• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam membina masalah Pekerja Seks Komersil (PSK) di Tangerang Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam membina masalah Pekerja Seks Komersil (PSK) di Tangerang Selatan"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk Memenuhi Peryaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

KENNI JULIANTARA NIM: 108054100016

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KAMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)

Pekerja Seks Komersial adalah salah satu bagian dari dunia pelacuran yang didalamnya termasuk gigolo, waria, dan mucikari. Fenomena PSK sangat menarik untuk dikaji, dikarenakan fenomena ini dari dulu hingga sekarang tetap berlangsung. Fenomena PSK yang bertentangan dengan nilai agama tidak terlepas dari latar belakang sulitnya mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak memadai dari seseorang.

Perkembangan permasalahan sosial dalam masyarakat begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Atas dasar pertimbangan itulah pemerintah melalui Departemen Sosial RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial dalam masyarakat yang disebut dengan nama Pekerja Sosial Masyarakat (PSM). Dari sini pula lah para Pekerja Sosial Masyarakat berperan menjadi salah satu motivator, stabilitator, dan pendamping sosial terhadap berbagai permasalahan fenomena PSK ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis lebih mendalam terkait berbagai temuan di lapangan terhadap berbagai peran Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan dalam menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapi para Pekerja Seks Komersil.

Setelah menganalisis lebih mendalam berdasarkan berbagai temuan dan fakta di lapangan, peneliti menemukan berbagai peran yang telah maksimal dilaksanakan oleh para Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, seperti peran sebagai pemberi dukungan, membentuk konsesus, membangun fasilitasi kelompok, menyampaikan informasi, melakukan pelatihan, membangun hubungan masyarakat, mengembangkan jaringan, berbagi pengalaman dan pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, menggunakan komputer, melakukan presentasi tertulis maupun verbal, manajemen, serta mengontrol financial.

Namun, dalam perjalanannya para pekerja sosial masyarakat masih sangat membutuhkan dukungan dari berbagai lembaga terkait seperti Dinas Sosial dan Pemerintah Daerah guna memaksimalkan berbagai peran yang masih belum dilaksanakan dengan baik seperti membentuk animasi sosial, melakukan mediasi dan negoisasi, memanfaatkan sumberdaya dan keterampilan, membangkitkan kesadaran masyarakat, melakukan konfrontasi, advokasi, dan memanfaatkan media.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Segenap karunia dan dan rahmat telah dilimpahkan sehingga penulis mampu

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam Menanggulangi Masalah Pekerja Seks Komersil (PSK) di Tangerang Selatan” sebagai tugas akademik di Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan

Ilmu Komunikasi. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurahkan keharibaan

baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang telah menjadi suri tauladan bagi umat

manusia.

Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan

serta dukungan berbagai pihak.Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan,

izinkanlah penulis menuangkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Siti Napsiyah, MSW. dan Ahmad Zacky, M.Si. selaku Ketua Jurusan dan

Sekertaris program studi kesejahteraan sosial yang selalu memberikan arahan

dan nasihat dalam menjalani segenap proses perkuliahan.

2. Lisma Dyawati Fuaida, M.Si. selaku pembimbing yang senantiasa sabar dan

selalu memberikan nasihat guna terselesaikannya skripsi ini menjadi lebih

baik.

3. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komulikasi yang telah

memberikan curahan pengetahuan agar penulis mampu menjadi orang yang

(7)

4. Pihak Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, Dinas Sosial

Tangerang Selatan, dan Pemerintah Daerah Tangerang Selatan, yang telah

memberikan banyak informasi guna dijadikan bahan pembahasan utama

dalam penulisan skripsi ini.

5. Ibunda Ani Devi Savitri, ayahanda Wahyu Sutawidjaja, dan adikku Karissa

Mayasani, yang memberikan cinta dan kasih sayang, serta motivasi dalam

menjalankan setiap aktivitas.

6. Teman-teman seperjuangan di prodi Kesejahteraan Sosial angkatan 2008 yang

bersedia memberikan masukan dan semangat.

Penulis begitu menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari

kesempurnaan. Keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang penulis

alami, semakin menunjukkan bahwa skripsi ini begitu banyak kekurangan. Maka,

masukan dan saran begitu penulis harapkan agar mampu menjadikan tulisan ini lebih

baik.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi

pembaca. Semoga skripsi ini mampu membuka wawasan kita untuk dapat selalu

menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dalam managakkan kesejahteraan sosial.

Jakarta, 7 Oktober 2014

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

DAFTAR LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

B. Rumusan Masalah

C. Pembatasan Masalah

D. Tujuan Penelitian

E. Manfaat Penelitian

F. Metodologi Penelitian

G. Tinjauan Pustaka

H. Sistematika Penulisan

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Peranan Pekerja Sosial Masyarakat

B. Tinjauan Pekerja Seks Komersil

BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Sejarah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang Selatan

i ii iv vi

1 6 6 6 7 7 11 12

14 24

(9)

B. Profil Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang Selatan

C. Struktur PSM Kota Tangerang Selatan

D. Maksud, Tujuan, Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Pekerja

Sosial Masyarakat

E. Pekerja Seks Komersial Tangerang Selatan

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS PERAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PEKERJA SEKS KOMERSIL

A. Deskripsi Informan

B. Temuan Tentang Peran Fasilitatif, Edukasional,

Representatif, dan Teknis Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan

C. Analisis Peran Fasilitatif, Edukasional, Representasional, dan

Teknis Pekerja Sosial Mayarakat Tangerang Selatan

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

55 57

59 62

65

68

73

81 84

(10)

1 A. Latar Belakang

Pekerja Seks Komersial (selanjutnya disingkat PSK) adalah salah satu

bagian dari dunia pelacuran yang didalamnya termasuk gigolo, waria, dan

mucikari. Fenomena PSK sangat menarik untuk dikaji, dikarenakan fenomena

ini dari dulu hingga sekarang tetap berlangsung. Fenomena PSK yang

bertentangan dengan nilai agama tidak terlepas dari latar belakang sulitnya

mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak

memadai dari seseorang. Seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai

PSK,apabila berhubungan seksual tidaklah dengan orang (pelanggan) yang

sama. Akibat dari pelanggan yang dilayani berganti-ganti orangnya,

menyebabkan PSK dapat terkena virus HIV. Virus HIV dapat menyebabkan

seseorang terkena AIDS dan IMS (Infeksi Menular Seksual). PSK merupakan

kelompok resiko tinggi yang dapat tertular HIV/AIDS dan IMS.

Istilah pelacur berasal dari kata lacur. Kata lacur memiliki arti malang,

celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Melacur berarti hubungan badan yang

terjadi di luar norma resmi dari agama dan negara.1 Pelayan seks dalam

kerangka budaya menyebabkan perempuan (pelakunya) memperoleh

kehormatan luhur, seperti gadis-gadis (temple maidens) yang mempersembahkan keperawanannya dalam upacara agama pada masyarakat

1

(11)

purba.2 Pelacuran merupakan sejenis praktik perbudakan perempuan yang

memanfaatkan seks sebagai alat utamanya. Pelacuran masih dianggap

masyarakat sebagai prilaku manusia yang berada di luar norma, maka

persoalan pelacuran berhubungan dengan moralitas.

Melihat perkembangan istilah-istilah tersebut, semakin bisa dipahami

bahwa bahasa milik masyarakat. Perluasan dan penyempitan pemahaman

sebuah bahasa selalu berkembang seiring perkembangan masyarakat. Seperti

akhir-akhir ini, istilah pelacur menemukan istilah barunya, yakni pekerja seks

komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar, praktisi, dan

pejabat dari contoh di atas.

Selain istilah PSK, di Indonesia juga berkembang istilah Wanita Tuna

Susila (WTS). Istilah WTS lebih dikenal daripada istilah perempuan pelacur,

itu terjadi mungkin untuk membedakan dengan laki-laki pelacur yang disebut

gigolo. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan

Menteri Sosial No.23/HUK/96 yang menyebut kata pelacur dengan istilah

PSK.

Manusia adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang berkodrat hidup

dalam masyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan

sehari-hari manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan diantaranya

tempat tinggal. Tuntutan menuntut ilmu atau bekerja mencari nafkah, sering

menjadi alasan untuk bisa hidup layak atau dapat berfungsi sosial. Untuk

mencapai semua itu diperlukan semangat dan keterampilan, akan tetapi realita

2

Thank-Dam Truong, Seks Uang dan Kekuasaan Pariwisata dan Pelacuran di Asia

(12)

yang terjadi belum tentu sesuai dengan apa yang direncanakan. Oleh karena

itu, ketidaksiapan mental sering terjadi dalam menyikapi sebuah kehidupan

yang berakibat timbulnya rasa tidak percaya diri dan banyak

penyimpangan-penyimpangan dalam hidup. Pada saat itu banyak perempuan menjadi objek

eksploitasi seperti tercermin dalam wadah lembaga pernikahan dengan

adanya tradisi kawin paksa, poligami tanpa batas dan tanpa syarat, ditukar,

disetubuhi (budak) untuk dijual anaknya, bahkan model prostitusi atas nama

kawin kontrak untuk waktu tertentu dengan jumlah mahar yang telah

disepakati dan berbagai bentuk kekerasan terhadap wanita. Tentunya hal itu

merupakan realita lain dari perempuan yang termarginalkan.3

Kompleksitas permasalahan sosial yang berkembang dalam

masyarakat menuntut upaya sadar dari setiap komponen masyarakat untuk

memperbaharui dan mengelola sistem sosialnya serta menyelesaikan

permasalahan sosialnya. Pembaharuan yang dimaksud adalah upaya

pengembangan nilai-nilai yang melandasi struktur sosial suatu masyarakat

yang dinamis, stabil dan mengacu pada tujuan pencapaian kesejahteraan

sosial. Sementara pengelolaan sosial adalah bagaimana menjadikan seluruh

dinamika sosial dalam sistem masyarakat sebagai energi positif yang dapat

dimanfaatkan bagi pengembangan masyarakat itu sendiri. Penyelesaian

masalah sosial adalah intervensi sosial yang dilakukan secara sadar, inovatif

dan terukur terhadap suatu permasalahan sosial sebagai langkah untuk

menjadikan masalah tersebut normal kembali atau lebih baik lagi sesuai

3

(13)

dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Perkembangan permasalahan sosial dalam masyarakat begitu

kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat,

tepat dan berkelanjutan. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan sosial

dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan

pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu

sendiri. Para motivator, stabilisator dan pendamping sosial tersebut perlu

dibekali pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap permasalahan sosial

yang ada dalam lingkungannya, untuk selanjutnya berkiprah sesuai dengan

kultur dan tradisi lingkungannya itu sehingga mereka tidak terkesan eksklusif.

Atas dasar pertimbangan itulah pemerintah melalui Departemen Sosial

RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator

dan pendamping sosial dalam masyarakat yang disebut dengan nama Pekerja

Sosial Masyarakat (PSM). Para PSM ini merupakan voluntir dari masyarakat

yang berdomisili di desa-desa/kelurahan seluruh Indonesia. Adapun sebagai

pengarah mereka dalam operasionalnya adalah seorang Pekerja Sosial

Kecamatan yang merupakan pegawai negeri.

Maraknya PSK di Tangsel sudah sampai pada taraf meresahkan

warga, hal ini membuat petugas Satpol PP terus menggelar Operasi Penyakit

Masyarakat (selanjutnya disebut Pekat) ini. Pada operasi pada tanggal 15 Mei

2013, sebanyak 5 lokasi hiburan malam dan warung remang-remang yang

disinyalir digunakan sebagai ajang prostitusi dirazia petugas. Dari hasil

operasi di wilayah Serpong dan Ciputat, petugas berhasil menjaring

(14)

merupakan PSK lama.

Puluhan PSK berhasil terjaring dalam Pekat yang digelar Satuan Polisi

Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Rabu

(15/05/13) dini hari. Para wanita malam itu hanya pasrah saat petugas

gabungan Satpol PP, Kepolisian Sektor Ciputat dan Garnisun Tangsel,

menggelandangnya masuk ke mobil petugas. Selain warung remang-remang,

petugas juga menyisir sejumlah tempat hiburan malam yang disinyalir kerap

digunakan sebagai tempat prostitusi.

Taufik, Kasie Penertiban mengatakan, mereka yang terjaring operasi

pekat ini langsung di bawa ke kantor Satpol PP untuk dilakukan pendataan, “usai dilakukan pendataan, para “kupu-kupu malam” itu akan langsung

dibawa ke panti rehabilitasi di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Operasi serupa

akan terus digelar Pemerintah Kota Tangsel, untuk meminimalisir tindak

prostitusi yang sudah sangat meresahkan warga.4

Jumlah 60 orang PSK dari wilayah Serpong dan Ciputat dalam satu

kali operasi Pekat sedikit banyak dapat menggambarkan berapa

sesungguhnya jumlah PSK yang sebenarnya di wilayah Tangsel. Pembinaan

merupakan hal umum yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan,

sikap, kecakapan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kemasyarakatan dan

lainnya. Pembinaan menekankan pada pendekatan praktis, pengembangan

sikap, kemampuan dan kecakapan. Pembinaan PSK dapat dilakukan oleh

PSM antara lain:

4

(15)

 Adanya bimbingan konseling bagi para PSK

 Adanya pelatihan ketrampilan bagi para PSK agar mereka dapat memiliki

keahlian lain yang menjadi dasar pergeseran mata pencaharian.

 Adanya bantuan modal/pinjaman bagi para PSK agar mereka dapat

memulai usaha baru.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas penulis tertarik untuk

meneliti tentang “Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam membina masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Tangerang Selatan”.

B. Rumusan Masalah

“Bagaimana Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang

Selatan dalam menanggulangi masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) di

Tangerang Selatan?”

C. Pembatasan Masalah

Karena luasnya ruang lingkup masalah pekerja seks komersial, maka

penelitian ini membatasi ruang lingkupnya hanya pada peran-peran yang

dilakukan PSM dalam menangani masalah PSK di Tangerang Selatan.

D. Tujuan Penelitian

Dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

untuk mendepkripsikan peran-peran PSM dalam menanggulangi masalah

PSK di Kota Tangerang Selatan.

(16)

Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik

secara teoritis maupun praktis.

1. Manfaat teoritis

Memberikan masukkan dan informasi yang diperlukan sebagai

bahan pustaka untuk pengembangan selanjutnya dan dapat memperkaya

khasanah keilmuan, khususnya pada Program Studi Kesejahteraan Sosial.

2. Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadikan bahan

pertimbangan bagi lembaga sebagai dasar Pekerja Sosial Masyarakat

(PSM) menanggulangi masalah Pekerja Seks Komersial (PSK).

F. Metodelogi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hal ini dimaksudkan

bahwa penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung dan

wawancara mendalam dengan informan yang sangat memahami

permasalahan yang diteliti. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah

penelitian deskriftif (Descriptive Research), yaitu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan situasi tertentu berdasarkan data yang

diperoleh di lapangan secara terperinci sesuai dengan fokus penelitian yang

telah ditetapkan. 5

1. Prosedur Kerja Penelitian

a. Teknik Penentuan Lokasi

5

(17)

Penentuan lokasi penelitian untuk mengkaji dan meneliti tempat

Rehabilitasi PSK oleh PSM ditentukan berdasarkan wilayah dan

lokasi yang sesuai dengan fokus penelitian untuk penelitian ini dan

juga terdapat banyak PSK diantaranya wilayah Ciputat dan Serpong.

Hal ini dimaksudkan agar penelitian berjalan dengan lancar. Penelitian

ini dilakukan di Kantor PSM Tangerang Selatan di Komplek Villa

Tekno Blok R1 No. 10 Serpong.

b. Teknik Penentuan Informan

Dalam penelitian ini pemilihan informan menggunakan teknik

purposive sampling. Purposive sampling yaitu penentuan sampel berdasarkan tujuan tertentu dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.6

Informan yg dipilih adalah tiga orang PSK dan dua orang tokoh

masyarakat (PSM) yang dapat memberikan penjelasan dan memiliki

informasi yang memadai berkenaan dengan rumusan masalah dalam

penelitian ini.

Kerangka pemilihan informan:

No Informan Jabatan Jumlah

1 PSM Anggota 1

2 Aparat Pemerintah Daerah Pegawai Kecamatan

1

4 Pekerja Seks Komersial Penjaja 2

6

(18)

c. Teknik Pengumpulan Data

Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian, yaitu:

1) Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung

dengan penelitian melalui wawancara mendalam, pengamatan

langsung serta peneliti terlibat.7 Data primer didapatkan dari

teknik-teknik pengumpulan data berikut ini:

a) Pengamatan (observasi)

Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung

di Kantor PSM Kota Tangerang Selatan (sesuai dengan lokasi

yang telah ditentukan). Maksudnya adalah mengamati

bagaimana permasalahan para Pekerja Seks Komersial dan

Solusi yang diberikan oleh PSM. 8

b) Wawancara Mendalam (Indepth Interview)

Wawancara Mendalam (Indepth Interview) merupakan metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam

penelitian kualitatif. Wawancara mendalam secara umum

adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara

pewawancara dengan informan atau orang yang

diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman

(guide) wawancara, pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Dengan

7

Ibid

8

(19)

demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah

keterlibatannya dalam kehidupan informan. 9

2) Sumber data sekunder adalah semua data yang diperoleh secara

tidak langsung dari objek yang diteliti yang merupakan data

penunjang penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber untuk

melengkapi penelitian.10 Data sekunder merupakan data yang

memang sudah ada yang didapatkan dari instansi tertentu yaitu

kantor PSM jika datanya masih relevan dengan fokus penelitian.

Sebagai kelengkapan dari observasi dan wawancara mendalam

yang telah dilakukan, peneliti mencari dan membaca buku-buku

hasil penelitian atau literatur apa pun yang masih relevan dengan

fokus penelitian yang bisa membantu agar data yang di dapatkan

lebih lengkap.

2. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh

secara sitematis, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,

menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam

pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, serta

membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun

orang lain.11 Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara kualitatif. Cara ini dimaksudkan dengan menghubung-hubungkan

9

Rony Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimeter (Jakarta: Ghalis, 1994), h. 57. 10

Opcit

11

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D

(20)

berbagai keterangan yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan

langsung kemudian ditarik makna dari keterkaitan hubungan antar

berbagai makna yang ada.

G. Tinjauan Pustaka

Setelah peneliti melakukan survei di perpustakaan UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, ada beberapa literatur yang terkait dengan persoalan ini,

yakni skripsi:

1. Hasil penelitian Fazra Raissa Wulandari, dengan judul Peran Pekerja Sosial Masyarakat Kelompok Usaha Bersama dalam pemberdayaan keluarga miskin di desa Lebak Wangi Kecamatan Sepatan Timur Tangerang. Pembahasan dalam skripsi tersebut menjelaskan bahwa peran pendampingan sangat diperlukan agar KUBE dapat berjalan dan

berkembang dengan ditampilkannya pendamping. (Kesejahteraan Sosial,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)

2. Hasil penelitian Lilik Jatmiko, dengan judul Kinerja Pekerja Sosial Dalam Meningkatkan Spiritualitas Kalayan di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Yogyakarta. Pembahasan dalam skripsi tersebut adalah menerapkan salah satu Program yang harus dilaksanakan oleh Pekerja

Sosial di PSKW yaitu program Spiritualitas yang diberikan kepada orang

yang menerima pelayanan dipanti (kalayan). (Pengembangan Masyarakat

Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010)

(21)

Pekerja Seks Komersial (Studi Kasus terhadap PSK di Gunung Kemukus Sragen Jawa Tengah). Pembahasan dalam skripsi tersebut tentang berbagai motif serta dampak psikologis PSK di Gunung Kemukus Sragen

Jawa Tengah. (Bimbingan Konseling, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2010)

Penulis menyadari bahwa literatur tersebut merupakan sumber

inspirasi dalam menyusun skripsi ini. Berbeda dengan karya ilmiah yang

menjadi gagasan tersebut, skripsi ini lebih objektif menekankan pada peran

Pekerja Sosial Masyarakat dalam pembinaan Pekerja Seks di Tangerang

Selatan.

H. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini akan dibagi dalam lima (5) bab dan

setiap bab dibagi atas beberapa sub bab dengan kebutuhan pembahasan dan

uraiannya, yaitu :

BAB I : Dalam bab ini penulis membahas Latar Belakang, Rumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Metodelogi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Di dalam bab ini penulis membahas Landasan Teori yang meliputi : Pengertian Peran, Pengertian Pekerja Sosial, Prinsip Dasar Pekerja

Sosial, Pengertian Pekerja Seks Komersial, Penyebab Pekerja Seks dari

Perspektif Politik, Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi, Klasifikasi Pekerja Seks

Komersial, Faktor yang Memungkinkan Penyebab Terjerumusnya Wanita

(22)

BAB III : Pada bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang : Sejarah Kota Tangerang Selatan, Profil Tangerang Selatan, Sejarah Pekerja Sosial

Masyarakat Tangerang Selatan, Profil Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang

Selatan, Struktur PSM Kota Tangerang Selatan, Maksud, Tujuan, Kedudukan

Tugas dan Fungsi Pekerja Sosial Masyarakat, Pekerja Seks Komersial

Tangerang Selatan.

BAB IV : Pada bab ini penulis mencoba memberikan temuan dan analisis terhadap penelitian yang dilakukan dengan membandingkannya antara teori

dan hasil penelitian.

BAB V : Pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan atas hasil penelitian dengan memberikan sumbangsih berupa saran-saran yang mungkin

(23)

14

A. Tinjauan Peranan Pekerja Sosial Masyarakat 1. Pengertian Pekerja Sosial Masyarakat

Pekerja Sosial Masyarakat yang selanjutnya disingkat dengan PSM

adalah seseorang sebagai warga masyarakat yang mempunyai jiwa

pengabdian sosial, kemauan, dan kemampuan dalam penyelenggaraan

kesejahteraan sosial, serta telah mengikuti bimbingan atau pelatihan di

bidang kesejahteraan sosial.1 Kesejahteraan Sosial adalah kondisi

terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar

dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat

melaksanakan fungsi sosialnya.

Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di

lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan

profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang

diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek

pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan

penanganan masalah sosial. 2

2. Pengertian Peran

Peranan berasal dari kata peran. Peran memiliki makna yaitu

seperangkat tingkat diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan di

1

Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 01 Tahun 2012. Bab I Pasal 1 2

(24)

masyarakat. peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus

dilksanakan.3

Sedangkan menurut Soerjono Soekanto4 mendefinisikan peranan

sebagai: Suatu konsep perihal apa-apa yang dapat dilakukan oleh individu

dalam masyarakat sebagai suatu organisasi. Peranan meliputi

norma-norma yang dihubungkan dengan posisi/tempat seseorang dalam

masyarakat.

Serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan

posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal.

Peran didasarkan pada preskripsi (ketentuan) dan harapan peran yang

menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu

situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau

harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.5

Dalam kaitan dengan peran agen perubah (baik dan organisasi

pemerintah maupun organisasi non pemerintah) dalam diskursus

komunitas, sebenarnya ada berbagai peran yang dapat dilaksanakan. Peran

yang terkait dengan peran pemberdaya masyarakat adalah peran sebagai community worker ataupun enabler dalam diskursus komunitas. Sebagai communit y w orker sebenarnya ada empat (4) peran besar yang dapat dijalankan, di mana masing-masing terdapat peran-peran yang lebih

spesifik yang lebih mengarah pada tehnik-tehnik.

3

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas RI, 2007), h. 845.

4

Soerjono Soekanto, Sosiolog: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 15. 5

(25)

Peran pertama adalah memfasilitasi komunitas sasaran, yang disebut

dengan nama peran-peran Fasilitatif (f acilitat ive roles). Sedangkan yang ke dua adalah peranan mendidik masyarakat, atau peran Edukasional (educati onalrol es). Sedangkan peran ke tiga adalah peran sebagai perwakilan masyarakat (represent ational rol es). Peran yang terakhir adalah peran-peran yang lebih bersifat tehnis atau

peran-peran Teknis (t echni cal rol es). Dari ke empat peran besar tersebut, baik pada peran fasilitatif, peran edukasional, peran

representasional maupun peran tehnis terdapat peran-peran spesifik yang

merupakan tehnik-tehnik yang lebih rinci dari empat peran tersebut.

Menurut Ife, dari peran Fasilitatif terdapat tujuh (7) peran khusus yaitu: animasi sosial (soci al animation); mediasi dan negosiasi (medi ation and negotiati on); pemberi dukungan (support ); membentuk konsensus (building consensus); fasilitasi kelompok (group facili tation); pemanfaatan sumber day a dan keterampilan (utili zati on of ski lls and resources); dan mengorganisir (organi zing). Peran Edukasional meliputi empat (4) peran, yaitu : membangkitkan kesadaran masyarakat (consciousness raisi ng); menyampaikan informasi (inf ormi ng); mengkonfrontasikan (confronti ng); dan pelatihan (trai ning). Kedua peran pertama inilah yang akan diuraikan secara lebih rinci, sedangkan ke dua peran berikutnya

hanya akan diuraikan peran-peran khususnya saja tanpa diuraikan lebih

(26)

Peran Representasional meliputi enam (6) peran, yaitu: mencari sumber daya (obtai ning resources); advokasi (advocacy); memanfaatkan media (usi ng the media); hubungan masyarakat (publi c relations); mengembangkan jaringan (networki ng); membagi pengetahuan dan pengalaman (sharing knowledge and experi ence). Sedangkan untuk peran Tehnis mencakup keterampilan pemberdaya masyarakat untuk mengumpulkan dan menganalisis data

(dat a coll ection and analysis); menggunakan komputer (using comput ers); melakukan presentasi tertulis maupun verbal (verbal and written presentati on); manajemen; dan kemampuan untuk mengontrol keuangan (finacial control ).

Seperti telah ditulis di atas, ke dua peran terakhir (peran

representasional dan peran tehnis) pada dasamya tidak akan diuraikan

secara khusus, sedangkan dua peran pertama (peran fasiltatif dan peran

edukasional) akan dijelaskan secara singkat satu persatu di bawah ini.

Peran fasilitatif dan peran edukasional dengan mempertimbangkan bahwa

ke dua peran ini merupakan peran-peran yang lebih mendasar dan

langsung dalam intervensi dengan komunitas. Sedangkan dua peran

terakhir bukan berarti tidak penting, akan tetapi peran-peran tersebut lebih

(27)

peran pertama. Meskipun tetap saja peran itu merupakan hal yang penting

untuk diperhatikan.6

a. Struktur Peran

Sruktur peran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :

1) Peran Formal (Peran yang nampak jelas)

Yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Peran formal

yang standar terdapat dalam keluarga. Peran dasar yang

membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu adalah

peran sebagai provider (penyedia); pengatur rumah tangga;

memberikan perawatan; sosialisasi anak; rekreasi; persaudaraan

(memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal);

terapeutik; seksual.

2) Peran Informal (Peran tertutup)

Yaitu suatu peran yang bersifat implisit (emosional) biasanya

tidak tampak kepermukaan dan dimainkan hanya untuk

memenuhi kebutuhan emosional individu dan untuk menjaga

keseimbangan dalam keluarga, peran-peran informal mempunyai

tuntutan yang berbeda, tidak terlalu dan didasarkan pada

atribut-atribut kepribadian anggota keluarga individual. Pelaksanaan

peran-peran informal yang efektif dapat mempermudah

pelaksanaan peran-peran formal.

6

Ife, Jim, Community Development: creating community alternatives – vision analysis

(28)

b. Variabel-variabel yang mempengaruhi struktur peran

1) Kelas sosial

2) Bentuk-bentuk keluarga

3) Latar belakang keluarga

4) Tahap siklus kehidupan keluarga

5) Model-model peran

6) Peristiwa situasional yang khususnya masalah kesehatan atau

sakit.7

3. Pengertian Pekerja Sosial

Pengertian pekerjaan sosial yang dikemukakan oleh Charles Zastrow, yang dikutip oleh Dwi Heru Sukoco sebagai berikut:

"Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan".8

Dari pengertian di atas, maka seorang pekerja sosial harus bisa

menciptakan kondisi masyarakat yang baik dan teratur dalam menjaga

setiap keberfungsian elemennya yang menjadi para pemeran berbagai

peran yang ada di dalam masyarakat. menciptakan kondisi masyarakat

yang kondusif dengan relasi-relasi yang ada didalamnya untuk bisa

memberikan keterikatan di antara para pemegang peran tersebut.

7

Ibid., h. 302 8

(29)

Kesejahteraan sosial merupakan ilmu yang berusaha

menggabungkan antara teori dan praktik. Jika ditinjau dari sejarahnya,

teori-teori kesejahteraan sosial adalah teori yang dikembangkan dari

berbagai praktik yang dilakukan oleh para pekerja sosial. Pekerja sosial

adalah seseorang yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam

menangani masalah-masalah kesejahteraan sosial agar dapat berfungsi

sosial.9

Rukminto menyimpulkan :

“Konsep Pekerja Sosial digunakan untuk menggambarkan

seseorang yang bergelut di bidang Pekerjaan Sosial yang berasal (lulusan) dari pendidikan Pekerjaan Sosial ataupun Ilmu

Kesejahteraan Sosial.”10

Zastrow menerangkan bahwa pekerja sosial ini merupakan sebuah

profesi yang membutuhkan dasar pengetahuan formal, konsep teoritis,

spesifik keahlian fungsional dan nilai-nilai penting digunakan untuk

kelengkapan dalam pemberian pelayanan sosial baik bagi individu,

kelompok maupun masyarakat, sehingga timbul adanya perubahan baik

dalam peningkatan kualitas hidup ataupun fungsi sosialnya.11

4. Pengertian Peran Pekerja Sosial

Keberadaan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) telah lama di kenal di

Indonesia, setidaknya setelah di atur dalam ketentuan Keputusan Menteri

Sosial Nomor 14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan

9

Departemen Sosial RI, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Tuna Susila (Jakarta: DEP. SOS RI, 2005), h. 5.

10

Isbandi Rukminto, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Jakarta: FISIP UI Press. 2005), h. 91.

11

(30)

Tata Kerja Pembimbing Sosial Masyarakat. Pada era awal delapan

puluhan PSM yang kita kenal sebagai Pekerja Sosial Masyarakat adalah

Pembimbing Sosial Masyarakat namun setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 28/HUK /1987 tentang Perubahan Atas

Keputusan Menteri Sosial Nomor 14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas

Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Pembimbing Sosial Masyarakat maka sejak

itu PSM menjadi Pekerja Sosial Masyarakat dan dikenal dimasyarakat

Indonesia yang berkedudukan sebagai salah satu pilar partisipan usaha

kesejahteraan sosial yang bersama-sama pilar parsitipasi lainnya dan

Pemerintah secara bertahap mewujudkan masyarakat yang

berkesejahteraan sosial.

Saat ini pengaturan tentang PSM diatur dalam Peraturan Menteri

Sosial Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2012 (Permensos RI No. 01

Tahun 2012) tentang Pekerja Sosial Masyarakat yang selanjutnya menjadi

payung hukum yang sah bagi segala aktifitas PSM sebagai pilar partisipan

dalam melaksanaan usaha kesejahteraan sosial di Indonesia. Sebagaimana

maksud diadakannya PSM yang diatur pada Pasal 2 yaitu:

a. memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk

berperan dalam melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan

b. meningkatkan kepedulian warga masyarakat dalam menangani masalah

sosial.

Permensos RI No. 01 Tahun 2012 yang ditetapkan di Jakarta oleh

(31)

merupakan penyempurnaan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 28/HUK

/1987 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Sosial Nomor

14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja

Pembimbing Sosial Masyarakat.

Berdasarkan Permensos RI No. 01 Tahun 2012 Pasal 3 tujuan

diadakannya PSM yaitu: “a. terwujudnya kehidupan masyarakat yang

berkesejahteraan sosial; b. terwujudnya warga masyarakat yang memiliki keberfungsian sosial yang mampu memenuhi kebutuhannya secara

mandiri; dan c. tertanganinya masalah sosial.”

Dari tujuan sesuai ketentuan Pasal 3 tersebut bermakna bahwa

pekerjaan sosial masyarakat dalam pelaksanaan kegiatannya memiliki

konsentrasi atau fokus, yaitu terhadap keberfungsian sosial (social functioning) baik secara individu maupun kolektif. Dengan kata lain fokus intervensi pekerjaan sosial adalah interaksi perilaku manusia dengan

lingkungan sosialnya.

Adapun keberfungsian sosial ini memiliki beberapa pengertian

diantaranya disampaikan oleh Garvin dan Seabury yang menyatakan

bahwa:12 “Socíal functioning is encompasses all the way that we respons to the demands of our socíal environment – an environment that include

family, peers, organizations, communities, as well as entie society.”

12

Garvin dan Seabury, Modul Dasar-dasar Pekerjaan Sosial bagi Tenaga Kesejahteraan

Sosial Masyarakat (Jakarta : Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Departemen

(32)

Sedangkan Leonora S. de Guzman menyatakan bahw:13 ”Socíal functioning is the expression of the interaction between man and his socíal environment; it is the product of his action as he related to his

surrounding.”

Jadi inti dari kedua pengertian di atas apabila dikaitkan dengan

Permensos RI No. 01 Tahun 2012 Pasal 3 di atas bahwa socíal functioning lebih cenderung dikaitkan dengan bagaimana interaksi orang dengan

lingkungan sosialnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial mencoba membantu

orang yang tidak atau kurang mampu berinteraksi dengan lingkungan

sosialnya sehingga bisa melaksanakan tugas-tugas dalam kehidupannya,

memecahkan permasalahannya ataupun memenuhi kebutuhannya.

Sehingga keberfungsian sosial dapat pula dilihat dari tiga kategori bahwa

keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan melaksanakan

peranan sosial, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, dan kemampuan

untuk memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya.

5. Prinsip Dasar Pekerja Sosial

Sesuai dengan prinsip pekerjaan sosial, yakni “membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri”, PSM sangat memperhatikan

pentingnya partisipasi sosial dan pendekatan pemberdayaan masyarakat.

Dalam konteks ini, dan bahkan dalam hampir semua praktik pekerjaan

sosial, peranan seorang community worker seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau

13

(33)

pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Dalam konteks PSM, pendampingan sosial berpusat pada tiga visi praktik pekerjaan sosial, yang

dapat diringkas sebagai 3P, yaitu: pemungkin (enabling) pendukung (supporting), dan pelindung (protecting). Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama pendampingan sosial adalah “making the best of the client’s

resources”. Dalam pendampingan sosial, klien dan lingkungannya tidak dipandang sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa.

B. Tinjauan Pekerja Seks Komersial

Kaum perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek

dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktik

prostitusi. Prostitusi juga muncul karena ada definisi sosial di masyarakat

bahwa wanita sebagai objek seks.

Pekerja seks komersial pada umumnya adalah seorang wanita. Wanita

adalah mahluk bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang utuh dan unik,

mempunyai kebutuhan dasar yang bermacam – macam sesuai dengan tingkat perkembangannya. Wanita/ibu adalah penerus generasi keluarga dan bangsa

sehingga keberadaan wanita sehat jasmani dan rohani serta sosial sangat

diperlukan. Wanita/ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga.

1. Pengertian Prostitusi

Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap

moral/kesusilaan dan kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang

(34)

RI Nomor 7 Tahun 1984, perdagangan perempuan dan prostitusi

dimasukan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.

Kata prostitusi berasal dari kata latin 'prostitution (em)', kemudian

diintrodusir ke bahasa Inggris menjadi 'prostitution', dan menjadi prostitusi

dalam bahasa Indonesia. Dalam 'Kamus Inggris-Indonesia,

Indonesia-Inggris', oleh John M. Echols dan Hassan Shadili prostitusi diartikan

'pelacuran, persundalan, ketuna-susilaan', sedang dalam tulisan 'Tinjauan

Sosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi di Indonesia', oleh

Syamsudin, diartikan bahwa menurut isthlah prostitusi diartikan sebagai

pekerja yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum

untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah

sesuai apa yang diperjanjikan sebelumnya. Prostitusi atau Pelacuran

adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau berhubungan seks.

Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur atau biasa disebut

pekerja seks komersial (PSK). Kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan

yang patut ditabukan karena secara moral di anggap bertentangan dengan

nilai agama dan kesusilaan.14

14

(35)

2. Pengertian Pekerja Seks Komersial

Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah orang yang menjual dirinya

dengan melakukan hubungan seks dengan orang lain untuk tujuan

ekonomi.15

PSK juga bisa diartikan sebagai wanita yang pekerjaannya menjual

diri kepada banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual,

dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang sebagai imbalan, serta

dilakukan di luar pernikahan.

Sebelum adanya istilah pekerja seks komersial, istilah lain yang juga

mengacu kepada pelayanan seks komersial adalah pelacur, prostitusi,

wanita tuna susila (WTS).

Faktor yang menyebabkan pelacuran (termasuk didalamnya)

menjadi meningkat antara lain: 16

1. Materialisme. Materialisme adalah seseorang yang memiliki tolak

ukur keberhasilan diperoleh dari materi. Maka, karena tolak ukurnya

itu, ia mau bekerja sebagai PSK. Ia bekerja sebagai PSK agar dapat

menjadi kaya dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Adanya rasa

kebanggan yang ditunjukkan pada orang lain, bekerja sebagai PSK.

Bekerja sebagai PSK dapat memenuhi kebutuhan hidup dan berhasil

dalam mencukupi kebutuhan hidup.

15

Diakses pada tanggal 09-02-2014 di http://subadra.wordpress.com 16

(36)

2. Orang setempat yang menjadi pelacur yang sukses. Seseorang yang

memiliki aspirasi yang tinggi terhadap materi. Ia akan

mewujudkan aspirasinya demi materi yang didapatnya. Salah

satunya yakni bekerja. Pekerjaan yang paling mudah, yaitu sebagai

model. Seorang PSK, ia akan memenuhi materi dengan menjadi

model. Salah satu pekerjaan menjadi model dilakukan karena,

adanya perasaan bangga yang dapat ditunjukkan pada orang lain.

Menjadi model selain wajah yang cantik dan tubuh yang tinggi, akan

membuat orang lain tertarik, sehingga banyak yang menginginkan

dia untuk dikontrak jadi model. Pekerjaan menjadi model dapat

menjadi kaya dan terpenuhi kebutuhan hidup.

3. Sikap permisif dari lingkungan. Lingkungan sekitar yang

terdapat banyak PSK, menyebabkan seseorang mengikuti cara

bekerja dengan menjadi PSK. PSK yang tinggalnya bersama dengan

warga, maka warga secara tidak langsung mengizinkan pekerjaan

PSK dan PSK dapat bersosialisasi dengan warga sekitar.

4. Dukungan orang tua. Setiap orang tua yang memiliki anak,

mereka pasti menginkan anaknya berhasil. Anak mereka berhasil

agar, dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat orang tua yang

memiliki ekonomi yang rendah dalam keluarga. Satu sisi orang tua

mempunyai aspirasi untuk mengumpulkan materi yang banyak,

(37)

mewujudkan. Inspirasi dari orang tua tersebut agar dapat terwujud,

maka terpaksa anak mereka di beri izin untuk bekerja. Salah satu

alternatif untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga

yakni, menjadi PSK.

5. Faktor ekonomi. Seseorang bekerja seperti menjadi PSK adalah

untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seseorang yang memiliki

ekonomi yang rendah, sementara biaya kebutuhan banyak dan

tuntutan kebutuhan hidup semakin meningkat. Untuk mengantisipasi

faktor ekonomi yang rendah dan untuk meningkatkan ekonomi

yang tinggi, sehingga kebutuhan dapat terpenuhi maka

alternatifnya bekerja. Kebanyakan seseorang bekerja sebagai PSK

dikarenakan faktor ekonomi, agar dapat bertahan hidup.

Belakangan ini ramai polemik tentang istilah pelacur menjadi PSK.

Dalam setiap forum, kelompok liberal dan para pezinah kerap

menggunakan istilah PSK dengan dalih berempati dengan wanita yang

mencari nafkah untuk diri dan keluarganya. Sementara, kaum religius,

menolak istilah PSK untuk mengganti dari kata pelacur. Manusia adalah

makhluk sosial, yakni makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat

dan saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari

manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan diantaranya tempat

tinggal. Tuntutan menuntut ilmu atau bekerja mencari nafkah, sering

menjadi alasan untuk bisa hidup layak atau dapat berfungsi sosial. Untuk

(38)

realita yang terjadi belum tentu sesuai dengan apa yang direncanakan.

Oleh karena itu, ketidaksiapan mental sering terjadi dalam menyikapi

sebuah kehidupan yang berakibat timbulnya rasa tidak percaya diri dan

banyak penyimpangan-penyimpangan dalam hidup. Pada saat itu banyak

perempuan menjadi objek eksploitasi seperti tercermin dalam wadah

lembaga pernikahan, tradisi kawin paksa dipoligami tanpa batas dan tanpa

syarat, ditukar, disetubuhi (budak) untuk dijual anaknya, bahkan model

prostitusi atas nama kawin kontrak untuk waktu tertentu dengan jumlah

mahar yang telah disepakati dan berbagai bentuk kekerasan terhadap

wanita. Tentunya hal itu merupakan realita lain dari perempuan yang

termarginalkan.17

Selain pelacur, kini muncul istilah baru yakni Pekerja Seks

Komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar. Istilah PSK

ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik tenaga kerja.

Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan memasukkan sektor

pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan yang sah, sehingga

mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik tenaga kerja.

Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS (wanita

tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang melacurkan diri

tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat. Secara legal,

pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No.

17

(39)

23/HUK/96 yang menyebut pelacur dengan istilah WTS. Namun menurut

upaya pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain untuk melebih haluskan

istilah pelacur.

Menarik, Ketua Indonesia Tanpa JIL (ITJ) Akmal Sjafril sampai menyebut penghalusan kata pelacur menjadi PSK sebagai bentuk

Konspirasi” . Ia mempertanyakan, siapa sebenarnya yang pertama kali

menggunakan istilah PSK , namun yang jelas, nampaknya semua media

sudah bersepakat (atau berkonspirasi ) untuk menggunakannya secara konsisten. Kata PSK adalah sebuah istilah yang sangat kontradiktif. Bukan

merupakan penghalusan, melainkan pengaburan makna yang sebenarnya.

Secara lebih tegas, penolakan istilah WTS atau PSK dan memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena:

a. Arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap

dan lebih spesifik

b. Istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna

ganda

c. Istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa

melacur merupakan pekerjaan.

Berdasarkan semua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa seorang

pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin wanita/perempuan yang

(40)

laki-laki. Perempuan berperan sebagai budak dan dibayar oleh laki-laki atas

jasa seks mereka.

Sejak kapan istilah WTS dipakai? Konon, istilah itu dimunculkan

pada era Orde Baru. Jaman itu banyak pula istilah di tengah masyarakat

yang diperhalus. Misalnya ditangkap polisi karena mengritik pemerintah

diistilahkan dengan diamankan. Kenaikan harga bahan bakar minyak

diistilahkan dengan penyesuaian harga. Penjara sebagai tempat para

penjahat menjalani hukuman diistilahkan dengan Lembaga

Pemasyarakatan. Kini istilah WTS lebih diperhalus lagi dengan Pekerja

Seks Komersial (PSK).

Ketika pers semakin bebas, banyak ide dan gagasan dalam memberi

istilah baru, termasuk menghaluskan bahasa (Eufimisme). Sangat aneh dan

ironis, jika pelacur dianggap bagian dari pekerjaan. Bahkan disetarakan

dengan buruh, petani, nelayan, pedagang. Atau mungkin meningkat pula

menjadi profesi semacam dengan dokter, notaris, dosen, dan guru.

Peraturan Daerah seperti di Kabupaten Bantul dan Kota Sambas

dalam menyebut pelaku perbuatan seks guna memperoleh uang adalah

tetap pelacur. Maka, apapun bentuk jasa layanan seks komersial, entah itu

di pinggir jalan, rel kereta api, gubuk reot, beralas tikar, lokalisasi,

layanan internet, online, hotel-hotel berbintang, tetap saja tak bisa

menaikkan derajat kaum pezinah atau pelacur. Baik laki-laki atau

perempuan yang menjajakan tubuhnya dengan yang bukan muhrimnya,

(41)

Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk

melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja

seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal

atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat

buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila

tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena

dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke

pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal

sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan

banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal

selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai

menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman

bernama kondom.

Kata pekerja sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan

lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan

dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan

yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif

yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem

pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis

pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui oleh pemerintah. “Seks” tidak termasuk kelompok suatu jenis

jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks

(42)

Istilah pekerja seks sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang

dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut.

Secara struktural, kinerja, germo, mucikari, calo, pekerja keamanan,

hingga pekerja seks itu sendiri mempunyai batas-batas kerja yang jelas dan

profesional. Jika melihat latar belakang kultural dan tempat transaksi

ekonomi indonesia yang beragam maka transakasi seksualitas tak hanya

ada lima kategori di atas. Banyak juga pekerja seks yang bekerja di mall

(sebagai pegawai mall dan merangkap pekerja seks untuk mencari uang

tambahan). Pekerja seks sekaligus mahasiswi, akrab disebut ayam kampus,

pekeja seks yang merangkap sebagai para pekerja atau pelayan di

tempat-tempat hiburan malam yang ada didaerah perkotaan dan di kantor-kantor

sebagai sekertaris, yang harga tubuh mereka cukup tinggi dan transaksi

terkadang melalui kartu kredit. Dari hal di atas dapat kita lihat bahwa

pekerja seks sebagai bagian dari prasyarat kinerja dan transaksi dagang

yang tidak selalu lepas dari ramainya pusat-pusat ekonomi yang strategis.

Sistem pekerja seks cenderung mempunyai hubungan yang bersifat

temporer insidental. Strategi tersebut tampak pada mekanisme kerja

mereka mengenai istilah short time dan long time booking yang semuanya hanya terjadi dalam waktu tertentu (setengah jam, satu jam, satu malam).

PSK adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas seksual

dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah

memakai jasa mereka tersebut. Banyak perempuam PSK yang berperan

(43)

keempat. Di Eropa dan di tempat lain banyak dari mereka yang

diiperdagangkan dari negeri lain untuk melayani permintaan jumlah

pelanggan yang meningkat. Perbudakan manusia tidak baru, Organisasi

Internasional pekerja (ILO) menaksir 12,3 juta orang diperbudak dalam

kerja paksa dan 2,4 juta dari mereka adalah korban industri perdagangan

dan penghasilan pertahunnya ditaksir sejumlah $10 milyar.

Lebih lanjut dalam kalangan PSK juga mempunyai

tingkatan-tingkatan operasional diantaranya :

a. Segmen kelas rendah

Dimana PSK tidak terorganisir, tarif pelayanan seks terendah yang

ditawarkan, dan biaya beroperasi dikawasan kumuh seperti halnya

pasar, kuburan, taman-taman kota dan tempat lain yang sulit

dijangkau, bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan

dengan para PSK tersebut.

b. Segmen kelas menengah

Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa menetapkan

tarif harga pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di

booking semalaman. c. Segmen kelas atas

Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang

relatif tingggi yang menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk mengencani wanita panggilan atau menggunakan kontak khusus

(44)

d. Segmen kelas tertinggi

Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita

model. Super germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita

kelas atas ini.

3. Penyebab Pekerja Seks dari Perspektif Politik, Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi

a. Penyebab adanya pekerja seks perspektif politik

Pekerja seks merupakan sejarah panjang keberadaan perempuan

dimana pilihan kehidupan seksual mereka hanya mempunyai beberapa

opsi secara garis besar yakni menikah dan membujang atau menjadi

pekerja seks. Pekerja seks juga sering dan bahkan selalu menjadi

bagian dari kondisi dan prasyarat tingkat dua terhadap lahirnya kota

dan industrialisasi. Baik itu dibidang pertambangan, jasa hingga

pariwisata. Pada masa kini, beberapa daerah di dunia maupun di

Indonesia mempunyai keragaman dalam menyikapi mencuatnya

keberadaan kegiatan pekerja seks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari

variasi latar belakang kebudayaan mereka. Di samping itu, pekerja

seks seakan menjadi komunitas tertentu yang seringkali dimarginalkan

oleh masyarakat, begitu juga hak-haknya. Selain itu banyak yang

memperlakukan pekerja seks dengan tidak selayaknya karena profesi

mereka yang dianggap juga tidak layak, bahkan ketika lokalisasi

tempat mereka bekerja di razia seakan-akan posisi mereka selalu salah.

(45)

Selain itu latar belakang pendidikan merupakan ajang pemicu

lainnya. Mereka tidak mendapatkan ruang kesempatan untuk

memasuki ladang pekerjaan yang membutuhkan latar belakang

pendidkan setingkat sarjana. Selain itu juga kemampuan memadai

dalam memasuki berbagai sektor pekerjaan yang dianggap lebih

terhormat dan bergengsi oleh masyarakat. Rendahnya pendidikan

membuat kaum pekerja seks tak mempunyai keleluasaan secara

ekonomi dalam hal memilih pekerjaan.

Dalam hal ini rendahnya latar belakang pendidikan pekerja seks

juga sering menimbulkan lemahnya daya tawar mereka, timbulnya

kepasifan dan kepribadian yang naif dalam melakukan sebuah interaksi.

Selain itu mereka juga membuka lebar ruang-ruang pemaksaan serta

kekerasan untuk masuk menerjang mereka, baik dari pihak mucikari,

pelanggan, hingga pemerintah daerah sendiri.

c. Penyebab adanya pekerja seks perspektif sosial

Penyebab lahirnya pekerja seks yang diakibatkan oleh kesulitan

ekonomi seperti yang dijelaskan di atas akan menjadi sebuah bahan dari

perdebatan hangat jika dilihat dari perspektif kultural. Dari perspektif

sosial kultural akan terlihat berbagai nuansa yang lolos dari sudut

pandang dan hitungan ekonomi. Pekerja seks lahir dari berbagai latar

belakang sosial kultural yang menstimulasinya seperti permisfitas

kultural, tekanan keluarga, aspirasi materil oleh individu hingga

(46)

merupakan fenomena pergeseran masyarakat dari yang sekedar

mengkonsumsi barang berdasarkan kebutuhan dasar dan mendesak

kepada kebutuhan akan pemenuhan citra dan nilai simbolitas yang

dapat meningkatkan gengsi sosial ditengah pergaulan dengan sekitar.

d. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif ekonomi

Jika ditilik dari prasyarat kerja, pemaknaan pelacur memenuhi

unsur yang nyaris serupa dan memang sama terhadap berbagai

prasyarat yang dimasukkan sebagai unsur kerja. Mulai dari

profesionalitas, skill, disiplin dan pengalaman yang diiperlukan. Selain

itu, ada terdapat pula unsur yang diperdagangkan dan ditransaksikan.

Permasalahan kemudian adalah barang apa yang ditransaksikan dengan

objek lawan interaksi/hubungan mereka. Jika seorang guru menjual

otaknya, jika seorang kuli menjual tenaga dan pundaknya, maka

seorang pekerja seks menjual kelaminnya. Kelamin yang dianggap

privat inilah yang kemudian menjadi permasalahan ketika berpindah

atau ditransaksikan ke area publik.

Pada fenomena pekerja seks, terdapat beberapa unsur transaksi

yang merupakan unsur dari mekanisme kerja, dimana sang subjek

menggunakan tubuh sebagai komoditas untuk dijual dalam satuan harga

yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak tanpa

ada yang merasa dirugikan dan kedua belah pihak merasa puas. Uang

atau barang tertentu menjadi elemen utama perantara kedua subjek yang

(47)

dapt digerakkan kembali, maka pekerjaan menjual tubuh juga

merupakan bagian dari mata pencaharian, dimana mereka menumpukan

sandaran pada kerja tersebut. Jika lokasi mata pencaharian mereka

dirusak seperti pembongkaran atau penggusuran lokalisasi, maka

hilanglah mata pencaharian mereka sebagai andalan dan sandaran. Hal

ini tentunya tak berbeda dengan mata pencaharian lainnya, seperti

petani, nelayan, dan guru.

Jenis pekerjaan ini juga memiliki disversifikasi yang baik dalam

struktur hingga operasional kerjanya. Dalam melihat fenomena di

Indonesia, jenis pekerjaan seks dibagi kedalam dua kategori besar

berdasarkan kriteria struktur dan sistem operasional, diantaranya :  Pekerja seks jalanan

Pekerja seks ini sering kita temui di berbagai jalanan besar di Indonesia.

Sang pekerja lebih bersifat independen. Ketika terjadi interaksi tak ada

perantara ketiga seperti germo maupun penjaga keamanan. Harga tubuh

yang ditawarkan pun lebih miring. Hal ini karena selain tak ada tips

kepada pihak ketiga secara tetap. Kemolekan serta kecantikan mereka

lebih dibawah serta seusia mereka terkadang lebih tua dibanding

mereka yang berada di dalam lokalisasi.  Pekerja seks bar dan kafe

Para pegawai perempuan merupakan pelaku utama sebagai pekerja seks

yang didukung oleh pegawai lainnya (laki-laki misalnya). Berperan

(48)

Transaksi bisa dilakukan di tempat kerja tersebut yang akan berlanjut

dengan hubungan seks di tempat lain, di hotel misalnya.

Pekerja seks di lokalisasi/rumah pelacuran (brothel). Sistem kerja ini merupakan area yang paling mudah diamati karena berbagai hal. Ia

merupakan pekerjaan yang diakui oleh negara/pemerintah setempat

karena dikenakan pajak atau retribusi daerah. Pekerja seks legal ini

berada dibawah pengawasan dan aturan dinas sosial. Secara tempat,

kawasan ini selalu dipisahkan dengan bentuk pembatasan yang jelas

seperti tembok, pagar kawat, bahkan dipisahkan dari perkampungan

masyarakat. Sistem kerja mereka pun sangat tertata dimana secara rutin

tim kesehatan akan datang seminggu sekali, misalnya ke area lokalisasi

untuk mengecek kesehatan para pekerja. Bentuk program kerja yang

dijalankan oleh dinas sosial dan kesehatan dalam bentuk pemberian

kondom cuma-cuma, pembuatan jadwal olahraga pagi dan sejenisnya.

1. Akibat-Akibat Pelacuran

Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran yaitu :

a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin atau kulit.

b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda

oleh pelacur terkadang melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga,

sehingga keluarga menjadi berantakan.

(49)

d. Merusak seni-seni moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali

menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat

kebiasaan, norma hukum dan agama.

e. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya

wanita-wanita pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari

pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus

diberikan kepada germo. Dengan kata lain ada sekelompok manusia

benalu yang memeras darah dan keringat para pelacu r ini.

4. Klasifikasi Pekerja Seks Komersial

Berdasarkan modus operasinya, pekerja seks komersial di

kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu.

a. Terorganisasi

Yaitu mereka yang terorganisasi dengan adanya pimpinan, pengelola

atau mucikari, dan para pekerjanya mengikuti aturan yang mereka

tetapkan. Dalam kelompok ini adalah mereka yang bekerja di

lokalisasi, panti pijat, salon kecantikan.

b. Tidak Terorganisasi

Yaitu mereka yang beroperasi secara tidak tetap, serta tidak

terorganisasi secara jelas. Misalnya pekerja seks di jalanan, kelab

(50)

5. Faktor yang Memungkinkan Penyebab Terjerumusnya Wanita Menjadi Pekerja Seks Komersial

Terjerumus adalah jatuh tersungkur, terjebak, jatuh ke dalam

kesengsaraan, tersesat. Banyaknya faktor yang melatar belakangi

terjerumusnya pekerja seks komersial antara lain adalah :

a. Faktor Ekonomi

Ekonomi adalah pengetahuan dan penelitian azas penghasilan,

produksi, distribusi, pemasukan dan pemakaian barang serta kekayaan,

penghasilan, menjalankan usaha menurut ajaran ekonomi . Salah satu

penyebab faktor ekonomi adalah:

1) Sulit Mencari Pekerjaan

Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari yang

merupakan sumber penghasilan. Ketiadaan kemampuan dasar

untuk masuk dalam pasar kerja yang memerlukan persyaratan,

menjadikan wanita tidak dapat memasukinya. Atas berbagai alasan

dan sebab akhirnya pilihan pekerjaan inilah yang dapat dimasuki

dan menjanjikan penghasilan yang besar tanpa syarat yang susah .

Berdasarkan survei yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak

Indonesia (YKAI) tahun 2003-2004 menjadi pekerja seks

komersial karena iming-iming uang kerap menjadi pemikat yang

akhirnya justru menjerumuskan mereka ke lembah kelam.

Alasan seorang wanita terjerumus menjadi pekerja seks adalah

(51)

sehari-hari namun sulitnya mencari pekerjaan sehingga menjadi

pekerja seks merupakan pekerjaan yang termudah.

Penyebab lain diantaranya tidak memiliki modal untuk kegiatan

ekonomi, tidak memiliki keterampilan maupun pendidikan untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga menjadi pekerja

seks merupakan pilihan.

Faktor pendorong lain untuk bekerja sebagai PSK antara lain

terkena PHK sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup

menjadi PSK merupakan pekerjaan yang paling mudah

mendapatkan uang.

2) Gaya Hidup

Adalah cara seseorang dalam menjalani dan melakukan dengan

berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Pergeseran norma selalu terjadi dimana saja apalagi dalam tatanan

masyarakat yang dinamis. Norma kehidupan, norma sosial, bahkan

norma hukum seringkali diabaikan demi mencapai sesuatu tujuan.

Kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk

menghindari kesulitan hidup, selain itu untuk menambah

kesenangan melalui jalan pintas. Dikutip dari TV7.com seorang

pengarang best seller “Jakarta Undercover” Moammar MK mengungkapkan bahwa pekerja seks komersial sebagian rela

(52)

Menjadi pekerja seks dapat terjadi karena dorongan hebat untuk

memiliki sesuatu.

Jalan cepat yang selintas terlihat menjanjikan untuk memenuhi

sesuatu yang ingin dimiliki.

Gaya hidup yang cenderung mewah juga dengan mudah ditemui

pada diri pekerja seks. Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi

orang kaya, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari

nafkah sebagai PSK.

Gaya hidup menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan

makin jauhnya agama dari pribadi-pribadi yang terlibat dalam

aktifitas prostitusi maupun masyarakat. Pergeseran sudut pandang

tentang nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut telah membuat

gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus di

miliki.

3) Keluarga yang tidak mampu

Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang

peranannya besar sekali terhadap perkembangan

Gambar

gambaran kepribadian
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
gambaran latar belakang informan, yang terdiri dari dua orang pekerja seks komersil

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak daging buah kurma ajwa tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah neuron pada otak embrio mencit, tetapi terdapat

Tuntasnya, Islamic Outreach ABIM telah mengaplikasikan Ilmu Perbandingan Agama dalam pendekatan dakwah non-Muslim melalui program-program teras (seperti dinyatakan) dan

Secara garis besar program sistem pakar ini menggunakan dua cara dalam melakukan diagnosa penyakit ISPA, yaitu cara memasukkan gejala yang dialami oleh pasien yang nantinya

Kardus berventilasi dan keranjang plastik merupakan kemasan yang paling baik dalam menekan susut bobot dan kerusakan buah jeruk selama penyimpanan yang dapat memperpanjang masa

K ontroler logika fuzzy digunakan untuk mengatur transfer daya yang terjadi antara stasiun pengisian dan grid baik berupa vehicle to vehicle , vehicle to grid ,

Puji dan syukur dipanjatkan kehadapan Tuhan Yesus Kristus/Tuhan Yang Maha Esa, karna atas berkat dan penyertaan-Nya saja sehingga penulisan tesis dengan judul

Variabel pengamatan meliputi (1) jumlah buah per tanaman, (2) berat per buah, yang dihitung dari berat buah per tanaman dibagi jumlah buah per tanaman, (3) berat buah rusak

Hasil dari hipotesis pertama yang diuji dengan menggunakan uji t, menunjukan bahwa variabel rasio Kepemilikan Manajerial secara parsial tidak berpengaruh