IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN
TERBANG OLEH SUATU NEGARA DAN
KETERKAITANNYA PADA PRINSIP COMMON HERITAGE
OF MANKIND BERDASAR PERATURAN
INTERNASIONAL (KONVENSI CHICAGO 1944)
S K R I P S I
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Guna
Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai
Gelar Sarjana Hukum
Oleh
MOHAMMAD PRIMA DENDI
N I M : 060200091
DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG OLEH SUATU NEGARA DAN KETERKAITANNYA PADA PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND BERDASAR PERATURAN INTERNASIONAL
(KONVENSI CHICAGO 1944)
S K R I P S I
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas Guna Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai
Gelar Sarjana Hukum
Oleh
MOHAMMAD PRIMA DENDI N I M : 060200091
DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL
KETUA DEPARTEMEN
SUTIARNOTO MS, SH, M.HUM NIP. 195610101986031003
PEMBIMBING I PEMBIMBING II
SUTIARNOTO MS, SH, M.HUM CHAIRUL BARIAH, SH., M.HUM NIP. 195610101986031003 NIP. 195612101986012001
FAKULTAS HUKUM
UNVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah Penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat,
dan berkah-Nya yang telah diberikan kepada Penulis sehingga akhirnya pada hari
ini, Penulis diberikan kemudahan jalan untuk menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat atau syarat
terakhir dalam menyelesaikan pendidikan Penulis di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan, untuk mencapai gelar Sarjana Hukum.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari berbagai macam kesulitan
yang Penulis temui, namun berkat izin dari Allah SWT, dan kesempatan serta
bantuan yang diberikan akhirnya Penulis dapat juga menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu, Penulis hendak mengucapkan banyak terima kasih kepada orang-orang
yang selama ini telah banyak membantu Penulis, dalam menyelesaikan skripsi ini:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Bapak Sutiarnoto MS, SH., M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Arif, SH., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Internasional pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak Sutiarnoto MS, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis
dalam pembuatan skripsi ini. Terima kasih atas kesediaan waktu yang
5. Ibu Chairul Bariah, SH., MH, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
Terima kasih khusus Penulis ucapkan kepada Ibu atas ilmu yang telah Ibu
berikan kepada Penulis, bimbingan-bimbingan Ibu dan juga atas waktu
yang telah Ibu luangkan untuk membimbing Penulis. Semoga Allah SWT
membantu segala kebaikan Ibu dan selalu melimpahkan rahmat-Nya
kepada Ibu sekeluarga. Amin.
6. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan,
terutama dosen-dosen pengajar pada Bagian Hukum Internasional pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, yang telah
memberikan pengajaran kepada Penulis.
7. Bagian Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Bapak Syaiful Azam, SH., M.Hum, selaku dosen wali Penulis.
10.Kedua Orang Tua Penulis atas dukungan materil dan imaterilnya, mental
dan spiritual.
11.Ibu Ernawati Purba, selaku Ibu kos Penulis, terima kasih yang mendalam
Penulis ucapkan, atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan kepada
Penulis lebih dari teman-teman kos Penulis lainnya.
12.Kepada sahabat-sahabat Penulis yang Penulis sayangi dan cintai, Putri
Nesia Dahlius, Khairunnisa Ginting, Hamdani Parinduri, Ismi Beby
Lestari Harahap dan Anggia Nurul Khairina, SH, yang selalu
bersama-sama di setiap saat di kampus, dan yang telah mendidik Penulis secara tak
13.Kepada teman-teman Penulis di Bagian Hukum Internasional, yang selalu
saling berbagi ilmu dan informasi, Jessica Dillon, Elsya Meici Asterina,
Sailanov, Rentha Natalia Pardede, SH, Debora Saragih, Jeffri, SH, Darwin
Sim, SH, Lesly Saviera, SH, Reza Boboy, Kukuh Tejo Murti, SH, Rendy
Febian Arifandi, Ruth Yenni Kudadiri, Evelyn Herawati Sitorus, SH,
Yulia Indriany dan lainnya.
14.Teman-teman Penulis lainnya di Grup B Stambuk 2006, Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan, Asri Handayani, Nursari Dewi
Marpaung, Netti Octris Pratiwi, Sudirman Naibaho, Muhammad Firnanda,
Ahmad Parlindungan Hasibuan, Khairuna Malik Hasibuan, Riska
Mauliyan Pulungan, Riko Nugraha, Mustika Anggriani Sihombing, Dina
Kristina Sitepu, Tengku Rizki Alisyahbana, SH, Indra Tarigan, Gishela
Agustina Hutagalung dan lainnya, senang berjumpa dan kenal dengan
kalian, yang telah memberi warna di hidup Penulis.
15.Teman-teman Penulis di Kota Medan, yang turut menorehkan kisah pada
perjalanan hidup Penulis di Kota Medan, Ismail Marzuki Siregar, Amd,
Rahmaningsih Simamora, Tari Instanti Dewi Bangun, Fadhillah Astrid
Sitompul, Dearma Sinaga, Nurul Ain, Randy Saputra, Vika Septanty
Hasan, Selly Novita Siregar, Yunika Anita Anwar, Ardiansyah Sipahutar,
Wulan Suci Lestari, Rudy Sutoyo, Amd, Kurniawan Jerry, Insya Allah tak
16.Kepada Kak Amalia Fitri Andini Sumitra dan Kak Handa Yani, pada
Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
terima kasih atas kerja samanya selama ini, dalam hal bantuan finansial
Penulis.
Akhirnya Penulis mohon diri, seandainya tulisan/skripsi ini ada
manfaatnya bagi kita, hal ini semata-mata atas kuasa Allah SWT dan ilmu yang
telah diberikannya. Apabila ada kekuarangan dalam penulisan skripsi ini, Penulis
mohon maaf, karena keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Semoga Bermanfaat.
Amin.
Medan, 23 Februari 2010
Hormat Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...i
DAFTAR ISI...v
ABSTRAK...vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………...……...1
B. Rumusan Masalah………...………...………4
C. Tujuan Penulisan………. ...…...……....……..5
D. Metode Penulisan...6
E. Sistematika Penulisan...6
BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG A. Pengertian Kedaulatan...9
B. Kedaulatan Suatu Negara Atas Ruang Udara Wilayahnya...13
C. Pengertian Dan Batas-Batas Terapan Zona Larangan Terbang...20
BAB III KEBERADAAN PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND
PADA RUANG ANGKASA
A. Lahirnya Prinsip Common Heritage Of Mankind………..….34
B. Prinsip Common Heritage Of Mankind Dan Azas Perdamaian….…….44
C. Pendaftaran Dan Pertanggungjawaban Kegiatan Di Ruang Angkasa...46
BAB IV IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG
OLEH SUATU NEGARA DAN KETERKAITANNYA PADA
PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND BERDASAR
PERATURAN INTERNASIONAL (KONVENSI CHICAGO 1944)
A. Penerapan Konsep Larangan Terbang Oleh Berbagai Negara………....70
B. Lahirnya Konvensi Chicago 1944………...….……..75
C. Konvensi Chicago 1944 Dan Prinsip-Prinsip Yang Terkandung Di
Dalamnya………79
D. Penerapan Prinsip Common Heritage Of Mankind……...81
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………...………89
ABSTRAK
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan keinginan dari pengangkut untuk mengambil langkah-langkah yang serius untuk menanggulangi minimnya standar keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang keselamatan penerbangan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut, kemampuan dan keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah keselamatan yang timbul karena kecelakaan. Bahwa harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan unilateral yang bertentangan Sdengan ketentuan ICAO. Mestinya yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau kurang memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah ICAO dan bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa.
Adapun metode penulisan yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu metode Deskriptif-Analitis, yaitu di mata penulis menggambarkan dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut agar diperoleh keterangan dan jawabanan yang jelas.
ABSTRAK
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya atas dasar tersebut Uni Eropa memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan 27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4 Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan keinginan dari pengangkut untuk mengambil langkah-langkah yang serius untuk menanggulangi minimnya standar keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang keselamatan penerbangan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengangkut, kemampuan dan keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah keselamatan yang timbul karena kecelakaan. Bahwa harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO). Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan unilateral yang bertentangan Sdengan ketentuan ICAO. Mestinya yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau kurang memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah ICAO dan bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa.
Adapun metode penulisan yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu metode Deskriptif-Analitis, yaitu di mata penulis menggambarkan dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut agar diperoleh keterangan dan jawabanan yang jelas.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Setiap negara pada dasarnya memiliki kedaulatan penuh dan ekskusif atas
wilayah udara di atas teritorialnya. Hal ini merupakan salah satu prinsip yang
diatur dalam Konvensi Chicago 1944. Ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa
setiap negara berhak untuk membuat aturan sendiri demi kepentingan nasional.
Namun, ketentuan nasional itu harus diberlakukan tanpa perbedaan kepada setiap
negara.
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya atas dasar tersebut Uni Eropa
memberlakukan ketentuan larangan terbang terhadap pengangkut sipil dari
Indonesia ke wilayahnya. Larangan tersebut dibuat untuk melindungi kepentingan
27 negara-negara Uni Eropa yang dikeluarkan oleh European Commission pada 4
Juli 2007 (EC No.787/2007). Ketentuan sepihak tersebut dikeluarkan oleh Uni
Eropa dengan alasan bahwa terdapat bukti kurang terpenuhinya faktor
keselamatan yang dikeluarkan oleh regulator, kemampuan dan keinginan dari
pengangkut untuk mengambil langkah-langkah yang serius untuk menanggulangi
minimnya standar keselamatan, kemampuan dan keinginan dari regulator untuk
menjamin bahwa pengangkut melaksanakan ketentuan tentang keselamatan
penerbangan serta penegakan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh
pengangkut, kemampuan dan keinginan regulator untuk menyelesaikan masalah
Bahwa harusnya Indonesia dan Uni Eropa sama-sama harus mematuhi
ketentuan yang diatur dalam Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO).
Uni Eropa tidak berhak melakukan tindakan unilateral yang bertentangan dengan
ketentuan ICAO. Mestinya yang memutuskan apakah suatu negara memadai atau
kurang memadai dalam memajukan keselamatan penerbangan adalah ICAO dan
bukan sekelompok negara dalam Uni Eropa. Meskipun, dalam sebuah hubungan
internasional tidak dapat dihindari sebuah kepentingan politik nasional tiap pihak,
namun dalam konteks masalah ini, harus diselesaikan melalui mekanisme hukum
internasional yang berlaku. Dalam hal ini, maka Konvensi Chicago 1944 tentang
penerbangan sipil internasional harus menjadi acuan utama.
Hal inilah yang menarik minat penulis untuk menulis dan mengetengahkan
skripsi tentang zona larangan terbang yang diterapkan pada beberapa negara. Di
lain pihak penulis merasa bahwa masih sedikit mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utarayang membahas tentang zona larangan terbang ini,
ataupun tentang Hukum Udara Internasional, khususnya Mahasiswa Bagian
Huku m Internasional.
Selain itu juga karena belum memasyarakatnya Hukum Udara
Internasional, karena Hukum Udara Internasional itu sendiri baru mulai tumbuh
dan berkembang pada tahun 1900, di mana untuk pertama kalinya dibahas oleh
Prof. Ernest Nys dari Universitas Brussel dalam laoprannya pada Institut of
International Law pada tahun 1902. Dalam laporannya tersebut, Prof. Nys
“... masalah hukum yang harus dipecahkan mengenai hal keudaraan adalah bukanlah mengenai gas-gas udaranya, tetapi ruang di mana kita dapat udara dan hukum itu pada umumnya mempersoalkan hubungan antar manusia dan hubungan yang kita teliti sekarang adalah hubungan yang terjadi di dalam satu lapisan udara di sekililing bumi, hubungan ini akan terjadi, kalau ada navigasi udara”
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis berkeinginan untuk
mengangkat sebagai judul skripsi penulis yaitu:
“IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN TERBANG
OLEH SUATU NEGARA DAN KETERKAITANNYA PADA PRINSIP
COMMON HERITAGE OF MANKIND BERDASAR PERATURAN
INTERNASIONAL (KONVENSI CHICAGO 1944)”
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Konvensi Chicago 1944 yang
ditandatangani pada tanggal 17 Desember 1944 di Chicago, Amerika Serikat.
Selain itu penulis juga mengacu kepada Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009,
tentang Penerbangan, yang merupakan ketentuan Hukum Nasional Indonesia.
Sebelum diuraikan lebih lanjut, penulis ingin menguraikan dan
mengartikan kata perkata dari judul skripsi ini sebagai berikut :
IMPLIKASI : keterlibatan atau suatu keadaan terlibat.
PENERAPAN : proses, cara, pemanfaatan, mempraktikan.
KONSEP : Rancangan, ide, pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa
konkret.
LARANGAN : perintah (aturan) yang melarang suatu perbuatan, sesuatu
yang terlarang karena kekecualian.
TERBANG : Bergerak atau melayang di udara dengan tenaga mesin
OLEH : Kata depan yang digunakan untuk menandai pelaku.
SUATU : hanya satu, satu-satunya, kebendaan
NEGARA : suatu organisasi pemerintahan yang terdiri dari Pemerintah,
rakyat dan wilayah.
DAN : penghubung satuan dua kalimat yang setara.
KETERKAITAN : suatu keadaan yang mempunyai hubungan, tidak
mandiri
PADA : kata yang dipakai untuk menunjukkan suatu posisi
PRINSIP : asas atau dasar
COMMON : bersama, sama-sama
HERITAGE : Warisan, pusaka, suatu benda atau hak yang dapat dimiliki
bersama oleh sekelompok orang, yang diuperoleh karena hal turun temurun.
OF : Dari, melalui, melewati.
MANKIND : Umat manusia
BERDASAR : beralaskan, bersendikan
PERATURAN : atura-aturan yang dibuat dan telah dibukukan atau
disahkan.
INTERNASIONAL : Antar bangsa, antar negara, hal-hal yang berkaitan
dengan hubungan antar negara atau antar bangsa.
B. RUMUSAN PERMASALAHAN
1. Bagaimana pengaturan hukum internasional terhadap ketentuan zona larangan
terbang, yang diterapkan oleh suatu negara?
2. Apakah dengan lahirnya konsep Common Heritage of Mankind pada tahun
1944, merupakan pembatasan terhadap kedaulatan suatu negara pada ruang
angkasanya?
3. Apakah implikasi dari lahirnya konsep Common Heritage of Mankind tersebut
terhadap konsep larangan terbang yang diterapkan oleh suatu negara?
C. TUJUAN PENULISAN
Penulisan skripsi ini adalah untuk melengkapi tugas akhir penulis sebagai
pemenuhan syarat-syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Tujuan utamanya adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional terhadap ketentuan
zona larangan terbang, yang diterpkan oleh suatu negara.
2. Untuk mengetahui lahirnya konsep Common Heritage of Mankind pada
tahun 1944, merupakan pembatasan terhadap kedaulatan suatu negara pada
ruang angkasanya.
3. Untuk mengetahui implikasi dari lahirnya konsep Common Heritage of
Mankind tersebut terhadap konsep larangan terbang yang diterapkan oleh
D. METODE PENULISAN
Sebagaimana lazimnya suatu karya tulis ilmiah, yang harus berdasarkan
fakta-fakta dan data-data yang objektif dari suatu analisa, disusun secara
sistematis dan rasional agar dapat dipandang sebagai suatu karya ilmiah yang
baik. Oleh sebab itu, suatu karya tulis ilmiah harus dapat diuji dangan metode
ilmiah agar kebenarannya dapat dipertanggungjawabakan.
Adapun metode penulisan yang Penulis gunakan dalam penulisan skripsi
ini, yaitu metode Deskriptif-Analitis, yaitu dimata penulis menggambarkan dan
menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut
agar diperoleh keterangan dan jawabanan yang jelas.
Dalam hal pengumpulan data bagi penuisan skripsi ini, penulis lakukan
dengan cara hanya studi kepustakaan atau library research, yaitu mengumpulkan
data yang diperlukan dengan bantuan bermacam-macam buku yang terdapat di
perpustakaan, juga melalui surat kabar dan juga internet.
Melalui metode penulisan tersebut, dengan izin Allah SWT dan atas
kesempatan yang diberikan serta dengan segena kemampuan penulis,
mudah-mudahan skripsi ini dapat diselesiakan dengan baik.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk memberikan uraian yang sebaik baiknya serta agar sistematik,
dalam skripsi ini dibagi atas lima bab dan setiap bab terbagi atas beberapa sub bab
yang pembaiannya disesuaikan dengan isi dari masing masing bab.
Pada bab ini akan diuraikan alasan pemilihan judul yang
dilanjutkan apada permsalahan, kemudian juga akan
dijelaskan maksud dari penulisan manfaat serata
sistematika penulisannya.
BAB II : KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU
ZONA LARANGAN TERBANG
Pada bab ini, terdiri atas empat sub bab, yaitu tentang
Pengertian, Kedaulatan Suatu Negara dan Sejarah.
BAB III : KEBERADAAN PRINSIP COMMON HERITAGE OF
MANKIND PADA RUANG ANGKASA
Pada bab ini, terdiri atas tiga sub bab, dan akan dibahas hal
hal menegenai Lahirnya prinsip Common Heritage of
Mankind, Prinsip-prinsinya dan pendaftaran serta
pertanggungjawaban kegiatan di angkasa.
BAB IV : IMPLIKASI PENERAPAN KONSEP LARANGAN
TERBANG OLEH SUATU NEGARA DAN
KETERKAITANNYA PADA PRINSIP COMMON
HERITAGE OF MANKIND BERDASARKAN
PERATURAN INTERNASIONAL
Pada bab ini, akan dibagi pula menjadi empat sub bab, yang
akan membahas secara mendalam Penerapan konsep zona
larangan terbang dan praktik-praktik nyatanya dalam
membatasi praktik-praktik tersebut, prinsip-prinsip yang
terkandung dalan Konvensi tersbut dan penerapan
Konvensi tersebut dalam dunia nyata.
BAB V : PENUTUP
Pada bab ini, akan disampaikan tentang kesimpulan dari
BAB II
KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN
TERBANG
A. PENGERTIAN KEDAULATAN
Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat
penting peranannya. Menurut sejarah, asal kata kedaulatan berasal dari bahasa
Inggris yang dikenal dengan istilah “souveregnity” yang kemudian berakar dari
bahasa Latin, yaitu “supranus”, yang mempunyai pengertian “yang teratas”. Tiap
negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan
merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu negara. Bila dikatak suatu negara
berdaulat, maka makna yang terkandung adalah, bahwa negara itu mempunyai
suatu kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai.1
1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala
sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayahnya. Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek, yaitu:
2. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan
dengan anggota masyarakat internasional, maupun mengatur segala
sesuatu yang ada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang
masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.2
1
E. Suherman, SH. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal 4.
2
Ruang berlakunya kedaulatan ini terbatas oleh batas batas wilayah negara
tersebut, artinya suatu negara hanya mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam
batasan wilayah negaranya saja. Adapun di luar wilayahnya, suatu negara tidak
lagi memiliki kedaulatan sedemikian. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai
kekuasaan tertinggi, mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu :
(1) kedaulatan itu terbatas pada wilayah negara yang memnpunyai kedaulatan
tersebut, dan (2) kedaulatan tersebut berakhir sampai mana pada batas wilayah
suatu negara lain dimulai. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi
eksklusif ke luar wilayah negara tersebut, yang dapat menggangu kedaulatan
wilayah negara lain.
Suatu negara hanya dapat melaksanakan secara eksklusif dan penuh hanya di
dalam wilayahnya saja.
Kedaulatan wilayah atau teritorial ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek
positif dan aspek negatif. Aspek positif yang dimaksud adalah berkaitan dengan
sifat hak eksklusif kompetensi suatu negara terhadap wilayahnya. Sedangkan
aspek negatif kedaulatan teritorial ini adalah adanya kewajiban untuk tidak
menggangu hak negara negara lain.
Huala Adolf berpendapat, kedaulatan teritorial berarti kedaulatan yang
dimilki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusifnya.3
Sedangkan JG Starke, munculnya konsep kedaulatan teritorial
menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan oleh
3
negara terhadap orang-orang dan harta benda yang mengenyampingkan
negara-negara lain.4
Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pengertian wilayah adalah : “State
territory is that definited portion of the surface of the globe which is subjected to
the souvereignity of a state”.
Hukum Internasional mengkaui kedaulatan tiap-tiap negara di dalam
wilayahnya masing-masing. Kedaulatan tertinggi yang dijalankan suatu negara
terhadap wilayahnya menunjukkan bahwa pada satu wilayah hanya ada satu
negara berdaulat dan tidak mungkin ada atau lebih negara berdaulat pada satu
wilayah yang sama.
Salah satu unsur yang terpenting dari suatu negara adalah adanya wilayah.
dalam wilayah inilah suatu negara menjalankan segala aktivitasnya. Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa tidak mungkin ada negara tanpa adanya
pemilikan atas suatu wilayah.
5
Pentingnya wilayah bagi suatu negara dapat dilihat pada kenyataan bahwa
dalam ruang lingkup wilayah itulah negara menjalankan kekuasaan tertingginya.
Wilayah suatu negara merupakan objek hukum internasional.
Dalam wilayah itulah negara menjalankan kedaulatannya, sehingga sebuah
negara tidak mungkin ada, tanpa adanya wilayah, meskipun wilayah itu mungkin
kecil dan dalam wilayah itulah negara menjalankan yurisdiksi eksklusifnya secara
penuh.
4
JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. hal 210.
5
Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu yang
terdiri atas daratan, termasuk segala yang berada di dalam tanah tersebut dan yang
terdapat di atas permukaan tanah tersebut, laut dan udara.
Persoalan yang menyangkut tentang maslah kedaulatan dari berbagai
negara atas ruang udara di atas wilayah mereka, juga menimbulkan permasalahan
tertentu, yaitu mengenai penetapan batas antara ruang angkasa dan ruang udara.
Hal ini terjadi karena sampai saat ini beum ada batas yang tegas antara ruang
angkasa dan runag angkasa.
Penetapan batas antar ruang tersebut sangat penting, karena penentuan
kedaulatan suatu negara terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya
ditentukan oleh adanya ketegasan dari batas antara kedua ruang tersebut. Selain
itu penetapan batas antara ruang udara dengan ruang angkasa tersebut juga demi
menghindari konflik antar negara negara kolong atau subjacent state.
Adapun ruang udara menurut pasal 1 angaka 2 Undang Undang Nomor 1
Tahun 2009, disebut juga wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas
wilayah daratan dan perairan Indonesia.
Sedangkan menurut pasal 1 Konvensi Chicago 1944, ruang udara adalah
merupakan suatu jalur udara di atmosfer yang berisikan cukup udara di mana
pesawat udara dapat bergerak karena reaksi udara kepadanya sehingga mendapat
gaya angkat (lift). Dalam pada pasal ini juga ditegaskan bahwa setiap negara
memiliki yurisdiksi eksklusif dan wewenang untuk mengontrol ruang udara di
tidak akan mendapat hak sama sekali untuk memasuki ruang udara atau mendarat
di wilayah tersebut tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.
Kemudian, penafsiran Prof. Peng, ruang udara merupakan ruang yang dapat
dimafaatkan atau semua ruang yang dapat dicapai manusia.6
atau atmosfer yang di dalamnya terdapat benda benda ruang angkasa seperti bulan dan benda benda langit lainnya”.
Ruang angkasa itu sendiri pengertiannya adalah :
“suatu ruang di luar ruang udara di mana tidak lagi terdapat gas gas udara
7
Mengenai ruang angkasa itu sendiri, diatur dalam Space Treaty 1967. Dari
pengertian-pengertian di atas, maka terasa tidaklah mungkin suatu negara tertentu
dapat melaksanakan hak dan kedaulatannya di luar daripada batas-batas gaya tarik
bumi, yang diperkirakan berada pada jarak sekitar 260.000 kilometer dari
permukaan laut, diukur secara tegak lurus.8
“adalah menjadi hak dan kewajiban suatu negara untuk melindungi dirinya dan perlindungan tersebut dipandang perlu dan wajar kalau negara tersebut mempunyai hak-hak untuk mengawasi bagian dari wilayahnya”.
Adapun pendapat ini bersumber
kepada suatu doktrik klasik yang menyatakan bahwa :
9
Penguasaan ruang udara sejak dahulu telah merupakan suatu masalah yang
selalu dipersoalkan. Sebuah dalil hukum Romawi mengatakan “cujus est solum,
ejus est usque coelum”, yang artinya barang siapa yang memiliki sebidang tanah, B. KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS RUANG UDARA
WILAYAHNYA
Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972, hal 14
9
dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan
tanah sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut.10
Tetapi masalah hak milik tersebut sekarang sudah tidak berlaku mutlak lagi,
karena sudah dibatasi dengan oleh peraturan negara yang khusus demi
kepentingan-kepentingan umum.
Pengaruh dari asas tersebut menular pada teori-teori kedaulatan yang berkembang
sesudahnya, dan sekarang menjadi prinsip yang kuat dan universal. Dari asas ini
terlihat bahwa sejak dahulu negara telah mengakui dan melindungi adanya
hak-hak dari pemilik penduduk negara . Hak-hak-hak tersebut juga berlaku bagi ruang
udara yang berada di atasnya tanpa abats apapun dan pendirian ini telah dianut di
negara-negara lain seperti, bahkan Indonesia seperti yang tercantum dala pasal
571 KUHPerdata yang berbunyi :
“Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepentingan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah ...”.
11
Perkembangan dan prinsip-prinsip tersebut di atas dapat diteliti melalui
doktrin mengenai lautan yang telah dikembangkan oleh seorang ahli hukum
internasional, Yaitu Grotius. Pada tahun 1609, ia menulis buku “Mare Liberum”
yang menyatakan bahwa laut tersebut terbuka dan dapat dilayari oleh siapapun
serta tidak menjadi milik siapapun.12
Hal ini ditulis Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda untuk
melayari lautan. Sedangkan alasan yang diajukannya adalah karena lautan itu
10
Prof. Priyatna Abdulrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972 hal 49.
11
UU Pokok Agaria (UU No 5 Tahun 1960), UU Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967) 12
sendiri merupakan benda milik bersama , disebabkan oleh kondisi laut itu sendiri,
akan tetapi pendapat tersebut mendapat bantahan dari John Shelden, seorang
Inggris, yang menyatakan laut adalah tertutup.
Menurut pendapat Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, teori yang
dikembangkan oleh John Shelden tersebut dimaksudkan untuk membenarkan
politik Inggris pada waktu iti mengenai lautan. Ia mengemukakan bahwa lautan
tersebut dapat menjadi milik suatu negara, pendapat di mana yang jelas
menentang pendapat Grotius yang menganut ajaran kebebasan lautan.
Dengan timulnya permasalahn penerbangan pada era abad 19 atau awal
abad 20, soal bebas tidaknya seperti diuraikan telah menjelma menjad soal bebas
atau tidaknya angkasa yang berkisar pada masalah apakah angkasa terutama ruang
udara itu ada di bawah kedaulatan suatu negara atau tidak.
Paul Fauchille, seorang berkebangsaan Prancis, mengusahakan
menerapkan doktrin Grotius tersebut ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di
ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas.
Sudahlah pasti tindakan mempersamakan lautan dengan ruang udara
tersebut tidak benar. Dalam hal ini seorang sarjana Inggris berpendapat bahwa :
“.... udara itu bukan lautan dan kapal layar bukan kapal udara. Sedangkan kondisi lautan dan udara tersebut sangat berlainan pula. Hubungan antara lautan dengan udara tersebut berlainan sama sekali dengan hubungan lautan dengan daratan, lautan bukan merupakan merupakan syarat adanya suatu negara, berbeda halnya dengan udara yang merupakan syarat mutlak bagi kehidupan di dunia”.13
13
Oleh karena itu, pendirian Hazeltine tersebut di atas mendapat dukungan dadri
para sarjana Inggris lainnya seperti Westlake dan Lycklama, yang mengatakan
pula, bahwasanya ruang udara itu tidak bebas. Pendapat tersebutmendapat
dukungan dari kebanyakan ahli hukum waktu itu. Pada kenyataannya pendirian
merekalah yang sampai saat ini dianut oleh dunia internasional.
Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini pada waktu itu mendapat dua
kelompok besar, yaitu :
1. Mereka yang berpendapat bahwa udara karena sifatnya itu bebas. Para
penganut ini dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas,
yang terbagi atas :
a. kebebasan ruang udara tanpa batas.
b. kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong.
c. kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di
daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.
2. Mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang
udara di atas wilayah negaranya. Terbagi atas :
a. negara kolong yang berdaulat penuh hanya terhadap ketinggian tertentu di
ruang angkasa.
b. negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh lintas damai bagi
navigasi pesawat udara asing.
Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas
perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah dikemukakan di
atas, terdapat sejumlah teori yang beragam.
Akan tetapi karena pecahnya perang dunia pertama pada tahun 1914, karena
alasan darurat dan praktis, dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh
semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak
terbatas.
Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara negara yang
sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara – negara netral. Teori tersebut
dnyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara,
di mana ara peserta perjanjian mengakui bahwa setiap neagara memiliki
kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya dan
perairan teritorialnya. Tapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih
bisa dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi pesawat – pesawat asing.
Konvensi Paris menurut ketentuan-ketentuan rinci bagi pengaturan
internasional navigasi udara, sebagian bertujuan menetapkan keseragaman. Bagi
pesawat udara yang tidak melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara
berjadwal, dengan pengecualian bahwa pesawat-pesawat tersebut dimiliki oleh
negara-negara peserta Konvensi, harus mendapat kebebasan lintas damai melalui
ruang udara di atas wilayah negara peserta lain, tunduk pada penataan
Pada umumnya, sebelum perang dunia kedua, hak-hak mendarat bagi
pesawat udara asing tetap berada di dalam lingkup kebijaksanaan negara yang
bersangkutan.
Konsep kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum
dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, telah secara rinci dicantumkan pula pada
Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi sebagai berikut :
“The Contracting State, recognize that every, state has complete and exclusive souvereignity in the airspace above its territory”.
Jadi, hal pokok pada konvensi-konvensi tersebut adalah adanya ketegasan bahwa
negara-negara anggota mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan
yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang di atas wilayahnya.
Oleh sebab itu, walaupun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut,
namun khusus dalam masalah kedaulatan negara di ruang udara, negara-negara
telah bersepakat bahwa hal demikian tidak menjadi alasan untuk tidak mengakui
kedaulatannya di wilayah ruang uadaranya, karena memang masalah kedaulatan
negara di ruang angkasa dipertegas dalam konvensi internasional, sehingga
mengenai prinsip kedaulatan ini tidak mengalami kendala apa-apa.14
Mengingat bahwa konvensi internasional selalu menjadi bahan bagi
perundang-undangan nasional, demikian juga dengan konvensi-konvensi
penerbangan internasional yang kemudian diadopsi ke dalam
perundang-undangan nasional. Untuk pertama kalinya mengenai penerbangan ini diatur pada
Undang Undang Nomor 83 tahun 1958. Namun demikian pada Undang Undang
14
tersebut tidak ada diatur mengenai kedaulatan negara Indonesia terhadap ruang
udara, kecuali dikatakan bahwa :
“Dilarang melakukan penerbangan selainya dengan pesawat udara yang mempunyai kebangsaan Indonesia, atau dengan pesawat udara asing berdasarkan perjanjian internasional atau berdasarkan persetujuan pemerintah”.
Namun demikian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1960 dapat
dijadikan sebagai pegangan yang dalam penjelasan undang undang tersebut
dikatakn bahwa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan teritorial
menjadi hak kedaulatan Indonesia.
Setelah dikeluarkan Undang Undang penerbangan yang baru, yaitu
Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, dengan jelas dikatakan dalam pasal 5
bahwa :
“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”.
Selanjutnya dalam pasal 6 dikatakan pula :
“Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepantingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya serta lingkungan udara”.
Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, maka
Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992, dinyatakan tidak berlaku lagi dan
digantikan dengan yang baru berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Dengan demikian mengenai konsep kedaulatan negara di ruang uadar tersebut
sudah diatur dalam perundang-undangan Indonesia dan menyatakan bahwa
demikian ruang udara tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai suatu
kesatuan politik, yang berbentuk tiga dimensi.15
15
Ibid. Hl 158
C. PENGERTIAN DAN BATAS-BATAS TERAPAN ZONA LARANGAN
TERBANG
Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah penetapan zona
larangan terbang merupakan upaya negara-negara untuk mempertahankan
kedaulatannya di ruang uadara. Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama,
sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan, negara-negara di dunia ini
berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang mendorong mereka untuk
menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman selama Perang Dunia Pertama
tersebut telah membuktikan kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong
terhadap ruang udara nasional di atas teritorial negaranya perlu ditegaskan.
Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional sesuatu negara perlu
dipertimbangkan dan diregaskan. Di sisi lain perlu diperketat sistem pengamanan
dan pengawasan kawasan udara. Padahal dari sudut pandang lain, negara-negara
menyadari pula bahwa teknologi serta alat transportasi baru yang memanfaatkan
ruang udara sebagai sarana lalu lintasnya, sesungguhnya bersifat internasional dan
mempinyai karakteristik khusus. Berbeda dengan alat pengangkut lain di darat
dan di laut, maka pengankutan melalui udara ini bersifat lintas batas geografis, di
mana kemampuan melewati dan menembus batas-batas wilayah udara nasional
Pada dasarnya wilayah udara sesuatu negara adalah tertutup bagi aktivitas
penerbangan negara lain. Oleh karena itu setiap penerbangan yang melintasi
wilayah udara suatu negara oleh negara pesawat asing negara lain tanpa izin
negara kolong, merupakan pelanggaran wilayah udara. Begitu lepas landas,
pesawat terbang akan mempunyai kemampuan dan kecepatan dan kebebasan yang
sangat luas, sehingga alat transportasi yang ditemukan oleh Wright bersaudara
pada awal abad kedua puluh tersebut mempunyai potensi penggunaan secara
militer yang sangat luar biasa. Merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah
bahwa ruang udara sebagai sarana lalu lintas pesawat terbang merupakan pula
media yang berpotensi untuk melancarkan serangan udara oleh pesawat musuh
negara kolong.
Dengan demikian, sejalan dengan prinsip bahwa wilayah udara nasional
sesuatu negara tertutup bagi penerbangan asing, maka setiap warga negara yang
memiliki kemampuan serta kekuasaan udara kemudian menetapkan bagian-bagian
wilayah udaranya yang tertentu dan khusus yang berdasarkan pertimbangan
kemamanan dan pertahanan perlu dilindungi. Pada bagian wilayah udara tertentu
tersebutlah yang dinamakan Zona udara terlaran atau Zona larangan terbang, di
mana dinyatakan secara tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi penerbangan
asing. Kesadaran untuk menetapkan bahwa sesuatu negara kolong mempunyai
kedaulatan yang penuh terhadap ruang udara di atasnya, adalah sebagai akibat
pesatnya kemajuan perkembangan teknologi transportasi udara. Kesadaran
negara-negara telah mendahului suatu kaidah hukum internasional yang baru
Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara-negara maju untuk
melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas-batas
yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip
Hukum Udara Internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip
yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada
navigasi udara.
Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919 yang kemudian
diperbaiki dengan Protokol Paris 1929. Pada pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur
mengenai bentuk zona larangan terbang, yaitu terdiri dari dua bentuk :
1) Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan pertahanan dan
keamanan atau militer. Zona dengan bentuk semacam ini bersifat permanen,
kecuali jika ada perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan dan
keamanan dari negara yang bersangkutan.
2) Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau sebagian udara
nasional negara kolong tertutup sama sekali bagi pesawat asing, karena
keadaan darurat. Zona dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan
dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali.
Dari kedua bentuk zona larangan terbang yang diatur di dalam Pasal 3 Konvensi
Paris 1919 tersebut, pembentukan zona larangan terbang harus memenuhi
persyaratan secara internasional.
Persyaratan untuk zona larangan terbang bentuk 1) adalah bahwa larangan
terhadap pesawat sipil asing juga berlaku bagi pesawat negara awak. Pada syarat
ditetakan bersifat permanen dan bertujuan untuk melindungi pertahanan dan
keamanan negara yang bersangkutan. Persyaratan lain dari zona bentuk pertama
ini adalah bahwa pengumuman mengenai penetapan zona harus dilakukan lebih
dahulu untuk diketahui oleh negara-negara yang berkepentingan. Hal ini juga
termasuk ketetapan mengenai luas dan letak zona larangan tersebut.
Persyaratan untuk zona larangan terbang bentu 2) yang menetapkan
penutupan seluruh atau sebagian wilayah negara kolong, disyaratkan bahwa
penutupan harus berlaku dengan setara dan benar-benar bersifat sementara dan
berlaku untuk semua pesawat asing dengan prinsip tidak ada perbedaan.
Penetapan syarat pada zona bentuk kedua ini juga diwajibkan untuk
memberitahukan kepada semua negara peserta atau anggota Konvensi atau
Komisi Internasional untuk Navigasi Udara.
Ketentuan mengenai kedua persyaratan itu yang mewajibkan seluruh
pesawat sipil asing maupun pesawat sipil nasional negara awak dilarang melintasi
zona larangan terbang yang telah ditetapkan, dirubah menjadi ketentuan bahwa
pesawat sipil nasional negara kolong diizinkan terbang di zona larangan tersebut.
Hal ini diatur dalam Protokol Paris 1929 sebagai perbaikan dari Konvensi Paris
1919. Pada pasal 4 Konvensi Paris 1919 ini mewajibkan agar setiap pesawat yang
menyadari telah melanggar zona larangan terbang yang telah ditetapkan, harus
segera memberitahukan kepada pangkalan udara negara kolong bahwa ia berada
dalam kesulitan dan terpaksa harus mendarat di lapangan terdekat di luar zona
Seiring dengan kemajuan teknologi penerbangan dan semakin banyaknya
negara-negara maju yang menyatakan kawasan ruang udaranya sebagai zona
udara terlarang, maka peraturan yang ditetapkan melalui Konvensi Paris 1919 dan
Protokol Paris 1929 tidaklah dapat menampung semua kondisi di atas. Maka
Konvensi Paris 1919 dan Protokol Paris 1929 yang mempunyai kekuatan hukum
sebagai kaidah Hukum Internasional digantikan oleh Konvensi Chicago 1944,
yaitu Konvensi mengenai Penerbangan sipil internasional. Kenyataan ini ditandai
sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan
internasional sekitar Perang Dunia Kedua baik penerbangan sipil maupun
penerbangan militer. Meskipun beberapa prinsip telah tetap berlaku tetapi bnayak
terdapat perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara, yang baru sesuai dengan
tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir Perang Dunia Kedua.
Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yang mnegatur tentang area terlarang,
merupakan modifikasi dari Protokol Paris 1929. Prinsip tidak ada perbedaan pada
Konvensi Chicago 1944 diteguhkan kembali dan ada keistimewaan bagi pesawat
terbang sipil negara awak yang diterima pada Protokol Paris 1929 kini ditegakkan
kembali. Jadi, Konvensi Chicago kembali mutlak menetapkan bahwa tidak ada
perbedaan lagi pesawat mana yang boleh memasuki kawasan zona larangan
terbang.
Pada perkembangan selanjutnya mengenai penetapan zona larangan
terbang yang diatur dalam Konvensi Chicago adalah bahwa justeru negara
awaklah yang memerintahkan kepada pesawat yang melanggar zona untuk
Konvensi Paris 1919 di mana ditentukan bahwa pesawat yang melanggar zona
larangan diwajibkan untuk segera mendarat di lapangan udara terdekat di luar
zona, setelah pelaku pelanggaran zona melapor kepada pejabat penerbangan
negara kolong. Ketentuan yang menetapkan bahwa negara awak yang
memerintahkan pelaku pelanggaran zona larangan untuk mendarat dan diperiksa,
sangat memungkinkan mengingat kondisi semacam ini sebagai akibat dari
perkembangan teknologi penerbangan, termasuk peralatan pendeteksi yang
dimiliki negara yang menetapkan zona laragan terbang tersebut.
D. SEJARAH MUNCULNYA PENERAPAN ZONA LARANGAN
TERBANG
Pada awal kelahiran dunia penerbangan, pesawat udara dipakai sebagai
alat transportasi yang melintasi batas kedaulatan suatu negara terhadap negara lain
tanpa memperhatikan hak-hak negara di bawahnya., sehingga menimbulkan
masalah kedaulatan negara. Hal ini secara resmi dibahas dalam Konferensi Paris
1910. Konferensi yang semula bermaksud meletakkan dasar-dasar pengaturan
navigasi penerbangan dan operasi penerbangan internasional tersebut gagal
mencapai tujuannya mengesahkan konvensi internsional karena terpukau pada
masalah kedaulatan negara di wilayah uadara di atasnya serta hak-hak negara
kolong.
Kegagalan konferensi tersebut memaksa Inggris secara sepihak
mempunyai kedaulatan secara penuh dan utuh (complete and exclusive
Act of 1911 untuk melindungi keamanan dan pertahanan nasional yang terancam
karena adanya penerbangan pesawat udara asing.
Berdasarkan Aerial Navigation Act tersebut, pemerintah Inggris
menetapkan zona udara terlarang dan penerbangan di zona tersebut merupakan
pelanggaran yang dapat diancema dengan hukuam. Dua tahun kemudian, yaitu
pada tahun 1913, pemerintah Inggris memberi wewenang kepada Menteri Dalam
Negeri untuk menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keamanan
dan pertahanan, serta keselamatan umum untuk menembak pesawat udara yang
melintasi zona udara terlarang tersebut.
Tindakan sepihak oleh Inggris tersebut tidak ditentang oleh negara-negara
Eropa lainnya, bahkan sebaliknya diikuti oleh negara-negara Eropa seperti
Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan negara-negara lain sehingga
tindakan tersebut dibenarkan oleh huku kebiasaan internasional. Masing-masing
negara mengumumkan bahwa negaranya berdaulat penuh dan utuh di ruang udara
di atas wilayahnya dan menetapkan zona udara terlarang, karena banyaknya zona
udara terlarang yang ditetapkan di berbagai negara Eropa, mengakibatkan
penerbangan internsional hanya dapat dilakukanh pada jalur-jalur udara tertentu
yang menghubungkan tempat-tempat tertentu setelah memperoleh izin.
Setelah perang dunia pertama berakhir, dunia penerbangan mengahdapi
kenyataan banyaknya ahli penerbangan baik personil darat maupun personil udara
serta pesawat udara dan pemuda yang biasanya berperang terpaksa menganggur,
memaksa untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, tetapi di lain pihak masalah
Untuk maksud tersebut, telah disahkan Konvensi Paris 1919 yang brjudul
“Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation”. Konvensi tersebut
pada prinsipnya mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan internsional,
kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelaikan udara, dan sertifikat kecakapan, izin
navigasi penerbangan di atas wilayah negara lain, persyaratan penerbangan
internsional, larangan mengangkut barang-barang berbahaya, zona uadara
terlarang, dan kondisi navigasi penerbangan internasional.
Sepanjang manyangkut kedaulatan di wilayah udara di atasnya, Konvensi
Paris 1919 yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 tersebut hanya
menyatakan hukum kebiasaan internasional yang telah dibentuk sejak Inggris
melakukan tindakan sepihak tahun 1911. Hal ini tercantum dalam Pasal 1
Konvensi Paris 1919 yang berbunyi : “The High Cntracting Parties recognize
that every Power has complete and exclusive souvereignity over the air space
above its territory”. Sedangkan sebagai konsekuensi dari kedaulatan di udara
sebgaimana diatur dalam Pasal 1 konvensi tersebut memberikan kekuasaan negara
berdaulat untuk menetapkan zona udara terlarang atas pertimbangan militer atau
keamanan umum. Namun demikina, larangan tersebut harusdiumumkan dan
diberitahukan sebelumnya kepada kepada negara anggota maupun Komisi
Navigasi Penerbangan Internasional. Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut
dalam bentuk NOTAM (Notice to Airman) kelas 1. Berdasarkan pasal tersebut,
semua pesawat udara sipil nasional maupun pesawatudara sipil asing dilarang
terbang di atas zona udara terlarang tersebut sesuai dengan asas The Most
Di dalam perkembangannya, pasal 3 dirubah dengan protokol yang
ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi
kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengijinkan pesawat udara sipil
nasional terbang di atas zona udara terlarang dalam hal sangat penting. Demikian
pula dikatakan dalam hal masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan
zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua negara tersebut berhak untuk
menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua bentuk
penerbangan dilarang di atas zona tersebut. Bilaman hal ini dilakukan juga, maka
harus meberitahukan segera anggota lainnya serta Komisi Navigasi Penerbangan
Internasional.
Menurut pasal 4 Konvensi yang sama, dalam hal terdapat pesawat udara
sipil asing yang berada pada zona uadara terlarang, begitu sadar posisinya berada
pada zona terlarang, hendaklah segera mengirim tanda bahaya sebagaimana diatur
dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat di luar
zona terlarang tempat pesawat udara tersebut terbang. Memang Konvensi Paris
1919 lebih mempertimbangkan segi pertahanan dan keamanan nasional daripada
pertimbangan kesejahteraan nasional. Di dalam pasal 26 ditegaskan kembali
bahwa tidak ada pesawat udara sipil asing boleh melakukan penerbangan dengan
membawa senjata api atau bahan peledak serta peralatan foto yang akan
membahayakan pertahanan dan keamanan.
Dasar pertimbangan Konvensi Chicago 1944 yang merupakan produk
pengaturan penerbangan sipil internasional setelah perang dunia kedua, berbeda
1944, angkutan udara internasional dapat menciptakan persaudaraan dam
mempererat persahabatn yang penuh pengertian antar bangsa, memperpendek
jarak sehingga mempermudah saling berkunjung antar bangsa yang dapat
memelihara perdamaian dunia serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia,
oleh karena itu perlu adanya koordinasi internasional untuk meletakkan
dasar-dasar pengaturan penerbangan internasional guna menjamin angkutan udara
secara selamat, lancar, tertib, aman dan nyaman serta memberi kesempatan yang
sama bagi seluruh anggotanya untuk menyelenggarakan angkutan udara
internasional.
Dari mukaddimah konvensi tersebut ternyata bahwa maksud tujuan utama
bukan terletak pada keamanan nasional sebaimana Konvensi Paris 1919,
melainkan lebih menekankan pada kemakmuran bersama antar bangsa. Walapun
dalam kenyataannya konvensi ini tidak berhasil mempertukarkan hak-hak
penerbangan secara multilateral yamng mempunyai nilai komersial. Hal ini
terbukti dari ketentuan pasal 5 dan pasal 6 yang keduanya mengatur tentang
penerbangan komersial. Kecuali masalah ekonomi yang belum pernah diatur
dalam Konvensi Paris 1919. Konvensi Chicago 1944 berisikan penegakan
kembali prinsi-prinsip dasar yang telah disetujui oleh Konvensi Paris 1919.
Konvensi tersebut mengatur navigasi penerbangan yang meliputi prinsip-prinsip
dasar seperti penerbangan di wilayah lain, ketentuan mengenai navigasi
penerbangan internasional, wilayah udara penerbangan, penerbangan tanpa awak
pesawat udara, penerbangan di atas laut lepas, izin penerbangan, pungutan biaya
penerbangan, dokumen penerbangan internasional, sertifikat pendaftaran pesawat
terbang, sertifikat kecakapan.
Walaupun penekanan pada segi ekonomi cukup besar, Konvensi Chicago
1944 tetap mempertahankan prinsip kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam
Konvensi Paris 1919, karena semua pengaturan bersumber pada kedaulatan.
Sepanjuang menyangkut zona udara terlarang diatur dalam pasal 9. Menurut pasal
9, dikatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona udara terlarang bagi
pesawat sipil asing baik untuk penerbangan internasional berjadwal, maupun tidak
berjadwal.Larangan terbang di atas zona terlarang tersebut berlaku pula bagi
pesawat udara sipil nasional. Perluasan dan perubahan zona udara terlarang baik
seluruh maupun sebagian wilayah harus segera diberitahukan kepada ICAO
beserta anggotanya.
Penentuan batas zona udara terlarang tersebut harus wajar tanpa
mengganggu kelancaran serta mengakibatkan keterlambatan penerbangan
komersial. Dalam hal pesawat udara sadar tersasar dalam zona udara larangan
terbang, maka ia harus segera memberi tanda bahaya dan mendarat di bandar
udara terdekat, di luar daripada zona terlarang tersebut. Sedangkan bilaman
pesawat tidak menyadari posisinya yang sedang berada pada zona udara terlarang
tersebut, maka pesawat tersebut akan di “intercept”oleh peswat udara militer.
Secara teknis, tata cara “intercept” telah diatur dalam Annex 2 Konvensi Chicago
1944 tentang “Rules of The Air”. Dalam hal ini pesawat udara sipil yang di
Jalur udara yang berlaku di atas laut, diatur dalam pasal 53 United Nation
Convention on the Law of Sea (UNCLOS). Berdasarkan pasal tersebut, tidak
dijelaskan apakah jalur tersebut berlaku pula untuk pesawat udara sipil ataupun
pesawat udara militer. Walaupun demikian, dengan mengingat jalur-jalur
penerbangan sipil telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dapat ditafsirkan
bahwa jalur udara yang diatur dalam UNCLOS hanya dimaksudkan untuk
pesawat udara milik pemerintah. Jalur udara di atas selat yang yang dipergunakan
untuk pelayanan internasional, ditentukan 25 mil laut ke kanan dan ke kiri
dihitung dari sumbu. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran yang terbang di luar
jalur yang telah ditetapkan, dapat dipaksa untuk mendarat dan mengirim nota
protes melalui saluran diplomatik.
Menurut pasal 9 Konvensi Chicago 1944, setiap negara berhak
menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keselamatan umum.
Alasan keselamatan misalnya karena bencana alam yang membahayakan
keselamatan penerbangan seperti gunung meletus. Dalam hal terjadi bencana
alam, setiap negara berhak dan wajib melarang semua pesawat udara yang
melakukan penerbangan pada jalur tersebut.
Konvensi Chicago 1944 yang menggantikan Konvensi Paris 1919,
kekuatan hukumnya adalah sebagai kaidah Hukum Internasional. Kenyataan ini
ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan
internasional sebelum dan sesudah perang dunia kedua, baik penerbangan sipil
perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara yang baru sesuai dengan tuntutan
dunia penerbangan internasional di akhir perang dunia kedua.
Ada tiga perkembangan sikap negara-negara di dunia yang penting pada
era paska perang dunia kedua yang berkaitan dengan dunia penerbangan
internsional.
Pertama, kesadaran akan doktrin kekuatan udara sebagai bagian dari
kekuatan nasional. Kuat lemahnya negara ditentukan abtara lain oleh tingkat
kekuatan negara di wilayah uafaranya. Ini berarti kemampuan dana dan teknologi
negara kolong tersebut untuk memanfaatkan kawasan udara di atasnya. Kekuatan
udara (air power) suatu negara adalah kemampuan suatu negara untuk
memanfaatkan dan bertindak tegas dengan menggunakan media udara. Pada masa
damai, kemampuan itu terwujud dalam bentuk kegiatan penerbangan/angkutan
sipil, sedangkan pada masa perang, kemampuan tersebut terbentuk pada armada
pesawat-pesawat tempur dan pengangkut senjata/bom untuk aksi serangan dan
gempuran udara.
Kedua, berdasarkan doktrin kekuatan udara serupa itu, maka
negara-negara sekarang memandang penyelenggaraan penerbangan udara sipil
merupakan hal yang sangat penting untuk kepentingan negara. Penerbangan sipil
ini mengarah kepada kegiatan penumpukan kegiatan ekonomi yang berarti
penumpukan kekuatan nasional negara yang bersangkutan.
Ketiga, mengingat cita-cita setiap negara untuk dapat menyelenggarakan
usaha penerbangan sipil internsional yang mantap telah mendorong mereka untuk
membina kerjasama internsional ini pun menentuka sifat dan penetapan konsep
BAB III
KEBERADAAN PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND PADA
RUANG UDARA /ANGKASA
A. LAHIRNYA PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND
Sebelum Perang Dunia Pertama (1914-1918), satu satunya hak yang telah
dimuat dalam perjanjian secara universal adalah bahwa ruang udara di atas laut
lepas dan di atas wilayah yang tidak bertuan sama sekali bebas dan terbuka.
Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan
yang tunduk pada kedaulatan negara, terdapat sejumlah teori yang beragam seperti
yang telah tersebut di atas, tetapi karena pecahnya Perang Dunia Pertama pada
tahun 1914, karena alasan darurat, dianggap bahwa satu-sartunya teori yang
diterima oleh semua negara adalah Teori Kedaulatan Negara Kolong atas Ruang
udara adalah Tidak Terbatas, yaitu usque ad coelum. Teori ini dipakai dan
dikukuhkan tidak hanya oleh pihak-pihak yang berperang, tetapi juga oleh
negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 untuk
Pengaturan Navigasi udara, di mana peserta-peserta perjanjian mengakui bahwa
setiap negara memiliki kedaulatan lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas
wilayahnya dan perairan teritorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep
kedaulatan tersebut masih dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi
Konferensi Chicago merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian Prancis
1919 dan juga dilanjutkan lagi dengan Konferensi Komisis Internasional
mengenai Navigasi di Ruang Udara di Paris tahun 1929.
Tujuan dari Konferensi yang dihadiri oleh lebih dari 40 negara ini adalah untuk
membentuk persetujuan-persetujuan yang berskala dunia yang mengatrur hak-hak
trafik udara komersial serta masalah-masalah teknis dan navigasional yang
berkaitan penerbangan internasional.
Dasar bagi kedaulatan negara di ruang udara menurut Konvensi ini dapat
kita lihat dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi :
“The Contracting States recognizethat every State has complete and
exclusive sovereignity in the airspace above its territory”.
Hal pokok dalam Konvensi Chicago ini adalah adanya ketegasan bahwa
negara-negara anggota mengakui baha setiap negara memiliki kedaulatan yang
lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang diatasnya.
Oleh sebab itu, walaupun tidak semua negara ikut menjadi anggota
Konvensi Chicago tetapi khusus mengenai masalah kedaulatan negara di ruang
udara, negara-negara telah sepakat bahwa keadaan ini telah merupakan suatu
ketentuan hukum kebiasaan internasional yang telah dipertegas dalam konvensi
ini sehingga mengenai prinsip konsep kedaulatan negara atas ruang udara tidak
terdapat kesulitan.16
Hal penting lainnya mengenai kewajiban-kewajiban yang ditetapkan
menurut Konvensi Chicago secara umum adalah negara-negara kolong
16
memberikan perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif berkenaan dengan
negara-negara lain yang menggunakan ruang udaranya.
Permasalahan yang ditimbulkan dari Konvensi Chicago adalah tidak
adanya ketegasan yang dicantumkan tentang apa yang dimaksud dengan istilah
“airspace” seperti yang tercantum dalam pasal 1. Hal ini menimbulkan banyak
penafsiran yang berlainan dengan kebutuhan masing-masing pihak yang
berkepentingan. yang mana akibatnya adalah beberapa kali hampir
menjerumuskan negara-negara ke dalam peperangan yang akibatnya dapat
menghancurkan negara-negara yang lain yang tidak bersalah mengingat
senjata-senjata di dalam abad ruang udara dan ruang angkasa sekarang begitu besar daya
rusaknya.
Ruang angkasa dikatakan sebagai “warisan bersama umat manusia” atau
common heritage of mankind begitu juga dengan GSO, karena GSO merupakan
bagian dari ruang angkasa. Sebagai wilayah yang dilindungi oleh prinsip common
heritage of mankind, maka bebas untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh negara
mana saja, tanpa pembedaan dan asal tidak bertentangan dengan aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Hukum Internasional. Namun adanya kebebasan dalam
hal eksplorasi dan eksploitasi itu bukan berarti wilayah daripada ruang angkasa
tersebut dapat dijadikan obyek kepemilikan.
Awal mula dirasa pentingnya pengaturan Hukum Angkasa adalah setelah
berhasilnya diluncurkan Sputnik milik Uni Sovyet pada 4 Oktober 1957 yang
mengorbit menegelilingi bumi dianggap sebagai suatu tonggak sejarah bagi
manusia untuk melakukan aktivitas yang berkenaan dengan ruang angkasa. Hal
ini terbukti dengan diikuti misi Amerika Serikat dengfan peluncuran Apollo dan
Challenger-nya. Tidak ketinggalan pula negara-negara lain ikut serta, walaupun
tidak sempat meluncurkan pesawat ruang angkasa namun telah pula mengorbitkan
berbagai jenis satelit.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
keruangangkasaan khususnya, telah m,enggerakkan Perserikatan Bangsa Bangsa
untuk merumuskan serangkaian pernyataan dalam rangka usaha-usaha setiap
negara untuk memanfaatkan ruang angkasa.
Uasaha-usaha yang telah dilakukan oleh PBB untuk pengaturan segala
jenis akrivitas manusia di ruang angkasa adalah untuk menghindarkan ruang
angkasa itu dari tujuan-tujuan yang tidak damai, yang tidak sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa. Juga menghindarkan adanya klaim kepemilikan
suatu negara tas bagian-bagian daripada ruang angkasa. Untuk itulah PBB telah
menagadakan usaha-usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang angkasa.
Usaha-usaha tersebut adalah :
1. Diterimanya Resolusi Majelis Umum PBB No. 1348 (XIII) “Question of
the Peaceful Uses of Outer Space” pada tanggal 13 Desember 1958.
Resolusi ini merupakan suatu landasan bagi dibentuknya suatu Komite Ad
Hoc yang ditugaskan untuk meneliti segala sesuatunya yang berkaitan
2. Resolusi yang berikutnya iaslah Resolusi Majelis Umum PBB No 1472
(XIV) “International Co-operation in the Peaceful Uses of Outer Space”
pada tanggal 12 Desember 1959.
3. Resolusi yang juga dianggap penting ialah Resolusi Majelis Umum PBB
No 1721 (XVI) “International Co-operating in the Peaceful Uses of Outer
Space” pada tanggal 20 Desember 1961
4. Resolusi No 1802 (XVII
5. Resolusi Majelis Umum PBB No. 1962 (XVII) “Declaration of Legal
Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses
of Outer Space”. Di dalam resolusi yang terakhir ini dicantumkan delapan
prinsip yang kemudian merupakan isi pasal-pasal pokok untuk kelahiran
suatu traktat yang bernama Treaty on Principles Governing the Actrivities
of States in the Exploration and Uses of Outer Space, including the Moon
dan Other Celestial Bodies.
Selain itu terdapat juga suatu persetujuan yang kembali menegaskan dan
melatarbelakangi lahirnya prinsip common heritage of mankind pada ruang
angkasa yaitu apa yang dikenal sebagai Moon Treaty 1979 atau Agreement
Governing the Activities of States on Moon and Other Celestial Bodies yang
disahkan oleh Majelis Umum pada tanggal 5 Desember 1979.
Untuk itu di sini akan diuraikan traktat-traktat yang melatarbelakangi
1. Space Treaty 1967
Tujuan yang dikehendaki dari Space treaty ini ialah membebaskan ruang
angkasa untuk selama-lamanya dari bahaya perang yang tidak selalu berhasil di
bumi.
Apabila diteliti cara pembentukan Space Treaty ini, tampaknya bahwa
usaha pihak-pihak hanya terbatas pada pernyataan prinsip-prinsip umum dan
menglangi anjuran Majelis Umum PBB sehubungan dengan penggunaan runag
angkasa bagi tujuan damai, serta menegaskan kembali prinsip-prinsip yang
tercantum di dalam Resolusi PBB No. 1962 (XVII), 13 Desember 1963 dan juga
reproduksi prinsip-prinsip tertentu di dalam Antartic Treaty 1959.
Selanjutnya marilah kita teliti pasal-pasal dalam Space Treaty ini yang
berkaitan dengan prinsip common heritage of mankind.
Artcle 1
“The exploration and use of outer space, including the moon and other
celsetial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interset of
all countries, irrespective of their degree of economic or scientific
development and shall be the province of all mankind.
“Outer space, including the moon and other celestial bodies, shall be free
for exploration and use by all State without discrimination of any kind,
on a basis of equality and in accordance with international law and there
“There shall be freedom of scientific investigation in outer space
including the moon and other celestial bodies, and State shall facilitate
and encourage international co-operation in such investigatioan.”
Tampak dalam pasal 1 ini telah disusun sedikian rupa, bahwa ruang
angkasa dan benda-benda langit tunduk kepada hukum internasional dan Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa, bebas untuk eksplorasi dan pemanfaatan oleh semua
negara atas dasar kesamaan sesuai dengan Hukum Internsional, eksplorasi dan
pemanfaatan demikian harus dilakuak untuk keuntungan dan dalam kepentingan
seluruh umat manusia,. Kemudian agar dimungkinkan ikut sertanya negara-negara
sebanyak mungkin apakah itu negara dalam tingkat space powers ataupun
non-space powers.
Kebebasan untuk melakukan penyelidikan dan memakai bulan dan
benda-benda langit merupakan sebagian hak untuk secara bebas memasuki semua
wilayah benda-benda langit. Karena itu segala pengaturannya harus diberikan
penafsirannya yang seluas-luasnya. Prinsip “pintu terbuka” sebagai praktik dari
adanya jaminan kebebasan yang didasarkan atas hak sama rata, di mana harus
pula diartikan sebagai hak untuk melakukan pendaratan pesawat angkasa tanpa
atau dengan manusia, peletakan dan penempatan alat-alat yang berawak ataupun
tidak dan juga pengadaan hubungan antara manusia dan benda-benda langit.
Negara-negara tidak dibenarkan menghambat masuk secara bebas, negara lain ke
benda-benda atau menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi negara-negara lain