 12 Septembar 2009.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
ABSTRAK ... xi
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... 3
1.3. Hipotesis... 3
1.4. Tujuan penelitian ... 3
1.5. Manfaat Penelitian... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 4
2.1. Gambaran Umum Malo klusi Klas II Divisi 1 ... 4
2.2. Beberapa Cara Pengukuran ... 7
2.3. Landasan Teori ...11
BAB 3. METODE PENELITIAN... 13
3.1. Disain Penelitian ...13
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ...13
3.3. Populasi dan Sampel ...13
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi ...13
3.5. Besar Sampel... 14
3.6. Identifikasi Variabel... 15
3.7. Bahan dan Alat Ukur ...18
3.8. Cara Pengukuran ...19
3.9. Defenisi Operacional ...21
3.10.Cara Pengumpulan Data ... 22
3.11. Metode Analisis Data ...22
BAB 4. HASIL PENELITIAN ...25
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 37
6.1. Kesimpulan ... 37
6.2. Saran ...37
DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 38
LAMPIRAN... 40
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Hasil uji statistik perbandingan pengukuran dua operator dengan
rumus Dhalberg...26
Tabel 2 : Nilai rerata hasil pengukuran Klas I oklusi normal ...27
Tabel 3 : Nilai rerata hasil pengukuran Klas II divisi 1 ...27
Tabel 4 : Perbandingan hasil pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar
maksila ... 30
Tabel 5 : Perbandingan hasil pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar
mandibula... 30
Tabel 6 : Perbandingan hasil pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar
Klas I dan Klas II divisi 1 pada maksila dan mandibula ... 31
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Cara pengukuran jarak intermolar maksila dan mandibula
menurut Loh...8
Gambar 2. Pengukuran menurut Rakosi untuk gigi permanen (A) gigi susu (B) ...8
Gambar 3. Pengukuran menurut Lux ...9
Gambar 4. Pengukuran menurut Isik ...9
Gambar 5. Pengukuran menurut Staley ...10
Gambar 6. Pengukuran menurut Uysal ...10
Gambar 7. Alat ukur digital caliper...18
Gambar 8. Alat tulis wax berwarna...18
Gambar 9. Cara pengukuran untuk maksila...19
Gambar 10. Cara pengukuran untuk mandibula ...20
Gambar 11. Bar graph pengukuran lengkung maksila ...26
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lampiran 1, Kerangka Konsep ... 40
2. Lampiran 2, Alur penelitian ... 41
3. Lampiran 3, Hasil Uji Statististik T- Test Untuk Maksila ... 42
4. Lampiran 4, Hasil Uji Statistik T-Test Untuk Mandibula... 43
5. Lampiran 5, Hasil uji statistik perbandingan pengukuran dua operator menurut Dahlberg... 44
6. Lampiran 6, Nilai Rerata Hasil Pengukuran pada Klas I Oklusi Normal ... 44
7. Lampiran 7, Nilai Rerata Hasil Pengukuran pada Klas II Divisi 1... 45
8. Lampiran 8, Hasil Perbandingan Pengukuran Lebar Lengkung Gigi dan Alveolar Maksila... 45
9. Lampiran 9, Hasil Perbandingan Pengukuran Lebar Lengkung Gigi dan Alveolar Mandibula ... 46
ABSTRAK
Masa transisi pertumbuhan gigi geligi dari gigi susu, gigi bercampur ke gigi
permanen dapat menimbulkan perubahan-perubahan pada panjang lengkung gigi,
lebar intermolar dan interkaninus, dan hubungan skeletal maksila dan mandibula.
Maloklusi Klas II divisi 1 merupakan salah satu anomali yang dapat terjadi pada masa
transisi tersebut.
Tujuan penelitian ini yaitu untuk membandingkan dimensi transversal Klas II
divisi 1 dengan Klas I oklusi normal. Pada penelitian ini telah dilakukan pengukuran
pada empat puluh empat buah model gigi yang diperoleh dari arsip klinik
Departemen Ortodonti, dengan maloklusi Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal
sebagai kontrol grup. Paired sample t-test telah digunakan untuk membandingkan ke
dua grup. Dari hasil pengukuran didapatkan perbedaan yang bermakna pada regio
lebar lengkung alveolar interkaninus maksila UAC-C (P < 0.05) , lebar lengkung
alveolar intermolar maksila UAM-M (P < 0.05), lebar lengkung alveolar intermolar
mandibula LAM-M (P < 0.05), dimana pada region-regio ini Klas II divisi 1
mempunyai lebar lengkung alveolar yang lebih sempit dari pada Klas I . Dan hasil
yang sangat bermakna dijumpai pada regio lebar lengkung gigi interpremolar maksila
UP-P (P < 0.001). pada regio ini lebar lengkung gigi Klas I lebih besar dari pada
Klas II divisi 1. Demikian juga lebar lengkung alveolar interkaninus mandibula
LAC-C (P < 0.001) dan lebar lengkung alveolar interpremolar mandibula LAP-P (P <
0.01), pada regio-regio ini Klas II divisi 1 mempunyai lebar lengkung alveolar yang
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa
dan rencana perawatan maloklusi Klas II divisi 1.
ABSTRACT
The transition stage growth of the dentition from deciduous teeth, mixed
dentition to permanent dentition has an impact to dental arch length, intermolar and
intercanine widths and skeletal relation of maxilla and mandibula. Class II division 1
malocclusion is an anomaly as a result of this transition stage growth of the dentition.
The aim of this study was to compare the transverse dimensions of dental
arches and alveolar arches in canine, premolar and molar regions. This study was
performed using measurements on dental casts of forty four from archives of clinic
Department of Orthodontic, Class II division 1 and Class I normal occlusion as a
control group. A paired sample t-test was applied for comparisons of the groups. The
finding indicated that there were significant differences in intercanine alveolar width
maxilla UAC-C (P<0.05), intermolar alveolar width maxilla UAM-M (P<0.05),
intermolar alveolar width mandibula LAM-M (P<0.05) in which in these regions
Class II division 1 have smaller alveolar width than Class I. Very significant
differences was found in region of interpremolar tooth width maxilla UP-P (P<0.001)
in this region the tooth width of Class II division 1 smaller than Class I, also in
regions of intercanine alveolar width mandibula LAC-C (P < 0.001)and interpremolar
alveolar width mandibula LAP-P (P < 0.01) , in which in these regions Class II
division 1 have smaller alveolar arch widths than Class I normal occlusion. This
study could useful to assist diagnosis and treatment planning of Clas II division 1.
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Maloklusi Klas II dilaporkan merupakan disharmoni dentoskletal yang paling
sering ditemukan pada pasien-pasien ortodonti. Komponen transversal pada pasien
Klas II adalah sangat penting seperti halnya dengan komponen sagital dan vertikal.
Varela (1998) melaporkan defisiensi pertumbuhan transversal maksila dan
pertumbuhan sagital mandibula dapat dikatakan sebagai penyebab tipe oklusi Klas II
divisi 1. Walaupun demikian pada salah satu dari studi yang terdahulu oleh Frohlich
(1961) menemukan tidak ada perbedaan pada dimensi transversal antara objek Klas I
oklusi normal dan Klas II divisi 1, tetapi dalam hal ini ia hanya melakukan
pengukuran pada satu regio saja yaitu regio intermolar. 10,12,15,17,22,25,28
Staley (1985) menyatakan bahwa pasien dengan maloklusi klas II divisi 1 mempunyai
lebar lengkung gigi interkaninus, intermolar dan lebar lengkung alveolar yang lebih
sempit dari pada Klas I oklusi normal. Buschang dan kawan-kawan (1994) telah
mengevaluasi perbedaan pada morfologi lengkung gigi diantara pasien-pasien wanita
dewasa yang belum dirawat dengan maloklusi Klas I, Klas II divisi 1 dan Klas II
divisi 2, dan melaporkan bahwa Klas II divisi 1 wanita mempunyai lengkung yang
panjang dan lebar tranversal yang lebih sempit dari klas I oklusi normal. Tollaro
(1996) menemukan bahwa pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1 mempunyai
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum Maloklusi Klas II dan Klas I Oklusi Normal
Maloklusi Klas II
Maloklusi Klas II merupakan maloklusi yang disebabkan oleh problema
skeletal dan dental. Problema skeletal ini dapat dilihat dari pengukuran SNA, SNB
dan ANB. Sudut ANB ini biasanya lebih besar dari normal ( 4 derajat ). Klas II ini
dapat diakibatkan oleh karena SNA yang lebih besar dari normal sedangkan SNB
normal, atau SNA normal SNB lebih kecil dari normal, juga dapat diakibatkan oleh
ke dua-duanya yaitu SNA lebih besar dan SNB lebih kecil dari normal.
Tetapi dapat juga dijumpai pada beberapa individu dengan hubungan molar
Klas I dan kaninus Klas II dengan overjet lebih besar dari normal yang disebabkan
oleh karena adanya spacing dan protrusi gigi maksila. Kemungkinan lain yaitu dapat
dijumpai hubungan molar Klas II dengan hubungan kaninus Klas I, overjet normal,
yang disebabkan oleh karena adanya gigi crowded atau hilangnya beberapa gigi di
maksila disebelah mesial dari molar pertama.3,7
Angle membagi Klas II ini ke dalam dua divisi yaitu :
Klas II divisi 1
Malokusi ini ditandai dengan adanya proklinasi insisivus atas dengan resultan
bertambahnya overjet. Di regio anterior juga dijumpai overbite yang dalam. Tanda-
tanda lainnya yaitu adanya aktivitas otot yang abnormal. Bibir atas biasanya
hipotonik, pendek dan tidak menutupi gigi anterior. Bibir bawah berada di bagian
palatal gigi atas, sehingga gambaran ini disebut dengan “lip trap”.3
Lidah menempati postur bawah oleh karena itu tidak dapat melawan aktifitas
otot buccinator. Hal ini mengakibatkan lengkung atas menjadi lebih sempit di daerah
premolar dan kaninus, sehingga menyebabkan bentuk maksila seperti huruf V.
Gangguan otot yang lain yaitu hiperaktif otot mentalis. Ketidakseimbangan ke dua
otot itu dan perubahan posisi lidah mengakibatkan lengkung gigi atas menjadi lebih
sempit.3,8,20
Klas II divisi 2
Maloklusi ini juga mempunyai hubungan molar Klas II. Gambaran klinik
maloklusi ini yaitu insisivus sentralis atas berinklinasi ke lingual dan insisivus
lateralis atas tipping ke labial berimpit dengan insisivus sentralis. Variasi ini
membentuk insisivus sentralis berinklinasi ke lingual, dan insisivus lateralis dengan
kaninus tipping ke labial. Pasien juga menunjukkan adanya deep overbite anterior.
Insisivus sentralis atas yang berinklinasi ke lingual akan menyebabkan
lengkung maksila berbentuk square (persegi), berbeda dengan Klas II divisi 1.
Jaringan gingiva di daerah labial mandibula sering mengalami trauma oleh karena
insisivus sentralis atas tipping ke lingual secara berlebihan. Aktivitas otot-otot
Klas I oklusi normal
Menurut Graber (1969) oklusi adalah hubungan antara permukaan oklusal
gigi-gigi rahang atas dan rahang bawah yang terjadi selama pergerakan dari rahang
bawah dan berakhir pada kontak penuh dari lengkung gigi rahang atas dan rahang
bawah. Sedang oklusi normal adalah hubungan yang terjadi diantara gigi yang sama
dalam rahang yang sama terhadap gigi-gigi lawan pada waktu gigi-gigi tersebut
mendekati oklusi akhir dan kondilus berada pada kedudukan dalam sentral fossa
glenoidalis.8,16,20
Angle (1965) menyatakan bahwa oklusi adalah hubungan normal dari
bidang-bidang inklinasi oklusal gigi pada waktu rahang ditutup. Tiap lengkung gigi-gigi
menggambarkan lengkung yang indah dan semua gigi membentuk suatu lengkung
yang serasi, masing-masing gigi saling mempertahankan hubungan tonjol yang
selaras dan tiap bidang inklinasi menahan kedudukan gigi dalam lengkung gigi.
Selanjutnya Angle membuat pernyataan yang disebut dengan “Key of occlusion”
yang maksudnya bahwa semua gigi adalah penting, tetapi yang terpenting adalah
molar pertama permanen karena kedudukannya didalam rahang yang dianggap
sebagai kunci dari oklusi. Hipotesa ini merupakan dasar dari klassifikasi maloklusi
Angle yang berdasarkan filsafat bahwa dalam oklusi normal semua gigi harus berada
dalam ke dua lengkung gigi, dan adanya hubungan antero posterior dari molar tetap
rahang atas dan rahang bawah yang benar, dimana tonjol mesiobukal molar pertama
tetap rahang atas beroklusi pada groove bukal molar pertama permanen rahang
Menurut Salzman (1968) ciri-ciri normal oklusi adalah :
1. posisi aksial gigi-gigi yang benar
2. overbite dan overjet yang normal
3. hubungan gigi-gigi individual normal, tidak ada rotasi
4. hubungan lengkung gigi satu terhadap yang lain dan terhadap muka dan kepala
normal.8,20
Andrew (1972) membuat batasan enam kunci oklusi normal sebagai berikut 1 :
1. hubungan molar menunjukkan tonjol mesiobukal molar pertama rahang atas
beroklusi dalam celah antara tonjol mesial dan sentral dari molar pertama
rahang bawah
2. angulasi mahkota yang benar
3. inklinasi mahkota dari masing-masing gigi menjamin keseimbangan oklusi
4. tidak ada rotasi gigi
5. tidak ada celah diantara gigi geligi
6. adanya kurva Spee yang datar terhadap dataran oklusal
2.2. Beberapa Cara Pengukuran Lebar Lengkung Gigi dan Alveolar
Dari beberapa literatur dapat dilihat bahwa cara pengukuran lebar lengkung
gigi dan alveolar berbeda-beda, seperti yang dilakukan oleh Loh (1999), ia hanya
melakukan pengukuran dengan melihat hubungan transversal intercuspal di regio
molar, misalnya apakah hubungan intercuspal molar cusp to cusp atau crossbite,
kemudian mengukur jarak intermolar (Gambar 1). Rakosi (1993) melakukan
gigi bercampur. Pada gigi permanen pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak
interpremolar pertama di anterior dan jarak intermolar pertama di posterior baik di
maksila dan di mandibula. Pada gigi bercampur pengukuran dilakukan dengan
mengukur jarak intermolar gigi molar susu pertama dan jarak intermolar gigi molar
pertama permanen maksila dan mandibula (Gambar 2). Ke dua penulis ini belum
menunjukkan bagaimana cara mengukur lebar lengkung alveolar. 13,20
A B
Gambar 1. Cara pengukuran menurut Loh, dengan mengukur jarak intermolar maksila dan mandibula. A. Pada kasus bukal crossbite, B. Kasus oklusi cusp to cusp. 14
A B
Lux (2003) hanya melakukan pengukuran lebar lengkung gigi di satu regio saja yaitu
di regio intermolar pertama (Gambar 3). 14
Gambar 3. Pengukuran menurut Lux, hanya dilakukan pada daerah intermolar maksila ( A ) dan mandibula ( B ).14
Isik dan Narbantgil (2006) dalam penelitiannya hanya melakukan pengukuran
lebar lengkung gigi dimana pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak di empat
regio yaitu interkaninus, interpremolar pertama, interpremolar ke dua dan intermolar
pertama (Gambar 4). 12
Gambar 4. Pengukuran menurut Isik (1), interpremolar pertama (2), interpremolar ke dua (3), intermolar (4). Pengukuran lebar lengkung alveolar belum dilakukan.12
Beberapa peneliti lain seperti Staley dan Sturtz (1985) sudah mulai melakukan
interkaninus, jarak interpremolar pertama, jarak interpremolar ke dua, jarak
intermolar pertama dan satu pengukuran lebar lengkung alveolar di regio molar
pertama (Gambar 5). 22
Gambar 5. Pengukuran menurut Staley lebar interkaninus (1), lebar interpremolar I (2), lebar interpremolar II(3), lebar intermolar I (4), lebar intermolar II (5), dan lebar alveolar intermolar (6).22
Uysal (2005) melakukan pengukuran dengan cara yang sedikit berbeda yaitu
dengan melakukan pengukuran lebar lengkung gigi di daerah interkaninus,
interpremolar pertama dan intermolar pertama, dan untuk pengukuran lebar lengkung
alveolar yaitu di regio kaninus, premolar dan molar baik untuk di maksila maupun di
mandibula (Gambar 6). 26,27
A B
Gambar 6. Pengukuran menurut Uysal A maksila, B mandibula.27
Dalam penelitian ini akan dilakukan pengukuran seperti yang dilakukan oleh
2.3. Landasan Teori
Klasifikasi Angle pada Klas II menunjukkan klasifikasi yang sederhana,
sedangkan dalam faktanya maloklusi Klas II itu tidak dapat dilihat hanya dari single
diagnostic. Oleh karena itu harus dilihat komponen-komponen lain untuk
menegakkan diagnosis maloklusi tersebut seperti komponen posisi skeletal maksila,
dentoalveolar maksila, skeletal mandibula dan dentoalveolar mandibula. Dalam hal
ini juga harus dipertimbangkan komponen sagital, vertikal dan transversal. 5,13,20
Menurut Moorres (1969) dan DeKock (1972), pertambahan yang moderat
pada lebar lengkung gigi dapat diharapkan khususnya di daerah anterior, sampai gigi
kaninus permanen erupsi. Setelah itu lebar lengkung biasanya berkurang di daerah
anterior dan posterior. Steiner dan kawan-kawan (1964) melaporkan bahwa dimensi
lebar interkaninus dan intermolar di mandibula mempunyai tendensi yang kuat untuk
relaps, oleh karena itu harus dipertimbangkan dengan baik pada waktu membuat
rencana perawatannya. 8,16,21
Beberapa operator antusias tentang kemungkinan perawatan pada maksila,
khususnya untuk merawat dimensi transversal. Defisiensi maksila secara transversal,
kenyataannya dapat merupakan salah satu penyebab terjadinya problema dental di
regio kraniofasial. Sehingga sebagai bagian dalam mengevaluasi pasien, jarak
transversal ini haruslah di ukur dengan baik. 6,15,25,26,27
Dari komponen skeletal maksila dapat dijumpai hasil dari beberapa penelitian
yaitu posisi maksila lebih ke anterior dari komponen kraniofasial. Tetapi beberapa
Demikian juga posisi komponen dentoalveolar maksila dimana dijumpai gigi
anterior maksila yang protrusif. Pada laporan-laporan peneliti terdahulu banyak hasil
yang berbeda-beda seperti posisi relatif dari molar pertama maksila ke struktur
skeletal maksila. Altemus mengatakan gigi posterior lokasinya lebih ke mesial di
maksila, sementara Baldridge dan Elsasser serta Wyllie menyatakan tidak ada
perbedaan pada posisi molar maksila diantara grup Klas II dan Klas I. 9,23
Secara umum banyak peneliti hanya melihat bahwa pada maloklusi Klas II
yang utama adalah problema sagital dan vertikal. Sedangkan Mc.Namara menyatakan
bahwa kebanyakan Klas II itu mempunyai problema transversal. 6,12,15
Pada pengukuran komponen transversal ini (lebar lengkung gigi dan lebar
lengkung alveolar) beberapa peneliti mempunyai hasil yang berbeda-beda. Perbedaan
dalam penemuan penelitian itu mungkin menunjukkan adanya kesalahan atau
kekurangan dalam metode pengukuran yang dilakukan. Oleh karena itu dalam
penelitian ini akan mencoba mengabungkan beberapa metode pengukuran yang ada
untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat.
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Disain Penelitian
Merupakan studi perbandingan deskriptif analitik, untuk mengetahui ukura
lebar lengkung gigi dan lebar lengkung alveolar Klas II divisi 1.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian Departemen Ortodonti FKG-USU.
Waktu penelitian Maret 2009 – Juli 2009.
3.3. Populasi dan Sample
Populasi terjangkau penelitian ini adalah model studi Klas II divisi 1 dari arsip
pasien-pasien pada klinik Departemen Ortodonti (jumlah 68 pasang) dan model
studi mahasiswa FKG-USU semester V (jumlah 82 pasang) tahun 2004-2005 juga
dari arsip klinik Departemen Ortodonti. Semuanya telah masa gigi permanen dan
belum pernah mendapatkan perawatan ortodonti.
Sampel dipilih dari model studi pasien-pasien yang mempunyai kelainan maloklusi
Klas II divisi 1, dan model studi mahasiswa yang mempunyai Klas I oklusi normal.
3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi Klas II divisi 1:
a. Hubungan skeletal Klas II ( ANB > 40)
b. Hubungan molar Klas II bilateral pada oklusi sentrik
c. Gigi insisivus maksila protrusif ( > 1300)
d. Overjet berlebih (lebih dari 4 mm )
e. Tidak ada karies dan tambalan proksimal
Kriteria inklusi Klas I oklusi normal :
a. Hubungan skeletal Klas I (ANB=2 - 40)
b. Hubungan molar Klas I bilateral pada oklusi sentrik
c. Lengkung gigi maksila dan mandibula tersusun baik dengan kurang dari 2
mm spacing dan crowding
d. Hubungan overjet dan overbite normal
e. Tidak ada gigi yang karies dan tambalan proksimal
Kriteria eksklusi :
a. Model gigi mengalami kerusakan
b. Rontgen foto tidak bisa dibaca
3.5. Besar Sampel
Besar sampel dihitung dengan rumus : 11,17
)
d : penyimpangan terhadap populasi atau ketepatan absolut yang diinginkan
Jumlah model yang didapatkan pada arsip Departemen Ortodonti tahun 2004-2005
yaitu 150 model (Klas II divisi 1, 68 model dan Klas I oklusi normal 82 model),
maka: Maka setiap grup Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal masing-masing berjumlah
44.
3.6. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas
Model-model studi Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1 dari arsip klinik
Departemen Ortodonti FKG USU tahun 2004-2005 sebanyak 150 pasang dan
belum pernah mendapatkan perawatan ortodonti.
2. Variabel terikat
Pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar adalah jarak transversal yang
diukur pada maksila dan mandibula.
3. Variabel tidak terkendali
a. Cara penyimpanan model kurang baik
b. Waktu pencetakan dan pengisian gips
4. Variabel terkendali
a. Model diperoleh dari pasien yang berumur 18 tahun keatas
c. Jenis bahan cetak dan gips
d. Rontgen foto
e. Cara dan daerah yang diukur pada studi model
f. Kemampuan operator mengukur studi model
Hubungan antara variabel
Variabel bebas
Model-model studi Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1 dari arsip klinik Departemen Ortodonti FKG USU tahun 2004-2005 sebanyak 150 pasang dan belum pernah mendapatkan perawatan ortodonti.
Variabel terikat
Pengukuran lebar lengkung gigidan alveolar adalah jarak transversal yang diukur pada maksila dan mandibula.
Variabel terkendali
model diperoleh dari pasien yang berumur 18 tahun keatas
Variabel tidak terkendali
cara penyimpanan model kurang baik
waktu pencetakan dan
pengisian gips keadaan gigi di maksila dan mandibula sudah masa gigi
permanen
jenis bahan cetak dan gips Rontgen foto
cara dan daerah yang diukur pada studi model
kemampuan operator mengukur studi model
3.7. Bahan dan Alat Ukur
Bahan yaitu model stuai gigi Klas II divisi 1 dan Klas I yang dalam keadaan
baik, alat ukur yang digunakan yaitu digital kaliper merek Krisbow dengan
ketepatan dua digit dibelakang koma (Gambar 7), pinsil wax berwarna kuning untuk
Klas I dan merah untuk Klas II divisi1 (Gambar 8).
Gambar 7. Alat ukur digital caliper merek Krisbow (USA).
3.8. Cara Pengukuran
Cara pengukuran dilakukan menurut metode Tancan Uysal dimana dilakukan
pengukuran pada dua belas regio pengukuran pada setiap pasang model yaitu:
Pengukuran pada maksila (Gambar 9):
a. Lebar interkaninus (UC-C)
b. Lebar interpremolar (UP-P)
c. Lebar intermolar (UM-M)
d. Lebar alveolar kaninus (UAC-C)
e. Lebar alveolar premolar (UAP-P)
f. Lebar alveolar molar (UAM-M)
Gambar 9. Cara pengukuran untuk maksila.
Pengukuran pada mandibula (Gambar 10) :
a. Lebar interkaninus (LC-C)
b. Lebar interpremolar (LP-P)
c. Lebar intermolar (LM-M)
d. Lebar alveolar kaninus (LAC-C)
e. Lebar alveolar premolar (LAP-P)
f. Lebar alveolar molar (LAM-M)
Gambar 10. Cara pengukuran untuk mandibula.
Setiap pengukuran dilakukan oleh dua operator untuk menghindari kesalahan
dalam pengukuran, kemudian dilakukan uji statistik untuk menentukan batas
kesalahan dalam pengukuran itu dengan menggunakan rumus Dahlberg. 26
Sx =
N D
2
2
∑
Bila nilai hasil pengukuran yang didapatkan berada antara 0.35 sampai 0.94 berarti
nilai tersebut masih dapat diterima.
3.9. Defenisi Operasional ( dalam mm )
a. . Lebar interkaninus maksila (UC-C) : yaitu jarak antara ujung cusp
kaninus kanan dan kiri.
b. Lebar interpremolar maksila (UP-P) : yaitu jarak antara ujung cusp
bukal premolar pertama kanan dan kiri.
c. Lebar intermolar maksila (UM-M) : yaitu jarak antara ujung cusp
mesiobukal molar pertama kanan dan kiri.
d. Lebar alveolar kaninus maksila (UAC-C) : yaitu jarak antara dua titik
pada mucogingival junction diatas ujung cups kaninus maksila kanan
dan kiri.
e. Lebar alveolar premolar maksila (UAP-P) : yaitu jarak antara dua titik
pada mucogingival junction diatas titik kontak interdental premolar
pertama dan ke dua maksila.
f. Lebar alveolar molar maksila (UAM-M) : yaitu jarak antara dua titik
pada mucogingival junction diatas ujung cups mesiobukal molar
pertama maksila.
g. Lebar interkaninus mandibula (LC-C) : yaitu jarak antara ujung cusp
kaninus kanan dan kiri.
h. Lebar interpremolar mandibula (LP-P) : yaitu jarak antara ujung cusp
i. Lebar intermolar mandibula (LM-M) : yaitu jarak antara titik diatas
bukal groove di tengah-tengah permukaan bukal.
j. Lebar alveolar kaninus mandibula (LAC-C) : yaitu projeksi dari titik
UAC-C pada mandibula.
k. Lebar alveolar premolar mandibula (LAP-P) : yaitu projeksi dari titik
UAP-P pada mandibula.
l. Lebar alveolar molar mandibula (LAM-M) : yaitu projeksi dari titik
UAM-M pada mandibula.
3.10. Cara Pengumpulan Data
Sampel dibagi atas 2 grup yaitu grup I maloklusi Klas II divisi 1 dan grup II
Klas I dengan oklusi normal. Data dikumpulkan dengan melakukan pengukuran pada
model studi pasien di maksila dan mandibula. Pada daerah yang akan diukur
ditentukan titiknya terlebih dahulu dan ditandai dengan pinsil wax berwarna untuk
memudahkan melihatnya, pada studi model Klas II-1 dengan pinsil yang berwarna
merah dan Klas I dengan warna kuning. Kemudian dilakukan pengukuran transversal
seperti pada 3.8.
3.11. Analisis Data
Seluruh data dikumpulkan dan diolah dengan menggunakan computer dengan
KERANGKA KONSEP
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERKANINUS MAKSILA (UC-C) DAN MANDIBULA (LC-C)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERPREMOLAR MAKSILA (UP-P) DAN MANDIBULA (LP-P)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERMOLAR MAKSILA (UM-M) DAN MANDIBULA (LM-M)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERKANINUS MAKSILA (UAC-C) DAN MANDIBULA (LAC-C)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERPREMOLAR MAKSILA (UAP-P) DAN MANDIBULA (LAP-P)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERMOLAR MAKSILA (UAM-M) DAN MANDIBULA (LAM-(UAM-M)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERKANINUS MAKSILA(UC-C) DAN MANDIBULA (LC-C)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERPREMOLAR MAKSILA (UP-P) DAN MANDIBULA (LP-P)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERMOLAR MAKSILA (UM-M) DAN MANDIBULA (LM-M)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERKANINUS MAKSILA (UAC-C) DAN MANDIBULA (LAC-(UAC-C)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERPREMOLAR MAKSILA (UAP-P) DAN MANDIBULA (LAP-P)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERMOLAR MAKSILA (UAM-M) DAN MANDIBULA (LAM-(UAM-M)
ALUR PENELITIAN
MENENTUKAN POPULASI & SAMPEL
MENETAPKAN VARIABEL MENETAPKAN KRITERIA SAMPEL
MENGUMPULKAN STUDI MODEL KLAS I OKLUSI IDEAL MENGUMPULKAN STUDI MODEL
KLAS II DIVISI 1
MENYIAPKAN BAHAN DAN ALAT UKUR :
DIGITAL CALIPER
PINSIL WAX BERWARNA
MENENTUKAN CARA PENGUKURAN
MELAKUKAN PENGUKURAN TRANSVERSAL MAKSILA
MELAKUKAN PENGUKURAN TRANSVERSAL MANDIBULA
PENGUMPULAN DATA
ANALISIS DATA
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Deskriptif statistik, standard deviation, minimum dan maksimum, dan
perbandingan statistik pengukuran lebar lengkung alveolar dan lebar lengkung gigi
pada kedua grup ( Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1 ) dapat dilihat pada tabel
2,3,4,5 dan 6 . Dari hasil analisa statistik perbedaan yang signifikan dijumpai pada
dimensi lebar lengkung alveolar dan lebar lengkung gigi pada pengukuran di maksila
dan mandibula antara sampel Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1. Oleh karena
itu hipotesa dapat diterima.
Perbedaan statistik dari ke dua grup secara signifikan dijumpai pada enam dari
dua belas pengukuran. Lebar lengkung alveolar pada interkaninus maksila dan lebar
lengkung alveolar pada intermolar maksila pada Klas I oklusi normal secara
signifikan lebih lebar bila dibandingkan dengan sampel Klas II divisi 1. Lebar
lengkung gigi pada interpremolar maksila secara signifikan lebih sempit pada Klas II
divisi 1.
Pengukuran lebar lengkung gigi pada interkaninus, demikian juga lengkung
alveolar interpremolar dan intermolar mandibula secara signifikan lebih lebar pada
Klas I oklusi normal bila dibandingkan dengan grup maloklusi Klas II divisi 1.
Bar graph dari pengukuran dapat dilihat pada gambar 11 dan gambar 12.
Demikian juga hasil uji statistik dengan rumus Dahlberg pengukuran yang dilakukan
oleh dua operator dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji statistik perbandingan pengukuran dua operator menurut Dahlberg
Pengukuran Kalkulasi Dahlberg
transversal Klas I oklusi normal Klas II divisi 1
UC-C 0.20 0.21
UP-P 0.25 0.32
UM-M 0.29 0.54
UAC-C 0.43 0.38
UAP-P 0.53 0.22
UAM-M 0.18 0.16
LC-C 0.32 0.28
LP-P 0.27 0.28
LM-M 0.24 0.25
LAC-C 0.84 0.36
LA-P 0.13 0.23
LAM-M 0.16 0.31
Pengukuran dilakukan oleh dua operator kemudian dilakukan uji statistik
dengan menggunakan rumus Dahlberg’s. Perbedaan diantara ke dua pengukuran tidak
signifikan karena nilai yang didapatkan berada pada 0.35 mm – 0.94 mm, dan
menurut Dahlberg hasil ini termasuk dalam batas yang dapat diterima (tabel 1).
Gambar 11. Bar Graph pengukuran lebar lengkung Gambar 12. Bar Graph pengukuran lebar lengkung
gigi dan aleveolar maksila Klas I Oklusi gigi dan alveolar mandibula Klas I Oklusi
Tabel 2. Nilai rerata hasil pengukuran pada Klas I oklusi normal
Pengukuran Klas I oklusi normal
Transversal Mean SD Min Max
Tabel 3. Nilai rerata hasil pengukuran pada Klas II divisi 1
Pengukuran Klas II divisi 1
Hasil pengukuran transversal lebar lengkung gigi dan lebar lengkung alveolar
adalah sebagai berikut :
Lebar lengkung gigi interkaninus maksila (UC-C)
Lebar lengkung gigi interkaninus pada maksila tidak berbeda antara Klas I
oklusi normal dan Klas II divisi 1 (P>0.05).
Lebar lengkung gigi interkaninus mandibula (LC-C)
Lebar lengkung gigi interkaninus mandibula tidak berbeda antara Klas I
oklusi normal dan Kelas II divisi 1 (P>0.05).
Lebar lengkung gigi interpremolar maksila (UP-P)
Terdapat perbedaaan yang sangat bermakna dari lebar lengkung gigi
interpremolar maksila, dimana lebar lengkung gigi interpremolar maksila dijumpai
lebih sempit pada Klas I oklusi normal bila dibandingkan dengan Klas II divisi 1
(P<0.01).
Lebar lengkung gigi interpremolar mandibula (LP-P)
Tidak terdapat perbedaan lebar lengkung gigi interpremolar mandibula
(P>0.05).
Lebar lengkung gigi intermolar maksila (UM-M)
Tidak terdapat perbedaan pada lebar lengkung gigi intermolar maksila pada
Lebar lengkung gigi intermolar mandibula (LM-M)
Tidak terdapat perbedaan lebar lengkung gigi intermolar mandibula Klas I dan
Klas II divisi 1 (P>0.05).
Lebar lengkung alveolar interkaninus maksila (UAC-C)
Lebar lengkung alveolar interkaninus maksila pada Klas I oklusi normal lebih
lebar dari pada Klas II divisi 1, demikian juga dengan lebar lengkung alveolar
interkaninus pada mandibula (P<0.05).
Lebar lengkung alveolar interkaninus mandibula (LAC-C)
Terdapat perbedaan yang sangat bermakna dimana lebar lengkung alveolar
interkaninus pada Klas I lebih lebar dari pada Klas II divisi 1 (P<0.001).
Lebar lengkung alveolar interpremolar maksila (UAP-P)
Tidak terdapat perbedaan antara Klas I dan Klas II divisi 1 (P>0.05).
Lebar lengkung alveolar interpremolar mandibula (LAP-P)
Terdapat perbedaan yang sangat bermakna pada lebar lengkung alveolar
interpremolar pada mandibula antara sampel Klas I oklusi normal dan Klas II divisi 1
dimana pada Klas II-1 lebar lengkung alveolar lebih sempit (P<0.01).
Lebar lengkung alveolar intermolar maksila (UAM-M)
Dijumpai perbedaan yang bermakna pada lebar lengkung alveolar intermolar
pada ke dua grup dimana pada Klas I oklusi normal lebih lebar dari pada Klas II
Lebar lengkung alveolar intermolar mandibula (LAM-M)
Terdapat perbedaan yang bemakna antara ke dua grup dimana Klas I oklusi
normal lebar lengkung alveolar intermolarnya lebih lebar dari pada lebar lengkung
alveolar intermolar pada Klas II – 1 (P<0.05).
Tabel 4. Hasil perbandingan pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar maksila
Tabel 5. Hasil perbandingan pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar mandibula
Pengukuran Klas I oklusi normal Klas II divisi 1 t - test
Transversal Mean SD Min Max Mean SD Min Max
LC-C 27.11 1.98 23.39 31.26 27.46 1.82 24.09 30.15 0.545
LP-P 35.32 2.20 31.38 40.72 35.20 1.98 30.82 38.02 0.849
LM-M 47.52 2.35 43.80 52.37 47.05 2.34 41.90 50.85 0.515
LAC-C 34.80 2.64 29.40 30.86 30.96 2.79 24.18 37.26 0.0001*
LAP-P 48.68 2.53 43.10 54.39 45.75 3.04 37.46 51.00 0.001 *
LAM-M 58.66 2.54 55.61 63.79 56.64 2.85 49.79 62.32 0.018 *
Tabel 6. Hasil pengukuran perbandingan lebar lengkung gigi dan alveolar Klas I
oklusi normal dan Klas II divisi 1 pada maksila dan mandibula
Pengukuran Klas I oklusi normal Klas II divisi 1 t-test
Transversal Mean SD Min Max Mean SD Min Max
Keterangan : * = signifikan
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan lebar lengkung gigi dan lebar
lengkung alveolar Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal pada subjek yang belum
pernah mendapatkan perawatan ortodonti. Pengukuran lebar lengkung yang diuraikan
di tulisan ini akan dapat membantu klinisi untuk mendiagnosa dan membuat suatu
rencana perawatan ortodonti pada pasien-pasien dengan maloklusi Klas II divisi 1.
Lebar interkaninus telah banyak diteliti pada studi-studi terdahulu tetapi
hasilnya berbeda-beda. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh karena umur yang
berbeda dan beratnya maloklusi pada subjek yang diteliti.5.12,15,22,26
Frochlich melakukan penelitian lebar interkaninus Klas II divisi 1 dan
membandingkannya dengan Klas I oklusi normal dengan pada sampel anak-anak dan
menemukan bahwa lebar lengkung interkaninus Klas II divisi 1 tidak berbeda dengan
Klas I oklusi normal. Penelitian ini hanya melakukan pengukuran di satu regio saja,
oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang lebih luas.12,22,23
Beberapa penelitian yang meneliti perubahan pertumbuhan pada lebar
lengkung dalam arah transversal menemukan bahwa lebar lengkung kaninus dan
molar tidak mengalami perubahan setelah pasien berumur 13 tahun pada wanita dan
16 tahun pada laki-laki. Oleh karena itu pada penelitian ini dipilih subjek yang sudah
dewasa atau subjek dengan lebar lengkung yang telah selesai pertumbuhannya.6,26
Pada sampel Klas I oklusi normal yang diambil sebagai sampel hanya yang
mempunyai kriteria tanpa crowded atau dengan crowded yang ringan, sedang pada
sampel Klas II divisi 1 tidak adanya crowded tidak termasuk kriteria.
Beberapa peneliti lain juga membuat kriteria yang hampir sama yaitu
menggunakan Klas I untuk grup kontrol dengan lengkung yang baik dan hanya
sedikit crowded atau tidak ada malposisi gigi yang parah. Studi lain untuk analisa
maloklusi Klas II juga menggunakan sampel Klas I tanpa malposisi atau maloklusi
gigi.2,5,25,26
Para klinisi mempunyai spekulasi bahwa obstruksi nasal, kebiasaan
menghisap jari, menekan-nekan lidah, posisi lidah yang rendah, cara penelanan yang
abnormal dan kebiasaan-kebiasaan menghisap lain, merupakan penyebab lebar
lengkung gigi maksila menjadi lebih kecil pada Klas II divisi 1 bila dibandingkan
dengan Klas I oklusi normal.4,26
Pada studi yang dilakukan oleh Bishara dan kawan-kawan perbedaan antara
lebar intermolar mandibula dan maksila secara signifikan lebih besar pada laki-laki
dengan normal oklusi bila dibandingkan dengan Klas II divisi 1. Pada wanita mereka
menemukan ada tendensi yang sama tetapi grup lain secara statistik tidak
menunjukkan perbedaan. Lebih jauh lagi pada studi tersebut ada dijumpai konstriksi
yang relatif pada maksila pada semua perkembangan yaitu pada gigi susu, gigi
bercampur dan gigi permanen.6,25
Staley dan kawan-kawan juga Bishara dan kawan-kawan menyatakan bahwa
konstriksi yang relatif pada maksila itu secara klinis berguna untuk membandingkan
karena pada dasarnya perbedaan itu lebih konsisten dan interpretasi hasilnya dapat
diperoleh.6,22
Pada orang dewasa dengan normal oklusi Staley dan kawan-kawan
menemukan lebar intermaksila yang lebih besar dari subjek dengan maloklusi Klas II
divisi 1. Berbeda halnya dengan yang ditemukan Frohlich dimana ia menemukan
pada sampel anak-anak tidak dijumpai perbedaan. Pada studi lain oleh Staley
menemukan hanya pada subjek laki-laki dengan normal oklusi yang mempunyai lebar
intermolar yang lebih besar bila dibandingkan dengan grup Klas divisi 1.22
Staley menyatakan bahwa lengkung gigi maksila secara keseluruhan lebih
sempit pada maloklusi Klas II divisi 1 dari normal oklusi. Bila dibandingkan lebar
lengkung gigi dan alveolar Klas II divisi 1 dan sampel oklusi normal, secara statistik
perbedaan yang signifikan lebih mudah dijumpai pada kebanyakan lebar lengkung
maksila pada pasien dengan Klas II divisi 1. Semua pengukuran lebar lengkung
alveolar maksila dan lebar interpremolar lebih besar pada sampel oklusi normal.
Walaupun demikian lebar lengkung intermolar lebih besar pada sampel Klas II divisi
1.12,23,26
Tollaro dan kawan-kawan membagi subjek maloklusi Klas II dengan dan
tanpa diskrepansi transversal di daerah lengkung posterior. Mereka menemukan pada
kasus Klas II dimana diskrepansi interlengkung ini disebabkan oleh karena adanya
lengkung maksila yang lebih sempit. Pada subjek tersebut tidak ada perbedaan yang
signifikan ditemukan pada lebar antar lengkung mandibula.25
Bishara dan kawan-kawan menganjurkan sebaiknya koreksi diskrepansi
karena itu klinisi harus lebih hati-hati dalam mengoreksi masalah diskrepansi yang
ada pada Klas II divisi 1 oleh karena dijumpai hasil yang berbeda-beda pada diagnosa
diskrepansi transversal dan sagital.6,14
Staley melaporkan bahwa subjek dengan normal oklusi mempunyai lebar
kaninus maksila yang lebih besar dari pada sampel dengan maloklusi Klas II, tetapi
tidak ada perbedaan dijumpai pada lebar kaninus mandibula. Bishara dan
kawan-kawan telah mempelajari pertumbuhan lebar lengkung gigi maksila dan mandibula
dan panjang lengkung pada subjek dengan maloklusi Klas II divisi 1 dan subjek
normal oklusi, dan melaporkan tidak ada perbedaan pada hasil pengukuran lebar
kaninus mandibula dan maksila pada ke dua grup. Hal ini berlawanan dengan yang
ditemukan oleh Sayin dan kawan-kawan bahwa lebar interkaninus mandibula secara
signifikan lebih besar pada Klas II divisi 1 dari pada Klas I oklusi normal, dan pada
pengukuran lebar interkaninus maksila tidak ada perbedaan pengukuran yang
bermakna.6,22,25,29,30
Pada studi ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan Staley dimana dari
hasil pengukuran dijumpai tidak terdapat perbedaan lebar interkaninus maksila
antara maloklusi Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal (P>0.05), demikian juga
pada lebar interkaninus mandibula secara signifikan tidak terdapat perbedaan pada
sampel Klas II divisi 1 dan Klas I oklusi normal (P>0.05). Perbedaan yang bermakna
terlihat pada lebar interpremolar dimana lebar interpremolar maksila lebih sempit
pada Klas II divisi 1 dari pada Klas I oklusi normal (P<0.01), lihat tabel 6.
Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa lebar yang lebih sempit pada
palatal dan oleh karena basis lengkung gigi lebih sempit UAC-C (P<0.05) dan
UAM-M (P<0.05) . Juga dapat dilihat bahwa diskrepansi transversal pada Klas II divisi 1
berasal dari gigi posterior maksila UP-P (P<0.01) dan dari lengkung alveolar maksila
UAC-C (P<0.05) dan UAM-M (P<0.05) . Demikian juga pada mandibula diskrepansi
berasal dari lengkung alveolar mandibula LAC-C (P<0.001) dan lengkung alveolar
posterior mandibula LAP-P (P<0.01) dan LAM-M (P<0.05), lihat tabel 4 dan 5.
Oleh karena itu rapid maxillary expansion dapat dipertimbangkan untuk
digunakan dari pada slow maxillary expansion sebelum atau selama perawatan
maloklusi Klas II divisi 1.
Informasi mengenai dimensi lengkung maksila dan mandibula adalah penting
bagi klinisi dalam bidang ortodonti, prostodonti dan oral surgery. Hal itu juga
diperlukan oleh anthropologist dan pelajar-pelajar yang mempelajari human oral
biology. Suatu survey besar lengkung dapat membantu klinisi untuk memilih secara
tepat bentuk sendok cetak untuk perawatan ortodonti atau prostodonti.
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
a Lebar interpremolar maksila secara signifikan lebih sempit pada Klas II
divisi 1 bila dibandingkan dengan Klas I oklusi normal.
b. Lebar alveolar di daerah interkaninus dan intermolar maksila secara
signifikan lebih sempit pada Klas II divisi 1 dari pada Klas I oklusi normal.
c. Seluruh lebar alveolar pada mandibula pada regio interkaninus,
interpremolar dan intermolar secara signifikan lebih sempit pada Klas II
divisi 1 bila dibandingkan dengan Klas I oklusi normal.
6.2. Saran
a. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar.
b. Perlu dilakukan perbandingan antara laki-laki dan perempuan.
c. Perlu dilakukan penelitian pada gigi susu, gigi bercampur.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. Andrew LF. The six keys to normal occlusion. Am J Orthod.
1972:62:296-309.
2. Adam CP,Ken WJ. Overbite and face height in 44 male subjects with Class I,
Clas II/1 and Class II/2 occlusion. Euro J Orthod 1981;3:125-129.
3. Bhalajhi SI. Orthodontics the Art and Science, New Delhi, Arya (Medi)
Publishing Co. 1998, 397-406.
4. Braun S, Hnat WP, Fender DE. The form of human dental arch. Angle Orthod
1998;68:29-36.
5. Buschang PH, Stroud J,Alexander RG. Difference in dental arch morphology
among adult females with untreated Class I and Class II malocclusion. Eur J Orthod. 1994:16:47-52.
6. Bishara SE, Bayati P, Jacobsen JR. Longitudinally comparisons of dental arch
changes in normal and untreated Class II division 1 subjects and their clinical implications. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 1996;110:483-489.
7. Bishara SE. Textbook of Orthodontics, Philadelphia, WB. Saunders Company
2001:55-60.
8. De Kock WH. Dental arch depth and width studied longitudinally from 12
years of age to adulthood. Am J Orthod. 1972;62:56-66.
9. Flores C, Aych A. Skeletal and dental changes in Class II division 1
malocclusions treated with splint type Herbst appliance. Angle Orthod J. 2006:1-11.
10.Frohlich FJ. A longitudinal studi of untreated Class II type malocclusion.
Trans Euro Orthod Soc. 1961;37:137-159
11.Graber TM. Orthodontics Principles and practice, 3 rd., Philadelphia, WB.
Saunders Company 1972 :180-188.
12.Isik Fulya, Diden Narbantgil. A comparative sudy of cephalometric and arch
width characteristics of Class II division 1 and division 2 malocclusions. Euro J Orthod. 2006;28:179-183.
13.Loh P. Basic Guide in Orthodontic Diagnosis, Manila, Philiphine copyright.
1999;108-125.
14.Lux CJ. Dental arch width and mandibular-maxillary base width in Class II
malocclusion between early mixed and permanent dentition. Angle Orthod J. 2003;73(6):674-685.
15.Lux CJ, Conradt C. Dental arch widths and mandibular-maxillary base widths
in Class II malocclusion between early mixed and permanent dentition. Angle Orthod J 2005;75(6):941-947.
16.Moorness CFA, Gron AM, Lebret LML. Growth studies of the dentition = a
review. Am J Orthod. 1969;55:600-616.
17.Mc Namara JA, Brudon WL. Orthodontics and dentofacial orthopedics. Ann
Arbor Mich. Nudan Press. 2001;63-84.
18.Moyers RE. Handbook of Orthodontics, 3rd ed. Chicago, Year Book Medical
19.Nazir M. Metode Penelitian, Jakarta, Ghalia Indonesia. 1985;340-345.
20.Rakosi T. Orthodontics Diagnosis, New York, Thieme Medical Publishers
Inc. 1993; 208-209.
21.Sillman JH. Dimensional changes of the dental arches : longitudinal studi
from birth to 25 years. Am J Orthod. 1964;50:824-842.
22.Staley RN, Sturtz WR. A comparison arch widths in adults with normal
occlusion and adults with Class II division 1 malocclusion. Am J Orthod. 1985;88(2):163-169.
23.Sidlansklas A, Svalkanskiene. Assesment of skeletal and dental pattern of
Class II division 1 malocclusion with relevance to clinical practice. Stom Baltic Dent Maxillofac J. 2006;8:3-8.
24.Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis, Jakarta, Binarupa Aksara. 1995;197-198.
25.Tollaro L, Beccetti T. Role of posterior transverse interarch discrepancy in
Class II division 1 malocclusion during the mixed dentition phase. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 1996;110:417-422.
26.Uysal T. Dental and alveolar widths in normal occlusion and Class III
malocclusion. Angle Orthod J. 2005;75(5):809-813.
27.Uysal T. Dental and alveolar arch widths in normal occlusion, Class II
division 1 and Class II division 2.Angle Orthod J. 2005;75(6):941-947.
28.Varela J. Early developmental traits in Class I malocclusion. Acta Odontol
Scand. 1998;56:375-377.
29.Walkow TM, Peck S. Dental arch width in Class II division 2 deep-bite
malocclusion. Am J Orthod Dentofacial Orthop. 2002;122:608-613.
Lampiran 1. KERANGKA KONSEP
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERKANINUS MAKSILA (UC-C) DAN MANDIBULA (LC-C)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERPREMOLAR MAKSILA (UP-P) DAN MANDIBULA (LP-P)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERMOLAR MAKSILA (UM-M) DAN MANDIBULA (LM-M)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERKANINUS MAKSILA (UAC-C) DAN MANDIBULA (LAC-C)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERPREMOLAR MAKSILA (UAP-P) DAN MANDIBULA (LAP-P)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERMOLAR MAKSILA (UAM-M) DAN MANDIBULA (LAM-M)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERKANINUS MAKSILA(UC-C) DAN MANDIBULA (LC-C)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERPREMOLAR MAKSILA (UP-P) DAN MANDIBULA (LP-P)
LEBAR LENGKUNG GIGI INTERMOLAR MAKSILA (UM-M) DAN MANDIBULA (LM-M)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERKANINUS MAKSILA (UAC-C) DAN MANDIBULA (LAC-C)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERPREMOLAR MAKSILA (UAP-P) DAN MANDIBULA (LAP-P)
LEBAR LENGKUNG ALVEOLAR INTERMOLAR MAKSILA (UAM-M) DAN MANDIBULA (LAM-M)
Lampiran 2. ALUR PENELITIAN
MENETAPKAN VARIABEL MENENTUKAN POPULASI & SAMPEL
MENETAPKAN KRITERIA SAMPEL
MENGUMPULKAN STUDI MODEL
KLAS II DIVISI 1
MENGUMPULKAN STUDI MODEL KLAS I OKLUSI IDEAL
MENYIAPKAN BAHAN DAN ALAT UKUR :
DIGITAL CALIPER
PINSIL WAX BERWARNA
MENENTUKAN CARA PENGUKURAN
MELAKUKAN PENGUKURAN TRANSVERSAL MAKSILA
MELAKUKAN PENGUKURAN TRANSVERSAL MANDIBULA
PENGUMPULAN DATA
ANALISIS DATA
Lampiran 3. HASIL UJI STATISTIK T-TEST UNTUK MAKSILA
Independent Samples Test
Lampiran 4. HASIL UJI STATISTIK T-TEST UNTUK MANDIBULA
Independent Samples Test
.223 .639 -.610 42 .545 -.3495 .57339 -1.50665 .80765
-.605 39.235 .549 -.3495 .57764 -1.51767 .81867
.007 .933 .192 42 .849 .1208 .63061 -1.15179 1.39346
.190 38.759 .850 .1208 .63672 -1.16731 1.40897
.223 .639 .656 42 .515 .4655 .70919 -.96570 1.89670
.656 40.489 .516 .4655 .70960 -.96812 1.89912
.061 .806 4.651 42 .000 3.8364 .82481 2.17188 5.50095
4.676 41.313 .000 3.8364 .82037 2.18002 5.49281
.477 .493 3.443 42 .001 2.9358 .85274 1.21494 4.65673
3.502 42.000 .001 2.9358 .83830 1.24407 4.62760
.137 .713 2.460 42 .018 2.0210 .82148 .36319 3.67881
2.486 41.764 .017 2.0210 .81303 .37996 3.66204
Lampiran 5.
Tabel 1. Hasil uji statistik perbandingan pengukuran dua operator menurut Dahlberg
Pengukuran Kalkulasi Dahlberg
transversal Klas I oklusi normal Klas II divisi 1
UC-C 0.20 0.21
Tabel 2. Nilai rerata hasil pengukuran pada Klas I oklusi normal
Pengukuran Klas I oklusi normal
Lampiran 7.
Tabel 3. Nilai rerata hasil pengukuran pada Klas II divisi 1
Pengukuran Klas II divisi 1
Transversal Mean SD Min Max
Lampiran 9.
Tabel 5. Hasil perbandingan pengukuran lebar lengkung gigi dan alveolar mandibula
Pengukuran Klas I oklusi normal Klas II divisi 1 t - test
Transversal Mean SD Min Max Mean SD Min Max
LC-C 27.11 1.98 23.39 31.26 27.46 1.82 24.09 30.15 0.545
LP-P 35.32 2.20 31.38 40.72 35.20 1.98 30.82 38.02 0.849
LM-M 47.52 2.35 43.80 52.37 47.05 2.34 41.90 50.85 0.515
LAC-C 34.80 2.64 29.40 30.86 30.96 2.79 24.18 37.26 0.0001*
LAP-P 48.68 2.53 43.10 54.39 45.75 3.04 37.46 51.00 0.001 *
LAM-M 58.66 2.54 55.61 63.79 56.64 2.85 49.79 62.32 0.018 *
Lampiran 10.
Tabel 6. Hasil pengukuran perbandingan lebar lengkung gigi dan alveolar Klas I
oklusi normal dan Klas II divisi 1 pada maksila dan mandibula
Pengukuran Klas I oklusi normal Klas II divisi 1 t-test
4 x 6
RIWAYAT HIDUP
Nama : Nazruddin
Tempat dan tanggal lahir : Pematang Siantar, 22 Juni 1952
Agama : Islam
Status : Kawin
Jabatan : Sekretaris Departemen Ortodonti
FakultasKedokteran Gigi Universitas Sumatera
Utara
Alamat : Jl.Kasuari No. 71-B Sunggal, Medan
Telp. 061-8453691
Pendidikan : * Sekolah Rakyat Negeri 6 P.Siantar (1965)
* Sekolah Menengah Pertama Negeri IV P.Siantar
(1968)
* Sekolah Menengah Atas Negeri II P.Siantar
* Dokter Gigi Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Sumatera Utara (1978)
* Pendidikan post-graduate bidang Ortodonti di
Departemen Orthodonti School of Dentistry
University of Hiroshima, Japan (1985)
* S-3 ( Ph.D) di Departemen Orthodonti School of
Dentistry University of Hiroshima, Japan (1989)
Pangkat/Golongan : * CPNS Golongan IIIa 1980
* Asisten Ahli Madya/Penata Muda Tkt.I/Gol.
IIIa 1982
* Lektor Muda /Penata/Gol. IIIc 1984
* Lektor Kepala Madya/Penata Tkt.I/Gol. IIId 1996
* Guru Besar/Pembina/Gol IVa 2008