POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI
INDONESIA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK
KELAS I KUTOARJO)
SKRIPSI
DISUSUN OLEH :
TOPAZ SUAKA CHERI RAYUNI
20100610161
Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
i
POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI
INDONESIA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK
KELAS I KUTOARJO)
SKRIPSI
DISUSUN OLEH:
TOPAZ SUAKA CHERI RAYUNI
20100610161
Program Studi Ilmu Hukum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
ii
HALAMAsN MOTTO
“Beleajarlah setiap hari dari apapun dan siapapun” (Penulis)
“Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada
pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu” (Amsal 3 : 5-6)
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini kepada:
1. Ayah dan Ibu terhebat yang saya banggakan Marsidi Heri Purwanto dan Pujihari Rayuni.
iv
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN SKRIPSI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : Topaz Suaka Cheri Rayuni
NIM : 20100610161
Judul Skripsi : POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU TINDAK
PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI INDONESIA (STUDI DI
LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I KUTOARJO)
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan hukum skripsi ini berdasarkan hasil,
wawancara, pemikiran, pemamaparan asli dari penulis sendiri. Jika terdapat karya dari orang
lain, saya akan mencantumkan sumber yang jelas. Apabila dikemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketikbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pencabutan gelar sarjana S1 yang telah diperoleh karena karya tulis ini dan
sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, tanpa adanya paksaan dari
pihak manapun.
Yogyakarta, 9 Januari 2017
Yang menyatakan
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, dengan rahmat dan
karunia-Nya skripsi dengan judul POLA PEMBINAAN YANG IDEAL BAGI ANAK PELAKU
TINDAK PIDANA DALAM LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK DI
INDONESIA (STUDI DI LEMBAGA PEMBINAAN KHUSUS ANAK KELAS I
KUTOARJO). Penulisan Skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan guna
memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Universitas Muhammadyah Yogyakarta.
Penyusunan karya tulis ini diperoleh berkat bantuan dan motivasi dari beberapa pihak.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang membantu
dalam penyusunan karya tulis ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Trisno Raharjo, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta yang sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I, yang telah
memberikan bimbingan, saran dan pengarahan, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini.
2. Ibu Dr. Hj. Yeni Widowaty SH. M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah
memberikan dorongan semangat, bimbingan, saran dan pengarahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
3. Kepada kedua Orang Tua ku yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Kepada Bapak Bambang sebagai Kasubsi Bimbingan Kemasyarakatan dan Perawatan
selaku petugas LPKA Kelas I Kutoarjo yang telah bersedia diwawancara oleh penulis.
vi
6. Kepada Bapak Dirman selaku pegawai Tata Usaha yang selalu membantu untuk
pengurusan yang terkait.
7. Kepada ke dua kakak ku Feni dan Fena yang selalu mengingatkan dan selelu memberikan
semangat kepada penulis.
8. Kepada teman-teman Edho, Chandra, Nurman, Irza, Yusra, mas Dwi, mbak Endri,
Ridwan, Erling, Hermin, Selly, Bastian, Kayadun, Firman, Devi, Dwi, Tika, Rizal,
Widho, Vendy, Ellya, Andi, Angga, mak Ijah, Bapak Rahman yang selalu memberikan
dorongan semangat dan selalu sudi membantu dalam kesulitan apapun yang dialami oleh
penulis.
Besar harapan Penulis semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan
masukan bagi instansi yang terkait dalam menerapkan Pola Pembinaan yang Ideal didalam
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN PERSETUJUAN ……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN .……….. iii
HALAMAN MOTTO ……… iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ……… v
HALAMAN KEASLIAN ………. vi
KATA PENGANTAR ……….. . v
DAFTAR ISI ……….. ix
DAFTAR TABEL ………. xi
ABSTRAK ...………. xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ……..……….…….……... 1
B. Rumusan Masalah …………...……….……… 5
C. Tujuan Penelitian …………...……….. 6
D. Tinjauan Pustaka ……….……….… 6
E. Metode Penelitian ………..…….…. 10
F. Sistematika Penulisan Skripsi ……….. 12
BAB II ANAK PELAKU TINDAK PIDANA……….. . 14
A. Pengertian dan Batasan Anak……… 14
viii
BAB III LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK DI INDONESIA 41
A. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan …..………...……. 41
B. Tujuan dan Fungsi Lembaga Pemasyarakatan………….. 42
C. Pelaksaan Pemasyarakatan ………... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………... 52
A. Perbandingan Hukum Pola Pembinaan Terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus 52 B. Pola Pembinaan yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum ….………... 73
BAB V PENUTUP………... 101
A. Kesimpulan ……… 101
B. Saran ……… 102
ix
DAFTAR TABEL
Tabel I: Program Pembinaan Anak Jangka Panjang di Jepang ……….. 69
Tabel II: Data Warga Binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I
Kutoarjo Per Tanggal 31 Oktober 2016 ………. 75
Tabel III: Data Warga Binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I
Kutoarjo menurut jenis kelamin Per Tanggal 31 Oktober 2016 ……… 76
Tabel IV: Data Warga Binaan Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I
Kutoarjo menurut jenis kelamin Per Tanggal 31 Oktober 2016 ……... 77
Tabel V: Jadwal Kegiatan Harian Anak Didik Pemasyarakatan Lembaga
Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo ………. 94
Tabel VI: Pola Pembinaan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak di Indonesia
(Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo),
x
ABSTRAK
Tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa, akan tetapi anak-anak juga bisa melakukan hal tersebut. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak sekarang ini seperti pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, penyalahgunaan obat terlarang, dan sebagainya. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya anak menjalani masa hukuman sesuai dengan putusan hakim di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Anak Didik Pemasyarakatan mendapatkan pembinaan agar ketika kembali ke masyarakat lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Skripsi ini bertujuan untuk seberapa idealnya pola pembinaan yang diterapkan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam memberikan pembinaan bagi Anak Didik Pemasyarakatan.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Perbandingan Pola Pembinaan Terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus, (2) Pola Pembinaan yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui pebandingan hukum pola pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum di lembaga pembinaan khusus. (2) Pola Pembinaan yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum. Wawan cara yang dilalukukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo.
Berdasarkan penulisan dapat diketahui bahwa pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo sudah cukup efektif, dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dinilai sudah cukup ideal jika dibandingkan dengan Negara Malaysia dan Jepang. Pembinaan yang dilakukan di Indonesia mementingkan kebutuhan si anak. Pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum yang diterapkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo selama ini adalah Pembinaan, Pembimbingan Kepribadian dan Kemandirian yang meliputi: 1) Pembinaan Pendidikan, 2) Pembinaan Keagamaan, 3) Pembekalan Keterampilan, 4) Pembinaa Kesadaran Hukum, 5) Pembinaan Jasmani, 6) Pembinaan Sikap dan perilaku 7) Pembinaan Sosial. Agar pembinaan lebih ideal lagi, maka tidak ada salahnya jika pola pembinaan yang dilakukan di Indonesia mengadopsi beberapa pola pembinaan yang di terapkan di Malaysia dan Jepang, seperti: 1) Peningkatan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain dalam pola pembinaan anak, 2) Memberikan pembinaan keterampilan yang lebih bervariasi sesuai dengan perkembangan saat ini sebagai bekal bagi anak pidana di kemudian hari, 3) Membangun infrastruktur yang diperlukan bagi pembinaan Anak khususnya dalam hal pendidikan layak anak, seperti ruangan ataupun gedung yang berkonsep educated and fun, ataupun memperbaiki bangunan yang tersedia untuk disesuaikan dengan konsep pendidikan Anak.
x
ABSTRAK
Tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa, akan tetapi anak-anak juga bisa melakukan hal tersebut. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak sekarang ini seperti pencurian, pemerkosaan, penganiayaan, penyalahgunaan obat terlarang, dan sebagainya. Untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya anak menjalani masa hukuman sesuai dengan putusan hakim di Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Di Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Anak Didik Pemasyarakatan mendapatkan pembinaan agar ketika kembali ke masyarakat lebih baik dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Skripsi ini bertujuan untuk seberapa idealnya pola pembinaan yang diterapkan oleh Lembaga Pembinaan Khusus Anak dalam memberikan pembinaan bagi Anak Didik Pemasyarakatan.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah: (1) Perbandingan Pola Pembinaan Terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum di Lembaga Pembinaan Khusus, (2) Pola Pembinaan yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum. Tujuan penelitian ini adalah: (1) Untuk mengetahui pebandingan hukum pola pembinaan terhadap anak berhadapan dengan hukum di lembaga pembinaan khusus. (2) Pola Pembinaan yang Ideal Bagi Anak Berhadapan dengan Hukum. Wawan cara yang dilalukukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo.
Berdasarkan penulisan dapat diketahui bahwa pembinaan yang dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo sudah cukup efektif, dengan mengacu pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan dinilai sudah cukup ideal jika dibandingkan dengan Negara Malaysia dan Jepang. Pembinaan yang dilakukan di Indonesia mementingkan kebutuhan si anak. Pembinaan anak yang berhadapan dengan hukum yang diterapkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas I Kutoarjo selama ini adalah Pembinaan, Pembimbingan Kepribadian dan Kemandirian yang meliputi: 1) Pembinaan Pendidikan, 2) Pembinaan Keagamaan, 3) Pembekalan Keterampilan, 4) Pembinaa Kesadaran Hukum, 5) Pembinaan Jasmani, 6) Pembinaan Sikap dan perilaku 7) Pembinaan Sosial. Agar pembinaan lebih ideal lagi, maka tidak ada salahnya jika pola pembinaan yang dilakukan di Indonesia mengadopsi beberapa pola pembinaan yang di terapkan di Malaysia dan Jepang, seperti: 1) Peningkatan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain dalam pola pembinaan anak, 2) Memberikan pembinaan keterampilan yang lebih bervariasi sesuai dengan perkembangan saat ini sebagai bekal bagi anak pidana di kemudian hari, 3) Membangun infrastruktur yang diperlukan bagi pembinaan Anak khususnya dalam hal pendidikan layak anak, seperti ruangan ataupun gedung yang berkonsep educated and fun, ataupun memperbaiki bangunan yang tersedia untuk disesuaikan dengan konsep pendidikan Anak.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Anak merupakan amanah sekaligus karunia dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus
dijaga, dipelihara serta dididik karena didalamnya melekat harkat, martabat, dan hak-hak
sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan generasi serta harapan bagi
orang tua, bangsa dan negara. Kondisi sosial ekonomi keluarga dan keberadaan anak serta
berbagai faktor lain pada saat ini membawa sebagian anak berada dalam situasi sulit dan
rawan. Keadaan tersebut menjadikan anak kehilangan masa kanak-kanak dan bahkan
menjerumuskan mereka ke dalam tindakan-tindakan kenakalan, pelanggaran hukum hingga
kriminalitas.
Bambang Waluyo mengungkapkan bahwa ‘sebagai pengaruh kemajuanilmu pengetahuan, kemajuan budaya dan perkembangan pembangunan pada umumnya bukan hanya orang dewasa, tetapi anak-anak juga terjebak melanggar norma terutama norma hukum. Anak-anak terjebak dalam pola konsumerisme dan asosial yang makin lama dapat menjurus ke tindakan kriminal,sepertinarkotika, pemerasan, pencurian, penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya’.1
Perilaku yang tidak sesuai dengan norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan
terhadap norma yang tidak disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan
ketentraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian biasanya oleh masyarakat
dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. Kejahatan dalam
kehidupan manusia merupakangejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia,
masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya
dapat dicegah dan dikurangi, tetapi sulit diberantas tuntas.
1
Antisipasi atas kejahatan tersebut dapat dilakukan dengan cara memfungsikan
instrumen hukum (pidana) secara efektif melalui penegakan hukum (law enforcement).
Melalui instrumen hukum, diupayakan perilaku yang melanggar hukum ditanggulangi
secara preventif maupun represif. Penanggulangan atas kejahatan ini sering disebut sebagai
politik kriminal. Mengajuka ke depan sidang pengadilan dan selanjutnya penjatuhan pidana
bagi anggota masyarkat yang terbukti melakukan perbuatan pidana, merupakan tindakan
yang represif.2
Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak,
disebabkan oleh berbagai faktor. Beberapa faktor tersebut antara lain dampak negatif
perkembangan yang cepat, arus globalisasi dibidang komunikasi dan informasi, kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi, dan perubahan cara hidup sebagian orang tua yang pada
akhirnya membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat. Hal
tersebut sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak.Anak yang kurang
memperoleh kasih sayang, bimbingan, pembinan dan pengawasan orang tua dapat terseret
dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat dan dapat merugikan
perkembangan pribadi. Peningkatan kenakalan dan kejahatan anak bukanlah gangguan dan
ketertiban semata, tetapimerupakan bahaya yang dapat mengancam masa depan masyarakat
suatu bangsa. Penanganan dan penyelesaian dapat dilakukan dengan memperhatikan
kondisi yang harus diterima oleh anak.
Bagi Indonesia yang berdasarkan Pancasila, pemikiran mengenai fungsi pemidanaan
bukan hanya pemenjaraan tetapi juga suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi
warga binaan pemasyarakatan. Usaha ini dilaksanakan secara terpadu antara pembina yang
2
Ibid. hlm. 1-2.
dibina, dan juga masyarakat agar dapat meningkatkan kualitas warga binaan
pemasyarakatan. Tujuan akhir dari usaha ini agar warga binaan menyadari kesalahan, dapat
memperbaiki diri, dan juga tidak mengulangi melakukan tindak pidana dimasa yang akan
datang.Dalam hal ini, Bahrudin Soerjobroto mengemukakan bahwa suatu kehidupan dan
penghidupan yang terjalin antara individu pelanggar hukum dengan pemasyarakatan
dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai kesatuan hidup, pribadinya sebagai manusia,
antara pelanggar dengan sesama manusia, antara pelanggar dengan masyarakat serta
alamnya, kesemuanya dengan lindungan Tuhan Yang Maha Esa”.3
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem PeradilanPidana Anak
Pasal 1 ayat (2) “Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, anak yang menjadi sanksi tindak
pidana”. Dalam penulisan ini mengkaji tentang anak yang berkonflik dengan hukum, pada
Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak menyatakan “Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”.
Persoalan anak yang berkonflik dengan hukum sudah lama dikemukanparaahli.
Negara telah bertindak salah dalam menangani anak yang berkonflik denganhukum. Begitu
banyak kasus bermunculan yang selalu diakhiri dengan pemidanaananak, dan aparat
penegak hukum baru akan memberikan hukuman ”bijak” apabilasudah diributkan di media
massa.4
3
Bahrudin Soerjobroto, 1986, Ilmu Pemasyarakatan (Pandangan Singkat), Jakarta, AKIP, hlm. 8
4
Anak yang berkonflik dengan hukum atau yang menjadi pelaku tindak pidana tetap
harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukannya tetapi dilakukan dengan
cara yang tepat, pertanggungjawabaan pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat
untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu.5
Di Indonesia ada Undang-undang yang mengatur tentang pengadilan anak agar anak
yang melakukan tindak pidana yang di hadapkan ke pengadilan tidak digabungkan dengan
persidangan orang dewasa yang melakukan tindak pidana, hal ini dimaksudkan untuk
melindungi jiwa anak agar tidak mengalami trauma yang dapat menyebabkan jiwa anak
tersebut terganggu. Undang-undang Nomor 11Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, lebih bertujuan untuk mendidik anak agar tidak terjerumus kembali ke dalam
kejahatan, sedangkan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHP) hukuman yang diberikan lebih bertujuanuntuk memberikan jera terhadap pelaku
tindak pidana, di dalam hal ini masyarakat lebih setuju Undang-undang Nomor 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, diterapkan untuk anak-anak yang melakukan
tindak pidana. Beberapa contoh kasus tindak pidana anak di Indonesia antara lain: Kasus
pencurian sandal jepit yang dilakukan oleh Anjar Andreas Lagaronda siswa SMK berusia
15 tahun yang diadili di Pengadilan Negeri Palu, Selasa 20 Desember 2011 karena didakwa
mencuri sandal jepit milik Brigadir Satu Polisi Ahmad Rusdi Harahap. Siswa kelas 1 SMK
ini didakwa dengan pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara.
Hakim menyatakan terdakwa terbukti bersalah.6 Kasus yang menimpa Foni Nubatonis,
5
Mahrus Ali, 2012, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 156.
6
remaja 16 tahun, siswa kelas II SMK Kristen SoE, Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Foni Nubatonis dilaporkan ibu angkatnya
karena mencuri delapan batang bunga adenium dan dijual ketetangganya dengan harga Rp
5 ribu sampai dengan Rp 10 ribu.Kasus pencurian bunga yang menjerat Foni Nubatonis
dituntut dua bulan penjara, karena dinyatakan bersalah kasus pencurian bunga adenium
sebanyak delapan batang.7
Dari beberapa contoh penyelesaian kasus tersebut, menunjukkan bahwa lembaga
peradilan masih banyak yang berkesimpulan bahwa anak yang bermasalah tersebut
(selanjutnya disebut anak pelaku tindak pidana) dikenai sanksi perampasan kemerdekaan
atau pidana penjara, untuk kemudian ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah perbandingan pola pembinaan terhadap anak berhadapan dengan
hukum dalam lembaga pembinaan khusus di Negara Malaysia, Jepang dan
Indonesia?
2. Bagaimana pola pembinaan yang ideal bagi anak berhadapan dengan hukum di
Indonesia?
7
http://www.tnol.co.id/id/community/forum/4-social/13351-anak-pencuri-bungadituntut-dua-bulan-penjara.html Diakses hari rabu, tanggal 4 Januari 2017, pukul 23.38 WIB.
C. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan objektif dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa:
1. Untuk mengetahui perbandingan pola pembinaan terhadap anak berhadapan
dengan hukum dalam lembaga pembinaan khusus di Negara Malaysia, Jepang,
dan Indonesia.
2. Untuk mengetahui pola pembinaan yang ideal bagi anak yang berhadapan dengan
hukum di Indonesia.
D. TINJAUAN PUSTAKA
1. Pola Pembinaan
Pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung keberhasilan negara
menjadikan narapidana menjadi anggota masyarakat. Lembaga Pemasyarakatan berperan
dalam pembinaan narapidana anak yang memperlakukan narapidana anak agar menjadi
lebih baik, yang perlu dibina adalah pribadi narapidana, membangkitkan rasa harga diri
dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat, sehingga potensial
menjadi manusia yang berkepribadian dan bermoral tinggi.8
Pembinaan menurut peraturan Perundang-undangan Tentang Pemasyarakatan Buku
ke VI Bidang Pembinaan, yaitu: “Pembinaan narapidana dan anak didik yaitu semua usaha
yang ditujukan untuk memperbiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana
dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan”.
Pembinaan menurut Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1)
pengertian lain pembinaan adalah “Kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
8
Muidin Gultom, 2008, Perbandingan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistim Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Jakarta, Refika Aditama, hlm. 126.
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan
jasmani dan rohani narapidana dan anak didik pemasyarakatan”.
Pembinaan di LAPAS sesuai Pasal 5 Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, yaitu perlakuan terhadap warga binaan pemasyarakatan dalam rangka
melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh warga binaan
pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.9
2. Pengertian Anak
Menurut perundang-undangan di Indonesia, ketentuan mengenai pengertian anak
diatur secara beragam. Undang-undang Nomor 11Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak Pasal 1 ayat (2), merumuskan bahwa “Anak adalah orang dalam perkara anak
nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18
(delapan belas)”. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 330 mengatakan,
“Orang-orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu)
tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa anak adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan
belum pernah kawin.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan
mengatakan, “Seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”. Dari
ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa anak adalah pria yang belum mencapai usia 19
(sembilan belas) tahun dan wanita yang belum mencapai usia 16 (enam belas) tahun.Pasal
9
1 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, “Anak adalah seorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan”.Undang-undang Nomor 4 tahun 1976 Tentang Kesejahteraan Anak.Menurut
pasal 1 butir 2, menyatakan bahwa “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
tahun dan belum pernah kawin”.
3. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan
peristiwa pidana atau perbuatan melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman,
dalam hal ini tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melakukan tindak pidana tetapi juga
bisa dilakukan oleh anak dibawah umur. Anak yang melakukan tindak pidana terdorong
oleh beberapa faktor, antara lain faktor kurangnya perhatian orang tua, faktor ekonomi,
faktor lingkungan, faktor salah pergaulan dan faktor pendidikan.10
Pada suatu tindak pidana dikenal unsur objektif dan unsur subjektif.Unsur objektif
adalah unsur yang terdapat diluar diri pelaku tindak pidana.11 Unsur objektif adalah unsur
yang ada hubungannya dengan keadaan yaitu didalam keadaan pada tindakan-tindakan dari
pelakutersebut harus dilakukan unsur objektif , meliputi:
a. Perbuatan atau kelakuan manusia.
b. Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik.
c. Unsur melawan hukum.
d. Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana.
10
http://lib.atmajaya.ac.id/ default.aspx? tabID=61&src=k&id=130770 Diakses hari kamis, tanggal 24 November 2016, pukul 23.15 WIB.
11
e. Unsur yang memberatkan pidana.
f. Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana.
Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri pelaku tindak pidana, yang
meliputi:12
a. Kesengajaan (dolus)
b. Kealpaan (culpa)
c. Niat(voor nermen)
d. Maksut(oogmert)
4. Sitem Peradilan Pidana Anak.
Sistem peradilan pidana anak yang diterapkan saat ini tampaknya masih
menitikberatkan untuk menjatuhkan hukuman bagi para pelaku tindak kejahatan sebagai
balasan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Dengan titik berat seperti ini, dimensi
tindak kejahatan sepertinya hanya dilihat dari satu sisi, yaitu dari sisi si pelaku tindak
kejahatan itu sendiri.13 Kalau mau dicermati lebih jauh, dimensi tindak kejahatan
sesungguhnya bisa lebih luas lagi. Tindak kejahatan tidaklah semata pelaku kejahatan.
Namun, pada tindak kejahatan ini pun akan ada yang namanya korban dari tindakan yang
diklasifikasikan jahat tersebut, ada kerugian-kerugian yang ditimbulkannya, ada
masyarakat yang tatananya terganggu, dan lebih jauh lagi, akan ada implikasi di kemudian
hari. Dengan demikian, penanganan dari suatu tindakkejahatan selayaknya dipandang
12
Ibid. hlm. 43.
13
Distia Aviandari dkk, 2008,Membongkar Ingatan Berbagi Pengalaman, Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) bekerjasamasa dengan Yayasan Solidaritas Masyarakat Anak (SEMAK),
dengan perspektif yang lebih luas pula. Tidak melulu hanya pada soal pembalasan bagi
pelaku tindak kejahatan.14
Secara umum, sistem peradilan pidana anak yang berkembang di berbagai belahan
dunia saat ini memang masih cenderung hanya bersifat merespon kejahatan: baru akan
bertindak setelah kejahatan itu terjadi. Hal ini dapat dilihat dari aktor-aktor peradilan
pidana terlibat di dalamnya, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan.
Kesemua aktor ini merupakan institusi representasi negara dalam penegakkan hukum.
Mereka inilah yang akan merespon kejahatan dengan menindak para pelakunya.15
E. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah merupakan penelitian hukum Normatif
yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan denganbahan pustaka atau data
sekunder dan perbandingan tentang pola pembinaan dalam lembaga khusus anak di
Indonesia, Malaysia dan Jepang.
2. Sumber Data
Penulis menggunakan sumber data sekunder. Data sekunder merupakan
dokumen-dokumen tertulis, peraturan perundang-undangan dan literatur, literatur yang
berkaitan dengan objek penelitian ini. Data sekunder digolongkan dari sudut kekuatan
mengikatnya dikelompokkan menjadi 3 yaitu :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan berkaitan dengan
masalah yang diteliti, meliputi:
14
Ibid.
15
Ibid. hlm. 4.
a. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
b. Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
c. Undang-undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan lebih lanjut
terhadap bahan hukum primer, dan atau memberikan pemaparan-pemaparan yang
terkait dengan rumusan masalah, yang meliputi:
a. Buku-buku yang terkait dalam penulisan skripsi.
b. Bahan-bahan acuan yang relevan dengan rumusan masalah, baik dalam bentuk
mekanik (had file) maupun elektronik (soft file).
c. Berita internet.
d. Surat kabar.
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum tersier meliputi bahan-bahan ilmiah
yang menunjangatau memberikan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder,
yang bersumber dari Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Tehnik pengumpulan data
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data yang dilakukan dengan
cara:
a. Wawancara
Wawancara dilakukan kepada 1 (satu) petugas Lembaga Pembinaan Khusus Anak
Kelas I Kutoarjo dan wawancara kepada 2 (dua) Anak Didik Pemasyaratan di
b. Studi kepustakaan,
Dengan mencari dan mengumpulkan serta mengkaji berbagaiPeraturan
Perundang-undangan dan buku-buku yang berhubungan dengan penulisan skripsi.
4. Analisis data
Setelah proses pengumpulan data selesai, kemudian data-data tersebut dianalisa
dengan menggunakan metode kuantitatif, yaitu penyajian analis data yang diperoleh
dengan menggunakan narasi dan uaraian untuk menjelaskan hasil penelitian. Dipilih
data-data yang ada kaitannya dengan permasalahan dan dapat menggambarkan
keadaan yang sebenarnya di lapangan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN SKRIPSI
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan penulisan hukum ini,
maka penulis membagi penulisan ini menjadi 5 BAB sebagaimana yang tercantum dibawah
ini:
BAB I Pendahuluan, Bab ini menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, metode penelitian, skema penulisan skripsi.
BAB II, Bab ini menjelaskan tentang pengertian dan batasan anak, tindak pidana
anak, dan upaya preventif penanggulangan tindak pidana anak.
BAB III, Bab ini menjelaskan tentang pengertian lembaga pemasyarakatan, tujuan
dan fungsi lembaga pemasyarakatan, dan pelaksaan pemasyarakatan.
BAB IV, Bab ini akan dibahas mengenai analisis pola pembinaan yang ideal bagi
BAB V, Bab ini akan berisi kesimpulan dari hasil pembahasan bab-bab sebelumnya
berisi saran-saran yang diharapkan dapat menjadi masukan yang berguna dan
BAB II
ANAK PELAKU TINDAK PIDANA
A.
Pengertian dan Batasan Anak
Pada umumnya masyarakat mengartikan anak adalah anak dibawah umur 17 (tujuh
belas) tahun dan masih dalam pengawasan orang tua. Pengertian tersebut tidak termasuk
terhadap anak dibawah 17 tahun yang sudah menikah ataupun pernah menikah.Sejatinya
anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang masih memerlukan perlindungan, hal ini
karena anak belum bisa membela dirinya baik secara fisik maupun psikis. Anak-anak masih
suka meniru apa yang dilihatnya baik melalui mass media terutama televisi maupun meniru
perbuatan orang dewasa dilingkungannya. Sehingga sering kali anak tidak mengetaui
akibat dari apa yang dilakukannya.
Pada saat anak memasuki usia 12 sampai 18 tahun disebut periode penemuan diri dan
kepekaan sosial.1 Pada usia ini anak memiliki kecenderungan berperilaku menyimpang
yang dilakukan dirumah, misalnya: berkelahi dengan saudaranya, merusak benda milik
saudaranya, berbohong dan malas melakukan kegiatan rutin. Sedangkan penyimpangan
yang dilakukan diluar rumah diantaranya adalah: penyalahguaan narkoba, mencuri, menipu
dan berkelahi.2 Sementara menurut Romli Atmasasmita, anak adalah seorang yang masih
di bawah umur dan belum dewasa serta belum kawin.3
Apabila mengacu pada aspek psikologis, pertumbuhan manusia mengalami fase-fase
perkembangan kejiwaan, yang masing-masing ditandai dengan ciri-ciri tertentu. Untuk
1
M. Montessori sebagaimana dikutip oleh Agus Sujanto, 1996, Psikologi Perkembangan, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 55.
2
Elizabeth B. Hurlock,2004, Psikologi Pekembangan:Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima, Jakarta, Erlangga, hlm. 166.
3
Romli Atmasasmita, 1983, Problem Kenakalan Anak-Anak Remaja, Bandung, Armico, hlm. 25.
menentukan kriteria seorang anak di samping ditentukan atas dasar batas usia, juga dapat
dilihat dari pertumbuhan dan perkembangan jiwa yang dialaminya.
Dalam hal fase-fase perkembangan yang dialami seorang anak, dapat diuraikan
bahwa:
1. Masa kanak-kanak, terbagi dalam:
a. Masa bayi, yaitu masa seorang anak dilahirkan sampai umur dua tahun.
Pada masa tersebut seorang anak masih lemah belum mampu menolong
dirinya sehingga sangat tergantung kepada pemeliharaan ibu.Pada umur ini
terhadap anak terjadi beberapa peristiwa penting yang mempunyai pengaruh
kejiwaanya, seperti disapih, tumbuh gigi, mulai berjalan dan berbicara.
b. Masa kanak-kanak pertama, yaitu umur antara 2-5 tahun.
Pada masa ini anak-anak sangat gesit bermain dan mencoba.Mulai
berhubungan dengan orang-orang dalam lingkungannya serta mulai
terbentuknya pemikiran tentang dirinya. Pada umur ini anak-anak sangat suka
meniru dan emosinya sangat tajam. Oleh karena itu diperlukan suasana yang
tenang dan memperlakukannya dengan kasih sayang serta stabil.
c. Masa kanak-kanak terakhir, yaitu antara umur 5-12 tahun.
Anak pada fase ini berangsur-angsur pindah dari tahap mencari kepada tahap
memantapkan. Pada tahap ini terjadi pertumbuhan kecerdasan yang cepat,
suka bekerja, lebih suka bermain bersama serta berkumpul tanpa aturan
sehingga biasa disebut dengan gangage. Pada tahap ini disebut juga masa anak
2. Masa remaja antara usia 13- 20 tahun.
Masa remaja adalah masa dimana perubahan cepat terjadi dalam segala bidang, pada
tubuh dari luar dan dalam, perubahan perasaan, kecerdasan, sikap sosial dan
kepribadian. Masa ini disebut juga sebagai masa persiapan untuk menempuh masa
dewasa. Bagi seorang anak, pada masa tersebut merupakan masa goncang karena
banyaknya perubahan yang terjadi dan tidak stabilnya emosi yang seringkali
menyebabkan timbulnya sikap dan tindakan yang oleh orang dewasa dinilai sebagai
perbuatan nakal.
3. Masa dewasa muda, antara umur 21 sampai 25 tahun.
Pada masa dewasa muda ini pada umumnya masih dapat dikelompokan kepada
generasi muda. Walaupun dari segi perkembangan jasmani dan kecerdasan telah
betut-betul dewasa, dari kondisi ini anak sudah stabil, namun dari segi kemantapan
agama dan ideologi masih dalam proses pemantapanya.4
Adanya fase-fase perkembangan yang dialami dalam kehidupan seorang anak,
memberikan pemahaman bahwa dalam pandangan psikologis untuk menentukan batasan
terhadap seorang anak nampak adanya berbagai macam kriteria, baik didasarkan pada segi
usia maupun dari perkembangan pertumbuhan jiwa.
Atas dasar hal tersebut seseorang dikualifikasikan sebagai anak-anak apabila ia
berada pada masa bayi hingga masa remaja awal antara 16-17 tahun. Sedangkan lewat
masa tersebut seseorang sudah termasuk kategori dewasa, dengan ditandai adanya
4
Zakiah Daradjat, 1985, Faktor-Faktor yang Merupakan Masalah Dalam Proses Pembinaan Generasi Muda, Bandung, Bina Cipta, hlm. 38-39.
kestabilan, tidak mudah dipengaruhi oleh pendirian orang lain dan propaganda seperti pada
masa remaja awal.
Sementara apabila dilihat dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang masih
berpegang teguh pada hukum adat, walaupun diakui adanya perbedaan antara masa
anak-anak dan dewasa, namun perbedaan tersebut bukan hanya didasarkan kepada batas usia
sematamata melainkan didasarkan pula kepada kenyataan-kenyataan sosial dalam
pergaulan hidup masyarakat. Seseorang adalah dewasa apabila ia secara fisik telah
memperlihatkan tanda-tanda kedewasaan yang dapat mendukung penampilannya.
Dikemukakan oleh Ter Haar, bahwa saat seseorang menjadi dewasa ialah saat ia
(lelaki atau perempuan) sebagai orang yang sudah kawin, meninggalkan rumah ibu
bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai laki-bini muda yang
merupakan keluarga yang berdiri sendiri.5 Selanjutnya Soedjono, menyatakan bahwa
menurut hukum adat, anak di bawah umur adalah mereka yang belum menentukan
tanda-tanda fisik yang konkrit bahwa ia telah dewasa. Dari pendapat Ter Haar dan Soedjono
ternyata menurut hukum adat Indonesia tidak terdapat batasan umur yang pasti sampai
umur berapa seseorang masih dianggap sebagai anak atau sampai umur berapakah
seseorang dianggap belum dewasa.6
Guna menghilangkan keragu-raguan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan Staatblad No, 54, yang berbunyi sebagai berikut.Oleh karena terhadap
orang-orang Indonesia berlaku hukum adat, maka timbul keragu-raguan sampai umur
berapa seseorang masih dibawah umur. Guna menghilangkan keragu-raguan tersebut oleh
5
Ter Haar dalam Safiyudin Sastrawijaya, 1977, Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja, Bandung, PT. Karya Nusantara, hlm. 18.
6
Soedjono Dirjosisworo, 1983 Hukuman Dalam Berkembangnya Hukum Pidana, Bandung, Tarsito, hlm. 230.
pemerintah dulu diadakan Staatblad, 1931-54 isinya menyatakan antara lain: bahwa untuk
menghilangkan keragu-raguan, maka jika dipergunakan istilah anak di bawah umur
terhadap bangsa indonesia, ialah: a) mereka yang belum berumur 21 tahun dan sebelumnya
belum pernah kawin, b) mereka yang telah kawin sebelum mencapai umur 21 tahun dan
kemudian bercerai berai dan tidak kembali lagi di bawah umur, c) yang dimaksud dengan
perkawinan bukanlah perkawinan anak-anak. Dengan demikian barang siapa yang
memenuhi persyaratan tersebut diatas disebut anak di bawah umur (minderjarig) atau
secara mudahnya disebut anak-anak.7
Dari pernyataan tersebut, ukuran kedewasaan yang diakui oleh masyarakat adat, dapat
dilihat dari ciri-ciri:
1. Dapat bekerja sendiri (mandiri).
2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bertanggung jawab.
3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri.
Dengan demikian, nampak jelas bahwa yang dapat dikatagorikan sebagai seorang
anak, bukan semata-mata didasarkan kepada usia yang dimiliki seseorang, melainkan
dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat hidup mandiri menurut
pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia berada.
Dalam pandangan hukum adat, begitu tubuh si anak tumbuh besar dan kuat, mereka
dianggap telah mampu melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan orang tuanya.Pada
umum nya mereka dianggap telah mampu memberi hasil untuk memenuhi kepentingan diri
7
Ibid.hlm. 30.
dan keluarganya. Di samping itu mereka juga sudah dapat diterima dalam lingkungannnya,
oleh karena itu pendapatnya didengar dan diperhatikan.Pada saat itulah seorang anak diakui
sebagai orang yang telah cukup dewasa. Oleh karena itu apabila seseorang belum dapat
memenuhi kriteria tersebut, maka dia masih dikategorikan sebagai seorang anak.
Begitu juga dalam pandangan hukum Islam, untuk membedakan antara anak dan
dewasa tidak didasarkan pada kriteria usia. Bahkan tidak dikenal adanya perbedaan
anakdan dewasa sebagaimana diakui dalam pengertian hukum adat. Dalam ketentuan
hukum Islam hanya mengenal perbedaan antara masa anak-anak dan masa baligh.
Seseorang dikategorikan sudah balighditandai dengan adanya tandatanda perubahan
badaniah, baik terhadap seorang pria maupun wanita. Seorang pria dikatakan sudah baligh
apabila ia sudah mengalami mimpi yang dialami oleh orang dewasa (alhulzima).
Sedangkan bagi seorang wanita dikatakan sudah baligh apabila ia telah mengalami haid
atau mensturasi.
Dalam pandangan hukum Islam seseorang yang dikategorikan memasuki usia baligh
merupakan ukuran yang digunakan untuk menentukan umur awal kewajiban melaksanakan
syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain terhadap mereka yang telah
baligh dan berakal, berlakulah seluruh ketentuan hukum Islam.8
Menurut ketentuan Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, memberikan
pengertian anak atau orang yang belum dewasa, sebagai berikut:
Belum dewasa adalah seseorang yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun telah kawin, dan perkawinan itu dibubarkan sebelum umurnya genap 21 tahun maka ia tidak kembali lagi ke kedudukan belum dewasa. Seseorang yang belum dewasa dan
8
Zakiah Daradjat, 1994, Remaja Harapan dan Tantangan, Jakarta, Ruhama, hlm. 11.
tidak berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagai manadiatur dalam bagian ketiga, keempat kelima dan keenam bab ke belum dewasaan dan perwalian.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan), tidak mengatur tentang pengertian
anak. Namun dalam Pasal 7 Undang-undang Perkawinan disebutkan perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa anak adalah seseorang di bawah
umur 19 tahun bagi seorang laki-laki dan di bawah umur 16 tahun bagi seorang perempuan.
Dalam kajian aspek hukum pidana, persoalan untuk menentukan kriteria seorang anak
walaupun secara tegas didasarkan pada batas usia, namun apabila kita teliti beberapa
ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur batas anak, juga
terdapat keaneka ragaman.
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak (selanjutnya disebut Undang-undang Kesejahteraan Anak),
memberikan pengertian: anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum pernah kawin.
Menurut undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, ditentukan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapanbelas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan.
Dengan demikian, maka pengertian anak atau juvenile pada umumnya adalah
kawin. Pada beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai batas umur
kedewasaan seseorang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dari sudut manakah dilihat dan
ditafsirkan, apakah dari sudat pandang perkawinan, dari sudut kesejahteraan anak, dan dari
sudut pandang lainnya. Hal ini tentu ada pertimbangan psikologis, yang menyangkut
kematangan jiwa seseorang. Batas umur minimum ini berhubungan erat dengan pada umur
berapakah pembuat atau pelaku tindak pidana dapat dihadapkan ke pengadilan dan dapat
dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan batas umur
maksimum dalam hukum pidana adalah untuk menetapkan siapa saja yang sampai batas
umur ini diberikan kedudukan anak (juvenile), sehingga harus diberi perlakuan hukum
secara khusus.9
Dalam proses pembinaannya diatur anak-anak tersebut dikategorikan sebagai anak
didik pemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan, dalam Pasal 1 nomor 8, yang berbunyi:
Anak Didik Pemasyarakatan adalah:
a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan Pengadilan menjalani pidana di
LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan Pengadilan diserahkan pada
negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama
sampaiberumur 18 (delapan belas) tahun.
9
Made Sadhi Astuti, 1997, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana, Malang, IKIP Malang, hlm.8.
c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan Pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampaiberumur
18 (delapan belas) tahun.
Dapat dipahami bahwa dalam Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan mengkategorikan seorang anak baik anak pidana, anak negara maupun
anak sipil adalah mereka yang memperoleh pendidikan paling lama sampai berumur 18
(delapan belas) tahun. Dengan kata lain ketentuan tersebut menentukan batas usia bagi
seorang anak adalah 18 tahun.10
B.
Tindak Pidana Anak
Pengaturan tentang tindak pidana anak tidak terdapat secara khusus melainkan
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Disamping itu, istilah tindak
pidana anak, dalam kajian hukum pidana sebenarnya merupakan istilah yang belum dikenal
secara umum tetapi hanya merupakan materi khusus dari materi hukum pidana. Sementara
yang lazim dikenal dalam kepustakaan hukum pidana hanya adanya istilah tindak pidana.
Di mana Istilah tersebut menunjuk kepada perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan
oleh seseorang, baik dilakukan oleh seorang yang telah dewasa maupun oleh seorang anak.
Istilah tindak pidana itu merupakan terjemahan dari strafbaar fiet atau delict bahasa
Belanda, atau crime dalam bahasa Inggris. Beberapa literatur dan peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia dapat dijumpai istilah lain untuk menterjemahkan
strafbaar feit, antara lain:
10
Safiyudin Sastrawijaya, 1997,Beberapa Masalah Tentang Kenakalan Remaja, Bandung, PT. Karya Nusantara, hlm. 18.
1. Peristiwa pidana.
2. Perbuatan pidana.
3. Pelanggaran pidana.
4. Perbuatan yang dapat dihukum.
5. Perbuatan yang boleh dihukum dan lain-lain.
Beberapa arti dari strafbaar feit tersebut didasarkan pada berbagai argumentasi yang
melatarbelakangi muncul dan digunakannya istilah tersebut, sesuai dengan pemahaman
atas teknik interprestasi yang digunakan, sehingga muncul berbagai rumusan atau
pengertian yang berlainan pula.
Sudarto, menggunakan istilah Tindak Pidana sebagai istilah lain dari strafbaar feit,
dengan alasan bahwa istilah tindak pidana sudah sering dipakai oleh pembentuk
Undang-undang dan sudah diterima oleh masyarakat, jadi sudah mempunyai sociologische gelding.
Sedangkan Utrecht, dalam bukunya Hukum Pidana I menggunakan istilah Peristiwa
Pidana. Dengan alasan bahwa istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan (handelen atau
doen-positio atau suatu melalaikan (verzuim atau nalaten, niet-doen negatif) maupun
akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan itu).11
Sementara menurut Moeljatno, dengan memberikan alasan yang sangat luas lebih
suka menggunakan istilah Perbuatan Pidana.Hal tersebut sebagaimana dikemukakan dalam
pidatonya pada tahun 1955, dengan judul Perbuatan Pidana dan pertanggungjawaban dalam
Hukum Pidana. Alasan beliau bahwa perbuatan ialah keadaan yang dibuat oleh seseorang
atau barang sesuatu yang dilakukan. Lebih lanjut dikatakan: (Perbuatan) ini menunjuk baik
11
Utrecht, 1968, Hukum Pidana I, Universitas, Bandung, hlm. 18.
pada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat. Ia menganggap kurang tepat
menggunakan istilah peristiwa pidana sebagaimana yang digunakan dalam Pasal 14 UUDS
1950 untuk memberikan suatu pengertian yang abstrak. Peristiwa adalah pengertian yang
kongkrit, yang hanya menunjuk kepada suatu kejadian yang tertentu saja. Hal tersebut
sama halnya dengan pemakaian istilah Tindak dalam Tindak Pidana”12
Di dalam definisi di atas, Moeljatno membedakan secara tegas antara perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dengan demikian, terhadap seorang tersangka
pertama-tama harus dibuktikan dulu mengenai perbuatan yang telah dilakukannya apakah
memenuhi rumusan undang-undang atau tidak. Walaupun perbuatan tersebut telah
memenuhi unsur-unsur sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang, namun tidak secara
otomatis orang tersebut harus dihukum karena harus dilihat pula mengenai kemampuan
bertanggungjawab. Apabila dianggap tidak mampu bertanggung jawab maka orang tersebut
lepas dari segala tuntutan hukum. Konsep demikian merupakan konsep yang dipakai dalam
sistem Anglo Saxon dimana adanya pemisahan antara Criminal Act dan Criminal
Responsibility. Apabila dihubungkan dengan masalah tindak pidana anak, maka terhadap
anak yang dianggap telah melakukan Criminal Act selain perlu dikaji sifat perbutannya
apakah sebagai suatu kejahatan atau kenakalan (delinquency), patut dikaji pula masalah
kemampuan pertanggungjawaban dari si anak yang pada dasarnya kurang bahkan tidak
memahami atau mengerti arti dari perbuatan tersebut. Dengan demikian, diperlukan adanya
kecermatan bagi hakim dalam menangani anak yang disangka telah melakukan suatu tindak
pidana untuk menentukan masalah pertanggungjawaban pidana.
12
Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Bina Aksara, hlm. 54-55.
Menurut Sudarto, yang dimaksud dengan tindak pidana adalah perbuatan yang
memenuhi syarat tertentu, yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan pemberian
pidana.13 Simon, berpendapat bahwa unsur-unsur strajbaar fiet, sebagai berikut:
a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat).
b. Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld).
c. Melawan hukum (onrechtmatig).
d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand).
e. Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar persoon).
Van Hamel, menyebutkan unsur-unsur strafbaar fiet adalah:
a. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang.
b. Melawan hukum.
c. Dilakukan dengan kesalahan.
d. Patut dipidana.
E. Mezger, menyebutkan unsur-unsur tindak pidana ialah:
a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan).
b. Sifat melawan hukum (baik yang bersifat obyektif maupun yang subyektif).
c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang.
d. Diancam dengan pidana.
Beberapa pandangan tersebut di atas merupakan pandangan monistis, sedangkan
pendapat mereka yang berpandangan dualistik, antara lain:
13
Moeljatno, Op.Cit. hlm. 9.
1. Vos, memberikan unsur-unsur strajbaarfiet berupa:
a. Kelakuan manusia.
b. Diancam pidana dalam Undang-undang.
2. Pompe berpendapat bahwa walaupun menurut teori strajbaar fiet itu terdiri dari
unsur-unsur:
a. Perbuatan.
b. Bersifat melawan hukum.
c. Dilakukan dengan kesalahan.
d. Diancam pidana.
Namun ia berpendapat bahwa dalam hukum positif sifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) bukan sifat mutlak untuk adanya tindak
pidana (strafbaar fiet). Oleh karena itu ia memisahkan antara tindak pidana dari orang yang
dapat dipidana. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Moeljatno
yang mengemukakan bahwa unsur-unsur perbuatan pidana meliputi:
1. Perbuatan (manusia)
2. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang
3. Bersifat melawan hukum
Sedangkan kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari si pembuat tidak
masuk sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal tersebut melekat pada orang yang
berbuat.
Mengacu pada kedua pandangan tersebut, dapat dipahami antara lain bahwa menurut
sedangkan menurut pandangan dualistik seseorang yang telah melakukan tindak pidana
belum memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena masih harus dipenuhi syarat
pertanggungjawaban pidana yang harus ada pada orang yang berbuat.
Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, bahwa dipandang dari segi perbuatan
sesungguhnya tidak ada perbedaan antara tindak pidana anak dengan dewasa, yang dapat
membedakan diantara keduanya terletak pada pelakunya itu sendiri. Perbedaan tersebut
menyangkut kepada persoalan motivasi atas tindak pidana yang dilakukannya. Karena pada
umumnya tindak pidana yang dilakukan oleh anak bukan didasarkan kepada motif yang
jahat, maka apabila terdapat anak-anak yang perilakunya menyimpang dari norma-norma
sosial, terhadap anak yang demikian seringkali masyarakatmengistilahkan sebagai anak
nakal, anak jahat, anak tuna sosial, anak pelanggar hukum atau Juvenile Deliquency.
Dengan istilah tersebut terhadapnya dapat terhindar dari golongan yang dikategorikan
sebagai penjahat (Criminal).
Menurut Simanjuntak, suatu perbuatan itu disebut Delinquency apabila
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat dimana
ia hidup, suatu perbuatan yang anti sosial dimana di dalamnya terkandung unsur-unsur anti
normatif.14 Dalam uraian lain dijelaskan bahwa Juvenile Delinquency pidana dan
pelanggaran-pelanggaran kesusilaan yang dilakukan oleh anak berumur di bawah 21 tahun,
yang termasuk dalam yuridiksi pengadilan anak.15
Sementara menurut Paul Moedikdo, semua perbuatan dari orang dewasa merupakan
kejahatan, bagi anak-anak merupakan Delinquency, jadi semua tindakan yang dilarangoleh
14
B. Simanjuntak, 1997, Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Bandung, Tarsito, hlm. 295.
15
B. Simanjuntak, 1984, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Bandung, Alumni, hlm. 47.
hukum pidana, seperti: pencurian, menganiaya, dan sebagainya. Senada dengan pendapat
tersebut, dikemukakan bahwa Juvenile Delinquensi adalah tiap perbuatan yang bila
dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan, jadi perbuatan
yang melawan hukum yang dilakukan oleh anak, khususnya anak remaja.16
Makna dari istilah Juvenile Delinquency terdapat beberapa pendapat baik di berbagai
negara maupun di Indonesia sendiri serta tidak ada keseragaman, maka sebagai pedoman
kiranya dapat merujuk kepada ketentuan yang diberikan oleh Resolusi Kongres PBB,
khususnya di dalam SMR-JJ (Beijing rule) yang menyatakan bahwa:
“An offence is any behaviour (act oromission) that is fiinishable by law under the
respective legal syste (Suatu pelanggaran adalah suatu perilaku (tindakan atau
kelalaian) yang dapat dihukum sesuai dengan ketentuan di bawah sistem hukum masing-masing). Dengan demikian, Juvenile offender is a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence (seorang anak pelaku pelanggaran adalah seorang anak atau remaja yang diduga telah melakukan atau telah diketahui melakukan pelanggaran)”.
Dengan melihat pernyataan tersebut, ternyata Beijing rule sendiri tidak memberikan
batasan yang pasti terhadapJuvenile Delinquency. Namun demikian apa yang ditegaskan
tersebut merupakan suatu pemyataan yang sangat bijaksana, karena sebagaimana ketentuan
terhadap pengertian anak itu sendiri, batasannya didasarkan kepada kondisi yang ada pada
masing-masing negara. Hal tersebut telah memberikan peluang kepada masing-masing
negara agar dapat memberikan pengertian sesuai dengan kondisi sosio-kultural negara
masing-masing.
Di Indonesia sendiri berdasarkan rumusan Tim Kerja Bidang Hukum Pidana dan
Acara Pidana pada tahun 1970 telah merekomendasikan dalam laporannya bahwa: yang
16
Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Jogyakarta, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, hlm. 2.
dimaksud dengan tindak pidana anak/kenakalan remaja adalah semua perbuatan yang
dirumuskan dalam perundang-undangan pidana dan perbuatan-perbuatan lainnya yang pada
hakikatnya merugikan perkembangan si anak sendiri serta merugikan masyarakat".17
Didalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Pemasyarakatan
Anak memberikan penjelasan bahwa Anak yang berkonflik dengan hukum adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana.
C.
Upaya Preventif Penanggulangan Tindak Pidana Anak
a. Faktor Penyebab Anak Melakukan Tindak Pidana
Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh anak pada umumnya dilakukan karena
kurang pemahaman terhadap hal yang baik dan buruk. Masa anak-anak adalah masa yang
sangat rawan melakukan tindakan, karena masa anak-anak suatu masa yang rentan dengan
berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu.
Suatu kejahatan, kenakalan atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang
pasti memiliki penyebab yang menjadi latar belakang mengapa perbuatan itu dilakukan.
Faktor-faktor yang mendorong perbuatan itu dilakukan sering juga disebut sebagai
motivasi dimana didalamnya mengandung unsur niat, hasrat, kehendak, dorongan
kebutuhan, cita-cita yang kemudian diwujudkan dengan lahirnya perbuatan-perbuatan,
demikian pula perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak tidak terlepas dari faktor yang
mendukung anak yang melakukan perbuatan pidana.
17
Sri Widoyati Wiratmo Soekito, 1983, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, Jakarta, LP3ES, hal. 17.
Menurut Kartini Kartono, perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak terjadi
disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor tersebut dibedakan dalam dua kelompok besar
yaitu:
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri, faktor
yang mendorong anak melakukan perbuatan pidana yang berasal daridirinya sendiri
yang meliputi beberapa hal yaitu:
a) Untuk memuaskan kecenderungan keserakahan.
b) Meningkatkan agresifitas dan dorongan seksual.
c) Salah asuhan, salah didik dari orang tua sehingga anak menjadi manja dan
lemah mentalnya.
d) Hasrat untuk berkumpul dengan teman-teman senasib dan sebaya menjadi
kesukaan untuk meniru-niru.
e) Kecenderungan pembawaan yang patologis.
f) Konflik batin sendiri dan kemudian mempergunakan mekanisme pelarian diri
yang irasional.18
2. Faktor Eksternal
Menurut Kartini Kartono Faktor eksternal adalah faktor yang lahir dari luar diri
anak faktor ini terdiri dari beberapa hal yaitu:
a) Faktor lingkungan keluarga
Keluarga mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap seorang
anak.Keluarga merupakan lingkungan pertama dalam kehidupan seorang anak dan
18
Kartini Kartono, 1982, Pisikologi Anak, Bandung, Alumni, hlm. 149.
darikeluarga pula untuk pertama kalinya anak mendapat pendidikan. Hal ini
sesuaidengan penjelasan Bimo Walgito mengenai arti keluarga bagi anak adalah
merupakan tumpuan pendidikan anak. Keluarga pertama-tama bagi anak, dan
darikeluarga pulalah anak pertama-tama akan menerima pendidikan, karena
keluargamempunyai peranan penting dalam keluarga.19
b) Faktor lingkungan sekolah
Bambang Muliyono menegaskan bahwa “sekolah merupakan tempatpendidikan
formal yang mempunyai peranan untuk mengembangkan anak-anaksesuai dengan
kemampuannya dan pengetahuannya yang bertujuan agar anakbelajar
mengembangkan kreatifitas pengetahuan dan keterampilan”.20
Masalah pendidikan di sekolah bisa menjadi motivasi dari luar yang bisa
mendorong anak untuk melakukan suatu perbuatan yang menyimpang. Kondisi
sekolah yang tidak baik dapat menggaggu proses belajar mengajar anak didik yang
pada gilirannya dapat memberikan peluang bagi anak didik untuk berperilaku
menyimpang, kondisi sekolah yang tidak sehat bisa disebabkan karena:
a. Sarana dan prasarana sekolah yang tidak memadai.
b. Kualitas dan kuantitas tenaga guru yang tidak memadai.
c. Kesejahteraan guru yang tidak memadai.
d. Kurikulum sekolah yang perlu ditinjau ulang.
e. Lokasi sekolah yang rawan dengan kejahatan.
Hal yang perlu diperhatikan yaitu sesuai dengan perkembangan keadaan pada
waktu sekarang ini adalah diantara anak-anak yang memasuki sekolah tidak
19
Bimo Walgito, 1982, Kenakalan Anak, Fakultas Pisikologi UGM Yogyakarta, hlm. 9.
20
Bambang Muliyono, 1995,Pendekatan Anlisis Kenakalan Remaja dan Penangulanganya, Yogyakarta, Kanisius, hlm. 29.
semuanya berwatak baik misalnya ada yang penakut, ada yang patuh dan adapulaanak
yang keras kepala dan tidak dapat diatur. Bahkan tidak jarang dijumpai dalam suatu
sekolah yang anak didiknya suka merokok dan mengkonsumsi obat-obat terlarang.
Sikap-sikap tidak disiplin seperti inilah yang dapat berpengaruhbesar kepada anak
yang pada awalnya bermental baik.
c) Faktor lingkungan pergaulan
Masyarakat merupakan tempat pendidikan ketiga setelah lingkungan keluargadan
sekolah, karena anak disamping berinteraksi dengan anggota keluarganyajuga akan
memasuki pergaulan yang lebih besar lagi yaitu lingkungan masyarakatdisekitarnya.
Pengaruh yang diberikan lingkungan pergaulan besar sekali dan bahkan terkadang
dapat membawa perubahan besar dalam kehidupan keluarga. Dari lingkungan
keluarga ini seorang anak akan banyak menyerap hal-hal baru yangdapat
mempengaruhinya, untuk bertingkah laku lebih baik atau sebaliknyamenjadi buruk.
Pengaruh pergaulan dengan lingkunagan tempat tinggal seperti yang
dikemukakan oleh A. Qirom Syamsudin Meliala, bahwa sudah merupakan
nalurimanusia untuk berkumpul dengan teman-teman bergaul. Tapi pergaulan itu
akanmenimbulkan efek yang baik dan yang tidak baik pula. Efek yang tidak baik
akanmendorong anak yang tidak mendapat bimbingan yang baik dari orang
tuanyamenjadi terperosok pada hal-hal yang negatif.21
Proses pembentukan keperibadian anak biasanya mulai dan berkembang padasaat
anak tersebut menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berkumpuldengan
teman-temanya. Dengan demikian pengaruh lingkungan pergaulanterutama pengaruh
21
A. Qirom Syamsudin Meliala, 1985, Kejahatan Anak Suatu Tujuan Dari Pisikologi dan Hukum, Yogyakarta, Liberty, hlm. 32.
dari teman-teman mainya sangat besar bagi anak dapat melakukan apa yang dianggap
baik menurutnya dan apa yang menjadi sumber bagi anak untuk melakukan perbuatan
menyimpang.
d) Faktor mass media atau media massa
Mass media atau yang sering dikenal dengan media massa, seperti majalah, surat
kabar, radio, tape, televisi, VCD, dan lain-lain, memberikan pengaruh yang sangat
besar bagi kehidupan manusia. Tidak dapat disangkal bahwa media massa memegang
peranan yang positif dalam meningkatkan ilmu pengetahuan masyarakat. Kebaradaan
sarana dan pra sarana dan alat-alat tersebut mempermudah masyarakat dapat
mengetahui peristiwa yang terjadi baik diluar maupun dalam negeri dengan cepat.
Namun demikian kita juga harus mengigat tentang satu hal yakni yang tidak dapat
disamakan dengan orang dewasa. Apalagi jika dikaitkan dengan sifat anak-anak yang
suka meniru, ingin tahu dan mencoba-coba hal-hal yang dianggap oleh mereka
merupakan hal yang baru.
Saat ini banyak sekali kita jumpai mass media yang tidak mendidik, contoh umum
seperti buku dan majalah yang menyajikan gambar dan cerita-cerita yang
dikatagorikan sebagai pornografi dan tayangan-tayangan baik film maupun acara
televisi yang mengetengahkan adegan porno dan kekerasan.
Hal ini bisa memberikan pengaruh yang buruk terhadap anak, dengan mengigat
kondisi kontrol diri anak yang masi belum secara penuh dan juga mudahnya anak
untuk melakukan hal-hal yang bagi mereka suatu hal yang menantang. Kita sering
pelaku dibawah umur yang seringkali kita ketahui alasan dari anak melakukan
tindakan tersebut akibat tontonan dan bacaan tentang kekerasan.
Semakin canggih dan banyaknya alat untuk mengakses ilmu pengetahuansemakin
banyak pula hal negatif yang harus diwaspadai, karena dampak dari kecanggihan
teknologi tidak selalu bersifat positif tetapi juga negatif. Disinilah peran orang tua dan
masyarakat untuk bisa memberikan pengertian lebih baik bagi anak terhadap
acara-acara televisi, film-film yang ditonton, buku-buku bacaan dan hal-hal lain untuk
menyikapi pengaruh negatif dari media massa.
Menurut Walter Luden, faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya kenakalan anak
adalah:22
1. Gelombang urbanisasi remaja dari desa ke kota-kota jumlahnya cukup besar dan
sukar dicegah.
2. Terjadinya konflik antar norma adat pedesaan tradisional dengan norma-norma
baru yang tumbuh dalam proses dan pergeseran sosial yang cepat, terutama di
kota-kota besar.
3. Memudarnya pola-pola kepribadian individu yang terkait kuat pada pola kontrol
sosial tradisional, sehingga anggota masyarakat terutama remajanya menghadapi
“samarpola” untuk melakukan perilakunya.
Di Indonesia sendiri, kenakalan anak telah menjadi perhatian dan pembahasan yang
sangat serius. Pada dasarnya kenakalan yang terjadi pada anak adalah merupakan cerminan
dari keadaan masyarakat secara keseluruhan.Baik buruknya masyarakat suatu bangsa di
22
Ninik Widiyanti-Panji Anaroga, 1987, Perkembangan Kenakalan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, Jakarta, Pradnya Paramita, hlm. 2.
kemudian hari sepenuhnya tergantung dari baik buruknya generasi muda di masa kini.
Kenakalanyang dilakukan oleh anak-anak bukan hanya merupakan gangguan terhadap
keamanan dan ketertiban masyarakat semata, tetapi juga merupakan bahaya yang dapat
mengancam masa depan masyarakat suatu bangsa. Langkah-langkah positif tersebut
memerlukan partisipasi banyak pihak agar manfaat maksimal dapat dicapai. Upaya
preventif dan upaya-upaya lain yang relevan perlu keikutsertaan masyarakat agar
penyebarluasan tersebut dapat mencapai sebagian terbesar anggota masyarakat, khususnya
anak. Tugas pembinaan dan pembentukan kondisi dalam lingkungan keluarga yang
berdampak positif bagi perkembangan mental anak sebagian besar menjadi tanggung jawab
kedua orang tua. Kondisi intern keluarga yang negatif atau tidak harmonis akan merusak
perkembangan mental anak, terutama broken home dan quasi broken home dalam segala
bentuk dan jenisnya menghambat pertumbuhan mental anak. Keadaan ini sama sekali tidak
memberi jaminan sehatnya perkembangan dan pertumbuhan mental anak. Pembentukan
kondisi yang baik dalam kehidupan intern keluarga perlu diwujudkan sedini mungkin.23
Agar dapat meminimalisir tindak kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak maka
harus menempuh upaya preventif. Upaya preventif adalah suatu perbuatan atau upaya untuk
mencegah terjadinya kejahatan yang dilakukan jauh sebelum kejahatan itu terjadi, dengan
melibatkan sel-sel organisasi kemasyarakatan agar dapat diberdayakan secara
bersama-sama dalam rangka pengawasan terhadap kelompok atau orang-orang yang berpotensi
melakukan tindak kejahatan.24 Metode ini dapat dilakukan setelah mengetahui terlebih
dahulu faktor-faktor atau sebab-sebab terjadinya kejahatan tersebut. Dengan demikian
23
Sudarsono, 2004, Kenakalan Remaja, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 7.
24
http://fhuk.unand.ac.id/handout/kriminologi.pps. Diakses pada tanggal 18 november 2016 pukul 22.20. WIB.
upaya ini merupakan tugas masyarakat dan penegak hukum secara bersama-sama, dan
metode ini dapat dilakukan dengan:
1. Cara Abolisionistik, yaitu suatu cara atau upaya penanggulangan kejahatan dengan
cara menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor yang dapat menimbulkan
kejahatan.25 Dan upaya ini dapat dilakukan dengan usaha pencegahan seperti cara
yaitu:
a. Mengembangkan mekanisme dan sistem perlindungan anak yang terpadu,
sehingga alur perlindungan anak menjadi lebih teratur, yang pada akhirnya
tidak terjadi lagi tumpang tindih perlindungan anak.26
b. Mengadakan penyuluhan-penyuluhan dibidang hukum kepada masyarakat,
baik oleh pihak kepolisian, kejaksaan dan kehakiman.
c. Meningkatkan pembinaan rohani atau meningkatkan pelayanan agama
terhadap masyarakat terutama anak-anak dan remaja.
d. Menjalin komunikasi yang baik sesama warga masyarakat khususnya dalam
keluarga.
e. Menghindarkan diri dari sikap menang sendiri, egois dan sok kuasa sesama
anggota keluarga. Mengadakan pembinaan keterampilan dan membuka
lapangan kerja bagi orangtua yang pengangguran agar mampu mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya.
25
A. Syamsudin Meliala, E. Sumaryono , 1985, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan dari Psikologi dan Hukum