ABSTRACT
ANALYSIS OF VERBAL ABUSE SENIOR TOWARD JUNIOR IN LAMPUNG UNIVERSITY STUDENTS (DESCRIPTIVE STUDY OF CIVIL ENGINEERING
STUDENTS AT LAMPUNG UNIVERSITY) By
FADHILAH SYAKIRAH
Program Orientasi Perguruan Tinggi (Propti) is a medium for new students to have an adaptation of their new environment and culture. However, mass media showed up that there’s a case appeared on a process of this activity which committed by seniors toward juniors. One of those cases is verbal abuse that happened in Department of Civil Engineering, Lampung University. This research anylize how the verbal abuse happened, what the underlying factors and its impact on the department of Civil Engineering students, Lampung University. This research used a qualitative approach and described in descriptive with observation and interview methods. The basis theory of this research are the symbolic convergence, Ernest Bormann and the concept of the banality of evil, Hannah Arendt. The result of this research indicated verbal abuse that occurred by seniors toward juniors at Propti / Makrab due to several factors, there are: self-motivation and experience, to develop a strong mental character, a spirit of solidarity, leadership and achievements. Then the impact of verbal abuse is going to acceptance by juniors because they think there is a good purpose of that. This then led to verbal abuse as something banal in the Department of Civil Engineering, Lampung University.
ABSTRAK
ANALISIS KEKERASAN VERBAL MAHASISWA SENIOR TERHADAP MAHASISWA JUNIOR DALAM PERGAULAN MAHASISWA (STUDI
DESKRIPTIF PADA MAHASISWA TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS LAMPUNG)
Oleh
FADHILAH SYAKIRAH
Kegiatan Program Orientasi Perguruan Tinggi (Propti) merupakan wahana bagi mahasiswa baru untuk beradaptasi mengenal lingkungan dan budaya baru. Namun, pada pelaksanaannya muncul kasus kekerasan seperti kekerasan verbal yang dilakukan oleh senior terhadap juniornya di Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Penelitian ini menganalisis bagaimana kekerasan khususnya kekerasan verbal terjadi antara senior terhadap junior, faktor apa yang melatarbelakangi dan bagaimana dampaknya di jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan dijelaskan secara deskriptif dengan metode observasi dan wawancara. Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah konvergensi simbolik Ernest Bormann dan konsep The banality of evil Hannah Arendt. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadinya kekerasan verbal senior terhadap junior pada saat Propti dan Makrab karena beberapa faktor, yaitu: motivasi diri & pengalaman, pembentukan karakter mental, jiwa solidaritas, kepemimpinan dan cinta kampus (prestasi). Kemudian dampak yang ditimbulkan adalah keberterimaan oleh junior akan kekerasan verbal yang dilakukan oleh seniornya karena menganggap ada tujuan baik. Inilah yang kemudian memunculkan kekerasan sebagai sesuatu yang banal pada jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung.
Analisis Kekerasan Verbal Mahasiswa Senior terhadap Mahasiswa Junior dalam Pergaulan Mahasiswa
(Studi deskriptif pada Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Lampung)
Oleh
Fadhilah Syakirah
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA ILMU KOMUNIKASI
Pada
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Lampung
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS LAMPUNG
DESKRIPTIF PADA MAHASISWA TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS LAMPUNG)
(Skripsi)
Oleh:
Fadhilah Syakirah
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
i
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1. Proses Komunikasi Verbal dalam Baryadi (2012:13)
Adaptasi dari Brooks (1964:4) ... 16 Bagan 2. Kerangka Pikir ... 36 Bagan 3. Faktor yang Melatarbelakangi Terjadinya Kekerasan Verbal
Mahasiswa Senior terhadap Junior pada Propti dan Makrab ... 84 Bagan 4. Dampak Kekerasan Verbal Mahasiswa Senior terhadap
ii A. Gambaran Umum Program Orientasi Perguruan Tinggi ... 52
1. Dasar Kegiatan ... 52
4. Kelembagaan Pelaksanaan Kegiatan ... 55
C. Peraturan dan Tata Tertib ... 56
1. Ketentuan Umum ... 56
1.1 Pasal 1 ... 56
1.2Pasal 2 ... 57
2. Waktu dan Tempat Kegiatan ... 57
D. Jumlah Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung ... 58
E. Pemberitaan mengenai Kekerasan Verbal Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung ... 58
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 66
1. Identitas Informan ... 66
2. Kekerasan Verbal Mahasiswa Senior terhadap Junior ... 68
3. Faktor Penyebab Kekerasan Verbal pada Masa Propti dan Makrab ... 76
iii
Makrab ... 97 3. Dampak Kekerasan Verbal ... 102 4. Kekerasan Verbal merupakan Hal yang Wajar ... 108
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 111 B. Saran ... 112
DAFTAR PUSTAKA
i
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 8 Tabel 2. Daftar Informan Mahasiswa Teknik Sipil Universitas
Lampung ... 67 Tabel 3. Hasil Terjadinya Kekerasan Verbal ... 74 Tabel 4. Hasil Wawancara dengan Informan Senior mengenai
Kekerasan yang terjadi di jurusan Teknik Sipil Universitas
Lampung ... 75 Tabel 5. Hasil Wawancara dengan Informan Junior mengenai
Kekerasan yang terjadi di jurusan Teknik Sipil Universitas
Lampung ... 76 Tabel 6. Hasil Wawancara dengan Informan Senior mengenai Faktor
MOTO
“
Allah has a purpose for your pain
a reason for your struggles
and a reward for your faithfulness
PERSEMBAHAN
Bismillahirrahmanirrahim.
Dengan penuh rasa bangga & haru, ku persembahkan karya tulis pertamaku untukmu:
Mama, Mama, Mama, Ayah.
Fadhli, Wina, Safa.
Serta saudara dan sahabat tercinta.
RIWAYAT HIDUP
Penulis memiliki nama lengkap Fadhilah Syakirah. Dilahirkan di
Palembang, pada tanggal 27 Juli 1994. Merupakan anak pertama
dari 4 bersaudara pasangan Ir. Sabirin, M.Si. dan
Chalimatussakdiah. Menempuh pendidikan di TK Melati Tulang
Bawang, SDN 2 Rajabasa Bandar Lampung, SMPN 22 Bandar
Lampung, SMA Al-Kautsar Bandar Lampung. Menjadi mahasiswa
jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Lampung pada tahun
2011.
Selama kuliah aktif sebagai anggota HMJ Ilmu Komunikasi dan pernah menjadi Ketua Bidang
Broadcasting periode kepengurusan 2013-2014. Serta aktif dalam UKM English-Society Unila dan menjadi PIC of Newscasting pada kepengurusan periode 2012-2013. Dilanjutkan pada periode 2013-2014 sebagai Deputy of Education. Semasa kuliah penulis sempat meraih beberapa penghargaan, salah satunya dalam bidang Newscasting sebagai The 1st Winner of Newscasting Competition in EIA XII 2013. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa Bumi
Asih, Palas, Lampung Selatan pada Januari 2014 dan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas
SANWACANA
Alhamdulillahhirobbil’alamin. Segala puji dan syukur penulis haturkan kehadirat
Allah SWT, karena atas berkah dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan penuh kesabaran dan asa. Penyelesaian skripsi ini tidak semata
hanya berbekal pengetahuan dan kemampuan yang penulis miliki. Tanpa adanya
bantuan, dukungan, motivasi dan semangat dari berbagai pihak tidak mungkin skripsi
ini bisa terselesaikan. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis mengungkapkan
rasa hormat dan terimakasih kepada:
1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si, Selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Lampung.
2. Bapak Drs. Teguh Budi Raharjo, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu Komunikasi.
3. Bapak A. Rudy Fardiyan, S.Sos., M.Si. selaku dosen pembimbing, yang
senantiasa meluangkan waktunya untuk sabar membimbing saya, bertukar
pikiran, berbagi banyak ilmu yang bermanfaat. Pak Rudi, saya sangat
berterima kasih.
4. Ibu Dra. Ida Nurhaida, M.Si. selaku dosen pembahas dan pembimbing
akademik penulis. Ibu, terimakasih untuk waktunya, berbagi saran dan
5. Kedua orang tuaku, Sabirin Abubakar & Chalimatussakdiah. serta ketiga
adikku Fadhli Munadi Iman, Farihatush Shalwina Jannah, Faiza Saufa
Chairia. Terimakasih tak henti-hentinya untuk selalu mendoakan keberhasilan
dan memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
6. Yoga Setiawan. Mas, Thankyou for your kindness, understanding, support, love and everything you give to me unconditionally.
7. Sahabat SMA & SMP (Ica, Lilia, Ais, Adlin, Nani, Dian, Aluh, Uworina,
Viza, Vonda, Sangkut, Elia, Ayu Melati). Terimakasih untuk ketulusan
menemani dikala sedih maupun senang, memberikan semangat dan motivasi
yang tiada henti.
8. Fajriati Meutia, Hesti Dhamayanti, Laksita Mayangsari, Nastria Fitrianasari,
Lidya Novita, Ida Putri Mulya, Ade Saputra, Fikri Aditya, Syahid, Reza
Tantowi. Thank you for the nice support guys.
9. Keluarga KKN Desa Bumi Asih. Dina, Audi, Dian, Fellicia, Epi, Eka, Kak
Edi, Kak Ekin, Kak Egi. Terimakasih atas segala tegur sapa yang hangat,
senyum tulus di bibir dan canda tawa yang mengakrabkan, semoga tali
silaturahmi ini tetap terjaga sampai kapanpun.
10.Untuk Cita Adelia, Teresia, Yessi, Hamdana, Hana, Apin, Bangjay, Bayu,
Risky, Fajri. Kalian orang-orang hebat dan kuat. Semoga kita bisa menjadi
sarjana yang sukses dan berguna ya. Amin.
11.Teman-Teman Komunikasi 2011. Alifiah, Okta, Mifta, Prita, Rizka, Amel,
Arum, Mizaany, Bowo, Riksa, Aji, Ricky, Diki, Novian, Dimas, Manda,
12. Adik-Adik Komunikasi 2012, 2013, 2014, 2015 dst. Terimakasih untuk
dukungan semangatnya selama ini. Ingatlah bahwa bidang sarjana adalah
berfikir dan mencipta, jadi selamat berkarya & berprestasi di bangku kuliah.
13.Kakak-kakak Komunikasi, terutama untuk mba Fitri Amalia, kak Indra
Julianta, Kak Putra Gumilang dan Kak Ardika Dewantara. Maaf sudah
direpotkan, ditanya-tanyai mulu untuk berbagi pengalaman saran dan
informasi. Penulis sangat berterima kasih.
14.Eso Troops. Aulia, Fadlan, Zakiyah, Vianna, Uti, Melati, Firma, Nivia, Etenk, Dwi, Andre, Kak Anwar, mba Ria, kak Opin, Tati, Upi, Cinda, Rizal, Erika,
Nana, Rafika, Nabilla, Arif dan semuanya. Terimakasih untuk pengalaman
beroraganisasi yang luarbiasa. Jangan berhenti untuk selalu menginspirasi.
15.Untuk seluruh orang-orang baik di sekeliling penulis yang telah mendukung
dan memotivasi dan tak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terimakasih,
semoga Allah membalas segala ketulusan dan kebaikan kalian.
Bandarlampung, 25 Oktober 2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Universitas Lampung adalah salah satu perguruan tinggi, dimana hakikatnya
sebagai lembaga pendidikan yang mengemban amanah untuk mendidik
masyarakat dengan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang dapat
diterapkan pada lingkungannya. Masyarakat yang dimaksudkan adalah
mahasiswa sebagai kelanjutan dari jenjang pendidikan SMA/SMK. Dengan
demikian hakikat tugasnya adalah mempersiapkan insan akademis yang dapat
menjadi agen perubahan sosial. Pedidikan di perguruan tinggi secara formal
merupakan kelanjutan pendidikan menengah atas yang mempunyai perbedaan
cukup mendasar. Perbedaan proses pembelajaran ini sejak awal harus
diperkenalkan kepada mahasiswa baru yang memerlukan adaptasi terhadap
lingkungan dan budaya yang ditempatinya.
Mahasiswa merupakan salah satu bagian dari sumber daya manusia Indonesia dan
sekaligus merupakan aset bangsa yang kelak akan menjadi generasi penerus
memiliki berbagai dimensi yaitu sebagai bagian dari civitas akademika dan
bagian dari generasi muda yang terlatih sebagai pelaku sejarah yang ikut berperan
dan menentukan sejarah perkembangan bangsa Indonesia. Wahana untuk
memperkenalkan lingkungan baru tersebut di Indonesia dikenal dengan istilah
Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK) atau istilah di Universitas
Lampung dikenal dengan PROPTI (Program Orientasi Perguruan Tinggi).
Kegiatan propti di Universitas Lampung wajib diikuti oleh seluruh mahasiswa
baru, dimana seperti yang tertera dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Nomor 38/DIKTI/KEP/2000, tentang Pengaturan Kegiatan
Penerimaan Mahasiswa Baru di Perguruan Tinggi bahwa tujuan propti adalah
untuk membimbing dan membina para mahasiswa untuk bersikap dan bertingkah
laku sesuai dengan tata nilai, etika serta norma yang berlaku, memperkenalkan
kegiatan – kegiatan akademik, administrasi dan kemahasiswaan yang berlaku dan
menjalin kebersamaan dan persaudaraan sebagai anggota keluarga besar
Universitas Lampung.
Pelaksanaan kegiatan propti pertama kali dilakukan pada tingkat universitas
dalam waktu tiga hari dimana jadwal dan acara kegiatan yang direncanakan
berlaku untuk seluruh jurusan yang ada di Universitas Lampung. Kemudian
dilanjutkan pada tingkat fakultas dimana kepanitiaannya dan program kegiatan
yang akan dilaksanakan diserahkan kepada masing–masing fakultas. Kegiatan
propti ditingkat fakultas dilakukan oleh para anggota kemahasiswaan yang ada di
3
dimana tujuannya mengenalkan kepada mahasiswa secara umum mengenai
fakultas khususnya jurusan yang akan menjadi tempat mereka menuntut ilmu
selama masa perkuliahan.
Pada proses pelaksanaan kegiatan propti terdapat sebuah proses komunikasi yang
terjalin, hal ini terlihat pada interaksi antara sesama mahasiswa baru, mahasiswa
baru dengan mahasiswa lama, mahasiswa dengan dosen, dan lain sebagainya.
Salah satu cara untuk mencapai tujuan propti adalah dengan menciptakan
komunikasi yang efektif, namun pada proses komunikasi yang berlangsung dalam
kegiatan tersebut muncul kasus seperti pemberitaan dari berbagai macam media
massa.Bahwa terdapat tindak kekerasan dalam proses kegiatan propti yang
dilakukan oleh mahasiswa senior terhadap juniornya.
Contoh kasus kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa senior terhadap
juniornya salah satunya terjadi di jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung pada
masa propti tahun 2014 lalu1. Kasus ini terungkap setelah beberapa mahasiswa
baru terpaksa dirawat di rumah sakit, dan mengalami trauma psikis dengan
perlakuan seniornya dalam propti dan malam keakraban. Kasus kekerasan
terhadap mahasiswa baru oleh seniornya sudah berlangsung setiap tahun. Tindak
kekerasan yang terjadi dalam bentuk verbal maupun non verbal seperti,
membentak, menghina, dan lain sebagainya memberikan dampak negatif
khususnya secara psikis kepada para mahasiswa baru tersebut.
1
Salah satu dampak negatif dari kekerasan verbal adalah munculnya sifat
delinquency yang merupakan sikap perlawanan terhadap kondisi yang membuat frustasi pemenuhan kebutuhan atau keinginannya, yang kemudian memunculkan
karakter delinquency yaitu upaya memperoleh kepuasaan ego, melalui pernyataan sikap balas dendam secara langsung, baik disadari maupun tidak, sebagai ekspresi
dari keinginannya yang tersembunyi untuk menghukum orang lain dengan
melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kesulitan hidup bagi dirinya.
Berdasarkan hal tersebut peneliti berasumsi bahwa kekerasan komunikasi verbal
akan selalu ada dan menjadi sebuah tradisi apabila dipengaruhi oleh karakter
delinquency, Alasan membangun keakraban dengan mahasiswa baru tak sepantasnya dilakukan dengan tindakan berbau kekerasan dan kegiatan yang tidak
mendidik yang diistilahkan dengan perpeloncoan. Justru aksi perpeloncoan itu
menimbulkan dampak berantai. Para senior yang sebelumnya mengalami
kekerasan seakan melampiaskan dendam terhadap junior. Akibatnya,
perpeloncoan pun membudaya di setiap penerimaan mahasiswa baru dan mungkin
saja terbawa ke dalam pergaulan kampus sehari–hari. Kampus bukan area
kekerasan, kampus seharusnya menjadi tempat persemaian calon intelektual yang
mengutamakan tradisi berpikir.
Keberhasilan belajar di perguruan tinggi juga dipengaruhi oleh lingkungan
pergaulan kampus mahasiswa, jika kita bergaul pada lingkungan yang kondusif,
kita tidak akan mengalami hambatan dalam belajar. Tetapi jika kita berada dalam
5
Tidak sedikit mahasiswa yang mengalami drop out karena pengaruh lingkungan pergaulan.
Dengan memahami uraian di atas, maka penelitian ini penting dilakukan terkait
dengan “Analisis Kekerasan Verbal Mahasiswa Senior terhadap Mahasiswa
Junior dalam Pergaulan Mahasiswa”. Pada penelitian ini, peneliti memilih
lokasi di jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Lampung berdasarkan
beberapa kasus yang kerap terjadi di setiap tahunnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah terjadi kekerasan verbal antara mahasiswa senior terhadap junior
dalam lingkungan pergaulan kampus ?
2. Faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan komunikasi
verbal mahasiswa senior terhadap junior ?
3. Bagaimanakah dampak yang timbul akibat kekerasan komunikasi verbal
tersebut ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk kekerasan komunikasi verbal
yang terjadi dalam pergaulan mahasiswa senior terhadap junior.
2. Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan
3. Untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan dari bentuk kekerasan
komunikasi verbal.
D. Kegunaan Penelitian
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan studi dalam
rangka mengetahui dan menyadarkan serta mengklarifikasi bentuk kekerasan
komunikasi verbal mahasiswa senior terhadap mahasiswa junior dalam
pergaulan perkuliahan mahasiswa Teknik Sipil Universitas Lampung.
2. Secara Praktis
a. Penelitian ini diharapakan menjadi sumber bahan masukan bagi mahasiswa
Unila pada umumnya mengenai bentuk kekerasan komunikasi verbal
mahasiswa senior terhadap junior dan bagaimana dampaknya pada mahasiswa
Teknik Sipil Universitas Lampung.
b. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk melengkapi dan memenuhi
sebagian persyaratan guna memperoleh gelar sarjana Ilmu Komunikasi pada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini dicantumkan penelitian - penelitian
terdahulu yang telah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian yang dilakukan oleh
Ariesta Yuan Iswahyudhi, 2012 dengan judul Analisis Kekerasan Komunikasi Verbal Orang Tua terhadap Anak dalam Keluarga Miskin. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan hasil yang menjelaskan kekerasan komunikasi verbal
orang tua terhadap anaknya, yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: frustasi
orang tua dan faktor belajar sosial.
Penelitian kedua yang dilakukan oleh Siti Ratna Dewi 2013 dengan judul Kekerasan Verbal dalam Film Catatan Harian Si Boy. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan hasil yang menerangkan bahwa kekerasan verbal yang
terjadi pada film catatan harian si Boy berupa hinaan, membentak lawan bicara,
pelecehan terhadap agama, humor berbalut kekerasan, dan bentuk diskriminatif
terhadap lawan bicara. Kekerasan verbal akan menyebabkan konsekuensi ketidak
sukaan terhadap lawan bicara, balas dendam atau membalas dengan kata–kata
Berikut tabel mengenai penelitian terdahulu dan bagaimana perbedaannya dengan
penelitian yang akan peneliti lakukan.
Tabel 1. Tinjauan Penelitian Terdahulu
No Tinjauan Ariesta Yuan Iswahyudhi /
Universitas Lampung / 2012
Siti Ratna Dewi / Universitas Mercu
Buana / 2013
1 Judul Analisis Kekerasan Komunikasi
Verbal Orang Tua terhadap Anak
komunikasi verbal yang dilakukan orang tua terhadap anak, persepsi orang tua terhadap kekerasan komunikasi verbal.
4 Metode Kualitatif Kualitatif
5 Teori Teori Agresi dan Belajar Sosial Model Gamson &
Modisliani
6 Simpulan Kekerasan komunikasi verbal
9
Perbedaan penelitian terletak pada teori yang digunakan, objek penelitian dan fokus penelitian. Fokus pada penelitian ini meliputi penyebab terjadinya kekerasan komunikasi verbal dari orang tua terhadap anak, persepsi orang tua terhadap kekerasan komunikasi verbal, bentuk bentuk kekerasan komunikasi verbal dan faktor yang
mempengaruhi kekerasan
komunikasi verbal. Sedangkan fokus penelitian yang peneliti lakukan ini adalah untuk mengetahui faktor dan bentuk – bentuk kekerasan komunikasi verbal yang dilakukan senior terhadap juniornya pada pergaulan
B. Teoritik
1. Komunikasi
Komunikasi merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia,
bahkan komunikasi telah menjadi suatu fenomena bagi terbentuknya suatu
masyarakat atau komunitas yang terintegrasi oleh informasi, di mana masing–masing
individu dalam masyarakat itu sendiri saling berbagi informasi untuk mencapai tujuan
bersama.
Terdapat banyak sekali definisi tentang penekanan dan arti yang berbeda oleh para
ahli. Masing – masing memiliki penekanan dan arti yang berbeda satu sama lainnya.
Pada dasarnya pengertian komunikasi memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda
dengan ilmu sosial lainnya, hanya saja dalam ilmu komunikasi objeknya ditujukan
kepada peristiwa – peristiwa komunikasi antar manusia.
Faktor -faktor yang mempengaruhi komunikasi menurut Effendy (2008:11) adalah
sebagai berikut:
1. Hubungan sosio-antro-psikologis
Proses komunikasi berlangsung dalam konteks situasional (situational context). Ini berarti bahwa komunikator harus memperhatikan situasi ketika komunikasi
dilangsungkan, sebab situasi yang berhubungan dengan faktor-faktor
11
1.1Hambatan sosiologis
Masyarakat terdiri dari berbagai golongan dan lapisan, yang menimbulkan perbedaan
dalam status sosial, agama, ideology, tingkat pendidikan, tingkat kekayaan, dan
sebagainya, yang kesemuanya dapat menjadi hambatan bagi kelancaran komunikasi.
Seorang sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies mengklasifikasikan kehidupan
manusia dalam masyarakat menjadi dua jenis pergaulan yang ia namakan
gemeinschaft dan gesellschaft. Gemeinschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat pribadi, statis, dan tak rasional, seperti dalam kehidupan rumah tangga, sedangkan
gesellschaft adalah pergaulan hidup yang bersifat tak pribadi, dinamis dan rasional, seperti pergaulan instansi atau organisasi. Seperti dalam penelitian ini, pergaulan
antara mahasiswa senior dan mahasiswa junior dapat digolongkan menjadi pergaulan
gesellschaft.
1.2Hambatan antropologis
Manusia, meskipun satu sama lain dalam jenisnya sebagai makhluk “homo sapiens”,
tetapi ditakdirkan berbeda dalam banyak hal. Berbeda dalam postur, warna kulit, dan
kebudayaan, yang pada kelanjutannya berbeda dalam gaya hidup, norma, kebiasaan,
dan bahasa. Komunikasi akan berjalan lancar jika suatu pesan yang disampaikan
komunikator diterima oleh komunikan secara tuntas, yaitu diterima dalam pengertian
1.3Hambatan psikologis
Faktor psikologis sering kali menjadi hambatan dalam komunikasi. Komunikasi sulit
untuk berhasil apabila komunikan sedang sedih, bingung, marah, merasa kecewa,
merasa iri hati, dan kondisi psikologis lainnya.
2. Hambatan semantis
Kalau hambatan sosiologis-antropologis-psikologis terdapat pada pihak komunikan,
maka hambatan semantis terdapat pada diri komunikator. Faktor semantis
menyangkut bahasa yang digunakan komunikator sebagai “alat” untuk menyalurkan
pikiran dan perasaannya kepada komunikan. Salah komunikasi ada kalanya
disebabkan oleh pemilihan kata yang tidak tepat, kata-kata yang sifatnya konotatif.
Dalam komunikasi bahasa yang digunakan sebaiknya adalah kata-kata yang denotatif.
Kalau terpaksa juga menggunakan kata-kata yang konotatif, seyogyanya dijelaskan
apa yang dimaksudkan sebenarnya, sehingga tidak terjadi salah tafsir.
3. Hambatan ekologis
Hambatan ekologis terjadi disebabkan oleh gangguan lingkungan terhadap proses
berlangsungnya komunikasi, jadi datangnya dari lingkungan. Contoh hambatan
ekologis adalah suara riuh, keadaan lalu lintas, suara hujan, dan lain-lain. Situasi
komunikasi yang tidak kondusif seperti itu dapat diatasi oleh komunikator dengan
menghindarkannya jauh sebelum atau dengan mengatasinya pada saat ia sedang
berkomunikasi, seperti mengusahakan tempat komunikasi yang bebas dari gangguan
13
4. Hambatan mekanis
Hambatan mekanis dijumpai pada media yang digunakan dalam melancarkan
komunikasi. Contohnya seperti surat kabar yang sulit dicari sambungan kolomnya,
huruf yang buram pada surat, dan lain-lain.
1.1Bentuk Komunikasi
Pada dasarnya, Komunikasi terbagi menjadi 2 Jenis, yaitu, komunikasi verbal dan
nonverbal. Rahmat Hidayat dalam jurnalnya menjelaskannya sebagai berikut :
1. Komunikasi Verbal
Komunikasi Verbal (verbal communication) merupakan bentuk komunikasi yang
disampaikan kepada pihak lain melalui lisan (oral) dan tulisan (written). Berbincang
dengan orang, menelepon, berkirim surat, membacakan buku, melakukan presentasi
diskusi, atau menonton televisi merupakan contoh komunikasi verbal.
2. Komunikasi Non verbal
Komunikasi non verbal (nonverbal communication) merupakan bentuk komunikasi
yang menggunakan bahasa isyarat atau body language sebagai sarana berkomunikasi dengan orang lain. Contoh perilaku non verbal adalah mengepalkan tinju, menggigit
jari sendiri, membuang muka, tersenyum, menjabat tangan atau menggelengkan
2. Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah lisan
(oral) maupun tulisan (written). Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan antar manusia. Melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan,
emosi, pemikiran, gagasan, atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan
informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling
berdebat, dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan
penting.
Ada beberapa unsur penting dalam komunikasi verbal, yaitu:
1.Bahasa
Dalam Baryadi (2012:7), bahasa dapat dipahami dari tiga sudut pandang, yaitu dari
sudut pandang semiotika, fungsi dan pragmatik.
2.Kata
Kata merupakan unit lambang terkecil dalam bahasa. Kata adalah lambang yang
melambangkan atau mewakili sesuatu hal, baik orang, barang, kejadian, atau keadaan.
Jadi, kata itu bukan orang, barang, kejadian, atau keadaan sendiri. Makna kata tidak
ada pada pikiran orang. Tidak ada hubungan langsung antara kata dan hal. Yang
15
Komunikasi verbal mencakup aspek – aspek berupa:
a. Vocabulary (Perbendaharaan kata – kata). Komunikasi tidak akan efektif nila pesan disampaikan dengan kata – kata yang tidak dimengerti, karena itu olah kata
menjadi penting dalam berkomunikasi.
b. Fluency (Kecepatan). Komunikasi akan lebih efektif dan sukses bila kecepatan bicara dapat diatur dengan baik, tidak terlalu cepat atau terlalu lambat.
c. Intonasi suara. Mempengaruhi arti pesan secara dramatic sehingga pesan akan
menjadi lain artinya bila diucapkan dengan intonasi suara yang berbeda. Intonasi
suara yang tidak proposional merupakan hambatan dalam berkomunikasi.
d. Humor. Humor dapat meningkatkan kehidupan yang bahagia. Dengan tertawa
dapat membantu menghilangkan stress dan nyeri, tertawa mempunyai hubungan
fisik dan psikis dan harus diingat bahwa humor merupakan satu – satunya
selingan dalam berkomunikasi.
e. Singkat dan jelas. Komunikasi akan berjalan efektif dan efisien jika disampaikan
secara singkat dan jelas, langsung pada pokok permasalahannya, sehingga lebih
mudah dimengerti oleh penerima pesan.
f. Timing. Waktu yang tepat adalah hal kritis yang perlu diperhatikan. Berkomunikasi akan berarti bila seseorang bersedia untuk menjalin hubungan.
Arti kata, seseorang dapat menyediakan waktu untuk mendengar atau
Beberapa aspek komunikasi verbal ini dapat menjadi rujukan bagi peneliti untuk
membuat daftar pertanyaan wawancara atau pada saat observasi saat melakukan
penelitian di lapangan. Proses komunikasi verbal dapat dijelaskan dengan gambar
yang diadaptasi dari Brooks (1964:4) dalam Baryadi (2012:13) sebagai berikut:
Bagan 1. Proses Komunikasi Verbal dalam Baryadi (2012:13) adaptasi dari Brooks
(1964:4).
Pada gambar tersebut tampak bahwa dalam komunikasi verbal terlibat dua pihak,
yaitu penutur atau pembicara (speaker) dan mitra tutur atau penyimak (listener). Dua pihak yang terlibat dalam komunikasi itu disebut pula partisipan komunikasi. Proses
komunikasi verbal bermula dari penutur memiliki maksud (preverbal), kemudian
17
maksud dilambangkan (encoding) dan diucapkan (phonation) sehingga menghasilkan tuturan (utterance) yang menjadi transisi hubungan penutur dengan mitra tutur. Tuturan didengar (audition) dan ditafsirkan (decoding) oleh mitra tutur sehingga menghasilkan pemahaman maksud (postverbal).
3. Kekerasan Komunikasi Verbal
Menurut Murniati (2004:222) kekerasan adalah perilaku atau perbuatan yang terjadi
dalam relasi antar manusia, baik individu maupun kelompok, yang di rasa salah satu
pihak sebagai satu situasi yang membebani, membuat berat, tidak menyenangkan,
tidak bebas. Situasi yang disebabkan oleh tindak kekerasan ini membuat pihak lain
sakit baik secara fisik maupun psikis serta rohani. Menurut Hayati (2000:28)
kekerasan adalah semua bentuk perilaku, baik verbal maupun non verbal yang
dilakukan oleh seseorang sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional
dan psikologis terhadap orang yang menjadi sasaran.
Kekerasan verbal adalah kekerasan yang menggunakan bahasa, yaitu kekerasan yang
menggunakan kata-kata, kalimat, dan unsur-unsur bahasa yang lain. Djawanai
(2001:68-69) dan Baryadi (2012:36) menyatakan, “….. tindakan berbahasa adalah
bagian dari tingkah laku manusiawi dan dalam tingkah laku itu sangat mungkin orang
melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan sebagai serangan secara verbal, artinya
Kekerasan verbal selain diucapkan dengan nada yang tinggi, juga ditandai dengan
kelugasan pengungkapan serta kata-kata yang menyakitkan hati (kata-kata jorok atau
kata-kata makian yang merendahkan pihak lain). Contoh kekerasan verbal adalah
pada mahasiswa senior yang membentak mahasiswa juniornya, seorang atasan
memarahi bawahannya, seorang dosen meremehkan mahasiswanya, dan sebagainya.
Jenis-jenis Kekerasan Verbal:
Galtung (2002: 183-190) dan Salmi (2003: 29-42) dalam Baryadi (2012:37)
mengemukakan jenis-jenis kekerasan verbal menjadi empat jenis, yaitu:
1. Kekerasan verbal tidak langsung,
Kekerasan verbal tidak langsung adalah kekerasan verbal yang seketika itu juga
mengenai korban, tetapi melalui media atau proses berantai. Kekerasan verbal tidak
langsung misalnya terwujud dalam fitnah, stigmatisasi, dan penstereotipan
(stereotyping). Fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik,
merugikan kehormatan orang). Stigmasi adalah penciptaan stigma atau cap pada
individu arau kelompok, yaitu pemberian cirri negatif pada pribadi seorang atau
kelompok. Penstereotipan adalah penciptaan sereotip, yaitu konsepsi mengenai sifat
19
2. Kekerasan verbal langsung.
Kekerasan verbal langsung adalah kekerasan yang langsung mengena pada korban
pada saat komunikasi verbal berlangsung. Yang termasuk ke dalam kekerasan verbal
langsung adalah membentak, memaki, mencerca, mengancam, mengejek, menuduh, menghina, meremehkan, mengusir, menolak, menuntut, menghardik, memaksa, menantang, membentak, meneror, mengungkit-ungkit, mengusik, mempermalukan, menjebak, memarahi, menentang, mendiamkan, menjelek-jelekkan, mengolok-olok, mengata-ngatai, dan menyalahkan.
3. Kekerasan verbal represif
Kekerasan verbal represif merupakan kekerasan verbal yang menekan atau
mengintimidasi korban. Perwujudan kekerasan verbal antara lain adalah memaksa, menginstruksikan, memerintah, mengancam, menakut-nakuti, membentak, memarahi, mengata-ngatai, meneror, memprovokasi, dan sebagainya.
4. Kekerasan verbal alienatif
Kekerasan verbal alienatif adalah kekerasan yang bermaksud menjauhkan,
mengasingkan, atau bahkan melenyapkan korban dari komunitas atau masyarakatnya.
Yang termasuk kekerasan verbal alienatif adalah mendiamkan, mengucilkan, mendiskreditkan, menjelek-jelekkan, mempermalukan, dan sebagainya. Kekerasan verbal tidak langsung seperti memfitnah, stigmatisasi, penstereotipan, dan
3.1Faktor Kekerasan Verbal
Mengutip berita dari Kompas, sosiolog kriminal Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, Soeprapto menjelaskan faktor terjadinya kekerasan verbal sebagai
berikut;
1. Kekerasan terjadi karena pemahaman yang salah dalam
mendefinisikan konsep kedisiplinan sehingga kasus-kasus kekerasan
di lembaga pendidikan terus-menerus berulang.
2. Rasa balas dendam. Para mahasiswa yang setiap tahun mendapat
perlakuan keras dari para senior akhirnya mewariskan Dampak
kekerasan verbal.
3.2Dampak Kekerasan Verbal
Menurut Baryadi (2012:39) kekerasan verbal tidak berdampak pada kerusakan fisik,
tetapi berakibat pada luka psikis bagi korbannya. Oleh sebab itu, kekerasan verbal ini
sering digolongkan juga pada kekerasan psikologis (psychological violence). Kekerasan verbal dapat menyebabkan ketidakstabilan suasana psikologis bagi
penerimanya, seperti takut, kecewa, rendah diri, minder, patah hati, frustasi, tertekan,
sakit hati, murung, apatis, tidak peduli, bingung, malu, benci, dendam, ekstrim,
radikal, agresif, marah, depresi, gila, dan sebagainya. “Kata-kata adalah sesuatu yang
berbahaya, kata-kata itu bertuah dan ia memiliki kekuasaan dan kekuatan yang dapat
digunakan untuk melakukan kekerasan yang mungkin membawa akibat yang
21
Dampak psikologis tersebut hanya dirasakan oleh korbannya, sedangkan pelakunya
mungkin malah merasa “lega” bahkan nikmat karena beban emosinya sudah
diungkapkan. Selain menimbulkan dampak psikologis, kekerasan verbal yang
berhadapan dengan kekerasan verbal akan menimbulkan pertengkaran, “perang
mulut”, cekcok, atau konflik. Lebih jauh, pertengkaran dapat mengakibatkan
renggang atau retaknya kohesi sosial. Kecenderungan umum yang menjadi korban
kekerasan verbal adalah kelompok tidak dominan. Seperti siswa menjadi korban
kekerasan verbal gurunya atau kakak kelasnya, mahasiswa junior yang menjadi
korban kekerasan seniornya. Hal ini tidak berarti bahwa yang sebaliknya, bila yang
sebaliknya terjadi, mungkin kekerasan verbal tersebut merupakan “perlawanan”
kelompok tidak dominan terhadap kelompok dominan.
3.3Kekerasan Verbal sebagai Budaya
Perkembangan zaman dengan lahirnya istilah-istilah baru seperti globalisasi,
modernisasi, dan istilah-istilah lainnya tidak mampu menggeser kekerasan dari ranah
kehidupan sosial manusia. Kekerasan intelektual, kekerasan psikologi, kekerasan
fisik, dan kekerasan-kekerasan lainnya seakan-akan memiliki “hak paten” untuk
hidup dan berkembang bersama manusia. Beberapa fenomena kekerasan yang terjadi
seperti pada saat Propti / Makrab menunjukkan bahwa kekerasan seakan-akan
“memproklamirkan” diri sebagai salah satu unsur yang tidak bisa dipisahkan dari
Disadari atau tidak, kehidupan memang selalu berkaitan dengan hal-hal yang
kontradiktif, dan kekerasan termasuk di dalamnya.Kekerasan seakan telah
membudaya dalam rantai kegiatan yang melibatkan senior dan junior. Propti /
Makrab yang sarat aksi kekerasan terus diwariskan secara turun-temurun dan diterima sebagai sebuah tradisi oleh para mahasiswa.
4. Landasan Teori
4.1Teori Konvergensi Simbolik
Teori Konvergensi Simbolik pertama kali disampaikan oleh Ernest Bormann dalam
tulisannya yang berjudul “Fantasies and Rethorical Vision: The Rethorical Critism of
Social Reality”yang diterbitkan dalam Quarterly Journal of Speech 1972. Titik awal
teori ini adalah bahwa gambaran individu tentang realitas dituntun oleh cerita-cerita
yang menggambarkan bagaimana segala sesuatu diyakini ada. Cerita-cerita atau
tema-tema fantasi ini diciptakan dalam interaksi simbolis dalam kelompok-kelompok
lain untuk berbagi sebuah pandangan tentang dunia.
Teori ini menjelaskan bahwa solidaritas dan kohesifitas kelompok dapat tercapai
melalui kecakapan bersama dalam membaca dan menafsirkan berbagai macam tanda,
kode, dan teks budaya yang dapat mengarahkan pada terbentuknya realitas bersama
(shared reality). Teori konvergensi simbolik merupakan teori umum (general theory)
yang membahas fenomena pertukaran pesan yang akan memunculkan kesadaran
kelompok hingga berimplikasi pada hadirnnya makna, motif, dan perasaan bersama.
23
bagaimana orang-orang secara kolektif membangun kesadaran simbolik bersama
melalui pertukaran pesan.
Dalam teori ini, Borman dalam Payumi (2014;5) mengartikan istilah konvergensi
(convergence) sebagai suatu cara dimana dunia simbolik pribadi dari dua atau lebih individu saling bertemu, saling mendekati satu sama lain, atau kemudian saling
berhimpitan. Sedangkan istilah simbolik itu terkait dengan kecenderungan manusia
untuk untuk menafsirkan dan memaknai berbagai lambang, tanda, kejadian yang
sedang dialami, atau tindakan yang dilakukan manusia. Berkaitan dengan hal
tersebut, Bormann juga menyatakan bahwa manusia adalah symbol users yang berarti manusia menggunakan simbol dalam komunikasi secara umum maupun dalam
bercerita.
Pada saat kelompok berbagi simbol bersama akan mengakibatkan terjadinya meeting of mind dimana orang-orang mulai bergerak kearah penggunaan sistem simbol yang sama. Rasa saling pengertian yang terjadi di dalam kelompok akan menjadi dasar
terciptanya kesadaran bersama, kesamaan pikiran, perasaan tentang hal-hal yang
sedang diperbincangkan Payumi (2014;5)
Bormann Payumi (2014;5) menggunakan Fantasy Theme Analysis (FTA) sebagai metode untuk mengaplikasikan teori ini. Konsep “fantasi” dijadikan sebagai kata
kunci dalam teori ini. Ada beberapa istilah yang perlu dipahami untuk memahami
1. Fantasy Theme (Tema Fantasi)
Borman dalam Payumi (2014;6) megartikan tema fantasi sebagai sebagai isi pesan
yang di dramatisasi hingga menciptakan rantai fantasi. Sedangkan menurut
Miller(2002) dalam Payumi (2014;6) menjelaskan tema fantasi sebagai dramatisasi
pesan yang berupa lelucon, analogi, permainan kata, cerita, dan sebagainya yang
memompa semangat beinteraksi.
Dramatisasi pesan tidak terjadi dalam konteks tugas atau pekerjaan yang tengah
dihadapi atau peristiwa yang berorientasi pada “saat ini dan di sini”. Dramatisasi
pesan terjadi bila kelompok memperbincangkan peristiwa yang terjadi di luar
kelompok atau membicarakan peristiwa yang sama yang dialami anggota kelompok
pada masa lalu. Dramatisasi pesan juga terjadi ketika anggota kelompok berbicara
tentang hal-hal yang terkait dengan masa depan.
2. Fantasy Chain (Rantai Fantasi)
Rantai fantasi terbentuk ketika pesan yang didramatisasi oleh anggota kelompok
berhasil mendapat tanggapan dari anggota kelompok yang lainnya sehingga
meningkatkan intensitas dan kegairahan dari para partisipan dalam berbagi fantasi.
Rantai fantasi yang sudah terbentuk akan menciptakan konvergensi simbolik dan
landasan penyatuan makna bersama.
3. Fantasy Type (Tipe Fantasi)
Bormann mengartikan tipe fantasi sebagi tema-tema fantasi yang berulang dan
25
yang lain, namun dalam alur cerita yang sama. Jika kerangka narasi sama, tetapi
tokoh, karakter, atau settingnya berbeda, maka tema tersebut dapat dikelompokkan
dalam satu jenis fantasi yang sama. Sedangkan, jika terdapat beberapa tema fantasi
atau kerangka narasi yang berbeda, maka terdapat beberapa tipe fantasi.
Menurut Trenholm (1986 dalam Venus, 2007) dalam Payumi (2014;7) tipe fantasi
adalah kerangka narasi yang bersifat umum yang terkait dengan pertanyaan atau
masalah tertentu. Mereka yang telah berinteraksi lama akan mengembangkan
semacam symbolic cue atau petunjuk simbolis yang biasanya telah dipahami bersama oleh suatu anggota kelompok yang pada akhirnya akan menjadi inside joke di dalam kelompok tersebut.
4. Rhetorical Visions (Visi Retoris)
Tema-tema fantasi yang telah berkembang dan melebar keluar dari kelompok yang
mengembangkan fantasi tersebut pada awalnya akan berkembang menjadi visi
retosis. Perkembangan fantasi tersebut akan menjadi fantasi masyarakat luas dan
membentuk rhetorical community (komunitas retoris).
Dalam setiap analisis fantasi atau visi retoris yang lebih luas, selalu terdapat empat
Borman dalam (Payumi 2014; 8) menyebutkan dua asumsi pokok yang mendasari
teori konvergensi simbolik. Pertama adalah realitas diciptakan melalui komunikasi.
Dalam hal ini komunikasi-komunikasi dapat menciptakan realitas melalui pengaitan
kata-kata yang digunakan dengan pengalaman hidup atau pengetahuan yang
diperoleh. Kedua adalah makna individual terhadap simbol dapat mengalami
penyatuan (konvergensi) sehingga menjadi realitas bersama. Realitas menurut teori
ini dipandang sebagai susunan narasi atau cerita yang menerangkan bagaimana
sesuatu harus dipercayai oleh orang-orang yang terlibat didalamnya. Cerita tersebut
awalnya dibincangkan dalam kelompok dan kemudian disebarkan ke dalam
kelompok yang lebih luas atau masyarakat.
Tujuan dari teori konvergensi simbolik ini adalah berusaha menerangkan bagaimana
orang–orang secara kolektif membangun kesadaran simbolik bersama melalui suatu
proses pertukaran pesan. Kesadaran simbolik yang terbangun dalam proses tersebut
kemudian menyediakan semacam makna, emosi dan motif untuk bertindak bagi
orang-orang yang terlibat didalamnya. Adapun fungsi dari teori ini adalah untuk
mengurangi ketegangan di dalam suatu kelompok, menguatkan ikatan emosional
antara orang-orang yang terlibat di dalam suatu kelompok, dan menbentuk rantai
fantasi yang kohesif.
Asumsi dasar dari teori konvergensi simbolik ini dapat menjadi landasan dalam
membahas mengenai faktor dan dampak dari kekerasan verbal yang terjadi di
27
realitas diciptakan melalui komunikasi, komunikasi dapat menciptakan realitas yang
melalui pengaitan kata-kata yang digunakan dengan pengalaman hidup atau
pengetahuan yang diperoleh. Peneliti berasumsi bahwa kekerasan verbal yang terjadi
merupakan sebuah kebiasaan yang menjadi budaya karena dilakukan secara terus
menerus dengan memberikan sebuah contoh pengalaman yang lalu secara persuasif.
4.2 Konsep The Banality of Evil Hannah Arendt.
Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy menerangkan, Hannah Arendt adalah seorang filsuf politik ternama di abad keduapuluh. Ia lahir pada 1906 di Hanover,
Jerman, dan meninggal di New York pada 1975. Pada 1924 ia belajar di Universitas
Marburg, Jerman, dan berjumpa dengan Martin Heidegger. Pada masa itu Heidegger
sudah dikenal sebagai salah satu filsuf besar di dalam Sejarah Filsafat. Pemikirannya
tentang fenomenologi ada (phenomenology of being) memicu diskusi filosofis di berbagai universitas di Eropa dan Amerika. Walaupun sebentar perjumpaan Arendt
dengan Heidegger amat mempengaruhi pemikiran filsafat Arendt. Kisah cinta mereka
pun menjadi legendaris di kalangan para filsuf, sampai sekarang ini. Ia belajar di
Marburg selama setahun, lalu pindah ke Freiburg. Di Freiburg Arendt belajar di
bawah Edmund Husserl. Pada 1926 ia pindah ke Universitas Heidelberg untuk belajar
di bawah Karl Jaspers, seorang filsuf Jerman ternama. Arendt dan Jaspers menjalin
persahabatan yang amat dekat dan panjang. Pada 1933 karena Hitler memperoleh
pergi ke Polandia, Swiss, dan kemudian Paris, Prancis. Di sana ia tinggal selama 6
tahun, dan bekerja sebagai pendamping para pengungsi.
Pada 1941 Arendt dipaksa untuk keluar dari Paris, dan pindah ke New York, Amerika
Serikat bersama keluarganya. Di New York Arendt langsung terlibat di dalam dunia
intelektual di sana, dan berpartisipasi di dalam pembuatan jurnal ilmu-ilmu sosial
yang amat berpengaruh pada masa itu, yakni Partisan Review. Setelah perang dunia kedua berakhir, ia menjadi dosen, dan mengajar di beberapa universitas di Amerika.
Diantaranya adalah Princeton, Berkeley, dan Chicago. Namun Arendt sendiri lebih
dikenal sebagai salah satu pemikir New School of Social Research. Ia menjadi
professor filsafat politik di sana sampai pada 1975. Ia juga menghasilkan buku-buku
filsafat yang amat inspiratif, mulai dari The Origins of Totalitarianism, Eichmann in Jerusalem, dan The Human Condition.
Eichmann in Jerusalem “A Report on the Banality of Evil” akan menjadi landasan
dalam fokus peneliti membahas mengenai Banalitas Kejahatan (the banality of evil), yang didasarkan pada persidangan Adolf Eichmann di Jerusalem. Seorang tentara
Nazi yang melarikan diri di Argentina. Ia dibawa ke Israel untuk diadili atas
kejahatannya selama perang dunia kedua terkait dengan pembunuhan orang-orang
Yahudi di kamp-kamp konsentrasi Jerman. Tugas utamanya sebagai prajurit adalah
mengatur transportasi jutaan orang Yahudi dari seluruh Eropa ke dalam kamp-kamp
konsentrasi buatan Nazi. Dan dalam hal ini, ia menjalankan tugasnya dengan amat
baik. Setelah perang usai ia pergi ke Argentina, dan hidup sebagai orang biasa dengan
29
diam. Pemerintah Israel tidak berhasil melakukan perundingan terkait dengan
extradisi tahanan dari Argentina. Intel mereka pun bermain. Setelah Eichmann
sampai Israel, pemerintah Israel membuka sebuah sidang publik yang bersifat
terbuka.
Hannah Arendt mendengar berita itu. Ia pun mengajukan diri sebagai reporter atas
pengadilan itu kepada editor kepalanya di The New Yorker, William Shawn. Shawn menyetujuinya. Arendt pun pergi ke Yerusalem untuk meliput sidang Eichmann
tersebut mulai dari 11 April 1961 sampai 14 Agustus 1961.
Setelah mengikuti siding tersebut sampai selesai, Hannah Arendt menilai bahwa
orang-orang biasa, dengan wajah dan pikiran yang seringkali amat lurus, mampu
melakukan kejahatan brutal terhadap manusia lainnya, tanpa merasa benci ataupun
merasa bersalah. Pandangannya ini ditulis di dalam publikasi hasil laporan terhadap
siding tersebut yang diterbitkan pada 1963 dengan judul Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil”.
Argument Hannah Arendt dalam bukunya mengenai banalitas kejahatan yaitu suatu
kondisi dimana kekerasan tidak lagi dianggap sebagai kekerasan, melainkan sebagai
sesuatu yang wajar dan biasa saja. Bahwa apa yang tertanam dalam orang-orang yang
bersejarah. Inilah apa yang dilihat dan ditangkap Arendt melahirkan suatu gagasan
tentang kekerasan yang banal atau kekerasan yang wajar.1
Hasil pengamatan Arendt mengenai Eichmann bahwa ia bukanlah orang yang bodoh,
yang menjadi penyakit adalah ketidak berpikiran. Tidak berpikir berbeda sama sekali
dengan bodoh. Orang bisa saja amat cerdas, namun tidak menggunakan
kecerdasannya itu secara maksimal untuk berpikir secara menyeluruh. Dan karena
tidak berpikir, ia seringkali tidak sadar bahwa tindakannya itu merupakan suatu
kejahatan. Maka salah satu hal yang mendasar yang dibutuhkan untuk menjadi
penjahat adalah ketidakberpikiran. Ketidakberpikiran membuat suatu tindakan
menjadi terasa wajar, termasuk tindakan yang mengerikan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Arendt dalam Stanford encyclopedia of philosophy. Hal yang dapat menjadi pelajaran dari pengadilan Eichmann di Yerusalem, ketidakberpikiran adalah sisi gelap manusia yang menjadi sumber dari
lahirnya kejahatan. Arendt yakin banyak orang seperti Eichmann. Mereka bukan
orang gila, bukan orang kejam. Mereka hanyalah orang-orang yang amat normal, dan
karena normalitasnya, mereka menjadi menakutkan. Mereka adalah orang-orang yang
tidak berpikir.2
1….Einchmann was ambitious and eager to rise in the ranks,…. It was his “banality” that predisposed
him to become one of the greatest criminals of his time, Arendt Claims. (Arrendt,Hannah.2006.
Eichmann in Jerusalam, A Report on the Banality of Evil. USA:Penguin Group. Hal15)
2“
He was not stupid. It was sheer thoughtlessness – something by no means identical with stupidity –
that predisposed him to become one of the greatest criminals of that period.”
31
Konsep the banality of evil peneliti gunakan untuk menganalisis kekerasan verbal yang dilakukan oleh senior terhadap junior pada mahasiswa Teknik Sipil Universitas
Lampung. Mereka adalah mahasiswa berpendidikan, cerdas tapi tindakan kekerasan
yang dilakukan pada masa Propti dan Makrab tidak menunjukkan mereka adalah
mahasiswa terdidik. Mereka menganggap kekerasan yang mereka lakukan adalah hal
yang wajar, karena alasan satu dan lain hal yang menjadi latarbelakang mereka
melakukan kekerasan verbal terhadap mahasiswa baru. Bagaimanapun, kekerasan
adalah hal yang tidak baik.
Konsep ini menerangkan seseorang melakukan kekerasan adalah bukan karena
mereka bodoh atau tidak cerdas, melainkan mereka yang malas berfikir kritis
cenderung irasional. Peneliti berasumsi bahwa kekerasan verbal yang terjadi pada
masa Propti atau Makrab di jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung. Bukan karena
mereka tidak cerdas, hanya saja mereka malas berfikir, ikut terlibat langsung dalam
tindak kekerasan verbal karena ingin berkontribusi terhadap sebuah kegiatan yang
menjadi tradisi dan akan menjadi sejarah di jurusan Teknik Sipil Universitas
Lampung
.
5. Tinjauan tentang Mahasiswa
5.1Definisi Mahasiswa
Mahasiswa atau Mahasiswi adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani
pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi. Mahasiswa secara
akademi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah mereka yang
sedang belajar di perguruan tinggi. Mahasiswa dapat didefinisikan sebagai individu
yang sedang menuntut ilmu ditingkat perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta
atau lembaga lain yang setingkat dengan perguruan tinggi. Mahasiswa dinilai
memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan dalam berpikir dan
keerencanaan dalam bertindak. Berpikir kritis dan bertindak dengan cepat dan tepat
merupakan sifat yang cenderung melekat pada diri setiap mahasiswa, yang
merupakan prinsip yang saling melengkapi.
Mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi otomatis dapat disebut
sebagai mahasiswa. Mahasiswa dalam sebuah perguruan tinggi di klasifikasikan
menjadi 2. Mahasiswa senior dan mahasiswa senior, Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pengertian mahasiswa senior adalah individu yang lebih matang dalam
pengalaman dan kemampuan serta usia, sedangkan mahasiswa junior adalah individu
yang lebih muda dalam kedudukan, keanggotaannya, serta usia. Tetapi pada dasarnya
makna mahasiswa tidak sesempit itu. Terdaftar sebagai pelajar di sebuah perguruan
tinggi hanyalah syarat administratif menjadi mahasiswa. Menjadi mahasiswa
mengandung pengertian yang lebih luas dari sekedar masalah administratif. Kualitas
berikutnya yang harus dimiliki mahasiswa adalah kreativitas.
Definisi dari kreativitas atau kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan untuk
membuat produk atau kombinasi baru berdasarkan data atau informasi yang tersedia,
dilakukan melalui kegiatan menemukan berbagai kemungkinan solusi serta
33
dan mengevaluasi kemungkinan-kemungkinan kombinasi baru yang dihasilkan.
Menyandang gelar mahasiswa merupakan suatu kebanggaan sekaligus tantangan.
Betapa tidak, ekspektasi dan tanggung jawab yang diemban oleh mahasiswa begitu
besar. Pengertian mahasiswa tidak bisa diartikan kata per kata, Mahasiswa adalah
Seorang agen pembawa perubahan. Menjadi seorang yang dapat memberikan solusi
bagi permasalahan yang dihadapi oleh suatu masyarakat bangsa di berbagai belahan
dunia.
5.2Karakteristik Mahasiswa
Karakteristik mahasiswa secara umum yaitu stabilitas dalam kepribadian yang mulai
meningkat, karena berkurangnya gejolak - gejolak yang ada didalam perasaan.
Mereka cenderung memantapkan dan berpikir dengan matang terhadap sesuatu yang
akan diraihnya, sehingga mereka memiliki pandangan yang realistik tentang diri
sendiri dan lingkungannya.
Selain itu, para mahasiswa akan cenderung lebih dekat dengan teman sebaya untuk
saling bertukar pikiran dan saling memberikan dukungan, karena dapat kita ketahui
bahwa sebagian besar mahasiswa berada jauh dari orang tua maupun keluarga.
Karakteristik mahasiswa yang paling menonjol adalah mereka mandiri, dan memiliki
prakiraan di masa depan, baik dalam hal karir maupun hubungan percintaan. Mereka
akan memperdalam keahlian dibidangnya masing-masing untuk mempersiapkan diri
5.3Peran dan Fungsi Mahasiswa
Sebagai mahasiswa berbagai macam labelpun disandang, ada beberapa macam label
yang melekat pada diri mahasiswa, misalnya:
1. Direct Of Change, mahasiswa bisa melakukan perubahan langsung karena sumber daya manusianya yang banyak.
2. Agent Of Change, mahasiswa agen perubahan, maksudnya sumber daya manusia untuk melakukan perubahan.
3. Iron Stock, sumber daya manusia dari mahasiswa itu tidak akan pernah habis. 4. Moral Force, mahasiswa itu kumpulan orang yang memiliki moral yang baik. 5. Social Control, mahasiswa itu pengontrol kehidupan sosial,contoh mengontrol kehidupan sosial yang dilakukan masyarakat.
Namun secara garis besar, setidaknya ada 3 peran dan fungsi yang sangat penting
bagi mahasiwa, yaitu :
Pertama, peranan moral, dunia kampus merupakan dunia di mana setiap mahasiswa dengan bebas memilih kehidupan yang mereka mau.
Disinilah dituntut suatu tanggung jawab moral terhadap diri masing-masing sebagai
indidu untuk dapat menjalankan kehidupan yang bertanggung jawab dan sesuai
dengan moral yang hidup dalam masyarakat.
35
hanya bermanfaat untuk dirinya sendiri tetapi juga harus membawa manfaat bagi
lingkungan sekitarnya.
Ketiga, adalah peranan intelektual. Mahasiswa sebagai orang yang disebut-sebut sebagai insan intelek haruslah dapat mewujudkan status tersebut dalam ranah
kehidupan nyata. Dalam arti menyadasri betul bahwa fungsi dasar mahasiswa adalah
bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik
dengan intelektualitas yang ia miliki selama menjalani pendidikan.
6. Kerangka Pemikiran
Mahasiswa merupakan aset bangsa yang kelak akan menjadi generasi penerus dalam
pembangunan bangsa, sedangkan perguruan tinggi menjadi wahana bagi mahasiswa
untuk berkembang dan belajar. Lingkungan perkuliahan dan interaksi antar
mahasiswa, menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan mahasiswa di
Perguruan Tinggi. Dari beberapa kasus yang terjadi di kalangan mahasiswa seperti
pada saat propti, kekerasan tersebut terbawa sampai ke dalam kegiatan sehari–hari di
kampus. Penelitian ini dilakukan untuk mengamati interaksi antar mahasiswa senior
dengan mahasiswa junior, dan bentuk kekerasan verbal yang di lakukan oleh
mahasiswa senior terhadap junior, serta faktor yang menyebabkan terjadinya
kekerasan verbal dan dampaknya bagi mahasiswa junior.
Teori konvergensi simbolik dan konsep The banality of evil, menjadi landasan teori dalam penelitian ini, teori konvergensi simbolik untuk menerangkan bagaimana
dampaknya. Dan konsep the banality of evil adalah untuk menguraikan kekerasan yang dianggap wajar oleh pelakunya. Dari uraian kerangka pikir di atas, peneliti
merumuskan bagan kerangka pikir sebagai berikut:
6.1Bagan Kerangka Pikir
Bagan 2. Kerangka Pikir
MAHASISWA SENIOR MAHASISWA JUNIOR
KEKERASAN KOMUNIKASI VERBAL
1. Kekerasan verbal Senior terhadap Junior pada masa Propti dan Makrab.
2. Faktor penyebab kekerasan verbal pada masa Propti dan Makrab
3. Dampak yang ditimbulkan dari kekerasan komunikasi verbal.
4. Kekerasan dianggap hal yang wajar.
Konsep The Banality of
Evil
TEORI KONVERGENSI
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.
Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma
menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga
bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa
perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epistemologis yang panjang.
Paradigma yang digunakan di dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis.
Paradigma konstruktivis adalah paradigma yang hampir merupakan antithesis dari
paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu
realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai
analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memelihara
/ mengelola dunia sosial mereka.
Para peneliti konstruktivis mempelajari berbagai realita yang terkonstruksi oleh
lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan
demikian, penelitian dengan strategi ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil
individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut.
Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya dengan
paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Dalam level
ontologi, Paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi
realitas bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam
epistemologi, Peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa
menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Serta dalam metodologi,
paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan
menggabungkannya dalam sebuah konsensus. Proses ini melibatkan aspek dialektik,
dimana dialektik merupakan penggunaan dialog sebagai pendekatan agar subjek yang
diteliti dapat ditelaah pemikirannya dan membandingkannya dengan cara berfikir
peneliti. Dengan begitu, harmonitas komunikasi dan interaksi dapat dicapai dengan
maksimal.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan paradigma konstruktivis untuk
mengetahui pengalaman dan perasaan yang didapatkan oleh junior dari seniornya
dalam interaksi pergaulan di perkuliahan dunia kampus sehari – hari.
B. Pendekatan Penelitian
39
seorang peneliti untuk menginterpretasikan dan menjelaskan suatu fenomena secara
holistik dengan menggunakan kata-kata, tanpa harus bergantung pada sebuah angka.
Penelitian kualitatif dapat didefinisikan sebagai metodologi kualitatif yang mengacu
pada strategi penelitian, seperti observasi partisipan, wawancara mendalam,
partisipasi ke dalam aktifitas mereka yang diselidiki, kerja lapangan dan sebagainya,
yang memungkinkan peneliti memperoleh informasi mengenai masalah sosial empiris
yang hendak dipecahkan.
Pendekatan kualitatif berusaha untuk memahami makna peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan kegiatan subyek di lapangan secara utuh, penelitian ini juga
memahami secara langsung obyek yang diteliti di lapangan secara ilmiah dalam
rangka memperoleh data-data penelitian.
Dalam hal ini peneliti sebagai key instrument, kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif yakni ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana pengumpul data,
analisis, penafsir data dan pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitian. Pencari
tahu alamiah dalam pengumpulan data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai
alat pengumpul data.
Pendekatan kualitatif digunakan dengan beberapa pertimbangan:
Pertama, menyesuaikan pendekatan kualitatif lebih mudah apabila berhadapan
dengan kenyataan ganda.
Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti
Ketiga, pendekatan ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan
banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola – pola nilai yang
dihadapi. Penelitian kualitatif menyusun desain yang secara terus menerus
disesuaikan dengan kenyataan di lapangan; tidak harus menggunakan desain yang
telah disusun secara ketat atau kaku, sehingga tidak dapat diubah lagi.
Ciri – ciri penelitian kualitatif:
a) Latar alamiah berada pada suatu keutuhan, yang tidak dapat dipahami
apabila dipilah – pilah dari konteksnya. Konteks sangat menentukan di
dalam menetapkan suatu penemuan hasil penelitian memiliki arti bagi
konteks yang lainnya; struktur nilai yang muncul pada konteks bersifat
determinasi terhadap apa yang hendak dicari dari hasil penelitian.
b) Instrument penelitian kualitatif menekankan pada “manusia” karena hanya
manusia yang memahami keterhubungan antara kenyataan – kenyataan
empiris di “lapangan” di dalam posisi ini peneliti mengambil peran untuk
terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan dari objek yang ditelitinya.
c) Terdapat hubungan yang intern dan intim antara peneliti dengan informan
di dalam upaya memperoleh pemahaman yang utuh tentang sesuatu
permasalahan yang sedang di kaji. Menempatkan informan sebagai
makhluk yang dinamis di dalam pemikiran dan perasaan pada perilaku,
cara pandang dan sikap terhadap keadaan yang dihadapi.
d) Analisis kualitatif bersifat induktif, yaitu lebih mengedepankan pada
penemuan – penemuan yang bersifat multi dari lapangan penelitian atau
41
e) Khasanah teori yang dibangun didasari pada pemikiran – pemikiran
terbuka pada kenyataan – kenyataan ganda yang dipertimbangkan serba
mungkin dihadapi dan ditemui di lapangan penelitian.
f) Data – data yang dikumpulkan dan diolah berupa kata – kata, gambar, dan
bukan angka – angka sebagai suatu kepastian bagi sebuah penyimpulan
keadaan.
g) Penelitian kualitatif lebih mengutamakan segi proses daripada output dan dimungkinkan bahwa dengan proses akan terlihat hubungan – hubungan
yang jelas dari objek yang sedang diteliti dan dapat memberikan gambaran
pemaknaan yang utuh.
h) Penelitian kualitatif mendefinisikan validitas, realibilitas, objektivitas
dalam versi lain dibandingkan penelitian klasik, desainnya pun bersifat
sementara, artinya pembuatan desain bersifat terus menerus yang
disesuaikan dengan kenyataan di lapangan.
C. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif dengan melakukan
pengamatan langsung atau observasi, wawancara dan dokumentasi. Metode deskriptif
adalah metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai situasi atau kejadian,
sehingga berkehendak mengadakan akumulasi data dasar.