Tindak Pidana di Indonesia Masih Tinggi,
Ini Penyebabnya
(
Headline
Kompasiana 24 Oktober 2014)
HL | 24 October 2014 | 08:14 | Lihat di Beta Dibaca: 886 Komentar: 18 11
Ilustrasi perampokan. (Shutterstock)
Hingga saat ini, jumlah tindak pidana yang terjadi di Indonesia masih menjadi tantangan tersendiri. Tindak pidana memang tidak akan pernah musnah selama terdapat kesenjangan sosial dan ekonomi suatu negara. Tingkat tindak pidana sejatinya merupakan sebuah indikator penentu mengenai kualitas keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat sehingga besar kecilnya tindak pidana juga mendeskripsikan besar kecilnya tingkat penanganan keamanan serta besar kecilnya tingkat kesenjangan sosial dan ekonomi masyarakat.
Seperti halnya kemiskinan, sampai sejauh ini, pemerintah Indonesia telah berupaya dan bekerja keras dalam menangani segala bentuk tindak pidana yang terjadi. Tetapi, pemerintah hanya bisa menekan atau meminimalisirnya, tidak sampai mampu memusnahkanya. Selama kesejateraan sosial dan
dengan pernyataan Anwar (2009) bahwa khusus dalam bidang sosial
ekonomi, kemiskinan memiliki korelasi yang positif terhadap tingkat perbuatan kriminal (tindak pidana). Demikian juga ketimpangan pendapatan. Semakin timpang pendapatan, maka semakin tinggi peluang seseorang untuk
melakukan tindak kriminal (pidana). Masalah pengangguran juga memicu tindak kriminal (pidana). Semakin besar pengangguran, khususnya
pengangguran yang tidak sukarela, maka semakin tinggi peluang tindak kriminalitas.
Kondisi terakhir mengenai tindak kriminal yang terekam dalam data tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga mengalami kenaikan.
Jumlah Tindak Pidana, Angka Kemiskinan, dan Tingkat Pengangguran Terbuka Indonesia (diolah), sumber : Statistik Indonesia 2014, Dok.Pri
sumber datanya juga berbeda. Maka, selanjutnya bisa dilihat mengenai kondisi data Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Indonesia. Pada tahun 2011, tercatat angka TPT mencapai 6,6 persen, dan pada tahun 2012 tampak sejalan dengan penurunan tingkat tindak pidana yang terjadi di Indonesia menjadi 6,1 persen atau turun sebesar 0,5 persen. Dan sinkronitas kondisi ini kembali terdeteksi pada tahun 2013 kemarin, angka TPT Indonesia kembali naik sebesar 0,1 persen menjadi 6,2 persen. Sampai disini, kita perlu
mengetahui konsep dan definisi mengenai apa itu pengangguran terbuka dahulu.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengadopsi langsung konsep dan definisi dari kesepakatan internasional International Labour
Organization (ILO), pengangguran terbuka adalah merupakan bagian dari angkatan kerja yang tidak bekerja atau sedang mencari pekerjaan (baik bagi mereka yang belum pernah bekerja sama sekali maupun yang sudah penah berkerja), atau sedang mempersiapkan suatu usaha, mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan dan mereka yang sudah memiliki pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Artinya, dalam pengangguran terbuka memang terdapat penduduk angkatan kerja yang secara sukarela menganggur dahulu untuk menunggu mendapatkan pekerjaan yang layak atau sesuai dengan bidang keahliannya. Inilah benang merah yang berpautan dengan pernyataan Anwar (2009) mengenai korelasi yang positif antara tindak pidana, kemiskinan, dan pengangguran tersebut.
Secara teori mungkin masih belum dapat dibuktikan, tetapi fenomena tersebut memang realitanya terjadi di beberapa daerah di Indonesia, misal di daerah Gunung Kidul, DIY. Beberapa tahun kemarin, ketika penulis melakukan sebuah penelitian lapangan bersama teman-teman penulis mengenai ketahanan pangan di Gunung Kidul, terdapat beberapa kenyataan yang
mengejutkan berkaitan dengan teori hubungan kemiskinan dan tindak pidana. Suatu ketika penulis mendapati bahwa daerah Gunung Kidul pada waktu itu tengah musim panen padi hasil pertanian dan perkebunannya. Penulis
sempat bertanya kepada beberapa warga Gunung Kidul, “Pak, Bapak
penghasilannya berasal darimana saja, Pak ?”, dan rata-rata menjawab,
“Saya hanya mengandalkan hasil panen sawah dan kebun saya”. Penulis bertanya lagi soal ketahanan pangannya, “Sampai kapan persediaan beras
Bapak cukup untuk memenuhi pangan keluarga Bapak ?”, dan rata-rata
menjawab, “Ya, kami biasanya menyimpan stok beras untuk keluarga
kami, Mas. Kalau lauk, biasanya kami hanya mengambil sayuran dari hasil
“Lho…Pak, disini kok sepeda motor sembarangan parkirnya, ini sepeda siapa
dan kemana orangnya ?”. Memang saat itu terdapat beberapa buah sepeda
motor di jalan yang secara sembarangan diparkir. Dan rata-rata warga
menjawab, “Di sini aman sekali Mas, jarang terjadi pencurian begitu. Entah
kemana orangnya mungkin ke sawahnya. Di sini memang begitu, karena aman, warga biasanya ya seenaknya memarkir kendaraannya dimana pun
tanpa rasa khawatir bakal dicuri atau apa.”
Dari fenomena tersebut, memang dapat ditarik sebuah hipotesis bahwa ketika kondisi masyarakat itu makmur, minimal kebutuhan perutnya itu terpenuhi alias selalu kenyang dan berkelanjutan terpenuhinya, maka tingkat tindak pidana akan berkurang. Sebab, secara umum situasi sosial dan kondisi ekonomi yang sulit akan menjadi motif - motif bagi seseorang untuk melakukan tindakan kriminal (pidana). Ketimpangan ekonomi yang besar akan mendeskripsikan banyaknya permasalahan kesejahteraan dan
ketenagakerjaan yang berdampak langsung pada besar kecilnya peluang - peluang tindak pidanan yang terjadi.
Oleh karena itu, masalah perut adalah yang paling utama untuk diperhatikan oleh seluruh pihak, terutama pemerintah sebagai pengambil dan
pengeksekusi kebijakan. Orang yang lapar sangat rentang mencuri karena keteerpaksaan. Begitu pula orang yang pengangguran tak ada masukan untuk bekal ia makan sehingga pelampiasan melakukan tindakan