DAFTAR PUSTAKA
Bahri,S.,Yuningsih, R. Maryam Dan P . Zahari . 1994a.
Cemaran aflatoksin pada pakan ayam yang diperiksa di Laboratorium Toksikologi Balitvet.
Diener,U.L. and N. Davis . 1969 . Aflatoxin formation by aspergillus flavus. In :Aflatoxins. Academic Press, New york, USA .
Groopmen, J,Cain And T .W. Kensler . 1988 .
Aflatoxin exposure in human populations measurement relationship to cancer.Crit. Rev.Toxicol .
Jassar,B.S.and Balwant-Singh . 1989 .
Immunosupressive effect of aflatoxin in broiler chicks.Indian. J. Anim
Liu,K.2002.Prevention and control of molds and mycotoxins in raw materials and final feeds in tropical countries, US Grain Council, American Soybean Association.
Zannell 2000. Mould, Bacteria and Solution. Feed Industry Service (FIS). Italy
Asrul, 2009, Populasi Jamur Mikotoksigenik dan Kandungan Aflatoksin pada Beberapa Contoh
Biji Kakao (Theobroma cacao L) Asal Sulawasi Tengah,J.Agroland 16(3)
Muchtadi, D., 2010,Tidak Dapat Hilang Walau Sudah Diolah Aflatoxin, Racun Penyebab Kanker, diakses pada 26 September 2013
Yusrini, H., 2005, Teknik Analisis Kandungan Aflatoksin B1 Secara ELISA pada pakan ternak dan Bahan Dasarnya, Buletin Teknik Pertanian Vol. 10, Nomor 1, 2005
BAB III
a. Sebelum melakukan pengujian kadar Aflatoksin pada jagung (zea mays), terlebih
dahulu di sampling jagung yang akan diuji aflatoksinnya
b. Dimasukkan jagung yang disampling ke dalam plastik
c. Ditimbang jagung sebanyak 800 gr
d. Digiling jagung dengan proses grinding dengan menggunakan alat penggiling yaitu
grinder dan dimasukkan ke dalam plastik
e. Dihidupkan alat spektrofotometer visibel
f. Dimasukkan jagung yang sudah digiling kedalam alat spektrofotometer visibel
g. Diamati Aflatoksin pada jagung
dimana jagung yang mengandung Aflatoksin akan menunjukkan pendaran warna
h. Diambil jagung yang berwarna kuning keemasan dengan menggunakan pinset dan
dimasukkan kedalam cawan petri
i. Ditimbang cawan petri yang berisi jagung yang mengandung aflatoksin dengan
menggunakan neraca analitis
j. Dicatat hasilnya
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Percobaan
Dari percobaan penentuan kadar Aflatoksin dalam jagung sebagai bahan baku pakan
ternak ikan yang dilakukan secara spektrofotometri di laboratorium PT.CENTRAL
PROTEINA PRIMA Tbk, diperoleh data percobaan sebagai berikut
Tabel 4.1.1. Pengujian Aflatoksin Pada Jagung
No Raw Material Name Plant RM Receive
No Sampel Berat sampel Gram Aflatoxin Ppb (part per billion)
01 Jagung 800 gr 0,1 gr 10 ppb
4.2 Perhitungan
menghitung berat Aflatoxin yang terdapat pada sampel
Percobaan 1 (02 Februari 2016 ) sampel: 800 gr
gr Aflatoxin : 0,1 gr
0,1 gr x 100 % =10 ppb
Percobaan 2 (03 Februari 2016 )
Sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 0,2 gr
0,2 gr x 100 % =20 ppb
Percobaan 3 (04 Februari 2016 ) sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 0,1 gr
0,1 gr x 100% =10 ppb
Percobaan 4 (05 Februari 2016 ) sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 0,25 gr
0,25 gr x 100% =25 ppb
Percobaan 5 (05 Februari 2016 ) sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 0,3 gr
Percobaan 6 (08 Februari 2016 ) sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 1,15 gr
1,15 gr x 100% =115 ppb
Percobaan 7 (08 Februari 2016 )
sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 0,2 gr
0,2 gr x 100% =20 ppb
Percobaan 8 (09 Februari 2016 ) sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 0,35 gr
0,35 gr x 100% =35 ppb
Percobaan 9 (10 Februari 2016 )
sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 1,1 gr
1,1 gr x 100% =110 ppb
Percobaan 10 (11 Februari 2016 ) sampel : 800 gr
gr Aflatoxin : 0,8 gr
0,8 gr x 100% =80 ppb
Apabila % Aflatoxin yang terdapat pada sampel lebih besar dari 100 %, maka
4.3 Pembahasan
Aflatoxin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan
Aspergillus parasiticus. Pada percobaan, dilakukan sepuluh kali pengujian terhadap
sampel jagung menggunakan alat spektrofotometer visibel untuk menentukan kadar
aflatoxin dengan persyaratan maximum 100 ppb. Pengujian pada sampel satu kadar
aflatoksin diterima dengan nilai 10 ppb, sampel dua diterima dengan nilai kadar
aflatoksin 20 ppb, sampel tiga diterima dengan nilai kadar aflatoksin 10 ppb, sampel
empat diterima dengan nilai kadar aflatoksin 25 ppb, sampel lima diterima dengan nilai
kadar aflatoksin 30 ppb, sampel tujuh diterima dengan nilai kadar aflatoksin 20 ppb,
sampel delapan diterima dengan nilai kadar aflatoksin 35 ppb, sampel sepuluh diterima
dengan nilai kadar aflatoksin 80 ppb. Dan terdapat dua sampel yang ditolak kadar
aflatoxinnya yaitu sampel enam dengan nilai kadar alfatosin 115 ppb dan sampel
sembilan dengan nilai 110 ppb hal ini dipengaruhi suhu, iklim/cuaca, tempat
penyimpanan dan pengeringan jika suhu lembab dan cuaca dingin serta pengeringan
yang kurang efektif dapat menyebabkan pertumbuhan kapang aspergillus flavus dan
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Kapang dapat menghasilkan metabolit beracun yang disebut mikotoksin.
Mikotoksin terutama dihasilkan oleh kapang saprofit yang tumbuh pada bahan
pangan atau pakan hewan. Setelah tahun 1970, diketahui bahwa mikotoksin dapat
menimbulkan penyakit pada manusia, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Toksisitas mikotoksin dapat bersifat akut maupun kronik, tergantung pada jenis
dan dosisnya.
Kontaminasi aflatoksin pada pakan ternak di Indonesia sangat mungkin terjadi dan
dapat mempengaruhi kesehatan dan produktivitas ternak. Untuk mengurangi akibat
yang merugikan, maka peraturan yang berkaitan dengan mutu pakan telah
dikeluarkan pemerintah. Selain itu kontrol kualitas pakan secara kontinyu menjadi
penting, dan memerlukan metoda analisis yang sederhana, cepat, sensitif dan
murah .
stabil disimpan dalam suhu4°Cselama2bulan. Uji coba lapang, pengujian antar
laboratorium menunjukkan hasil cukup akurat,menunjukkan hasil yang konsisten.
diharapkan potensi tercemarnya pakan dan bahan dasar pakan oleh aflatoksin serta
bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia dapat lebih diwaspadai . Dengan
tersedianya teknik deteksi yang dikembangkan, kontrol kualitas
pakan dan jagung diharapkan dapat dilakukan secara lebih cepat dan
berkesinambungan .
Kerugian akibat pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah di bidang
peternakan, karena dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Kapang dapat
peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan ban
pakan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya produksi
aflatoksin dari kapang tersebut, sehingga pakan tercemar aflatoksin. Peluang
pencemaran ini cukup besar.
2. Kadar aflatoxin pada jagung sebagai bahan baku pakan ternak ikan yaitu antara
0- 100ppb. Batas maksimum aflatoxin pada jagung yaitu 100 ppb.
Apabila jumlah aflatoxin lebih besar dari 100 ppb maka jagung tersebut tidak
dapat digunakan lagi atau sampel di tolak.
5.2 Saran
1. Untuk penyimpanan, pengeringan jagung serta suhu hendaknya dilakukan
dengan efektif untuk menghindari pertumbuhan kapang Aspergillus flavus
dan Aspergillus parasiticus yang menghasilkan aflatoxin sehingga
mempengaruhi mutu dari sampel jagung yang akan diolah.
2. Untuk memperoleh sampel jagung yang baik dapat dilakukan dengan proses
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengenalan Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L ) adalah tanaman pangan kedua sesudah padi. Secara global
jagung adalah tanaman pangan ketiga setelah gandum dan padi. Jagung berasal dari
Mexico, dan disana telah dibudidayakan selama ribuan tahun. Jagung menjadi dasar
kebudayaan Aztec dan Maya. Dewasa ini Amerika Serikat merupakan produsen jagung
terbesar, karena menghasilkan lebih dari separo produksi dunia. Bahkan lebih dari 60%
dari jagung yang diperdagangkan di pasaran dunia berasal dari Amerika
serikat(Purseglove, 1972) meskipun akhir-akhir ini penanaman jagung di tropik
meningkat dengan pesat, namun sampai sekarang jagung masih lebih banyak di tanam di
daerah beriklim sedang ( Temperate regions).( Semangun,1968)
2.2 Penyakit yang Terdapat Pada Jagung
Berikut ada jenis penyakit yang terdapat pada tanaman jagung yaitu:
1. Penyakit Bulai
Penyakit bulai atau downy mildew pada jagung sejak lama menimbulkan kerugian
yang cukup besar, sehingga banyak dikenal di antara para petani. Kerugian karena
penyakit bulai pada jgung saat bervariasi stempat-setempat. Penyakit ini
menyebabkan penanaman jagung mengandung risiko yang tinggi. Gejala penyakit
Penyakit bulai dapat menimbulkan gejala sistematik yang meluas keseluruh badan
tanaman dan dapat menimbulkan gejala lokal( setempat). Ini tergantung dari
sistematik hanya terjadi bila jamur dari daun yang terinfeksi dapat mencapai titik
tumbuh sehingga dapat menginfeksi semua daun yang dibentuk oleh titik tumbuh itu.
Penyebab Penyakit
Jamur Peronosclerospora maydis( Rac.) shaw yang sampai sekarang masih dikenal
juga dengan nama sclerospora maydis (Rac.) Butl. Semula oleh Raciborski (1897)
jamur disebut peronospora maydis Rac.,yang oleh palm (1918) diubah menjadi
sclerospora javanica Palm. Seterusnya oleh Butler dan Bisby(1931) jamur disebut
sclerospora maydis (Rac.) Palm, yang menurut van Hoof (1953) sesuai dengan aturan
tata nama(nomenklatur), nama ini seharusnya sclerospora maydis (Rac.)Butl.
Shaw menyatakan bahwa sebaiknya diadakan pembedaan antara sclerospora yang
konidium(sporangium)-nya membentuk spora kembara dan konidiumnya
berkecambah secara langsung dengan membentuk pembuluh kecambah. Kelompok
yang terakhir ini dimasukkan kedalam genus(marga) baru yaitu peronosclerospora,
sehingga sclerospora maydis sekarang disebut peronosclerospora maydis(Rac.) Shaw Pengelolaan penyakit
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:
Sudjono (1989) menganjurkan agar penanaman jagung dilakukan bila curah
hujan rata-rata selama 10 hari kurang dari 55mm.
Jika diperlukan, penyakit dapat dikendalikan dengan fungisida,antara lain
mankozeb, meskipun mungkin usaha ini tidak akan menguntungkan.
Jamur yang terbawa oleh biji dapat dimatikan dengan thiram dan karboxin,
2. Penyakit Gosong
Pada akhir tahun 1963 di jawa muncul banyak berita tentang adanya penyakit gosong
(smut) pada jagung. Di banyak tempat di Jawa Tengah penyakit baru ini diberitakan
menyebabkan buah jagung menjadi beracun jika termakan. Bahkan tongkol-tongkol
jagung yang direbus tercampur dengan tongkol-tongkol yang sakit akan menjadi
beracun juga. Diberitakan bahwa di kebun pada waktu malam tongkol yang sakit
bersinar.
Gejala Penyakit
Gejala terutama terdapat pada tongkol. Biji-biji yang terinfeksi
membengkak,membentuk nyali (kelenjar,gall,cecidia) semula nyali berwarna putih,
tetapi setelah jamur yang terdapat didalamnya membentuk spora (teliospora), nyali
berwarna hitam dengan kulit yang jernih.
Dengan semakin membesarnya nyali-nyali kelobot (pembungkus tongkol jagung)
terdesak ke samping, sehingga sebagian dari nyali itu tampak dari luar. Akhirnya
nyali pecah dan spora jamur yang berwarna hitam terhambur keluar. Meskipun agak
jarang, nyali mungkin terdapat pada batang,daun dan bunga jantan. Penyebab Penyakit
Penyakit disebabkan oleh jamur Ustilago maydis (DC) Cda.,yang dahulu juga disebut
Ustilago zeae Schw., Uredo maydis DC dan Uredo zeaemays DC. Dalam nyali-nyali
jamur membentuk teliospora (dahulu disebut klamidospora), bulat atau jorong dengan
garis tengah 8-11µm, hitam dengan banyak duri halus. Teliospora berkecambah
dengan membentuk basidium atau promiselium yang lalu membentuk basidiospora
atau sporidium. Sporidium dapat berkecambah dengan membentuk hifa, tetapi dapat
Pengelolaan Penyakit
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:
Di tempat-tempat yang penyakit ini timbul pertama kalinya dianjurkan untuk
membakar dan memendam tanaman yang sakit agar tidak menjadi sumber
infeksi bagi tanaman yang akan datang, dan sebaiknya usaha ini dilakukan
sebelum jamur membentuk spora.
Untuk mencegah masuknya penyakit ke daerah baru di anjurkan agar
melakukan perawatan biji dengan pestisida yang sesuai.
Mencari jenis-jenis jagung yang tahan, karena adanya kecenderungan bahwa
ketahanan terhadap penyakit gosong berhubungan erat dengan tipe-tipe jagung
yang lemah.
3. Penyakit Busuk Tongkol
Busuk Tongkol (ear rot) yang disebabkan oleh jamur Fusarium, yang sering disebut “busuk tongkol merah” merupakan penyakit yang umum ditemukan pada seluruh
jagung di dunia. Penyebab busuk tongkol juga dapat menyerang batang dan
menyebabkan busuk batang (stalk rot). Jamur-jamur ini dapat terbawa oleh biji dan
menyebabkan penyakit semai (damping off)
Biji jagung yang terserang oleh F. graminearum dapat menimbulkan penyakit pada
ternak dan manusia, karena jamur ini diketahui membentuk racun deoksinivalenol
(vomitoksin), nivalenol, dan zearalenon. Zearalenon dapat menimbulkan
hiperestrogenisme pada ternak betina yang menyebabkan menjadi mandul. Gejala Penyakit
Jamur-jamur penyebab busuk tongkol, Fusarium dan Diplodia, sering kali menyerang
pembususkan yang berwarna merah jambu atau kemerah-merahan berkembang dari
ujung ke pangkal tongkol. Penyebab Penyakit
Busuk tongkol disebabkan oleh beberapa spesies Fusarium.
F.graminearum Schwabe sering disebut F.rose f.cerealis (cke.) snyder et Hansen var. ‘graminearum’, dan juga dengan nama teleomorfnya. Klamidospora interkalar, bulat,
berdinding tebal, hialin atau cokelat pucat, dinding luar licin atau agak kasar yang
memebentuk rantai atau kumpulan. Pengelolaan Penyakit
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk pengelolaan penyakit yaitu:
Karena lebih banyak terdapat pada tanaman yang lemah, penyakit dapat
dikurangi dengan pemeliharaan tanaman yang sebaik-baiknya, antara lain
dengan pemupukan yang seimbang.
Tidak membiarkan tongkol terlalu lama mengering di ladang
Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan padi-padian hanya akan bermanfaat
jika dilakukan pada daerah yang cukup luas, karena patogen mempunyai
banyak tumbuhan inang.
Busuk tongkol karena Fusarium dapat dikurangi dengan aplikasi jamur
antagonis, Trichhoderma.
Penyakit tumbuhan ialah suatu proses fisiologi tumbuhan yang abnormal dan
merugikan, yang disebabkan oleh faktor primer (biotik atau abiotik ) dan
gangguannya bersifat terus menerus serta akibatnya dinyatakan oleh aktivitas sel/
jaringan yang abnormal. Akibat yang muncul tersebut disebut gejala. Konsep tersebut
terjadi bila salah satu atau beberapa fungsi fisiologinya menjadi abnormal karena
adanya gangguan atau kondisi lingkungan tertentu( faktor abiotik). ( Semangun,1968)
Tanaman yang terinfeksi pada waktu masih sangat muda biasanya tidak
membentuk buah. Bila infeksi terjadi pada tanaman yang lebih tua, tanaman dapat
tumbuh terus dan membentuk buah. Buah sering mempunyai tangkai yang panjang,
dengan kelobot yang tidak menutup pada ujungnya, dan hanya membentuk sedikit
biji. Bila jamur dalam daun yang terinfeksi pertama kali tidak dapat mencapai titik
tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-daun yang bersangkutan sebagai garis-garis
klorotik yang disebut juga sebagai gejala lokal ( Semangun,1968)
2.3 Aflatoksin
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus
dan Aspergillus parasiticus. Keberadaan toksin ini dipengaruhi oleh faktor cuaca,
terutama suhu dan kelembaban. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai,
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus dapat tumbuh pada jenis pangan tertentu
serta pada pakan hewan, kemudian menghasilkan aflatoksin.
Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2.
Keempat jenis aflatoksin tersebut biasanya ditemukan bersama dalam berbagai
proporsi pada berbagai jenis pangan dan pakan hewan. Aflatoksin B1 biasanya paling
mendominasi dan bersifat paling toksik. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin
G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke
dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi
Gambar A. Aflatoxin
Aflatoksin adalah senyawa racun yang dihasilkan oleh metabolit sekunder jamur
Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Selain itu, aflatoksin diproduksi juga oleh jamur
Aspergillus nomius, A. pseudotamarii dan A. ochraceoroseus. A. flavus dan A.
parasiticus tumbuh pada kisaran suhu yang panjang, berkisar dari 10–12°C sampai 42–
43°C dengan suhu optimum 32–33°C dan pH optimum 6. Jamur ini biasanya
ditemukan pada bahan pangan/pakan yang mengalami proses pelapukan. Pertumbuhan
aflatoksin dipacu oleh kondisi lingkungan dan iklim, seperti kelembapan, suhu, dan
curah hujan yang tinggi. Kondisi seperti itu biasanya ditemui di negara tropis seperti
Indonesia. Selain itu, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi
aflatoksin adalah (1) pengaruh aerasi, dimana proses fermentasi yang dilakukan pada
wadah yang tidak memiliki aerasi yang bagus (2) pengaruh atmosfir (gas udara) seperti
CO, dan O2 ; (3) suhu, dimana suhu optimum untuk memproduksi toksin yaitu 25C ;
(4) pengaruh kelembaban, dimana RH pada proses fermentasi lebih dari 80 %.
Aflatoksin merupakan salah satu nama sekelompok senyawa yang termasuk mikotoksin
dan paling toksik dibanding mikotoksin lainnya.( Asrul, 2009)
Aflatoksin dikenal susunan kimianya pada tahun 1964, yang mula-mula dibagi
dalam dua golongan yatu aflatoksin jenis B dan jenis G berdasarkan atas warna
fluoresensi apabila dikenai sinar ultra violet; masing-masing warna biru (blue) untuk
aflatoksin jenis B dan warna kehijauan (green) untuk jenis G. Pada saat itu baru
mempunyai struktur kimia serta daya racun yang berbeda, di mana aflatoksin B1 adalah
yang sangat beracun. Aflatoksin bersifat sangat tidak larut dalam air, larut dalam aseton
atau chloroform dan titik cairnya antara 237-289C.
Aflatoksin memiliki sifat racun yang akut dan kronis. Aflatoksin bersifat karsinogen
dan banyak ditemukan pada produk pertanian. Aflatoksin dapat menyebabkan kanker
dan ginjal pada manusia bila dikonsumsi secara berlebihan. Dalam dosis yang tinggi
aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak
dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokarbium dan ginjal. Efek kronik
dan sub akut aflatoksin pada manusia yaitu penyakit hati seperti kanker hati, hepatitis
kronik, penyakit kuning, dan sirosis hati. (Muchtadi, 2010)
Aflatoksin dapat pula mengakibatkan gangguan penyerapan makanan, gangguan
pencernaan dan metabolisme nutrien akibat mengkonsumsi pangan yang
terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus. Aflatoksin
juga berperan dalam menyebabkan penyakit seperti busung lapar. Selain itu juga
dapat mengganggu sistem kekebalan tubuh pada manusia dan hewan. Efek kronis
racun aflatoksin merupakan penyebab kanker yang potensial (potent carcinogen).
Aflatoksin B1 adalah penyebab kanker hati yang potensial (potent hepato
carcinogen). Mengingat bahaya yang ditimbulkannya, maka WHO, FAO dan
UNICEF telah menetapkan batas kandungan aflatoksin pada produk pertanian yang
dikonsumsi, tidak lebih dari 30 ppb. Bahkan Europan Commission menetapkan batas
maksimal total aflatoksin lebih rendah yakni 4 ppb untuk produk serelia. ( Yusrini,
H., 2005)
Kerugian akibat pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah di
peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan bahan
pakan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya produksi
aflatoksin dari kapang tersebut, sehingga pakan tercemar aflatoksin. Peluang
pencemaran ini cukup besar, karena iklim tropis di Indonesia sangat mendukung.
Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin oleh kapang
adalah kelembaban minimum 85 persen dan suhu optimum 25-27° C. Kapang
pencemar yang menghasilkan metabolit sekunder aflatoksin terutama adalah
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. A.flavus umumnya memproduksi
aflatoksin B (AFB, dan AFBZ ),sedangkan A. parasiticus dapat memproduksi
aflatoksin B dan aflatoksin G (AFG). A. flavus terdapat di mana-mana, sedangkan
A.Parasiticus tidak. Saat ini ada 4 macam aflatoksin yaitu AFB, AFG2, AFG, dan
AFG 2 yang merupakan aflatoksin induk yang telah dikenal secara alami dan
dijumpai di alam. AFB adalah jenis aflatoksin yang paling toksik AFG2,AFG, dan
AFG mempunyai daya racun yang rendah, hanya 1/60-1/100 kali dibandingkan AFB,
dan tidak terlalu berbahaya. Kapang tersebut banyak mencemari produk pertanian,
diantaranya adalah kacang-kacangan, beras, jagung, gandum, biji kapas dan biji-bijian
lainnya (DIENER dan DAVIS, 1969)
Masalah yang cukup berat akibat dari pencemaran aflatoksin pada pakan akan
berlanjut dengan timbulnya gangguan keracunan bagi ternak yang mengkonsumsi
pakan tercemar tersebut. Data FAO menyatakan bahwa 25% suplai biji-bijian di dunia
terkontaminasi oleh kapang dan mikotoksin. Di negara Asia Tenggara malahan
ditemukan sebanyak kira-kira 50% jagung dan 90% pakan ternak unggas
terkontaminasi mikotoksin, yang merupakan sumber kerugian ekonomi utama pada
Hasil penelitian yang dilakukan International Agency for Research on Cancer
terhadap hewan percobaan terbukti bahwa AFB, adalah senyawa racun bersifat
karsinogen, dan pada tahun 1988 dimasukkan ke dalam urutan senyawa karsinogen
bagi manusia Pernyataan ini didukung oleh data studi epidemiologi yang dilakukan di
negara Asia dan Afrika yang ternyata ada korelasi positif antara mengkonsumsi
pangan yang mengandung AFB, dengan kejadian kanker set hati. Kejadian penyakit
akibat aflatoksin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin,
status pangan dan atau terjadi bersama-sama dengan agen penyebab lain seperti virus
hepatitis atau infeksi parasit (GROOPMAN et al, 1988)
Untuk menjaga agar kadar aflatoksin pada pakan dan pangan tetap dalam
batas-batas yang masih dapat ditolerir dan tidak membahayakan ternak dan manusia,
beberapa negara termasuk Indonesia telah menetapkan batas maksimum kadar
aflatoksin pada pakan dan pangan. Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) dianggap dapat dilakukan lebih mudah dan cepat serta cukup sensitif.
Kegiatan pengembangan kit ELISA aflatoksin B, telah dilakukan oleh Balitvet, dan
telah dapat dirakit kit ELISA aflatoksin B, untuk analisis kandungan aflatoksin pada
sampel pakan dan jagung. Pada tulisan ini disajikan situasi cemaran aflatoksin pada
pakan dan bahan pakan jagung di Indonesia, peraturan yang berkaitan dengan mutu
pakan terutama aflatoksin, serta teknik deteksi yang dikembangkan. Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk lebih mewaspadai potensi pencemaran pakan dan bahan
dasar pakan oleh aflatoksin, serta bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia.
Dengan tersedianya teknik deteksi yang dikembangkan ini, maka kontrol kualitas
pakan dan jagung diharapkan dapat dilakukan secara lebih cepat dan
Kerugian di bidang peternakan akibat pencemaran pakan oleh Aflatoksin antara lain penurunan kualitas dan kuantitas produk peternakan. Kualitas produk
menurun karena adanya residu aflatoksin pada produk ternak tersebut. Aflatoksin
terdeteksi sesekali pada usu dan daging, karena ternaknya mengkonsumsi pakan yang
mengandung aflatoksin. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia
terbukti pakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia umumnya
tercemar aflatoksin (BAHRI et al, 1994a)
Pengaruh Aflatoksin pada ternak ruminansia dilaporkan oleh DASS dan
ARORA (1994) Pada percobaan ini kerbau Murah umur 10 hari diberi susu yang
mengandung AFB I 0 ; 0,3 ; 0,6 ; dan 1,0 ppm selama 13 minggu Ternyata rata-rata
pertumbuhan bobot badan menurun secara nyata dengan meningkatnya dosis AFB
yang diberikan. Pertambahan bobot badan kerbau masing-masing adalah 2,76 ; 2,15 ;
1,86 ; dan 1,5 kg. Analisis lebih Ianjut dari data pertumbuhan disarankan bahwa 0,14
ppm AFB adalah level aman yang dapat diberikan pada ternak besar pada periode
umur di atas tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin yang dihasilkannya
juga dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan
unsur mineral, khususnya tembaga (Cu), besi(Fe), kalsium(Ca),dan fosfor (P), serta
beta-karoten, penurunan kekebalan tubuh, kegagalan program vaksinasi, kerusakan
kromosom, perdarahan,dan memar. Semua gangguan tersebut berakibat pertumbuhan
terhambat dan kematian meningkat sehingga produksi ternak menurun (Jassar Dan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal
dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. Racun ini
pertama kali secara tidak sengaja ditemukan pada tahun 1960-an, di mana lebih dari
seratus ribu kalkun mati oleh sebab Turkey X disease. Kejadian serupa terjadi pula
Uganda dan Kenya. Para ahli jamur (mikolog) menemui bahwa kacang tanah dari Brazilia
tak cocok dan beracun bagi bebek. Para peneliti dari Inggris kemudian menemui
penyebab matinya ternak itu oleh sebab kacang tanah yang beracun, yang dijadikan
sebagai makanan ternak tersebut.
Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya
masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak
memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis
merupakan tempat berkembang biak paling ideal.
Pada Aflatoksin senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama
kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat
kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis,
karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan
metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat
reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N
Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai,
pistacio, atau bunga matahari) , rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta
kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin juga dapat
dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang
terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi
kapang ini (wikipedia.org). Aflatoksin merupakan nama sekelompok senyawa yang
termasuk mikotoksin, bersifat sangat toksik. Aflatoksin diproduksi terutama oleh jamur
Aspergillus flavus dan A. parasiticus .Kontaminasi aflatoksin dalam bahan makanan
maupun pakan ternak lebih sering terjadi di daerah beriklim tropik dan sub tropik karena
suhu dan kelembabannya sesuai untuk pertumbuhan jamur. Aflatoksin memiliki tingkat
potensi bahaya yang tinggi dibandingkan dengan mikotoksin lain. Menurut Internasional
Agency for Research on Cancer aflatoksin B1 merupakan salah satu senyawa yang
mampu menjadi penyebab terjadinya kankerpada manusia.
Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air, tidak rusak
pada suhu panas, tahan sampai suhu antara 237-289 oC , sehingga sulit untuk
mengurainya. Yang umum dikenal ada 6 jenis aflatoksin yaitu B1, B2, G1, G2, M1 dan
M2 dan yang paling dominan serta berbahaya adalah aflatoksin B1 (AFB1). komoditas
lain yang sudah terserang penyakit tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang
penyakit biasanya juga mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus
sudah terjadi saat pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di
gudang.
Aflatoksin dan dampaknya terhadap hewan yaitu dapat menghambat peningkatan
bobot badan ternak unggas dan ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan
imun respon (daya kekebalan tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi,
menyebabkan residu pada produk ternak, yang akan berbahaya bagi manusia. Dampak
terhadap manusia jika terpapar oleh aflatoksin secara terus menerus dalam jumlah kecil
dapat menyebabkan kerusakan organ hati. Efek kronis lainnya, menurunkan respon
kekebalan, mudah terkena infeksi, sirosis hati, kanker hati.
1.2 Permasalahan
Permasalahannya adalah apakah kadar aflatoksin yang terdapat pada bahan baku jagung
telah sesuai dengan syarat standar mutu perusahaan yaitu batas maximum 100 ppb di
PT. Central Proteina Prima,Tbk.
1.3 Tujuan
1. Untuk lebih mewaspadai potensi pencemaran pakan dan bahan dasar pakan oleh
aflatoksin, serta bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia.
2. Untuk mengetahui kadar aflatoksin dalam jagung sebagai bahan baku pakan ternak ikan secara spektrofotometer visibel.
1.4 Manfaat
1. Dapat mewaspadai potensi pencemaran pakan dan bahan dasar pakan oleh aflatoksin,
serta bahayanya bagi kesehatan ternak dan manusia
2. dapat mengetahui kadar aflatoksin dalam jagung sebagai bahan baku pakan ternak
PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI
BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA
SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL
DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.
ABSTRAK
Aflatoxin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang terdapat pada sampel jagung, yang dapat dianalisa dan ditentukan kadarnya menggunakan alat spektrofotometer visibel.
Kadar persyaratan maximum aflatosin adalah 100 ppb, jika kadar aflatosin diatas 100 ppb dari sampel jagung ditolak dan tidak dapat dilanjutkan pengolahan ke dalam pabrik. Jika kadar aflatosin dibawah 100 ppb dari sampel jagung diterima dan dilanjutkan pengolahan ke pabrik.
DETERMINATION OF CONTENT AFLATOXINS in CORN AS RAW
MATERIALS FOR ANIMAL FEED FISH VISIBLE
SPECTROPHOTOMETRY
IN PT . CENTRAL PROTEIN PRIMA Tbk .
ABSTRACT
Aflatoxin is a mycotoxin produced by Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus contained in corn samples, which can be analyzed and assayed using a visible spectrophotometer.
Aflatosin maximum requirement levels are 100 ppb, if aflatosin levels above 100 ppb of maize samples, rejected and can not continue processing in the factory. If aflatosin levels below 100 ppb of maize samples received and proceed to the processing plant.
PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI
BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA
SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL
DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.
KARYA ILMIAH
DYNA LESTARI SIMBOLON
132401016
PROGRAM STUDI D3 KIMIA
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI
BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA
SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL
DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.
KARYA ILMIAH
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar ahli Madya
Disusun Oleh :
DYNA LESTARI SIMBOLON
132401016
PROGRAM STUDI D3 KIMIA
DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
JUDUL : PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM
JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN
FAKULTAS : MATEMATIKA DAN ILMU
PERNYATAAN
PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL
DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.
KARYA ILMIAH
Saya mengakui bahwa tugas akhir ini adalah hasil kerja saya sendiri, kecuali beberapa kutipan dari
ringkasan masing- masing yang disebutkan sumbernya.
Medan , juni 2016
PENGHARGAAN
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-Nya yang besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini, yang merupakan salah satu syarat untuk memeperoleh gelar Ahli Madya pada Program Diploma III
D3 Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Penulisan tugas akhir ini berdasarkan hasil kerja praktek lapangan di PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis telah banyak menerima bantuan dari berbagai pihak dan pada kesempatan ini, penulis menghanturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis Ayahanda B.Simbolon dan Ibunda P.Br Sihite yang telah memberikan dorongan moril dan bantuan materil kepada penulis.
2. Ibu Dr.Rumondang Bulan,M.S selaku Ketua Jurusan Departemen Kimia F-MIPA USU 3. Ibu Drs. Emma Zaidar,M.Si selaku Ketua Bidang Studi D3 Kimia F-MIPA USU
4. Bapak Dr. Lamek Marpaung,M.S selaku Dosen pembimbing yang telah banyak memberikan masukan dan bimbingan dalam penulisan karya ilmiah ini.
5. Seluruh Karyawan dan karyawati PT.CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk. DI JL.Pulau Pinang V No.1 kawasan Industri Medan II. Desa saintis Deli Serdang yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan bantuannya kepada penulis
6. Teman-teman Praktek Kerja Lapangan(PKL) Robet manik, judika yang sama-sama melaksanakan PKL di PT.CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.
7. Rekan-rekan mahasiswa D3 Kimia stambuk 2013 yang saling memberi semangat.
Dan penulisan tugas akhir ini penulis menyadari bahwa isi dan penyajiannya masih jauh dari sempurna untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih dan berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
PENENTUAN KADAR AFLATOKSIN DALAM JAGUNG SEBAGAI
BAHAN BAKU PAKAN TERNAK IKAN SECARA
SPEKTROFOTOMETRI VISIBEL
DI PT. CENTRAL PROTEINA PRIMA Tbk.
ABSTRAK
Aflatoxin adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang terdapat pada sampel jagung, yang dapat dianalisa dan ditentukan kadarnya menggunakan alat spektrofotometer visibel.
Kadar persyaratan maximum aflatosin adalah 100 ppb, jika kadar aflatosin diatas 100 ppb dari sampel jagung ditolak dan tidak dapat dilanjutkan pengolahan ke dalam pabrik. Jika kadar aflatosin dibawah 100 ppb dari sampel jagung diterima dan dilanjutkan pengolahan ke pabrik.
DETERMINATION OF CONTENT AFLATOXINS in CORN AS RAW
MATERIALS FOR ANIMAL FEED FISH VISIBLE
SPECTROPHOTOMETRY
IN PT . CENTRAL PROTEIN PRIMA Tbk .
ABSTRACT
Aflatoxin is a mycotoxin produced by Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus contained in corn samples, which can be analyzed and assayed using a visible spectrophotometer.
Aflatosin maximum requirement levels are 100 ppb, if aflatosin levels above 100 ppb of maize samples, rejected and can not continue processing in the factory. If aflatosin levels below 100 ppb of maize samples received and proceed to the processing plant.
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel Judul Halaman
Tabel 4.1.1. Pengujian Aflatoksin Pada Jagung 18