• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mechanical properties of betung bamboo for fishing gear material

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mechanical properties of betung bamboo for fishing gear material"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)

SIFAT MEKANIS BAMBU BETUNG SEBAGAI

BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN

DINIAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Sifat Mekanis Bambu Betung sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan” ini adalah karya saya dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2010

Diniah

(3)

ABSTRACT

DINIAH. 2010. Mechanical Properties of Betung Bamboo for Fishing Gear Material. Under supervision of BAMBANG MURDIYANTO, DANIEL R MONINTJA, BUDHI HASCARYO ISKANDAR.

Mechanical properties of bamboo are needed to be revealed in order to be used as fishing gear material for fishing gear design and construction. Bending strength test of betung bamboo split have been done using standard and cantilever model, as well as the tensile strength and compression test. Modulus of elasticity value of bamboo standard model ranged from 5,247.74 to 15,078.15 kg/cm2, value of bending strength ranged from 829.47 to 1,646.30 kg/cm2 and allowable bending strength for the underwater condition ranged from 144.11 to 359.55 kg/cm2. Hence, the maximum load which can be allowed for a construction of fishing gear from bamboo split should not exceed 144 kg/cm2. Modulus of elasticity value of bamboo cantilever model ranged from 7,360.18 to 10,690.66 kg/cm2, value of bending strength ranged from 515.67 to 790.91 kg/cm2 and allowable bending strength for the underwater construction ranged from 69.61 to 152.58 kg/cm2. The rating which can be allowed for fishing gear construction from bamboo split should not exceed 69 kg/cm2. Modulus of elasticity value of bamboo tensile model ranged from 39.61 to 72.53 kg/cm2, value of tensile strength ranged from 674.59 to 1,291.82kg/cm2 and allowable tensile strength for the underwater condition ranged from 91.64 to 326.26 kg/cm2. Hence, the maximum load which can be allowed for a construction of fishing gear from bamboo split should not exceed 91 kg/cm2. Modulus of elasticity value of bamboo perpendicular compression of the fiber model ranged from 147.82 to 330.57 kg/cm2, value of compression perpendicular of fiber strength ranged from 78.31 to 1,010.98 kg/cm2 and allowable compression perpendicular of fiber strength for the underwater construction ranged from 34.80 to 157.34 kg/cm2. The rating which can be allowed for fishing gear construction from bamboo split should not exceed 34 kg/cm2. Modulus of elasticity value of bamboo parallel compression of the fiber model ranged from 1,142.93 to 1,264.90 kg/cm2, value of compression parallel of fiber strength ranged from 442.36 to 618.63 kg/cm2 and allowable compression parallel of fiber strength for the underwater construction ranged from 87.32 to 158.69 kg/cm2. The rating which can be allowed for fishing gear construction from bamboo split should not exceed 87 kg/cm2. Base on Hooke’s law, load- elasticity curve and load-deflection curve at simple bending beam test and cantilever bending test, and strain-stress curve at tensile test and compression test, show that values of theoretical calculation as according to value of result of laboratory test. Result of statistical analysis using Analysis of Variance at models of bending standard, cantilever, tensile and compression, in general indicated that the individually values and their interaction for treatment of an outer or inner part of bamboo bar position are significant at degree of confidence level of 99%, but the wide part samples show non significant at 90 % degree of confidence. The combination of all parts of bamboo split can be used for fishing gear construction in optimum performance.

(4)

RINGKASAN

DINIAH. 2010. Sifat Mekanis Bambu Betung sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan. Dibimbing oleh BAMBANG MURDIYANTO, DANIEL R MONINTJA, BUDHI HASCARYO ISKANDAR.

Ada beragam jenis bahan alat penangkapan ikan, seperti besi, baja, bahan sintetis, kayu, ban bekas, bambu dan lainnya. Sejumlah jenis bahan alat penangkapan ikan ada yang semakin mahal harganya, sementara jenis bahan lain dapat berdampak kurang baik terhadap lingkungan perairan di mana alat tangkap tersebut dioperasikan, atau bahan dari kayu yang cenderung semakin langka ketersediaannya. Satu jenis bahan alat penangkapan ikan yang relatif banyak tersedia dan diminati banyak “pengrajin” adalah bambu. Bambu banyak tumbuh di wilayah Indonesia dengan beragam jenisnya, oleh karena itu harganya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan jenis bahan lain.

Beragam alat penangkapan ikan terbuat dari bambu dan umumnya digunakan secara tradisional. Beberapa kelebihan bambu diantaranya mudah didapat, kuat, ulet dan mudah dikerjakan, namun umur teknis bambu rendah.

Alat penangkapan ikan dari bambu memerlukan nilai-nilai dari sifat mekanis tersendiri untuk menahan beban hasil tangkapan. Sifat mekanis bambu dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya umur bambu saat tebang, bagian bambu yang digunakan, jenis bambu, kondisi pemakaian, bentuk konstruksi, ukuran pemakaian bambu dan sebagainya. Sifat mekanis bambu pada satu jenis alat penangkapan ikan dapat mempengaruhi jumlah beban yang ditanggungnya, dalam hal ini adalah berat ikan hasil tangkapan yang diperoleh saat operasional. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung nilai dari sifat mekanis bambu berdasarkan bagian batang bambu yang digunakan, posisi dan ukuran bilah bambu saat digunakan.

Hukum Hooke menyatakan bahwa elastisitas merupakan rasio antara tegangan terhadap regangan. Hukum Hooke berlaku pada benda yang bersifat elastis, seperti besi dan baja. Bambu juga merupakan benda yang elastis, namun belum terungkap bahwa sifat elastis bambu juga mengikuti Hukum Hooke. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk mengungkapkan hal tersebut dengan membandingkan kurva hubungan antara tegangan dan regangan bambu yang diperoleh dari percobaan dengan kurva yang sama yang diperoleh dari hasil perhitungan teoritis.

Bahan penelitian ini adalah bambu betung (Dendrocalamus asper) yang sudah dewasa, kira-kira berumur 4-5 tahun. Masing-masing bagian batang bambu diambil sepanjang 1,5 meter, yaitu bagian pangkal diambil dari ruas ke1-5, bagian tengah dari ruas ke11-16 dan bagian ujung dari ruas ke21-26. Kemudian bagian tersebut dibuat bilah-bilah untuk digunakan sebagai contoh uji lentur standar, lentur cantilever, uji tarik dan uji tekan. Pengujian dilakukan menggunakan mesin uji universal. Hasil uji dihitung hingga menjadi data yang selanjutnya diolah dan dianalisis, kemudian dilakukan interpretasi dan penulisan hasil penelitian.

(5)

bagian-lebar berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai tegangan lentur berkisar antara 829,47 – 1.646,30 kg/cm2 dan hasil uji statistik diketahui bahwa secara individu hanya pengelompokan bagian batang dan posisi kulit luar, serta interaksi kedua pengelompokan tersebut berpengaruh nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Tegangan lentur referensi untuk kondisi konstruksi di dalam air diperoleh berkisar antara 144,11 – 359,55 kg/cm2, sehingga perlu dipertimbangkan penataan beban yang lebih baik dengan mengacu pada tahanan maksimum sebesar 144 kg/cm2 pada pembebanan satu titik.

Nilai modulus elastisitas dari uji lentur model cantilever berkisar antara 7.360,18 – 10.690,66 kg/cm2. Nilai tegangan lentur berkisar antara 515,11 – 790,91 kg/cm2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa baik secara individu maupun bersama nilai-nilai modulus elastisitas dan tegangan lentur antar bagian batang, posisi kulit luar dalam uji dan ukuran lebar bambu tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95 %. Tegangan lentur referensi bambu untuk kondisi di dalam air berkisar antara 69,61 – 152,58 kg/cm2, sehingga perlu dipertimbangkan dalam penataan beban yang lebih baik dengan mengacu pada tegangan maksimum sebesar 69 kg/cm2 pada pembebanan satu titik.

Nilai modulus elastisitas dari hasil uji tarik berkisar antara 39,61 - 72,53 kg/cm2. Nilai tegangan tarik berkisar antara 674,59 – 1291,82 kg/cm2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa nilai-nilai modulus elastisitas dan tegangan tarik antar bagian batang bambu berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99 %, kecuali interaksi antara bagian-lebar. Tegangan tarik referensi untuk kondisi konstruksi di dalam air berkisar antara 91,64 – 326,26 kg/cm2, sehingga beban maksimum yang dapat dipertimbangkan untuk pembuatan konstruksi alat tangkap dari bilah bambu tidak melebihi 91 kg/cm2.

Nilai modulus elastisitas pada uji tekan tegak lurus serat bambu berkisar antara 147,82 – 330,57 kg/cm2. Nilai tegangan tekan tegak lurus serat berkisar antara 78,31 – 1.010,98 kg/cm2. Hasil analisis statistik untuk nilai modulus elastisitas dan tegangan tekan tegak lurus serat yang diperoleh bahwa secara individu maupun bersama untuk perlakuan bagian batang dan posisi kulit luar berpengaruh nyata untuk tingkat kepercayaan 99%. Tegangan tekan tegak lurus serat referensi untuk kondisi konstruksi di dalam air berkisar antara 34,80 – 157,34 kg/cm2, sehingga beban maksimum yang dapat dipertimbangkan untuk pembuatan konstruksi alat tangkap dari bilah bambu tidak melebihi 34 kg/cm2.

Hasil uji tekan sejajar serat untuk setiap bagian batang bambu menunjukkan nilai modulus elastisitas berkisar antara 1.142,93 – 1.264,90 kgf/cm2 dan dari hasil uji statistik diketahui bahwa perlakuan bagian batang bambu tidak berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 90%. Nilai tegangan tekan sejajar serat berkisar antara 442,36 – 618,63 kgf/cm2 dengan hasil uji statistik menunjukkan perlakuan bagian batang bambu berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 99%. Nilai tegangan tekan sejajar serat untuk kondisi konstruksi di dalam air berkisar antara 87,32 – 158,69 kg/cm2, sehingga beban maksimum yang dapat dipertimbangkan untuk pembuatan konstruksi alat tangkap dari bilah bambu tidak melebihi 87 kg/cm2.

(6)

sederhana dan lentur cantilever, serta kurva tegangan-regangan pada uji tekan dan uji tarik.

Dari hasil penelitian ini disarankan untuk mengaplikasi bagian pangkal bambu pada konstruksi alat tangkap yang memerlukan kelenturan tinggi. Namun agar batang bambu dapat dimanfaatkan secara optimal, sebaiknya seluruh bagian batang bambu digunakan dalam pembuatan konstruksi alat penangkapan ikan. Seluruh bagian batang bambu harus disusun secara terpadu untuk penataan horizontal dengan kombinasi yang seimbang antara bagian pangkal, tengah dan ujung.

(7)

© Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2010

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah ; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

SIFAT MEKANIS BAMBU BETUNG SEBAGAI

BAHAN ALAT PENANGKAPAN IKAN

DINIAH

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Penguji luar komisi Ujian Tertutup : 1. Prof.Dr.Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc.

2. Dr.Ir. Domu F Simbolon, M..Si.

Penguji luar komisi Ujian Terbuka : 1. Dr.Ir. Suseno

(10)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Sifat Mekanis Bambu Betung sebagai Bahan

Alat Penangkapan Ikan

Nama : Diniah

NIM. : C562010021

Disetujui : Komisi Pembimbing,

Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc. Ketua

Prof.Dr.Ir. Daniel R Monintja Dr.Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si.

Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Dekan

Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana,

Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Khairil A Notodiputro, MS.

(11)

PRAKATA

Penelitian bertopik bambu masih jarang dilakukan, khususnya terkait dengan teknologi alat penangkapan ikan. Disertasi ini berisi informasi tentang karakterisasi mekanik bambu betung sebagai bahan alat penangkapan ikan dan diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan tentang sifat bambu yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan konstruksi alat penangkapan ikan. Selesainya pembuatan disertasi ini tak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis sadari bahwa tidak ada gading yang tak retak, tak ada karya manusia yang sempurna. Oleh karena itu saya mengharapkan saran dan kritik untuk penyempurnaan disertasi ini. Semoga disertasi ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan – khususnya dalam Teknologi Alat Penangkapan Ikan dan berguna bagi kita semua. Amiin.

(12)

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu hingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih disampaikan kepada :

(1) Prof.Dr.Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc., Prof.Dr.Ir. Daniel R Monintja dan Dr.Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si. sebagai Komisi Pembimbing atas bimbingan dan arahannya hingga disertasi ini dapat diselesaikan dengan lebih baik;

(2) Prof.Dr.Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc. sebagai Penguji Luar Komisi dan Dr.Ir. Domu F Simbolon, M.Si. sebagai Penguji Luar Komisi yang sekaligus mewakili Komisi Pendidikan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, serta Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, atas semua masukannya dalam Ujian Tertutup yang telah dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2010;

(3) Dr.Ir. Suseno dan Dr.Ir. Naresworo Nugroho, M.Sc. sebagai Penguji Luar Komisi dan Prof.Dr.Ir. John Haluan, M.Sc. sebagai Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, atas semua masukannya dalam Ujian Terbuka yang telah dilaksanakan pada tanggal 01 Oktober 2010;

(4) Effendy Tri Bachtiar, S.Hut.,M.Si., Bapak Mingan, Bapak Amin Suroso, Bapak Irfan, Bapak Kadiman dan teman-teman di Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, khususnya di Laboratorium Keteknikan Kayu dan Laboratorium Kayu Solid atas bantuan dan kerjasamanya hingga penelitian yang dilakukan dapat diselesaikan dengan baik dan lancar;

(5) Ir. Suardi Mahmud Lasibani, Dr. Eny Kamal dan teman-teman di Universitas Bung Hatta Padang, khususnya pengelola Jurnal Mangrove dan Pesisir;

(6) Prof.Dr.Ir. Utomo Kartosuwondo, MS dan Dr.Ir. M Fedi Alfiadi Sondita, M.Sc. atas masukannya saat berlangsungnya Seminar dan Ujian Terbuka; (7) Teman-teman di Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Fakultas

(13)

(8) Keluargaku tercinta atas pengorbanan, doa dan dukungan semangatnya selama proses pendidikan berjalan;

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 24 September 1961. Penulis adalah anak pertama dari sembilan bersaudara dari Bapak Baharuddin Boerhan (alm) dan Ibu Siti Hopsah.

Penulis menyelesaikan pendidikan tingkat menengah di Sekolah Menengah Atas Negeri I Balikpapan pada tahun 1980. Kemudian melanjutkan pendidikan program sarjana melalui Proyek Perintis II ke Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun yang sama. Setelah satu tahun di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB, pada tahun 1981 penulis memilih Jurusan Eksploitasi Sumberdaya Perikanan (ESP) Fakultas Perikanan hingga selesai pada tahun 1984. Pada tahun 1995 penulis menyelesai pendidikan program master di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Program Pascasarjana IPB.

Penulis menikah dengan Ir. Moch. Prihatna Sobari, MS. pada tanggal 03 Januari 1987. Hingga saat ini kami telah dikarunia seorang putra Dinnari Eka Hallyzepta (23 tahun) dan seorang putri Dwi Ashri Prihandini (19 tahun).

Penulis mulai bekerja pada tahun 1982-1986 sebagai Asisten Dosen untuk mata kuliah Alat Penangkapan Ikan di Jurusan Eksploitasi Sumberdaya Perikanan (ESP) Fakultas Perikanan IPB. Penulis diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) pada 01 Februari 1986 di Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo Kendari. Pada tahun 1988 hingga saat ini penulis mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan IPB yang saat ini berubah nama menjadi Fakultas Perikanan dan Ilmu Keluatan IPB dengan pangkat terakhir Pembina Tingkat I Golongan IV-b dalam Jabatan Lektor Kepala.

(15)

dengan judul “Red Snapper (Lutjanus sanguineus) Captured by Fish Traps at Different Depths in Palabuhanratu Waters”. Berkaitan dengan seminar tersebut, pada Bulan Juli-Agustus 2000 penulis mendapat kesempatan mengikuti pelatihan

Fish Behaviour and Fishing Technology selama satu bulan di Laboratorium Fish

Behaviour and Fishing Technology, Tokyo University of Fisheries Jepang. Pelatihan ini diselenggarakan oleh Tokyo University of Fisheries, Jepang.

(16)

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Tabel ... xix

Daftar Gambar ... xxi

Daftar Lampiran ... xxv

Daftar Istilah ... xxvii

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 4

1.4 Batasan Penelitian ... 5

1.5 Hipotesis ... 6

1.6 Kerangka Pemikiran ... 6

1.7 Novelty (kebaruan) ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1Gambaran Umum Bambu ... 9

2.2Sifat Anatomis ... 12

2.3Sifat Fisik Bambu... 15

2.4Sifat Mekanis Bambu ... 16

2.5Bambu sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan ... 19

2.5.1 Bambu betung (Dendrocalamus asper) ... 19

2.5.2 Bambu kuning (Bambusa Vulgaris) ... 20

2.5.3 Bambu pagar (Bambusa glaucescens) ... 21

2.5.4 Bambu perling (Schizostachyum zollingeri) ... 21

2.5.5 Bambu talang (Schizostachyum brachycldum) ... 21

2.5.6 Bambu toi (Schizostachyum lima) ... 22

2.5.7 Bambu tamiang (Schizostachyum blumei) ... 22

2.5.8 Loleba (Bambusa atra) ... 22

2.6Alat Penangkapan Ikan dari Bambu ... 23

2.7Hukum Hooke dan Modulus Young ... 31

2.8Aspek Mekanika pada Alat Penangkapan Ikan dari Bambu ... 34

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat ... 49

3.2 Bahan dan Alat ... 49

3.3 Metode Penelitian ... 49

3.3.1 Penyiapan contoh dan peralatan uji ... 53

3.3.2 Pelaksanaan uji ... 59

3.3.3 Prosedur perhitungan data dari spesimen ... 61

(17)

4 HASIL

4.1 Ukuran dan Kadar Air Bambu Bahan Uji ... 69

4.2 Proses Pengujian ... 69

4.2.1 Pengujian lentur sederhana (simple bending beam test)... 69

4.2.2 Pengujian lentur cantilever (cantilever bending beam test).. 73

4.2.3 Pengujian tekan ... 77

4.2.4 Pengujian tarik ... 83

4.3 Pengujian Lentur Sederhana ... 85

4.3.1 Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) ... 85

4.3.2 Tegangan lentur (Modulus of rupture) ... 89

4.3.3 Kurva Elasticity-Load dari hasil uji lentur sederhana ... 90

4.3.4 Tegangan lentur referensi (allowable bending stress) ... 94

4.4 Pengujian Lentur Cantilever ... 97

4.4.1 Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) ... 97

4.4.2 Tegangan lentur (Modulus of rupture) ... 98

4.4.3 Kurva Elasticity-Load dari hasil uji lentur cantilever.... 99

4.4.4 Tegangan lentur referensi (allowable bending stress) ... 101

4.5 Pengujian Tarik ... 105

4.5.1 Modulus elastisitas (Modulus of elasticity) ... 105

4.5.2 Tegangan tarik (Modulus of rupture) ... 106

4.5.3 Kurva tegangan-regangan dari hasil uji tarik ... 107

4.5.4 Tegangan tarik referensi (allowable bending stress) ... 109

4.6 Pengujian Tekan ... 111

4.6.1 Modulus elastisitas (MOE) pada uji tekan tegak lurus serat .. 111

4.6.2 Tegangan tekan tegak lurus serat ... 112

4.6.3 Kurva tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus serat ... 113

4.6.4 Tegangan tekan tegak lurus serat referensi (allowable compress stress) ... 115

4.6.5 Hasil uji tekan sejajar serat ... 118

5 PEMBAHASAN 5.1 Bambu Bahan Uji ... 123

5.2 Proses Pengujian ... 124

5.2.1 Pengujian lentur sederhana ... 124

5.2.2 Pengujian lentur cantilever ... 125

5.2.3 Pengujian tarik ... 126

5.2.4 Pengujian tekan ... 127

5.3 Pengujian Lentur Sederhana ... 127

5.3.1 Hasil uji ... 127

5.3.2 Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan ... 130

5.4 Pengujian Lentur Cantilever ... 132

5.4.1 Hasil uji ... 132

5.4.2 Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan ... 133

5.5 Pengujian Tarik ... 134

5.5.1 Hasil uji ... 134

(18)

5.6 Pengujian Tekan ... 135 5.6.1 Hasil uji ... 135 5.6.2 Aplikasi dalam konstruksi alat penangkapan ikan ... 136 5.7 Kombinasi hasil uji mekanis dalam aplikasinya pada konstruksi alat penangkapan ikan... 137 5.8 Formulasi berdasarkan Hukum Hooke ... 139 6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan ... 141 6.2 Saran ... 142 DAFTAR PUSTAKA

(19)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jumlah unit penangkapan ikan berbahan bambu pada tahun 2004 ... 31 2. Perkiraan ModulusYoung untuk berbagai material ... 35 3. Perancangan pengujian bahan ... 53 4. Kisaran nilai modulus elastisitas lentur sederhana (kgf/cm2) untuk

setiap pengelompokan ... 88 5. Nilai modulus elastisitas rata-rata lentur sederhana (kgf/cm2) untuk

setiap pengelompokan ... 88 6. Kisaran nilai tegangan lentur sederhana (kgf/cm2) untuk setiap

pengelompokan ... 89 7. Nilai tegangan lentur sederhana rata-rata (kgf/cm2) untuk setiap

pengelompokan ... 90 8. Persamaan pada kurva hubungan beban-elastisitas dari hasil uji

lentur sederhana untuk setiap pengelompokan ... 91 9. Nilai tegangan lentur sederhana referensi (allowable bending stress)

(kgf/cm2) untuk setiap pengelompokan ... 94 10.Nilai tegangan lentur sederhana referensi (allowable bending stress)

(kgf/cm2) dengan kondisi di dalam air ... 96 11.Kisaran nilai modulus elastisitas lentur cantilever (kgf/cm2) untuk

setiap pengelompokan ... 97 12.Nilai modulus elastisitas rata-rata lentur cantilever (kgf/cm2) untuk

setiap pengelompokan ... 97 13.Kisaran nilai tegangan lentur cantilever (kgf/cm2) ... 98 14.Nilai tegangan lentur cantilever rata-rata (kgf/cm2) ... 99 15.Persamaan pada kurva hubungan beban-elastisitas dari hasil uji

lentur cantilever untuk setiap perlakuan ... 100 16.Nilai tegangan lentur cantilever referensi (allowable bending stress)

(kgf/cm2) ... 101 17.Nilai tegangan lentur cantilever referensi (allowable bending stress)

(20)

18.Kisaran nilai modulus elastisitas (kgf/cm2) untuk setiap

pengelompokan ... 106 19.Nilai modulus elastisitas rata-rata (kgf/cm2) untuk setiap

pengelompokan dalam uji tarik ... 106 20.Kisaran nilai tegangan tarik (kgf/cm2) untuk setiap pengelompokan . 107 21.Nilai tegangan tarik rata-rata (kgf/cm2) untuk setiap pengelompokan 107 22.Persamaan pada kurva hubungan tegangan-elastisitas dari hasil uji tarik untuk setiap pengelompokan ... 108 23.Nilai tegangan tarik referensi(kgf/cm2) untuk setiap pengelompokan 110 24.Nilai tegangan tarik referensiuntuk kondisi di dalam air (kgf/cm2).. 110 25.Kisaran nilai modulus elastisitas tekan tegak lurus serat (kgf/cm2)

untuk setiap pengelompokan ... 111 26.Nilai modulus elastisitas tekan tegak lurus serat rata-rata (kgf/cm2)

untuk setiap pengelompokan ... 111 27.Kisaran nilai tegangan tekan tegak lurus serat (kgf/cm2) untuk

setiap pengelompokan ... 112 28.Nilai tegangan tekan tegak lurus serat rata-rata (kgf/cm2) untuk

setiap pengelompokan ... 113 29.Persamaan pada kurva hubungan tegangan-elastisitas dari hasil uji tekan tegak lurus serat untuk setiap pengelompokan ... 114 30.Nilai tegangan tekan tegak lurus serat referensi – allowable

compress stress (kgf/cm2) untuk setiap pengelompokan ... 116

31.Nilai tegangan tekan tegak lurus serat referensi - allowable compress stress di dalam air (kgf/cm2) ... 118 32.Hasil uji tekan sejajar serat untuk setiap pengelompokan ... 118 33.Nilai uji tekan sejajar serat rata-rata (kgf/cm2) untuk setiap

(21)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram proses perumusan masalah dalam penelitian ... 5

2. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian ... 8

3. Bagian-bagian dari bambu ... 13

4. Akar rimpang ... 14

5. Bagian-bagian pelepah daun ... 15

6. Bambu betung (Dendrocalamus asper) ... 19

7. Beberapa jenis perangkap dan penghadang ... 23

8. Kelompok alat tangkap jaring angkat ... 24

9. Umbing ... 25

10.Anco/Tangkul ... 26

11.Kalawai ... 26

12.Sumpit ... 27

13.Sengkirai bilah ... 28

14.Siringan ... 28

15.Pengilar ... 29

16.Badong ... 30

17.Huhate ... 30

18.Pegas dan pergerakannya ... 32

19.Diagram tegangan-regangan ... 38

20.Tanda momen lentur ... 40

21.Lenturan batang ... 41

22.Diagram pembebanan pada simple beam bending test ……… 41

23.Garis netral pada benda (= ½h) ... 43

24.Titik maksimum moment... 44

25.Penggambaran 5% batas elastis ... 45

26.Arah pergerakan moment dalam uji lentur cantilever ... 46

27.Diagram moment ... 46

28.Alat pemotong bambu ... 50

29.Alat Pemotong/peraut spesimen ... 50

(22)

31.Universal testing machine Instron ... 51 32.Diagram alir tahapan penelitian ... 51 33.Cara pembelahan bambu untuk spesimen uji ... 54 34.Bentuk dan ukuran berbagai spesimen ... 55 35.Tanggem dan meja dudukannya ... 58 36.Cara pengujian kelenturan bambu dengan model simple bending

beam test ... 59 37.Cara pengujian kelenturan bambu model cantilever ... 60 38.Cara pengujian tegangan tarik bambu ... 60 39.Cara pengujian tegangan tekan bambu ... 61 40.Kurva hubungan Load-Deflection pada uji lentur sederhana (Simple

bending beam test) ... 70 41.Proses uji lentur model sederhana dari spesimen bambu posisi tepi

atas ... 71 42.Proses uji lentur sederhana dari spesimen bambu posisi tepi bawah 72 43.Kerusakan pada spesimen pangkal bambu setelah diuji ... 73 44.Kerusakan pada hasil uji lentur sederhana untuk beberapa spesimen

bagian tengah dan ujung bambu ... 73 45.Kurva hubungan Load-Deflection pada uji lentur cantilever ... 74 46.Tahap pengujian lentur cantilever ... 75 47.Kerusakan spesimen pangkal bambu pada hasil uji lentur cantilever 76 48.Kerusakan spesimen bagian tengah bambu dari hasil uji lentur

cantilever ... 77 49.Kerusakan spesimen bagian ujung bambu pada hasil uji lentur

(23)

57.Proses uji tekan sejajar serat ... 82 58.Kurva hubungan Load-Deflection pada uji tekan sejajar serat ... 83 59.Beberapa macam kerusakan spesimen dari hasil uji tekan sejajar

serat ... 84 60.Tahap pengujian tarik pada spesimen bambu ... 85 61.Kurva hubungan Load-Deflection pada uji tarik ... 86 62.Contoh kerusakan yang terjadi pada spesimen pangkal bambu

dalam uji tarik ... 87 63.Contoh kerusakan yang terjadi pada spesimen tengah bambu dalam

uji tarik ... 87 64.Kerusakan yang terjadi pada spesimen ujung bambu dalam uji tarik . 88 65.Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan

hasil uji lentur sederhana pada spesimen bambu bagian pangkal... 92 66.Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan

hasil uji lentur sederhana pada spesimen bambu bagian tengah... 93 67.Kurva hubungan berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta

regangan hasil uji lentur sederhana pada spesimen bagian ujung ... 95 68.Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan

hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian pangkal... 102 69.Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan

hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian tengah ... 103 70.Kurva berbagai hubungan data elastisitas dan beban serta regangan

hasil uji lentur cantilever pada spesimen bambu bagian ujung ... 104 71.Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarikbagian

pangkal bambu ... 108 72.Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarikbagian

tengah bambu ... 109 73.Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tarikbagian ujung

bambu ... 110 74.Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus

(24)

75.Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus seratbagian tengah bambu ... 116 76.Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan tegak lurus

seratbagian ujung bambu ... 117 77.Kurva hubungan tegangan-regangan dari hasil uji tekan sejajar serat . 120 78.Contoh kerusakan pada uji lentur sederhana ... 125 79.Proses penekanan contoh uji di posisi kulit luar atas, bawah dan

samping ………... 128 80.Anatomi bilah bambu ………. 130 81.Ilustrasi pelendutan pada bagian konstruksi alat tangkap ... 131 82.Ilustrasi penggunaan batang bambu pada alat tangkap anco ... 132 83.Posisi kulit luar bambu pada tangkai serok dan anco ... 133 84.Gaya pada bidang datar dengan beban arah vertikal ... 136 85.Ilustrasi aplikasi kekuatan tekan pada konstruksi alat penangkapan

(25)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Penebangan dan pengangkutan bambu betung ... 151 2. Data bambu betung untuk contoh uji ... 152 3. Nilai kadar air dan berat jenis dari bambu betung spesimen .…...…. 153 4. Hasil uji lentur sederhana untuk satu spesimen bilah bambu ……… 154 5. Hasil uji lentur cantilever untuk satu spesimen bilah bambu ... 157 6. Hasil uji tekan tegak lurus serat dari satu spesimen bilah bambu ... 160 7. Hasil uji tekan sejajar serat satu spesimen bilah bambu ... 162 8. Hasil uji tarik dari satu spesimen bilah bambu ... 163 9. Hasil uji kenormalan terhadap data yang diperoleh ………... 166 10. Hasil uji statistik untuk uji lentur sederhana ... 170 11. Hubungan elastisitas dan beban dari hasil uji lentur sederhana ... 173 12. Hasil uji statistik untuk lentur cantilever ………...… 179 13. Hubungan elastisitas dan bebandari hasil uji lentur cantilever ... 181 14. Hasil uji statistik untuk uji tarik ... 186 15. Hubungan strain dan stress dari hasil uji tarik ... 191 16. Hasil uji tekan tegak lurus serat ... 196 17. Hubungan strain dan stress hasil uji tekan tegak lurus serat ... 199 18. Hasil uji tekan sejajar serat ... 203 19. Hubungan strain dan stress hasil uji tekan sejajar serat ... 206

(26)

DAFTAR ISTILAH

Batas proporsional, adalah titik akhir (atas) garis linier dalam kurva hubungan tegangan-regangan.

Cantilever,adalah memposisikan salah satu ujung bahan tetap dan ujung yang lain

bebas untuk diberikan beban.

Cantilever bending test, adalah uji kelenturan bahan dengan menjepit erat salah

satu ujung contoh uji dan ujung yang lain bebas untuk diberikan beban. Daerah elastis, adalah wilayah dalam suatu kurva tegangan-regangan dimana

kondisi benda akan kembali ke bentuk semula jika beban yang diberikan dihilangkan.

Daerah plastis, adalah wilayah dalam suatu kurva dimana kondisi benda berubah atau tidak kembali ke bentuk semula jika beban yang diberikan dihilangkan.

Dendrocalamus asper = Bambusa aspera Schult. = Gigantochloa aspera (Schult.)

Kurz = Dendrocalamus flagellifer Munro, merupakan nama Latin dari bambu betung atau bambu petung, umumnya tumbuh terbaik pada ketinggian antara 400-500 m dengan curah hujan tahunan sekitar 2400 mm, di tanah alluvial di daerah tropika yang lembab dan basah.

Elastisitas, adalah sifat benda yang berdeformasi untuk sementara.

Gaya, adalah penyebab perubahan gerak, dorongan atau tarikan, suatu alat (teknik) yang menghubungkan lingkungan dengan gerak partikel.

Kadar lengas = kadar air, kandungan air di dalam bambu.

Kekuatan, merupakan kemampuan suatu bahan untuk memikul beban atau gaya yang mengenainya.

Kekuatan bahan, biasanya didefinisikan sebagai tegangan pada bahan.

Kekuatan lentur, adalah kekuatan untuk menahan gaya-gaya yang berusaha melengkungkan batang bambu atau menahan muatan mati atau hidup.

Ketahanan, adalah ketahanan terhadap perubahan bentuk karena dimampatkan, terpuntir atau terlengkungkan akibat beban yang mengenainya

(27)

Load,beban adalah gaya yang menyebabkan deformasi.

Modulus of Elasticity (MOE) atau sifat kekakuan. Kekakuan suatu bahan

diperoleh apabila tekanan yang diberikan tidak melebihi batas proporsi

Modulus of Rupture (MOR) atau modulus patah, merupakan hasil dari beban

maksimum dalam uji lentur

Sifat mekanis, adalah sifat kekuatan dan ketahanan terhadap perubahan bentuk suatu bahan.

Simple bending beam test, adalah uji kelenturan bahan dengan memposisikan

contoh uji di atas dua titik sangga dan di atasnya diberikan beban.

Strain (ε), adalah regangan, derajat deformasi, perubahan pada ukuran sebuah

benda karena gaya-gaya dalam kesetimbangan dibandingkan dengan ukuran semula. Regangan menyatakan perubahan panjang dibagi panjang original, besaran tanpa dimensi.

Stress (σ), adalah tegangan atau gaya per satuan luas, gaya reaksi atau gaya untuk

mengembalikan benda ke bentuk asli per satuan luas, besaran yang berbanding lurus dengan gaya penyebabnya. Satuan stress adalah N.m-2 atau Newton per meter kuadrat atau pascal (Pa).

Tegangan maksimum, atau kekuatan maksimum, merupakan ordinat tertinggi pada kurva tegangan-regangan.

(28)

1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bambu merupakan tanaman yang sangat bermanfaat bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Bambu banyak tumbuh di Indonesia dan telah dimanfaatkan secara luas oleh masyarakat Indonesia. Berbagai lapisan masyarakat Indonesia memanfaatkan bambu untuk berbagai tujuan, mulai dari bahan kerajinan tangan, bahan baku industri, bahan bangunan hingga kegiatan penangkapan ikan.

Bambu sangat banyak jenisnya dan telah digunakan orang dari berbagai negara. Ahli taksonomi mengemukakan bahwa ada 1.250 jenis bambu dari 75 genera (Rao dan Rao 1995), namun tidak semua jenis bambu dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan ikan. Enam puluh lima jenis dari 10 genera merupakan jenis ekonomis penting di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Tiga puluh jenis di antaranya sangat umum digunakan dibandingkan jenis bambu lainnya. Semua bambu ini dapat dikelompokkan berdasarkan kriteria pilihan meliputi pemanfaatan dalam bidang pertanian, kerajinan tangan dan pengolahan.

Beberapa kelebihan bambu di antaranya mudah didapat, kuat, ulet dan mudah dikerjakan. Di samping itu terdapat kelemahan bambu, di antaranya adalah daya awet yang rendah. Bambu mudah membusuk, terlebih jika lama terendam di dalam air. Sementara itu untuk kegiatan perikanan tangkap sebagian besar penggunaannya berada di dalam air, sehingga dengan mengetahui sifat mekanisnya dapat diperkirakan kekuatan konstruksi alat penangkapan ikan dari bahan bambu yang akan dibuat.

Beragam alat penangkapan ikan terbuat dari bambu dan umumnya digunakan secara tradisional. Jenis alat penangkapan ikan yang terbuat dari bambu di antaranya adalah jaring angkat seperti bagan perahu, bagan rakit dan bagan tancap; perangkap seperti berbagai tipe bubu, kilung, jermal dan sero; tangkai pancing atau joran; dan bentuk lainnya seperti panah, busur dan ladung. Kesemua alat tangkap ini memerlukan bambu dengan sifat mekanis yang berbeda.

(29)

jenis apapun, jermal, kilung bagan atau sero, masing-masing memerlukan sekitar 70 batang bambu; satu bubu memerlukan satu batang bambu, satu tangkai pancing huhate memerlukan satu batang bambu; maka dengan pendekatan jumlah alat penangkapan ikan dari data statistik perikanan Indonesia secara global dapat diperkirakan jumlah bambu yang diperlukan adalah sebanyak 5.000.000 batang bambu pada tahun 2004.

Bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan biasa dimanfaatkan dalam bentuk buluh maupun bilah. Pemanfaatan bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan dalam bentuk buluh dapat dilihat pada alat tangkap jaring angkat seperti berbagai jenis bagan, perangkap pasang surut seperti sero dan jermal, pancing huhate, serta tangkai tangkul yang berukuran besar. Pemanfaatan bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan dalam bentuk bilah umumnya dapat dilihat pada alat tangkap yang berukuran lebih kecil, seperti berbagai jenis bubu, joran, busur dan tangkai anco.

Berbagai jenis bambu banyak tumbuh di Indonesia, dalam penelitian ini digunakan bambu betung (Dendrocalamus asper). Berdasarkan hasil penelitian tentang kegunaan bambu, diperoleh data bahwa jenis bambu yang paling banyak dicari adalah bambu betung (Dendrocalamus asper), kemudian bambu ater

(Gigantochloa atter) (Sastrapradja et al. 1977 dan Othman et al. 1995). Sejumlah

jenis alat penangkapan ikan, seperti bagan tancap, bagan rakit, sero dan beberapa jenis bubu, membangun konstruksinya sebagian besar menggunakan bambu betung.

(30)

Bambu betung banyak tumbuh di daerah tropika, mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 2000 m (Widjaja 2001). Bambu betung mempunyai ukuran batang yang lebih besar dibandingkan jenis bambu lainnya. Tinggi buluh bambu betung mencapai 20 – 30 m, diameter berkisar 10 – 18 cm dan tebal dinding berkisar 11 – 36 mm (Othman dan Mohmod 1995 ; Sonjaya 2008). Sebagai bahan alat penangkapan ikan yang dibangun dari bilah bambu, maka ukuran buluh bambu betung yang lebih besar dapat menghasilkan sejumlah bilah yang lebih besar juga dan lebih banyak.

Sifat mekanis bambu sangat erat kaitannya dengan penggunaan bambu untuk alat penangkapan ikan, yaitu kekuatan lentur bambu, kekuatan tarik, kekuatan tekan dan modulus patah. Nilai-nilai kekuatan bambu ini bergantung pada bagian batang bambu yang dimanfaatkan, umur bambu saat tebang dan sifat anatomis lainnya. Selain karena sifat anatomi bambu, sifat mekanis bambu pada satu jenis alat penangkapan ikan dapat juga mempengaruhi jumlah beban yang dapat ditanggungnya, dalam hal ini adalah berat ikan hasil tangkapannya.

Sifat-sifat mekanis bambu juga dapat dipakai untuk menentukan ukuran bambu tersebut sebagai bahan alat penangkapan ikan, misalkan ukuran panjang dan diameternya. Demikian banyak faktor yang mempengaruhi sifat mekanis bambu, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian guna mengetahui karakterisasi bambu tersebut dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

(31)

1.2 Perumusan Masalah

Selain bambu, ada beragam jenis bahan alat penangkapan ikan, seperti besi, baja, bahan sintetis, kayu, ban bekas dan lain-lain. Jenis bahan alat penangkapan ikan – seperti besi, baja atau bahan sintetis – cenderung semakin mahal harganya, sementara jenis bahan lain – misalkan ban bekas – dapat berdampak kurang baik terhadap lingkungan perairan di mana alat tangkap tersebut dioperasikan, atau bahan dari kayu cenderung semakin langka ketersediaannya. Satu jenis bahan alat penangkapan ikan yang relatif banyak tersedia dan diminati adalah bambu. Bambu banyak tumbuh di wilayah Indonesia dengan beragam jenisnya, oleh karena itu harganya pun relatif lebih murah dibandingkan dengan jenis bahan lain.

Alat penangkapan ikan dari bambu memerlukan sifat mekanis tersendiri untuk menahan beban hasil tangkapan. Sifat mekanis bambu dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya umur bambu saat ditebang, bagian bambu yang digunakan, jenis bambu, kondisi pemakaian, bentuk konstruksi, ukuran pemakaian bambu dan sebagainya. Hingga saat ini belum ada formula yang menunjukkan hubungan antara nilai dari sifat mekanis bambu dengan besar beban hasil tangkapan yang ditanggungnya, hal ini berpengaruh terhadap perhitungan atau perencanaan dalam pembuatan alat penangkapan ikan dari bambu. Faktor yang diperkirakan mempengaruhi sifat mekanis dalam penelitian ini adalah bagian batang bambu, serta posisi dan ukuran bilah bambu dalam konstruksi alat penangkapan ikan.

Bagan alir rumusan permasalahan seperti ditunjukkan dalam Gambar 1.

1.3 Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk

(1) Menganalisis sifat kuantitatif dari sifat mekanis bambu berdasarkan bagian batang bambu yang digunakan, posisi dan ukuran bilah bambu yang digunakan,

(32)

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini di antaranya : (1) Menambah khasanah ilmu, khususnya dalam bidang bahan alat penangkapan

ikan;

(2) Merupakan masukan bagi nelayan dalam pemanfaatan bagian-bagian batang bambu sebagai bahan pembuatan alat penangkapan ikan;

(3) Sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan budidaya bambu.

1.4 Batasan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian dasar menyangkut kekuatan bambu sebagai bahan alat penangkapan ikan. Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan penelitian-penelitian tentang kekuatan bambu selanjutnya. Perhitungan sifat mekanis bambu yang dilakukan dalam penelitian ini hanya meliputi kekuatan lentur, kekuatan tekan dan kekuatan tarik, tidak sifat mekanis yang lain. Uji lentur mencakup uji lentur sederhana atau

simple bending beam test dan uji lentur cantilever atau cantilever bending beam

Gambar 1. Diagram proses perumusan masalah dalam penelitian. Menghitung nilai-nilai dari sifat mekanis bambu melalui uji laboratorium

Nilai dari sifat mekanis bambu sebagai pertimbangan dalam perancangan pembuatan alat penangkapan ikan

Bahan alat penangkapan ikan : • Besi

• Baja

• Bahan sintetis • Ban bekas • Bambu

Makin mahal

Berdampak kurang baik terhadap lingkungan perairan

• Murah, mudah didapat, kuat, ulet

• Sebagai bahan alami telah dimanfaatkan secara tradisional sebagai bahan alat penangkapan ikan

(33)

test. Uji tekan mencakup uji tekanan tegak lurus serat dan uji tekan sejajar serat. Contoh uji yang digunakan adalah bilah bambu dari jenis betung (Dendrocalamus

asper).

1.5 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah

(1) Sifat mekanis bambu dalam konstruksi alat penangkapan ikan akan berbeda menurut posisi bagian batang bambu yaitu pada bagian buku dan bagian ruas bambu yang berbeda komposisi kerapatan dan susunan molekulnya.

(2) Kekuatan bambu ditentukan oleh kekuatan lentur, kekuatan tarik dan kekuatan tekannya.

(3) Hukum Hooke berlaku untuk bahan bambu pada rentang nilai elastisitas yang terbatas.

1.6 Kerangka Pemikiran

Bambu mempunyai sifat yang ulet dan kuat, murah harganya dan mudah diperoleh. Dengan alasan demikian, bambu dapat dijadikan sebagai bahan alternatif pembentuk alat penangkapan ikan. Satu jenis bambu yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis bambu yang lain adalah bambu betung (Dendrocalamus asper). Bambu betung tersedia banyak di alam, memiliki kekuatan yang lebih baik dibandingkan dengan jenis bambu lain. Ukuran bambu betung relatif lebih besar dibandingkan dengan bambu jenis lain, sehingga lebih banyak bilah yang dapat dibuat dari satu batang bambu.

Dalam penelitian ini digunakan bambu betung dewasa yang berumur 4-5 tahun. Hal ini berdasarkan pada pernyataan Yap (1983) bahwa bambu yang baik untuk digunakan adalah bambu yang telah berumur antara tiga hingga lima tahun. Selanjutnya Yap (1983) mengemukakan bahwa di atas umur tersebut, kadar air bambu lebih sedikit. Sementara di bawah umur itu, kadar air dalam bambu sangat tinggi, sehingga bisa terjadi keadaan keriput pada bambu bila dikeringkan.

(34)

dan kekuatan tekan. Masing-masing nilai kekuatan tersebut ditentukan oleh nilai modulus patahnya. Nilai dari sifat mekanis bambu bergantung pada bagian batang bambu yang dimanfaatkan, umur bambu saat ditebang, kondisi pemakaian dan faktor lainnya. Sifat mekanis bambu pada satu jenis alat penangkapan ikan dapat mempengaruhi jumlah beban yang ditanggungnya, dalam hal ini adalah berat ikan hasil tangkapan yang diperoleh saat dioperasikan.

Hukum Hooke menyatakan bahwa regangan berbanding lurus dengan tegangan. Bahan yang mengikuti Hukum Hooke adalah bahan yang linear-elastis atau yang mengikuti Hukum Hooke, disebut sebagai "Hookean". Hooke menerapkannya pada material besi dan baja. Secara matematis Hukum Hooke dinyatakan sebagai persamaan F = -k.x, dengan x adalah perubahan panjang akhir dari bahan dalam meter, F adalah gaya yang bekerja pada material dalam Newton, dan k adalah konstanta pegas dalam N/m. Selanjutnya Hukum Hooke diterapkan oleh Thomas Young untuk beragam bahan, namun Young tidak menerapkannya pada bambu (Symon 1971; Ivanovska et al. 2004; Askeland dan Phulē 2006).

Bagan alir kerangka pemikiran untuk kegiatan penelitian ini digambarkan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

1.7 Novelty (Kebaruan)

Kebaruan (novelty) dari disertasi ini adalah hasil penelitian yang menyatakan bahwa Hukum Hooke yang berlaku untuk bahan logam (baja) terbukti berlaku pula untuk material. Dalam rentang elastisitas terbatas bahan bambu mengikuti Hukum Hooke.

(35)

hubungan antara tekanan (stress) dan defleksi pada uji cantilever dan simple

[image:35.595.84.476.96.692.2]

beam.

Gambar 2. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian.

Bahan yang sesuai untuk alat penangkapan ikan

bersifat elastis Sifat mekanis

Kekuatan tekan

Bambu sebagai bagian dari konstruksi alat penangkapan ikan

Terbukti bahwa sifat elastis bambu mengikuti Hukum Hooke

Kekuatan tarik Kekuatan lentur

Hasil uji laboratorium (Kurva hubungan stress – strain)

Membandingkan hasil uji laboratorium dan hasil perhitungan secara teoritis

Uji sifat mekanis

(laboratory

experimental)

Melakukan uji laboratorium dan perhitungan teoritis berdasarkan Hukum

Hooke

Perhitungan teoritis (berdasar Hukum

Hooke)

Hasil Perhitungan teoritis (berdasar Hukum Hooke)

Adakah kesesuaian nilai uji laboratorium dan nilai hitungan teoritis ?

ya

(36)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Bambu

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di desa, bambu memegang peranan yang sangat penting. Bambu merupakan satu jenis tanaman yang berfungsi serbaguna (Sastrapradja et al. 1977). Dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia bambu memegang peranan yang sangat penting. Bahan bambu dikenal oleh masyarakat memiliki sifat-sifat yang baik untuk dimanfaatkan antara lain : batangnya kuat, lurus, rata, keras, mudah dibelah, mudah dibentuk dan mudah dikerjakan, serta mudah diangkut. Selain itu bambu juga relatif murah dibandingkan dengan bahan bangunan lain karena banyak ditemukan di sekitar pemukiman pedesaan. Bambu menjadi tanaman serba guna bagi masyarakat pedesaan (Batubara 2002).

Sejumlah jenis bambu terdapat di Indonesia, namun jumlah yang pasti belum diketahui. Berdasarkan hasil penelitian Widjaja (2001) diketahui ada 14 jenis bambu di Kepulauan Sunda Kecil, 64 jenis bambu di Sumatera (Widjaja 1994), serta kira-kira 30 jenis ada di Pulau Jawa (Sastrapradja et al. 1977). Di luar negeri diketahui ada 41 jenis di Thailand (Dransfield 1994), ada 45 jenis di Malaysia (Mohmod dan Liese 1995) dan ada 22 jenis di Bangladesh (Alam 1994).

(37)

Batang-batang bambu berbentuk pipa yang pada jarak-jarak tertentu dibubuhi buku-buku dengan dinding-dinding antar atau sekat-sekat (Yap 1983). Beberapa kegunaan bambu diantaranya untuk bahan bangunan, sebagai pelindung lingkungan, alat penangkapan ikan, furniture, alat-alat musik, rakit atau perahu yang sederhana, peralatan dapur, bahan baku kertas, sumpit, kerajinan tangan dan tanaman hias (Arinana 1997 ; Sastrapradja et al. 1977 ; Othman et al. 1995 ; dan Widjaja 2001). Pemanfaatan bambu di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, 80 % untuk bahan bangunan dan 20 % sisanya digunakan untuk keperluan yang lain.

Untuk kriteria pilihannya, bambu dapat dikelompokkan menjadi empat katagori target penggunaannya (William et al. 1995), yaitu :

(1) Penggunaan struktural, meliputi konstruksi, furniture dan bambu lapis (ply

bamboo) ;

(2) Atap, dinding dan kerajinan tangan ; (3) Bubur bambu (pulp), kertas dan rayon ; (4) Tunas bambu dapat dimakan.

Berbagai jenis bambu telah direkomendasikan untuk masing-masing pilihan. Bambu merupakan salah satu bahan berlignoselulosa yang menghasilkan selulosa per ha 2-6 kali lebih besar daripada pinus. Peningkatan biomassa per bambu per hari mencapai 0-30 %. Bambu dapat dipanen dalam waktu empat tahun, lebih singkat dibandingkan 8-20 tahun untuk jenis pohon kayu yang cepat tumbuh. Kadarisman dan Silitonga (1976) diacu dalam Fitriasari dan Hermiati (2008) mengemukakan bahwa pada saat pemanenan bambu, sulit dipisahkan antara bambu tua dan bambu muda, kalaupun dapat dipisahkan biayanya relatif mahal. Bambu di atas umur 1 tahun – bambu dewasa – memberikan hasil seragam dan kekuatan fisik yang optimal. Bambu mempunyai panjang serat sekitar 3-4 mm (Fitriasari dan Hermiati 2008).

Berdasarkan hasil penelitian tentang kegunaan bambu, diperoleh data bahwa jenis bambu yang paling banyak dicari adalah bambu betung

(Dendrocalamus asper), lalu bambu ater (Gigantochloa atter). Beberapa jenis

bambu yang telah dimanfaatkan dalam kegiatan penangkapan ikan (Sastrapradja

et al. 1977 dan Othman et al. 1995) di antaranya adalah bambu betung

(38)

(Bambusa glaucescens), bambu tali (Gigantochloa apus), bambu perling

(Schizostachyum zollingeri), bambu talang (Schizostachyum brachycladum),

bambu toi (Schizostachyum lima), bambu tamiang (Schizostachyum blumei) dan loleba (Bambusa atra). Menurut Batubara (2002) dan Frick (2004), ada empat macam bambu yang dianggap paling penting dan sering digunakan oleh masyarakat Indonesia, serta umum dipasarkan di Indonesia, yaitu bambu tali atau bambu apus (Gigantochloa apus), bambu petung (Dendrocalamus asper), bambu duri atau bambu ori (Bambusa blumeana) dan bambu wulung atau bambu hitam

(Gigantochloa verticillata).

Penggunaan bambu betung (Dendrocalamus asper) di antaranya adalah untuk bahan bangunan, dinding rumah, tempat mengambil air, pipa menyuling air aren, tempat makan atau tempat beras dan sebagai bahan membuat keranjang (Sastrapradja et al. 1977; Sonjaya 2008). Selain itu, rebung dari jenis bambu ini adalah rebung yang terbaik dengan rasanya yang manis dibuat untuk sayuran (Sonjaya 2008). Dalam kegiatan budidaya bambu betung dengan jarak tanam 8 x 4 meter atau sebanyak 312 rumpun per hektar, pemanenan rebung dapat dimulai setelah tanaman berumur 3 tahun, sedangkan puncak produksi terjadi pada umur 5-6 tahun. Pemanenan rebung dapat dilakukan satu minggu setelah rebung muncul ke permukaan. Produktivitas tahunan rebung dapat menghasilkan 10-11 ton rebung per ha dan untuk 400 rumpun per hektar dapat mencapai 20 ton rebung (Sonjaya 2008).

Hasil budidaya bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad ex. Wendl.) mulai dapat dipanen setelah tanaman berumur tiga tahun dengan puncak produksi mulai umur 6-8 tahun. Rebung dapat dipanen satu minggu setelah keluar dari permukaan (Sonjaya 2008). Rebung dari bambu ini digunakan untuk sayur dan campuran obat penyakit kuning. Bambu ini biasa digunakan sebagai tanaman hias. Buluh bambu sangat baik digunakan sebagai bahan baku pembuat kertas, untuk industri mebel, perlengkapan perahu, pagar, tiang bangunan, alat penangkap ikan dan alat-alat pertanian (Sastrapradja et al. 1977 ; Othman dan Mohmod 1995 ; Sonjaya 2008).

(39)

pembuat kertas dan alat memancing. Kadang-kadang rebung bambu pagar juga digunakan untuk sayur (Sastrapradja et al. 1977).

Bambu perling (Schizostachyum zollingeri Steud.) banyak digunakan sebagai bahan alat pemancing, tirai, keranjang untuk tempat ikan, tempat masak dan kerajinan tangan. Rebung bambu perling untuk dimakan, sedangkan buluhnya sebagai tempat masak nasi lemang (Sastrapradja et al. 1977 ; Othman dan Mohmod 1995).

Bambu talang (Schizostachyum brachycladum Kurz)lebih banyak

digunakan untuk bahan atap, dinding dan lantai rumah, terutama di Tana Toraja. Selain itu, bambu talang juga digunakan sebagai bahan pembuat rakit, tempat air, kerajinan tangan seperti ukiran dan anyaman, serta dimanfaatkan sebagai tanaman hias (Sastrapradja et al. 1977).

Buluh bambu toi (Schizostachyum lima (Blanco) Merr.) dimanfaatkan untuk suling dan tempat gula. Bambu toi juga dipakai untuk pembuatan busur dan anak panah yang diruncingkan (Sastrapradja et al. 1977).

Kebanyakan buluh bambu tamiang (Schizostachyum blumei Nees) digunakan untuk membuat suling, alat memancing ikan, kerajinan tangan dan permainan anak-anak. Ada juga yang menggunakan sebagai perlengkapan alat penenun. Rebung bambu dapat dimakan, namun agak pahit, sehingga kurang disukai (Sastrapradja et al. 1977).

Loleba (Bambusa atra Lind.) banyak dipakai untuk membuat dinding rumah di daerah Maluku. Bambu ini dapat menghasilkan bahan yang dapat dianyam untuk alat penangkapan ikan (Sastrapradja et al. 1977).

2.2 Sifat Anatomis

Bambu adalah suatu rumput yang berukuran besar dengan batang-batang yang berkayu (Yap 1983). Buluh bambu dibagi menjadi beberapa bagian kecil oleh jaringan lateral, yaitu bagian buku bambu (node) dan ruas bambu

(internode). Bagian-bagian bambu selengkapnya dapat dilihat dalam Gambar 3.

(40)

terjadi melalui buluh-buluh, sedangkan serat-serat memberikan kekuatan bambu. Bahan-bahan makanan ditimbun dalam sel-sel parenkim yang mengisi kira-kira 70 % daripada jaringan. Gugus-gugus vascular tidak terbagi rata dalam batang, lebih dekat ke bagian luar lebih kecil. Di bagian dalam, gugus-gugus itu lebih besar dan berjarak lebih jauh.

Struktur bambu tidak memiliki jari-jari dan unsur sel radial lain dalam bagian ruas. Bagian terluar batang terdiri atas satu lapisan sel epidermis dan bagian dalam terdiri atas beberapa lapisan sel sklerenkim. Bambu dianggap dewasa bila telah mencapai umur tiga tahun atau lebih (Yap 1983).

[image:40.595.112.492.214.741.2]

Orang sering mengalami kesulitan dalam mengenal jenis bambu, karena kemiripan ciri-ciri morfologi yang ada. Bagi pakar taksonomi, perbungaan merupakan bagian terpenting untuk membedakan jenis bambu, namun karena bambu jarang berbunga, maka cara lain mengidentifikasi bambu adalah

(41)

menggunakan ciri morfologinya. Ciri morfologi bambu tersebut, misalnya rebung, pelepah buluh dan sistem percabangan-nya (Widjaja 2001).

Ciri morfologi bambu dan istilah yang biasa digunakan dalam identifikasi (Widjaja 2001) adalah

(1) Akar rimpang

Akar rimpang ada di bawah tanah dan membentuk sistem percabangan yang khas. Ada dua macam akar rimpang (Gambar 4), yaitu pakimorf yang dicirikan oleh akar rimpang yang simpodial dan leptomorf yang dicirikan oleh akar rimpang yang monopodial ;

(2) Rebung

Rebung tumbuh dari kuncup akar rimpang di dalam tanah atau dari pangkal buluh yang tua. Setiap bambu mempunyai ciri khas warna pada ujung rebung dan bulu-bulu pada pelepahnya ;

(3) Buluh

Buluh berkembang dari rebung, tumbuh sangat cepat dan mencapai tinggi maksimum dalam beberapa minggu. Buluh dibedakan berdasarkan ukuran ruas (panjang atau pendek), diameter, bentuk tumbuh (tegak atau merambat), keadaan buku-buku pada bagian pangkal buluh (halus atau kasar), keadaan permukaan ruas buluh muda (gundul atau lebat) ;

(4) Pelepah buluh

Pelepah buluh merupakan modifikasi daun yang menempel pada setiap ruas, terdiri atas daun pelepah buluh, kuping pelepah buluh dan ligula. Pelepah buluh berfungsi untuk menutupi buluh ketika muda ;

Pakimorf - Simpodial Leptomorf - Monopodial

(42)

(5) Percabangan

Percabangan umumnya terdapat di atas buku-buku ; (6) Helai daun dan pelepah daun

Helai daun bambu mempunyai daun yang sejajar seperti rumput dan setiap daun mempunyai tulang daun utama yang menonjol. Helai daun dihubungkan dengan pelepah oleh tangkai daun yang pendek atau bisa panjang. Kuping pelepah bisa berukuran besar, kecil atau tidak tampak. Kuping pelepah daun mempunyai bulu kejur yang panjang atau gundul (Gambar 5).

2.3 Sifat Fisik Bambu

Bambu mulai menyusut pada permulaan pengeringan. Bambu yang belum dewasa kehilangan lengas lebih cepat daripada bambu dewasa, tetapi memerlukan waktu lebih banyak untuk mengering. Bambu yang belum dewasa sering mengalami keretakan pada proses pengeringan (Yap 1983).

Selanjutnya dikemukakan bahwa bagian dalam batang bambu biasanya mengandung lebih banyak lengas dibandingkan dengan bagian luar. Bagian buku

Gambar 5. Bagian-bagian pelepah daun (Widjaja 2001). Tangkai daun

Ligula

Bulu kejur

(43)

bambu mengandung kira-kira 10 % lebih sedikit air daripada ruas dan pada bagian pangkal bambu biasanya angka tersebut lebih besar dibandingkan dengan bagian ujungnya.

Kadar lengas dalam suatu batang bambu berubah-ubah sesuai dengan tingginya. Bambu yang lebih tua – berumur 6-9 tahun – mengandung lebih sedikit lengas dibandingkan dengan batang bambu yang lebih muda – 3-4 tahun. Batang-batang yang termuda – umur 6-12 bulan – menunjukkan kadar lengas tertinggi (Yap 1983).

Anyaman bambu tali dengan kulit cenderung menghasilkan nilai daya serap air yang lebih rendah dibandingkan dengan anyaman bambu tali tanpa kulit. Hal ini disebabkan, selain terdapatnya lapisan lilin pada bagian luar kulit yang dapat menghalangi masuknya air, juga disebabkan oleh perbedaan struktur anatomi bambu pada bagian dalam, tengah dan luar. Pada bagian luar, bambu tali memiliki pori-pori dengan diameter yang lebih kecil (0,078 mm – 0,105 mm) dibandingkan dengan bagian tengah (0,15 – 0,176 mm) dan bagian dalam (0,217 mm – 0,248 mm) (Nuriyatin 2000 diacu dalam Setyawati et al. 2008). Dengan demikian anyaman bambu tanpa kulit, lebih mudah menyerap air dibandingkan bambu dengan kulit (Setyawati et al. 2008).

2.4 Sifat Mekanis Bambu

Secara teoritis sifat mekanis bambu bergantung pada (Frick 2004): 1) Jenis bambu,

2) Umur bambu pada waktu penebangan,

3) Kelembaban atau kadar air kesetimbangan pada batang bambu, 4) Bagian batang bambu yang digunakan, pangkal, tengah atau ujung, 5) Letak dan jarak ruasnya masing-masing, bagian ruas bambu kurang tahan

terhadap gaya tekan dan lentur.

(44)

Berat jenis bambu berbeda-beda menurut jenis bambu. Berat jenis (ρ) bambu berkisar antara 670 – 720 kg/m3. Berat jenis bambu akan cepat menurun sesuai dengan proses pengeringan. Namun, untuk konstruksi bangunan bambu – sebagai bahan bangunan yang kering dengan kadar air 12 % - berat jenis bambu di Indonesia dianggap rata-rata sebesar 700 kg/m3 (Frick 2004).

Nuriyatin (2000) diacu dalam Setyawati et al. (2008) menyatakan bahwa susunan ikatan vaskular pada bambu tali bagian luar lebih banyak dan lebih rapat dibandingkan dengan ikatan vaskular pada bagian tengah dan dibandingkan anyaman bambu tanpa kulit.

Kekuatan tarik bambu untuk menahan gaya-gaya tarik berbeda pada bagian dinding batang dalam atau bagian luar, garis tengah batang, serta bagian batang yang digunakan. Batang bambu yang langsing memiliki ketahanan terhadap gaya tarik yang lebih tinggi. Bagian ujung bambu memiliki kekuatan terhadap gaya tarik 12 % lebih rendah dibandingkan dengan bagian pangkal. Di Indonesia tegangan tarik sejajar serat yang diizinkan adalah 29,4 N/mm2 (Frick 2004).

Kekuatan tekan bambu untuk menahan gaya-gaya tekan berbeda pada bagian ruas dan buku. Bagian ruas memiliki kekuatan terhadap gaya tekan 8-45 % lebih tinggi daripada batang bambu yang berbuku. Di Indonesia tegangan tekan sejajar arah serat yang diizinkan adalah 7,85 N/mm2 (Frick 2004).

Kekuatan geser adalah ukuran kekuatan bambu dalam hal kemampuannya menahan gaya-gaya yang membuat suatu bagian bambu bergeser dari bagian lain di dekatnya. Kekuatan geser berbeda pada tebalnya dinding batang bambu, serta pada bagian ruas dan buku bambu. Kekuatan geser pada dinding 10 mm 11 % lebih rendah daripada dinding bambu setebal 6 mm. Bagian ruas bambu memiliki kekuatan terhadap gaya geser 50 % lebih tinggi daripada batang bambu yang berbuku. Di Indonesia kekuatan geser sejajar serat yang diizinkan adalah 2,45 N/mm2 (Frick 2004).

(45)

Hal ini perlu diperhatikan pada pembangunan gedung, lendutan konstruksi biasanya tidak boleh melebihi 1/300 dari lebar bentang. Di Indonesia tegangan lentur yang diizinkan untuk konstruksi bangunan adalah 9,80 N/mm2 (Frick 2004).

Modulus elastisitas batang bambu yang berbentuk pipa dan berbentuk langsing lebih menguntungkan dibandingkan dengan batang yang utuh, karena kekuatannya lebih tinggi. Kepadatan serat kokoh pada bagian dinding luar batang bambu meningkatkan kekuatan maupun elastisitas. Seperti pada bahan bangunan kayu, modulus elastis menurun 5-10 % di bawah beban yang meningkat. Di Indonesia modulus elastisitas dapat diperhitungkan dengan 20 kN/mm2 (Frick 2004).

Kekuatan bambu bergantung pada jenis, umur, kandungan air, kepadatan dan tinggi buluh (Mohmod dan Liese 1995). Semakin tua umur bambu, maka semakin meningkat kekuatannya.

Hasil penelitian sifat-sifat mekanis bambu (Yap 1983) menunjukkan selang angka yang besar. Hasil uji sifat mekanis bambu seperti berikut :

1) Kekuatan tarik atau tegangan patah untuk tarikan berkisar antara 1.000 – 4.000 kg/cm2,

2) Kekuatan tekan atau tegangan patah untuk tekanan berkisar antara 250 – 1.000 kg/cm2,

3) Modulus elastisitas untuk uji tarik berkisar antara 100.000 – 300.000 kg/cm2. Hasil uji sifat mekanis menunjukkan bahwa kekuatan dan modulus elastisitas bagian luar bambu lebih besar daripada bagian dalam, juga kekuatan pada ruas lebih besar dibandingkan dengan di bagian buku (Yap 1983). Sementara sebagai pegangan dapat diambil nilai sebagai berikut :

1) Tegangan izin tarik (allowable tensile strength) = 300 kg/cm2, 2) Tegangan izin tekan (allowable compress strength) = 80 kg/cm2, 3) Tegangan izin lentur (allowable bending strength) = 100 kg/cm2, 4) Modulus elastisitas untuk tarikan dan tekanan = 200.000 kg/cm2,

(46)

2.5 Bambu sebagai Bahan Alat Penangkapan Ikan

Beberapa jenis bambu telah dimanfaatkan dalam kegiatan penangkapan ikan (Sastrapradja et al. 1977 ; Othman et al. 1995). Gambaran lebih dalam tentang beberapa jenis bambu tersebut diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.

2.5.1 Bambu betung (Dendrocalamus asper)

Widjaja (2001) mengemukakan beberapa sinonim dari Dendrocalamus

asper, yaitu Bambusa aspera Schult. ; Gigantochloa aspera (Schult.) Kurz ;

Dendrocalamus flagellifer Munro. Bambu betung (Gambar 6) merupakan jenis

bambu yang banyak ditanam di Asia Tropika. Tunas bambu betung ditutupi dengan bulu coklat tua. Bambu ini tumbuh dan banyak dijumpai di dataran rendah hingga daerah dengan ketinggian 2.000 meter dari permukaan laut (m dpl) (Sastrapradja et al. 1977). Jenis bambu ini tumbuh terbaik pada ketinggian antara 400-500 m dengan curah hujan tahunan sekitar 2400 mm, di tanah alluvial di daerah tropika yang lembab dan basah, namun tumbuh juga di dataran rendah dan dataran tinggi (Widjaja 2001 ; Sonjaya 2008). Sonjaya (2008) mengungkapkan bahwa bambu betung dapat tumbuh di semua jenis tanah, tetapi paling baik di tanah yang berdrainase baik.

Tinggi buluh bambu betung mencapai 20 – 30 m dan diameter berkisar 10 – 18 cm. Batang bambu berbulu tebal dan dindingnya relatif tebal, berkisar 11 – 36 mm. Panjang ruas bambu 10-20 cm di bagian bawah dan dapat mencapai 40 –

Perawakan Buluh muda

Gambar 6. Bambu betung (Dendrocalamus asper) (Widjaja 2001).

(47)

60 cm di bagian atas (Othman dan Mohmod 1995 ; Sonjaya 2008). Panjang serat bambu betung mencapai 4,69 mm (Fitriasari dan Hermiati 2008).

Menurut Frick (2004), bambu petung amat kuat dengan jarak ruas pendek tetapi dindingnya tebal, sehingga tidak begitu liat. Garis tengah bambu petung 80-130 mm, panjang batang mencapai 10-20 m. Bambu petung sering ditanam dan tumbuh di daerah berketinggian 1.900 m dpl.

Dari kegiatan budidaya bambu betung, satu rumpun dewasa bambu betung dapat menghasilkan 10-12 batang baru per tahun atau dengan 400 rumpun menghasilkan sekitar 4500-4800 batang per hektar (Sonjaya 2008).

2.5.2 Bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad ex. Wendl.)

Dinamakan bambu kuning karena memang buluh bambu bewarna kuning bergaris hijau tua, cocok sebagai tanaman hias. Asal usul bambu ini tidak jelas. Bambu kuning tumbuh di daerah tropis kering atau lembab dan di daerah subtropiks. Bambu kuning sangat mudah beradaptasi dengan berbagai macam tanah dan kelembaban, dapat tumbuh sampai ketinggian 700 m dpl. Seringkali bambukuning dijumpai di pematangsawah. Jika rumpun bambu dipotong, dapat dengan mudah tumbuh kembali (Sastrapradja et al. 1977 ; Widjaja 2001 ; Sonjaya 2008). Sonjaya (2008) mengungkapkan bahwa jenis bambu ini dapat tumbuh di lokasi mulai dataran rendah hingga ketinggian 1200 m. Bambu kuning tumbuh di tanah marjinal atau di sepanjang sungai atau tanah genangan, dengan pH optimal 5-6,5 dan tumbuh paling baik di dataran rendah.

Tinggi buluh bambu kuning dapat mencapai 10 – 20 m, bahkan ada yang mencapai tinggi 30 m. Batangnya berbulu sangat tipis. Diameter bambu berkisar 5 – 15 cm dan ketebalan dinding bambu berkisar 7 – 15 mm. Panjang ruas mencapai 20 – 40 cm (Othman dan Mohmod 1995 ; Widjaja 2001 ; Sonjaya 2008).

(48)

menghasilkan 3-4 batang baru. Produksi tahunan diperkirakan menghasilkan sekitar 2.250 batang atau 20 ton berat kering per hektar (Sonjaya 2008).

2.5.3 Bambu pagar (Bambusa glaucescens Willd. Sieb. ex Munro)

Dinamakan bambu pagar karena sering dipakai untuk pagar hidup dengan rumpun yang padat sekali. Bambu pagar diduga berasal dari Cina atau Jepang. Jenis ini menyukai tempat terbuka, mulai dari dataran rendah hingga tempat dengan ketinggian 700 m dpl (Sastrapradja et al. 1977).

Tinggi buluh dapat mencapai 8 m dengan diameter 2 cm dan bewarna hijau. Panjang ruas bambu pagar mencapai 15 – 50 cm (Sastrapradja et al. 1977).

2.5.4 Bambu perling (Schizostachyum zollingeri Steud.)

Asal usul bambu ini belum diketahui, ada yang menduga bahwa bambu perling berasal dari Malaysia. Di Indonesia, jenis bambu ini tumbuh liar di hutan-hutan di Sumatera, Jawa dan Sulawesi. Bambu perling menyukai tempat terbuka, di dataran rendah dengan ketinggian di bawah 400 m dpl (Sastrapradja et al.

1977).

Buluh bambu dapat mencapai tinggi 12 – 15 m dengan diameter 5 – 10 cm, sehingga ujung buluh atas biasanya terkulai ke bawah. Panjang ruas bambu mencapai 40 – 55 cm atau tidak lebih dari 70 cm. Ketebalan bambu mencapai 4 – 7 mm (Sastrapradja et al. 1977 ; Othman dan Mohmod 1995).

2.5.5 Bambu talang (Schizostachyum brachycladum Kurz)

Asal usul bambu talang belum diketahui. Buluh bambu bewarna kuning dan sangat ringan. Jenis bambu ini umumnya dapat dijumpai di semua pulau di Indonesia, banyak ditanam di desa-desa. Bambu talang tumbuh di daerah tropis yang lembab dan di daerah kering, baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi (Sastrapradja et al. 1977 ; Widjaja 2001).

(49)

2.5.6 Bambu toi, Schizostachyum lima (Blanco) Merr.

Bambu toi banyak dijumpai tumbuh di tepi-tepi sungai atau di tepi-tepi jalan, kadang-kadang sengaja ditanam di pekarangan rumah. Bambu ini tumbuh di tempat-tempat terbuka, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian 700 m dpl (Sastrapradja et al. 1977 ; Widjaja 2001).

Tinggi buluh bambu toi mencapai 10 m. Menurut Sastrapradja et al.

(1977), diameter bambu toi mencapai 6 cm, namun Widjaja (2001) mengemukakan bambu tersebut hanya berdiameter 4 mm (Sastrapradja et al.

1977; Widjaja 2001).

2.5.7 Bambu tamiang (Schizostachyum blumei Nees)

Bambu tamiang mempunyai rumpun yang rapat dan dapat tumbuh dimana-mana. Bambu ini diduga berasal dari Indonesia, kemudian menyebar ke Semenanjung Malaya, Kamboja dan Vietnam. Bambu ini menyukai tempat terbuka, di dataran rendah dengan ketinggian sampai 650 m dpl. Jenis ini kebanyakan tumbuh liar di hutan-hutan. Bambu tamiang sudah diusahakan orang dan ditanam di sekitar desa dan tepi sungai. Di Jawa Barat, bambu tamiang banyak terdapat di sekitar Bogor, Sukabumi Selatan, Sumedang dan Bandung (Sastrapradja et al. 1977).

Tinggi buluh mencapai tinggi 10 m dengan diameter 2 – 4 cm. Panjang ruas bambu mencapai 60 cm. Buluh bewarna hijau tua, sedangkan pelepah buluh bewarna kuning kotor (Sastrapradja et al. 1977).

2.5.8 Loleba (Bambusa atra Lind.)

Loleba lebih dikenal di Maluku dan merupakan jenis yang penting di daerah ini. Selain di Maluku, penyebaran jenis ini sampai ke Papua dan Papua Nugini. Loleba tumbuh di hutan-hutan dataran rendah, di hutan-hutan sagu atau di tepi-tepi sungai. Di Jawa, bambu ini sering ditanam sebagai tanaman hias (Sastrapradja et al. 1977).

(50)

2.6 Alat Penangkapan Ikan dari Bambu

Alat penangkapan ikan muncul dalam masyarakat primitif dengan bentuk misalnya tombak, panah, lembing, harpun dan pancing yang terbuat dari batu, kulit kerang, tulang dan gigi binatang. Penangkapan ikan secara pasif di perairan dangkal dilakukan menggunakan penghadang dan perangkap. Penghadang umumnya terbuat dari tanah, batu, ranting, kerei rotan dan terowongan. Perangkap ikan dibuat dari batang kayu yang berlubang, tanah liat dan keranjang. Penangkapan ikan yang lebih aktif dilakukan menggunakan lembing, sumpit, penjepit, alat penggaruk dan pancing (Fridman 1988).

Alat penangkapan ikan dari bahan bambu umumnya tergolong sederhana dan telah lama diusahakan secara tradisional oleh nelayan di Indonesia. Subani dan Barus (1989) dan Diniah (2008) menggambarkan beberapa jenis alat penangkapan ikan dari bahan bambu, diantaranya :

(1) Perangkap dan penghadang (Gambar 7)

Kelompok perangkap dari bahan bambu didominasi oleh berbagai bentuk dan tipe bubu, seperti bubu buton, bubu ternate, lukah, bubu liger, bubu silinder, bubu udang, bubu apung, pataka, bubu rompong, pakaja dan tadah. Sementara kelompok penghadang yang dibuat dari bahan bambu adalah jermal dan sero ;

Pakaja (Bubu apung)

Subani dan Barus 1989

Sero

Gambar

Gambar 2.  Diagram alir kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 3.  Bagian-bagian dari bambu
Gambar 7.  Beberapa jenis perangkap dan penghadang.
Gambar 8.  Kelompok alat tangkap jaring angkat.
+7

Referensi

Dokumen terkait