Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis Di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo
Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
SKRIPSI
OLEH :
SARI UKURTHA BR. TARIGAN
NIM.051000544
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH KARAKTERISTIK KEPALA KELUARGA TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI DESA
KEMINGKING DALAM KECAMATAN MARO SEBO KABUPATEN MUARO JAMBI
TAHUN 2007
Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
SARI UKURTHA BR. TARIGAN
NIM.051000544
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi Dengan Judul
PENGARUH KARAKTERISTIK KEPALA KELUARGA TERHADAP TINDAKAN PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS DI DESA
KEMINGKING DALAM KECAMATAN MARO SEBO KABUPATEN MUARO JAMBI
TAHUN 2007
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 25 Juli 2007 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima
Tim Penguji :
Ketua Penguji Penguji I
Prof. dr. H. Aman Nasution, MPH DR. Dra. Ida Yustina, Msi
NIP. 140 019 774 NIP. 131 996 170
Penguji II Penguji III
dr. Heldy B.Z, MPH dr. Fauzi, SKM NIP. 131 124 052 NIP. 140 052 649
Medan, 26 September 2007 Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara Dekan,
ABSTRAK
Di Propinsi Jambi filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Hasil survei cepat yang dilakukan pada tahun 2002 tercatat sebanyak 205 kasus kronis. Kabupaten Muaro Jambi merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jambi yang kasus kronis filariasisnya terbesar sehingga perlu penanganan yang lebih intensif. Terjadinya penularan filariasis sangat dipengaruhi oleh lingkungan, perilaku dan pengetahuan masyarakat.
Penelitian ini bersifat survey explanatory yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis di desa Kemingking Dalam tahun 2007. Populasi penelitian ini adalah semua kepala keluarga yang ada di desa Kemingking Dalam sebanyak 554 kk, dan sampel berjumlah 85 kk yang diambil secara random. Data primer dihimpun melalui metode wawancara, dan analisis data dilakukan dengan teknik uji regresi ganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel karakteristik kepala keluarga yang mempunyai pengaruh terhadap tindakan dalam pencegahan penyakit filariasis adalah pendidikan (p = 0,000), pekerjaan (p = 0,001), dan pengetahuan (p = 0,014). Hasil ini menunjukkan tindakan pencegahan filariasis dipengaruhi oleh karakteristik kepala keluarga, dan di antara karakteristik tersebut yang relatif paling dominan adalah variabel pendidikan (p = 0,000).
Untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit filariasis di harapkan pemerintah agar lebih meningkatkan Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang optimal dan terpadu juga disertai dengan peningkatan upaya promosi melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan para penderita filariasis, tokoh agama, tokoh adat dan lembaga swadaya masyarakat sehingga masyarakat dapat lebih memahami dan mengetahui tindakan yang baik dan benar tentang pencegahan penyakit filariasis.
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Sari Ukurtha Br Tarigan
Tempat/tanggal lahir : Medan, 22 Maret 1971
Agama : Kristen Protestan
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Jumlah Anak : 2
Nama Suami : Drs. Sueri Sinuraya
Alamat Rumah : Jl. SM. Raja Desa Ujung Serdang No. 31 Medan.
Alamat Kantor : Puskesmas Talang Banjar Kota Jambi.
Riwayat Pendidikan :
1978-1984 : SD Inpres Ujung Serdang
1984-1987 : SMP Negeri I Tanjung Morawa
1987-1990 : SMA Negeri Tanjung Morawa
1991-1995 : Akademi Analis Kesehatan RSU. Glugur Medan
2005-2007 : Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara
Riwayat Pekerjaan :
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat
dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan
Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo
Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007”, guna memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana kesehatan masyarakat.
Selanjutnya dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis telah banyak
mendapat bimbingan dan arahan dari berbagai pihak untuk itu pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis menyampaikan terimakasih kepada :
1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, MSi selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dr. Dra Ida Yustina, MSi selaku Ketua Departemen Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan dan juga selaku Dosen Pembimbing II yang dengan baik
dan sabar membimbing dan mengarahkan penulis.
3. Bapak Prof. dr. H. Aman Nasution MPH, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan banyak saran dan masukan selama penyusunan skripsi
4. Ibu Eka Lestari Mahyuni SKM, MKes, selaku pembimbing akademik yang telah
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
5. Seluruh Bapak/Ibu Dosen dan seluruh Staf di Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara, khususnya peminatan Administrasi dan Kebijakan
Kesehatan.
6. Bapak Bustami selaku kepala desa Kemingking Dalam yang telah memberikan
ijin kepada penulisan untuk melakukan penelitian di desa ini.
7. Kepala Puskesmas Kemingking Dalam dan seluruh staff Puskesmas yang telah
memberikan bantuan dan dukungan dalam pelaksanaan penelitian selama penulis
mengadakan penelitian di Desa Kemingking Dalam.
8. Buat teman-temanku di AKK dan Mahasiswa ekstension stambuk 2005 yang
tidak dapat disebutkan satu per satu.
Secara khusus penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada suami yang telah banyak memberikan dorongan dan dukungan baik moril
maupun material juga dorongan dan doa dari kedua orang tua sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di FKM USU.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis
harapkan dan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.
Medan, Juli 2007
Sari Ukurtha Tarigan
2.1.2. Cara Masuk Mikrofilaria ke dalam Tubuh ... 8
2.1.3. Epidemiologi ... 8
2.1.4. Penyebab Filariasis di Indonesia ... 10
2.1.5. Hospes ... 10
2.1.6. Vektor ... 12
2.1.7. Daur Hidup ... 13
2.1.8. Gejala Klinis ... 14
2.2. Keadaan Lingkungan Sosial dan Budaya ... 15
2.3. Penentuan Desa Endemis Filaria ... 16
2.4. Pencegahan Filariasis... 17
2.4.1. Pengobatan Masal ... 17
2.4.2. Eliminasi... 18
2.5. Perilaku Penduduk ... 19
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
2.5.2. Sikap... 21
2.5.3. Tindakan ... 22
2.6. Kerangka Konsep ... 23
2.7. Hipotesis Penelitian ... 24
BAB III METODE PENELITIAN ... 25
3.1. Jenis Penelitian ... 25
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
3.2.1. Lokasi Penelitian... 25
3.2.2. Waktu Penelitian ... 25
3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel bebas ... 28
3.6.2. Aspek Pengukuran Varibel Terikat ... 31
3.7. Teknik Analisa Data ... 31
BAB IV. Hasil Penelitian ... 32
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 32
4.2. Karakteristik Responden ... 32
4.3. Pengetahuan Responden ... 34
4.4. Sikap Responden ... 36
4.5. Tindakan Responden Dalam Pencegahan Penyakit Filariasis ... 37
4.6. Analisa Statistik ... 39
BAB V. Pembahasan ... 42
5.1. Pengaruh Pendidikan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis ... 42
5.2. Pengaruh Pekerjaan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis ... 43
Distribusi Penderita Filariasis di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2006
Distribusi Penderita Filariasi di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2002 – 2004
Aspek Pengukuran Variabel Bebas
Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Kepala Keluarga ( Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan ( Pengertian, Penyebab dan Tindakan Pencegahan Filariasis) di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007.
Distribusi Responden Berdasarkan Setuju, Kurang Setuju atau Tidak Setuju Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Tabel 4.8
Tabeli 4.9
Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Nilai Determinan Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan masyarakat merupakan bagian integral dari
pembangunan nasional karena upaya memajukan bangsa Indonesia tidak akan efektif
apabila tidak memiliki dasar yang kuat yaitu derajat kesehatan masyarakat yang
tinggi. Untuk mempercepat keberhasilan pembangunan kesehatan tersebut diperlukan
kebijakan pembangunan kesehatan yang lebih dinamis dan proaktif dengan
melibatkan semua sektor terkait baik pemerintah, swasta maupun masyarakat itu
sendiri.
Upaya perbaikan dalam bidang kesehatan masyarakat salah satu diantaranya
melalui pencegahan dan pemberantasan penyakit menular. Program pemberantasan
penyakit menular bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat (Depkes RI, 2002).
Filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat, karena
merupakan penyebab utama kecacatan, stigma sosial, hambatan psikososial yang
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Dengan demikian
penderita kaki gajah merupakan beban bagi keluarga, masyarakat dan negara (Depkes
RI, 2002).
Penyakit kaki gajah merupakan penyakit di daerah tropik, tetapi dapat juga
ditemukan di daerah sub tropik. Penyakit ini tersebar di 100 negara dengan lebih
dari seratus miliar penduduk hidup di wilayah rawan tertular filariasis. Filariasis
diperkirakan menginfeksi sekitar 120 juta penduduk di 80 negara terutama di daerah
tropik dan beberapa di negara sub tropik. Dari 120 juta orang yang sudah terinfeksi,
40 juta diantaranya telah menjadi cacat dan disfungsi organ tubuh tertentu karena
penyakit sudah berada dalam tahap kronis lanjut (Depkes RI, 2002).
Di Indonesia kurang lebih 10 juta penduduk sudah terinfeksi penyakit ini,
dengan jumlah penderita kronik kaki gajah kurang lebih 6500 orang. Penyakit
menular ini tersebar di 26 Propinsi, 231 Kabupaten, 451 Kecamatan dan 1553 desa
endemik filaria, yaitu desa dengan angka mikrofilaria diantara penduduk lebih dari
1%. Diperkirakan sekitar 3% dari jumlah penduduk telah terinfeksi penyakit
filariasis dengan jumlah kasus kronis yang tercatat sampai tahun 2000 sebanyak 1444
orang (Depkes RI, 2002).
Filariasis banyak diderita oleh penduduk berusia produktif (15-44 tahun),
laki-laki lebih banyak terinfeksi daripada perempuan. Cacat fisik sifatnya permanen
juga lebih banyak dijumpai pada laki-laki karena kemungkinan kontak dengan
Penularan filiariasis banyak berkaitan dengan aspek sosial budaya, antara lain
pengetahuan, kepercayaan, sikap dan kebiasaan masyarakat. Penduduk dengan
pekerjaan petani berladang, pencari kayu rotan dan penyadap karet banyak terinfeksi
filariasis (Sumarni dan Soeyoko, 1998).
Sejak tahun 1975, Indonesia telah melakukan program pemberantasan
filariasis di daerah endemik. Secara keseluruhan prevalensi penyakit di Indonesia
telah terjadi penurunan setelah dilakukan pengobatan massal pada penderita sejak
Pelita I, namun penyakit ini di daerah-daerah tertentu masih tinggi prevalensinya.
Daerah tersebut merupakan daerah kantong endemis dan selalu menjadi sumber
penularan ke daerah lainnya (Depkes RI, 2002).
Pemerintah sendiri pada tahun 2002 telah mencanangkan dimulainya
Program Nasional Eliminasi Penyakit Kaki Gajah di Indonesia dan telah menetapkan
eliminasi penyakit kaki gajah sebagai salah satu program prioritas. Program ini
dicanangkan sebagai respons dari program WHO yang menetapkan komitmen
global untuk mengeliminasi filiariasis (”the global goal of elimination of lymphatic
filariasis as a public health problem by the year 2020”).
Adapun Program Nasional Eliminasi Penyakit Kaki Gajah dan rencana
kegiatan tahunan 2002-2006 telah tersusun dan telah disetujui WHO untuk
dilaksanakan secara bertahap. Pada tanggal 8 April 2002 di Desa Mainan, Kecamatan
Banyuasin II, Kabupaten Musi Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia telah mencanangkan dimulainya Eliminasi Penyakit
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Di Propinsi Jambi, filariasis masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat, terutama di Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, Kabupaten Marangin,
Kabupaten Sorolangun, Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Muaro Jambi.
Penyakit ini tersebar di 31 kecamatan, 41 wilayah Puskesmas dan 55 desa endemis.
Hasil survei darah jari menunjukkan mikro filaria rate rata-rata 1,8% (interval
0,8%-2,98%). Hasil survei cepat yang dilakukan pada tahun 2002, tercatat sebanyak 205
orang terinfeksi mikro filarial di dalam darahnya. Penduduk propinsi Jambi lebih
dari 103.000 jiwa atau sekitar 4% dari jumlah penduduk bertempat tinggal di daerah
rawan filaria, sehingga beresiko untuk terinfeksi penyakit Elephanthias (Kaki Gajah).
Kabupaten Muaro Jambi merupakan daerah dataran rendah terletak pada
ketinggian 0 – 500 meter di atas permukaan laut dan berada pada Daerah Aliran
Sungai (DAS) Batang Hari, sehingga sangat dipengaruhi oleh keadaan musim.
Kabupaten Muaro Jambi sebagaimana di Provinsi Jambi lainnya beriklim tropis
dengan jumlah curah hujan rata-rata 231,3 mm dan bulan basah berkisar antara 8 –
10 bulan. Akibat curah hujan yang begitu besar maka daerah-daerah yang terletak
pada cekungan dan rawa seperti pada Kecamatan Kumpeh, Kecamatan Maro Sebo,
Kecamatan Kumpeh Hulu dan Kecamatan Sakernan yang berada pada daerah aliran
sungai Batang Hari, hampir setiap tahun menimbulkan permasalahan akibat naiknya
air permukaan yang menggenangi lahan pertanian, sawah serta pemukiman penduduk
(Dinkes Muaro Jambi, 2005).
Kabupaten Muaro Jambi merupakan salah satu kabupaten di propinsi Jambi
endemis filariasis. Hasil survei cepat yang dilakukan di Desa Sekumbung dengan 500
sediaan darah terdapat 10 orang yang positif (+) mengandung mikro filarial dengan
Mf-rate 2%.
Berdasarkan laporan dari puskesmas Kemingking Dalam ditemukan jumlah
kasus filariasis sebanyak 27 yang tersebar di tiga desa. Jumlah kasus yang terbanyak
terdapat di desa Kemingking Dalam sebanyak 17 kasus.
Tabel 1.1 Distribusi Penderita Filariasis di Kabupaten Muaro Jambi Tahun
2006
No Kecamatan Nama Puskesmas Nama Desa Jumlah Kasus
1 Maro Sebo Kemingking Dalam
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Kasang Lp. Alai Kasang Pudak
Kecamatan Maro Sebo terdiri dari 19 desa dengan jumlah penduduk sebanyak
25.085 jiwa. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Muaro Jambi disebutkan bahwa
dari 19 desa yang ada tercatat 12 desa yang menjadi daerah endemis filariasis yaitu
Desa Muaro Jambi, Jambi Kecil, Mudung Darat, Tanjung Katung, Bakung, Desa
Baru, Danau Lamo, Kemingking Luar, Jambi Tulo, Kemingking Dalam, Talang
Duku dan Sekumbung. Sejak tahun 2003 Kecamatan Maro Sebo telah dilaksanakan
pengobatan massal yang diharapkan berlanjut sampai tahun 2007.
Tabel 1.2. Distribusi Penderita Filariasis di Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2002-2004
No Tahun Jumlah Klinis Filariasis
Acute Disease rate % (ADR %)
Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Muaro Jambi tahun 2005
Hasil laporan Dinas Kesehatan Kabupaten Muaro Jambi tahun 2005 dan tahun
2006 terjadi peningkatan jumlah kasus maupun jumlah desa yang terserang. Tahun
2005 jumlah kasus meningkat menjadi 72 kasus dengan jumlah desa yang terserang
sebanyak 25 desa, disusul dengan tahun 2006 jumlah kasus menjadi 98 kasus dengan
Filariasis masih merupakan masalah kesehatan khususnya di beberapa
kecamatan dan desa yang menjadi kantong filariasis di Kabupaten Muaro Jambi
sehingga perlu penanganan yang intensif. Dimana timbul dan terjadinya penularan
kaki gajah (Filariasis) sangat dipengaruhi keadaan lingkungan, perilaku dan
pengetahuan masyarakat serta adanya vektor sebagai penularan penyakit tersebut.
Untuk itu diperlukan dukungan dari berbagai lintas program, lintas sektoral, LSM
(Lembaga Swadaya Masyaraakat) dan masyarakat itu sendiri dalam pemberantasan
penyakit filariasis.
1.2. Masalah Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah ”Bagaimana pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap
tindakan pencegahan penyakit kaki gajah (filariasis) di Desa Kemingking Dalam
Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007”.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menjelaskan pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis
kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap
tindakan pencegahan penyakit filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan
Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi tahun 2007.
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk perencanaan dan
pengambilan keputusan pada program pengendalian, penanggulangan
penyebaran filariasis di Kabupaten Muaro Jambi.
2. Memberi masukan untuk dapat mengantisipasi penyakit filariasis di
Kabupaten Muaro Jambi.
3. Bagi masyarakat dapat memberikan pemahaman tentang resiko terjadinya
filariasis pada masyarakat dan upaya perbaikan lingkungan yang tepat untuk
memutuskan mata rantai penularan filariasis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit filariasis
2.1.1. Definisi
Filariasis ialah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria
yang di sebabkan oleh mikrofilaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.
Cacing tersebut hidup dikelenjar dan saluran getah bening, sehingga menyebabkan
kerusakan pada sistim limpatik yang dapat menimbulkan gejala akut berupa
peradangan kelenjar dan saluran getah bening (adenolimfangitis) terutama di daerah
pangkal paha dan ketiak, tetapi dapat pula di daerah lain. Peradangan ini disertai
demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat
pecah dan meninggalkan parut (Depkes RI, 2002).
Mikrofilaria masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara melalui gigitan
nyamuk, dimana tubuh manusia dapat terinfeksi mikrofilaria apabila nyamuk yang
mengigit tubuh manusia mengandung larva cacing filaria yang infektif (stadium 3).
Mikrofilaria akan keluar dari tubuh nyamuk dan masuk ke dalam tubuh manusia pada
saat nyamuk mengigit dan menghisap darah manusia. (Depkes RI, 2002).
2.1.3. Epidemiologis
Penyebaran filariasis hampir diseluruh wilayah Indonesia, dibeberapa daerah
dengan tingkat endemisitas yang cukup tinggi. Jumlah kasus filariasis di Indonesia
cukup banyak. Berdasarkan hasil survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis
yang dilaporkan sebanyak 6.500 orang tersebar di 1.553 Desa, di 231 Kabupaten dan
26 Propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya
3.020 Puskesmas (42%) dari 7.221 Puskesmas yang menyampaikan laporan.
Tingkat endemisitas filariasis berdasarkan hasil survei pada tahun 1999 masih
tinggi dengan rata-rata mf (Mikrofilaria) Rate 3,1% dengan interval 0,5%-19,64%.
Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat penularan filariasis di Indonesia masih tinggi.
Filariasis umumnya endemis di daerah dataran rendah, terutama di pedesaan,
di daerah pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan daerah hutan. Secara umum
filariasis tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku
dan Irian Jaya. Filariasis Wuchereria bancrofti tipe pedesaan masih banyak
ditemukan di Propinsi Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia, sedangkan
Wuchereria bancrofti tipe perkotaan ditemukan di Jakarta, Bekasi, Semarang,
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Kalimantan, Sulawesi dan Pulau Seram. Filariasis timori terdapat di Kepulauan
Flores, Alor, Rote, Timor dan Sumba, umumnya endemik di daerah persawahan.
Filariasis bersifat menahun (Kronis) dan bila tidak memperoleh pengobatan
dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki (kaki gajah), lengan,
payudara serta alat kelamin, baik pada wanita maupun laki-laki.
Meskipun filariasis tidak menimbulkan kematian secara langsung tetapi
merupakan salah satu penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan dan
masalah-masalah sosial lainya. Hal ini disebabkan, karena bila terjadi kecacatan
menetap, maka seumur hidupnya penderita tidak dapat bekerja secara optimal,
sehingga dapat menjadi beban keluarganya, merugikan masyarakat dan Negara.
Seringnya serangan akut pada penderita filariasis sangat menurunkan produktivitas
kerja, sehingga akhirnya dapat juga merugikan masyarakat. Selain itu penderita akan
mengalami kerugian ekonomi yang besar. Hasil penelitian Departemen Kesehatan
bersama Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 2000,
menunjukkan bahwa biaya yang diperlukan oleh seorang penderita penyakit kaki
gajah per tahun sekitar 17,8% dari seluruh pengeluaran keluarga atau 32,3% dari
biaya untuk makan. Dengan demikian maka penderita akan menjadi beban bagi
keluarga dan negara (Depkes RI, 2002).
2.1.4. Penyebab filariasis di Indonesia
Filariasis di Indonesia disebabkan oleh 3 spesies cacing filaria yaitu :
a. Wuchereria bancrofti
b. Brugia malayi
c. Brugia timori
Dari tiga spesies tersebut secara epidemiologi dapat dibagi lagi menjadi 6 tipe
a. Wuchereria bancrofti yang ditemukan di daerah perkotaan (urban) seperti di
Jakarta, Bekasi, Tangerang, Semarang, Pekalongan, dan sekitarnya.
b. Wuchereria bancrofti yang ditemukan di daerah pedesaan di luar Jawa tersebar
luas terutama Irian Jaya yang mempunyai periodisitas nokturna.
c. Brugia malayi yang di temukan di daerah persawahan yang bersifat periodik
nokturna.
d. Brugia malayi yang ditemukan di daerah rawa, bersifat sub periodik nokturna.
e. Brugia malayi yang ditemukan di hutan bersifat non periodik, mikrofilaria
ditemukan dalam daerah tepi baik malam maupun siang hari.
f. Brugia timori yang bersifat periodik nokturna ditemukan di daerah Nusa tenggara
Timur, Maluku Tenggara, dan mungkin juga di daerah lain (Depkes RI, 2002).
2.1.5. Hospes
Hospes (induk semang) dari filariasis adalah manusia. Pada dasarnya semua
manusia dapat terjangkit filariasis apabila digigit oleh nyamuk vektor yang infektif
(mengandung larva stadium 3). Vektor infektif mendapat mikrofilaria dari
orang-orang setempat yang mengidap mikrofilaria dalam darahnya. Namun demikian, dalam
kenyataannya tidak semua orang yang hidup disuatu daerah endemis filariasis
terinfeksi dan semua orang yang terinfeksi tidak semua menunjukan gejala. Meskipun
tanpa gejala tetapi sudah terjadi perubahan-perubahan patologis. Makin lama
pendatang menempati daerah endemis filariasis makin besar kemungkinannya terkena
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
transmigran) lebih banyak menunjukkan gejala, tetapi pada pemeriksaan darah jari
lebih sedikit yang mengandung mikrofilaria.
Di suatu daerah endemis tinggi sebagian besar penduduk dapat terinfeksi.
Biasanya pendatang baru ke daerah yang endemis seperti transmigran lebih cepat
menunjukan gejala klinis akut bila terinfeksi walaupun mikrofilaria dalam belum
ditemukan. Semakin lama pendatang baru menempati daerah endemis filariasis, maka
akan lebih banyak yang terinfeksi.
Hospes reservoir berperan sebagai sumber penyakit. Diantara cacing filaria
yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi yang sub periodik
nokturna dan non periodik yang ditemukan juga pada hewan lutung (Presbytis
cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus) yang dapat merupakan
sumber infeksi pada manusia. Brugia malayi tipe sub periodik nokturna umumnya
ditemukan di daerah rawa-rawa. Brugia malayi tipe non periodik ditemukan di hutan
dan mikrofilarianya ditemukan dalam darah tepi baik siang maupun malam hari.
Adanya hospes reservoir akan menyulitkan program pemberantasan. Hal ini
disebabkan karena keterbatasan kemampuan untuk mengatasi keberadaan hospes
reservoir sebagai sumber penyakit (Depkes RI, 2002).
2.1.6. Vektor
Vektor penyakit kaki gajah (filariasis) adalah nyamuk yang mengandung
mikrofilaria di dalam tubuhnya. Di Indonesia hingga saat ini telah di ketahui terdapat
23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia dan Armigeres
menyebabkan penyakit kaki gajah (filariasis). Terdapat 10 spesies nyamuk
Anopheles telah diidentifikasi sebagai vektor penular Wuchereria bancrofti tipe
pedesaan. Sedangan untuk vektor penular Wuchereria bancrofti tipe perkotaan
adalah nyamuk Culex quinguefasciatus. Vektor penular Brugia malayi tercatat ada
6 spesies Mansonia dan untuk wilayah Indonesia bagian Timur selain Mansonia ada
juga vektor lain yaitu nyamuk Anopheles barbirostris. Demikian pula untuk vektor
penular Brugia malayi tipe sub periodik nokturna sebagai vektornya adalah beberapa
jenis nyamuk spesies Mansonia. Pada daerah bagian Timur yaitu Nusa Tenggara
Timur dan Kepulauan Maluku Selatan sebagai vektor penular Brugia timori adalah
jenis nyamuk Anopheles barbirostris. (Depkes RI, 2002).
Nyamuk dapat bersifat antropofilik (menyukai darah manusia), zoofilik
(menyukai darah hewan) dan zoantropofilik (menyukai darah hewan dan manusia),
eksofagik (mencari mangsa diluar rumah) dan endofagik (mencari mangsa di dalam
rumah). Tempat beristirahat berbeda-beda tergantung jenisnya. Umumnya nyamuk
istirahat pada tempat-tempat teduh seperti di semak-semak sekitar tempat perindukan,
dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Perilaku nyamuk sebagai vektor
filariasis menentukan distribusi filariasis.
Setiap daerah endemis filariasis umumnya mempunyai spesies nyamuk yang
berbeda-beda dan setiap spesies dapat menjadi vektor utama penyebab filariasis.
2.1.7. Daur hidup
Filaria limfatik dalam daur hidupnya memerlukan nyamuk sebagai vektor.
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
kepadatan tertentu. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang sangat panjang.
Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih dua minggu. Pada saat
nyamuk vektor menghisap darah manusia atau hewan yang mengandung mikrofilaria,
maka mikrofilaria akan terbawa masuk dan melepaskan sarungnya di dalam lambung
nyamuk dan selanjutnya bergerak menuju otot-otot torak, setelah lebih kurang 3 hari
mikrofilaria ini akan memendek menyerupai sosis dan disebut larva stadium I (L1).
Dalam waktu kurang lebih seminggu larva L1 akan bertukar kulit, tumbuh menjadi
gemuk dan panjang dan disebut larva stadium II (L2). Pada hari ke sepuluh dan
selanjutnya, larva L2 akan bertukar kulit sekali lagi tumbuh makin panjang dan lebih
kurus dan disebut larva stadium III (L3).
Gerak larva L3 ini sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi mula-mula ke rongga
abdomen dan kemudian ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk yang
mengandung larva L3 yang sangat infektif ini menggigit manusia, maka larva
tersebut secara aktif masuk melalui luka tusuk kedalam tubuh hospes dan bersarang
di saluran limfe. Di dalam saluran limfe, larva ini mengalami dua kali pergantian
kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV (L4) dan stadium V (L5) atau cacing dewasa.
Brugia malayi dan Brugia timori dari L3 menjadi dewasa dalam kurun waktu kurang
lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti dari L3 sampai dewasa di perlukan
waktu lebih kurang 9 bulan. Umur cacing dewasa filaria 5-10 tahun (FK.UI, 2003).
Setelah dewasa, akan terjadi perkawinan dan cacing betina melahirkan
dalam darah tepi untuk mengumpankan diri agar di isap oleh nyamuk vektor dan
ditularkan ke inang yang baru (WHO, 1997).
2.1.8. Gejala klinis
Seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan
dari nyamuk vektor yang mengandung mikrofilaria dengan kepadatan tertentu. Akibat
dari gigitan tersebut akan menimbulkan gejala klinis pada manusia yang sudah
terinfeksi filariasis. Ada dua macam gejala klinis filariasis, yaitu gejala klinis akut
dan gejala klinis kronis.
Gejala klinis akut adalah berupa peradangan pada kelenjar limfe (limfadenitis)
atau saluran limfe (limfangitis). Pada umumnya gejala klinis akut yang terjadi adalah
disertai dengan demam, sakit kepala, rasa lemah atau kelelahan dan dapat pula
disertai abses (bisul) yang kemudian pecah dan sembuh. Biasanya abses yang sembuh
akan meninggalkan bekas seperti parut. Bekas dalam bentuk parut sering kita lihat
dan temukan didaerah lipatan paha dan ketiak. Keadaan ini banyak terdapat didaerah
penularan filariasis dengan golongan spesies cacing filaria Brugia malayi dan Brugia
timori. Pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti gejala akut yang berupa
peradangan tidak jelas, tetapi elephantiasis dapat mencapai ukuran yang besar. Gejala
infeksi wuchereria bancrofti yang lebih jelas adalah orchitis, epidemitis, hidrokel
dan kiluria. Bahkan hidrokel sering dipakai sebagai indikator endemis Wuchereria
bancrofti seperti elephantiasis scroti yang menyebabkan penderita tidak dapat
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Gejala kronis meliputi limfadema, hidrokel dan kiluria. Limfadema
merupakan gejala kronis yang dialami penderita pada seluruh kaki atau lengan,
skrotum, vagina dan payudara. Gejala ini biasanya terdapat pada penderita yang
terinfeksi cacing filaria dengan spesies Wuchereria bancrofti, sedangkan untuk
penderita yang terinfeksi oleh jenis spesies Brugia malayi dan Brugia timori, gejala
klinisnya dapat mengenai kaki dan lengan di bawah lutut atau siku.
Hidrokel merupakan gejala klinis yang menyebabkan terjadinya pelebaran
kantung buah skrotum yang berisi cairan limfe.
Sedangkan kiluria adalah gejala klinis yang dialami penderita dengan
mengeluarkan air seni seperti susu. Adanya cairan seperti susu ini disebabkan oleh
kebocoran saluran limfe didaerah pelvik ginjal, sehingga cairan limfe tersebut masuk
ke dalam saluran kencing. Namun gejala klinis kiluria ini jarang ditemukan (Depkes
RI, 2002).
2.2. Keadaan Lingkungan Sosial dan budaya
Lingkungan sosial dan budaya ialah lingkungan yang timbul sebagai akibat
adanya interaksi antar manusia, termasuk antara lain sosial ekonomi, perilaku
penduduk, adat istiadat, tingkah laku, budaya penduduk, kebiasaan hidup penduduk,
tradisi penduduk dan sebagainya. Sosial ekonomi dan budaya masyarakat setempat
yang perlu diperhatikan antara lain adalah kebiasaan penduduk bertani (berkebun),
dan kebiasaan penduduk bekerja malam hari atau keluar malam hari, serta kebiasaan
penduduk pada malam hari sebelum dan sewaktu tidur. Kebiasaan- kebiasaan tersebut
Umumnya laki-laki menunjukkan angka infeksi microfilaria rate lebih tinggi dari
perempuan karena umunya laki-laki lebih sering terpapar akibat pekerjaan dan
kebiasaanya, sehingga kemungkinan terjadinya infeksi (kontak dengan vektor) lebih
sering dari perempuan (Nyoman Saniambara, 2005).
2.3. Penentuan desa endemis filaria
Sebelum diadakan pemberantasan harus ditemukan daerah endemis terutama
daerah endemis tinggi (Mf Rate > 1%). Untuk menentukan daerah endemis dapat
digunakan beberapa cara: survei cepat, survei klinis, pemeriksaan serologi untuk
daerah endemis Wuchereria bancrofti, pemeriksaan biologi molekuler untuk daerah
endemis Brugia malayi dan Brugia timori. Indikasi awal dari pelaksanaan survei
adalah ditemukannya penderita klinis atau penderita kronis diantara penduduk di desa
tersebut. Survei yang dilaksanakan secara massal di Indonesia adalah survei gejala
klinis dan darah jari yang dilakukan pada pukul delapan malam waktu setempat pada
daerah sekitar rumah penderita dengan gejala klinis. Jumlah sampel diambil
ditentukan dengan cara sampling. Bila hasil survei menunjukan Mf Rate > 1% maka
desa tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis yang harus dilakukan pengobatan
massal. Bila Mf Rate < 1% ditetapkan sebagai non endemis dan dilakukan
pengobatan selektif (Depkes RI, 2002).
2.4. Pencegahan Filariasis
Usaha pencegahan filariasis ini sesungguhnya berpulang kembali pada
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by The Year 2020”. Bentuknya
berupa program pengobatan dengan Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)
dikombinasikan dengan albendazol sekali setahun selama 5-10 tahun di lokasi yang
endemis dan perawatan kasus klinis, baik yang akut maupun kronis untuk mencegah
kecacatan dan mengurangi penderitanya.
Tentu saja, mencegah lebih baik daripada mengobati. Caranya dengan
menghindari dari gigitan nyamuk dengan menggunakan kelambu, menutup ventilasi
dengan kasa nyamuk, menggunakan obat anti nyamuk, atau mengoles kulit dengan
lotion pencegah gigitan nyamuk. Melakukan pemberantasan terhadap sarang nyamuk
dengan melakukan 3M (menutup, menguras dan mengubur) benda-benda yang dapat
menampung air ( Hermana, 2007 ).
2.4.1 Pengobatan massal
Pelaksanaan pengobatan massal dengan obat Diethyl Carbamazine Citrat
(DEC), pada waktu sekarang ini masih merupakan kegiatan utama dalam
pemberantasan filariasis. Upaya pemberantasan filariasis ini telah dilakukan sejak
tahun 1975 dengan cara pengobatan massasl menggunakan obat dosis rendah Diethyl
Carbamazine Citrate (DEC) 100 mg untuk dewasa dan 50 mg untuk usia 2-10 tahun
selama 40 minggu. Dengan keikut sertaan Indonesia dalam global eliminasi yang
Badan), Albendazole 400 mg (1 Tablet) dan Paracetamol 500 mg yang diberikan
sekali setahun selama 5 (lima) tahun.
Pada semua kasus klinis sebelum diberikan obat DEC, semua gejala klinis
akut yang berupa demam dan gejala peradangannya diobati terlebih dahulu dengan
memberikan obat-obatan Analgesik, Antipiretik dan Antibiotik. Penggunaan obat
Antibiotik dilakukan apaabila terjadi infeksi sekunder. Setelah gejala akut diatasi,
penderita tersebut dapat diberikan pengobatan DEC 3x1 tablet 100 mg selama 10 hari
dan disertai Paracetamol 3x1 tablet 500 mg dalam 3 (tiga) hari pertama. Untuk
anak-anak, dosis disesuaikan dengan umur. Bila penderita berada di daerah endemis maka
pada tahun berikutya diikutsertakan dalam pengobatan massal (Depkes RI, 2002).
2.4.2 Eliminasi Penyakit Filaria
Eliminasi filariasis adalah upaya pemberantasan yang dilakukan secara
intensif,menyeluruh,terpadu dan berkesinambungan guna menurunkan angka
kesakitan (Mf.rate) menjadi <1% sehingga tidak terjadi penularan lagi. Program
eliminasi dilaksanakan atas dasar kesepakatan global WHO pada tahun 2000 (the
global goal of elimination of lymphatic filariasis as a public health problem by the
year 2020).
Untuk melaksanakan eliminasi ini WHO telah menetapkan 2 strategi utama,
yaitu:
1. Pemutusan mata rantai penularan dengan menurunkan angka kesakitan (Mf.Rate)
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
2. Penatalaksanaan kasus klinis untuk mencegah kecacatan, srategi ini di tujukan
untuk merawat penderita baik yang akut maupun kronis guna mencegah kecatatan
dan mengurangi penderitaannya, sehingga mereka dapat meningkatkan
kesejahteraannya.
Adapun kegiatannya dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2002 dan pada
tahun 2010 direncanakan semua desa endemis sudah terjangkau (Depkes RI, 2002).
2.5 Perilaku penduduk
Berdasarkan pendapat Notoatmodjo yang dikutip oleh Mahdiniansyah (2002),
perilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang
bersangkutan dari pandangan biologi. Perilaku manusia pada hakekatnya suatu
aktivitas dari manusia itu sendiri. Untuk kepentingan analisa perilaku adalah apa yang
dikerjakan oleh organisme tersebut, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak
langsung. Perilaku dapat tumbuh dibedakan menjadi dua yaitu perilaku yang tidak
bersyarat atau pembawaan, dan perilaku yang bersyarat yang diperoleh berdasarkan
pengalaman atau didapat, atau karena adanya proses belajar.
Menurut pendapat Blom yang dikutip oleh Mahdiniansyahn (2002), perilaku
dapat dikelompokan menjadi tiga, yakni pengetahuan (knowledge), sikap (attitude),
dan tindakan (overt behavior). Perilaku dalam bentuk pengetahuan penduduk yang
berkaitan dengan filariasis, baik pencegahan, penularan pengobatan dan lain-lain.
Pengetahuan yang dimiliki tersebut dapat kemungkinan mempengaruhi kejadian
filariasis, baik secara langsung atau tidak langsung. Perilaku dalam bentuk praktik
peyuluhan ataupun cara pencegahan dan pelaksanaan pengobatan terhadap suatu
penyakit. Sikap adalah suatu keadaan mental dan kecendrungan seseorang untuk
beraksi terhadap suatu keadaan dan lingkungan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan
dan pengalaman serta latar belakang pendidikan. Masih banyak masyarakat di daerah
endemis filariasis mempunyai sikap tidak positif terhadap penanggulangan filariasis
sebagai contoh masih adanya masyarakat yang menolak dilakukan pengobatan dan
pengambilan darah. Selain itu masyarakat di daerah endemis filariasis umumnya
kurang tanggap terhadap lingkungannya, seperti masih banyaknya daerah rawa-rawa
di sekitar pemukiman tetap dibiarkan terbuka (Kasnodiharjo, 1990).
2.5.1. Pengetahuan
Pengetahuan (Knowledge) apa yang telah diketahui dalam kamus bahasa
Indonesia disebutkan bahwa pengetahuan atau tahu adalah mengerti sesudah melihat
atau sesudah menyaksikan, mengalami atau setelah diajari.
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan merupakan domain yang paling
penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior) dan pengetahuan
dapat diukur dengan melakukan wawancara, perilaku yang didasari dengan
pengetahuan dan kesadaran akan lebih bertahan lama dari pada perilaku yang tidak
didasari oleh pengetahuan dan kesadaran.
Pengetahuan yang didalamnya mencakup 6 (enam) tingkatan yaitu :
1. Tahu (Know) diartikan sebagai mengigat suatu materi yang telah dipelajari
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
2. Memahami (Comprehention) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui.
3. Aplikasi (Application) diartikan sebagai kemampuan untuk mempergunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.
4. Analisis (Analysis) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
suatu objek terhadap komponen-komponennya.
5. Sintesis (Synthesis) menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
6. Evaluasi (evaluation) hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Pengukuran dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menyatakan
tentang isi materi yang diukur dari objek penelitian. Kedalaman pengetahuan yang
ingin diketahui atau diukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan tersebut diatas
(Notoatmodjo, 2003)
2.5.2. Sikap
Menurut Notoatmodja (2003) sikap adalah reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak
langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dar prilaku yang
tertutup.
Menurut Neowcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) bahwa sikap
sebagai suatu penghayatan terhadap objek. Sikap mempunyai 3 komponen pokok
yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek
2. Kehidupan emosional untuk evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecendrungan untuk bertindak.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung.
Secara langsung dapat dinyatakan melalui pendapat atau pertanyaan responden
terhadap suatu objek, secara tidak langsung dapat dilakukan dengan
pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden.
2.5.3. Tindakan
Menurut Notoatmodjo (2003) tindakan adalah gerakan/perbuatan dari tubuh
setelah mendapat rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh
(Lingkungan). Tindakan seseorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan
oleh bagaimana kepercayaan dan perasaanya terhadap stimulus tersebut.
Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan namun tidak
dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis. Suatu
sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk
terwujudnya sikap menjadi suatu tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu
kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai
pihak. Seperti halnya dengan pengetahuan dan sikap, tindakan juga terdiri dari
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
1. Persepsi (perception) diartikan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan
dengan tindakan yang akan diambil.
2. Respon terpimpin (guided response) diartikan sebagai suatu urutan yang benar
sesuai dengan contoh
3. Mekanisme (mechanism) diartikan apabiala seseorang telah dapat melakukan
sesuatu dengan benar secara optimis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.
4. Adaptasi (adaptation) suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang
dengan baik, artinya tindakan itu juga sudah dimodifikasi tanpa mengurangi
keberadaan tindakan tersebut.
Pengukuran tindakan dapat dilakukan secara tidak langsung yaitu dengan
wawancara atas kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari atau bulan
yang lalu (recall). Pengukuran dapat juga dilakukan secara langsung yakni
mengobservasi tindakan atau kegiatan responden (Notoatmodjo, 2003).
2.6. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
Berdasarkan kerangka konsep diatas, dapat dirumuskan variabel yang akan diteliti
sebagai berikut :
Karakteristik kepala keluarga: - Umur
- Jenis Kelamin - Tingkat Pendidikan - Pekerjaan
- Pengetahuan - Sikap
1. Karakteristik kepala keluarga adalah ciri yang melekat pada diri seorang kepala
keluarga yang dapat membedakan satu kepala keluarga dengan kepala keluarga
lainnya, yang berhubungan dengan tindakan dalam pencegahan penyakit
filariasis.
2. Tindakan pencegahan filariasis adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh kepala
keluarga dalam pencegahan penyakit filariasis.
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep, dapat disusun hipotesis penelitian sebagai
berikut : ”Ada pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan, tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap tindakan pencegahan
filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi
tahun 2007”.
BAB III
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian adalah survey explanatory reserch dengan pendekatan
kuantitatif yaitu untuk menjelaskan pengaruh antara variabel penelitian melalui
pengujian hipotesa, yakni pengaruh variabel karakteristik kepala keluarga terhadap
tindakan pencegahan penyakit filariasis di Desa Kemingking Dalam kecamatan Maro
Sebo Kabupaten Muaro Jambi.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Kemingking Dalam kecamatan Maro Sebo
yang merupakan salah satu daerah endemis di wilayah kabupaten Muaro Jambi.
3.2.2Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 18 juni 2007 sampai dengan tanggal 22
juni 2007.
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua kepala keluarga di Desa
Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi sebanyak 544
jumlah kasus kronis filariasis lebih banyak terdapat di Desa ini dibandingakan dengan
desa-desa endemis lainya.
3.3.2 Sampel
Jumlah sampel dalam penelitian ini dicari dengan mengunakan rumus yang
ada di buku Soekidjo (2002).
N n =
1 + N (d2)
n = 85
Dari hasil perhitungan dengan rumus diatas maka jumlah sampel yang
dibutuhkan adalah sebanyak 85 kepala keluarga. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara simple random sampling (acak sederhana).
3.4 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data yaitu data primer yang diperoleh dari masyarakat di Desa
Kemingking Dalam melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner
yang telah dipersiapkan dan data sekunder diperoleh dari Puskesmas Kemingking
Dalam, Dinas kesehatan Muaro Jambi serta buku-buku yang berhubungan dengan
penyakit filariasis.
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Untuk memudahkan penelitian serta memiliki persepsi yang sama, maka
defenisi operasional penelitian ini adalah :
1. Kepala keluarga adalah salah seorang dari keluarga yang dianggap sebagai
pemimpin dan bertanggung jawab terhadap keluarga tersebut.
2. Umur adalah usia responden dalam tahun yang disampaikan pada saat
wawancara.
3. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang dicapai oleh
responden,
4. Pekerjaan adalah aktivitas yang dilakukan secara rutin dalam usaha mencari
nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya.
5. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang
penyakit filariasis yang terdiri dari pengertian, gejala-gejala, penyebab, cara
penularan, cara pencegahan dan cara penyembuhannya.
6. Sikap adalah kecendrungan responden untuk berespon baik secara positif atau
negative dalam pencegahan penyakit filariasis.
7. Tindakan pencegahan segala sesuatu yang dilakukan oleh kepala keluarga dalam
pencegahan penyakit filariasis.
3.6 Aspek pengukuran
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas
Aspek Pengukuran Variabel Terikat
Tindakan masyarakat diukur dengan menggunakan skala interval dengan
teknik pilihan jawaban a (skor 3), b (skor 2), c (skor 1), dengan jumlah 7 pertanyaan.
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
untuk kuesioner tindakan adalah 21 dan terendah adalah 7 Berdasarkan jumlah skor
yang diperoleh maka dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Baik, apabila total skor yang dijawab untuk seluruh pertanyaan berada diantara
17-21.
2. Kurang baik, apabila total skor yang dijawab untuk seluruh pertanyaan berada
diantara 12-16.
3. Tidak baik, apabila total skor yang dijawab untuk seluruh pertanyaan berada
diantara 7-11.
Teknik Analisa Data
Teknik analisa Data yang digunakan adalah uji statistic regresi liniar berganda
untuk menguji pengaruh veriabel karakteristik kepala keluarga (umur,jenis
kelamin,tingkat pendidikan,pekerjaan,tingkat pengetahuan dan sikap) terhadap
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Kemingking Dalam merupakan salah satu desa di Kecamatan Maro
Sebo Kabupaten Muaro Jambi. Secara geografis desa Kemingking Dalam berbatasan
dengan : (1) Sebelah timur berbatasan dengan desa Teluk Jambu, (2) Sebelah selatan
berbatasan dengan desa Kemingking Luar, (3) Sebelah barat berbatasan dengan desa
Tebat Patah, (4) Sebelah utara berbatasan dengan sungai Batang Hari.
Jumlah penduduk 2.721 jiwa (154 KK), yang terdiri dari laki-laki 1.398 jiwa
dan perempuan 1.323 jiwa. Mata pencarian penduduk pada umumnya adalah sebagai
petani, disamping itu sebagai pencari ikan di sungai (rawa-rawa), pedagang, pegawai
negeri (Data Desa Kemingking Dalam, 2006).
Sarana Kesehatan yang terdapat di desa Kemingking Dalam adalah
Puskesmas Kemingking Dalam serta Polindes yang ditangani oleh seorang Bidan
Desa.
Kondisi lingkungan desa Kemingking Dalam banyak terdapat rawa-rawa,
sungai, hutan dan kebun para (karet) milik Masyarakat yang merupakan habitat dari
nyamuk.
4.2. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini adalah Kepala Keluarga yang berjumlah 85
KK. Karakteristik responden yang diteliti meliputi umur, jenis kelamin, tingkat
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
tindakan pencegahan penyakit filariasis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelompok umur yang paling banyak adalah antara 30-39 tahun yaitu sebanyak 31
responden (36,5%). Responden terbanyak adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu
sebanyak 67 responden (78,8%). Tingkat pendidikan responden yang paling banyak
adalah tamat SD yaitu sebanyak 39 responden (45,9%) dan pekerjaan responden yang
terbanyak adalah petani yaitu 40 responden (47,1%).
Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Kepala Keluarga (Umur, Jenis Kelamin, Pendidikan, Pekerjaan) di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Karakteristik Responden Frekuensi Persentase (%)
Umur
1. Tidak sekolah/Tidak tamat SD 19 22,4
4.3. Pengetahuan Responden
Distribusi pengetahuan mengenai filariasis, sebanyak 65 responden (76,5%)
tidak pernah mendengar tentang filariasis, 31 responden (36,5%) memperoleh
informasi tentang filariasis dari orang tua (keluarga), 46 responden (54,1%) tidak
mengetahui penyakit filariasis, 42 responden (49,4%) menjelaskan filariasis tidak
tahu apakah penyakit filariasis mematikan, 38 responden (44,7%) menjelaskan
penyakit filariasis disebabkan faktor keturunan, 42 responden (49,4%) menjelaskan
tidak tahu apakah nyamuk dapat menularkan filariasis, 54 responden (63,5%)
gejala-gejala penderita filariasis adalah sering demam berulang, tumbuh benjolan seperti
bisul, tangan dan kaki bengkak, 40 responden (47,1%) menjelaskan penyakit filariasis
menular, 39 responden (45,9%) tidak tahu upaya pencegahan penyakit filariasis, 34
responden (40,0%) menjelaskan penderita filariasis dapat disembuhkan, 45 responden
(52,9%) menjelaskan pengobatan yang baik untuk filariasis adalah secara medis, 40
responden (47,1%) menjelaskan cara pemberantasan penyakit filariasis yaitu dengan
pengobatan massal, pemberantasan sarang nyamuk, dan pengobatan bagi penderita,
dan 43 responden (50,6%) menjelaskan yang dapat melakukan pemberantasan
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan (Pengertian, Penyebab, dan Tindakan Pencegahan Filariasis) di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
No Pengetahuan Tentang Filariasis
Kategori Jumlah
Baik Sedang Kurang n %
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar responden
memiliki pengetahuan sedang yaitu sebanyak 46 responden (54,1%), pengetahuan
kurang sebanyak 21 responden (24,7%), dan pengetahuan baik sebanyak 18
responden (21,1%).
Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Tentang Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
No Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
1. Baik 18 21,2
2. Sedang 46 54,1
3. Kurang 21 24,7
4.4. Sikap Responden
Distribusi sikap terhadap penyakit filariasis, sebanyak 37 responden (43,5%)
kurang setuju mengurangi kebiasaan keluar pada malam hari, 76 responden (89,4%)
setuju pemakaian kelambu dan penggunaan obat anti nyamuk sewaktu tidur, 70
responden (82,4%) setuju penggunaan kawat kasa pada jendela dan ventilasi, 73
responden (85,9%) setuju pengobatan secara medis, 69 responden (81,2%) setuju
pemberantasan filariasis dengan meminum obat sekali setahun selama 5 tahun
berturut-turut, 66 responden (77,6%) setuju pemeriksaan darah jari pada malam hari
oleh petugas kesehatan, dan 71 responden (83,5%) setuju melakukan kegiatan 3M
dalam upaya pencegahan filariasis.
Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Setuju, Kurang Setuju atau Tidak Setuju Terhadap Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
No Sikap Terhadap Penyakit Filariasis
Pernyataan Jumlah
Baik Kurang
1. Mengurangi kebiasaan keluar malam
33 38,8 37 43,5 15 17,6 85 100
2. Pemakaian kelambu dan obat anti nyamuk
76 89,4 8 9,4 1 1,2 85 100
3. Penggunaan kawat kasa pada jendela/ventilasi
70 82,4 13 15,3 2 2,4 85 100
4. Pengobatan medis 73 85,9 11 12,9 1 1,2 85 100
5. Pemberantasan dengan meminum obat 1x setahun selama 5 tahun
69 81,2 12 14,1 4 4,7 85 100
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
malam hari
7. Upaya pencegahan dengan kegiatan 3M
71 83,5 13 15,3 1 1,2 85 100
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar responden
bersikap baik terhadap pencegahan penyakit filariasis yaitu sebanyak 77 responden
(90,6%), bersikap kurang baik sebanyak 8 responden (9,4%) sedangkan sikap tidak
baik tidak ada.
Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Sikap Terhadap Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
No Sikap Frekuensi Persentase (%)
1. Baik 77 90,6
2. Kurang baik 8 9,4
3. Tidak baik 0 0
Jumlah 85 100
4.5. Tindakan Responden Dalam Pencegahan Penyakit Filariasis
Distribusi tindakan penyakit filariasis, sebanyak 41 (48,2%) sering melakukan
kegiatan di luar rumah, 66 responden (77,6%) menggunakan kelambu dan obat anti
nyamuk pada waktu malam, 57 responden (67,1%) tidak menggunakan kasa nyamuk
pada jendela dan ventilasi rumah, 40 responden (47,1%) tidak pernah mengusir
nyamuk secara tradisional, 70 responden (82,3%) ada menerima obat yang diberikan
petugas kesehatan sekali dalam setahun, 61 responden (71,8%) memakan obat 2-3
kadang-kadang menguras dan membersihkan tempat-tempat penampungan air yang ada
disekitar dan di dalam rumah.
Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
No Tindakan Pencegahan Terhadap Penyakit
Filariasis
Pernyataan Jumlah
Baik Kurang
1. Tidak melakukan kegiatan di luar rumah
11 12,9 33 38,8 41 48,2 85 100
2. Menggunakan kelambu dan obat anti nyamuk
66 77,6 10 11,8 9 10,6 85 100
3. Menggunakan kasa nyamuk pada jendela/ventilasi
12 14,1 16 18,8 57 67,1 85 100
4. Kegiatan mengusir nyamuk secara tradisional
16 18,8 29 34,1 40 47,1 85 100
5. Ada menerima obat yang diberi petugas kesehatan 1x setahun
70 82,3 10 11,8 5 5,9 85 100
6. Berapa kali makan obat yang diberi petugas kesehatan
17 20,0 61 71,8 7 8,2 85 100
7. Sering menguras dan membersihkan tempat-tempat air
50 58,8 31 36,5 4 4,7 85 100
Berdasarkan uraian di atas, menunjukkan bahwa sebagian besar reponden
bertindak kurang baik yaitu sebanyak 67 responden (78,8%), 17 responden
(20 %) bertindak baik dan hanya 1 responden (1,2%) yang bertindak tidak baik.
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
No Tindakan Frekuensi Persentase (%)
1. Baik 17 20,0
2. Kurang baik 67 78,8
3. Tidak baik 1 1,2
Jumlah 85 100
4.6. Analisa Statistik
Untuk mengetahui adanya pengaruh karakteristik kepala keluarga (umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan), pengetahuan dan sikap terhadap tindakan
pencegahan penyakit filariasis, digunakan analisa statistik uji regresi linier berganda
dengan metode enter. Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda dapat
diketahui bahwa hanya tiga variabel bebas yang berpengaruh terhadap variabel
terikat yaitu pendidikan (p=0,000), pekerjaan (p=0,001), dan pengetahuan (p=0,014).
Dan dari ketiga variabel tersebut, variabel yang paling berpengaruh besar terhadap
tindakan pencegahan penyakit filariasis adalah tingkat pendidikan (B=-0,200).
Tabel 4.8. Hasil Uji Regresii Linier Berganda Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Variabel Bebas B T Sig (p)
(Constant) 2,678 5,846 0,000
Umur -0,015 -0,467 0,642
Jenis Kelamin 0,050 0,502 0,617
Tingkat Pendidikan -0,200 -4,068 0,000
Pekerjaan 0,155 3,309 0,001
Pengetahuan 0,176 2,510 0,014
Sikap -0,240 -1,698 0,093
Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda pada tabel diatas maka diperoleh
Y = 2,678 – 0,200X1 + 0,155X2 + 0,176X3
Dimana :
Y = Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis
X1 = Pendidikan
X2 = Pekerjaan
X3 = Pengetahuan
Pada tabel 4.9. dapat dilihat bahwa variabel pendidikan, pekerjaan, dan
pengetahuan mempunyai pengaruh terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis
dengan koefisien determinan (R Square) sebesar 0,266. Dengan demikian, dapat
ditafsirkan bahwa pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan mempengaruhi tindakan
pencegahan penyakit filariasis sebesar 26,6% dan sebesar 73,4% dipengaruhi
faktor-faktor lain.
Tabel 4.9. Nilai Determinan Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi Tahun 2007
Model R R Square Adjust R Square
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
BAB V PEMBAHASAN
Hasil uji statistik dengan menggunakan regresi linier berganda menunjukkan
bahwa variabel pendidikan (p = 0,000), pekerjaan (p = 0,001), dan pengetahuan (p =
0,014) mempunyai pengaruh terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis, karena
memiliki nilai signifikan < 0,05. Sedangkan variabel umur (p = 0,642), jenis kelamin
(p = 0,617), sikap (p = 0, 093) mempunyai nilai signifikan > 0,05 sehingga tidak
mempunyai pengaruh terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis.
5.1. Pengaruh Pendidikan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis
Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel pendidikan
mempunyai pengaruh (B = -0,200) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis
dengan taraf signifikan 0,000. Artinya jika pendidikan meningkat belum tentu
tindakan pencegahan penyakit filariasis menjadi lebih baik karena biasanya orang
yang sudah berpendidikan tinggi merasa bahwa dirinya sudah tahu tetapi dalam
Tarigan (2004), menyebutkan bahwa tingkat pendidikan dengan
ketidaktahuan responden tentang serangga (vektor) pembawa lympatik filariasis dan
cara penularannya, mengakibatkan meratanya penyebaran lympatik filariasis.
Pendidikan seseorang akan berperan dalam perilaku kesehatannya. Menurut
Kasnodihardjo (1990), seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan rendah,
pada umumya akan mengalami kesulitan untuk menerapkan ide-ide baru dan
membuat mereka bersifat konservatif, karena mereka tidak mengenal alternatif yang
lebih baik yang tersedia baginya.
Demikian juga menurut Azwar (1988), kebutuhan dan tuntutan seseorang
terhadap kesehatan amat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dimana jika tingkat
pendidikan baik maka secara relatif kebutuhan dan tuntutannya terhadap kesehatan
akan tinggi. Hal sebaliknya akan ditemukan jika tingkat pendidikan belum
memuaskan.
Hasil penelitian di lapangan ditemukan perbedaan tindakan pencegahan
penyakit filariasis, di mana responden dengan tingkat pendidikan rendah cenderung
berperan dalam tindakan pencegahan penyakit filariasis.
5.2.Pengaruh Pekerjaan Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit Filariasis
Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa variabel pekerjaan
mempunyai pengaruh (B = 0,155) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis
dengan taraf signifikan 0,001. Artinya terjadi peningkatan tindakan pencegahan
Sari Ukurtha Br. Tarigan. Pengaruh Karakteristik Kepala Keluarga Terhadap Tindakan Pencegahan Penyakit
pekerjaan responden petani maka tindakan pencegahan terhadap penyakit filariasis
rendah.
Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Wawolumaya, dkk (1993),
bahwa pekerjaan yang termasuk dalam faktor sosio demografi merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap perilaku seseorang.
Menurut Sumarni dan Soeyoko (1998), bahwa infeksi malayi paling banyak
terjadi pada penduduk yang mempunyai pekerjaan sebagai petani. Mereka sering
berada di hutan untuk berladang, mencari kayu/rotan dan menyadap karet.
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap responden diketahui bahwa
kebanyakan responden sering menginap di pondok atau kebun untuk menjaga
tanaman agar terhindar dari hama binatang. Pada saat menjaga tanaman tersebut
responden tidak menggunakan lotion atau anti nyamuk untuk mencegah gigitan
nyamuk. Walaupun responden menginap di pondok/kebun, responden tidak
menggunakan kelambu. Mereka hanya memasang api untuk mengusir nyamuk
sekaligus mengusir binatang yang menjadi hama bagi tanaman mereka.
Menurut pengamatan selama di lapangan, kepala keluarga dengan jenis
pekerjaan sebagai petani mempunyai tindakan pencegahan yang kurang baik terhadap
penyakit filariasis dibandingkan dengan kepala keluarga dengan jenis pekerjaan
bukan petani.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa yang dimaksud dengan pengetahuan
responden disini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang
penyakit filariasis yang terdiri dari pengertian, gejala-gejala, penyebab, cara
penularan, cara pencegahan dan cara penyembuhannya. Pada umumnya pengetahuan
merupakan modal yang sangat penting untuk memperoleh suatu perilaku yang baik di
mana diharapkan dari pengetahuan yang baik akan timbul perilaku yang baik pula.
Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Rogers (1974), bahwa perilaku
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng (bertahan lama) dari pada
perilaku yang tidak didasari dengan pengetahuan.
Dari tabel 4.2. diketahui bahwa pengetahuan responden yang paling banyak
dalam kategori sedang yaitu sebesar 54,1%, sedangkan responden dengan kategori
baik sebesar 24,7%, dan responden dengan kategori kurang sebesar 21,2%.
Hasil uji regresi linier berganda menunjukkan bahwa pengetahuan
mempunyai pengaruh (B = 0,176) terhadap tindakan pencegahan penyakit filariasis
dengan taraf signifikan 0,014. Artinya terjadi peningkatan tindakan pencegahan
terhadap penyakit filariasis dengan semakin baiknya tingkat pengetahuan responden.
Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa kepala keluarga lebih
banyak memiliki tingkat pengetahuan sedang sehingga tindakan yang dilakukan
terhadap pencegahan penyakit filariasis di Desa Kemingking Dalam Kecamatan Maro
Sebo Kabupaten Muaro Jambimasih kurang baik.
Hasil pengamatan di lapangan diperoleh bahwa dari 85 responden terdapat 3