• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aplikasi Khitosan sebagai Bahan Edible Coating pada Produk Ikan Beku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aplikasi Khitosan sebagai Bahan Edible Coating pada Produk Ikan Beku"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING PADA PRODUK IKAN BEKU

Oleh :

M. AZHARUDDIN M.

F34104115

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

APLIKASI KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING PADA PRODUK IKAN BEKU

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

M. AZHARUDDIN M.

F34104115

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING PADA PRODUK IKAN BEKU

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

M. AZHARUDDIN M.

F34104115

Bogor, .... Februari 2009 Menyetujui,

Ir. Muslich, M.Si

(4)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Gresik, 12 Juli 1986. Masa-masa kecilnya dihabiskan di kampung halaman hingga masa sekolah menengah atas. Pendidikan SD, SMP, dan SMAnya diselesaikan di bangku sekolah Muhammadiyah yang semuanya berlokasi di Gresik. Namun, berbeda dengan tempat kuliah yang kemudian dipilih penulis. Dikarenakan keinginan untuk sekolah di tempat yang lebih jauh, akhirnya penulis memilih Institut Pertanian Bogor sebagai alternatif tempat kuliah. Penulis diterima di Institut ini melalui jalur SPMB pada tahun 2004. Departemen yang dipilih adalah Teknologi Industri Pertanian.

Di departemen ini, penulis menjalani kuliah hingga akhirnya lulus pada tahun 2009. Berbagai pengelaman akademik selama kuliah pernah dienyam penulis, antara lain menjadi asisten praktikum mata kuliah Penerapan Komputer. Selain itu, penulis perrnah melaksanakan praktek lapang di PT. Kelola Mina Laut, Gresik, dengan judul “Teknologi Proses Produksi, Pengemasan, dan Penyimpanan di PT. Kelola Mina Laut, Gresik” pada tahun 2007. Tahun berikutnya, penulis melakukan penelitian di tempat yang sama dengan judul “Aplikasi Khitosan sebagai Bahan Edible Coating pada Produk Ikan Beku”. Penelitian ini diselesaikan pada bulan Januari 2009.

(5)

M. Azharuddin M. (F34104115). Aplikasi Khitosan sebagai Bahan Edible Coating pada Produk Ikan Beku. Di bawah bimbingan Muslich. Februari 2009.

RINGKASAN

Pembekuan dan penyimpanan beku adalah salah satu metode terbaik untuk mempertahankan kesegaran bahan pangan. Ikan beku, sebagai salah satu produk pangan beku, masih mempunyai potensi dehidrasi dan pertumbuhan mikroba dapat menjadi permasalahan jika tidak diantisipasi. Oleh karena itu, khitosan sebagai bahan yang mempunyai sifat antimikroba, dapat membentuk film, serta

barrier yang cukup baik bagi uap air dan gas coba diaplikasikan pada produk ikan beku.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yakni tahap pendahuluan dan utama. Pada penelitian pendahuluan, dilakukan uji terhadap keasaman (pH) larutan khitosan, daya antimikroba, dan permeabilitas uap air. Pada penelitian utama, dilakukan uji kadar air, total mikroba, dan organoleptik (hedonik) terhadap fillet

ikan beku. Pengujian dilakukan secara berkala selama penyimpanan (15 hari) dalam cold storage (-20 °C). Ikan yang digunakan adalah jenis Sweetlips (Plectorhynchus sp.) yang diproses skinless.

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi khitosan yang terdiri dari tiga taraf, yakni 1,0; 1,5; dan 2,0 % (b/v). Faktor kedua adalah konsentrasi gliserol yang terdiri dari dua taraf, yakni 0,25 dan 0,50 ml/g khitosan. Kombinasi gliserol-khitosan yang terbaik diaplikasikan pada penelitian utama. Sebagai pembanding fillet ikan yang di-coating khitosan, digunakan fillet ikan tanpa coating dan fillet ikan yang dibungkus plastik polipropilen (PP) dengan ketebalan 0,4 mm.

Penelitian pendahuluan menghasilkan khitosan dengan konsentrasi 1,0 % (b/v) dan gliserol 0,25 ml/g khitosan sebagai kombinasi terbaik. Kombinasi ini memiliki nilai pH 4,59; indeks penghambatan E. coli 0,00; indeks penghambatan

S. aureus 0,03; dan permeabilitas uap air (WVP) 1,6548 g.m-1.atm-1.hari-1.

(6)

M. Azharuddin M. (F34104115). Application of Chitosan as Edible Coating Component for Frozen Fish Product. Supervised by Muslich. February 2009.

SUMMARY

Frozen process and storage is one of best method to keep fresheness of food during storage. Fish that processed and stored in frozen is potential for dehydration and microbial growth. Due to its antimicrobial agent, film formable, and good barrier of gas and moisture, chitosan try to be applied to frozen fish.

This study consists of two steps, preliminary and main. Preliminary step was done to test pH of chitosan solution, antimicrobial, and water vapor permeability. Main step was done to test moisture content, total plate count, and organoleptic. This step used fish that filleted and coated by chitosan then stored in cold storage (-20 °C) for 15 days. The species of fish used is Sweetlips (Plectorhynchus sp.) with size 100-200 g (± 20 x 10 cm).

Experimental design used in this research is Complete Random Factorial Design consisting of two factors. The first factor is the concentration of chitosan consisting of a three level, 1,0; 1,5; and 2.0% (b/v). Second factor is the concentration glycerol consisting of two level, 0,25 and 0,50 ml/g chitosan. The best combination of chitosan-glycerol then applied to the main step. The main step used fillet fish without coating and 0,4 mm thickness plastic (polypropylene/PP) wrapped as a benchmark.

The preliminary step resulted chitosan with the concentration of 1,0% (b/v) and glycerol 0,25 ml/g chitosan as the best combination. This combination has pH value of 4,59; index of inhibition of E. coli 0,00; index of inhibition of

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah 'Azza wa jalla yang telah memberikan nikmat karunia-Nya serta yang telah melapangkan jalan menuju ridho-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam yang telah menyampaikan wahyu-Nya yang sampai saat ini masih menjadi pedoman hidup kita. Semoga seluruh usaha ini dicatat sebagai amal ibadah, mendapatkan ridho, serta dapat memberikan manfaat bagi manusia.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. M. Asyrof dan Siti Rofi'ah, selaku Bapak dan Ibu penulis, yang telah mendidik penulis dari kecil hingga dewasa. Penulis tidak bisa memberikan balasan yang setimpal. Semoga Allah Ta'ala memberikan pahala dan balasan yang jauh lebih baik.

2. Ir. Muslich, M.Si, selaku dosen pembimbing penulis, atas bimbingan, saran, dan masukannya.

3. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS dan Dr. Ono Suparno S.TP, M.Sc, selaku dosen penguji, atas saran, kritik, dan masukannya.

4. Ir. M. Nadjikh, Presiden direktur PT. Kelola Mina Laut, yang telah memberi penulis bantuan beasiswa selama studi di IPB serta memberi kesempatan untuk melakukan penelitian di unit ikan PT. Kelola Mina Laut, Gresik.

5. Seluruh staf dan karyawan PT. Kelola Mina Laut yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini. Mohon maaf telah menggangu kerja.

6. Seluruh anggota keluarga yang telah memberikan dukungan hingga penelitian ini selesai.

7. Rekan-rekan seperjuangan di TIN 41, semoga ilmu yang telah kita pelajari dapat kita amalkan dan memberikan manfaat.

8. Raodatul Masrufah, atas dukungan hati dan semangatnya. Semoga tetap bertahan. Keceriaan itu terbawa sampai di sini.

9. Immawan/Immawati Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Bogor atas pengertiannya. Perjuangan tidak akan berhenti selama tujuan belum tercapai.

(8)

membalas semua amal kebaikan dengan kebaikan yang berlipat ganda. Penulis ucapkan permohonan maaf yang setulus-tulusnya apabila selama ini terdapat salah baik yang disengaja ataupun tidak.

Akhirnya semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia menuju hidup yang lebih baik. Ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah. Ämïn.

Februari 2009 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

E. KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING...14

(10)

3. Organoleptik (Hedonik)...29

V. KESIMPULAN DAN SARAN...31

A. KESIMPULAN...31

B. SARAN...31

DAFTAR PUSTAKA...32

LAMPIRAN...37

(11)

APLIKASI KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING PADA PRODUK IKAN BEKU

Oleh :

M. AZHARUDDIN M.

F34104115

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

APLIKASI KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING PADA PRODUK IKAN BEKU

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

M. AZHARUDDIN M.

F34104115

2009

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(13)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

APLIKASI KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING PADA PRODUK IKAN BEKU

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

M. AZHARUDDIN M.

F34104115

Bogor, .... Februari 2009 Menyetujui,

Ir. Muslich, M.Si

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Gresik, 12 Juli 1986. Masa-masa kecilnya dihabiskan di kampung halaman hingga masa sekolah menengah atas. Pendidikan SD, SMP, dan SMAnya diselesaikan di bangku sekolah Muhammadiyah yang semuanya berlokasi di Gresik. Namun, berbeda dengan tempat kuliah yang kemudian dipilih penulis. Dikarenakan keinginan untuk sekolah di tempat yang lebih jauh, akhirnya penulis memilih Institut Pertanian Bogor sebagai alternatif tempat kuliah. Penulis diterima di Institut ini melalui jalur SPMB pada tahun 2004. Departemen yang dipilih adalah Teknologi Industri Pertanian.

Di departemen ini, penulis menjalani kuliah hingga akhirnya lulus pada tahun 2009. Berbagai pengelaman akademik selama kuliah pernah dienyam penulis, antara lain menjadi asisten praktikum mata kuliah Penerapan Komputer. Selain itu, penulis perrnah melaksanakan praktek lapang di PT. Kelola Mina Laut, Gresik, dengan judul “Teknologi Proses Produksi, Pengemasan, dan Penyimpanan di PT. Kelola Mina Laut, Gresik” pada tahun 2007. Tahun berikutnya, penulis melakukan penelitian di tempat yang sama dengan judul “Aplikasi Khitosan sebagai Bahan Edible Coating pada Produk Ikan Beku”. Penelitian ini diselesaikan pada bulan Januari 2009.

(15)

M. Azharuddin M. (F34104115). Aplikasi Khitosan sebagai Bahan Edible Coating pada Produk Ikan Beku. Di bawah bimbingan Muslich. Februari 2009.

RINGKASAN

Pembekuan dan penyimpanan beku adalah salah satu metode terbaik untuk mempertahankan kesegaran bahan pangan. Ikan beku, sebagai salah satu produk pangan beku, masih mempunyai potensi dehidrasi dan pertumbuhan mikroba dapat menjadi permasalahan jika tidak diantisipasi. Oleh karena itu, khitosan sebagai bahan yang mempunyai sifat antimikroba, dapat membentuk film, serta

barrier yang cukup baik bagi uap air dan gas coba diaplikasikan pada produk ikan beku.

Penelitian ini terdiri dari dua tahap, yakni tahap pendahuluan dan utama. Pada penelitian pendahuluan, dilakukan uji terhadap keasaman (pH) larutan khitosan, daya antimikroba, dan permeabilitas uap air. Pada penelitian utama, dilakukan uji kadar air, total mikroba, dan organoleptik (hedonik) terhadap fillet

ikan beku. Pengujian dilakukan secara berkala selama penyimpanan (15 hari) dalam cold storage (-20 °C). Ikan yang digunakan adalah jenis Sweetlips (Plectorhynchus sp.) yang diproses skinless.

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi khitosan yang terdiri dari tiga taraf, yakni 1,0; 1,5; dan 2,0 % (b/v). Faktor kedua adalah konsentrasi gliserol yang terdiri dari dua taraf, yakni 0,25 dan 0,50 ml/g khitosan. Kombinasi gliserol-khitosan yang terbaik diaplikasikan pada penelitian utama. Sebagai pembanding fillet ikan yang di-coating khitosan, digunakan fillet ikan tanpa coating dan fillet ikan yang dibungkus plastik polipropilen (PP) dengan ketebalan 0,4 mm.

Penelitian pendahuluan menghasilkan khitosan dengan konsentrasi 1,0 % (b/v) dan gliserol 0,25 ml/g khitosan sebagai kombinasi terbaik. Kombinasi ini memiliki nilai pH 4,59; indeks penghambatan E. coli 0,00; indeks penghambatan

S. aureus 0,03; dan permeabilitas uap air (WVP) 1,6548 g.m-1.atm-1.hari-1.

(16)

M. Azharuddin M. (F34104115). Application of Chitosan as Edible Coating Component for Frozen Fish Product. Supervised by Muslich. February 2009.

SUMMARY

Frozen process and storage is one of best method to keep fresheness of food during storage. Fish that processed and stored in frozen is potential for dehydration and microbial growth. Due to its antimicrobial agent, film formable, and good barrier of gas and moisture, chitosan try to be applied to frozen fish.

This study consists of two steps, preliminary and main. Preliminary step was done to test pH of chitosan solution, antimicrobial, and water vapor permeability. Main step was done to test moisture content, total plate count, and organoleptic. This step used fish that filleted and coated by chitosan then stored in cold storage (-20 °C) for 15 days. The species of fish used is Sweetlips (Plectorhynchus sp.) with size 100-200 g (± 20 x 10 cm).

Experimental design used in this research is Complete Random Factorial Design consisting of two factors. The first factor is the concentration of chitosan consisting of a three level, 1,0; 1,5; and 2.0% (b/v). Second factor is the concentration glycerol consisting of two level, 0,25 and 0,50 ml/g chitosan. The best combination of chitosan-glycerol then applied to the main step. The main step used fillet fish without coating and 0,4 mm thickness plastic (polypropylene/PP) wrapped as a benchmark.

The preliminary step resulted chitosan with the concentration of 1,0% (b/v) and glycerol 0,25 ml/g chitosan as the best combination. This combination has pH value of 4,59; index of inhibition of E. coli 0,00; index of inhibition of

(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah 'Azza wa jalla yang telah memberikan nikmat karunia-Nya serta yang telah melapangkan jalan menuju ridho-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam yang telah menyampaikan wahyu-Nya yang sampai saat ini masih menjadi pedoman hidup kita. Semoga seluruh usaha ini dicatat sebagai amal ibadah, mendapatkan ridho, serta dapat memberikan manfaat bagi manusia.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada :

1. M. Asyrof dan Siti Rofi'ah, selaku Bapak dan Ibu penulis, yang telah mendidik penulis dari kecil hingga dewasa. Penulis tidak bisa memberikan balasan yang setimpal. Semoga Allah Ta'ala memberikan pahala dan balasan yang jauh lebih baik.

2. Ir. Muslich, M.Si, selaku dosen pembimbing penulis, atas bimbingan, saran, dan masukannya.

3. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS dan Dr. Ono Suparno S.TP, M.Sc, selaku dosen penguji, atas saran, kritik, dan masukannya.

4. Ir. M. Nadjikh, Presiden direktur PT. Kelola Mina Laut, yang telah memberi penulis bantuan beasiswa selama studi di IPB serta memberi kesempatan untuk melakukan penelitian di unit ikan PT. Kelola Mina Laut, Gresik.

5. Seluruh staf dan karyawan PT. Kelola Mina Laut yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian ini. Mohon maaf telah menggangu kerja.

6. Seluruh anggota keluarga yang telah memberikan dukungan hingga penelitian ini selesai.

7. Rekan-rekan seperjuangan di TIN 41, semoga ilmu yang telah kita pelajari dapat kita amalkan dan memberikan manfaat.

8. Raodatul Masrufah, atas dukungan hati dan semangatnya. Semoga tetap bertahan. Keceriaan itu terbawa sampai di sini.

9. Immawan/Immawati Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Bogor atas pengertiannya. Perjuangan tidak akan berhenti selama tujuan belum tercapai.

(18)

membalas semua amal kebaikan dengan kebaikan yang berlipat ganda. Penulis ucapkan permohonan maaf yang setulus-tulusnya apabila selama ini terdapat salah baik yang disengaja ataupun tidak.

Akhirnya semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan umat manusia menuju hidup yang lebih baik. Ilmu yang amaliah dan amal yang ilmiah. Ämïn.

Februari 2009 Penulis

(19)

DAFTAR ISI

E. KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING...14

(20)

3. Organoleptik (Hedonik)...29

V. KESIMPULAN DAN SARAN...31

A. KESIMPULAN...31

B. SARAN...31

DAFTAR PUSTAKA...32

LAMPIRAN...37

(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur kimia khitin (Neurotiker, 2008)...6

Gambar 2. Struktur kimia khitosan (Neurotiker, 2008)...7

Gambar 3. Nilai pH larutan berbagai konsentrasi khitosan...21

Gambar 4. Indeks penghambatan khitosan terhadap S. aureus...23

Gambar 5. Nilai water vapor permeability (WVP) film khitosan. ...24

Gambar 6. Nilai kadar air fillet ikan beku selama penyimpanan...26

(22)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Syarat Mutu Khitosan Komersial...7

Tabel 2. Aplikasi Khitosan dalam Industri Pangan...8

Tabel 3. Syarat Mutu Ikan Beku Menurut SNI 01-4110-1996...11

Tabel 4. Kelompok Mikroorganisme Toksik dan Pembusuk...13

Tabel 5. High Quality Life (HQL) Beberapa Makanan Beku...14

Tabel 6. Hasil Uji Organoleptik pada Hari ke-9 (H-9) dan 15 (H-15)...29

(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Pembuatan Film Khitosan...38

Lampiran 2. Prosedur Pengujian pada Penelitian Pendahuluan...39

Lampiran 3. Prosedur Penelitian Utama...41

Lampiran 4. Prosedur Pengujian pada Penelitian Utama...42

Lampiran 5. Form Penilaian Organoleptik (Hedonik)...44

Lampiran 6. Data pH, Daya Antimikroba, dan Permeabilitas Uap Air...45

Lampiran 7. Data Kadar Air dan Total Mikroba...46

Lampiran 8. Data Organoleptik (Hedonik)...47

(24)

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Indonesia mempunyai potensi perairan yang sangat besar. Potensi ini meliputi berbagai hasil perikanan darat dan laut, termasuk juga hasil non-perikanan. Ikan, udang, rajungan, dan rumput laut merupakan hasil perairan yang sering dijadikan komoditas ekspor. Departemen Kelautan dan Perikanan berhasil meningkatkan nilai ekspor perikanan Indonesia dari US$ 2,009 juta pada 2006 menjadi US$ 2,25 juta pada 2007 (Rurit, 2008). Melihat besarnya potensi hasil perairan, terutama perikanan, selayaknya Indonesia menjadi negara penghasil ikan yang besar. Apalagi jika ditambah dengan hasil perikanan yang diambil secara ilegal oleh pihak-pihak yang tidak berwenang.

Kenyataan bahwa besarnya potensi perikanan yang dimiliki Indonesia mendorong tumbuhnya berbagai industri pengolahan hasil perikanan. Industri ini hasil perikanan sebagai bahan baku utamanya. Industri sepertiti pengalengan ikan, pembekuan, dan produk olahan perikanan merupakan jenis industri yang mengalami perkembangan pesat dalam sepuluh tahun terakhir. Perkembangan ini tidak lepas dari dukungan pemerintah terhadap industri pengolahan perikanan di Indonesia (Hutagalung, 2007). Semangat pemerintah ini juga tertuang dalam tujuan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan sejak tahun 2005. Salah satu target yang ingin dicapai dari program ini adalah peningkatan daya saing produk perikanan (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005).

Perusahaan pengolahan hasil perikanan sebagai salah satu pelaku dalam industri perikanan tentu memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan program Revitalisasi Perikanan ini. Perusahaan akan selalu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas produk mereka. Apalagi jika produk yang dihasilkan berorientasi ekspor, maka kualitas menjadi aspek utama yang harus terus ditingkatkan.

(25)

lingkungan. Dengan kata lain, produk yang ramah lingkungan dengan sendirinya akan meningkatkan citra kualitas produk itu sendiri. Kamil (2008) menyebutkan bahwa pasar Eropa, Amerika, dan Jepang lebih mengutamakan produk yang mempunyai label ramah lingkungan. Hal ini membawa angin segar bagi keberlangsungan hidup manusia. Di sisi lain, pengikutsertaan kepedulian suatu perusahaan untuk menghasilkan produk yang ramah lingkungan (environmental friendly) terkadang menjadi beban tersendiri karena biaya produksi menjadi bertambah.

Konsep halalan thayyiban pada produk pangan yang dikonsumsi telah menjadi suatu keharusan terutama bagi umat Islam, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi umat yang lain. Konsep ini tidak hanya sebatas komposisi bahan makanan yang digunakan dan kesehatan, tetapi juga dapat diperluas ke aspek lain seperti kemasan dan dampaknya terhadap lingkungan. Hal ini disebabkan selama ini kemasan berbahan plastik yang sulit didegradasi lebih banyak digunakan karena harganya murah.

Produk ikan beku, menurut SNI 01-4110-1996, adalah ikan segar yang mengalami pencucian, penyiangan atau tanpa penyiangan, dan pembekuan secara cepat hingga suhu pusatnya maksimum -18 °C dengan atau tanpa pengemasan. Namun, pada kenyataannya kebanyakan produk ikan beku dilengkapi kemasan dalam penjualannya. Kemasan yang dimaksud mempunyai peran ganda, yakni sebagai pelindung sekaligus penambah daya tarik konsumen terhadap produk. Selain itu, produk yang diproses beku mempunyai keunggulan sifatnya yang mendekati produk segar, terlebih jika dibandingkan dengan produk pangan olahan lain (Hui et al., 2004).

Kendala dalam pemrosesan ikan beku adalah potensi terjadinya dehidrasi dan freezer burn selama pembekuan dan penyimpanan beku. Dehidrasi merupakan suatu kondisi hilangnya kandungan air di dalam ikan.

(26)

Khitosan adalah salah satu jenis polisakarida turunan khitin yang mempunyai sifat dapat membentuk film yang kuat, elastis, fleksibel, dan sulit dirobek (Butler et al., 1996). Film yang terbentuk dapat digunakan sebagai bahan kemasan. Jenis kemasan yang banyak dibuat dari khitosan adalah jenis

edible film/coating. Sifatnya yang edible (dapat dimakan) merupakan keunggulan khitosan sehingga dapat digolongkan ke dalam bahan kemasan yang ramah lingkungan.

Pemilihan khitosan sebagai bahan edible coating, selain disebabkan karena sifatnya yang dapat dimakan, juga disebabkan keunggulan sifatnya yang lain. Khitosan merupakan barrier yang baik bagi gas dan uap air karena struktur matriksnya (Susanto, 1998). Sifat barrier khitosan ini lebih baik dari pada polimer berbasis makhluk hidup (biobased polymer) lainnya (McElhatton dan Marshall, 2007). Penghambatan terhadap uap air dapat dimanfaatkan untuk mencegah dampak dehidrasi yang biasa terjadi pada produk ikan beku.

Selain potensi terjadinya dehidrasi dan freezer burn, ikan yang diproses dan disimpan beku juga masih menyimpan potensi perkembangbiakan mikroba. Surjadi et al. (1986) mengatakan bahwa bakteri pencemar pada hasil laut (ikan, kerang, dan udang) dapat bertahan selama penyimpanan beku pada suhu -25 °C. Khitosan yang mempunyai sifat antimikrobial (Steinbüchel dan Rhee, 2005) dapat dimanfaatkan untuk mengurangi potensi ini.

No et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan khitosan sebagai bahan pengawet dan edible coating yang efektif untuk mencegah kerusakan kualitas dan memperpanjang umur simpan produk pangan sangatlah potensial. Hal ini didukung oleh Hui et al. (2004) yang menyatakan bahwa penelitian tentang khitosan akan terus berkembang. Harga khitosan di pasar international berkisar antara US$10 – 150 per kg, tergantung pada kemurniannya.

Dengan melihat potensi khitosan dan kebutuhan peningkatan kualitas produk ikan beku, perlu dilakukan penelitian terhadap berbagai alternatif solusi, terutama dalam hal kemasan dan keawetan produk. Salah satu alternatif yang dimaksud adalah penggunaan khitosan sebagai bahan edible coating. Alternatif ini tentu tidak hanya dilihat dari aspek keamanan dan ekonomi

(27)

produk semata (Lang, 1995), tetapi juga pada aspek lingkungan serta kualitas dalam arti yang lebih luas. Apalagi selama ini penelitian tentang ikan beku, terutama penggunaan edible coating, masih jarang dilakukan.

B. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan :

1. Mendapatkan formulasi (konsentrasi khitosan dan gliserol) coating untuk ikan beku.

2. Mendapatkan gambaran perubahan kualitas ikan selama penyimpanan beku.

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KHITOSAN

Khitosan merupakan polisakarida alami turunan khitin yang dibentuk melalui proses deasetilasi. Di alam, khitin merupakan polisakarida terbesar kedua setelah selulosa. Polimer ini terbentuk secara alami dan dapat dijumpai dengan mudah dalam eksoskeleton hewan invertebrata (Kittur

et al., 1998). Sumber khitin yang melimpah dan banyak digunakan berasal dari udang (cangkang, kepala, atau ekor) dan rajungan.

Cangkang udang mengandung protein 25-40%; kalsium karbonat 45-50%; dan khitin 15-20%. Cangkang rajungan mengandung protein 15,60-23,90%; kalsium karbonat 53,70-78,40%; dan khitin 18,70-32,20%. Komposisi masing-masing komponen dalam cangkang rajungan dan udang bervariasi tergantung pada jenis dan tempat hidupnya (Focher et al., 1992).

Stankiewicz et al. (1997) mengatakan bahwa molekul khitin ditemukan pada fosil serangga yang hidup pada zaman Oligocene. Begitu pula dengan mengenai khitin. Muzarelli (1977) dan Roberts (1992) mengatakan bahwa penelitian yang dilakukan oleh Braconnot menemukan senyawa alkali—tak-larut yang disebut “fungine” di dalam fungi. Hasil dari penelitian tersebut kemudian dipublikasikan dalam makalah yang berjudul “Sur la Nature des Campignons” dan diterbitkan pada tahun 1811. Dua belas tahun kemudian, Odier berhasil mengisolasi senyawa dari eksoskeleton serangga. Senyawa yang mirip dengan “fungine” tersebut kemudian disebut khitin.

Secara kimiawi, khitin merupakan polimer dari monomer yang bernama N-asetil-D-glukosamin (2-acetamido-2-deoxy-D-glucopyranose) yang dihubungkan secara linier melalui ikatan β(1→4). Secara fisik, khitin mempunyai warna putih, keras, dan tidak elastis (Goosen, 1997). Khitin juga merupakan polisakarida yang mengandung banyak nitrogen. Struktur kimia khitin dapat dilihat pada Gambar 1.

(29)

et al., 1999). Sifat ini yang menyebabkan khitosan dapat digunakan sebagai penghambat pertumbuhan kapang (El Ghaouth et al., 1994).

Gambar 1. Struktur kimia khitin (Neurotiker, 2008)

Proses pembuatan khitosan melalui empat tahapan, yakni demineralisasi, deproteinasi, deasetilasi, dan pemutihan. Tahap demineralisasi dilakukan dengan menambahkan larutan asam encer yang bertujuan untuk menghilangkan semua mineral yang terkandung dalam bahan baku. Setelah itu, dilakukan deproteinasi dengan basa encer untuk menghilangkan protein yang terdapat dan tersisa dalam bahan baku. Proses demineralisasi dan deproteinasi akan menghasilkan khitin. Untuk mengubah khitin menjadi khitosan, dilakukan tahapan deasetilasi, yakni menghilangkan gugus asetil pada khitin. Proses deasetilasi khitin dilakukan dengan cara memasak khitin pada larutan basa konsentrasi tinggi (NaOH 40-50%). Setelah itu, khitosan yang dihasilkan akan melalui proses pemutihan untuk menghilangkan warna (Hardjito, 2006). Syarat mutu khitosan komersial dapat dilihat pada Tabel 1.

(30)

Tabel 1. Syarat Mutu Khitosan Komersial

Sumber : Protan Laboratories Inc. dalam Suptijah et al. (1992)

Brine et al. (1991) menyebutkan fungsi khitosan yang lain, diantaranya sebagai clarifier, pengental (thickener), membran penyeleksi gas, pencegah penyakit pada tanaman, dan agen antimikrobial. Khitosan juga mempunyai fungsi sebagai zat antitumor (Tokoro et al., 1988), antivirus, stimulan sistem imun (Goosen, 1997), serta hypocholesterolamic (Sugano et al., 1992).

Gambar 2. Struktur kimia khitosan (Neurotiker, 2008)

Sifat khitin/khitosan diantaranya gas barrier yang bagus, kationik, antimikroba, menyerap ion logam berat (McElhatton dan Marshall, 2007), mudah terdegradasi secara biologis (biodegradable), tidak beracun, larut dalam larutan dimetil asetamida dan lithium oksida (Ornum, 1992). Khitosan tidak larut dalam air, tetapi larut dalam larutan asam organik encer. Knorr (1982) menyebutkan bahwa pelarut khitosan yang baik adalah asam asetat.

Aplikasi khitin/khitosan telah banyak dijumpai di berbagai bidang. Di bidang lingkungan, khitosan digunakan sebagai membran penyaring limbah.

(31)

Bidang kosmetika menggunakan khitosan dalam pembuatan sampo dan hair conditioner (Steinbüchel dan Rhee, 2005). Khitosan juga digunakan dalam teknologi kertas sebagai pelapis kertas. Wieczorek dan Mucha (1997) membuktikan bahwa kertas yang dilapisi khitosan memiliki kekuatan sobek lebih tinggi dari pada yang tidak. Di bidang pertanian, sifat antimikrobial khitosan dimanfaatkan untuk pelapisan benih. Tabel 2 memperlihatkan aplikasi khitosan dalam industri pangan.

Tabel 2. Aplikasi Khitosan dalam Industri Pangan

Aplikasi Contoh

Bahan aditif Pengikat flavor alami; pengontrol tekstur;

emulsifier; pengental; stabilizer; penstabil warna; pengawet

Gizi Serat diet; penurun kolesterol; tambahan makanan ikan; mereduksi penyerapan lemak; anti radang lambung

Pengolahan limbah pangan

Flokulan; pemecah agar

Pemurnian air Pemisah ion-ion logam; pestisida; penjernih

Industri ediblefilm Pengatur transfer uap air; pereduksi tekanan parsial oksigen; pengatur suhu; pencegah browning pada buah; pengatur tekanan osmosis membran

Sumber : Shahidi et al. (1999)

B. EDIBLECOATING

(32)

buah-Menurut Cassariego et al. (2007), edible coating dapat berfungsi sebagai penghambat uap air, lemak, dan gas serta dapat meningkatkan tekstur produk pangan. Selain itu, edible coating juga berfungsi sebagai pengikat warna, flavor, sumber gizi, dan bahan antioksidan serta antimikroba.

Komponen utama penyusun edible coating/film dikelompokkan menjadi tiga, yakni hidrokoloid, lipid, dan komposit. Hidrokoloid yang dapat digunakan untuk pembuatan edible coating berupa protein atau polisakarida. Sumber protein dapat berasal dari jagung, kedelai, wheat gluten, kasein, kolagen, gelatin, protein susu, dan protein ikan. Sumber polisakarida dapat berasal dari selulosa dan turunannya, pati dan turunannya, pektin, ekstrak ganggang laut (alginat, karagenan, agar), gum (gum arab), xanthan, dan khitosan. Edible coating yang komponen utamanya lipid dapat menggunakan lilin alami (beeswax, carnauba wax, parrafin wax), asil gliserol, dan asam lemak (asam oleat dan asam laurat). Kelompok komposit merupakan campuran antara hidrokoloid dan asam lemak (Julianti dan Nurminah, 2006).

Bahan tambahan dalam pembuatan edible coating/film yang cukup besar persentasenya adalahzat pemlastis (plasticizer). Ward dan Hadley (1993) serta Ferry (1980) menjelaskan bahwa plasticizer adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang ditambahkan untuk memperlemah kekakuan dari polimer sekaligus meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas polimer.

Menurut Donhowe dan Fennema (1994), ada beberapa metode dalam aplikasi coating pada buah dan sayuran, yakni metode pencelupan (dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting) dan penetesan terkontrol. Metode dipping merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama untuk sayuran, buah, daging dan ikan dimana melalui metode ini produk akan dicelupkan ke dalam larutan yang digunakan sebagai bahan

coating.

Krochta dan DeMulder-Johnston (1997) memberikan contoh peran

edible coating pada produk pangan, yakni sebagai barrier, binding (pengikat), dan glaze (pelapis). Gum gellan yang direaksikan dengan garam mono dan bivalen akan membentuk film. Film tersebut yang diperdagangkan dengan nama dagang Kelcoge® merupakan barrier yang baik untuk absorbsi minyak

(33)

pada bahan pangan yang digoreng. Hasil dari penggorengan adalah bahan dengan kandungan minyak yang rendah.

Sebagai pengikat, edible coating digunakan pada permukaan makanan ringan. Fungsinya sebagai pengikat bumbu agar lebih melekat pada produk.

Edible coating juga digunakan sebagai pelapis (glaze). Misalnya wheat-gluten

digunakan untuk melapisi produk bakery sebagai pengganti pelapisan dengan telur. Pelapisan dengan wheat-gluten dapat mencegah masuknya mikroba ke dalam bahan pangan (Krochta dan DeMulder-Johnston, 1997).

C. IKAN BEKU

Menurut SNI 01-4110-1996, ikan beku adalah ikan segar dari jenis

finfish (ikan bersirip) yang mengalami pencucian, penyiangan atau tanpa penyiangan, dan pembekuan secara cepat hingga suhu pusatnya maksimum -18 °C dengan atau tanpa pengemasan. Syarat mutu ikan beku disajikan dalam Tabel 3.

Clucas dan Sutcliffe (1981) mengatakan terdapat tiga metode pembekuan yang dapat digunakan untuk pembekuan udang atau ikan, yakni:

1. Air blast freezing

Air blast freezing menggunakan hembusan udara dingin di atas udang atau ikan.

2. Imersion atau spraying

Imersion merupakan cara pembekuan dengan mencelupkan ikan atau udang dalam pendingin atau penyemprot refrigerant.

3. Contactplatefreezing

Contact plate freezing adalah cara pembekuan melalui kontak antara ikan atau udang dengan permukaan alat pendingin, baik langsung atau tidak langsung.

(34)

kenyataannya produk beku masih tetap dapat mengalami susut zat gizi (Harris dan Karmas, 1989).

Fellow (1990) mengatakan bahwa pembekuan ikan lebih baik dilakukan dengan cepat (quick freezing). Dengan cara tersebut, kristal es yang terbentuk selama pembekuan berukuran kecil, sehingga tidak merusak sel. Berbeda dengan pembekuan lambat yang menghasilkan kristal es berukuran besar, sehingga berpotensi merusak sel.

Tabel 3. Syarat Mutu Ikan Beku Menurut SNI 01-4110-1996

Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

a. Organoleptik, minimum Skor Hidonik (1-9) 7 b. Cemaran Mikroba : adalah untuk menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil racun. Selain itu, pembekuan juga bertujuan untuk menurunkan aktivitas enzimatis dan kimiawi.

Buckle et al. (1985) menyebutkan ada dua pengaruh pendinginan/ pembekuan terhadap makanan. Pertama, penurunan suhu berakibat pada

(35)

penurunan proses kimia, mikrobiologi, dan biokimia. Kedua, perubahan air menjadi bentuk kristal es pada suhu dibawah 0 °C menyebabkan penurunan aktivitas air (aw).

Pada pemrosesan produk beku, terdapat tahapan yang disebut glazing. Tahap ini produk beku diberi lapisan yang berfungsi melindungi produk dari kerusakan selama penyimpanan dan transportasi. Dalam kasus ikan beku,

glazing memberikan lapisan coating yang harus dapat melindungi ikan dari oksidasi dan kehilangan uap air (Hui et al., 2004).

D. KERUSAKAN PADA IKAN BEKU

Pemrosesan beku dianggap sebagai cara terbaik dalam pengawetan pangan (Harris dan Karmas, 1989). Namun, pemrosesan beku masih tetap menyimpan potensi kerusakan. Dengan melihat tujuan pemrosesan beku, potensi kerusakan produk beku, termasuk ikan beku, yang sering dijadikan fokus pembahasan adalah kerusakan akibat mikroba. Kelompok mikroba toksik dan pembusuk dapat dilihat pada Tabel 4.

Banyak mikroorganisme dapat tumbuh pada suhu 0 °C atau di bawahnya, terutama khamir dan kapang, sedangkan bakteri lebih jarang. Michener dan Elliott (1964) mengatakan bahwa ada bakteri pangan yang dapat tumbuh pada suhu -20 °C dan -12 °C. Beberapa mikroorganisme dilaporkan dapat tumbuh pada suhu -34 °C, yakni khamir merah muda (pink yeast).

Vibrio spp. dapat tumbuh pada suhu -5 °C, Yersinia enterocolitica pada suhu -2 °C, Brochothrix thermospacta pada -0,8 °C, dan Aeromonas hydrophila pada suhu -0,5 °C (Sun, 2006).

Surjadi et al. (1986) menunjukkan bahwa bakteri pencemar pada hasil laut (ikan, udang, dan kerang) yang dibekukan pada suhu -25 °C dan disimpan selama 50 hari masih cukup resisten untuk bertahan hidup. Pembekuan sendiri sebenarnya hanya mematikan sebagian bakteri pencemar. Bakteri psikrofil dapat bertahan dan apabila pembekuan diakhiri, bakteri tersebut dapat berkembang (Frazier dan Westhoff, 1978; Banwart, 1979).

(36)

biokimiawi (Sun, 2006). Selain itu, kandungan air dalam bahan pangan merupakan parameter untuk mengontrol kesegaran, pertumbuhan mikroba, serta memberikan tekstur dan rasa (Krochta dan Johnston, 1997). Tabel 5 menunjukkan HQL (High Quality Life) beberapa makanan beku.

Tabel 4. Kelompok Mikroorganisme Toksik dan Pembusuk

Sifat Contoh Makanan terinfeksi

Salah satu kerusakan ikan beku yang lain adalah freezer burn. Fellow (1990) dan Hui et al. (2004) menerangkan bahwa freezer burn merupakan suatu area pada permukaan daging ikan beku yang menunjukkan kerusakan akibat hilangnya kandungan air dalam bahan pangan ke udara sekitar (dehidrasi). Dehidrasi juga berakibat pada turunnya berat, sifat fisik produk berubah, dan jaringan menjadi kering dan keras. Area yang menunjukkan kerusakan tersebut biasanya terlihat lebih terang dari sekitarnya. Pada produk

(37)

berlemak, dehidrasi yang diikuti dengan terbukanya struktur jaringan dapat mempercepat proses oksidasi. Fenonema ini dapat terjadi selama pembekuan atau penyimpanan dalam cold storage.

Tabel 5. High Quality Life (HQL) Beberapa Makanan Beku

Makanan

Ikan mentah (lemak rendah) 4-8 <2,5 <1,5

Ikan mentah (lemak tinggi) 2-3 1,5 0,8

Sumber : Buckle et al. (1985)

E. KHITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE COATING

Khitosan, yang merupakan salah satu jenis polimer, mempunyai potensi sifat untuk dapat dibentuk menjadi lembaran film. Film yang berasal dari polimer jenis polisakarida ini dapat dimakan sehingga digolongkan ke dalam polimer yang ramah lingkungan.

Menurut Krochta dan Mulder-Johnston (1997), khitosan merupakan biopolimer yang dapat dibentuk menjadi film dan produk-produk yang memiliki sifat gas barrier yang tinggi. Khitosan juga telah banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan edible coating. Menurut Carriego

et al. (2007), sifat-sifat yang dimiliki khitosan sangat potensial untuk meningkatkan umur simpan (shelflife) buah-buahan.

Beberapa alasan yang mendasari penggunaan khitosan sebagai bahan

(38)

baku khitosan) merupakan polisakarida yang paling banyak kedua setelah selulosa. Khitosan mempunyai sifat dapat membentuk film dan membran yang baik. Film yang terbentuk dapat memperkecil kemungkinan kehilangan uap air karena struktur matriksnya (Hoagland dan Parris, 1996; McElhatton dan Marshall, 2007; Baldwin et al., 1999; Susanto, 1998).

Kittur et al. (1998) mengatakan bahwa film khitosan mempunyai nilai permeabilitas air yang cukup rendah. Kemampuan menahan uap air ini dapat digunakan untuk meningkatkan umur simpan produk segar.

Park et al. (1996) mengemukakan kelebihan dan kekurangan edible film/

coating yang berbasis biopolimer. Sifat gas barrier sangat baik digunakan untuk memperlambat transfer gas oksigen dan karbondioksida pada buah dan sayuran. Selain itu, film berbahan biopolimer juga baik digunakan untuk mengontrol perpindahan zat terlarut pada produk pangan beku. Kekurangan film dari biopolimer yakni secara umum kemampuan untuk menghalangi air masih kurang. Kekurangan ini berkaitan dengan sifat hidrofilik yang dimiliki sebagian besar biopolimer. Namun, kemampuan edible film/coating dalam menahan gas dan uap air masih bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesegaran sayur, buah, dan bahan pangan lainnnya.

Plastik, yang selama ini banyak dijadikan bahan pengemas berbagai produk beku, memiliki kelebihan dan kelemahan jika dibandingkan dengan khitosan. Miranda et al. (2004) menunjukkan bahwa film khitosan (khitosan 2% + gliserol 0,3%) mempunyai nilai water vapor transmission rate (WVTR) sebesar 133,22 g/m2 per jam atau 5,55 g/m2 per hari. Nilai ini tidak berbeda jauh dengan nilai WVTR dari berbagai jenis plastik yang sering dijadikan bahan pengemas. Fellow (1990) menyebutkan dalam bukunya bahwa

Oriented-Polypropylene mempunyai WVTR 7-5 g/m2 per hari, High Density

Polyethylene (HDPE) 6,4 g/m2 per hari, sedangkan Low Density Polyethylene (LDPE) 19-14 g/m2 per hari. Gambar 3 menunjukkan perbandingan water

vapor transmittance (WVT) khitosan dengan berbagai bahan pengemas lainnya pada 23 °C dan 50 % RH, sedangkan Gambar 4 menunjukkan oxygen transmission rate-nya (OTR). Kim et al. (2002) menunjukkan bahwa khitosan

(39)

yang dilarutkan dalam asam asetat mempunyai nilai water vapor permeability

(WVP) yang rendah.

Sun (2006) mengatakan bahwa informasi yang tersedia mengenai edible coating/film masih terbatas. Oleh karena itu, diperlukan banyak penelitian untuk mengembangkan dan mengoptimalkan penggunaan edible coating/film

(40)

III. METODOLOGI

A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian dibagi menjadi tiga. Pertama, bahan utama yang digunakan untuk pembuatan larutan khitosan untuk film/coating, meliputi khitosan berbentuk serbuk, asam asetat 1%, dan gliserol. Khitosan yang digunakan didapatkan dari Laboratorium Bioteknologi, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan Chitosanco, Cirebon. Asam asetat dan gliserol didapatkan dari Toko Brataco Chemika, Bogor dan Surabaya.

Kedua, bahan yang digunakan untuk melakukan uji-uji dalam penelitian pendahuluan. Uji daya antimikroba menggunakan media tumbuh mikroba (nutrient agar, plate count agar, dan nutrient broth), akuades, dan alkohol/etanol 70 %. Uji permeabilitas uap air menggunakan akuades dan lilin buatan.

Ketiga, bahan yang digunakan dalam penelitian utama. Bahan utama dalam tahap penelitian ini adalah produk ikan segar yang berbentuk fillet. Ikan

fillet didapatkan dari PT. Kelola Mina Laut. Ikan yang digunakan adalah jenis Sweetlips (Plectorhynchus sp.) yang diproses fillet tanpa kulit (skinless). Ukuran fillet ikan yang digunakan antara 100-200 g dengan panjang ± 20 cm dan lebar ± 10 cm. Bahan yang digunakan untuk uji total mikroba adalah media plate count agar (PCA), akuades, butterfield's phosphate (BFP), dan etanol 70 %.

(41)

B. METODE PENELITIAN

1. Tahapan Penelitian

Penelitian yang dilakukan terdiri dari penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan lembaran (edible film) dari khitosan dengan berbagai formula, yakni kombinasi antara khitosan (A) 1,0; 1,5; dan 2,0% (b/v) dengan gliserol (B) 0,25 dan 0,5 (ml/g khitosan). Lembaran film tersebut kemudian melalui pengujian pH, daya antimikroba, dan permeabilitas uap air untuk mendapatkan formulasi terbaik.

Penelitian utama dilakukan setelah dilakukan penelitian pendahuluan. Film dengan formula terbaik, yang didapat dari penelitian pendahuluan, kemudian diaplikasikan pada produk ikan beku. Aplikasi pada ikan beku dilakukan dengan melapisi daging fillet ikan dengan larutan khitosan atau lebih dikenal dengan istilah glazing. Pelapisan dilakukan setelah produk dibekukan. Setelah itu, produk disimpan dalam lemari pendingin (cold storage) selama 15 hari.

2. Prosedur Penelitian

a. Penelitian Pendahuluan

Pada proses pembuatan film khitosan digunakan asam asetat 1% (v/v) sebagai pelarut khitosan dan gliserol sebagai zat pemlastis. Konsentrasi khitosan yang digunakan terdiri dari tiga taraf, yakni 1,0; 1,5; dan 2,0% (b/v). Gliserol yang digunakan terdiri dari 0,25 dan 0,50 ml/g khitosan.

Khitosan dilarutkan dengan pelarut dalam gelas kimia pada suhu 50 °C selama 60 menit sambil diaduk. Suhu dijaga tetap stabil pada kisaran 50 °C. Gliserol kemudian ditambahkan ke dalam larutan khitosan. Larutan yang masih panas didinginkan hingga suhu ruang. Cetakan film dari kaca dibersihkan dan disterilkan dengan menyemprotkan etanol 70% lalu dikeringkan.

(42)

kering kemudian diangkat dari cetakan untuk dikondisikan untuk pengujian. Diagram pembuatan film dari khitosan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pada penelitian ini, film khitosan yang terbentuk kemudian diuji pH, daya antimikroba, dan permeabilitas uap airnya. Film dengan kombinasi khitosan-gliserol yang memiliki penilaian terbaik kemudian diaplikasikan pada produk ikan beku. Prosedur pengujian disajikan pada Lampiran 2.

b. Penelitian Utama

Produk ikan beku yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis daging fillet ikan segar. Fillet ikan yang telah dibersihkan dibekukan terlebih dahulu dalam Air Blast Freezer pada suhu -40 °C selama 8-12 jam. Fillet ikan yang telah dibekukan kemudian dilapisi dengan larutan khitosan. Pelapisan dilakukan dengan metode pencelupan. Ikan dicelupkan dalam larutan khitosan yang didinginkan dengan es serut selama 30 detik. Fillet ikan yang telah dilapisi khitosan kemudian disimpan dalam lemari penyimpanan dingin (cold storage) bersuhu -20 °C selama 15 hari. Diagram alir penelitian utama disajikan di Lampiran 3.

Selama produk disimpan, secara berkala produk tersebut diambil sampel untuk dilakukan pengujian. Pengujian yang dilakukan meliputi uji organoleptik, kadar air, dan total mikroba. Uji kadar air dilakukan pada hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15. Uji total mikroba dilakukan pada hari ke-1, 6, dan 15. Uji organoleptik dilakukan pada hari ke-9 dan ke-15. Prosedur uji disajikan di Lampiran 4. Sebelum pengujian, sampel ikan

fillet beku dicairkan (thawing) terlebih dahulu. Pencairan dilakukan dengan memasukkan ikan beku ke dalam kantong plastik lalu direndam dalam bak berisi air. Sebagai kontrol, digunakan fillet ikan tanpa pelapisan dan fillet ikan yang dibungkus plastik polipropilen (PP) dengan ketebalan 0,4 mm.

(43)

C. RANCANGAN PERCOBAAN

Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap dengan model matematika (Steel and Torrie, 1993) :

Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + εk(ij) dimana :

Yijk = Respon dari faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j μ = Pengaruh rata-rata

Ai = Pengaruh faktor A (khitosan) taraf ke-i Bj = Pengaruf faktor B (gliserol) taraf ke-j

(AB)ij = Pengaruh dari interaksi faktor A taraf ke-i dengan faktor B taraf ke-j εk(ij) = Pengaruh galat dalam percobaan

Analisa dilakukan dengan metode Analisa Varian dua jalan (two-way

(44)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan kombinasi perlakuan konsentrasi khitosan dengan gliserol yang terbaik. Pada tahap ini, terdapat enam kombinasi konsentrasi khitosan-gliserol yang digunakan. Tiga parameter digunakan untuk mengetahui pengaruh kombinasi kedua bahan ini, yakni pH, daya antimikroba, dan permeabilitas uap air (water vapor permeability/WVP). Data penelitian pendahuluan disajikan pada Lampiran 6. 1. pH

Dari keenam sampel larutan khitosan yang diuji, nilai pH larutan yang dihasilkan berkisar antara 4,59 hingga 4,94. Kim et al. (2006) mengatakan bahwa khitosan yang dilarutkan dalam asam asetat mempunyai nilai pH ± 4. Gambar 3 menunjukkan nilai pH larutan pada berbagai konsentrasi khitosan.

Gambar 3. Nilai pH larutan berbagai konsentrasi khitosan

(45)

Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada masing-masing konsentrasi khitosan yang digunakan mempunyai pengaruh terhadap nilai pH larutan. Hal tersebut juga ditunjukkan dengan kecenderungan meningkatnya nilai pH larutan khitosan yang dihasilkan seiring dengan bertambahnya konsentrasi khitosan.

Peningkatan konsentrasi khitosan yang menyebabkan peningkatan nilai pH larutan disebabkan adanya penambahan konsentrasi H+ dari gugus NH2+ molekul khitosan. Perubahan muatan menjadi positif pada NH2 terjadi selama pelarutan dalam asam asetat 1%.

Nilai pH yang diharapkan adalah yang semakin mendekati pH normal. Hal tersebut dikarenakan adanya kekhawatiran bahwa tingkat keasaman film khitosan yang semakin rendah (asam) dapat merubah/mempengaruhi kualitas dari produk yang akan di-coating.

2. Daya Antimikroba

Uji daya antimikroba dilakukan pada dua mikroba yang berbeda, yakni Eschericia coli dan Staphylococcus aureus. Masing-masing bakteri ini mewakili bakteri gram negatif dan positif. Kedua bakteri ini dapat menyebabkan racun pada makanan (food poisoning). Selain itu, bakteri E. coli merupakan bakteri indikator pencemaran makanan (Anonim, 2008).

Hasil pengujian menunjukkan bahwa rata-rata indeks penghambatan khitosan terhadap bakteri Eschericia coli berkisar antara 0,00 hingga 0,06 (Data disajikan pada Lampiran 6). Hasil analisa ragam menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan, baik konsentrasi khitosan maupun gliserol, terhadap indeks penghambatan E. coli.

(46)

Dengan membandingkan nilai penghambatan film khitosan terhadap kedua bakteri, dapat dilihat bahwa penghambatan terhadap E. coli lebih baik dari pada S. aureus. Hal ini disebabkan pada E. coli, yang merupakan bakteri gram negatif, memiliki lapisan lipopolisakarida pada dinding selnya. Lapisan ini memiliki sifat polar. Khitosan yang mempunyai sifat polikationik menyebabkan tingkat keelektronegatifan bertambah. Sifat khitosan dan dinding sel bakteri gram negatif ini menyebabkan reaksi lebih mudah terjadi dibandingkan dengan bakteri gram positif.

Gambar 4. Indeks penghambatan khitosan terhadap S. aureus

Simpson (1997), dalam Suptijah (2006), menjelaskan mekanisme penghambatan khitosan terhadap bakteri. Khitosan dapat berikatan dengan protein sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan membraner, khitosan berikatan pula dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin (PC) sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran (IM) meningkat. Meningkatnya IM memudahkan keluarnya cairan sel. Pada E. coli, reaksi selama 60 menit menyebabkan komponen enzim beta-galaktosidase dapat terlepas yang berarti dapat keluar sel bersamaan dengan sitoplasma. Keluarnya cairan ini dapat disertai dengan komponen sel yang lain. Jika ini terjadi, maka regenerasi sel akan terganggu.

3. Permeabilitas Uap Air

Pengujian terhadap nilai permeabilitas uap air (WVP) film khitosan secara umum menunjukkan adanya peningkatan nilai permeabilitas uap air

(47)

seiring dengan peningkatan konsentrasi khitosan. Nilai permeabilitas film sampel mempunyai rentang antara 1,5839 hingga 5,4815 g.m-1.atm-1.hari-1.

Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa konsentrasi khitosan memiliki pengaruh yang nyata terhadap nilai WVP, sedangkan konsentrasi gliserol tidak mempunyai pengaruh signifikan. Uji lanjut Tukey's

menunjukkan bahwa pada film khitosan dengan konsentrasi paling rendah menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan yang lainnya.

Gambar 5. Nilai water vapor permeability (WVP) film khitosan.

(48)

film karena kaitannya dengan kemampuan mengurangi potensi dehidrasi produk selama pembekuan dan penyimpanan beku. Setelah melihat tingkat signifikansi perbedaan antar konsentrasi khitosan kemudian dipilih film dengan konsentrasi khitosan 1,00% dan gliserol 0,25 ml/g khitosan sebagai film dengan kombinasi perlakuan terbaik.

B. PENELITIAN UTAMA

Penelitian utama dilakukan di PT. Kelola Mina Laut, Gresik. Tahapan penelitian ini menggunakan ruang proses di unit pengolahan ikan dan dilakukan bersamaan dengan proses produksi produk ikan beku lainnya. Pengujian dilakukan di laboratorium perusahaan yang juga berlokasi di dalam area pabrik.

Penelitian ini diawali dengan pembuatan larutan khitosan. Setelah itu, dilakukan pelapisan pada ikan dengan metode pencelupan. Metode pencelupan ini digunakan dengan mempertimbangkan kepraktisan pelaksanaan serta kebiasaan yang telah ada sebelumnya. Dalam proses pelapisan yang sesungguhnya dapat juga digunakan metode lainnya, yakni penyemprotan (spray), penuangan (casting), pembusaan, dan penetesan terkontrol (Donhowe dan Fennema, 1994). Pada metode penyemprotan, proses penyemprotan larutan film dapat dilakukan ketika fillet ikan telah ditata di atas loyang pembeku (long pan) dan siap dimasukkan ke dalam mesin pembeku. Pencelupan fillet ikan dilakukan selama 30 detik berdasarkan kebiasaan di pabrik untuk menghasilkan glazing sebanyak 5-10 %. Hasil pengamatan terhadap fillet ikan yang diuji selama penyimpanan adalah sebagai berikut : 1. Kadar Air

Fillet ikan yang diuji kadar airnya menunjukkan adanya perubahan dengan kecenderungan menurun. Percobaan yang dilakukan menghasilkan data sampai menjelang hari kesembilan ikan dengan kadar air tertinggi dimiliki oleh ikan yang dilapis plastik polipropilen (PP), kemudian diikuti oleh ikan yang di-coating menggunakan khitosan lalu ikan yang tidak

di-coating sama sekali (Gambar 6). Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan

(49)

dengan plastik PP masih lebih mampu menahan perpindahan uap air dari daging ke lingkungan dibandingkan dengan larutan khitosan.

Gambar 6. Nilai kadar air fillet ikan beku selama penyimpanan

Pengamatan yang dilakukan pada hari kesembilan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar air pada ikan yang tidak di-coating

melebihi ikan yang di-coating khitosan dan dilapis plastik. Fenomena ini diduga karena munculnya kristal-kristal es tambahan yang menempel di sekeliling permukaan ikan. Pintu cold storage yang sering dibuka-tutup dapat menyebabkan suhu dan kelembaban dalam ruang cold storage

menjadi tidak konstan sehingga berpengaruh terhadap kandungan uap air. Hui et al. (2004) menyebutkan bahwa menurunnya kandungan air terutama disebabkan adanya proses perpindahan molekul air dari dalam daging ikan ke lingkungan. Slavin (1981) menjelaskan bahwa perpindahan molekul air ini disebabkan oleh penurunan kelembaban (relative humidity/ RH) lingkungan (udara dalam cold storage). Turunnya RH menyebabkan tekanan uap air ikut menurun. Kandungan air dalam daging ikan beku, sekitar 80 % (Tressler et al., 1981), menyebabkan tekanan uap air dalam daging menjadi tinggi. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan yang tekanan uap antara lingkungan dengan daging ikan. Keadaan inilah yang

(50)

menyebabkan molekul air berpindah dari dalam daging ikan ke lingkungan untuk mencapai kesetimbangan.

Penggunaan khitosan sebagai pengganti plastik masih belum dapat diterapkan mengingat tingkat permeabilitas uap air film yang dihasilkan masih belum sebaik plastik. Hal ini ditandai dengan nilai kadar air ikan yang di-coating khitosan selalu berada di bawah ikan yang dilapis plastik. Namun penggunaan khitosan dan gliserol, meskipun memperburuk nilai permeabilitas uap air, namun masih relatif baik dibandingkan dengan bahan yang lain (Nugroho, 2002).

2. Total Mikroba

Pengujian total mikroba menggunakan metode total plate count

(TPC) menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan jumlah mikroba seiring dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Selain itu, pengujian juga menunjukkan bahwa coating dengan khitosan dapat melakukan penghambatan yang lebih baik dibandingkan kedua perlakukan yang lain, kemudian diikuti dengan ikan yang dilapis plastik lalu ikan yang tidak

di-coating sama sekali (Gambar 7). Hasil analisa ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata antara ikan yang tidak di-coating, di-coating

khitosan, dan dilapis plastik.

Nilai total mikroba secara keseluruhan masih memenuhi nilai yang ditetapkan Standar Nasional Indonesia untuk produk ikan beku, yakni maksimal 5 x 105 koloni per gram. Seluruh sampel yang diuji tidak menghasilkan nilai total mikroba di atas standar tersebut. Namun untuk mencapai mutu yang lebih baik, pengurangan jumlah mikroba tetap diperlukan.

Pembekuan dapat menghentikan aktivitas mikroorganisme. Namun masih terdapat bakteri jenis psikrofil yang dapat bertahan pada produk hasil laut yang disimpan pada suhu beku atau di bawah titik beku (Frazier dan Westhoff, 1978). Bakteri-bakteri jenis inilah yang diduga menyebabkan kenaikan jumlah total mikroba selama 15 hari masa penyimpanan. Namun untuk membuktikannya diperlukan pengujian lebih lanjut.

(51)

Gambar 7. Jumlah total mikroba selama penyimpanan

Adawyah (2007) memaparkan tiga penyebab kematian bakteri akibat pembekuan. Pertama, cairan dalam tubuh ikan sebagian besar telah berubah menjadi es sehingga menyulitkan bakteri untuk menyerap makanan dalam bentuk larutan. Kedua, cairan dalam sel bakteri juga ikut membeku. Ketiga, suhu yang rendah menyebabkan bakteri yang tidak tahan suhu rendah akan mati.

Penggunaan khitosan sebagai coating menghasilkan penurunan jumlah mikroba yang cukup banyak. Dibandingkan dengan ikan tanpa

coating, ikan dengan coating khitosan dapat menurunkan jumlah mikroba hingga menjadi 8 – 28 persennya. Jika dibandingkan dengan ikan yang dilapis plastik, ikan dengan coating khitosan dapat menurunkan jumlah mikroba hingga menjadi 16 – 44 persennya. Ini menunjukkan terjadinya aktivitas penghambatan mikroba oleh khitosan.

Mekanisme penghambatan bakteri oleh khitosan diawali dengan bertemunya dinding sel bakteri dengan molekul khitosan. Khitosan dapat berikatan dengan protein sel, diantaranya dengan glutamat yang merupakan komponen membran sel. Selain berikatan dengan membraner, khitosan berikatan pula dengan fosfolipid membraner, terutama fosfatidil kolin sehingga menyebabkan permeabilitas inner membran meningkat. Meningkatnya permeabilitas inner membran memudahkan keluarnya

(52)

enzim beta-galaktosidase dapat terlepas yang berarti dapat keluar sel bersamaan dengan sitoplasma. Keluarnya cairan ini dapat disertai dengan komponen sel yang lain. Jika fenomena ini terjadi, maka dapat menyebabkan tidak terjadinya regenerasi sel, bahkan dapat menyebabkan kematian (Simpson, 1997, dalam Suptijah, 2006).

3. Organoleptik (Hedonik)

Uji hedonik yang dilakukan pada hari ke-9 dan 15 menunjukkan terjadinya penurunan nilai mutu pada semua produk. Penurunan ini terjadi hampir di semua atribut mutu. Penurunan terbesar terjadi pada produk yang dilapis plastik. Sebagian besar penilaian panelis terhadap produk yang di-coating khitosan berkisar antara biasa sampai agak suka (skor 3-4).

Data yang didapat (Tabel 6) menunjukkan bahwa pada ikan yang dilapis plastik terjadi penurunan tingkat kesukaan pada pengamatan H-15, sedangkan pada ikan yang di-coating khitosan tidak menunjukkan perubahan yang besar (relatif stabil).

Tabel 6. Hasil Uji Organoleptik pada Hari ke-9 (H-9) dan 15 (H-15)

Perubahan penilaian panelis terhadap tekstur, warna, dan penampakan diduga karena adanya pengaruh kandungan air dalam daging ikan. Winarno (1997) mengatakan bahwa air merupakan komponen yang mempengaruhi penampakan, tekstur, dan cita rasa. Nilai kadar air ikan yang dilapis plastik pada H-15 mengalami peningkatan dibandingkan dengan H-9, sedangkan pada ikan yang di-coating khitosan tidak menunjukkan perubahan yang besar (relatif stabil). Jumlah kandungan air pada hari ke-15 ternyata menyebabkan menurunnya tingkat kesukaan panelis terhadap fillet ikan. Kandungan air yang semakin banyak dalam

29

Tanpa coating Coating khitosan Lapis plastik

H-9 H-15 H-9 H-15 H-9 H-15

Tekstur 4,18 4,47 3,06 3,18 4,06 2,12

Warna 4,29 4,76 3,47 3,29 4,18 1,88

Penampakan 3,53 4,18 2,82 3,12 4,06 1,94

(53)

daging ikan dapat mempengaruhi tekstur, warna, dan penampakan. Perbedaan nilai kadar air pada hari ke-9 dan hari ke-15 pada fillet ikan yang dilapis plastik juga diduga turut mempengaruhi kesukaan panelis.

(54)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Komposisi khitosan dan gliserol yang memiliki penilaian terbaik untuk pembuatan film adalah khitosan 1,00 % (b/v) yang dikombinasikan dengan gliserol 0,25 ml/gr khitosan.

Penggunaan plastik PP sebagai pelapis/pembungkus masih dapat melindungi ikan beku dari kehilangan kandungan air dengan lebih baik dibanding khitosan. Coating ikan beku dengan khitosan memiliki nilai total mikroba yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Penurunannya dapat mencapai 8 – 28 persennya pada ikan tanpa coating dan 16 – 44 persennya pada ikan yang dilapis plastik.

Uji organoleptik menunjukkan bahwa rata-rata penilaian panelis terhadap ikan yang di-coating khitosan berkisar antara biasa sampai agak suka (skor 3 - 4). Berdasarkan penilaian terhadap perubahan kadar air, total mikroba, dan organoleptik, maka edible coating ini memerlukan penambahan komponen lain, terutama yang dapat mencegah dehidrasi pada ikan beku.

B. SARAN

(55)

DAFTAR PUSTAKA

Adawyah, R. 2007. Pengolahan dan Pengawetan Ikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Anonim. 2008. Eschericia coli. Dari http://en.wikipedia.org/wiki/Eschericia_coli diakses pada 2 Februari 2009.

Anwar, F., A. Sulaeman, Rimbawan, dan A. S. Marliyati. 1994. Metode Penetapan Zat Gizi. Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Third Community Health and Nutrition Project, Bogor.

Astuti, B. C. 2008. Pengembangan Edible Film Khitosan dengan Penambahan Asam Lemak dan Essensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan Aktivitas Antimikroba. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Banwart, G. J. 1979. Basic Food Microbiology. AVI Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.

Brine, C. J., P. A. Sandford, and J. P. Zikakis. 1991. Advances in Chitin and Chitosan. Editor. Elsevier Applied Sceince, London.

Buckle, K. A., R. A. Edward, G. H. Fleet, dan M. Wootor. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan. Hadi P. dan Adiono. UI-Press, Jakarta.

Butler, B. L., P. J. Vernago, R. F. Testin, J. M. Bunn, and J. L. Wiles. 1996.

Mechanical and Barier Properties of Edible Chitosan Films as affected by Composition and Storage. Journal of Food Science. Vol 61(5) 953-955p.

Casariego, A., B. W. S. Souza, A. A. Vicente, J. A. Teixeira, L. Cruz, and R. Diaz. 2007. Chitosan Coating Surface and Permeation Properties as Affected by Plasticizer, Surfactant and Polymer Concentration-Application to Vegetables. Makalah dalam 2007 CIGR Section VI International Symposium on Food and Agricultural Products: Processing and Innovations, Naples.

ChingChingWu. 1997. Disk Diffusion Susceptibility Testing (Kirby-Bauer Method). http://www.addl.purdue.edu/newsletters/1997/spring/dds.shtml. Diakses pada 6 September 2008.

Clucas, I. J. and P. J. Sutcliffe. 1981. An Introduction to Fish Handling and Processing. Tropical Product Institute, London.

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan.

(56)

El Ghaouth, A., J. A. Grenier, N. Benhamon, A. Asselin, and Belenger. 1994.

Effect of Chitosan on Cucumber Plant of Phytium Aphandenidermatum and Induction of Defence Reaction. Phytopathology 84:3.

Fellow, P. J. 1990. Food Processing Technology, Principles and Practice. Ellis Horwood Limited, Chichester.

Ferry, J. D. 1980. Concentrated solutions, plastticized polymers, and gels. Dalam

Viscoelastic Properties of Polymers, 3rd ed. pp. 486-598. Wiley, New York.

Frazier, W. C. and D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology 3rd ed. McGraw-Hill

Publishing Company, Ltd., New Delhi.

Gennadious, A. and C. L. Welter. 1990. Edible Film and Coating from Wheat and Corn Protein. Food Technology 44 (10) pp. 63.

Goosen, M. F. A. 1997. Aplications of Chitin and Chitosan. Technomic, Lancaster, PA.

Hardjito, L. 2006. Aplikasi Khitosan sebagai Bahan Tambahan Makanan dan Pengawet. Dalam Prosiding Seminar Nasional Kitin-Kitosan 2006. Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Harris, R. S. dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Editor. Penerjemah : Suminar Achmadi. Penerbit ITB, Bandung.

Hui, Y. H., P. Cornillon, I. G. Lagaretta, M. H. Lim, K. D. Murrel, W. Nip. 2004.

Handbook of Frozen Foods. Macell Dekker, New York.

Hutagalung, S. P. 2007. Peresmian Industri Perikanan Terpadu di Ambon atas Kebuntuan PERMEN 17/20. http://www.dkp.go.id/content.php?c=4135. Diakses pada 25 Desember 2007.

Julianti, E. dan M. Nurminah. 2006. Teknologi Pengemasan. Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara, Medan.

Kamil, T. 2008. Produk Perikanan Bakal Disertifikasi Halal. Harian Koran Tempo edisi 10 Maret 2008.

Kim, K. M., H. S. Jeong, S. Kim, C. L. Weller, M. A. Hanna. 2006. Properties of Chitosan Films as a Function of pH and Solvent Type. Journal of Food Science vol 71 E119-E124.

Kittur, F. S., K. R. Kumar, and R. N. Thraranathan. 1998. Functional Packaging Properties of Chitosan Films. Zeitschrift für Lebensmittel Untersuchung und Forschung, 206: 44 –47.

Gambar

Gambar 1. Struktur kimia khitin (Neurotiker, 2008)
Tabel 1. Syarat Mutu Khitosan Komersial
Tabel 2. Aplikasi Khitosan dalam Industri Pangan
Tabel 3. Syarat Mutu Ikan Beku Menurut SNI 01-4110-1996
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini akan berdampak pada penentuan daerah penangkapan ( fishing ground ) yang menjadi sasaran penangkapan. Daerah penangkapan ikan di Kecamatan Labuan adalah Selat

Berikut ini perhitungan Workload untuk mesin pada packaging primer (Groover, 2001). Apakah perusahaan akan menggunakan 1 mesin atau menambah jumlah mesin menjadi 2

Dalam hal ini, maka desain untuk menarik minat para konsumen/pembeli pun sangat penting, pada awalnya para konsumen pasti akan tertuju pada bentuk promosi, cover,

Ruang terbuka berupa taman rumah sakit dan segala unsur alam yang terdapat didalamnya berdampak baik bagi kesehatan dan Tanaman sebagai unsur alam untuk taman terapi khususnya

Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak

(B) Saudara ketua, saya tidak setuju karya wisata ke Bali karena sudah banyak siswa sekolah kita yang pernah berkunjung ke Bali.. (C) Saudara ketua, saya tidak setuju karya

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam perkembangan Ekonomi dan Perbankan Islam dan dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi pada setiap lembaga keuangan