• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi gen untuk lisin dan triptofan dengan ketahanan penyakit bulai memanfaatkan marka molekuler (MAS) dalam pengembangan jagung hibrida

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Integrasi gen untuk lisin dan triptofan dengan ketahanan penyakit bulai memanfaatkan marka molekuler (MAS) dalam pengembangan jagung hibrida"

Copied!
138
0
0

Teks penuh

(1)

INTEGRASI GEN UNTUK LISIN DAN TRIPTOFAN

DENGAN KETAHANAN PENYAKIT BULAI

MEMANFAATKAN MARKA MOLEKULER (MAS)

DALAM PENGEMBANGAN JAGUNG HIBRIDA

MUHAMMAD AZRAI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan Judul

Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida

adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.

Bogor, 18 Januari 2007

(3)

ABSTRAK

MUHAMMAD AZRAI. Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida. Dibimbing oleh HAJRIAL ASWIDINNOOR, MEMEN SURAHMAN, dan JAJAH KOSWARA.

Jagung bermutu protein tinggi (QPM= Quality Protein Maize) merupakan salah satu sumber protein nabati yang diperlukan oleh manusia dan ternak monogastric karena mengandung gen mutanopaque-2 yang mengekspresikan peningkatan lisin dan triptofan pada endosperma menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan jagung normal. Kendala pengembangan QPM di Indonesia adalah semua koleksi QPM yang ada rentan penyakit bulai. Pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi (MAS = Marker Assisted Selection) untuk mengintrogresikan gen mutan opaque-2 ke galur elit resisten terhadap Peronosclerospora maydis dapat mempercepat pembentukan populasi atau hibrida QPM komersial yang resisten terhadap penyakit tersebut. Tujuan akhir yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mendapatkan kandidat varietas jagung hibrida QPM, resisten terhadap penyaki bulai dan hasil tinggi. Penelitian ini dilaksanakan dalam empat bagian percobaan. Penelitian pertama: Pendugaan ragam dan model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis. Dibuat masing-masing 7 macam populasi (P1, P2, F1, F2, BC1P1,

BC1P2 dan F3) dari set persilangan CML161 x MR10 dan CML161 x Nei9008 kemudian

diinokulasi dengan konidia P. maydis secara semi buatan, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketahanan penyakit bulai dikendalikan oleh gen-gen yang bersifat kuantitatif dan tingkat ketahanannya secara nyata diperankan oleh aksi gen-gen aditif, dominan dengan pengaruh interaksi epistasis komplementer pada set persilangan MR10 x CML161 dan interaksi epistasis duplikat pada set persilangan Nei9008 x CML161.

Penelitian kedua: Introgresi gen resesif mutano2 ke galur jagung resisten penyakit bulai dengan pendekatan MAS-1. Galur CML 161 (tetua donor gen o2), Nei9008 dan MR10 (tetua resisten penyakit bulai), progeninya (BC1F1, BC2F1, BC3F1, BC3F2,) disaring di laboratorium,

(4)

(rerata hasil 4.9 t/ha dan infeksi bulai 64.4%) dan komposit Srikandi Kuning-1 (rerata hasil 5.3 t/ha dan infeksi bulai 100%).

(5)

ABSTRACT

MUHAMMAD AZRAI. Integression of opaque-2 Gene into Downy Mildew Resistance Lines, Utilizing Marker Assisted Selection (MAS) in Developing Hybrid Maize. Under advisory of HAJRIAL ASWIDINNOOR, MEMEN SURAHMAN, and JAJAH KOSWARA.

Quality protein maize (QPM) is one of the sources of plant protein that is necessary for human and monogastric livestock because the QPM contains opaque-2 mutant gene that expresses increased lysine and tryptophan in maize endosperm as compared to normal maize. One problem of QPM development in Indonesia is that all QPM collections were susceptible to downy mildews (DM). Application of marker-assisted selection (MAS) for introgression of the opaque-2 mutant to downy mildew resistance (DMR) elite lines faster developing of commercial QPM population or hybrids carrying DMR gene. The goals of this research were to generate QPM hybrid varieties having downy mildew resistance and high yield. The study consisted of four experiments. First: Estimate of genetic variance and genetic models to downy mildew resistance in maize. Each seven kinds of populations (P1, P2, F1, F2, BC1P1, BC1P2, and F3) from crosses CML161 x MR10

and CML161 x Nei9008 was developed then evaluated for DMR under artificial screening nursery using randomize bock design (RBD). The results of the experiment showed that DMR was controlled by quantitative genes and the level of its resistance was significantly played by gene action of additive and dominant. Complementary epitasis interaction and duplicate epitasis interaction observed for the cross of MR10 x CML161 and Nei9008 x CML161. Second: Introgression of o2 recessive mutant gene to downy mildew resistance maize lines with MAS-1 approach. Lines CML161, Nei9008 and 36 MR10, its progenies (BC1F1, BC2F1, BC3F1, BC3F2)

were screened in the laboratory using specific markers umc1066 and phi057 with Partial MAS 1 method. The selected lines were evaluated for its performance using augmented design. There were 42 of Nei9008+o2 and 36 MR10+o2 lines and some lines showed higher yield potential compared to their original lines. Third: Selection and combining ability of lines containing homozygote recessive opaque2 gene for downy mildew resistance. Eight Nei9008+o2 lines, and eight MR10+o2 testers to DMR character having twice lysine and of tryptophan content compared to their backcross parental lines were screened. The lines were recombined to develop 64 single cross hybrids. Lines Nei9008+o2-11 and Nei9008+o2-71, and tester of MR10+o2-30 were identified have significant for general combining abilities and seven-cross combinations showed significance for specific combining abilities. Fourth: Evaluation of combining ability, yield potentials, yield components, and agronomy characters of lines and testers containing opaque-2 recessive homozygous gene. Genotype test consisted of eight lines, eight testers, hybrid crosses of lines x testers and four check varieties. The experiment was arranged in randomized block design, with two replications under lowland farm, Lapeccang (Bone) and upland farm, Bajeng (Gowa). Results showed that genotype x locations were significant for ears weight and yield characters. Line Nei9008+o2-09 and tester MR10+o2-31 were good combiner for yield and their hybrid gave highest yield and significantly different from all checks. Eight new hybrids of good and significant specific combining abilities for yield were selected. At the end, we identified three new QPM hybrids, having high yield potential, and resistant to downy mildew. The new QPM hybrids are Nei9008+o2-27//MR10+o2-13 (mean yield is 8.4 t/ha and DM infections is 2.2%), (Nei9008+o2-09// MR10+o2-26, (mean yield is 7.7 t/ha, and DM infections is 14.4%) and Nei9008+o2-27// MR10+o2-08 (mean yield is 7.4 t/ha and DM infections is 2.2%). The check varieties were three hybrid varieties and one open pollinated variety, with following performances: hybrid C7 (yield mean is 7.4 t/ha and DM infections is 48.7%), hybid Bima 1 6.3 t/ha and 45%), hybrid Bima 1q (4.9 t/ha and 64.4%), and Srikandi Kuning-1 (5.3 t/ha and 100%), respectively.

(6)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Peranian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(7)

INTEGRASI GEN UNTUK LISIN DAN TRIPTOFAN

DENGAN KETAHANAN PENYAKIT BULAI

MEMANFAATKAN MARKA MOLEKULER (MAS)

DALAM PENGEMBANGAN JAGUNG HIBRIDA

OLEH :

MUHAMMAD AZRAI

Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Judul Penelitian : Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida

Nama Mahasiswa : Muhammad Azrai

Nomor Pokok : A361040121

Program Studi : Agronomi

Menyetujui,

1. Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara Dr. Memen Surahman, M.Sc.

Anggota Anggota

Mengetahui

2. Ketua Program Studi Agronomi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana,

Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(9)

PRAKATA

Segala puja, puji dan syukur bagi Allah S.W.T., atas segala limpahan berkah, rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi berjudul “Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida”.

Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M. Sc., selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Jajah Koswara dan Dr. Memen Surahman, M. Sc., sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, sumbangan pemikiran dan motivasi yang diberikan sejak penulis mengikuti pendidikan, penelitian dan penulisan hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada Dr. Bonny P. Wahyu Soekarno, M. Sc., selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Prof Dr. Alex Hartana dan Dr. Firdaus Kasim, M. Sc., selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Kepala Puslitbang Tanaman Pangan, Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia dan Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, juga disampaikan ucapan terima kasih atas izin belajar dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis juga ditujukan kepada Dr. Maria Luz Geoge selaku Kordinator Proyek AMBIONET, Dr. Kevin V. Pixley selaku Direktur Program Ekosistem Tropis CIMMYT, Dr. Firdaus Kasim, Dr. Sutrisno, dan Dr. Marsum Dahlan (Almarhum) sebagai pemimpin AMBIONET Indonesia, yang telah membantu pengadaan bahan kimia dan peralatan di Laboratorium dan mendorong penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan doktor di IPB.

Penulis sangat menyadari bahwa keberhasilan penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari rekan-rekan peneliti dan teknisi di Lab Biologi Molekuler dan KP. Cikeumeuh Balai Besar Litbang Biogen serta di Balai Penelitian Tanaman Serealia. Untuk itu sudah selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka, terutama kepada Reflinur, M.Si, Marcia B. Pabendon. MP., Joko Prasetyono, M.Si., Tri Joko, M.Si, Andi Takdir Makkulawu, MP, Amin Nur, SP., Sri Sunarti, SP., Hasnah, SP., Ahmad Dadang, SP., Ma’suma, M. Toha, dan Arifuddin.

Kepada Pimpinan dan Dosen SPs IPB, penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas segala bimbingan dan pembinaannya selama ini, terutama kepada Ibu Ketua Program Studi Agronomi dan staf yang telah membantu penulis selama mengikuti studi di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Agronomi atas segala bantuan, dukungan dan kebersamaannya selama penulis mengikuti studi di SPs IPB.

Rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan tiada henti penulis sampaikan kepada Ibunda Nurkaya, A.Md dan Ayahanda Mahmud (Almarhum), serta mertua penulis Drs. H. Nurdin dan Dra. Hj. Barlian atas doa restu, dorongan dan motivasinya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya untuk istriku tercinta Asni, S. Ag., M.Hi. dan anandaku tersayang Muhammad Rais Kamil atas segala doa, dorongan, kesabaran serta keikhlasannnya sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini. Kepada adik-adikku serta keluarga dan sahabat-sahabatku yang banyak memberikan bantuan dan dukungannya, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pemuliaan tanaman di Indonesia.

Bogor, Januari 2007

(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Walenreng, Kabupaten Bone, Sul-Sel, pada tanggal 20 Janjuari 1972 sebagai anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Mahmud (Almarhum) dan Ibu Nurkaya. Penulis telah menikah dengan Asni, S. Ag., M.Hi, pada tanggal 22 Desember 2003 dan di Karunia seorang putra yaitu Muhammad Rais Kamil yang lahir pada tanggal 8 Oktober 2004. Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2000, penulis mendapat beasiswa dari Badan Litbang, Departemen Pertanian untuk melanjutkan studi di Universitas Padjadjaran pada Program Studi Ilmu Tanaman dengan Minat Utama Pemuliaan Tanaman, dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2004, penulis mendapat izin belajar dari Kepala Badan Litbang Pertanian untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja sebagai staf peneliti bidang pemuliaan tanaman dan plasmanutfah di Balai Penelitian Tanaman Serealia sejak tahun 1999 sampai sekarang. Tiga varietas jagung bersari bebas yang telah dirilis yaitu Srikandi Kuning-1, Srikandi Putih-1 dan Anoman-1, dimana penulis menjadi salah seorang anggota Tim Pemulianya, dan menjadi Pemulia Utama pada perilisan jagung hibrida NT 10 dan N35. Selain itu, juga menjadi pemulia utama pada dua calon varietas jagung hibrida baru yang sedang dalam proses perilisan di Departemen Pertanian.

Selama mengikuti program S3, penulis sempat mengikuti magang selama tiga minggu di Lab Service AMBIONET, IRRI, Los Banos, Filipina pada bulan Februari 2005. Selain itu, juga mendapat kesempatan mengikuti workshop “Greater impact

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTRA GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Jagung Bermutu Protein Tinggi (QPM)... 4

Marka SSR... 6

Konversi Galur QPM dengan Bantuan Marka SSR ... 7

Patogenesis dan Resistensi Tanaman Jagung ... 10

Kendali Genetik Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai... 12

Daya Gabung dan Metode Lini x Tester... 13

Heterosis ... 15

Heritabilitas... ... 15

Interaksi Genotip x Lingkungan, Heritabilias dan Potensi Tanaman ... 16

Strategi Pemuliaan Jagung Berprotein Tinggi dan Resisten terhadap Penyakit Bulai ... 16

PENDUGAAN RAGAM DAN MODEL GENETIK KARAKTER KETAHAN TERHADAP PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG 21 Pendahuluan ... 21

Bahan dan Metode... 22

Hasil dan Pembahasan... 26

(12)

INTROGRESIKAN GEN RESESIF MUTANo2 KE GALUR JAGUNG RESISITEN

TERHADAP PENYAKIT BULAI DENGAN PENDEKATAN MAS 35

Pendahuluan ... 35

Bahan dan Metode... 36

Hasil dan Pembahasan... 41

Kesimpulan... 49

SELEKSI DAN UJI DAYA GABUNG GALUR-GALUR HASIL INTROGRESI GEN RESESIF MUTANo2UNTUK KARAKTER KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BULAI 50 Pendahuluan ... 50

Bahan dan Metode... 51

Hasil dan Pembahasan... 56

Kesimpulan... 65

EVALUASI DAYA GABUNG DAN POTENSI KARAKTER HASIL, KOMPNEN HASIL DAN AGRONOMIS GALUR-GALUR HASIL INTROGERSI GEN MUTANO2 66 Pendahuluan ... 66

Bahan dan Metode... 67

Hasil dan Pembahasan... 74

Kesimpulan... 93

PEMBAHASAN UMUM………... 94

KESIMPULAN DAN SARAN ……….. 102

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis rata-rata

generasi... 25

2 Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentase penularan

terhadapP. maydispada pasangan persilangan galur jagung... 27

3 Uji normalitas persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi

F3pasangan persilangan galur jagung……….. 28

4 Uji skala untuk menguji model aditif dominan untuk karakter ketahanan terhadapP.maydispada kedua pasang persilangan

galur jagung... 29

5 Ujiχ2dua persilangan galur jagung menggunakan beberapa model

genetik... 30

6 Komponen genetik dan galat baku dari model genetik yang sesuai pada ujiχ2untuk karakter ketahanan terhadapP. maydis

pada dua pasangan persilangan galur jagung... 31

7 Parameter genetik untuk karakter ketahanan dua pasangan

persilangan galur jagung terhadapP. maydis... 33

8 Komposisi larutan buffer isolasi DNA jagung ……… 39

9 Komposisi reaksi PCR untuk mikrosatelit... 39

10 Nilai Chi-kuadrat rata-rata untuk derajat kecocokan nisbah segregasi

silang balik dan silang dalam terhadap beberapa nisbah hipotetik... 44

11 Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo)progeni CML161 x Nei9008 di lahan kering KP.

Cikemeuh, Bogor, MK 2006... 46

12 Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo)progeni CML161 x Mr10 di lahan kering KP.

Cikemeuh, Bogor, MK 2006... 47

13 Analisis ragam dengan menggunakan model lini x tester dengan model

random... 54

14 Persentase penularan patogen penyakit bulai dan mutu protein galur-galur hasil introgresi yang terseleksi sebagai kandidat tetua

(14)

15 Nilai varians karakter ketahanan jagung terhadap penyakit

bulai dengan menggunakan model random... 58

16 Efek daya gabung umum karakter ketahanan terhadap penyakit

bulai menggunakan metode lini x tester... 59

17 Efek daya gabung khusus karakter ketahanan terhadap penyakit

bulai menggunakan metode lini x tester... 61

18 Parameter genetik karakter ketahanan terhadap penyakit bulai

menggunakan metode lini x tester... 62

19 Fenomena heterosis karakter ketahanan terhadap penyakit bulai

menggunakan metode lini x tester ... 64

20 Analisis ragam untuk lini x tester dengan menggunakan model

random... 71

21 Analisis ragam gabungan di dua lokasi pengujian menggunakan

model random ... 73

22 Analisis ragam untuk daya gabung beberapa karakter agronomis

dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006. ... 76

23 Efek daya gabung umum gabungan beberapa karakter agronomis

dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006... 78

24 Efek daya gabung khusus gabungan beberapa karakter agronomis

dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006... 80

25 Parameter genetik karakter agronomis, komponen hasil dan hasil

menggunakan metode lini x tester... ... 83

26 Hasil biji (k.a 15%) genotip uji dan cek pada dua lokasi pengujian,

MK 2006. ... 85

27 Karakter agronomis genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi

pengujian, MK 2006... 89

28 Karákter komponen hasil genotip uji dan cek dari gabungan dua

lokasi pengujian, MK .2006... 90

29 Skor penampilan tanaman, klobot dan tongkol genotip uji dan cek

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Penampilan tongkol jagung normal, QPM berbiji buram dan jernih (a),

serta penampilan bijinya pada mejah cahaya (b)………. 6 2 Teknik marka SSR untuk seleksi genopaque-2pada jagung ... 9

3 Konidium cendawanP. maydisdanP. Philippinensis..... 10

4 Gejala sistemik penularan penyakit bulai pada pada jagung di KP

Cikeumeuh, Bogor, 2005, (A) dan KP Natar, Lampung, 2004 (B)... 11 5 Alur kegiatan penelitian ... 20

6 Sebaran frekuensi penularan terhadapP. maydisgenerasi F3pada set

persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 ... 28 7 Profil DNA jagung pada agarose 0.80% yang diekstraksi dengan

metode CITAB... 42 8 Profil DNA tanaman yang telah diencerkan pada agarose 0.75%

dengan kuantitas 10 ng/l... 42 9 Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC2F1

divisualisasi dengan gelpolyacrilamiddengan menggunakan

primer SSR spesifikphi 057... 43 10 Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC2F1

divisualisasi dengan gelpolyacrilamidgel Agarose dengan

menggunakan primer SSR spesifikumc1066... 43 11 Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC3F1

divisualisasi dengan gelpolyacrilamiddengan menggunakan

primer SSR spesifikphi 057... 44 12 Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC3F1

divisualisasi dengan gelpolyacrilamidgel Agarose dengan

menggunakan primer SSR spesifikumc1066... 44 13 Penampilan tongkol galur jagung hasil introgresi gen homosigot

resesifopaque-2pada generasi BC3F3... 48 14 Penamnpilan biji jagung hasil introgresi gen homosigot

resesifopaque-2pada generasi BC3F3 di atas cahaya lampu... 49 15 Skema persilangan galur-galur jagung grup B x A mengikuti model

persilangan ’design II (factorial design)’... 52 16 Bentuk penutupan kelobot dan nilai skor... 69

17 Histogram sebaran frekuensi hasil biji kering (k.a 15%) 64 hibrida hasil

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial)... 113

2 Tata letak percobaan penyaringan genotip jagung terhadapP. maydisdi

lapangan dengan menggunakan dua ulangan ……... 114

3 Tata letak percobaan penyaringan genotip jagung terhadapP. maydis

di lapangan dengan rancangan perbesaran, tanpa ulangan... 115

4 Tata letak percobaan pengujian daya gabung, efek heteosis, dan potensi tanaman untuk karakter komponen hasil, hasil dan

beberapa karakter agronomi... 116

5 Persentase infeksi galur-galur Nei9008-o2 terhadapP. maydis,

KP. Cikemeuh, MH 2006... 117

6 Persentase infeksi galur-galur Mr10-o2 terhadapP. maydis, KP.

Cikemeuh, MH 2006... 118

7 Nilai tengah varians gabungan potensi tanaman untuk karakter

komponen hasil, hasil dan beberapa karakter agronomi, MK 2006... 119

8 Karakteristik fisik dan kimia tanah lokaksi evaluasi daya gabung dan potensi hasil di Lahan kering KP. Bajeng dan Lahan Sawah

Lapeccang, Bone. MK 2006. ... 120

9 Kandungan lisin, tiptofan dan protein kasar pada galur-galur hasil

introgresi gen opaque di Laboratorium CIMMYT, Mexico, 2006... 121

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Riset pengembangan jagung dunia akhir-akhir ini selain diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, juga diarahkan untuk peningkatan nilai nutrisinya seperti kandungan mutu protein dan minyak. Menurut Untoro (2002), penduduk Indonesia yang menderita kekurangan gizi protein sekitar 100 juta jiwa. Akibat gizi buruk tersebut, dampaknya sudah mulai terasa yaitu munculnya penyakit busung lapar yang menimpa anak-anak pada beberapa daerah di Indonesia. Kenyataan tersebut merupakan suatu indikator bahwa peningkatan mutu protein pada bahan pangan sangat diperlukan. Salah satu bahan pangan sebagai sumber protein adalah jagung dengan kandungan protein berkisar 8% - 11% (Vasal, 2001). Namun demikian, jagung normal tersebut masih kekurangan dua asam amino esensial yaitu lisin dan triptofan dengan kandungan masing-masing hanya 0,225% dan 0,05% (Cordova, 2001). Jika jagung tersebut digunakan sebagai pangan, maka manusia yang mengkonsumsinya juga akan kekurangan asam amino lisin dan triptofan. Selain manusia, kedua asam amino tersebut juga sangat dibutuhkan oleh ternak, terutama oleh ternak‘monogastric’seperti unggas dan babi yang tidak dapat menghasilkan lisin dan triptofannya sendiri sehingga harus disuplai dari bahan makanannya untuk produksi protein hewani.

(18)

memberikan produktivitas hasil lebih tinggi daripada jagung biasa (Cordova, 2001). Selanjutnya, pengujian dan penanaman QPM jenis sintetik dan hibrida secara komersial meluas di negara-negara seperti Brazil, Coloumbia, India, USA, Afrika Selatan, dan Hungaria (Bjarnason dan Vasal, 1992).

Oleh karena karakter QPM dikendalikan oleh gen homosigot resesif Opaque2 (o2) (AMBIONET, 2002), maka dengan metode pemuliaan secara konvensional untuk menyeleksi galur-galur potensial unggul QPM tidak dapat dilakukan dalam kondisi heterosigot, sehingga memerlukan penyerbukan sendiri pada setiap generasi silang balik karena ekspresi alel o2 tertutupi oleh alel O2 yang merupakan protein pengatur (regulatory protein) dengan motif leucine zipper (Schmidt et al., 1990). Selain itu, dengan pemuliaan konvensional murni, kegiatan persilangan butuh waktu yang lebih lama dan jumlah materi persilangan yang lebih besar karena diperlukan tambahan generasi penyerbukan sendiri pada setiap hasil silang balik untuk mendeteksi secara fenotipik individu tanaman pembawaopaque-2homosigot resesif. Untuk itu, diperlukan terobosan-terobosan baru untuk mengatasi masalah yang muncul pada pemuliaan konvensional dan salah satu diantaranya adalah pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi (MAS = Marker Assisted Selection). Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti bidang molekuler tanaman jagung telah berhasil mengindentifikasi tiga marka SSR (Simple Sequence Repeat) pada kromosom 7, bin 7.01 yang didesain dari daerah sequen gen Opaque-2itu sendiri. Marka SSR tersebut adalahphi057danphi112yang dikembangkan oleh Pioneer Hibrid serta umc1066 yang dikembangkan oleh Proyek Jagung Universitas Missouri-Columbia, dengan amplifikasi produk sekitar 140-160 bp (Chinet al., 1996).

Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya materi genetik asal introduksi tidak resisten terhadap penyakit bulai. Hasil penelitian di Kebun Percobaan Cikemeuh-Bogor, Natar-Lampung, dan Maros-Sulawesi Selatan dari bulan November 2003 sampai Juli 2004 menunjukkan bahwa dari beberapa genotip QPM introduksi asal CIMMYT yang diuji, semuanya rentan terhadap penyakit bulai (Azrai dan Kasim, 2005a). Penyakit bulai di Indonesia umumnya disebabkan oleh Peronosclerospora maydis. Patogen tersebut cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 100 persen atau puso seperti yang pernah terjadi di Lampung pada tahun 1996 (Subandiet al.,1996).

(19)

tersebut dapat menimbulkan dampak negatif karena residunya dapat mencemari lingkungan dan merupakan salah satu penyebab mahalnya harga benih jika diaplikasikan pada benih jagung komersial sebelum dipasarkan, terutama benih hibrida di tingkat petani (Azrai, 2002).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian pemanfaatan marka SSR sebagai alat bantu seleksi untuk mengintrogresikan gen mutan resesif opaque-2 pada galur-galur jagung yang sudah mengalami seleksi dan teridentifikasi resisten terhadap penyakit bulai di beberapa daerah endomik penyakit bulai Indonesia (Kasim et al., 2002). Galur-galur hasil introgresi yang akan diperoleh masih perlu pengkajian lebih lanjut untuk karakter ketahanannya terhadap penyakit bulai dan potensinya untuk karakter komponen hasil dan hasil serta beberapa karakter agronomis penting lainnya.

Beberapa parameter genetik yang terkait dengan pengujian tersebut adalah daya gabung, fenomena heterosis, heritabilitas keragaan hasil dan komponen hasil serta beberapa karakter agronomis penting lainnya. Daya gabung yang baik dapat mendukung perolehan nilai heterosis yang tinggi. Untuk memperoleh informasi awal potensi galur-galur hasil introgresi perlu dilakukan pengujian penampilan dan daya adaptasi hibridanya pada tipologi lahan yang berbeda.

Tujuan Penelitian

1. Mendapatkan informasi model genetik dan pewarisan karakter ketahanan tanaman jagung terhadap P. maydis pada progeni CML161 x MR10 dan CML161 x Nei9008.

2. Mengintrogresikan gen mutan o2 dari galur CML161 ke galur MR10 dan Nei9008 yang resisten terhadapP. maydis.

3. Menyeleksi galur-galur hasil introgresi gen mutan o2 untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai sebagai calon tetua hibrida dan mengetahui efek daya gabung dan heterosisnya.

4. Mendapatkan informasi daya gabung galur dan potensi karakter hasil, komponen hasil dan penampilan agronomis penting hibrida silang tunggal dari galur-galur hasil introgresi gen mutano2dan terseleksi resisten terhadapP. maydis.

5. Mendapatkan satu atau lebih calon hibrida silang tunggal yang mempunyai potensi hasil dan mutu protein tinggi serta resisten terhadapP. maydis.

(20)

Jagung Bermutu Protein Tinggi (QPM)

Jagung merupakan tanaman multiguna, karena hampir seluruh bagian tanaman tersebut bernilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan oleh ternak dan manusia pada berbagai stadia tumbuh. Sebagai bahan pangan dan pakan, jagung adalah sumber energi dan protein penting. Kandungan protein jagung biasanya sekitar 8%-11%, namun kandungan lisin dan triptofannya masing-masing hanya sekitar 0.225 % dan 0.05% sehingga masih kurang dari separuh yang disarankan oleh Food and Agriculture Organization (FAO, 1992).

Upaya peningkatan kadar protein pada biji jagung sudah lama dilakukan. Publikasi klasik tentang QPM pertama kali dilakukan oleh Dudleyet al. (1974) yang melaporkan keberhasilan peningkatan kadar protein jagung dari 10,9% (populasi asal) menjadi 26,6% pada galur jagung ‘Illinois High Protein’. Selain itu, juga dilaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kenaikan kadar protein dengan hasil.

Komposisi biji jagung yang matang secara fisiologis terdiri atas perikarp (6%), endosperma (82%), dan lembaga (12%). Pada lembaga, kadar dan mutu proteinnya tinggi tetapi pada endosperma mutu proteinnya rendah. Berdasarkan kelarutannya, protein pada endosperma biji jagung terdiri atas fraksi-fraksi albumin-larut dalam air, globulin-larut dalam larutan garam, prolamin atau zein-larut dalam alkohol, dan glutelin-larut dalam asam atau basa (Bjarnason and Vasal, 1992). Proporsi fraksi zein pada endosperma cukup tinggi yakni sekitar 60%, tetapi tidak terdapat lisin dan triptofan, sedangkan pada ketiga fraksi lainnya, komposisi asam amino cukup seimbang. Hal ini menjadi penyebab sehingga mutu protein pada jagung biasa rendah (Vasal, 2000; Vasal, 2001). Untuk itu, pemuliaan jagung bermutu protein tinggi perlu diarahkan pada perbaikan genetik endospermanya.

Awal dari perbaikan genetik terhadap mutu protein dipicu oleh penemuan gen-gen opaque dan floury yang dilaporkan dapat mengubah kandungan lisin dan triptofan pada endosperma biji (Zuber,et al., 1975). Dari sejumlah gen yang telah berhasil diidentifikasi, hanya genopaque-2 (o2) danfloury2 (fl2) yang sering dimanfaatkan dalam memperbaiki sifat endosperma jagung (Mertz et al., 1964; Nelson et al., 1965). Pada awalnya, CIMMYT menggunakan kedua gen tersebut, namun dalam perkembangan berikutnya lebih memfokuskan kepada pemanfaatan geno2(Vasal, 2000).

(21)

digunakan metode seleksi silang balik. Biji yang mengandung gen o2 dan fl2 memperlihatkan sifat lunak berkapur (soft chalky), namun fenotip yang lunak dan berkapur inilah yang merupakan penanda atau marka morfologis yang efektif dalam seleksi gen o2pada populasi yang bersegregasi (Vasal, 2001). Oleh karena sifatnya yang resesif, maka pada setiap tahap silang balik masih diperlukan satu generasi silang dalam untuk identifikasi individu tanaman yang mengandung gen homosigot resesifopaque2.

Walaupun fenotip biji yang lunak dan berkapur merupakan marka morfologis yang efektif, namun sifat tersebut merupakan salah satu kelemahan yang dimiliki oleh QPM saat itu (Bjarnason dan Vasal, 1992). Hal ini terkait dengan pengaruh pleiotropi sehingga kelemahan tersebut juga terekspresi pada biji sehingga hasilnya rendah, rentan terhadap hama gudang dan penyakit busuk tongkol. Kelemahan lainnya adalah biji jagungopaque tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengeringkannya setelah masak fisiologis. Penampilan biji yang lunak, dan kusam tidak disukai oleh petani jagung yang sudah biasa dengan tipe endosperma keras dan jernih (Kasim, 2004).

(22)

tampilannya kabur dan kurang menarik serta tongkol-tongkol dengan biji renggang (Gambar 1). Jika program pemuliaan dilakukan secara konvensional murni, biji QPM yang jernih dengan biji jagung normal sulit dibedakan sehingga mutu protein, terutama kandungan lisin dan triptofan endosperma biji harus selalu dimonitor di laboratorium (Vasal, 2000; Vasal, 2001).

Gambar 1. Penampilan tongkol jagung normal, QPM berbiji buram dan jernih (a) serta penampilan bijinya pada mejah cahaya (b).

(Gambar dikutip dari Prasannaet al. (2001))

Marka SSR

Marka SSR (Simple Sequence Repeats) atau biasa disebut mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan berulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit nukleotida yang tersebar dan menyelimuti seluruh genom, terutama pada inti genom eukariotik. Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved flanking region). Variasi dalam jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara genotip-genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR (Hamadaet al., 1982; Powellet al.,1996). Kemudahan SSR dalam mengamplifikasi dan mendeteksi fragmen-fragmen DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), serta tingginya tingkat polimorfisme yang dihasilkannya menyebabkan metode ini ideal untuk dipakai dalam studi genetik, terutama pada studi dengan jumlah sampel yang banyak. Selain itu, teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) pada SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil, sekitar 100 - 300 bp (base-pair) dari genom. Selain itu, SSR dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit saja yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain, seperti biji atau polen (Senioret al., 1996).

(23)

polimorfis yang rendah, dimana gel agarose tidak mampu digunakan. Dengan demikian, gel akrilamid mampu mendeteksi lebih lebih banyak alel per lokus daripada gel agarose (Macaulayet al., 2001).

Beberapa pertimbangan lain sehingga marka mikrosatelit banyak digunakan dalam studi genetik diantaranya: terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), dan sifatnya yang kodominan dengan lokasi genom yang telah diketahui. Dengan demikian, marka mikrosatelit merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi sehingga banyak digunakan dalam membedakan genotip, evaluasi kemurnian benih, pemetaan gen, sebagai alat bantu seleksi, studi genetik populasi, dan analisis diversitas genetik. Akhir-akhir ini, mikrosatelit lebih banyak digunakan untuk karakterisasi dan pemetaan genetik pada tanaman, diantaranya pada tanaman jagung, padi, anggur, kedelai, jawawut, gandum, dan tomat (Guptaet al., 1996; Powelet al., 1996).

Dalam program MAS, marka SSR juga merupakan salah satu marka DNA yang cukup menarik untuk digunakan. Hal ini disebabkan karena pengenalan awal dari marka SSR sifatnya kodominan sehingga meskipun genotip dalam kondisi heterosigot, marka tersebut tetap dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan alel resesif. Selain itu, marka SSR sangat informatif dan mudah dideteksi karena dapat membedakan polimorfisme antara dua karakter yang jarak genetiknya lebih dekat, sedangkan marka lain tidak dapat mendeteksinya. Oleh karena itu, marka SSR sangat baik digunakan untuk menganalisis genetik yang sederhana pada tanaman jagung (Taramino dan Tingey, 1996).

Konversi dan Selaksi Galur QPM dengan Bantuan Marka SSR

Gen mutan opaque2 (o2) pada jagung yang pertama ditemukan oleh Singleton dan Jones pada tahun 1935 (Soaveet al,1981), dengan fenotipe endosperma yang buram dan lembut telah digunakan sebagai penanda morfologi. Dalam analisis protein pada endosperma mutan pada jagung tersebut yang dilakukan oleh Mertz et al (1964) terdeteksi kandungan lisin 69% lebih tinggi dibandingkan dengan jagung normal. Sejak itu, mutano2telah digunakan sebagai sumber genetik untuk memperbaiki kualitas protein jagung (Vasal et al, 1980; Gevers dan Lake, 1992; Magnavaca, 1992; Bockholt dan Rooney, 1992; Shiet al., 2001).

(24)

dan aplikasi studi-studi tersebut yang terkait dengan alel resesif mutan o2. Sebagai contoh, Bernard et al. (1994) melaporkan karakterisasi beberapa alel-alel mutano2 pada DNA, RNA, dan level protein yang menghasilkan spektrum mutan o2 yang luas dengan ukuran yang bervariasi. Berdasarkan hal tersebut, diusulkan tata nama gen o2 sesuai dengan perbedaan panjangnya potongan fragmen hasil situs enzim restriksi (Restriction Fragment Length Polymorphism = RFLP), transkripsi, dan variasi alel yang dihasilkannya. Kata et al. (1994) membangun suatu sistem teknik untuk MAS dengan marka RFLP pada lokus o2 dengan menggunakan pelacak cDNA O2. Pelacak tersebut dihibridisasi ke genom DNA yang digesti dengan enzimHindIII sehingga genotip-genotip O2/O2, O2/O2,dano2/o2dapat diidentifikasi. Hartingset al.(1995a, 1995b) membagi 10 alel resesif (o2) dari sumber yang bebas ( o2-R, o2-m[r], o2-Columbian, o2-Agroceres, o2-261, o2-mh, o2-33, o2-Go2-Charentes, o2-Italian, dan o2-Crow) ke dalam 6 kelompok yang polimorfis melalui analisis Southern dengan 2 pelacak molekuler ke

ujung 5’ dan ujung 3’ pada cDNA O2. Dengan memperbandingkan urutan genom

alel-alel resesif dengan apa yang ada pada tipe liar, ditemukan subsitusi, penyisipan, dan penghapusan nukleotida dalam alel-alelo2.

(25)

Gambar 2. Teknik marka SSR untuk seleksi gen opaque-2 pada jagung (dikutip dari Dreheret al.,2000).

(26)

diseparasi dengan menggunakan elektroforesis untuk menentukan individu-individu tanaman QPM dan non-QPM berdasarkan pola pita yang dihasilkan.

Patogenesis dan Resistensi Tanaman Jagung terhadap Patogen Bulai

Penyakit bulai yang disebabkan oleh cendawan jenis P. maydis terdapat hampir di seluruh Indonesia, sedangkan P. philippinensis hanya ditemukan di Sulawesi Utara. Cendawan P. maydis dan P. philippinensis termasuk ke dalam famili Peronosporacea yang merupakan kelompok cendawan penyebabdowny mildew(bulai) dan semua spesies anggota dari famili tersebut bersifat parasit obligat. Konidium jamur P. maydis yang masih muda berbentuk bulat sedangkan yang sudah masak dapat menjadi jorong. Konidia P. maydis berukuran 12-19 x 10-23 µm dengan rata-rata 19,2 x 17,0 µm, sedangkan konidium P. philippinensis lebih oval dengan diameter berkisar (14-15 x 8-10 µm (Gambar 3). Konidium tumbuh dengan membentuk buluh kecambah (Semangun, 1996 dan Shurtleff, 1980).

A=Konidia B=konidofor

P. maydis P. philppinensis

Gambar 3. Konidium cendawanP. maydisdanP. philippinensis

Gejala yang ditimbulkan oleh patogen P. maydis saat menginfeksi tanaman jagung adalah munculnya garis-garis sejajar dengan tulang daun berwarna putih sampai kuning klorosis diikuti dengan garis-garis coklat pada permukaan daun jika infeksinya berlanjut (Gambar 4). Penularan pada tanaman muda (umur satu sampai tiga minggu) merupakan penyebab terjadinya gejala sistemik. Periode tanaman sangat rentan bulai, yaitu saat tanaman berumur satu minggu hingga satu bulan setelah tanam. Jika tanaman tertular penyakit bulai pada periode tersebut, pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, bahkan menyebabkan kematian tanaman. Tanaman yang terinfeksi pada umur lebih dari satu bulan, tidak mati, namun pada umumnya tidak dapat menghasilkan biji. Oleh karena infeksi dari spora yang tersebar di udara, maka tanaman yang terinfeksi bulai di lapangan biasanya dimulai pada daun keempat dari bawah. Pada permukaan bawah daun terdapat

(27)

Penyebaran patogen P. maydisterutama ditularkan melalui perantaraan angin dan perkembangannya sangat didukung oleh adanya kelembaban yang tinggi, yaitu lebih dari 95% (Mikoshiba, 1983). Suhu dan energi merupakan dua faktor penting yang dibutuhkan dalam proses sporulasi. Proses sporulasi P. maydismulai dari keluarnya calon konidofor hingga terlepasnya konidia. Petani jagung di sentra-sentra jagung, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Madura dan Lampung umumnya menanam jagung di lahan tegal pada musim hujan dan di lahan sawah pada saat musim kemarau sehingga sangat mendukung siklus perkembangan penyakit bulai. Hal ini disebabkan karena tanaman yang terinfeksi bulai pada salah satu musim akan menjadi sumber inokulum bagi pertanaman di musim berikutnya (Mikoshiba, 1983). Infeksi cendawan pada tanaman melalui stomata dan selanjutnya cendawan dapat berkembang secara lokal ataupun sistemik.

B

B

A B

Gambar 4. Gejala sistemik penularan penyakit bulai pada jagung di KP Cikeumeuh, Bogor, 2005, (A) dan KP Natar, Lampung, 2004 (B).

Mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan pada tanaman yang terinfeksi bulai, maka upaya perakitan tanaman resisten terhadap penyakit bulai perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Ciri penting ketahanan genetik tanaman jagung terhadap suatu penyakit adalah kestabilannya dalam berproduksi, baik pada saat ada penyakit maupun pada saat tidak ada penyakit. Ketahanan genetik harus dapat memberikan perlindungan yang baik dan menyeluruh dari kemungkinan kerusakan yang dapat disebabkan oleh suatu penyakit (Soetopo dan Saleh, 1992). Selain itu, ketahanan genetik sangat berguna bagi program pemuliaan dalam memperbaiki karakter ketahanan terhadap tanaman dalam proses pelepasan varietas unggul baru yang sedang dirilis atau dapat digunakan sebagai sumber gen untuk memperbaiki karakter ketahanan varietas tanaman yang masih rentan, dengan syarat bahwa karakter tersebut dapat diwariskan.

(28)

poligenik (Simmonds, 1972). Dari beberapa kasus, diduga bahwa terdapat gen-gen minor atau gene modifier yang ikut berinteraksi dengan gen-gen mayor dalam menentukan tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit (Hooker 1967; Zaumeyer dan Meiners, 1975).

Tingkat ketahanan jagung terhadap penyakit bulai beragam dan dapat dinyatakan secara kualitatif yaitu resisten, agak resisten, dan rentan. Dalam kondisi lingkungan yang sengaja diberi perlakuan dengan inokulasi buatan, tingkat ketahanan jagung terhadap penyakit bulai menurut Aday (1974), dapat dibagi ke dalam empat kelompok sebagai berikut :

- Sangat resisten, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida tidak lebih dari 25 persen.

- Resisten jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 25 persen hingga 50 persen.

- Agak resisten, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 50 persen hingga 75 persen.

- Rentan, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 75 persen.

Kendali Genetik Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai

Informasi mengenai kendali genetik ketahanan penyakit bulai dari beberapa hasil penelitian di Indonesia sampai saat ini tidak konsisten sehingga penelitian pola pewarisan tanaman jagung terhadap penyakit bulai masih diperlukan. Sebagian peneliti menyimpulkan bahwa ketahanan penyakit bulai di Indonesia dikendalikan oleh gen-gen mayor sehingga bersifat kualitatif, namun juga ada yang menyimpulkan bahwa penyakit bulai dikendalikan oleh gen-gen minor sehingga bersifat kuantitatif.

Hakim dan Dahlan (1972) telah melakukan penelitian pola pewarisan tanaman jagung terhadap penyakit bulai di Jawa. Populasi yang digunakan adalah F1 dan F2 serta

silang baliknya (BC1P1 dan BC1P2) dibandingkan dengan induk-induk yang resisten dan

yang rentan. Hasil pengujian populasi F1, F2, BC1P1 dan BC1P2 menunjukkan bahwa

(29)

Serangkaian penelitian tentang varians interaksi genotip jagung dan lingkungan terhadap penyakit bulai pada beberapa lokasi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1974 sampai 1980 oleh Subandi et al. (1982). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari enam set varietas jagung yang digunakan, semua varietas dalam setiap set meperlihatkan reaksi yang sangat nyata, dua set memperlihatkan interaksi varietas dengan lingkungan sangat nyata dan satu set memperlihatkan interaksi yang nyata serta tiga set yang lain tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kendali genetik dari varietas terhadap penyakit bulai tidak konsisten. Informasi tentang interaksi genotip dan lingkungan yang sangat nyata terhadap penyakit bulai juga didukung oleh penelitian menggunakan populasi RIL progeni CML 139 x Ki3 yang dilakukan oleh Azrai dan Kasim (2003) pada dua lokasi yang berbeda serta populasi BC1F2 progeni Mr-4 x

AMATLCOHS-9-1-1-1-1-1-2-B yang dilakukan oleh Azrai dan Kasim (2005b) pada tiga lokasi yang berbeda. Pengujian kendali genetik tanaman jagung terhadap penyakit bulai yang dilakukan oleh Takdiret al.(2003) menggunakan tiga pasangan persilangan yaitu: Ki3 x CML357, Nei9008 x CML270, dan AMATL-COHS-9-1-1-1-1-1-2-B x CML358. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit mengikuti pola segregasi 3 : 1 dengan nilai derajat dominansi antara –1 dan 0, aksi gennya adalah dominan positif tidak sempurna. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil yang diperoleh Mochizuki (1974); Aday (1974), yang menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan terhadap P. philippinensis dikendalikan oleh gen-gen dominan dengan derajat dominansi berada dalamover dominance. Hal yang berbeda dikemukakan oleh Rifin (1983) yang menyatakan bahwa ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis ditentukan oleh gen aditif dan dominan, tetapi gen aditif lebih menonjol, sedangkan Ruswandi et. al., (2002) secara jelas menyatakan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis bersifat kuantitatif dengan efek aditif dan epistasis.

Daya Gabung dan Metode Lini x Tester

(30)

Daya gabung umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari suatu tetua yang disilangkan dengan tetua-tetua lain dibandingkan dengan rata-rata umum. DGU merupakan simpangan dari rata-rata seluruh persilangan sehingga dapat bernilai positif maupun negatif (Hallauer dan Miranda, 1981). Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi dari suatu pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Poehlman dan Sleeper, 1995).

Kombinasi tetua persilangan yang mempunyai efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitonga et al, 1993). Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang bermakna untuk karakter yang dievaluasi memberikan indikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen aditif dan non aditif.

Hasil pipilan suatu hibrida F1 yang tinggi dapat diperoleh bila kedua tetua

komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK yang tinggi (Setiyono dan Subandi, 1996). Penelitian Rifin et al (1984) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata di dalam heterosis, DGU, dan DGK untuk semua karakter yang diamati, yaitu hasil pipilan 10 tanaman, waktu pembungaan, tinggi tanaman, tinggi tongkol, diameter tongkol, jumlah baris per tongkol, dan bobot 100 biji. Tidak semua nilai daya gabung yang positif bermakna lebih baik, tetapi beberapa karakter yang menguntungkan dengan nilai daya gabung negatif seperti umur masak, dimana efek DGU dan DGK yang negatif sangat bermanfaat untuk merakit varietas yang berumur genjah.

Mochizukiet al. (1980) yang melakukan analisis dialel terhadap sembilan galur dan 36 F1 menyimpulkan bahwa galur-galur yang mempunyai DGK tinggi mempunyai

(31)

Metode analisis lini x tester yang diperkenalkan oleh Kempthorne pada tahun 1957 (Singh dan Chaudary, 1979) merupakan pengembangan dari metode persilangan top cross yang menggunakan beberapa tester. Metode analisis tersebut mampu memberikan informasi mengenai DGU maupun DGK tetua yang digunakan dan pada saat yang sama sangat membantu dalam mengestimasi berbagai macam komponen genetik.

Metode lini x tester mirip dengan model persilangan ’design II (factorial design)’ menggunakan beberapa genotip sebagai lini (female) dan beberapa genotip sebagai tester (male). Jumlah lini maupun tester bervariasi, tergantung pada kebutuhan atau ketersediaan materi genetik.

Heterosis

Fenomena heterosis pertama kali diperkenalkan oleh Shull pada tahun 1908 yang didukung oleh East tahun 1936 dan Hull tahun 1945 dan peneliti yang lain sesudahnya (Fehr, 1987). Heterosis merupakan superioritas dalam penampilan individu-individu hibrida dibandingkan dengan tetuanya.

Fenomena heterosis dapat muncul apabila tetua dari hibrida memiliki alel yang berbeda dan terdapat beberapa tingkat dominansi diantara alel-alel tersebut (Falconer, 1996). Penampilan suatu hibrida secara relatif terhadap tetuanya dapat diekspresikan dalam dua hipotesis yaitu hipotesis dominan dan over dominan. Hipotesis dominan menjelaskan bahwa fenomena heterosis muncul sebagai akibat terkumpulnya gen-gen dominan yang baik (Favourable dominant genes) dalam satu genotip tanaman. Hipotesis over dominan menjelaskan bahwa vigor hibrida merupakan hasil penampilan superioritas heterozigositas terhadap homozigositas atau dengan kata lain bahwa individu yang penampilannya superior adalah individu yang memiliki jumlah alel dalam keadaan heterosigos yang terbanyak (Baihaki, 1989).

Fenomena heterosis telah banyak dimanfaatkan secara intensif pada pemuliaan jagung dalam membentuk varietas hibrida. Keberhasilan jagung memanfaatkan fenomena heterosis mendorong pemulia menggunakannya pada jenis tanaman lain, seperti pada tanaman terung, tomat, mentimum, sorgum, dan lain-lain (Dahlanet al, 1998).

Heritabilias

(32)

dan perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi. Heritabilitas merupakan gambaran besarnya konstribusi genetik suatu karakter yang terlihat di lapangan, dan dijadikan sebagai ukuran mudahnya suatu karakter untuk diwariskan. Nilai duga heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan daripada faktor lingkungan. Begitu pula sebaliknya, bila nilai duga heritabilitas rendah, menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih berperan daripada faktor genetik (Fehr, 1987).

Interaksi Genotip x Lingkungan dan Potensi Tanaman

Potensi genetik tanaman yang terekspresi secara fenotipik dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksi faktor genetik dan lingkungan (Simms dan Rausher, 1995). Interaksi genotip dan lingkungan yang nyata akan mempengaruhi ekspresi tanaman (Vargas et al., 1998) dan umumnya penampilan fenotip dari suatu genotip akan optimal bila didukung oleh kondisi lingkungan yang juga optimal. Interaksi genotip dan lingkungan pada pemuliaan tanaman merupakan gambaran kegagalan genotipe untuk berpenampilan sama pada kondisi lingkungan yang berbeda (Soemartono et al., 1992). Penampilan suatu karakter dari materi pemuliaan yang diseleksi ditentukan oleh tingkat kerentanannya terhadap lingkungan dan pada kebanyakan seleksi memberikan penampilan yang tinggi pada lingkungan yang baik, dan sebaliknya pada lingkungan yang jelek memperlihatkan penampilan yang kurang baik (Kearsey dan Pooni, 1996).

Penampilan fenotip diperlukan sebagai dasar dalam pemilihan genotip unggul, yaitu genotip yang dapat mempertahankan tingkat penampilan yang tinggi pada lingkup lingkungan yang luas. Genotip yang memiliki daya adaptasi yang luas merupakan genotip yang dikehendaki dalam program pemuliaan tanaman (Hillet al,1998).

(33)

Strategi Pemuliaan Jagung Berprotein Tinggi dan Resisten Penyakit Bulai

Dalam hal penelitian pemuliaan jagung berprotein tinggi perlu diarahkan pada kegiatan konversi gen homosigot resesif opaque-2 ke materi jagung unggul nasional untuk meningkatkan mutu proteinnya. Kegiatan ini perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Bahan genetik nasional yang hendak dikonversi menjadi jenis QPM adalah populasi atau galur yang memiliki sifat baik dan resisten penyakit bulai. Program konversi jagung normal menjadi QPM dapat dilakukan dengan menggunakan skema seleksi silang balik secara konvensional dengan bantuan marka molekuler. Pada masa mendatang tampaknya teknologi genetika molekuler akan semakin berperan dalam riset QPM (Prasannaet al.,2001).

Strategi penelitian pemuliaan hibrida QPM nasional hendaknya mengarah kepada program yang menghasilkan galur-galur unggul untuk menghasilkan varietas bersari bebas sintetik atau dan hibrida. Keuntungan program QPM berorientasi hibrida adalah:

 Karena adanya heterosis potensi genetik hibrida yang lebih tinggi daripada

varietas bersari bebas

 Kemurnian mutu protein dari QPM lebih terjamin karena kemurnian galurnya

lebih terkontrol.

 Fenotip biji lebih seragam dan hasilnya lebih stabil.

Oleh karena sifat resesif dari gen o-2 maka penanganan produksi benih dan pengendalian mutu protein dari QPM mesti dilakukan dengan hati-hati dan secermat mungkin. Walaupun teknik produksi benih QPM tidak berbeda dengan produksi benih jagung biasa (dalam hal isolasi), tetapi mutu protein biji QPM mesti terkontrol terutama untuk kelas benih penjenis dan benih dasar.

(34)

Dari hasil penyaringan galur-galur resisten bulai pada beberapa agroekosisitem di Indonesia yang dilakukan oleh Peneliti di Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), teridentifikasi beberapa galur yang resisten terhadap penyakit bulai, diantaranya adalah MR10, Nei9008, Ki3, P345C4S2B46, AMATLCOHS-115, AMATLCOHS-9, dan Nei9202 (Kasim et al., 2002). Dari hasil penyaringan tersebut, dipilih dua galur yang paling resisten dan stabil pada semua lokasi pengujian, yaitu MR10 dan Nei9008. MR10 merupakan salah satu galur elit Balitsereal yang dikembangkan dari populasi Suwan-2, sedangkan Nei9008 merupakan galur introduksi dari Thailand dengan pedigree SW1(s)C9-germplasm/(DA9-1(s)-7-3-1 x SW C9)-S9-177-1 (Grudloymaet al., 2004).

Dengan tersedianya galur QPM sebagai sumber gen homosigot resesif opaque-2 (CML 161) dan resisten bulai (Nei9008 dan Mr10), maka perakitan varietas unggul baru yang bermutu protein tinggi dan resisten penyakit bulai dapat dilakukan (diskripsi galur disajikan pada Lampiran 10). Salah satu teknik yang dapat dilakukan sebagai langkah awal adalah mengintrogresikan gen o2 dari galur-galur QPM ke galur jagung resisten bulai melalui pendekatan MAS dalam metode silang balik (Gambar 5). Secara garis besar penelitian ini terdiri dari empat bagian sebagai berikut :

1. Pendugaan ragam dan model genetik karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung. Penelitian ini menggunakan dua pasang tetua yaitu: CML161x MR10 dan CML161 x Nei9008 dan turunannya yang terdiri atas: populasi F1, F2,F3,BC1P1 dan

BC1P2. Pada bagian ini setiap famili dari setiap populasi genetik diuji sifat

ketahanannya terhadap penyakit bulai dengan inokulasi semi buatan. Analisis data mencakup penghitungan rata-rata, ragam, galat baku, pendugaan parameter genetik, sebaran frekuensi, pendugaan model genetik (Mather dan Jinks, 1982), dan uji kesesuaian model genetik dengan metode2 (Simon, 1994).

2. Introgresikan gen mutan resesif mutano2 ke galur jagung resisten terhadap penyakit bulai dengan pendekatan MAS pada metode silang balik. Pada bagian penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan galur-galur BC3F3 yang telah memiliki gen resesif

homozigot o2. Galur-galur tersebut kemudian dievaluasi penampilannya untuk karakter tinggi tanaman dan letak tongkol, umur berbunga jantan dan betina, bobot tongkol panen dan 1000 biji serta hasil biji kering pada kadar air 15%.

(35)

buatan. Galur yang dinyatakan resisten terhadap penyakit bulai adalah kelompok galur MR10 + o2 (set A) dan Nei9008 + o2 (set B) disilangkan mengikuti model persilangan lini x tester untuk membentuk hibrida silang tunggal. Hibrida silang tunggal yang diperoleh akan dievaluasi daya gabung dan efek heterosisnya untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Sebagian biji dari galur-galur yang dijadikan sebagai tetua persilangan tersebut dikirim ke Laboratorium Biokimia Tanah dan Tanaman CIMMYT-Mexico untuk mengecek kuantitas lisin dan triptofannya. 4. Evaluasi daya gabung dan potensi karakter hasil, komponen hasil, dan beberapa

(36)
[image:36.595.90.514.61.745.2]

Gambar 5. Alur kegiatan penelitian

Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida

Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap P. maydispada Jagung

Introgresi gen resesif mutanopaque-2

Populasi 1. Populasi 2.

MR10 x CML 161

F1x MR10 : BC1

F1x MR10 : BC2

MAS

F1x MR10 : BC3

MAS BC3F1

MAS BC3F2

MAS

BC3F3: Galur MR10 + gen opaque-2

Nei 9008 x CML 161

F1x Nei 9008 : BC1

F1x Nei 9008 : BC2

MAS

F1x Nei 9008 : BC3

MAS BC3F1

MAS BC3F2

MAS

BC3F3: Galur Nei 9008 + gen opaque-2

Introgresikan gen resesif mutano2 ke galur jagung resisten terhadap

P. maydismelalui pendekatan MAS pada metode silangbalik

Seleksi, analisis daya gabung, dan efek heterosis galur-galur hasil introgresigen resesif mutano2 untuk ketahananterhadapP. maydis

Evaluasi daya gabung dan potensi karakter hasil, komponen hasil, dan beberapa karakter agronomis penting dari galur-galur hasil introgresi gen resesif mutano2.

Luaran yang diharapkan:

 Diperoleh satu atau lebih hibrida silang tunggal berdaya hasil tinggi, bermutu protein tinggi dan resisten terhadap penyakit bulai

(37)

Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan

terhadap Penyakit Bulai pada Jagung

Pendahuluan

Kendala biotis yang paling sering terjadi dalam budidaya jagung di Indonesia adalah penyakit bulai yang disebabkan olehP. maydis.Patogen tersebut cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 90 persen (Mikoshiba, 1983) dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen (Semangun, 1996; Subandiet al., 1996).

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wakman dan Kontong (2000) di Lanrang (Sulawesi Selatan) serta Azrai dan Kasim (2005a) di Maros, Bogor, dan Lampung menunjukkan bahwa ketahanan dari beberapa varietas jagung unggul nasional terhadap penyakit bulai masih bervariasi, yaitu dari sangat rentan hingga resisten. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan jagung terhadap patogen penyebab penyakit bulai cukup beragam, tergantung pada variabilitas genetik, variabilitas fenotipik, dan interaksi antara genetik dengan lingkungannya. Pengetahuan mengenai keragaman tersebut sangat penting terutama dalam penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan suatu karakter yang diinginkan (Prasanna, 2002).

Upaya perakitan jagung yang resisten terhadap penyakit bulai terus dilakukan melalui penyaringan plasmanutfah yang dilanjutkan dengan kegiatan persilangan antara tetua terpilih. Kegiatan tersebut telah lama dilakukan oleh pemulia jagung, akan tetapi sejauh ini belum banyak dilaporkan mengenai model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia.

Pengetahuan tentang sifat dan aksi gen yang mengendalikan suatu karakter sangat penting terutama dalam hal keefektifan penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan karakter yang diinginkan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung dikendalikan oleh gen tunggal (Chang dan Cheng, 1968; Chang, 1972; Handoo et al. 1970; Takdir et al., 2004), sedangkan beberapa peneliti yang lain melaporkan melaporkan bahwa karakter ini dikendalikan oleh banyak gen (polygenic) (Francis, 1967; Carangal et al. 1970; Hakim dan Dahlan, 1972; Peerasak, 1974; Ruswandi, 2001).

(38)

dengan derajat dominansi berada dalam over dominan. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Rifin (1983) yang menyatakan bahwa ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis ditentukan oleh gen aditif dan dominan, tetapi aditif lebih menonjol, sedangkan Ruswandi et. al., (2002) secara jelas menyatakan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis bersifat kuantitatif dengan efek aditif dan epistasis. Perbedaan tersebut diduga kuat karena perbedaan tingkat ketahanan dari tetua persilangan, jumlah generasi, dan besarnya genotip yang diteliti. Untuk itu, informasi tentang model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia dirasa perlu untuk ditelaah lebih lanjut.

Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas dan model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161.

Bahan dan Metode Penelitian

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, terbagi atas dua tahap, yaitu pembentukan genotip uji dan pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai. Pembentukan genotip dilaksanakan dari Agustus 2004 sampai April 2005. Pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai berlangsung dari bulan Januari-Maret 2006.

Bahan Penelitian

Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini masing-masing terdiri atas 7 macam populasi pada dua set persilangan dan progeninya, yaitu: masing-masing 10 genotip (tongkol) tetua persilangan yaitu P1 (CML161) sebagai tetua rentan (donor gen

opaque-2) dan P2 (MR10 dan Nei9008) sebagai tetua resisten (silang balik = recurrent),

masing-masing 20 genotip dari generasi F1, F2, BC1P1, dan BC1P2 serta 100 genotip dari

generasi F3. CML161 merupakan galur yang bermutu protein tinggi (QPM = Quality

(39)

merupakan salah satu varietas bersari bebas milik Balitsereal yang sangat rentan terhadap penyakit bulai (Azrai, 2006).

Pembentukan Genotip Uji

Pembentukan genotip uji dilakukan dengan cara melakukan silang balik antara tanaman F1 dengan kedua tetuanya untuk membentuk masing-masing 20 genotip BC1P1

dan BC1P2 dan mensegregasikan tanaman F1 untuk membentuk 20 genotip F2. Benih

genotip F2 masing-masing ditanam dua baris kemudian dilakukan penyerbukan sendiri

sebanyak 10 tanaman per genotip. Setelah panen, dipilih 5 tongkol per genotip sehingga diperoleh 100 tongkol benih F3. Dengan demikian telah tersedia masing-masing 7 macam

populasi dari dua set persilangan untuk dievaluasi sifat ketahanannya terhadap penyakit bulai.

Pengujian Karakter Ketahanan terhadapP. maydis

Masing-masing set persilangan diuji karakter ketahanannya terhadap P. maydis dengan teknik inokulasi pada tanaman baris penyebar dan pada genotip uji. Saat tanaman baris penyebar >80% terinfeksi bulai, masing-masing set persilangan ditanam sesuai dengan rancangan acak kelompok (RAK), dua ulangan (Petersen, 1994), kemudian 5 hari setelah kecambah muncul dipermukaan tanah, genotip uji disemprot dengan konidia bulai dan 3 hari setelah penyemprotan pertama dulangi lagi dengan cara yang sama dengan penyemprotan sebelumnya. Faktor pertama adalah dua set persilangan dan faktor kedua adalah 7 macam populasi uji. Evaluasi dilakukan dengan menghitung persentase tanaman terinfeksi per genotip, sedangkan metode penyiapan inokulum sampai evaluasi tingkat ketahanannya mengikuti metode yang dilakukan oleh Azrai et al. (2000). Tata letak percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 3.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tanaman yang tumbuh dan terinfeksi konidia bulai pada tiap genotip yang diuji. Waktu pengamatan yaitu saat tanaman berumur 14, 21, 28, 35 dan 42 hari setelah tanam (hst). Data yang diperoleh merupakan data komulatif dari pengamatan setiap pengamatan tersebut, kemudian dikonversi ke dalam persentase tanaman terinfeksi (P) patogenP. maydisdengan menggunakan rumus :

b a

(40)

keterangan :

P = persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai a = jumlah kumulatif tanaman terinfeksi penyakit bulai b = jumlah tanaman tumbuh

Pengamatan tanaman terinfeksi dimulai pada umur 14 hst karena pada umur tersebut biasanya penyakit bulai mulai menular pada daun tanaman jagung dan setelah berumur 42 hst penularannya sudah jarang terjadi.

Analisis Data

Analisis Ragam

Analisis ragam meliputi ragam genetik per generasi dari masing-masing set persilangan. Estimasi ragam genetik dan fenotip dianalisis berdasarkan nilai kuadrat tengah genotip (M2), nilai tengah galat (M1), dan ulangan (r), dengan persamaan sebagai

berikut, (Bernardo, 2002):

2 g

=

r M

M2  1

2 e

= M1 2

f

= g2 + e2

Luas sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan variabilitasgenetik (g2) dan standar deviasi variabilitasgenetik ( 2

g

) menurut Anderson

dan Brancoff (1952), dikutip Wahdahet al.(1995) sebagai berikut :

2 g =        

2 2

2 12

2 2 2 dbgalat M dbgenotipe M r

keragaman genetik luas jika 2 g

>2 2 g

dan sempit jika 2 g

2 2 g

Analisis Data Sebaran Frekuensi

Untuk mempelajari pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut, dilakukan dengan uji normalitas berdasarkan aturan Sturgers (Siregar, 2004):

 

    1 2 2 i i i i e e f keterangan :

fi = jumlah fenotip ke i menurut hasil pengamatan

(41)

Kriteria keputusan sesuai dengan hipotesis yakni jika nilai peluang (p-v) > 0.05 maka data dinyatakan berdistribusi normal.

Uji Kesesuaian Model Genetik

Untuk menentukan model genetik yang sesuai terhadap sifat ketahanan dari kedua set persilangan, dilakukan analisis rata-rata generasi. Model genetik aditif dominan yang sesuai untuk pola pewarisan kuantitatif, digunakan untuk menduga pengaruh gen-gen yang mengendalikan karakter ketahanan untuk kedua genotip yang digunakan. Selanjutnya model aditif dominan diuji untuk menentukan kesesuaiannya dengan uji t (Hill et al., 1998). Jika hasil uji skala menunjukkan adanya pengaruh interaksi antar lokus, maka model interaksi ditentukan kesesuaiannya dengan uji skala gabungan (Joint Scalling Test) dengan menggunakan seluruh generasi secara bersama-sama (Mather dan Jinks, 1982).

Enam parameter genetik dari model yang menyertakan pengaruh interaksi adalah m = pengaruh rata-rata generasi, [d] = pengaruh aditif, [h] = pengaruh dominan, [I] = pengaruh interaksi aditif x aditif, [j] = pengaruh interaksi aditif x dominan, dan [l] = pengaruh interaksi dominan x dominan. Jadi model genetik yang menyertakan pengaruh interaksi adalah [m][d][h][I]; [m][d][h][j]; [m][d][h][l]; [m][d][h][i][j]; [m][d][h][i][l] dan [m][d][h][i][j][l]. Setiap model diuji kebaikan suainya dengan2terboboti. Koefisien dari parameter genetik yang digunakan dalam model lengkap disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis rata-rata generasi. Parameter Genetik

Generasi m [d] [h] [i] [j] [l]

P1 1 1 0 1 0 0

P2 1 -1 0 1 0 0

F1 1 0 1 0 0 1

F2 1 0 ½ 0 0 ¼

F3 1 0 ¼ 0 0 1/16

BCP1 1 ½ ½ ¼ ¼ ¼

BCP2 1 - ½ ½ ¼ - ¼ ¼

Analisis selanjutnya adalah pendugaan komponen ragam yang ditentukan sesuai dengan persamaan menurut Kearsey dan Pooni, (1996) sebagai berikut :

VP1 = E1

VP2 = E2

VF1 = E3

(42)

VF3 = VA + VD+¼VE2+ ½VE3

VBCP1= ½VA + VD – ½VI + ½VE1+ ½VE3

VBCP2= ½VA + VD + ½ VI + ½VE2+ ½VE3

VP1, VP2, VF1, VF2,VF3, VBCP1, VBCP2masing-masing adalah ragam P1, P2, F1, F2,

F3,BCP1dan BCP2. Awal pendugaan parameter dilakukan dengan menduga nilai E = (VP1

+ VP2 + VF1 + VF2 )/4. Selanjutnya Nilai E disubstitusikan ke persamaan, sehingga

diperoleh nilai VA, VD dan VF. Nilai VE adalah jumlah ragam lingkungan, VA adalah

jumlah ragam aditif, VD adalah jumlah ragam dominan, dan VI adalah jumlah ragam

interaksi aditif dan dominan.

Parameter yang diduga adalah :

a. Heritabilitas arti sempit (narrow sense heritability):

h2ns= VA

VA + VD + E

b. Heritabilitas arti luas (broad sense heritability):

h2bs= VA+ VD

VA + VD + E

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaman Genetik

(43)
[image:43.595.89.523.281.513.2]

Nilai tengah antar generasi dari set persilangan yang sama maupun dari set persilangan yang berbeda memperlihatkan reaksi ketahanan terhadap penyakit bulai yang beragam. Progeni Nei9008 x CML161 lebih resisten dibandingkan dengan progeni MR10 x CML161. Hal ini diduga karena pada pengujian ini, Nei9008 sangat resisten dan bahkan tidak terinfeksi bulai sama sekali. Dari beberapa pengujian sebelumnya, Nei9008 sangat resisten bulai di Sulawesi Selatan, Bogor, dan Lampung (Kasim et al., 2004). Selain resisten terhadapP. maydis, Nei9008 juga resisten terhadapP. zeaedanP. philippinensis (Ruswandi, 2002 dan Grudloymaet al, 2004).

Tabel 2.

Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentase

penularan terhadap

P. maydis

pada set persilangan galur jagung

Set Persilangan

MR10 x CML161 Nei9008 x CML161

Gene-rasi Rerata ± SD Interval (%) 2 g

2 x

2 g

Rerata± SD Interval(%) g2

2 x

2 g

P1 2.2 ± 0.2tn 1.3 - 3 0.1 0.4 0.0 ± 0.0tn 0.0–0.0 -

-P2 99.6 ± 0.6

tn

95.7–100 0 2.3 99.0 ± 0.3tn 98.0–100 0 0.5

F1 60.0 ± 2.0

tn

36.4–70.8 35.1 53.5 28.6 ± 1.3tn 21.0 - 39.1 6.4 17.2

F2 59.0 ± 1.5tn 47.4–67.0 1.6 19.4 35.1 ± 1.4tn 25.2 - 47.9 12.5 22.9

F3 54.2 ± 0.8** 6.3–100 324.8 101.9 41.8 ± 0.6** 4.2–85.7 249.5 76.3

BC1P1 32.5 ± 1.0tn 26.1–41.2 3.9 10.0 23.9 ± 0.9tn 20.0 - 31.8 4.8 8.7

BC1P2 78.2 ± 1.7tn 68.6–88.8 7.0 28.3 56.7 ± 1.3tn 50.3–64.6 3.0 15.2

Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi

2 g

= Keragaman genetik; 2g= standar deviasi keragaman genetik; Hbs= Heritabilitas dalam arti

luas; - = data tidak dianalisis karena tidak ada infeksi bulai

Nilai duga ragam genetik yang disajikan pada Tabel 2, menunjukkan bahwa variabilitas genetik dari setiap generasi pada kedua set persilangan menurut kriteria Anderson dan Brancoff (1952) tergolong sempit, kecuali pada generasi F3 yang tergolong

luas. Hal ini menunjukkan bahwa segregasi puncak terjadi pada generasi F3. Kejadian ini

disebabkan karena data yang digunakan merupakan data persentase antar famili, bukan berupa skoring terhadap individu tanaman, sehingga secara teoritis variabilitas genetik yang timbul pada tetua, F1, generasi silang balik, dan F2adalah keragaman antara individu

(44)

0 5 10 15 20 25 30 35

0

F

re

k

u

e

n

si

MR10 Nei

adanya keragaman genetik yang nyata antar famili pada generasi P1, P2, F1, F2, BC1P1,

dan BC1P2. Variabiliatas genetik dapat terjadi karena adanya gen-gen yang bersegregasi

dan berinteraksi dengan gen pada generasi tersebut sehingga tingkat heterosigositasnya tinggi (Crowder, 1988).

Sebaran Frekuensi Generasi F3

Uji normalitas untuk pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut tingkat penularan penyakit bulai menurut aturan Sturgers (Siregar, 2004) disajikan pada Tabel 3. Sebaran frekuensi generasi F3dari kedua set persilangan disajikan pada Gambar

6. Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase penularan terhadapP. maydis pada generasi F3

dari kedua set persilangan menyebar normal

Tabel 3. Uji normalitas persentase penularan terhadapP. maydispada generasi F3

set persilangan galur jagung

Set Persilangan Parameter

MR10 x CML161 Nei9008 x CML161

Rerata 54.2 41.8

Simpangan baku (S) 19.0 17.0

χ2

8.2tn 7.4tn

p-v 0.3 0.4

Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; t

n

= tidak nyata; Nilai chi-square0.05: db 7 = 14.07; Nilai chi-square0.01: db 7 = 12.02; p-v =

nilai peluang (p-v > 0.05 = sesuai dengan hipotesis)

MR10

Nei9008

[image:44.595.202.447.569.719.2]

CML161

(45)

Pada Gambar 6 terlihat bahwa pola distribusi penularan penyakit bulai pada genotip uji untuk generasi F3dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua

rentan, sed

Gambar

Gambar 5. Alur kegiatan penelitian
Tabel 2.Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentasepenularan terhadap P
Gambar 6.Sebaran frekuensi penularan terhadap P. maydis generasi F3 pada setpersilangan MR10 x CML161 dan Nei9008
Tabel 4. Uji skala untuk menguji model aditif dominan untuk karakter ketahanan terhadapP
+7

Referensi

Dokumen terkait