• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat Pengetahuan Pasien dan Rasionalitas Swamedikasi di Empat Apotek Kecamatan Medan Marelan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat Pengetahuan Pasien dan Rasionalitas Swamedikasi di Empat Apotek Kecamatan Medan Marelan"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)

Lampiran5. Lembar Penjelasan Dan Persetujuan responden

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBJEK

PENELITIAN

Selamat pagi/siang bapak/ibu

Pada saat ini, saya Ita Mellina sedang menjalani pendidikan S-1 Reguler di Fakultas Farmasi USU, ingin menjelaskan kepada Bapak/ Ibu tentang penelitian yang akan saya lakukan tentang “Tingkat Pengetahuan Pasien Dan Rasionalitas Swamedikasi di Empat Apotek Kecamatan Medan Marelan“.

Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui tingkat pengetahuan dan rasionalitas pengobatan sendiri yang sedang/pernah dilakukan. Mengetahui tingkat pengetahuan pasien tentang pengobatan penting dilakukan untuk menunjang pengobatan yang rasional. Mengetahui tingkat kepatuhan pasien sangat penting terutama agar tidak terjadi kesalahan pengobatan.

Saya akan memberikan kuesioner yang berisi tentang data demografis Bapak/ Ibu dan juga kuesioner tentang pengetahuan dan rasionalitas swamedikasi.Penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi Bapak/ Ibu sekalian. Keikutsertaan Bapak/ Ibu dalam penelitian ini adalah sukarela. Kerahasiaan data Bapak/ Ibu juga akan saya jaga. Bila keterangan yang saya berikan kurang jelas, Bapak/ Ibu dapat langsung bertanya kepada saya. Setelah Bapak/ Ibu memahami hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan Bapak/ Ibu yang terpilih pada penelitian ini dapat mengisi dan menandatangani lembar persetujuan penelitian. Atas bantuan dan kerjasama Bapak/ Ibu, saya ucapkan terimakasih.

Nama : Ita Mellina No. HP: 085270699678

Medan, April 2016

(9)

LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

( INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama :

Umur : tahun Alamat :

Setelah mendapat penjelasan secukupnya dari penelitian yang berjudul“Tingkat Pengetahuan Pasien Dan Rasionalitas Swamedikasi di Empat Apotek Kecamatan Medan Marelan”, dan memahami bahwa subjek dalam penelitian ini sewaktu-waktu dapat mengundurkan diri dan tanpa paksaan dalam keikutsertaannya, maka saya setuju ikut serta dalam penelitian ini dan bersedia berperan serta dengan mematuhi semua ketentuan yang telah disepakati.

Medan, April 2016

Mengetahui, Yang menyatakan,

Peneliti, Peserta Penelitian

(Ita Mellina) ( )

Lampiran 6. Kuesioner Penelitian.

Kuesioner Tingkat Pengetahuan Pasien dan Rasionalitas Swamedikasi di Apotek Kecamatan Medan Marelan

Beri Tanda ( X ) Pada Salah Satu Pilihan

I. PENDAHULUAN

1. Apakah saudara/i/bapak/ibu pernahkah meminum obat yang dibeli tanpa resep dokter ?

a. Ya b. Tidak

(jika jawaban anda “Tidak” maka berhenti sampai disini) 2. Dimanakah saudara/i/bapak/ibu memperoleh obat tersebut ?

a. Apotek d. Supermarket

(10)

3. Dimanakah saudara/i/bapak/ibu memperoleh informasi mengenai obat yang dibeli tersebut ?

a. Iklan dari media cetak/elektronik

b. Pengalaman penggunaan obat pribadi/keluarga

c. Petugas kesehatan (dokter,apoteker,perawat,bidan,mantri) d. Saran dari orang lain

e. Lainnya, sebutkan...

II.PENGETAHUAN SWAMEDIKASI

1. Benarkah arti kata swamedikasi adalah mengobati penyakit/gejala dengan menggunakan obat tanpa resep dokter ?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

2. Apakah obat-obat yang memiliki tanda lingkaran warna hijau/biru pada kemasannya adalah obat-obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter ?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

3. Apakah dosis obat/jumlah obat yang diminum anak-anak sama dengan dosis/jumlah obat yang diminum oleh orang dewasa?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

4. Apakah obat-obat yang boleh dibeli tanpa resep dokter selalu diminum tiga kali sehari ?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

5. Jika dosis obat adalah tiga kali sehari, apakah berarti obat seharusnya diminum setiap delapan jam?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

6. Apakah benar pengertian dari indikasi obat adalah “kegunaan dari suatu obat”?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

7. Apakah benar maksud dari kontraindikasi obat adalah “keaadan yang tidak memperbolehkan suatu obat digunakan oleh seseorang”?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

8. Apakah benar pengertian dari efek samping obat adalah “efek yang tidak diinginkan dan muncul ketika suatu obat digunakan pada takaran normal”?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

9. Apakah benar pengertian dari interaksi obat adalah “kejadian dimana kerja suatu obat diubah/dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan” ?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

10. Apakah setiap obat harus disimpan dalam kemasan aslinya?

a. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

11. Apakah salah satu tugas apoteker adalah memberikan informasi penggunaan obat yang lengkap?

b. Ya b. Tidak c. Tidak tahu

III. RASIONALITAS SWAMEDIKASI

1. Obat tanpa resep dokter apa yang Saudara/I/Bapak/Ibu minum ? Nama obat :...

2. Saudara/I/Bapak/Ibu menggunakan obat diatas untuk mengobati :...

3. Bagaimana cara Saudara/I/Bapak/Ibu meminum obat tersebut ? *Jumlah obat 1 x minum :...

(11)

*Kapan diminum :

4. Sampai berapa lama anda menggunakan obat anda diatas ? a. Jika sakit

b. Terus menerus

c. ...kali/hari/minggu/bulan/tahun d. Lainnya, harap tulis...

5. Selama menggunakan obat tersebut, pernahkah merasakan gejala-gejala atau efek samping seperti berikut ?

a. Muntah f. Diare/sembelit

b.Nyeri lambung g. Alergi (gatal-gatal,ruam kuli)t c. Jantung berdebar debar h. Sesak nafas

d. Mengantuk i. Tidak ada efek samping

e. Tidak tahu j. Lainnya, sebutkan:... 6. Apakah Saudara/I/Bapak/Ibu juga memiliki penyakit lain/kondisi tertentu

(hamil/menyusui bagi perempuan) ketika meminum obat tersebut ?

a. Ya, sebutkan (penyakitnya/kondisinya):... b. Tidak

7. Apakah pada pengobatan sendiri anda menggunakan lebih dari satu jenis obat (kombinasi obat) ?

a. Ya, sebutkan nama obat dan jarak waktu minumnya... b. Tidak

(jika jawaban “Ya”, lanjut ke no.8) (jika jawaban “Tidak”, berhenti disini)

8. Apakah Saudara/I/Bapak/Ibu meminum obat-obat pada soal no.7 hanya untuk mengobati satu macam penyakit ?

a. Ya, sebutkan keluhan/penyakit yang diobati. b. Tidak,sebutkan keluhan/penyakit yang diobati.

VI. DATA DEMOGRAFI

1. Nama :...

6. Pendidikan terakhir:

a. Tidak tamat SD d. SMA/SMK/MA

b. SD e. Perguruan tinggi (medis/non-medis) c. SMP/MTs

7. Pekerjaan

(12)

b. Karyawan c. Guru

d. Mahasiswa (medis/non-medis) e. Tenaga kesehatan

(13)

Lampiran 7. Hasil Uji Statistika.

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada bagian kedua yaitu pada bagian pengetahuan swamedikasi.

a) Uji validitas Hipotesis :

H0 = tidak ada hubungan antara soal 1-soal 11 dengan variabel total H1 = ada hubungan antara soal1-soal -soal 11 dengan variabel total Cara pengambilan keputusan :

α= 0,05(nilai Sig.(2-tailed))

i. Jika p>α, H0 diterima dan kuisioner dinyatakan tidak valid ii. Jika p<α, H0 ditolak dan kuisioner dinyatakan valid

Keseluruhan butir soal memiliki nilai p<α. Dengan demikian, kuisioner

dinyatakan valid. b) Uji Reliabilitas

i. Jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,600, maka kuisioner dinyatakan reliabel

ii. Jika nilai Cronbach’s Alpha < 0,600, maka kuisioner dinyatakan tidak reliabel.

Nilai Cronbach’s Alpha yang diperoleh adalah (0,694), maka kuisioner ini dinyatakan reliabel.

Uji validitas dan reliabilitas dilakukan pada bagian ketiga yaitu pada bagian rasionalitas swamedikasi.

a. Uji validitas Hipotesis :

(14)

H1 = ada hubungan antara soal1-soal -soal 8 dengan variabel total Cara pengambilan keputusan :

α= 0,05(nilai Sig.(2-tailed))

iii. Jika p>α, H0 diterima dan kuisioner dinyatakan tidak valid

Jika p<α, H0 ditolak dan kuisioner dinyatakan valid

Keseluruhan butir soal memiliki nilai p<α. Dengan demikian, kuisioner

dinyatakan valid. b. Uji Reliabilitas

i. Jika nilai Cronbach’s Alpha > 0,600, maka kuisioner dinyatakan reliabel ii. Jika nilai Cronbach’s Alpha < 0,600, maka kuisioner dinyatakan tidak reliabel.

Nilai Cronbach’s Alpha yang diperoleh adalah 0,716 maka kuisioner ini dinyatakanreliabel.

Hasil Uji Chi-Square

Tingkat pengetahuan vs Umur

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(2-sided)

Exact Sig.

(1-sided)

(15)

Likelihood Ratio 19.369 6 .004 .004

Fisher's Exact Test 18.554 .005

Linear-by-Linear

Association

15.114 1 .000 .b .b

N of Valid Cases 350

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,51.

b. Cannot be computed because there is insufficient memory.

Tingkat pengetahuan vs jenis kelamin

Chi-Square Tests

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 33,19.

b. The standardized statistic is 2,527.

Tingkat Pengetahuan vs Pendidikan

Chi-Square Tests

a. 3 cells (20,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,48.

b. Cannot be computed because there is insufficient memory.

c. The standardized statistic is 6,447.

(16)

Chi-Square Tests

a. 7 cells (38,9%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,48.

b. Cannot be computed because there is insufficient memory.

c. The standardized statistic is -2,996.

Rasionalitas vs Umur

Chi-Square Tests

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,10.

b. The standardized statistic is ,181.

Rasionalitas vs Jenis Kelamin

Chi-Square Tests

Continuity Correctionb .045 1 .832

(17)

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 28,26.

b. Computed only for a 2x2 table

c. The standardized statistic is -,352.

Rasionalitas vs Pendidikan

Chi-Square Tests

a. 1 cells (10,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,26.

b. The standardized statistic is 1,542.

Rasionalitas vs Pekerjaan

Chi-Square Tests

a. 3 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,26.

b. The standardized statistic is 1,696.

Tingkat pengetahuan vs Rasionalitas

(18)

Pearson Chi-Square 35.879a 2 .000 .000 Likelihood Ratio 43.437 2 .000 .000

Fisher's Exact Test 41.250 .000

Linear-by-Linear

Association

35.665b 1 .000 .000 .000 .000

N of Valid Cases 350

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,43.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Amirin, M. T. (2000). Menyusun Rencana Penelitian. Edisi IV. Cetakan keempat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Halaman 111-112.

Anief, M. (2007). Apa Yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Atmoko, W., dan Kurniawati, I. (2009). Swamedikasi: Sebuah respon realistik perilaku konsumen dimasa krisis. Bisnis dan Kewirausahaan Volume dua, dan tiga. Halaman: 233-247.

Bhattarai, N., and Deepak, B. (2014). Self Medication Practice Among Undergraduate Pharmacy Students in Kathmandu Valley, Nepal.Journal. Nepal: Manmohan Memorial Institute of Healt Science. 5(11):739-740. Bogadenta, A. (2012). Manajemen Pengelolaan Apotek. Cetakan Pertama.

Jogjakarta: D-Medika. Halaman 11-21.

Calamusa, A., Cristofani, R., Carducci, A., Dimarzio, A., dan Santaniello, V. (2011). Factor that influence italian consumers understanding of over the counter medicine and risk precepcion.Journal. Patien Education and Counseling. 2(1):37.

Chua, S.S., Ramachandran, C.D., dan Paraidathathu, T.T. (2006). Respon of Community Pharmacist to The Presentation of Back Pain: A Simulated Patien Study. The International Journal of Pharmacy Practice. 14(3): 171-178.

Dahlan, M.S. (2011). Statistika Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Halaman: 189-192

Depkes RI. (2006). Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman: 103-113. Depkes RI. (2007). Kompendia Obat Bebas. Edisi Kedua. Cetakan Ketiga.

Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI (2008). Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan Dan Keterampilan Memilih Obat Bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman: 5-8, 85-90.

(20)

Green, L.W. (1980). Health Education Planning: a diagnostic approach. (1st edition). California: Mayfield Publishing Company.

Harahap, N.A. (2015). Tingkat Pengetahuan Dan Rasionalitas Swamedikasi di Tiga Apotek Kota Penyabungan. Skripsi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Hasana, F., Puspita, H.P., dan Sukoni, A.I. (2013). Profil Penyediaan Informasi Dan Rekomendasi Pelayanan Swamedikasi Oleh Staf Apotek Terhadap Kasus Diare Anak Di Apotek Wilayah Surabaya. Jurnal.Surabaya: Universitas Indonesia. 2(1):11-15.

Hastono, S.P. Dan Sabri, L. (2010). Statistik Kesehatan (pp. 6, 152-153). Jakarta: Rajawali Pers.

Hermawati, D. (2012). Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi Pengunjung di Dua Apotek Kecamatan Cimanggis Depok.Jurnal. Depok: Departemen Farmasi Universitas Indonesia. 1(1):59-60,67,80.

Huda, N. (2014). Gambaran pengetahuan masyarakat dalam swamedikasi demam di RT.II desa jangkak kacamatan pasak talawang kabupaten kapuas.Jurnal. Palangka raya: Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. 1(1):1,23

Notoatmodjo. (2007).Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku. Cetakan Pertama. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 142-143.

Notoadmojo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Purwanti, H.A., dan Supardi, S.(2004). Gambaran Pelaksanaan Standar Pelayanan Pelayanan Farmasi di Apotek DKI Jakarta tahun 2003. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1(2):102-115.

Putri, F.M.S. (2014). Gambaran Model Penyelesaian Ketidakpuasan Pelayanan Kesehatan BPJS. Jurnal. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Safrina, L.U.M. (2008). Kajian Swamedikasi Pada Penyakit Kulit Di Masyarakat Kecamatan Mentawa Baru Ketapang Propinsi Kalimantan Tengah. Jurnal. Surakarta: Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sartono. (1996). Apa Yang Sebaiknya Anda Ketahui Tentang Obat-obat Bebas dan Bebas Terbatas. Edisi kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

(21)

Saryono. (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Pertama. Jogjakarta: Mitra Cendikia. Halaman: 47, 49, 73.

Sastroasmoro, S., dan Ismael, S. (2002). Dasar-dasar Metode Penelitian Klinis. Edisi Kedua. Jakarta: CV Sagung Seto. Halaman: 75.

Singgarimbun, M., dan Effendi, S. (1989). Metode Penelitian Survei. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerapan Ekonomi Sosial.

Supardi, S., dan Rahmi. (2006). Penggunaan Obat Yang Sesuai Dengan Aturan Dalam Pengobatan Sendiri Keluhan Demam, Sakit kepala, Batuk dan Flu (Hasil Analisa Lanjut Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001). Jurnal Kedokteran Yarsi. 25(3):11-15

Supardi, S., dan Purwanti, H.A. (2004). Gambaran Ilmu Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek DKI Jakarta tahun 2003. Majalah Ilmu Kefarmasian. 1(2):102-115.

Suryawati, S. (1997). Perencanaan Kebutuhan Obat. Program Pengembangan Eksekutif. Magister Manajemen Rumah Sakit bekerja sama dengan Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan Obat. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Tjay, T.H., danRahardja, K. (1993). Swamedikasi. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta.

Trihendradi, C. (2011). Langkah Mudah Melakukan Analisis Statistik Menggunakan SPSS 19. Yogyakarta: Penerbit Andi. Halaman: 145-147, 215-217.

Widodo, R. (2004). Panduan Keluarga Memilih dan Menggunakan Obat. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

(22)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif (Singgarimbun dan Effendi, 1989), dengan model penelitian survei yang bersifat cross-sectional (Amirin, 2000)

3.2 Lokasi dan Waktu penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di empat apotek di Kecamatan Medan Marelan. Apotek yang dipilih berdasarkan lokasi yang strategis seperti mudah dijangkau penduduk dari berbagai daerah di Kecamatan Medan Marelan dan jumlah pengunjung yang paling ramai serta pemilik apotik yang bersedia mengizinkan dilakukan penelitian.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan mulai April hingga Mei 2016 pada jam 13.00 WIB s/d 20.00 WIB di empat Apotek di Kecamatan Medan Marelan.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

(23)

3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien berusia 18-60 tahun yang melakukan swamedikasi di empat Apotek Kecamatan Medan Marelan yang memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode consecutive sampling hingga jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi

(Sastroasmoro dan ismael, 2002). Kriteria inklusi :

a. Pasien yang datang ke apotek untuk melakukan swamedikasi b. Pasien berumur 18-60 tahun

c. Pasien yang dapat berkomunikasi dengan baik Kriteria ekslusi :

a. Pasien yang tidak bersedia bekerja sama dalam penelitian ini

Berdasarkan data yang diperoleh dari lima apotek yang menjadi tempat penelitian, diperkirakan jumlah pasien swamedikasi selama sebulan di apotek A (900 pasien), di apotek B (880 pasien), di apotek C (890 pasien) dan di apotek D (895 pasien). Jumlah sampel minimum yang diambil dihitung menggunakan rumus Lameshow dan Lwanga (1991) berikut ini :

n =

N Z

2

2 .P(1P )

N D 2+Z 2

2 .P(1P )

Keterangan:

N = Jumlah populasi

n = Jumlah sampel minimal yang diperlukan

Z∝

2

(24)

d = limit dari error atau presisi absolute dengan persen kepercayaan yang diinginkan 95%, d = 0,05

Dalam penelitian ini, N = 3565 pasien ; Jadi, n = 3565 .(1,96)2 .0,5.(1−0,5)

3565 .(0,5)2+1,962 .0,5(1−0,5)

n = 3423 ,826 8,91+0,9604

n =3423,826 9,8704

n = 346,87

Oleh karena hasil yang diperoleh dalam bentuk desimal, maka total respondendibulatkanmenjadi 350 orang.

Berdasarkan rumus diatas, jumlah sampel minimal yang di perlukan untuk penelitian ini adalah sebanyak 350 pasien. Penentuan jumlah pasien dari masing masing apotek dilakukan secara proporsional menggunakan rumus berikut:

N

Totalx jumlah responden yang diperlukan

Dengan : N = Jumlah pasien swamedikasi selama sebulan di apotek X a. Apotek A

900

3565x 350 =88 b. Apotek B

880

3565

x 350 = 87

c. Apotek C 890

3565x 350 = 87 d. Apotek D

895

(25)

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 3.1 Definisi Operasional Kuesioner Penelitian

Variabel Definisi Skala Kategori

1. Tingkat pengetahuan tentang swamedikasi

Pengetahuan responden berdasarkan kemampuan untuk

menjawab 11 pertanyaan mengenai – pengertian swamedikasi, tanda golongan obat, dosis obat pada anak-anak dan dewasa, dosis obat-obatan tanpa resep dokter, aturan minum obat, pengertian dari indikasi obat, kontraindikasi obat, efek samping obat, dan interaksi obat, cara penyimpanan obat dan fungsi apoteker dalam pelayanan obat (Depkes RI, 2008)

Ordinal 1. Buruk, bila

Penggunaan obat swamedikasi yang memenuhi 6 kriteria penggunaan obat rasional, antara lain ketepatan pemilihan obat, ketepatan dosis obat, efek samping obat, tidak adanya kontraindikasi, tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Depkes RI, 2008 ; Hermawati, 2012)

Ordinal 1. Tidak

rasional bila nilai <6, yang berarti tidak 4. Umur Lama hidup responden sejak lahir

hingga ulang tahun terakhir

(26)

d. 51-60 5. Jenis

kelamin

Jenis kelamin responden Nominal a. Laki-laki b. Perempuan 6. Pendidikan Jenjang sekolah formal sesuai

sistem pendidikan nasional yang terakhir diikuti dan ditamatkan

Ordinal a. Tidak tamat 7. Pekerjaan Pekerjaan yang dilakukan

responden

3.5 Instrumen Penelitian

3.5.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer yang diperoleh secara langsung dari pasien melalui pengisian kuesioner.

3.5.2 Teknik Pengumpulan Data

(27)

3.5.3 Kuesioner Swamedikasi

Penelitian ini menggunakan kuesioner yang sudah disusun dan digunakan pada penelitian sebelumnya oleh HarahapMahasiswa Fakultas Farmasi USU tahun 2015, dengan tujuan yang sesuai dengan penelitian ini dan telah teruji validitas dan reliabilitasnya.

Kuesioner yang diisi pasien terdiri dari 4 bagian yaitu : bagian pendahuluan, pengetahuan swamedikasi, rasionalitas swamedikasi, dan data demografi.

3.5.3.1 Bagian Pendahuluan

Kuesioner pada bagian ini bertujuan untuk mengetahui : apakah pasien pernah membeli obat tanpa resep dokter, (jika pernah) dimanakah pasien memperoleh obat tersebut, dan darimana pasien memperoleh informasi mengenai obat tersebut.

3.5.3.2 Bagian Pengetahuan Swamedikasi

(28)

3.5.3.3 Bagian Rasionalitas Swamedikasi

Tujuan dari pertanyaan yang digunakan pada bagian rasionalitas swamedikasi adalah untuk mengetahui rasionalitas obat swamedikasi yang pernah digunakan oleh responden. Terdapat 8 pertanyaan mengenai obat yang digunakan oleh pasien yaitu : nama obat, indikasi obat, dosis dan cara pakai obat, lama penggunaan obat, efek samping obat yang dialami pasien, kondisi khusus pasien ketika menggunakan obat, dan obat lain yang digunakan (jika ada).

3.5.3.4 Bagian Demografi

Jenis pertanyaan yang digunakan pada bagian data demografi terdiri nama, umur, jenis kelamin, alamat, pendidikan terakhir, dan pekerjaan responden. Pertanyaan-pertanyaan diatas bertujuan untuk mengetahui karakteristik responden yang diperoleh selama penelitian.

3.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Kuesioner

(29)

3.7 Analisis Data

Data yang telah diperoleh kemudian di analisis dengan menggunakan SPSS (Statistical Package for the Social Science) analisis data yang dilakukan antara lain adalah sebagai berikut :

3.7.1 Analisis Univariat

Analisis univariat dengan statistika deskriptif digunakan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi karakteristik sosiodemografi, karakteristik tingkat pengetahuan, karakteristik rasionalitas, serta distribusi frekuensi tempat memperoleh obat, sumber informasi obat yang diperoleh, keluhan penyakit, jenis obat yang digunakan, distribusi frekuensi jawaban responden untuk pertanyaan pada kuesioner bagian kedua dan ketiga.

3.7.2 Analisis Bivariat

Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara dua variabel. Untuk mengetahui adanya hubungan antara faktor sosiodemografi dengan tingkat pengetahuan dan rasionalitas swamedikasi dilakukan uji kai kuadrat atau uji mutlak fisher.

(30)

Apabila diperoleh nilai p < α , baik dari hasil uji kai kuadrat maupun uji

mutlak Fisher, maka disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara kedua variabel yang diuji (Dahlan, 2011)

3.8 Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah a. Menyiapkan kuesioner penelitian yang akan diisi oleh responden.

b. Mengurus surat pengantar dari Dekan Fakultas Farmasi USU kepada dinas kesehatan Kota Medan untuk melakukan penelitian dengan responden pada empat Apotek di kecamatan Medan Marelan.

c. Mengurus surat pengantar dari Dinas Kesehatan Kota Medan kepada PSA (pemilik sarana apotek) yang terpilih.

d. Menghubungi PSA/APA yang memiliki Apotek tersebut untuk mendapatkan izin melakukan penelitian.

e. Setelah izin dari pihak apotek, dilanjutkan dengan pengambilan data. f. Membagikan kuesioner penelitian kepada responden.

(31)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Responden

Sebanyak 350 responden yang berasal dari empat apotek terlibat dalam penelitian ini, 88 responden berasal dari apotek A, 87 responden berasal dari apotek B, 87 responden berasal dari apotek C, 88 responden berasal dari apotek D. Berdasarkan hasil penelitian ini, responden didominasi oleh perempuan (55,14 %) dengan golongan umur antara 29-39 tahun (32,57 %) dan mayoritas pendidikan terakhir adalah SMA (62,57 %) dengan kategori pekerjaan yang paling banyak adalah ibu rumah tangga (25,43 %). Data lengkap dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Karakteristik Sosiodemografi Seluruh Responden.

Variabel Jumlah (N) Persentase (%)

Umur

e. Perguruan Tinggi

7

a. Tidak/belum bekerja b. Guru

c. Tenaga kesehatan

35 88

(32)

d. Karyawan

Hal ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Huda (2014) di RT. II desa jangkang kecamatan pasak talawang kabupaten kapuas yang mengatakan bahwa masyarakat produktif dengan tingkat umur 29-39 tahun, lebih memilih pengobatan sendiri untuk penyakit ringan dari pada berobat ke dokter. Berdasarkan karakteristik jenis kelamin bahwa perempuan lebih cenderung melakukan swamedikasi dibandingkan laki-laki, hal ini dikarenakan perempuan lebih peduli dengan kesehatan pribadi ataupun anggota keluarganya.

(33)

4.2 Tempat dan Sumber Informasi Memperoleh Swamedikasi

4.2.1 Tempat Memperoleh Swamedikasi

Berdasarkan hasil penelitian kuesioner yang dilakukan pada penelitian ini, didapatkan persentase terbanyak responden memperoleh obat yang digunakan dari apotek dikarenakan banyak responden beranggapan bahwa diapotek adalah tempat yang tepat untuk memperoleh obat yang terjamin kualitasnya dan banyak jenis obat yang dapat diperoleh dan yang terendah yaitu pada penjual jamu. Sedangkan pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hermawati (2012) di kecamatan cimanggis depok menunjukkan bahwa warung adalah tempat terbanyak yang dipilih responden untuk memperoleh obat swamedikasi hal ini dikarenakan warung lebih mudah dijangkau dari rumah dan harga obat yang dijual di warung dianggap lebih murah daripada di apotek. Berikut diagram distribusi tempat memperoleh obat.

Gambar 4.1 Diagram Distribusi Frekuensi Tempat Memperoleh Obat Yang Digunakan Responden.

67,10% 20,60%

7,10% 4,90%

0,30%

Tempat memperoleh obat

(34)

4.2.2 Sumber Informasi Swamedikasi

Sumber informasi mengenai obat yang digunakan untuk swamedikasi responden diperoleh dari penelitian ini paling banyak adalah dari iklan di media cetak maupun elektronik. Serupa dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hermawati (2012) di kecamatan cimanggis depok, hal ini dikarenakan iklan merupakan jenis informasi yang paling berkesan dan sangat mudah ditangkap (Depkes RI, 2008). Sedangkan pada penelitian Harahap (2015) berbeda, yang menyatakan bahwa sumber informasi yang diperoleh responden mayoritas berdasarkan pengalaman pribadi/keluarga. Berikut diagram distribusi sumber informasi obat.

Gambar 4.2 Diagram Distribusi Frekuensi Sumber Informasi Obat Swamedikasi Yang Digunakan responden.

4.3 Keluhan Penyakit dan Pilihan Sub Kelas Farmakologi Obat

4.3.1 Keluhan Penyakit

Dalam penelitian ini keluhan penyakit ringan digolongkan ke dalam enam jenis yang umumnya dilakukan swamedikasi yaitu nyeri, gastritis, demam, batuk,

32,90%

25,10% 22,60%

19,40%

Sumber Informasi Obat

iklan

pengalaman penggunaan obat pribadi/keluarga petugas kesehatan

(35)

flu, diare. Penelitian ini didasari pada beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa keenam jenis keluhan penyakit ringan ini merupakan penyebab utama dilakukannya swamedikasi (Supardi dan Rahmi, 2006). Berdasarkan hasil penelitian ini, keluhan yang paling banyak dialami responden adalah nyeri (33,70%). Data lengkap lihat pada gambar 4.3

Keluhan nyeri yang dialami responden pada umumnya berupa sakit kepala, sakit gigi, nyeri sendi, nyeri haid, dan badan pegal-pegal. Selain nyeri gastritis, demam, batuk, flu, dan diare; responden mengeluh penyakit lain seperti cacingan, mabuk perjalanan, kurang vitamin, konstipasi, kontrasepsi, obesitas, alergi, sesak napas (asma).

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di nepal oleh Bhattarai dan Deepak (2014) di nepal yang menyatakan bahwa demam adalah keluhan terbanyak diikuti dengan sakit kapala dan jenis nyeri lainnya.

Gambar 4.3 Diagram Distribusi Frekuensi Keluhan Penyakit Yang Dialami Responden.

33,70%

8,30% 11,10%

6,00% 8,00%

4,00%

28,90%

Keluhan Penyakit

(36)

4.3.2 Pilihan Sub Kelas Farmakologi Obat

Sesuai dengan keluhan yang didapat pada penelitian ini, maka pemilihan sub kelas farmakologi obat yang digunakan adalah didominasi oleh golongan analgetik-antipiretik(32,90%) lalu diikuti dengan golongan lainnya (misalnya vitamin, anti histamin, pil KB, anti asma, obat cacing, obat laksan, obat jerawat, pelangsing, obat sakit mata, obat sariawan/panas dalam) (29,10) , obat batuk-flu (12,90%), AINS (11,1%), antasida (7,10%), anti diare (3,70%), dan antibiotik (3,10%).

Gambar 4.4 Diagram Distribusi Frekuensi Jenis Obat Yang Digunakan Oleh Responden.

Hasil ini serupa dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa analgetik-antipiretik adalah jenis golongan obat yang banyak digunakan untuk mengobati keluhan gejala penyakit demam dan nyeri diikuti dengan antasida dan anti diare untuk mengobati keluhan penyakit pada saluran cerna (Bhattarai dan Deepak, 2014)

32,90%

11,10% 3,70% 7,10%

3,10% 12,90% 29,10%

Jenis Obat yang Digunakan

analgetik-antipiretik AINS

(37)

4.4 Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Swamediksi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan swamedikasi di empat apotek kecamatan medan marelan tergolong sedang (terbatas) dengan nilai rata-rata 64,57% dan frekuensi pengetahuan buruk 139 responden. Data distribusi tingkat pengetahuan seluruh responden dapat dilihat secara lengkap pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Pengetahuan Tentang Penggunaan Obat Swamedikasi Oleh Seluruh Responden.

Kriteria Frekuensi Persentase (%)

Buruk 139 39,7

Sedang 137 39,1

Baik 74 21,1

Total 350 100

Berdasarkan hasil yang diperoleh diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar pertanyaan yang diberikan tidak dapat dijawab dengan benar oleh responden, sehingga mayoritas responden menjawab dengan buruk. Hal ini dapat disebabkan oleh karena responden masih kurang dalam memperoleh informasi mengenai swamedikasi yang dilakukan.Oleh karena itu perlu adanya edukasi mengenai swamedikasi dari tenaga kesehatan ketika menyerahkan obat. Berbeda dengan penelitian sebelumnya di Cimanggis (Depok) dan kota penyabungan yang menunjukkan bahwa mayoritas tingkat pengetahuan responden tergolong sedang (terbatas) (Hermawati, 2012; Harahap, 2015).

(38)

Tabel 4.3 Distribusi jawaban responden terhadap kuesioner tingkat pengetahuan.

No Soal Jawaban

Benar (%) Salah (%) Tidak tahu (%) 1 Definisi swamedikasi 77 (22,0%) 51 (14,6%) 222 (63,4%) 2 Logo obat-obatan 106 (30,3%) 92 (26,3%) 152 (43,4%) 3 Perbedaan dosis obat

antara dewasa dan anak-anak

304 (86,9%) 30 (8,6%) 16 (4,6%)

4 Aturan pakai obat 249 (71,7%) 82 (23,4%) 19 (5,4%) 5 Definisi aturan pakai 3x

sehari

236 (67,4%) 87 (24,9%) 27 (7,7%) 6 Pengertian indikasi obat 188 (53,7%) 44 (12,6%) 118 (33,7%) 7 Pengertian kontraindikasi

obat

113 (32,3%) 70 (20,0%) 167 (47,7%) 8 Pengertian efek samping

obat

198 (56,6%) 69 (19,7%) 83 (23,7%) 9 Pengertian interaksi obat 107 (30,6%) 86 (24,6%) 157 (44,9%) 10 Aturan penyimpanan obat 276 (78,9%) 62 (17,1%) 12 (3,4%) 11 Pengetahuan responden

mengenai tugas apoteker

280 (80,0%) 31 (8,9%) 39 (11,1%)

(39)

Mayoritas responden yang melakukan pengobatan sendiri tidak mengerti istilah swamedikasi. Swamedikasi dapat didefinisikan juga sebagai penggunaan yang tepat dari obat over the counter (OTC) dengan kondisi yang mereka perlukan, praktek yang membutuhkan tingkat pengetahuan dalam mengunakan obat tersebut(Purwanti, dkk., 2004).

Hal lain yang kurang diketahui responden mengenai golongan obat yang dapat diperoleh tanpa resep dokter. Golongan obat yang dapat diterima tanpa resep dokter juga memerlukan pengetahuan bahwa hanya obat-obat yang bertanda lingkaran hijau dan biru yang bisa digunakan dalam pengobatan (Notoadmodjo, 2007) selain itu obat-obatan yang dapat diberikan tanpa resep dokter adalah obat golongan DOWA (Daftar Obat Wajib Apotek) tetapi penyerahannya harus diserahkan oleh apoteker langsung dan dalam jumlah yang terbatas.

4.5 Rasionalitas Penggunaan Obat Dalam Swamedikasi

Berdasarkan hasil penilaian mengenai rasionalitas penggunaan obat, dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden yang melakukan swamedikasi di empat apotek menggunakan obat secara rasional (78,9%). Data lengkap dapat dilihat pada tabel 4.4.

Tabel 4.4 Frekuensi Rasionalitas Penggunaan Obat Swamedikasi.

Kategori Frekuensi Persentase (%)

Tidak rasional 74 21,1

Rasional 276 78,9

(40)

Berdasarkan hasil penilaian pada setiap kriteria rasionalitas, tidak rasionalnya penggunaan obat paling banyak disebabkan oleh ketidaktepatan dosis yang diminum (10%), ketidaktepatan pemilihan obat (2,9%), adanya kontraindikasi (4,9%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Harahap (2015) di kota peyabungan yang menyatakan ketidaktepatan penggunaan dosis obat menyebabkan ketidakrasionalan pengobatan swamedikasi. Data selengkapnya pada tabel 4.5

Tabel 4.5Distribusi status penilaian untuk setiap kriteria rasional.

Kriteria Status Frekuensi

(n)

Persentase (%) Ketepatan pemilihan obat Tidak tepat

Tepat

10 340

2,9 97,1 Ketepatan dosis obat Tidak tepat

Tepat

35 315

10 90 Efek samping obat Tidak Rasional

Rasional

9 341

2,6 97,4

Kontraindikasi Ada

Tidak ada Polifarmasi dengan indikasi

sama

(41)

manjur, kepekaan berlebihan setelah digunakan secara lokal, resistensi (bakteri menjadi kebal dan tidak dapat dibunuh lagi dengan obat tersebut), terjadi infeksi lain (sekunder) (Widodo, 2004).

Demikian juga cara penggunaan obat yang tidak tepat seperti antasida seharusnya diminum sebelum makan dan dikunyah terlebih dahulu. Cara penggunaan obat yang baik dalam pengobatan rasional juga dapat berpengaruh terhadap kecepatan absorbsi sehingga dapat meningkatkan ataupun menurunkan efek yang ditimbulkan. Oleh karena itu, cara pemakaian obat harus mempertimbangkan farmakokinetiknya, antara lain cara pemberian, besar dosis, frekuensi pemberiandan lama pemberian, sampai ke pemilihan cara pemakaian yang paling mudah diikuti oleh pasien dan paling aman, serta efektif (Safrina, 2008).

Pemilihan jenis obat adalah faktor penunjang dalam pengobatan rasional. Pemilihan jenis obat harus memenuhi beberapa pertimbangan Pertama, kemanfaatan dan keamanan obat sudah terbukti secara pasti. Kedua, risiko pengobatan kecil untuk pasien dan seimbang dengan manfaat yang diperoleh. Ketiga, biaya obat paling sesuai untuk obat alternatif dengan manfaat yang sama dan paling terjangkau oleh pasien. Keempat, jenis obat yang paling mudah didapati. Kelima, kemungkinan kombinasi obat paling sedikit Safrina, 2008).

(42)

obat flu. Memang kebanyakan obat flu mengandung obat sakit kepala, tapi obat flu juga mengandung obat-obat lainnya. Ibarat membunuh satu penjahat yang sebenarnya hanya perlu satu peluru, tetapi dilakukan dengan granat, penjahat itu mati, tetapi kerusakan yang ditimbulkan juga lebih banyak (Widodo, 2004).

Ketepatan penilaian kondisi pasien akan sangat membantu dalam pemilihan obat, terutama pertimbangan kontraindikasi seperti pada penggunaan obat AINS (anti inflamasi non steroid) yang digunakan pada penderita tukak lambung, atau kondisi-kondisi khusus yang memerlukan penyesuaian dosis secara individual dan kemungkinan adanya keadaan yang merupakan faktor pencetus efek samping obat pada penderita. Penilaian kondisi pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena mempengaruhi efektifitas pengobatan (Tjay dan Raharja, 1993).

Pemilihan obat bermerek yang digunakan bersamaan juga harus memperhatikan kandungannya karena obat bermerek dapat mengandung lebih dari satu macam obat. Pada sebagian obat, pabrik obat diperbolehkan membuat obat dengan merek masing-masing walaupun sebenarnya macam kandungan obat atau zat aktifnya sama atau hampir sama (Widodo, 2004). Hal tersebut dapat mengakibatkan polifarmasi jika tidak diperhatikan seperti penggunaan Panadol dengan Sanmol yang memiliki kandungan serupa yaitu Parasetamol 500 mg.

4.6 Pengaruh faktor-faktor sosiodemografi terhadap tingkat pengetahuan

tentang swamedikasi.

(43)

seperti umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan. Kesimpulan tersebut didasari oleh nilai p dari keempat variabel faktor sosiodemografi yang lebih kecil dari nilai α (0,050).

Tabel 4.6 Hubungan tingkat pengetahuan dengan sosiodemografi responden.

Variabel Tingkat pengetahuan Total

(n)

Tidak tamat SD SD Ibu rumah tangga Wiraswasta

(44)

mengenai swamedikasi tidak dipengaruhi oleh semua faktor sosiodemografi. Sementara hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang di lakukan oleh Calamusa, et al (2011) di italia pengetahuan seseorang mengenai informasi obat dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sosiodemografi. Perempuan diketahui lebih banyak mempunyai pengetahuan tentang obat yang lebih baik dibandingkan dengan laki-laki hal ini dikarena perempuan cenderung lebih peduli dengan kesehatan pribadi dan keluarga, juga lebih aktif dalam mencari informasi. Demikian pula pada responden dengan katagori usia produktif 29-39 tahun dengan tingkat pendidikan tinggi memiliki pengetahuannya tentang obat lebih baik daripada pasien dengan usia lebih muda atau lebih tua dan pasien dengan tingkat pendidikan rendah.

4.7 Pengaruh faktor-faktor sosiodemografi terhadap rasionalitas

swamedikasi.

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa rasionalitas penggunaan obat pada pengobatan sendiri yang dilakukan responden di empat apotek kecamatan medan marelan tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan faktor sosiodemografi responden seperti umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan. Kesimpulan tersebut didasari oleh nilai p dari keempat variabel faktor sosiodemografi yang lebih besar dari nilai α (0,050).

(45)

Sementara pada penelitian lainnya faktor umur dan pendidikan terakhir diketahui memiliki hubungan bermakna dengan tindakan swamedikasi (rasionalitas) yang sesuai aturan (Supardi dan Raharni, 2006). Hal ini dapat terjadi dikarenakan adanya pengaruh kondisi masyarakat dan lingkungan tempat dilakukannya penelitian.

Tabel 4.7 Hubungan rasionalitas dengan sosiodemografi responden. Variabel Rasionalitas Swamedikasi Total

(n)

P.Value Tidak Rasional (n) Rasional (n)

Umur

(46)

4.8 Pengaruh tingkat pengetahuan terhadap rasionalitas swamedikasi.

Berdasarkan tabel 4.8 dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan mempunyai hubungan yang bermakna terhadap rasionalitas pengobatan sendiri oleh responden. Kesimpulan tersebut didasari oleh nilai p dari variabel faktor tingkat pengetahuan yang lebih besar dari nilai α (0,000).

Green (1980) dalam Notoatmodjo (2010) menyatakan bahwa perilaku kesehatan dapat dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, kenyakinan, nilai-nilai (predisposing factor); fasilitas kesehatan, sarana kesehatan, sumber daya (enabling factor); dan tokoh masyarakat, pelayanan petugas kesehatan, teman, keluarga (reinforcing factor). Hal ini diperkuat dengan adanya hasil penelitian dari Supardi (2004) yang menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan pengetahuan maka jumlah individu yang memiliki sikap dan berperilaku pengobatan sendiri sesuai aturan juga meningkat.

Tabel 4.8 Hubungan tingkat pengetahuan responden dengan rasionalitas swamedikasi

Variabel

(Tingkat pengetahuan)

RasionalitasSwamedikasi Total (n)

P. Value Tidak Rasional (n) Rasional (n)

Buruk 49 90 139

0,000

Sedang 23 114 137

Baik 1 73 74

(47)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

a. Tingkat pengetahuan pasien swamedikasi di Kecamatan Medan Marelan berdasarkan hasil yang diperoleh 21,1% tergolong baik; 39,1% tergolong sedang; 39,7% tergolong buruk dengan nilai rata-rata jawaban responden 64,57%.

b. Rasionalitas swamedikasi pasien di Kecamatan Medan Marelan berdasarkan hasil yang diperoleh 78,9% tergolong rasional; 21,1% tergolong tidak rasional. c. Faktor yang mempengaruhi tingkat pengetahuan swamedikasi pasien di

Kecamatan Medan Marelan adalah umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan sedangkan rasionalitas swamedikasi tidak dipengaruhi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan.

d. Faktor tingkat pengetahuan mempengaruhi rasionalitas swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan.

5.2 Saran

a. Dinas Kesehatan Kota Medan perlu memberikan promosi mengenai cara memilih dan menggunakan obat dengan benar dan tepat.

(48)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek

2.1.1 Pengertian Apotek

Apotek berasal dari bahasa Yunani apotheca, yang secara harfiah berarti “penyimpanan”. Dalam bahasa Belanda, apotek disebut apotheek, yang berarti tempat menjual dan meramu obat. Apotek juga merupakan tempat apoteker melakukan praktik profesi farmasi sekaligus menjadi peritel. Sementara menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Kepmenkes RI) No. 1332/Menkes/SK/X/2002, tentang perubahan atas Peraturan Menkes RI No. 992/Menkes/PER/X/1993 mengenai ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek, yang dimaksud dengan apotek adalah suatu tempat tertentu yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian berupa penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Sedangkan, menurut PP No. 51 Tahun 2009, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian atau tempat dilakukannya praktik kefarmasian oleh apoteker (Bogadenta, 2012).

(49)

bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi, dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Oleh sebab itu, sebagai salah satu sarana kesehatan, dalam pelayanannya, apotek harus mengutamakan kepentingan masyarakat, yaitu menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik (Bogadenta, 2012).

2.1.2 Tugas dan Fungsi Apotek

Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek adalah

1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.

2. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian.

3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan mendistribusikan sediaan farmasi, antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika. 4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional (Bogadenta, 2012).

2.2 Prinsip-prinsip dasar dalam swamedikasi.

(50)

akan selalu mencoba produk baru yang ditawarkan dan membandingkan khasiatnya berdasarkan pengalaman dan perasaan. Sesunggunya dari sekian banyak merek obat tersebut seringkali mengandung isi yang sama atau hampir sama dan bahwa tidak semua obat memiliki kemanjuran yang sama untuk pribadi yang berbeda (Widodo, 2004)

Leaflet obat merupakan informasi singkat berkaitan dengan obat. Biasanya berupa tulisan pada kertas kecil yang ditempelkan pada tiap strip obat atau lembaran lepas dalam tiap dos, atau bisa juga tertera pada kemasan obat. Informasi yang diberikan umumnya meliputi:

a. Komposisi, yakni obat/zat aktif apa saja yang terkandung dalam obat beserta jumlah masing-masing.

b. Cara kerja obat, sebagai apa atau dengan cara bagaimana obat bekerja. c. Indikasi, yaitu kegunaan obat dalam pengobatan penyakit.

d. Dosis atau cara pemakaian, besarnya obat yang boleh digunakan dalam sekali pakai dan dalam sehari sesuai berat badan atau umur pengguna.

e. Kontraindikasi, yaitu siapa yang tidak boleh menggunakan obat berkaitan kondisi tubuh pengguna.

f. Efek samping, efek-efek tidak diinginkan yang dapat muncul akibat penggunaan obat.

g. Peringatan dan perhatian, hal-hal apa saja yang perlu diperhatikan oleh pengguna.

(51)

i. Waktu kadaluarsa, yaitu waktu yang menunjukkan batas akhir obat masih memenuhi persyaratan seperti semula, sehingga sebaiknya obat digunakan sebelum batas waktu tersebut.

Selain informasi tersebut sering pula ada beberapa informasi tambahan lain seperti cara penyimpanan, mekanisme kerja dan lain sebagainya yang perlu diketahui sebelum memilih obat (Widodo, 2004).

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat adalah:

a. Pilihlah obat yang paling khusus untuk penyakit. Sangat penting mengetahui secara cermat penyakit yang akan diobati. Ketepatan dalam memahami penyakit adalah separuh jalan menuju pengobatan yang tepat. Contohnya penyakit batuk, harus diperjelas apakah berjenis batuk berdahak ataukah batuk kering.

b. Mengacu kepada kondisi tubuh. Adalah tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa obat yang manjur untuk seseorang akan selalu manjur bagi orang lain. Hal ini karena kondisi tubuh yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kondisi tubuh meliputi keadaan jantung, ginjal, hati, kepekaan tubuh, penyakit yang diderita, berat badan, umur, sedang hamil, dan lain sebagainya. Termasuk dalam hal memilih obat, perlu penyesuaian dengan kondisi tubuh, karena obat memiliki sifat dan cara kerja masing-masing yang pada suatu kondisi tubuh tertentu menjadi kurang efektif atau bahkan berbahaya.

(52)

lain hanya merasakan ringan saja. Bila mungkin pilihlah obat yang memiliki efek samping paling ringan.

d. Pilih bentuk sediaan obat yang paling sesuai dan nyaman. Suatu obat seringkali tersedia dalam berbagai bentuk, misalnya tablet, sirup, salep sehingga bisa memilih bentuk obat yang paling aman dan nyaman, misalnya bila menderita penyakit ringan yang cukup diobati dengan obat luar, sebaiknya jangan memilih obat yang diminum (berefek sistemik), karena efek samping obat luar lebih ringan dari pada obat yang diminum.

e. Pilihlah yang harganya murah. Obat dengan harga tinggi tidak selalu menunjukkan kualitas yang lebih baik. Kenyataannya obat-obat dengan isi yang sama, antar merek obat bisa berbeda harga hingga 3 kali lipat bahkan lebih. Produsen obat berlomba membuat iklan yang memikat, dan biaya iklan yang tinggi ini akan dibebankan kepada harga produk obat tersebut. Salah satu cara mendapatkan obat bermutu dan relatif murah adalah dengan membeli obat generik(Widodo, 2004).

2.3 Penggolongan Obat

(53)

Ada empat kelompok obat berdasarkan keamanannya: 1. Kelompok obat bebas

Sesuai dengan namanya, obat-obat dalam golongan tersebut di atas dapat dijualbelikan dengan bebas, tanpa resep dokter dan dapat dibeli di apotek, toko obat maupun warung-warung kecil. Sebagai tanda obat bebas, pada pembungkusnya diberi tanda khusus, warna hijau di dalam lingkaran warna hitam. Termasuk dalam kelompok ini ialah: Vitamin B compleks, vitamin B1, tablet vitamin A, vitamin C, multivitamin dan sebagainya.

Golongan obat bebas ini biasanya tidak membahayakan jiwa, dalam arti kata agak luas: bila makan jumlah 10-20 biji sekaligus pun belum tentu sampai mati saat itu juga.

2. Kelompok obat bebas terbatas

Pada zaman belanda, kelompok ini juga disebut obat daftar W (W = Waarschuing = peringatan). Obat-obat yang termasuk dalam kelompok ini dapat diperjual belikan secara bebas dengan syarat hanya dalamjumlah yang telah ditentukan dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda peringatan ditulis dengan huruf putih di atas kertas yang umumnya berwarna hitam.

Ada enam macam tanda peringatan yang dipilih sesuai dengan obatnya: Peringatan No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan memakainya.

Peringatan No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Peringatan No. 3: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan.

Peringatan No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar (untuk rokok asma). Peringatan No. 5: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.

(54)

Gambar 2.1 Peringatan obat golongan bebas terbatas

Tanda lain untuk obat bebas terbatas ini, pada pembungkusnya diberi tanda khusus, warna biru di dalam lingkaran warna hitam. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah tablet antimo, merkurokrom, Vitamin E 9 (maksimal 120 mg), kreosol dan lain-lain.

3. Kelompok obat keras

Di dalam kefarmasian dan di zaman belanda dahulu obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini terkenal dengan obat-obat golongan daftar G (gevaarlijk = berbahaya) atau daftar obat keras.

Obat-obat golongan ini sangat berbahaya, mempunyai kerja sampingan yang sangat besar dan untuk mendapatkannya di perlukan resep dokter dan hanya dapat dibeli di apotek. Pada pemakaian yang tidak berhati-hati dapat mengakibatkan hal-hal yang tidak diinginkan dan dapat mengakibatkan maut, misalnya menimbulkan gangguan pada metabolisme, gangguan pada saluran kencing, mengakibatkan penyakit kurangnya pembentukan bentuk darah tertentu (agranulocytosis) dan lain-lainnya.

(55)

berpengaruh pada susunan saraf seperti obat penenang, obat-obat yang digunakan dengan cara penyuntikan dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sebagai tanda obat keras, pada pembungkusnya diberi tanda khusus, huruf K dengan latar belakang warna merah, di dalam lingkaran warna hitam.

4. Kelompok narkotika.

Obat ini seperti halnya dengan obat daftar G, hanya dapat diperoleh di apotek dengan resep dokter. Dalam dunia kefarmasian terkenal dengan obat golongan O (O = Opium). Berbeda dengan obat keras, peredaran obat narkotika ini sangat ketat dan di awasi oleh badan pengawasan obat. Di apotek, keluar masuknya obat-obat narkotika ini dicatat dan dilaporkan kepada badan pengawasan obat. Obat-obat narkotika ini mempunyai akibat buruk, tidak hanya pada badan pemakainya, tetapi juga pada masyarakat sekelilingnya. Hal ini disebabkan karena mengakibatkan kecanduan, ketergantungan pada obat tersebut dan dapat merusak kepribadian pemakainya. Jadi masalah narkotika ini bukan hanya merupakan masalah medis tetapi juga merupakan masalah sosial. Contoh obat narkotika: morfina, kokaina, petidina dan sebagainya.Sebagai tanda narkotika, pada pembungkusnya diberi tanda khusus, palang merah dengan latar belakang putih, di dalam lingkaran warna merah (Anief, 2007).

(56)

Tidak semua golongan obat dapat diberikan kepada pasien yang melakukan pengobatan sendiri. Hanya golongan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib apotek yang dapat diberikan (Sartono, 1996).

Obat wajib apotek (SK No. 347/Menkes/SK/VII/1990) yaitu obat keras yang dapat diserahkan apoteker kepada pasien di apotek tanpa resep dokter. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan obat diwajibkan: a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien.

b. Membuat catatan pasien serta obat yang diserahkan.

c. Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontarindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien (Sartono, 1996).

2.4 Keluhan Penyakit Ringan dan Penanggulangan

2.4.1 Demam

Demam adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih tinggi dari biasanya atau diatas 370 Celsius; dan merupakan gejala dari suatu penyakit. Pada anak-anak dapat terjadi kejang demam dengan gejala-gejala antara lain: tangan dan kaki kejang, mata melirik ke atas, gigi dan mulut menutup rapat, kesadaran menurun. Penyebab: dapat disebabkan oleh karena infeksi dan non-infeksi. Penyebab infeksi antara lain: kuman, virus, parasit atau mikroorganisme lain. Penyebab non-infeksi antara lain: tirotoksikosis, dehidrasi pada anak dan orang tua, alergi, stress, trauma, kelainan kulit yang luas, penyakit keganasan atau kanker dan sebagainya (Depkes RI, 2007).

(57)

dapat juga terjadi karena demam yang disebabkan alergi atau keganasan. Keringat yang berlebihan umumnya terjadi pada saat temperatur tubuh turun secara tiba-tiba dan sering terjadi pada dini hari (Depkes RI, 2007).

Penanggulangan:

a. Terapi non-obat: biasanya untuk mengatasi demam ringan dapat dilakukan antara lain banyak minum, kompres es atau alkohol di daerah lipatan permukaan tubuh, memakai pakaian yang tipis.

b. Terapi obat: obat penurun demam atau antipiretik hanya dianjurkan digunakan jika dengan cara terapi non-obat, demam tidak dapat diatasi. Obat penurun demam yang dapat digunakan adalah parasetamol dan asetosal. Kedua obat ini selain mempunyai efek penurun demam juga mempunyai efek pereda nyeri yang setara (Depkes RI, 2007).

2.4.2 Nyeri

Nyeri adalah suatu gejala subjektif yang kompleks berupa emosional yang tidak menyenangkan dan pengalaman sensori yang terjadi karena adanya rangsangan ujung-ujung saraf yang sangat peka pada jaringan tubuh. Bila terjadi rangsangan pada ujung saraf maka senyawa kimia prostaglandin akan terbentuk. Zat inilah yang bekerja pada ujung-ujung saraf jaringan yang rusak, dan akan mengalirkan “kesan” nyeri sepanjang serabut saraf menuju ke otak sehingga timbul rasa nyeri tersebut.

(58)

Radang adalah respon atau reaksi protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan tubuh karena suatu rangsangan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung, baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera. Radang dapat ditimbulkan oleh rangsangan fisik, kimiawi, biologis, kombinasi ketiga agen tersebut. Radang mempunyai tanda-tanda yang khas yaitu: dolor, rubbor, color, tumor, fungsiolesa.

Penanggulangan

a. Terapi non-obat: rasa nyeri sebagian dapat dikurangi dengan cara antara lain: memijat atau kompres hangat pada nyeri otot, pada trauma karena luka bakar dapat disiram dengan air dingin.

b. Terapi obat: obat pereda nyeri atau yang dikenal dengan analgesik (yang biasanya juga memiliki khasiat penurun demam atau antipiretik) bekerja dengan mengurangi respon atau persepsi rasa nyeri yang dialami. Asetosal, parasetamol, dan ibuprofen (200 mg) adalah obat pereda nyeri yang dapat digunakan untuk rasa nyeri ringan sampai sedang pada otot dan tulang. Dari ketiga obat tersebut, asetosal disamping memiliki efek pereda nyeri dan penurun demam juga memiliki efek antiradang yang cukup kuat dibanding parasetamol, tetapi mempunyai efek terhadap lambung. Obat pereda nyeri lainnya adalah ibuprofen dengan dosis 200 mg. Obat ini juga mempunyai efek antipiretik. Pada dosis besar (>200 mg) ibuprofen mempunyai efek antiradang

yang digunakan sebagai antirematik (Depkes RI, 2007).

2.4.3 Diare

(59)

bertambahnya frekuensi berak lebih dari biasanya (3 kali atau lebih dalam 24 jam). Wujud tinja merupakan ukuran yang lebih penting dibanding frekuensi buang air. Meski sering buang air, tapi wujud tinja lunak dan berisi, tidak dapat dikatakaan diare (Depkes RI, 2007).

Diare dapat dibedakan menjadi:

a. Diare akut (mendadak): diare yang berlangsung kurang dari dua minggu. Gejala: tinja cair, biasanya terjadi mendadak, disertai rasa lemas, kadang-kadang demam atau muntah, biasanya berhenti/ berakhir dalam beberapa jam sampai beberapa hari. Diare akut biasanya terjadi akibat infeksi virus, infeksi bakteri, akibat obat-obat tertentu, makanan tertentu atau penyakit lain.

b. Diare kronik: diare yang menetap atau berulang dalam jangka waktu lama, umumnya berlangsung lebih dari 2 minggu atau bahkan beberapa bulan.

Penanggulangan: oralit merupakan satu-satunya obat yang dianjurkan untuk mengatasi diare karena kehilangan cairan tubuh. Oralit tidak menghentikan diare, tetapi menggantikan cairan tubuh yang hilang bersama tinja. Dengan menggantikan cairan tubuh tersebut, terjadinya dehidrasi dapat dihindarkan. Obat diare jenis lain yang beredar di pasaran kebanyakan merupakan absorben (menyerap cairan dalam usus). Penggunaan obat ini untuk diare tidak dianjurkan karena penggunaan oralit telah terbukti yang paling efektif (Depkes RI, 2007).

2.4.4 Gastritis

(60)

disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: faktor kecemasan, emosi, stress; obat-obat tertentu misalnya obat pereda nyeri atau radang; makanan atau minuman yang merangsang produksi asam lambung. Gejala: nyeri dan rasa panas pada perut bagian atas atau ulu hati, mual, muntah dan banyak gas (kembung).

Penanggulangan:

a. Terapi non-obat: makan secara teratur, hindari makanan/minuman yang merangsang lambung, hindari stress dan penyebab lain.

b. Terapi obat: gastritis dapat diobati dengan obat antasida (Depkes RI, 2007).

2.4.5 Infeksi

Berbagai penyakit yang diakibatkan oleh bakteri, virus, jamur, protozoa, dan cacing, seringkali memerlukan obat-obat anti infeksi (cara pengobatannya disebut kemoterapi). Antibiotik yang banyak dikenal masyarakat merupakan bagian dari pengobatan infeksi ini, obat lain yang juga termasuk dalam kelompok ini misalnya adalah obat-obat TBC, lepra, malaria, Sulfonamida (misalnya Kotrimoxazole), jamur, kanker dan antiseptik. Pengobatan infeksi dimaksudkan untuk memusnahkan mikroorganisme penyebab penyakit itu, atau mengeluarkannya tanpa merusak jaringan tubuh penggunanya (Widodo, 2004).

Kesalahan dalam penggunaan obat-obat anti infeksi selain menyebabkan obat tidak manjur, juga dapat mengakibatkan:

(61)

b. Bakteri menjadi lebih kebal dan tidak dapat dibunuh lagi dengan obat tersebut. Hal ini disebabkan dosis obat yang digunakan terlalu rendah atau waktu pengobatan kurang lama. Kebiasaan untuk tidak minum obat secara penuh, dan berhenti minum obat sebelum habis obat sebagaimana yang ditetapkan dokter, dapat menyebabkan hal ini.

c. Terjadi infeksi lain (sekunder) yang muncul selama penggunaan obat berjalan. Anak-anak dibawah 3 tahun, penderita penyakit paru-paru, dan telinga bagian tengah, sangat peka terhadap terjadinya infeksi sekunder ini (Widodo, 2004).

2.4.6 Batuk

Batuk merupakan suatu refleks pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing dari saluran napas. Batuk juga membantu melindungi paru dari aspirasi yaitu masuknya benda asing dari saluran cerna atau saluran napas bagian atas. Yang dimaksud dengan saluran napas mulai dari tenggorokan, trakhea, bronkhus, bronkhioli sampai ke jaringan paru.

Penyebabnya:

a. Penyakit infeksi bakteri atau virus. Misalnya: tuberkulosa, influenza, campak, batuk rejan.

b. Bukan infeksi. Misalnya: debu, asma, alergi, makanan yang merangsang tenggorokan, batuk pada perokok dan sebagainya.

Batuk dapat dibedakan menjadi:

(62)

b. Batuk tak berdahak (batuk kering)terjadi apabila tidak ada sekresi saluran napas, iritasi pada tenggorokan, sehingga timbul rasa sakit.

Penanggulangan: a. Terapi non-obat:

Pada umumnya batuk berdahak maupun tidak berdahak dapat dikurangi dengan cara sebagai berikut: sering minum air putih untuk mengencerkan dahak, mengurangi iritasi atau rasa gatal. Hindari paparan debu, minuman atau makanan yang merangsang tenggorokan, dan udara malam yang dingin.

b. Terapi obat

Bila keadaan batuk belum dapat teratasi dengan cara-cara tersebut di atas, maka dapat digunakan obat batuk. Sesuai dengan jenis batuk, maka obat batuk dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu Ekspektoran (pengencer dahak), dan Antitusif(penekan batuk) (Depkes RI, 2007).

2.4.7 Flu (Pilek)

Flu adalah suatu gejala adanya cairan encer atau kental dari hidung yang disebut ingus. Pilek alergi bukan penyakit yang diturunkan.

Penyebabnya: a. Reaksi alergi

(63)

yang bersifat vasodilator. Akibatnya terjadi pembengkakan selaput lendir hidung yang nampak sebagai hidung tersumbat, meningkatnya sekresi lendir/meler, mata berair, dan bersin-bersin.

b. Infeksi

Pilek juga merupakan suatu gejala infeksi virus atau bakteri, misalnya: influenza.

Penanggulangan:

a. Terapi non-obat: pilek akibat alergi dapat dicegah dengan menghindari alergen.

(64)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kesehatan merupakan hal yang sangat penting di dalam kehidupan. Seseorang yang merasakan sakit akan melakukan upaya demi memperoleh kesehatannya kembali. Pilihan untuk mengupayakan kesembuhan dari suatu penyakit antara lain adalah dengan berobat ke dokter atau mengobati diri sendiri (Atmoko dan Kurniawati, 2009).

Pemerintah juga menganggap kesehatan masyarakat penting. Oleh karena itu, untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat termasuk masyarakat miskin pemerintah mengadakan program asuransi jaminan kesehatan yang dikenal dengan BPJS (badan penyelenggara jaminan sosial). Namun hal ini masih sangat memprihatinkan karena pelayanan yang kurang maksimal dan perlunya disoroti fakta ketersediaan obat di rumah sakit penyelenggara BPJS. Sempat terjadi kasus dimana pihak rumah sakit hanya memberikan sebagian obat dari resep yang dibuat dokter, sementara obat sisanya harus dibeli di apotek swasta sehingga masyarakat merasa pengobatan sendiri untuk penyakit ringan jauh lebih efektif, tidak rumit, dan tidak menyita energi dan waktu yang lama (Putri, 2014). Fakta menunjukkan bahwa persentase pelayanan swamedikasi di indonesia lebih banyak dibandingkan pelayanan resep (Sulistyarini, 2010) yaitu antara 20-70% (Pal, 2002 ; Rinukti dan widayati, 2005 ; Chui dan Li, 2005 dalam Hasana, dkk., 2013).

(65)

seorang individu untuk mengatasi penyakit atau gejala penyakit (WHO, 1998). Pada dasarnya, bila dilakukan secara rasional, swamedikasi memberikan keuntungan besar bagi pemerintah dalam pemeliharaan kesehatan nasional (Depkes RI, 2008). Biaya sakit dapat ditekan dan dokter sebagai tenaga profesional kesehatan lebih terfokus pada kondisi kesehatan yang lebih serius dan kritis. Namun jika tidak dilakukan secara benar justru menimbulkan masalah baru yaitu tidak sembuhnya penyakit karena adanya resistensi bakteri dan ketergantungan; munculnya penyakit baru karena efek samping obat antara lain seperti pendarahan sistem pencernaan, reaksi hipersensitifitas, drug withdrawal symptom; serta meningkatnya angka kejadian keracunan (Galato, 2009).

Untuk melakukan swamedikasi secara aman, rasional, efektif dan terjangkau masyarakat perlu menambah bekal pengetahuan dan melatih keterampilan dalam praktik swamedikasi (Suryawati, 1997). Ada beberapa pengetahuan minimal yang sebaiknya di pahami masyarakat karena merupakan hal penting dalam swamedikasi, pengetahuan tersebut antara lain mengenai gejala penyakit, memilih produk sesuai dengan indikasi dari penyakit, mengikuti petunjuk yang tertera pada etiket brosur, memantau hasil terapi dan kemungkinan efek samping yang ada (Depkes RI, 2008).

(66)

(Chua, dkk., 2006; Depkes RI, 2006) untuk meminimalkan kesalahan pengobatan ataupun penggunaan obat.

Pada penelitian sebelumnya menyatakan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap swamedikasi tergolong sedang (Hermawati, 2012; Harahap, 2015). Keterbatasan pengetahuan tersebut akan mempengaruhi kemaksimalan dari ketercapaian tujuan swamedikasi diatas.

Berdasarkan uraian diatas, serta belum ada penelitian mengenai tingkat pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan harapan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi swamedikasi pada sebagian besar masyarakat Kecamatan Medan Marelan dan juga dapat menjadi bahan kajian bagi pemerintah daerah, khususnya profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat di bidang swamedikasi.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Apakah tingkat pengetahuan pasien tentang swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan tergolong sedang ?

b. Apakah penggunaan obat pada pasien swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan tergolong rasional ?

(67)

d. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan rasionalitas swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan ?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

a. Tingkatan pengetahuan pasien tentang swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan tergolong sedang.

b. Rasionalitas penggunaan obat pada pasien swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan, mayoritas tergolong rasional.

c. Faktor umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan dapat mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan.

d. Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dan rasionalitas swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan.

1.4Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

a. Tingkatan pengetahuan pasien tentang swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan.

(68)

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan pasien dan rasionalitas swamedikasi (umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan) di empat apotek Kecamatan Medan Marelan.

d. Hubungan antara tingkat pengetahuan dan rasionalitas swamedikasi di empat apotek Kecamatan Medan Marelan.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaaat dari penelitian ini adalah:

a. Peneliti dapat menerapkan pengetahuan yang diperoleh pada saat proses belajar di fakultas farmasi USU.

b. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan kajian bagi pemerintah daerah, khususnya profesional kesehatan dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.

c. Data dan informasi dari penelitian ini diharapkan bermanfaat dan dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

1.6Kerangka Pikir Penelitian

(69)

Variabel Bebas Variabel Terikat

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian

Karakterisik Pasien

-Umur

-Jenis kelamin -Pendidikan -Pekerjaan

Rasionalitas penggunaan obat swamedikasi

Tingkatan pengetahuan pasien tentang

(70)

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN DAN RASIONALITAS SWAMEDIKASI DI EMPAT APOTEK KECAMATAN

MEDAN MARELAN

ABSTRAK

Latar belakang : Swamedikasi adalah upaya manusia untuk mengobati penyakit atau gejala penyakit ringan seperti demam, batuk, flu, nyeri dan lain-lain tanpa resep dokter. Pada pelaksanaannya, keterbatasan pengetahuan akan obat dan penggunaannya dapat menjadi sumber kesalahan pengobatan (medication error).

Metode : Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif cross-sectional. Data dikumpulkan melalui teknik pengisian kuesioner yang telah divalidasi.Sebanyak 350 orang responden yang terlibat dalam penelitian ini dipilih dengan metode consecutive sampling dari 4 apotek di Kecamatan Medan Marelan yang ditentukan secara proporsional sesuai dengan populasi masing-masing apotek. Data dianalisis menggunakan Statistical Product and Servicer Solution (SPSS) versi 17.

Hasil: Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan pasien 21,1% tergolong baik, 31,9% tergolong sedang, dan 39,7% tergolong buruk. Penggunaan obat swamedikasi 78,9% rasional dan 21,1% tidak rasional. Berdasarkan hasil uji Chi-square dan Fisher’s, tingkat pengetahuan dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan pekerjaan. Sedangkan rasionalitas swamedikasi tidak dipengaruhi faktor sosiodemografi.

Kesimpulan: Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat pengetahuan pasien tergolong sedang dengan nilai rata-rata 64,57%. Penggunaan obat swamedikasi yang tidak rasional mencapai 21,1%.

Gambar

Tabel 3.1 Definisi Operasional Kuesioner Penelitian
Tabel 4.1. Karakteristik Sosiodemografi Seluruh Responden.
Gambar 4.1 Diagram Distribusi Frekuensi Tempat Memperoleh Obat Yang Digunakan Responden
Gambar 4.2  Diagram Distribusi Frekuensi Sumber Informasi Obat Swamedikasi Yang Digunakan responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Plot sebuah histogram dari tinggi gelombang dengan menggunakan interval 1 meter

Menghitung-hitung diri saat menjelang datangnya ramadhan menjadi sangat penting, sehingga setiap muslim akan mempunyai azam yang lebih kuat lagi untuk berupaya menggunakan

Akan tetapi kini anda tidak usah galau dan gelisah, karena kami Alhijaz Indowisata yang merupakan Traval Paket Umroh Murah 2015 , menawarkan berbagai paket umroh dengan

Dengan tidak adanya pertanyaan dari peserta lelang sudah memahami dan mengerti seluruh isi dokumen lelang pengadaan Bahan Makanan Penerima Manfaat Periode

Fakultas Ilmu Budaya UGM. Muji

Penerima Manfaat Periode Bulan Januari s/d Desember Pada PSMP Toddopuli Makassar Tahun Anggaran 2016. dengan nilai HPS sebesar

Kelompok Kerja (Pokja) 1 Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2016 akan melaksanakan Pelelangan Sedehana dengan

2015 GAGAL karena tidak ada peserta lelang yang LULUS dalam tahap Evaluasi Teknis, dengan rincian sebagai berikut:.. Prisma Solusindo Pengalaman Tenaga Ahli Tidak