BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA
D. Sejarah Munculnya Penerapan Zona Larangan Terbang
TERBANG
Pada awal kelahiran dunia penerbangan, pesawat udara dipakai sebagai
alat transportasi yang melintasi batas kedaulatan suatu negara terhadap negara lain
tanpa memperhatikan hak-hak negara di bawahnya., sehingga menimbulkan
masalah kedaulatan negara. Hal ini secara resmi dibahas dalam Konferensi Paris
1910. Konferensi yang semula bermaksud meletakkan dasar-dasar pengaturan
navigasi penerbangan dan operasi penerbangan internasional tersebut gagal
mencapai tujuannya mengesahkan konvensi internsional karena terpukau pada
masalah kedaulatan negara di wilayah uadara di atasnya serta hak-hak negara
kolong.
Kegagalan konferensi tersebut memaksa Inggris secara sepihak
mempunyai kedaulatan secara penuh dan utuh (complete and exclusive
Act of 1911 untuk melindungi keamanan dan pertahanan nasional yang terancam
karena adanya penerbangan pesawat udara asing.
Berdasarkan Aerial Navigation Act tersebut, pemerintah Inggris
menetapkan zona udara terlarang dan penerbangan di zona tersebut merupakan
pelanggaran yang dapat diancema dengan hukuam. Dua tahun kemudian, yaitu
pada tahun 1913, pemerintah Inggris memberi wewenang kepada Menteri Dalam
Negeri untuk menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keamanan
dan pertahanan, serta keselamatan umum untuk menembak pesawat udara yang
melintasi zona udara terlarang tersebut.
Tindakan sepihak oleh Inggris tersebut tidak ditentang oleh negara-negara
Eropa lainnya, bahkan sebaliknya diikuti oleh negara-negara Eropa seperti
Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan negara-negara lain sehingga
tindakan tersebut dibenarkan oleh huku kebiasaan internasional. Masing-masing
negara mengumumkan bahwa negaranya berdaulat penuh dan utuh di ruang udara
di atas wilayahnya dan menetapkan zona udara terlarang, karena banyaknya zona
udara terlarang yang ditetapkan di berbagai negara Eropa, mengakibatkan
penerbangan internsional hanya dapat dilakukanh pada jalur-jalur udara tertentu
yang menghubungkan tempat-tempat tertentu setelah memperoleh izin.
Setelah perang dunia pertama berakhir, dunia penerbangan mengahdapi
kenyataan banyaknya ahli penerbangan baik personil darat maupun personil udara
serta pesawat udara dan pemuda yang biasanya berperang terpaksa menganggur,
memaksa untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, tetapi di lain pihak masalah
Untuk maksud tersebut, telah disahkan Konvensi Paris 1919 yang brjudul
“Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation”. Konvensi tersebut
pada prinsipnya mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan internsional,
kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelaikan udara, dan sertifikat kecakapan, izin
navigasi penerbangan di atas wilayah negara lain, persyaratan penerbangan
internsional, larangan mengangkut barang-barang berbahaya, zona uadara
terlarang, dan kondisi navigasi penerbangan internasional.
Sepanjang manyangkut kedaulatan di wilayah udara di atasnya, Konvensi
Paris 1919 yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 tersebut hanya
menyatakan hukum kebiasaan internasional yang telah dibentuk sejak Inggris
melakukan tindakan sepihak tahun 1911. Hal ini tercantum dalam Pasal 1
Konvensi Paris 1919 yang berbunyi : “The High Cntracting Parties recognize
that every Power has complete and exclusive souvereignity over the air space above its territory”. Sedangkan sebagai konsekuensi dari kedaulatan di udara
sebgaimana diatur dalam Pasal 1 konvensi tersebut memberikan kekuasaan negara
berdaulat untuk menetapkan zona udara terlarang atas pertimbangan militer atau
keamanan umum. Namun demikina, larangan tersebut harusdiumumkan dan
diberitahukan sebelumnya kepada kepada negara anggota maupun Komisi
Navigasi Penerbangan Internasional. Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut
dalam bentuk NOTAM (Notice to Airman) kelas 1. Berdasarkan pasal tersebut,
semua pesawat udara sipil nasional maupun pesawatudara sipil asing dilarang
terbang di atas zona udara terlarang tersebut sesuai dengan asas The Most
Di dalam perkembangannya, pasal 3 dirubah dengan protokol yang
ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi
kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengijinkan pesawat udara sipil
nasional terbang di atas zona udara terlarang dalam hal sangat penting. Demikian
pula dikatakan dalam hal masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan
zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua negara tersebut berhak untuk
menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua bentuk
penerbangan dilarang di atas zona tersebut. Bilaman hal ini dilakukan juga, maka
harus meberitahukan segera anggota lainnya serta Komisi Navigasi Penerbangan
Internasional.
Menurut pasal 4 Konvensi yang sama, dalam hal terdapat pesawat udara
sipil asing yang berada pada zona uadara terlarang, begitu sadar posisinya berada
pada zona terlarang, hendaklah segera mengirim tanda bahaya sebagaimana diatur
dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat di luar
zona terlarang tempat pesawat udara tersebut terbang. Memang Konvensi Paris
1919 lebih mempertimbangkan segi pertahanan dan keamanan nasional daripada
pertimbangan kesejahteraan nasional. Di dalam pasal 26 ditegaskan kembali
bahwa tidak ada pesawat udara sipil asing boleh melakukan penerbangan dengan
membawa senjata api atau bahan peledak serta peralatan foto yang akan
membahayakan pertahanan dan keamanan.
Dasar pertimbangan Konvensi Chicago 1944 yang merupakan produk
pengaturan penerbangan sipil internasional setelah perang dunia kedua, berbeda
1944, angkutan udara internasional dapat menciptakan persaudaraan dam
mempererat persahabatn yang penuh pengertian antar bangsa, memperpendek
jarak sehingga mempermudah saling berkunjung antar bangsa yang dapat
memelihara perdamaian dunia serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia,
oleh karena itu perlu adanya koordinasi internasional untuk meletakkan
dasar-dasar pengaturan penerbangan internasional guna menjamin angkutan udara
secara selamat, lancar, tertib, aman dan nyaman serta memberi kesempatan yang
sama bagi seluruh anggotanya untuk menyelenggarakan angkutan udara
internasional.
Dari mukaddimah konvensi tersebut ternyata bahwa maksud tujuan utama
bukan terletak pada keamanan nasional sebaimana Konvensi Paris 1919,
melainkan lebih menekankan pada kemakmuran bersama antar bangsa. Walapun
dalam kenyataannya konvensi ini tidak berhasil mempertukarkan hak-hak
penerbangan secara multilateral yamng mempunyai nilai komersial. Hal ini
terbukti dari ketentuan pasal 5 dan pasal 6 yang keduanya mengatur tentang
penerbangan komersial. Kecuali masalah ekonomi yang belum pernah diatur
dalam Konvensi Paris 1919. Konvensi Chicago 1944 berisikan penegakan
kembali prinsi-prinsip dasar yang telah disetujui oleh Konvensi Paris 1919.
Konvensi tersebut mengatur navigasi penerbangan yang meliputi prinsip-prinsip
dasar seperti penerbangan di wilayah lain, ketentuan mengenai navigasi
penerbangan internasional, wilayah udara penerbangan, penerbangan tanpa awak
pesawat udara, penerbangan di atas laut lepas, izin penerbangan, pungutan biaya
penerbangan, dokumen penerbangan internasional, sertifikat pendaftaran pesawat
terbang, sertifikat kecakapan.
Walaupun penekanan pada segi ekonomi cukup besar, Konvensi Chicago
1944 tetap mempertahankan prinsip kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam
Konvensi Paris 1919, karena semua pengaturan bersumber pada kedaulatan.
Sepanjuang menyangkut zona udara terlarang diatur dalam pasal 9. Menurut pasal
9, dikatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona udara terlarang bagi
pesawat sipil asing baik untuk penerbangan internasional berjadwal, maupun tidak
berjadwal.Larangan terbang di atas zona terlarang tersebut berlaku pula bagi
pesawat udara sipil nasional. Perluasan dan perubahan zona udara terlarang baik
seluruh maupun sebagian wilayah harus segera diberitahukan kepada ICAO
beserta anggotanya.
Penentuan batas zona udara terlarang tersebut harus wajar tanpa
mengganggu kelancaran serta mengakibatkan keterlambatan penerbangan
komersial. Dalam hal pesawat udara sadar tersasar dalam zona udara larangan
terbang, maka ia harus segera memberi tanda bahaya dan mendarat di bandar
udara terdekat, di luar daripada zona terlarang tersebut. Sedangkan bilaman
pesawat tidak menyadari posisinya yang sedang berada pada zona udara terlarang
tersebut, maka pesawat tersebut akan di “intercept”oleh peswat udara militer.
Secara teknis, tata cara “intercept” telah diatur dalam Annex 2 Konvensi Chicago
1944 tentang “Rules of The Air”. Dalam hal ini pesawat udara sipil yang di
Jalur udara yang berlaku di atas laut, diatur dalam pasal 53 United Nation
Convention on the Law of Sea (UNCLOS). Berdasarkan pasal tersebut, tidak
dijelaskan apakah jalur tersebut berlaku pula untuk pesawat udara sipil ataupun
pesawat udara militer. Walaupun demikian, dengan mengingat jalur-jalur
penerbangan sipil telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dapat ditafsirkan
bahwa jalur udara yang diatur dalam UNCLOS hanya dimaksudkan untuk
pesawat udara milik pemerintah. Jalur udara di atas selat yang yang dipergunakan
untuk pelayanan internasional, ditentukan 25 mil laut ke kanan dan ke kiri
dihitung dari sumbu. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran yang terbang di luar
jalur yang telah ditetapkan, dapat dipaksa untuk mendarat dan mengirim nota
protes melalui saluran diplomatik.
Menurut pasal 9 Konvensi Chicago 1944, setiap negara berhak
menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keselamatan umum.
Alasan keselamatan misalnya karena bencana alam yang membahayakan
keselamatan penerbangan seperti gunung meletus. Dalam hal terjadi bencana
alam, setiap negara berhak dan wajib melarang semua pesawat udara yang
melakukan penerbangan pada jalur tersebut.
Konvensi Chicago 1944 yang menggantikan Konvensi Paris 1919,
kekuatan hukumnya adalah sebagai kaidah Hukum Internasional. Kenyataan ini
ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan
internasional sebelum dan sesudah perang dunia kedua, baik penerbangan sipil
perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara yang baru sesuai dengan tuntutan
dunia penerbangan internasional di akhir perang dunia kedua.
Ada tiga perkembangan sikap negara-negara di dunia yang penting pada
era paska perang dunia kedua yang berkaitan dengan dunia penerbangan
internsional.
Pertama, kesadaran akan doktrin kekuatan udara sebagai bagian dari
kekuatan nasional. Kuat lemahnya negara ditentukan abtara lain oleh tingkat
kekuatan negara di wilayah uafaranya. Ini berarti kemampuan dana dan teknologi
negara kolong tersebut untuk memanfaatkan kawasan udara di atasnya. Kekuatan
udara (air power) suatu negara adalah kemampuan suatu negara untuk
memanfaatkan dan bertindak tegas dengan menggunakan media udara. Pada masa
damai, kemampuan itu terwujud dalam bentuk kegiatan penerbangan/angkutan
sipil, sedangkan pada masa perang, kemampuan tersebut terbentuk pada armada
pesawat-pesawat tempur dan pengangkut senjata/bom untuk aksi serangan dan
gempuran udara.
Kedua, berdasarkan doktrin kekuatan udara serupa itu, maka
negara-negara sekarang memandang penyelenggaraan penerbangan udara sipil
merupakan hal yang sangat penting untuk kepentingan negara. Penerbangan sipil
ini mengarah kepada kegiatan penumpukan kegiatan ekonomi yang berarti
penumpukan kekuatan nasional negara yang bersangkutan.
Ketiga, mengingat cita-cita setiap negara untuk dapat menyelenggarakan
usaha penerbangan sipil internsional yang mantap telah mendorong mereka untuk
membina kerjasama internsional ini pun menentuka sifat dan penetapan konsep
BAB III
KEBERADAAN PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND PADA
RUANG UDARA /ANGKASA
A. LAHIRNYA PRINSIP COMMON HERITAGE OF MANKIND
Sebelum Perang Dunia Pertama (1914-1918), satu satunya hak yang telah
dimuat dalam perjanjian secara universal adalah bahwa ruang udara di atas laut
lepas dan di atas wilayah yang tidak bertuan sama sekali bebas dan terbuka.
Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan
yang tunduk pada kedaulatan negara, terdapat sejumlah teori yang beragam seperti
yang telah tersebut di atas, tetapi karena pecahnya Perang Dunia Pertama pada
tahun 1914, karena alasan darurat, dianggap bahwa satu-sartunya teori yang
diterima oleh semua negara adalah Teori Kedaulatan Negara Kolong atas Ruang
udara adalah Tidak Terbatas, yaitu usque ad coelum. Teori ini dipakai dan
dikukuhkan tidak hanya oleh pihak-pihak yang berperang, tetapi juga oleh
negara-negara netral. Teori tersebut dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 untuk
Pengaturan Navigasi udara, di mana peserta-peserta perjanjian mengakui bahwa
setiap negara memiliki kedaulatan lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas
wilayahnya dan perairan teritorialnya. Tetapi bagaimanapun juga konsep
kedaulatan tersebut masih dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi
Konferensi Chicago merupakan kelanjutan dari Konferensi Perdamaian Prancis
1919 dan juga dilanjutkan lagi dengan Konferensi Komisis Internasional
mengenai Navigasi di Ruang Udara di Paris tahun 1929.
Tujuan dari Konferensi yang dihadiri oleh lebih dari 40 negara ini adalah untuk
membentuk persetujuan-persetujuan yang berskala dunia yang mengatrur hak-hak
trafik udara komersial serta masalah-masalah teknis dan navigasional yang
berkaitan penerbangan internasional.
Dasar bagi kedaulatan negara di ruang udara menurut Konvensi ini dapat
kita lihat dalam pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi :
“The Contracting States recognizethat every State has complete and exclusive sovereignity in the airspace above its territory”.
Hal pokok dalam Konvensi Chicago ini adalah adanya ketegasan bahwa
negara-negara anggota mengakui baha setiap negara memiliki kedaulatan yang
lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang diatasnya.
Oleh sebab itu, walaupun tidak semua negara ikut menjadi anggota
Konvensi Chicago tetapi khusus mengenai masalah kedaulatan negara di ruang
udara, negara-negara telah sepakat bahwa keadaan ini telah merupakan suatu
ketentuan hukum kebiasaan internasional yang telah dipertegas dalam konvensi
ini sehingga mengenai prinsip konsep kedaulatan negara atas ruang udara tidak
terdapat kesulitan.16
Hal penting lainnya mengenai kewajiban-kewajiban yang ditetapkan
menurut Konvensi Chicago secara umum adalah negara-negara kolong
16
Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, hal. 97.
memberikan perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif berkenaan dengan
negara-negara lain yang menggunakan ruang udaranya.
Permasalahan yang ditimbulkan dari Konvensi Chicago adalah tidak
adanya ketegasan yang dicantumkan tentang apa yang dimaksud dengan istilah
“airspace” seperti yang tercantum dalam pasal 1. Hal ini menimbulkan banyak
penafsiran yang berlainan dengan kebutuhan masing-masing pihak yang
berkepentingan. yang mana akibatnya adalah beberapa kali hampir
menjerumuskan negara-negara ke dalam peperangan yang akibatnya dapat
menghancurkan negara-negara yang lain yang tidak bersalah mengingat
senjata-senjata di dalam abad ruang udara dan ruang angkasa sekarang begitu besar daya
rusaknya.
Ruang angkasa dikatakan sebagai “warisan bersama umat manusia” atau
common heritage of mankind begitu juga dengan GSO, karena GSO merupakan
bagian dari ruang angkasa. Sebagai wilayah yang dilindungi oleh prinsip common
heritage of mankind, maka bebas untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh negara
mana saja, tanpa pembedaan dan asal tidak bertentangan dengan aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Hukum Internasional. Namun adanya kebebasan dalam
hal eksplorasi dan eksploitasi itu bukan berarti wilayah daripada ruang angkasa
tersebut dapat dijadikan obyek kepemilikan.
Awal mula dirasa pentingnya pengaturan Hukum Angkasa adalah setelah
berhasilnya diluncurkan Sputnik milik Uni Sovyet pada 4 Oktober 1957 yang
mengorbit menegelilingi bumi dianggap sebagai suatu tonggak sejarah bagi
manusia untuk melakukan aktivitas yang berkenaan dengan ruang angkasa. Hal
ini terbukti dengan diikuti misi Amerika Serikat dengfan peluncuran Apollo dan
Challenger-nya. Tidak ketinggalan pula negara-negara lain ikut serta, walaupun
tidak sempat meluncurkan pesawat ruang angkasa namun telah pula mengorbitkan
berbagai jenis satelit.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
keruangangkasaan khususnya, telah m,enggerakkan Perserikatan Bangsa Bangsa
untuk merumuskan serangkaian pernyataan dalam rangka usaha-usaha setiap
negara untuk memanfaatkan ruang angkasa.
Uasaha-usaha yang telah dilakukan oleh PBB untuk pengaturan segala
jenis akrivitas manusia di ruang angkasa adalah untuk menghindarkan ruang
angkasa itu dari tujuan-tujuan yang tidak damai, yang tidak sesuai dengan Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa. Juga menghindarkan adanya klaim kepemilikan
suatu negara tas bagian-bagian daripada ruang angkasa. Untuk itulah PBB telah
menagadakan usaha-usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang angkasa.
Usaha-usaha tersebut adalah :
1. Diterimanya Resolusi Majelis Umum PBB No. 1348 (XIII) “Question of
the Peaceful Uses of Outer Space” pada tanggal 13 Desember 1958.
Resolusi ini merupakan suatu landasan bagi dibentuknya suatu Komite Ad
Hoc yang ditugaskan untuk meneliti segala sesuatunya yang berkaitan
2. Resolusi yang berikutnya iaslah Resolusi Majelis Umum PBB No 1472
(XIV) “International Co-operation in the Peaceful Uses of Outer Space”
pada tanggal 12 Desember 1959.
3. Resolusi yang juga dianggap penting ialah Resolusi Majelis Umum PBB
No 1721 (XVI) “International Co-operating in the Peaceful Uses of Outer
Space” pada tanggal 20 Desember 1961
4. Resolusi No 1802 (XVII
5. Resolusi Majelis Umum PBB No. 1962 (XVII) “Declaration of Legal
Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses of Outer Space”. Di dalam resolusi yang terakhir ini dicantumkan delapan
prinsip yang kemudian merupakan isi pasal-pasal pokok untuk kelahiran
suatu traktat yang bernama Treaty on Principles Governing the Actrivities
of States in the Exploration and Uses of Outer Space, including the Moon dan Other Celestial Bodies.
Selain itu terdapat juga suatu persetujuan yang kembali menegaskan dan
melatarbelakangi lahirnya prinsip common heritage of mankind pada ruang
angkasa yaitu apa yang dikenal sebagai Moon Treaty 1979 atau Agreement
Governing the Activities of States on Moon and Other Celestial Bodies yang
disahkan oleh Majelis Umum pada tanggal 5 Desember 1979.
Untuk itu di sini akan diuraikan traktat-traktat yang melatarbelakangi
1. Space Treaty 1967
Tujuan yang dikehendaki dari Space treaty ini ialah membebaskan ruang
angkasa untuk selama-lamanya dari bahaya perang yang tidak selalu berhasil di
bumi.
Apabila diteliti cara pembentukan Space Treaty ini, tampaknya bahwa
usaha pihak-pihak hanya terbatas pada pernyataan prinsip-prinsip umum dan
menglangi anjuran Majelis Umum PBB sehubungan dengan penggunaan runag
angkasa bagi tujuan damai, serta menegaskan kembali prinsip-prinsip yang
tercantum di dalam Resolusi PBB No. 1962 (XVII), 13 Desember 1963 dan juga
reproduksi prinsip-prinsip tertentu di dalam Antartic Treaty 1959.
Selanjutnya marilah kita teliti pasal-pasal dalam Space Treaty ini yang
berkaitan dengan prinsip common heritage of mankind.
Artcle 1
“The exploration and use of outer space, including the moon and other celsetial bodies, shall be carried out for the benefit and in the interset of all countries, irrespective of their degree of economic or scientific development and shall be the province of all mankind.
“Outer space, including the moon and other celestial bodies, shall be free for exploration and use by all State without discrimination of any kind, on a basis of equality and in accordance with international law and there sall be free access to all areas of celestial bodies.
“There shall be freedom of scientific investigation in outer space
including the moon and other celestial bodies, and State shall facilitate and encourage international co-operation in such investigatioan.”
Tampak dalam pasal 1 ini telah disusun sedikian rupa, bahwa ruang
angkasa dan benda-benda langit tunduk kepada hukum internasional dan Piagam
Perserikatan Bangsa Bangsa, bebas untuk eksplorasi dan pemanfaatan oleh semua
negara atas dasar kesamaan sesuai dengan Hukum Internsional, eksplorasi dan
pemanfaatan demikian harus dilakuak untuk keuntungan dan dalam kepentingan
seluruh umat manusia,. Kemudian agar dimungkinkan ikut sertanya negara-negara
sebanyak mungkin apakah itu negara dalam tingkat space powers ataupun
non-space powers.
Kebebasan untuk melakukan penyelidikan dan memakai bulan dan
benda-benda langit merupakan sebagian hak untuk secara bebas memasuki semua
wilayah benda-benda langit. Karena itu segala pengaturannya harus diberikan
penafsirannya yang seluas-luasnya. Prinsip “pintu terbuka” sebagai praktik dari
adanya jaminan kebebasan yang didasarkan atas hak sama rata, di mana harus
pula diartikan sebagai hak untuk melakukan pendaratan pesawat angkasa tanpa
atau dengan manusia, peletakan dan penempatan alat-alat yang berawak ataupun
tidak dan juga pengadaan hubungan antara manusia dan benda-benda langit.
Negara-negara tidak dibenarkan menghambat masuk secara bebas, negara lain ke
benda-benda atau menimbulkan kesukaran-kesukaran bagi negara-negara lain
Kebebasan untuk memasuki daerah di ruang angkasa memberikan hak
kepada negara untuk mendirikan stasiun-stasiun dan instalasi-instalasi untuk
melakukan berbagai percobaan. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan ini, maka
kita harus memperhitungkan kemungkinan pemakaian dan pengusahaan
sumber-sumber kekayaan ruang angkasa. Hak penemuan maupun kemampuan dan
tersedianya fasilitas teknologi yang dimiliki suatu negara tidak dapat dijadikan
alasan untuk memberikan prioritas kepadanya.17
Pasal IV mengikat negara negara untuk tidak meluncurkan di sekitar bumi
obyek-obyek berisikan nuklir atau senjata-senjata lainnya yang mempunyai daya
rusak massal, atau menempatkan senjata-senjata semacam itu di benda-benda
langit. Ayat 2 pasal IV ini melarang penempatan instalasi militer dan