• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran darah mencit (Mus musculus albinus) pada proses persembuhan luka yang diberi salep fraksi etil asetat dan fraksi air rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran darah mencit (Mus musculus albinus) pada proses persembuhan luka yang diberi salep fraksi etil asetat dan fraksi air rimpang kunyit (Curcuma longa Linn.)"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN DARAH MENCIT (Mus nzascul~~s nlbirzus) PADA PROSES PERSEMBUHAN LUICA YANG DIBERI SALEP FRAKSI ETIL ASETAl

DAN FRAKSI AIR RIMPANG KUNYIT (Curcctnm longn Linn.)

Oleh:

AGUS FAHRIZAL ALAMSYAH B04104121

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

AGUS FAHRIZAL ALAMSYAH. Gambaran Darah Mencit (Mus nzusculus albinus) Pada Proses Persembuhan Luka Yang Diberi Salep Fraksi Etil Asetat dan Fraksi Air Rinlpang Kunyit (Curcuma longa Linn.). Dibimbing oleh IETJE WIENTARSIH dan SUS DERTHI WIDHYARI.

(3)

GAMBARAN DARAH MENCIT (MKS ~tusculus albiitrrs) PADA PROSES PERSEMBUHAN LUKA YANG DIBERI SALEP FRAKSI ETIL ASETAT

DAN FRAKSI AIR RIMPANG KUNYIT (Cr~rcr~mn lot~gn Linn.)

Oleh:

AGUS FAHRIZAL ALAMSYAH B04104121

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk melnperoleh gelar Sarjiu~a Kedolcteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

Judul Tugas Akhir : Gambaran Darah Mencit (Mus nzusculus albinus) Pada Proses Persembuhan Luka Yang Diberi Salep Fraksi Etil Asetat dan Fraksi Air Rimpang ICunyit (Curcunzn longr~ Linn.)

Bentuk Tugas Alchir : Penelitian

Nama : Agus Fahrizal Alamsyah

NIM : B04104121

Disetujui

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing I1

Dr.Hi.Ietie Wientarsih.Apt.MSc Dr.drh.Sus Derthi Widhvari,MSi NIP. : 19530211 198503 2 002 NIP. : 19640601 199002 2 001

Diketahui

(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk inemperoleh gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedolcteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sholawat serta salam semoga terlimpah ltepada Rasulullah SAW. Terima kasih yang sebesar-besamya penulis ucapkan kepada:

Ayah, Ibu, Adi!&u Iga dan Mita untuk do'a, ltasih sayang, semangat dan dukuugan yang selalu diberikan kepada penulis.

Dr.Hj.Ietje Wientarsih,Apt.MSc dan Dr.drh.Sus Derthi Widhyari,MSi

sebagai dosen pembimbing atas bimbingan, arahan, nasehat, perhatian, semangat dan ~notivasi yang telah diberikan kepada penulis.

Dr.dr11.Wiwin Winarsih,MSi atas bantuan dan arahan yang telah diberiltan kepada penulis.

Teman-teman Angkatan 41 (Asteroidea) untuk kasih sayang dan

kebersamaannya.

Teriinakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga Allah SWT menlbalas semua kebaikan yang telah diberikan. Penulis menyadari bahwa masih banyalc kelcuraugan dalam tulisan ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya il~niah ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2009

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dompu, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 17

Agustus 1987. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara, dari Bapak Farasil Muhamad Said dail Ibu Rosidah.

Penulis menempuh pendidikan di SD Negeri 1 Dompu (1993-1999), SLTP Negeri 1 Dompu (1999-2002) dan SMU Negeri 1 Dompu (2002-2004). Penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian

Bogor inelalui jalur Uildangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama meiljadi mahasiswa, penulis pernah aktif di Himpunan Profesi

(7)

DAFTAR IS1

Halaman

DAFTAR TABEL

...

v

DAFTAR GAMBAR

...

vi

DAFTAR LAMPIRAN

...

vii

PENDAHULUAN Latar Belakang

...

1

. . ...

Tujuan Penelltian 2

. . ...

Manfaat Penelltian 2 TINJAUAN PUSTAKA Rimpang Kuuyit

...

Sejarah dail Botani Kunyit 3

...

Sifat Fisik dan Kimia Kunyit 3 Peranan Rimpang Kunyit

...

5

Zat Aktif Rimpang Icunyit

...

5

Ekstraksi

...

8

Salep

...

Mencit

...

Darah

...

Eritrosit

...

Leukosit

...

Hemoglobin

...

Hematokrit

...

Perseinbuhan Luka

...

Fase Peradangan

...

Fase Proliferasi

...

Fase Peinatangan

...

...

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persembuhan Lulca METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat

...

26

Alat dan Bahau

... .... ...

26

Hewan Percobaan

. .

...

26

Metode Penel~tian

...

.

.

26

Pembuatau Simpltsia

...

26

Pembuatan Ekstrak Kunyit

. . .

...

26

Penapisail Fitokiinia

...

27

Pembuata~l Salep

...

28

...

Perlukaan Pada Mencit 28 Pengeloinpokan Perlaluan

...

28

Pemberian Obat Luka Komersil dail Salep Kunyit

...

29
(8)

Perhitungan Jumlah Eritrosit

...

29

Perhitungan Jumlah Leukosit

...

30

Penentuan Kadar Hemoglobin

...

30

Perl~itungan nilai Hematokrit

...

30

. .

A n a l ~ s ~ s Data

...

31

HASIL DAN PEMBAHASAN

. . .

Penapisan F~tokimla

...

32

...

Gambaran Darah 32

...

Jumlah Eritrosit 33 Nilai Hematokrit

...

35

Kadar Hemoglobin

...

37

Jumlah Leultosit

...

39

...

Efektifitas Pemberian Salep Kunyit Untuk Persembuhan Luka 41 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

...

42

Saran

...

42

DAFTAR PUSTAKA

...

43
(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

. . . .

...

1 Kompos~si Klmla ICunyit 4

2 Data Dasar Fisiologis Pada Mencit

...

11

. . .

3 Hasil Pellapisan Fitolc~mla

...

32 4 Rataall jumlah eritrosit pada mencit dalam kondisi luka

...

yang diolesi salep kunyit 33

5 Rataan nilai hematokrit (PCV) pada mellcit dalam kondisi luka

yang diolesi salep kunyit

...

35 6 Rataan ltadar hemoglobin (Hb) pada mencit dalam koildisi lulca

...

yang diolesi salep kunyit 37

7 Rataan ju~nlah leukosit (WBC) pada mencit dalam kondisi luka

...

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Tanaman dan Rimpang kunyit

...

4

2 Mencit laboratorium (Mus nzuscz~lus albinus)

...

10 3 Rataan jumlah eritrosit pada mencit dalam kondisi luka

...

yang diolesi salep kunyit 34

4 Rataan nilai hematokrit pada mencit dalam kondisi luka

yang diolesi salep kunyit

...

36 5 Rataan kadar hemoglobin pada mencit dalam kondisi luka

yang diolesi salep kunyit

...

38 6 Rataan jumlah leulcosit pada lnencit dalarn kondisi luka
(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Analisa data jumlah eritrosit setelah perlakuan

...

47 2 Analisa data jumlah leukosit setelah perlakuan

...

53
(12)

PENDAHULUAN

Latar belakang

Manusia dijuluki homo fibula karena ia melnpunyai kebiasaan bercerita apa yang dilihat, didengar, dan dirasalcan. Demikian juga halnya dengan nenelc moyang kita, lcetika berhasil menyembuhkan penyakit tertentu dengan suatu ramuan, cerita tersebut segera tersebar ke segenap anggota komunitasnya. Ramuan itu biasanya tidak melalui penelitian ilmiah, tetapi lebih didasarkan pada pengalaman, budaya, dan kepercayaan. Pengalaman empiris inilah yang mendasari pengetahuan farmakologi dalam mempertimbangkan pe~nalcaian obat tradisional dalam pengobatan modern.

Penelitian dan pengembangan tanaman obat ditujulcan untuk mencari alternatif pellgganti obat sintetik, salah satunya adalah penelitian di Bidang farmasi yang berdasarkan indikasi suatu tanaman obat yang memiliki khasiat

secara empiris. Selain itu, pengujian toksikologi juga telah banyak dilakukan ole11 para peneliti untuk mengetahui selang lceamanan penggunaan tanaman obat bailc secara akut maupun kronis (Dalimartha 2005). Sampai saat ini pengkajian tanaman obat tersebut terus dilakukan, tidak terkecuali tanaman kunyit.

Kunyit merupakan salall satu tumbuhan yang banyak digunakan masyarakat Indonesia, terutama untuk keperluan dapur (bumbu dan zat warna makanan), lcos~netika maupun dalam pengobatan tradisional. Secara tradisional, air rebusan rimpang kunyit yang dicampur dengan gambir digunakan sebagai air lcumur mulut untuk gusi bengkak.

(13)

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui zat-zat aktif dalam kunyit yang dapat ditarik oleh pelarut etil asetat dan air.

2. Mengetahui jumlah eritrosit, jumlah leukosit, nilai hematohit, d m kadar hemoglobin pada mencit (Mus mz~sculus) dalam kondisi luka yang diolesi salep fi.aksi etil asetat dan fraksi air rimpang kunyit (Curcunza longa Linn). 3. Mengetahui secara umum perbandingan efektifitas pemberian sediaan salep

fraksi etil asetat dan fraksi air rimpang kunyit dalam persenlbuhan luka.

Manfaat Penelitian

(14)

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah dan Botani Kunyit

Kunyit merupakan tanaman obat yang bersifat tahunan (perenial) yang tersebar di seluruh daerah tropis. Tanaman kunyit tumbuh subur dan liar di sekitar

hutan atau bekas kebun. Kunyit merupakan tumbuhan semak yang tumbuh berumpun-rumpun, mempunyai susunan tubuh yang terdiri dari akar, batang semu, rimpang, terdiri dari kumpulan ltelopak atau pelepah daun yang berpautan, daun tangkai bunga, dan kuntum bunga (Rukrnana 1994). Tumbuhan ini tidak berbulu, batangilya pendelc, bunganya putih pucat dan kuning, daunnya berjumbai, mempunyai daun pelindung berwarila putih bergaris hijau dan diujuilgnya merah jambu, sedangkan yang terletalc di bagian bawah berwarna hijau muda, serta pelepah daunnya menlbentuk batang semu (Purseglove et al.

1981).

Kunyit dikenal sebagai Curcunza loizgga Linn, karena naina tersebut sudah dipakai untuk jenis rempah-rempah lainnya, inaka tahun 1918 diganti menjadi Curczrma donzestica oleh Valantin (Purseglove et al. 1981). Kata curcuma berasal dari bahasa Arab yaitu kz~rkz~m dan bahasa Yunani kaalkoin. Pada tahun 77-78 SM, Dioscarides menyebut tanaman ini sebagai Cyperus yang menyerupai jahe, tetapi pahit, kelat, sedikit pedas dan tidalc beracun. Tananan ini banyak dibudidayakan di Asia Selatan khususnya di India, Cina Selatan, Taiwan, Filipina dan Indonesia khususnya Jawa (Darwis et al. 1991). Tanaman kunyit termasuk kingdom Plantae, divisi Spealinatoplyta, sub divisi Angiosperi1zae, kelas Monoco@ledonae,

ordo Zingiberales, falnili Zingiberaceae, genus Cz~rcunza, spesies Curcunza doi~zestica Valet (Rukmana 1994).

Sifat Fisifc dan I<imia ICunyit

Kunyit adalah tanaman yang tingginya mencapai 1 in dan bunganya

(15)
[image:15.532.69.475.46.782.2]

Gambar 1. Tanaman dan Rimpang kunyit

(Sumber: h@://www..sadaJcom/images/turmeric.gz~

Kunyit merupakan jenis temu-temuan yang mengandung senyawa aktif

diantaranya minyak atsiri dan kurkuminoid. Mimyak atsiri tersebut mengandung senyawa-senyawa k i i i a seskuiterpen alkohol, tumeron dan zingiberen sedangkan

kurktunimoid mengandung senyawa kurkumii dan turunannya berwarna b i g yang meliputi desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin. Di samping itu

rimpang kunyit juga mengandung pati atau amilum, gom dan getah, sedangkan yang memberikan aroma harum dan rasa

khas

pada umbinya adalah minyak atsiri (Thomas 1989). Komposisi kimia kunyit dapat diliiat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi K i i a Kunyit

Komponen Jumlah (%)

Kadar air 6.0

Protein 8.0

Karbohidrat 63.0

Serat kasar 7.0

Bahan mineral 6.8

Mmyak volatil 3.0

Kurkumin 3.0

Bahan non volatil 9.0

[image:15.532.99.433.55.254.2]
(16)

Peranan Rirnpang Kunyit

Bagian kunyit yang sering dimanfaatkan adalah rimpangnya, untuk antikoagulan, antiedemik, menurunkan tekanan darah, obat malaria, obat cacing, obat salcit perut, memperbanyak ASI, stimulan, mengobati keseleo, memar dan rematik. Kurltuminoid pada kunyit berkhasiat sebagai antihepatotoksik, anthelmintik, antiedemik, analgesik. Zat aktif lain dari kunyit yaitu lturkumin dapat berfuilgsi sebagai antiinflamasi dan antioksidan. Kurkumin juga berkhasiat mematikan kuman dan menghilangkan rasa kelnbung karena dinding empedu dirangsang lebih giat untuk mengeluarkan cairan pemecah lemak. Millyak atsiri pada kuilyit dapat bermanfaat untuk mengurangi gerakan usus yang kuat sehingga manlpu meugobati diare. Selain itu, juga bisa digunakan ultuk ~neredakatl batuk dan autikejang (Sumiati dan Adnyana 2004).

Salep yang dibuat dari campuran lcutlyit dellgall nmillyak kelapa banyak digunakan untuk menyembuhkan kaki bengkak dan untuk mengeluarkan cairan penyebab bengkak. Salep dari kunyit detlgan asam kawak juga digunakan untuk pengobatail kaki luka. Kunyit yang diremas-remas dengan biji ceugkeh dan melati digutlakail u~ltulc obat radang hati, dan penyakit kulit. Sementara akar kunyit yang diremas-remas dapat digunalcan sebagai obat luar peuyakit bengkak dan reunatik (Sumiati dan Adilyaila 2004).

Beherapa penelitian secara in vitro dan in vivo meuunjukan bahwa kunyit mempunyai aktivitas sebagai antiinflarnasi (anti peradangan), aktivitas terhadap

peptic tllcel; antitoksik, antihiperlipiden~ia, dan aktivitas anti kailker. Pada tikus, jus lcunyit atau serbulc yang diberikail secara oral tidak menghasilkan efek a~~tiinflamasi (anti peradangan), hanya injeksi iiltraperitoneal (Ice organ dalain perut) yang efektif. Ekstrak kurkumin juga dapat mencegah kerusakan hati pada tikus, mencegah hepatoksisitas dan kerusakan sel, menuruilkaii semua komposisi lipid (trigliserida, fosfolipida dail kolestrol) dall mencegah lcanker usus (Sumiati dan Adnyana 2004).

Zat Alctif Rimpang Kunyit Alkaloid

Alkaloid merupakan metabolit sekunder yang bersifat basa (Anonim

(17)

tumbuhan yang bersifat fisiologi altif. Alkaloid hagi tumbuhan b e r h g s i sebagai senyawa racun yang melindungi tumbuhan dari serangga dan herbivora, produk akllir reaksi detoksifikasi senyawa-senyawa yang berbahaya bagi tumbuhan, reg~~lator faktor peitumbuhan dan sebagai senyawa cadangan untuk sumber nitrogen atau elemen lain yang berguna bagi tumbuhan.

Allcaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harborne 1987). Alkaloid berfungsi sebagai anti de~nam (anti piretikum), anti cacing (anthelmintikum), obat atau zat pemulih (analeptiltum): anti parasit (anti plasmodium), anti radang (antiinflamasi), anti batuk (antitusif), insektisida, narkotikum, merangsang sistem saraf pusat (stimulansia), memacu keluarnya keriugat (diaphoretic), merangsang muntah (emetikum), dan merangsang keluarnya urin (Anonim 2008a).

Flavonoid

Flavonoid merupakan senyawa yang larut dala~n air. Flavonoid ~nengandung siste~n aro~natik yang terkonjugasi, umulnnya terdapat pada turnbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Se~nua flavonoid inenurut strukturnya merupakan turunan senyawa iuduk flavon yang berupa tepung putih dan semuanya mempunyai sejumlah sifat yang salna (Harborne 1987).

Flavonoid berfungsi menurunltan permeabilitas kapiler sehingga perdarahan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan kerusaltan ltapiler dapat diperbaiki (Wardhana et al. 2001). Flavonoid bekerja dengall membentuk sumbat tro~nbosit dan ~neinperbaiki endotel vaskuler sehingga dapat ~nenutup robekan

ltecil pada pembuluh darall (Evans 1989).

Polifenol dan Tanin

(18)

Tanin pada tumbuhan sub divisi angiospermae terdapat khusus dalam jaringall kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah lculit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung-silang protein. Salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah sebagai penolak hewan pemalcan tumbuhan karena rasanya yang sepat (Harborne 1987).

Saponin

Saponin adalah deterjen alami yang ditemukan pada banyak tanaman yang memiliki bahan surfaktan karena mengandung lemak dan air yang mudah larut. Komponen strulctur saponin terdiri dari gula-gula hexose dengan sejumlah atom

karbon, hidrogen dan oksigen. Keberadaan saponin dapat dicirikan dengan rasa yang pahit, pe~nbentuk busa yang stabil pada larutan cair (busa berbentuk sarang lebah pada air) dan mampu membentuk lnolekul dengan kolestrol (Cheeke 1999). Selain itu, saponin juga mempunyai kemampuan membunuh kulnan (Anonim

2008b).

Icuinon

(19)

Ekstraksi

Ekstraksi adalah pemisahan kandungan aktif dari simplisia menggunakan cairan penyaring yang cocok. Metode ekstraksi antara lain perendaman (nzaserasi), perkolnsi, digesti, infusi dan dekoksi. Hal-ha1 yang harus diperhatikan dala~n proses ekstraksi adalah jumlah simplisia, penambahan air ekstrak, derajat kehalusan, cara pemanasan, cara penyaringan dan perhitungan dosis pemakaian (Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Bahan jamu yang dihaluskan sesuai dengan syarat Farmakope Indonesia (biasanya terpotong-potong atau diserbuk-kasarlca~~), disatukan dengan bahan ekstraksi. Deposisi tersebut disimpal dan terlindungi dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dilcatalisis cahaya ataupun perubahan warna) kemudian dikocok kembali. Waktu maserasi adalah berbeda-beda, setiap Farmakope mencantumkan 4-10 hari dengan dilaltultan pengocokan secara berulang (kira-kira tiga kali sehari). Melalui usaha ini dijamin suatu keseilnbangan konsentrasi bahan ekstralcsi yang lebih cepat lte dalam cairan (DepKes RI 1995). Keadaan dia~n selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan ekstraksi, akan semakin baik hasil yang diperoleh (Voight 1994).

Cara ekstraksi yang tepat secara alarni tergantung pada telcstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang dieltstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harbome 1987). Ekstraksi juga sangat bergantung pada jenis d a l komposisi dari cairan pengeltstraksi. Untuk memperoleh sediaan obat yang cocok umumnya berlalcu canpuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi (Voight

1994).

Salep

Salep merupakan sediaan setengah padat yang digunakan sebagai obat luar

(20)

Syarat-syarat dasar salep antara lain harus stabil secara fisik maupun kimia, warna dan bau harus stabil selama penyimpanan da11 pemakaian, dapat dicampurlcan dengan semua obat, halus dan licin sehingga mudah dioleskan pada kulit, daya kerjanya sama baik untuk kulit kering maupun berlemak, tidak mengiritasi kulit, tidak mudah tengik, dan mudah dipakai atau dioleskan

(Wientarsih dan Prasetyo 2006).

Voight (1994) ~nenjelaskan bahwa salep yang mengandung cairan dalain jumlah besar harus dilindungi terhadap pengenceran cairan jika wadah tidak terjanlin kerapata~mya. Ini dilakukan dengan menutup menggunakan folia logam atau plastik atau bahan lain yang cocok. Menurut Ansel (1989) salep biasanya dikemas, baik dalam botol atau dalan tube. Botol dapat dibuat dari gelas tidak berwarna, warna hijau, biru atau burain dan porselen putih. Botol plastik juga dapat digunakan. Wadah dari gelas b u a m dan berwarna berguna untulc salep yang mengandung obat yang peka terhadap cahaya. Kebanyakan salep harus disimpan pada temperatur di bawah 30°C untuk mencegah pelembekan dan cairnya salep. Preparat setengah padat seperti salep, sering memerlukan penambahan pengawet kimia sebagai anti miluoba, pada for~nulasi untuk mencegah pertumbuhan miluoorganisme yang mengkontaminasi.

Salep dibuat dengan dua ~netode umum yaitu: pencampuran dan peleburan, baik dalam ukuran besar maupun kecil. Metode untuk pembuatan tertentu, teruta~na tergantung pada sifat-sifat bahannya. Dalan metode

pencampuran, komponen dari salep dicampur bersama-sama sampai diperoleh sediaan yang rata (Ansel 1989).

Mencit (Mus I I I L I S C I ~ ~ U S )

Hewan yang akan digunakau pada penelitian ini adalah ~nencit laboratoriuin Mus nzusculzrs (Gambar 2). Klasifikasi mencit laboratoriuin me~n~rut Arrington (1972) adalah sebagai berikut ;

Kingdom : Animalia Filunl : Chordata Kelas : Ma~nmalia

(21)

Family : Muridae Genus : Mus

Spesies : Mus musculus

Mencit sering digunakan sebagai hewan model dalam berbagai kegiatan

penelitan. Hewan ini mudah didapat, mudah dikembangbiakkan dan harganya relatif murah, ukurannya kecil sehingga mudah ditangani, jumlah anak perperanakannya banyak. Sebagaimana makhluk hidup lainnya selama pertumbuhan dan perkembangannya mencit tidak dapat lepas dari pengaruh berbagai faktor lingkungan hidupnya. Mencit laboratorium adalah hewan yang semarga dengan mencit liar atau mencit nunah/domestic. Semua galur mencit

laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari mencit liar sesudah melalui peteniakan selektif. Mencit diielompokkan dalam order rodentia karena

memiliki sepasang gigi insisivus yang berbentuk seperti pahat dan dapat menajam dengan sendirinya. Genus Mus memiliki empat bentuk morfotipe yang sudah

dikenal sebagai spesies tertentu yaitu Mus musculus, Mus domesticus, Mus castaneus, dan Mus bactrianus, maupun sebagai sub spesies dari MIIS musculus yaitu Mus n~usculus dometicus

Perm

1999).

Mencit laboratorium mempunyai berat badan yang hampir sama dengan mencit liar. Saat ini terdapat berbagai warna bulu, galur, dan berat badan yang berbeda-beda setelah diternakkan secara selektif selama 80 tahun yang lalu (Smith

& Mangkoewidjojo 1988). Banyak strain berbeda dari mencit laboratorium yang telah dikembangkan oleh ahli genetik. Beberapa strain seperti Swiss Webster dikembangkan secara outbreed, sementara beberapa strain lain seperti DDY,

(22)

Mencit merupakan hewan yang jinak, lemah, mudah ditangani, takut cahaya dan aktif pada malam hari. Mencit yang dipelihara sendiri, makannya lebih sedikit dan bobotnya lebih ringan dibanding yang dipelihara bersama-sama dalam satu kandang, dan kadang-kadang mempunyai sifat kanibal (Penn 1999).

Mencit memiliki lama hidup sekitar satu hingga dua tahun, baldcan beberapa bisa mencapai usia tiga tahun dengan lama produksi ekonomisnya adalah sembilan bulan. Mencit mencapai usia dewasa pada 35 hari dimana setelah usia delapan minggu sudah dapat dikawinkan. Lama kebuntingal mencit adalah 19-21 hari dengall jumlah anak rata-rata enam ekor. Bobot mencit jantan dewasa adalah 20-40 gram dan mencit betina adalah 18-35 gram. Mencit laboratorium

[image:22.532.73.488.349.768.2]

dapat dilcandangkan pada kotak sebesar kotak sepatu yang dapat terbuat dari berbagai macam bahan, misalnya plastik (polipropilen atau polikarbonat), aluminium, atau baja tahan karat (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Selanjutnya data dasar fisiologis mencit dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Data dasar fisiologis pada mencit.

Karakteristik Nilai

Berat Dewasa

Jantan 20-40 gr

Betina 18-35 gr

Berat lahir 1.0-1.5 gr

Masa kebuntinga~~ 18-2 1 hr

Mata membuka 12-13 hr

Masa hidup 1-2 th

Suhu tubuh 37.4 O C

Konsumsi pakan 4-5 grI100 gr BBIhr

Konsumsi air 4-7 m1/100 gr BBIhr

Kardiovaskuler Frekuensi jantung

Rataan 600 detaklrnnt

Kisaran 328-780 detaklmnt

Rataan sistole 1 13 mmHg

Rataau diastole 81 mmHg

Frekuensi pernapasan

Rataan 163 Imnt

Kisaran 84-230 /mnt

Hemoglobin

Rataa~l 14.8 gr%

Kisara~~ 10-19 gr%

Hematokrit 41.5 %

Eritrosit

Rataan 9.3 x 10'lpL

Kisaran 7.7-12.5 x lo6 I ~ L

Leukosit

Rataan 8 x lo3 IpL

Kisaran 4-12x 1 0 ~ 1 ~ ~

(23)

Darah

Darah merupakan media cair yang terdiri dari komponen selular yaitu sel- sel darah dan komponen cairan yang kaya akan protein yaitu plasma darah (Schalm et al. 1975). Menurut Stainer dan Forsling (1990) kandungan cairan tubuh pada hewan veitebrata sekitar 65% dari total bobot badannya, yang dibagi ~nenjadi cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Pada hewan yang ineiniliki siste~n vaskuler tei-tutup, seluruh cairan tubuh didistribusikau di antara dua kompai-temen cairan tersebut. Cairan ekstraseluler terdiri dari cairan ekstravaskuler dan cairan intravaskuler. Cairan ekstravaslculer terdiri dari cairan interstisial yang inerupalcan tiga perempat cairan ekstraseluler dan cairan intravaskuler yang terdiri dari plasma darah (Guyton dan Hall 1997). Cairan ekstraseluler ini pada mamalia dewasa jumlahnya sekitar 45% dari jumlah total cairan tubuh dan sisanya 55% adalah intraseluler (Stainer dan Forsling 1990).

Menurut Ganong (1999) darab ~nerupakan cairan ekstraseluler yang berada dala~n vaslculer (intravaskuler). Fungsi darah adalah menyuplai setiap sel dengan air yang diperlulcan, oksigen, elektrolit, nutrisi, dan transpol-tasi horinon serta menerima sisa buangan metabolisme untuk ditransport ke organ selwesi (Schalm

et al. 1975). Selain itu menurut Banlcs (1986) fungsi darah yang laiu adalah sebagai alat pertahanan tubuh melalui sel-sel pertahanan dan inaterial penghalang (ailtibodi, antitoksin, dll).

Darah pada hewan dengan sirkulasi tertutup terdiri atas sel-sel darah dan

cairan @lasina) yang mengisi sirkulasi dan yang mengalir dalam gerak teratur tanpa arah yang didorong terutama lcontralcsi ritmik jantung (Junqueira d m Carneiro 1980). Plasma darah ~nengandung zat-zat yang penting dalam proses digesti (asam amino, glukosa, gliserol, d m asam lemak terbang), produk buangan nitroge~l (urea, asain urat, 1u.eatinin) dari metabolisme, hormon, antibodi, karbondioksida, garam anorganik, dan protein plasma seperti albumin, globulin,

dan fibrinogen (Van Tyne dan Berger 1975).

(24)

kadang-kadang sel misterius dari Reticulo Endotelial System (RES) dan plasma atau fraksi ekstraseluler yang mengandung air, elektrolit, glukosa, enzim, dan hormon (Phillis 1976).

Perubahan fisiologis pada tubuh hewan merupalcan faktor yang dapat me~npengaruhi ganlbaran darah. Perubahan fisiologis internal antara lain pertambahan umur, status gizi, latihan, kesehatan, stress, proses produlcsi darah, siklus estrus, suhu tubuh, sedangkan perubahan fisiologis eksternal antara lain infeksi kuman penyalcit, fralct~lra, perubahan suhu linglc~mgan, sanitasi dan sebagainya (Banks 1986).

Eritrosit

Eritrosit merupakan sel yang tidak berinti dan bersifat non motil. Eritrosit biasanya berbentulc bilconlcaf, bulat dengan bagian tengah yang pucat. Komposisi eritrosit pada hewan dewasa terdiri dari 62-72% air, sisanya hampir 35% adalah padatan, 95% dari padatan adalah hemoglobin dan sisanya 5% adalah protein yang terdapat pada strolna dan membran sel, lipid, vitamin, glukosa, enzim dan lain-lainnya (Swenson 1984).

Jumlah eritrosit pada mencit berkisar antara 7,7-12.5 jutalpl (Arrington 1972). Faktor yang dapat mempengaruhi jurnlah eritosit antara lain adalah rute pengambilan darah sampel. Faktor lain yang mempengaruhinya adalah

lconsentrasi hemoglobin, Packed Cell Volume (PCV), umur, jenis lcelamin, kesehatan, olahraga, laktasi, kebuntingan, suhu, dan ketinggian (Swenson 1984).

Jangka hidup eritrosit pada beberapa hewan laboratoris kecil bel-turut-turut sekitar 45-50,45-50, dan 20-30 hari pada kelinci, tikus, dan mencit. Pada keadaan anemia defisiensi zat besi, dimana eritrosit menjadi berukuran kecil, mungkin dapat diperkirakan bahwa jangka hidupnya diperpanjang karena sel yang lebih

(25)

Leul~osit

Leukosit atau sel darah putih merupakan unit yang aktif dari sistem pertahanan tubuh (Guyton 1997). Leukosit memiliki jumlah yang jauh lebih

sedikit dibandingkan dengan eritrosit yang bersirkulasi dalam tubuh, terdapat enam jenis sel darah putih yang normal dalam darah yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, limfosit, dan sel plasma. Limfosit dan monosit dibentuk di jaringau limfatik dan limfonodus, tonsil, limpa, timus, dan mukosa usus. Granulosit dibentuk di sumsum tulang. Janglca hidup dari leukosit belum diketahui secara pasti, namun sekitar 3-12 hari untuk leukosit granular dan sedikit lebih lama untuk limfosit (Williams 1987). Selain itu terdapat tron~bosit dalam jumlah besar yang merupakan fragn~en jenis ke-7 dari sel darah putih yang dite~nukan dalanl sumsum tulang, nzegnkariosit. Tiga jenis sel polimorfonuklear me~niliki penanlpilan granular, oleh sebab itu merelta dinamakan granulosit, atau dalam terminologi klinik sering dinamakan "polys" (Lichtman 1980).

Jumlah sel darah putih tertentu dapat nleningkat karena berbagai ha1 seperti pada infeksi bakteri, jumlah leukosit khususnya meningkat tajam, sebaliknya pada infeksi viral jumlah neutrofil menurun tajanl (leukopenia). Leukopenia dapat juga dite~nui bersa~na dengan endotoksin bakteri, septicenzia dan toxenzia, sedangkan pada kasus tumor (neoplasma) yang nlelibatkan system limpatik, jumlah limfosit dalam aliran darah meningkat dengan perubahan rasio dari eritrosit dengan leukosit (Swenson 1984).

Hemoglobin

Hemoglobin adalah suatu protein berpigmen merah yang membawa oksigen dala~n sel darah merah. Pembentukan hemoglobin di~nulai dari eritroblas

pada stadium retilculosit keinudian diteruskan samnpai sel eritrosit matang. Jika sel darah mesa11 meninggalkan sumsuln tulang dan masuk ke aliran darah maka aka1 tetap melanjutkau pembentukan sedikit hemoglobin selama beberapa hari atau

sesudahnya (Schalm et al. 1975).

(26)

diketahui bahwa heme terutama disintesis dari asam asetat dan glisin yang kebanyakan terjadi di mitolcondria (Guyton 1995). Kandungan zat besi yang terlepas ketika hemoglobin mengalami kerusakan, akan segera menuju ke hati, kemudian akan dipergunakan kembali untt~k pembentukan hemoglobin baru (Ganong 2002). Globin adalah suatu peptida yang didapatkan dari pembentukan hemoglobin yang disintesis oleh sitoplasma sel darah merah (Schalm et al. 1975).

Sifat dasar hemoglobin adalah kemampuannya untuk berikatan secara longgar dan reversibel dengan oksigen tetapi jika ada gangguan akan merubah

sifat-sifat fisik hemoglobin (Guyton 1995). Berat molekulnya 64.450 dalton yang berbentuk bulat terdiri dari 4 subunit. Hemoglobin inengiltat 0 2 untuk membentuk oksihemoglobin, 0 2 menempel pada ~ e ~ + dalam heme. Afinitas hemoglobin terhadap 0 2 dipengaruhi oleh pH, suhu, dan konsentrasi 2,3 difosfogliserat (2,3- DPG) dalanl sel darah merah (Lorenz 1993). 2,3-DPG dan

Hi

berkompetisi dengan 0 2 untuk berikatan dengan hemoglobin tanpa oksigen (hemoglobin terdeoksi), sehingga menuiunkan afinitas hemoglobin terhadap 0 2 dengan

menggeser 4 rantai peptida (Ganong 2002).

Faltor lain yang menyebabkan afinitas hemoglobin terhadap 0 2 rendah adalah susunan asam amino yang terdapat pada rantai polipeptida. Pada henloglobin dewasa mempunyai bentulc rantai polipeptida a202 yang merupakan komponen hemoglobin yang mempunyai afinitas 0 2 yang tinggi, akan tetapi rantai polipeptida a ~ y 2 pada janin lebih tiuggi. Sedangkan pada embrio yang mempunyai rantai <2c2 afinitas terhadap 0 2 rendah (Ganong 2002).

(27)

struktur hemoglobin A, kecuali bahwa rantai P-nya diganti dengan rantai y sehingga hemoglobin F adalah azyz (Ganong 1999).

Hemoglobin mempunyai nilai yang berbeda pada berbagai tingkat perturnbullan, perbedaan ini terdapat pada komposisi asam amino, kurva disosiasi oksigen, dan kelarutan spektrum absorbsi ultraviolet. Jumlah hemoglobin pada darah normal pada kebanyakan mamalia dewasa 13-15 g r d 1 0 0 ml (Guyton

1995).

IIematokrit

Hematokit atau Packed Cell Volunze (PCV) adalah presentase sel darah merah di dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PCV sebanding dengan jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Eritrosit berpengaruh terhadap viskositas darah yaitu semakin ineinbesar persentasi sel darah ~nerah semakin banyak timbul gesekan antar lapisan darah sehingga viskositas darah meningkat yang berakibat pada derajat kesultaran aliran darah ymg melalui pembuluh darah kecil (Guyton

1995).

Pemeriltsaan total hematokrit tubuh di vena atau banyaknya hematokrit pada pembuluh darah, menunjukkan bahwa limpa memainkan peran dalam menlpengaruhi sirkulasi sel darah merah. Rasio total hematokit darah dengan hematokrit vena lebih besar ketika limpa mengalami gangguan (Schalm et al. 1975). Darah dalam pembuluh darah yang kecil dalan tubuh secara nyata menu~unkan nilai hematokrit dibandingkan dengan darah yang berasal dari jantung atau pembuluh darah (Banks 1986).

Persembuhan Lulta

Persembuhan luka adalah proses dalam tubuh yang sebisa mungkin memperbaiki bagian luka menjadi bentuk yang paling mendekati kondisi normal

(28)

remodelilzg (Kalangi 2004). Proses biologis tersebut terjadi dalam beberapa fase persembuhan lulta yang lebih dikenal dengan fase peradangan, fase proliferasi,

dan fase maturasi (Banks 1993).

Persembuhan luka dibagi meujadi dua macanl berdasarltan lteadaan lulta yang terjadi, yaitu persembuhan berdasar penyatuan primer (prinzary union) dan persembuhan berdasar penyatuan sekunder (secondary union). Suatu persembuhan luka dapat digolongkan menjadi penyatuan luka primer apabila luka tertutup, lnengaltibatkan hilangnya sejumlah kecil jaringan, lulta berupa suatu garis insisi dengan scalpel yang steril, tidak disertai infeksi sekunder oleh bakteri, dan celah luka segera ditutupi oleh darah beku. Persembuhau berdasar penyatuan luka sekunder ditandai dengan luka yang terbulta dan mengalarni kerusakan atau hilangilya jaringan dalam jumlah besar. Selain itu, luka terinfeksi oleh bakteri, banyak pembuluh darah yang terkoyak, serta dapat ditemui jaringan yang mengalami nekrosis dan peradangan di daerah luka (Vegad 1995).

Fase Peradangan

Peradangan adalah suatu realtsi dari jaringan hidup yang dialiri darah terhadap perlultaau lokal. Terjadinya peradangan pada suatu area lokal dapat menyebabkan beberapa perubahan baik pada tingkat vascular maupun pada tingkat selular. Perubahan yang terjadi pada tingltat vascular adalah perubahan pada pembuluh darah, perubahan pada aliran darah, perubahan pada pergerakan

atau arus darah dalanl pelnbuluh, eksudasi plasma darah, emigrasi dari leukosit, dan diapedesis dari eritrosit. Perubahan pada tingkat selular berupa peningkatan aktivitas leukosit. Aktivitas leukosit ini merupakan suatu aktivitas yang berkelanjutan dan terdiri dari inarginasi, adesi, emigrasi, fagositosis, dan pelepasan produk-produk leukosit ke jaringan eltstraselular (Vegad 1995).

Sesaat setelah terjadi perlukaau, pembuluh darah mengala~ni vasokonstriltsi yaug singkat. Icontraksi buluh darah ini segera diikuti oleh

(29)

mediator inflamasi. Kondisi ini mengakibatkan hiperemi dan peningkatan aliran darah pada daerah yang meradang.

Vasodilatasi mengakibatkan peningkatan aliran darah yang segera diikuti oleh melanlbatnya sirkulasi darah. Darah yang mengalir lambat dalam mikrovaskular dapat mengakibatkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh

tersebut. Dinding endotel menjadi permeable terhadap protein plasma dan mengakibatkan protein plasma yang terdiri dari albumin, globulin, datl fibrinogen keluar lte jaringan interstisial. Hal ini menyebabkan tekanan osnzotic intravasculav lnenurun dan tekanan osnzotic cairan interstisial meningkat. Akibatnya, cairan plasma darah keluar dari pembuluh dan terakunlulasi di jaringan interstisial.

Kondisi ini disebut sebagai udema peradangan ltarena pada saat ini luka akan terlihat basah. Mediator lcimia seperti histamin dan bradikinin turut meinbantu pelepasan cairan plasma darah dengan membuka hubungan antar sel endotel (Vegad 1995). Hubungan antar sel endotel ini menjauh akibat efek inflamasi yang menyebabkan kontraksi pada endotel. Pada fase peradangan, platelet alcan

teraktivasi untult membentuk benang-benang fibrin yang akan mengheniikan hemoragi pada matriks ekstraselular akibat pembuluh darah yang terkoyak pada saat perlukaan (Anonim 2003). Selain itu, sel mast juga menghasilkan heparin yang ~nerupakan zat pengkoagulasi darah.

Darah dalam pembuluh dapat mengalami stasis dimana aliran darah sudah terhambat. Kondisi ini dapat disebabkan oleh meningkatnya pembuluh kapiler baru yang dialiri darah pada daerah luka. Darah yang melewati pembuluh kapiler ini berjalan dellgall sangat lambat, akibatnya darah yang bersirkulasi akan terhambat. Selain itu, protein plasma yang telah keluar dari penlbuluh darah menyebabkan peningkatan konsentrasi benda-henda darah dimana viskositas darah akan meniilgkat dan aliramlya akan terhambat (Vegad 1995).

Pergerakan atau arus aliran darah dalanl pe~nbuluh membagi peinbuluh

lnenjadi dua zona. Pada bagian tengah lumen pembuluh, pergeraltan darah ditunjang oleh suatu gaya sentripetal. Bagian ini disebut sebagai alirall aksial dan terdiri dari elenlen-elemen seluler seperti eritrosit dan leukosit. Bagian eksternal dari zona tersebut langsung terhubung dengan dinding endotel dan terdiri dari

(30)

keluar dari zona aksial karena gaya sentripetal zona tersebut tergantikan oleh suatu gaya sentrifugal (Vegad 1995). Leukosit akan mengalani marginasi dan berdiam diri pada dinding endotel. Marginasi leulcosit ini semakin menghambat aliral darah sehingga akan terjadi pembendungan, eritrosit yang tertumpuk akan membentuk suatu susunan bentuk yang disebut rouleaux yang berukuran besar serta lnendominasi area aksial pembuluh sehingga leukosit alcan terdorong ke daerah perifer pembuluh darah.

Leukosit yang terakumulasi pada dinding endotel akan melalcukan

etnigrasi atau lceluar dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Leukosit keluar dari pembuluh darah melalui celah antara dinding endotel. Sel darah merah juga dapat keluar dari pembuluh darah, tidak seperti leukosit, eritrosit tidak melniliki kelnampuan untuk bergerak sendiri dan pergerakan eritrosit tersebut berupa gerak pasif akibat dorongan dari tekanan intravaskular yang menurun karena keluarnya leulcosit dari pembuluh tersebut.

Terjadinya luka juga mengindulcsi pelepasan beberapa substansi kilnia yang bertindak sebagai mediator dalam perubahan-perubaha~ yailg terjadi pada sisteln vascular di daerah luka tersebut (Vegad 1995). Beriltut ini adalah beberapa mediator inflamasi yang mempengarulli proses peradangan dan persembuhan luka.

Histamin

Histamin merupakan salah satu mediator peradangan yang berfungsi sebagai inedia pada proses dilatasi arteriol dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Senyawa ini tersinlpan

dalaln granul pada sel mast, basofil, dan platelet. Histamin menyebabkan kontraksi pada dinding endotel dan menyebablcan melebarnya celah yalg menghubungkan sel-sel endotel. Pelepasan senyawa ini (degranulasi sel mast) dapat dipicu oleh beberapa faktor, yaitu agen fisik seperti trauula atau dingin, reaksi imunologik, suatu fraksi dari lcolnplen~e~~ yang disebut sebagai

(31)

mast namun hanya terdapat pada tikus dan n~encit (Dellmann & Brown 1988;

Vegad 1995).

Enzim-enzim lisosom

Sel neutrofil dan monosit mengandung butir-butir lisosom yang akan dilepaskan pada saat terjadi proses peradangan. Neutrofil memiliki dua macam butir yang terbentuk dalam waktu yang tidak bersamaan pada sitoplasmanya. Butir yang terbentuk lebih awal yaitu butir azurophil atau disebut juga butir

primer (Dellmann & Brown 1988). Butir primer ini memiliki kandungan senyawa yang dapat meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, memicu kemotaksis, dan menyebabkan kerusakan pada jaringan ikat (Banks 1993).

Faktor pengalctifasi platelet (Platelet Activating Factor-PAF)

Platelet akan mengalami agregasi da11 melepaslcan kandungannya jika dipicu oleh faktor pengaktifasi ini. PAF memiliki petensi yang lebih hebat dari histamin dalam ha1 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah (Vegad 1995). Faktor pengaktifasi platelet ini juga dapat menyebabkan

adesi sel leukosit pada dinding endotel dan proses kemotaksis. Selain platelet, PAF ini juga dapat disekresi oleh sel-sel lain seperti basofil, neutrofil, monosit, dan sel endotelial.

Sitokin

Sitokin dapat diproduksi oleh banyak sel, terutama oleh sel limfosit dan mo~losit yang telah teralttivasi. Sitokin yang dihasilkan oleh sel limfosit diltenal dengan llama limfolcin, sementara sitokin yang dibentulc oleh moilosit disebut monokin. Tiga jenis sitokin yang memiliki peranan penting dalam proses peradangan adalah interleukin-1 (IL-I), tumour necrosis factor (TNF), dan interleukin-8 (IL-8) (Vegad 1995). Menurut Vegad, IL-1, TNF,dan IL-8 diselcresi

oleh makrofag yang teralttivasi dan dstimulasi oleh beberapa faltor, salah satunya adalah perlukaan fisik. IL-1 dan TNF berfungsi dalam merangsang perlekatan atau

adesi sel-sel leukosit pada dinding endotel. TNF memiliki pengaruh yang sama dengan IL-8 dala~n proses peradangan, yaitu menyebabkan agregasi dan alctivasi dari neutrofil pada jaringall 1~1ka hanya saja IL-8 merupakan chen~onrtracta~~t dan aktivator neutrofil yang lebih kuat. IL -8 juga menstiinulasi proses inigrasi dan

(32)

Engelhardt et a1 juga menyatakan bahwa IL-8 juga memiliki peran dalam peningkatan angiogenesis di daerah luka.

Setelah leulcosit lceluar dari dinding endotel, sel-sel tersebut bergeralc menuju jaringan yang terluka mengikuti suatu kekuatan yang merangsangnya yang disebut kemotaksis. Ken~otalcsis dikatakan sebagai suatu migrasi yang terarah dari sel-sel menuju suatu senyawa penarik atau attractant (Vegad 1995). Leukosit bermigrasi pada jaringan ikat menuju daerah luka melalui suatu gradien kimia. Menuut Kalangi 2004, terdapat molekul-molekul struktural pada matriks ekstrasel yang kemungkcinan dapat mendorong migrasi melalui sel radang. Molelcul-molelcul ini mendorng migrasi melalui penyediaan suatu substratum

(fibronektin dan kolagen) yang dapat menjadi pedoman kontak bagi sel radang untukbergerak ke arah chemoattractant.

Proses pengambilan partikulat ke dalam sitoplasma oleh suatu sel disebut sebagai proses fagositosis (Vegad 1995). Sel-sel leukosit yang telah tiba di daerah luka akan segera membunuh dan menghancurkan material asing (bakteri) dan sel-

sel yang rusak dengan cara fagositosis. Fagositosis diawali dengan pengidentifikasian sel leukosit terhadap materi yang akan difagosit. Pengidentifikasian ini dimungkinlcan bila materi tersebut telah dilapisi ole11 suatu faktor serum atau antibodi spesifik yang disebut sebagai opsonin dan proses ini disebut sebagai opsonisasi (Vegad 1995). Setelah permukaan leukosit menempel dengan partikel yang teropsonisasi, sitoplasma leukosit @seudopodia) akan memanjang dan mengelilingi materi hingga membentuk vakuol atau rongga yang mengelilingi materi dan disebut fagosom. Proses ini disebut engulfment atau penelanan. Setelah ~natei terkurung dalam valc~~ol leukosit, ~naka terjadi proses degradasi atau penghancuran materi tersebut dengan enzi~n hidrolitik pada organel lisosom sel leukosit. Fagososm dengan materi di dalamnya yang sudah terpapar dengan lisosom disebut fagolisosom.

(33)

Neutrofil

Neutrofil adalah sel leukosit yang berdiameter antara 10 sampai 12 pm, memiliki butir halus, dan ini bergelambir (Dellmann & Brown 1988). Sel ini juga disebut dengan le~kosit polimorfonuklear atau sel granulosit. Butir-butir granul yang terdapat pada sitoplasma neutrofil adalah lisosom yang mengandung enzim yaug memungkinkan neutrofil untuk mengha~curkan bakteri melalui proses fagositosis (Vegad 1995). Neutrofil merupakan leukosit yang tiba paling awal di lokasi terjadinya peradai~gan. Oleh karena itu disebut sebagai pertahanan selular pertama. Setelah memfagosit partikel asing (termasuk sisa llelcrosa sel inang).

neutrofil akan segera mati. Makro fag

Makrofag yang berada di jaringan berasal dari sel monosit darah yang

bermigrasi ke jaringall illtat (Dellmann & Brown 1988; Vegad 1995). Jumlah sel monosit darah pada me~lcit berkisar antara 1-12 % dari total leukosit (Smith &

Mangkoewidjojo 1988). Namun, apabila terjadi peradangal, jumlah monosit yang bermigrasi ke jaringan ikat menjadi berlipat-lipat dan maluofag yang telah ada di

jaringan ikat alean teraktivasi. Makrofag ini mulai bermunculan setelah neutrofil menyelesailcan tugasnya untuk memfagosit partilcel asing. Faktor yang meinpengaruhi kemunculan makrofag antara lain adalah suatu chen~oattractnnt yaitu monocyte chemoattractant protein-l (MCP) d a ~ macrophage initiating protein-la atau MIP-la (Engelhardt 1998). Seperti neutrofil, makrofag adalah sel yang efelctif untulc proses fagositosis. Makrofag mencerna dan memfagosit

organisme patogen dan debris jaringan termasuk sel-sel neutrofil yang tidalc berguna lagi (Kalangi 2004). Untuk memungkinlcan fungsi tersebut, sel makrofag dilengkapi dengan kandungan enzim-enzim hidrolitik dalarn jumlah sangat besar dimana enzim-enzim tersebut dapat mendegradasi beragan jenis material secara berula~~g-ulang (Vegad 1995). Selain memfagosit, makrofag yang aktif juga melepaskan beberapa bahan aktif yang penting untuk proses peradangan dan proses perbaikan luka. Bahan-bahan aktif yang dilepaslcan inalcrofag yaitu :

(34)

Mediator lipida sepel-ti hasil metabolisme asam aralcidonat (leultotrien dan prostaglandin) serta Platelet Activating Factor (PAF)

Faktor-faktor kemotaktik

Sitokin, seperti interleukin-1 (IL-I), tumour necrosis factor (TNF), dan interleukin-8 (IL-8)

Faktor-faktor pertumbuhan seperti platelet-derived growth j21ctor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), dan transforming growth factor-P (TGF-P). Faktor-faktor ini mempengaruhi proliferasi fibroblast dan pembuluh darah.

Limfosit

Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan

hanya memiliki kemampuan kemotaksis yang terbatas. Dalam persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari sel-

sel radang lainnya. Beberapa limfokin yang dihasilkan adalah MAF atau macrophage aggregatingfrrctor, d m MCF atau nzacrophage chemolactic facfor. (Banks 1993). MAF merangsang agregasi dari maluofag, sedangkan MCF

berfungsi sebagai chemoattractant bagi makrofag.

Fase proliferasi

Fase proliferasi meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel, dan sel-sel fibroblast. Fibroblast, sel-sel radang, dan pembuluh darah baru memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses reepitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan

luka. Lapisan hemidesmosom ailtara epidermis dengan membran dasar akan menipis dan memungkinkan sel epitel yang telah aktif untuk bermigrasi ke jaringan luka dan mengeluarkan sitolcin seperti IL-1, TNF, TGF-a, dan TGF-P (Anonim 2003). Untuk memfasilitasi migrasinya pada jaringan ikat, sel epitel mengeluarltan enzini kolagenase (Singer & Clark 1999).

Sel-sel endotel berproliferasi mulai dari ujung pembuluh yang terkoyak hingga terbentuk suatu pembuluh kapiler baru (Banks 1993). Pembentukan

(35)

dari pembuluh darah induk menjadi pembuluh darah kecil (kapiler). Proses ini dikenal dengan istilah angiogenesis. Pembentultan suatu peinbuluh darah baru memerlukan degradasi enzimatik dari membran dasar pembuluh induk agar pembentukan cabang pembuluh anak dapat terjadi. Selain itu, juga terjadi migrasi, proliferasi, serta pematangan sel-sel endotel untuk membentuk suatu pembuluh kapiler baru (Vegad 1995). Setelah terbentuk, kapiler-ltapiler bar^^ yang terbentnk akan beranastomose sehiilgga altan terjadi perltembangan sirkulasi di daerah luka (Kalangi 2004). Faktor yang mempengaruhi angiogenesis ini antara lainfibroblast growth factor (FGF) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang dihasilkan oleh makrofag. Dalam ha1 ini, FGF lebih banyak berperan daripada VEGF, yaitu dengan menginduksi sekresi proteinase ole11 sel endotel untuk inendegradasi membran dasar serta memicu migrasi dan proliferasi endotel (Vegad 1995).

Fibroblast bermigrasi lte daerah luka dan be~proliferasi. Prolifersai fibroblast ini dipicu ole11 beberapa faktor pertumbuhan (growth firctor) seperti, plcrtelet-derived growth factor (PDGF), epidernzal growth factor (EGF),fibroblast qowth factor (FGF), dan kansforming growth factor-p (TGF-P), serta sitokin fibrogenik yang dihasilkan oleh makrofag (Vegad 1995; Anoniln 2003). Sel fibroblast secara aktif mensintesis proteogliltan dan ltolagen. Fibroblast berproliferasi membentuk matriks ekstraseluler yang mengandung lnyofilamel~

dan disebut myofibroblast dimana matrilts ini akan bennigrasi ke area luka dan berltontraksi untuk mengmangi ukuran luka hingga daerah luka altan tertutup (Anonim 2003).

Fase pematangan

(36)

Falttor-falttor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka

Persembuhan luka dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu nutrisi, ltadar vitamin C, mineral zinc (Zn) dan glukokortikosteroid dalam tubuh, usia, partikel iritan lokal, kurangnya suplai darah, keberadaan benda asing dan faktor-faktor nleltanis (Vegad 1995). Nutrisi yang tidak seimbang terutama kurangnya konsumsi protein (asam amino) dapat menyebabltan keltuatan regangan jaringan iltat akan melemah. Sel-sel fibroblast yang terbentuk hanya sediltit dan sintesis serabut kolagen akan terhambat. Kekurangan vitamin C akan mengakibatkan serabut kolagen yang disintesis oleh fibroblast menjadi lebih sedikit dan mengalami penurunan ltualitas. Zinc adalah mineral yang diperiultan untuk inetabolisme beberapa enzim yang penting untuk persembuhan luka. Pada individu yang kekurangan zinc, persembuhan luka akan memakan waktu lebih

lama. Persembuhan luka pada individu yang berusia tua akan memakan waktu lebih lama jilta dibandingltan dengan individu yang masih muda. Hal ini terkait dengan suplai darah individu muda yang lebih bailt dan adanya ltemungkinan penyakit seperti aterosltlerosis pada individu tua. Glul~olcortiltosteroid memiliki pengaruh pada proses inflamasi dan fibroplasia. Keberadaannya dalam jumlah besar dapat menginduksi perubahan kimia pada matriks substansi dasar jaringan iltat. Keberadaannya di jaringan dapat mengurangi produksi kolagen dan pembentultan neokapiler. Infiltrasi bakteri, debri-debri dari sel yang nekrosis. nanah dan benda asing dapat menyebabkan infeksi jaringan dan penundaan persembuhan luka. Kurangnya suplai darah jaringan dapat dipengaruhi oleh

(37)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan selama 5 bulan mulai bulan Juli sarnpai bulan Desember 2007 di Bagian Patologi, Laboratorium Farmasi, Laboratorium Patologi Klinilc, Departemen Kinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedolcteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

Pada penelitian ini dipergunakan alat-alat sebagai berikut: erlenmeyer, evaporator, oven, mikroskop, hemositometer (kamar hitung, pipet eritrosit, pipet leulcosit, aspirator), mikrohematokrit kapilaritube, Henzatocrit reader, sentrifuse, Hemometer.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang kunyit, etil asetat, air, etanol 96%, vaselin kuning, crestoseal, larutan pengencer Hayem, larutan pengencer Turk, HCI 0,l N, aquadestilata.

Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah 40 ekor mencit jantan berumur 2 bulan yang dibagi menjadi 4 kelo~llpolc dengan setiap kelompoknya 10 ekor mencit.

Metode Penelitian

Pembuatan Simplisia

Pembuatan simplisia dilakukan dengan menjemur kunyit yang sudah

diiris-iris di bawah terik matahari dengan ditutup plastik sampai kering. Simplisia tersebut dihaluslcan menjadi seperti serbuk.

Pembuatan Ekstrak Icunyit

Sebanyalc 1 bagian serbuk kunyit direnda~n (maserasi) dengan 10 bagian

(38)

dengan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Ekstraksi dihentikan jika filtrat berwama jernih. Filtrat yang diperoleh kemudian diuaplcan dengan evaporator

pada tekanan rendah dan suhu tidak lebih dari 50 OC sampai beratnya konstan (ekstrak semi padat). Ekstrak semi padat yang dihasilkan kemudian difraksinasi deilgan menggu~lalcan pelarut air dan etil asetat. Hasil fraksinasi kemudian dievaporasi dan dioven dengan temperatur 40 OC selama 24 jam hingga membentuk ekstrak lcental.

Penapisan Fitokimia

Dilakukan pellapisan fitokimia dari hasil ekstraksi untuk mengetahui kandungan ballan aktif dengan menggunakan metode Harbo~nk (1987) sebagai berikut :

Uji Alkaloid

Serbuk si~nplisia dibasakan dengan 3 tetes ammonia, kemudian ditambahkan kloroform. Filtrat ditambahkan 10 tetes H2S04 2M. I-Iasil positif apabila ditanlbahlcai~ Meyer menjadi endapan putih dan coklat dengan penambahan pelarut Rx Wagner.

Uji Flavonoid

Serbuk si~nplisisa dipanaskan dengan calnpuran metan01 dail logan1 Magnesium. Adanya flavonoid akan menyebabkan filtrat berwarna merah setelah penamballan 5 tetes NaOH 10%.

Uji Saponin

Serbuk simplisia dipanaskan dengan air dalam tabung reaksi. Kemudian dikocolc kuat-kuat kurang lebih 30 detik. Pembentulcal busa 10 menit kemudian menunjukkan bahwa dalam sampel terdapat saponin.

Uji Tanin

Serbuk siinplisia ditarnbahkan dengan air, kemudian dididilkan. Pada filtrat ditambahkan larutan 5 tetes FeC13 1%. Sehingga terbentuk warna biru tua

(39)

Uji Kuinon

Serbuk simplisia ditambahkan air kemudian dididihkan. Pada filtrat diberi

NaOH 15%. Adanya senyawa kuinon ditandai dengan terjadinya warna kuning hingga merah.

Uji Fenol

Serbuk simplisia ditambahkan lasutan pereaksi FeC13 1% sebanyak 5 tetes. Adanya senyawa fen01 ditandai dengal terbentulmya wama ungu, biru atau hijau.

Pembuatan Salep

Untuk pembuatan salep, 1 bagian ekstrak dari masing-masing fraksi air dan etil asetat dicampur dengan 4 bagian bahan dasar salep (vaselin). Dihomogenkan di mortar dan lcemudian disimpan dalam pot plastilt yang te~tutup dan tidak berwarna.

Perlukaan Pada Mencit

Sebelum melakukan perlukaan, rambut di sekitar punggung mencit dicukur dan didiamkan selama dua hasi. Sebelum disayat, kulit mencit diseka dahulu dengan kapas beralkohol 70 %. Mencit diberi anastesi perinhalasi dengan eter, kemudian dilakukan penyayatan pada punggung mencit dengan menlbuat sayatan sepanjang satu centimeter sejajar 0s. Vertebrae menggu~lakan scalpel

yang steril.

Pengelompokan Perlakuan

Kelompolc K+: Kontrol positif, kelompok mencit yang dilulcai dan diberi obat luka komersil

Kelompok K-: IControl negatif, kelompok mencit yang dilukai nanlull tidak diberikan pengobatan

Perlakuan PE : Kelonlpok mencit yang dilukai dan diberiltan pengobatan dengall sediaa~l salep kunyit dengan pelarut etil asetat

(40)

Pemberian Obat Lulia Komersil dan Salep Kunyit

Obat luka komersil (ekstrak placenta 0,5 %, neomycin sulfate 10 % dan jelly base) dan sediaan salep kunyit dioleskau pada luka dengan menggunakan cotton buds. Aplikasi obat dilakukan setiap hari sebanyak dua kali sehari selama 21 hari pasca perlukaan.

Pengambilan darah

Pengambilan sampel darah dilakukan pada hari ke-2, 4, 7, 14, dan 21 pasca perlukaan. Sebelum penganlbilan darah terlebih dahulu dilakukan pe~nbiusa~l dengan eter. Darah diambil sebanyak i 2 ml dengan spoit langsung

dari jantung dau ditampung dengan venoject yang diisi antikoagulan. Antilcoagulan yang digunakan adalah Ethylendiamine tetraacetic acid (EDTA).

Analisa darah

Perhituugan jumlah eritrosit

Salnpel darah dihisap menggunakan pipet eritrosit hingga tanda tera 0.5 dengall aspirator. Ujung pipet dibersilkan dengan menggunakan tissue, lalu pengencer hayem dihisap hingga tanda 101. Pipet digerakan memutar dengan membentuk angka 8 selama 3 menit. Setelah homogen, cairan yang tidak terkocok pada ujung pipet dihilangkan dengan mene~npelkan ujung pipet ke kertas tissu. Setelah itu teteskan satu tetes ke dalam hemositometer, usahakan jangan sampai ada udara yang masuk. Setelah itu dibiarkan selama beberapa saat sehingga cairan mengeudap, lalu penghitungan dapat dimulai. Agar tidak terjadi penghitungan dobel maka sebailurya ~nenggunakan hand counter. di bawah mikroskop dengan pembesaran 45x10. Jumlah leukosit yang didapat dari hasil perhitungan dilcaliltan dellgall lo4 untulc mengetahui jumlah eritrosit dalam 1 mm3 darah.

JumIah Total Eritrosit = a x 1 0 ~ 1 m m ~

(41)

Perhitungan jumlah leukosit

Sampel darah dihisap menggunakan pipet leukosit hingga tanda tera 0.5 dengan aspirator. Ujung pipet dibersihkan dengan menggunakan tissue, lalu

larutan pengencer Turk yang memiliki kandungan berupa asam asetat glasial dan pewarna Gentian Violet dihisap hingga tanda 11. Kemudian pipet digerakkan nmemutar dengan nmembentuk angka 8 selama 3 menit. Setelah homogen, cairan

yang tidak terkocok pada ujung pipet dihilangkan dengan menempelkan ujung pipet ke kertas tissu. Setelah itu teteskan satu tetes ke dalam hemositometer, usahakan jangan sampai ada udara yang masuk. setelah itu dibiarkan selama beberapa saat sehingga cairan mengendap, lalu penghitungan dapat dimulai. Agar tidak terjadi penghitungan dobel ~naka sebaiknya menggunakan hand counler. di bawah lnikroskop dengan pembesaran 45x10. Jumlah leukosit yang didapat dari hasil perhitungan dikalikan 50 untuk mengetalmui jumlah leukosit setiap 1 mm3 daral~.

Jumlah Total Leukosit = c x 50/mm3

Keterangan: c adalah julnlah leukosit hasil penghitungan dalam hemositometer

Penentuau kadar hemoglobin

Penentuan kadar hemoglobin dilakukan dengan menggunakan metode Sahli. Prinsip nletode ini adalah mengukur konsentrasi henlatin yang dibeutulc ole11 daralm dengan HC1. Prosedur metode ini yaitu darah dipipet dengan pipet Sahli sebamyak 0.02 ml kemudian dimasukkan ke dalam tabung Sahli yang berisi HC1 0,l N sampai batas terbawah, kemudian didiamkan kurang lebih 3 menit satnpai terbentuk asam hematin yang berwarna coklat tua. Warna tersebut

kemudian disamakan dengan warna standar sahli dengan ditambahkannya aquadestilata sedikit demi sedikit ke dalam tabung sampel. Setelah warnanya sama, nminiskus akhir dibaca pada skala yang menunjukkan kadar hemoglobin.

Perhitungan uilai hematokrit

(42)

memisahkan sel-sel darah dari plasma yang terdiri dari butir-butir darah merah diultur dan dinyatakan sebagai persen volume dari lteseluruhan darah. Prosedur untuk metode ini adalah darah diarnbil dengan mikrohematokrit kapilaritub hingga 314 dari tabung tersebut dan ditutup dengan crestoseal. Kemudian disentrifuse selama 5 menit dengan kecepatan 12.000 rpm. Selanjutnya diukur persen volume sel darah merah dengan mikrohematolcrit reader.

Analisis Data

(43)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penapisan Fitokimia (Screening Pitokimia)

Berdasarkan penapissu~ fitokimia (screening fitokimia) diperoleh hasil seperti yang disajikan dalam tabel 3.

Tabel 3. Hasil penapisan fitokimia

Parameter Simplisia Fraksi Air Fraksi Etil Asetat Rimpang Kunyit

Alkaloid

+

Flavonoid -

+

Tallilia dan Polifello1 -

Saponin -

Kuinon

+

+

+

Ket:

+ = Pelarut menarik senyawa tersebut

- = Pelarut tidak lnenarik senyawa tersebul

Flavonoid berfungsi menurunkan permeabilitas kapiler sehingga perdarallan kapiler dapat dicegah serta kerapuhan dan lce~usakan kapiler dapat diperbailti (Wardhala el al. 2001). Flavolloid bekerja dengan n~embe~ltuk sumbat trombosit dan ~nemperbaiki endotel vaskuler sehingga dapat menutup robekan kecil pada pe~nbuluh darah (Evans 1989). Pada pe~~elitian ini pelarut etil asetat

mampu menarik senyawa flavonoid yang ada dala~n rimpang kunyit.

Senyawa kui~loll me~npunyai kema~npua~l sebagai antibiotik dan penghilsu~g rasa sakit serta merangsang pertumbuhan sel baru pada kulit (Anonim 2008b). Pada pellelitian ini pelarut air dan etil asetat mampu menarik senyawa lcuinoll yang berada di dalan rimpang lcunyit. Pada lcasus perse~llbuhan luka, kuinon berpersul dalanl proses merangsang pertumbuhan sel baru pada luka kulit sehingga dapat lnempercepat proses perse~nbuhannya

Gambaran Darah

Hasil pengarnatal1 ganbarall darah pada mencit (Mus nzusculus) dalam

(44)

Jumlah Eritrosit (RBC)

Hasil penelitian untuk jumlah eritrosit mencit dalam kondisi luka setelah

pemberian salep kunyit pada hari ke-2,4,7, 14, dan 21 ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan jumlah eritrosit (RBC) pada mencit dalam kondisi luka yang diolesi salep kunyit.

Hari Ke- Kelompok

2 4 7 14 21

K+ 4.25i0.14~ 4.46f0.16~ 7.87+1 .46abcd 9.27f0.67~~' 6.76f2.9Obcd

K- 5 . 6 6 f 0 . 9 6 ~ ~ ~ 6 . 0 6 f 1 . 4 5 ~ ~ ~ 10.12f3.80~~ 6 . 4 2 f 0 . 3 0 ~ ~ 6 . 1 0 f 1 . 9 0 ~ ~ ~

PA 3.91f3.38Cd 12.31f5.04a 6.15f0.1 lbm 5.96f0.40bcd 5 . 3 2 f 0 . 0 0 ~ ~ ~

Ket:

.

Dala Disajikan dalam rataan

*

standar deviasi Satuan dalam juta/mm3

I-luruf yalig berbeda (superschript) pada kolom dan baris yang sama menunjukdn perbedaan pada taraf uji (P<O,OS)

Jumlah eritrosit pada inencit berkisar antara 7.7-12.5 juta/mil13 dengan

rata-rata 9.3 juta/mm3 (Arrington 1972). Pada penelitian ini jumlal~ eritrosit mencit sebelum dilakultan perlukaan rata-rata 7.2 juta/mn3, ha1 ini diasuinsikan sebagai kondisi awal sebelurn diberi perlakuan. Hasil pengamatan menunjukan jumlah eritrosit berfluktuasi antar perlakuan dan antar waktu pengainatan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi jumlah eritrosit diantaranya adalah konsentrasi hemoglobin, PCV, umur, jenis kelamin, kesehatan, olahraga, laktasi, kebuntingan,

suhu, dan ketinggian (Swenson 1984).

Jumlah eritrosit PE lebih mendekati atau hampir sama dengan nilai kondisi awal sebelum diberi perlakuan. Hal ini diduga ltarena peran dari zat aktif flavonoid yang dapat menurunkan permeabilitas kapiler sehingga perdarahan

kapiler dapat dicegab serta kerapuhan dan kerusakan kapiler dapat diperbaiki (Wardhana et al. 2001). Flavonoid bekerja dengan membentuk sumbat trombosit dan memperbaiki endotel vaskuler sehingga dapat menutup robekan kecil pada pembuluh darah (Evans 1989).

(45)

kecil lewat, namun menahan protein-protein besar seperti protein plasma tetap berada dalam darah. Sifat pembuluh darah yang permeable menimbulkan tekanan osmotik yang cenderung menahan cairan di dalam pembuluh darah

.

Kejadian ini diimbangi oleh dorongan keluar tekanan hidrostatik di dalam pembuluh darah. Tekanan hidrostatik ini dalam keseimbangan antara intrakapiler dan tekanan ekstrasel, yakni tekanan lintas diiding. Limfatik kemudian memindahkan cairan yang mencapai celah jaringan

,

untuk mempertahankan kesetaraan secara normal. Pergeseran cairan pada saat luka te jadi sangat cepat, sehingga eksudat pada masa peradangan mengandung protein plasma yang sangat signifkan.

Gambar rataan jumlah eritrosit pada mencit dalam kondisi luka yang diolesi salep kunyit dapat dilihat pada Gambar 3.

-

I3.O0 11

.oo

1

3

E 9.00 -

3

3

7.00 - C

.-

5.00 -

3.00 -

1.00 0 3

2 4 7 14 21

[image:45.539.72.471.48.540.2]

Hari ke-

Gambar 3. Rataan j i n l a h eritrosit pada mencit dalam kondisi luka yang diolesi salep kunyit.

Jumlah eritrosit yang rendah pada awal pengamatan diduga karena terjadinya perlukaan (Gambar 3). Sesaat setelah terjadi perlukaan, pembuluh darah mengalami vasokontriksi yang singkat. Kontraksi buluh darah ini segera diikuti oleh vasodilatasi pada arteriol yang akan menyebabkan pembukaan

(46)

Fase peradangan menyebabkan perubahan yang terjadi pada tillgkat vaskular berupa perubahan pada pembuluh darah, perubahan pada aliran darah, perubahan pada pergerakan atau arus darah dalam pembuluh, eksudasi plasma darah, enligrasi dari leukosit, dan diapedesis dari eritrosit (Vegad 1995).

Pada hari ke-14 hingga hari ke-21, jumlah eritrosit relatif stabil pada setiap kelompok perlalcuan. Hal ini diduga karena telah terjadinya proliferasi dari sel untuk lnembentuk benang-benang fibrin dan terjadinya fase pematangan yang ditandai dellgan pembentukan serabut kolagen juga neovaslcularisasi yang sudah

Nilai Hematokrit

Hasil peilelitiail untuk nilai heinatoluit me~lcit dalan kondisi luka setelah pelnberian salep lcunpit pada hari ke-2,4, 7, 14, dall 21 ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan lnilai hematokrit pada lnencit dalam kondisi luka yang diolesi salep kunyit.

Hari Ke-

Kelornpok

-

rn * d

-.

Data Disajikan dalam rataan

*

standar deviasi Satuan dalam persen (%)

.

Huruf yang berbeda (superschript) pada kolom dan baris yang sama menunjukan perbedaan pada taraf uji (P<0,05)

Hematolcit adalah persentase sel darah merah di dalam 100 ml darah. Nilai heinatokrit inerupakan salah satu indikator untuk mengetahui hewan dalam lcondisi anemia. Pada hewan normal nilai hematoluit sebanding dengan jumlah eritrosit dall kadar hemoglobin (Guyton 1995). Peningkatan nilai hen~atokrit dapat dipeagaruhi ole11 kenailcan derajat aktivitas tubuh, anemia dail ketinggian lokasi (Guyton dall Hall 1997).

(47)

Pada Tabel 5 diatas secara umum terlihat bahwa perubahan nilai hematokrit pada tiap kelompok mencit pada kondisi luka masih dalam kisaran ambang batas.

Nilai hematokrit kelompok K+ pada hari ke-2 menunjukkan nilai yang lebih rendah atau berbeda nyata (W0.05) dibandingkan nilai hematokrit pada hari ke-7 dan ke-14. Hal ini diduga karena pada hari ke-7 dan ke-14 merupakan masa persembuhan (respon tubuh terhadap adanya luka). Nilai hematokrit yang

cenderung meningkat pada kelompok K+ dan kelompok PE mulai hari ke-2 h'igga hari ke-21, diduga karena kerja dari zat aktif yang membantu perbaikan kondisi kesehatan hewan, sedangkan pada kelompok PA dan

K-

nilai hematokritnya lebih fluktuatif.

Penurunan nilai hematokrit pada kelompok mencit dalam penelitian ini, cenderung dipengaruhi oleh proses luka. Setelah mengalami perdarahan yang cepat, maka tubuh akan mengganti cairan plasma dalam waktu 1 sampai 3 hari, namun ha1 ini akan menyebabkan konsentrasi sel darah merah menjadi rendah. Bila tidak tejadi perdarahan yang kedua, maka konsentrasi sel darah merah biasanya kembali normal dalam waktu 3 sampai 6 minggu (Guyton dan Hall

1997).

Gambar rataan nilai hematokrit pada mencit dalam kondisi luka yang diolesi salep kunyit dapat dilihat pada Gambar 4.

40

-

38 - 36 - 34 -

-

32 - 30 .

C

.-

28 -

S 26 -

m

2

2 4 1 I 22

1

20 3

I

18 7

16 C

2 4 7 14 21

Hari ke-

[image:47.539.74.475.419.705.2]
(48)

Pada setiap kelompok mencit, nilai hematokrit terus Inengalami peningkatan sejak hari ke-4 (Gambar 4) tapi tidak menunjukan perbedaan yang signifikan (P>0.05) (Tabel 5). Profil nilai hematokrit kelompok mencit PE,

cenderung lebih mendekati kelompok mencit (K+) sebagai kontrol positif yang Inengalldung neolnycin sulfat 5% daripada kelompok lnencit PA dan lcelompok lnencit yang tidak diberi sediaan apapun sebagai kontrol negatif (K-).

ICadar Hemoglobin (Hb)

Hasil penelitian untuk kadar hemoglobin mencit dalam kondisi luka post pemberian salep lcunyit pada hari ke-2,4,7, 14, dan 21 ditampillcan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan kadar hemoglobin (Hb) pada mencit dalan~ kondisi luka yang diolesi salep kunyit.

Kelo~npok Hari Ke-

2 4 7 14 2 1

K+ 9.00f1 .41d' 9 . 6 0 r 1 . 1 3 ~ ~ 9.80r0.57'~"~ 11.70+0.42"~~ 11.70f0.99'~ K- 9.00f1.41de 11.00f1.41'~' 11 .10+1.27'5de 9 . 6 0 + 0 . 2 8 ~ ~ 11.60f0.57'~ PE 1 0 . 2 0 1 2 . 2 6 ~ ~ ' 9 . 2 0 i 1 .

Gambar

Gambar 1. Tanaman dan Rimpang kunyit
Tabel 2. Data dasar fisiologis pada mencit.
Gambar rataan jumlah eritrosit pada mencit dalam kondisi luka yang
Gambar rataan nilai hematokrit pada mencit dalam kondisi luka yang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum penelitian ini, penelitian tentang sistem pendukung keputusan telah banyak dilakukan dengan berbagai tujuan, diantaranya untuk membantu mempersingkat tahapan

4.9 Hasil Pengamatan Peneliti terhadap Siswa Kelas X C MA Darul Ulum Kalinyamatan Jepara dalam Pemberian Layanan Penguasaan Konten dengan Teknik Modeling Simbolik pada

Percobaan bertujuan untuk mempelajari pengaruh ekstrak umbi teki umur 3 bulan setelah tanam, pada konsentrasi yang berbeda terhadap pertumbuhan gulma daun lebar

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan desain penelitian studi kasus. Informan dalam penelitian ini adalah guru sejarah serta

[r]

LAMPU OTOMATIS YANG DIAKTIFKAN SUARA adalah suatu rangkaian elektronika yang outputnya berupa lampu menyala dengan memberikan input suara yang kepekaannya dapat diatur

Kemudian adalah pengisian account pada masing-masing softphone , jika sesuai dengan data base pada asterisk maka user tersebut telah berhasil melakukan registrasi,

Oleh karena itu, saya terinspirasi menulis cerita anak yang bertemakan kuliner Bali untuk bisa mengenang jasa-jasa mereka yang telah mengisi masa kanak-kanak saya.. Rasa syukur