SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Untuk Memenuhi Peryaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
KENNI JULIANTARA NIM: 108054100016
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KAMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
Pekerja Seks Komersial adalah salah satu bagian dari dunia pelacuran yang didalamnya termasuk gigolo, waria, dan mucikari. Fenomena PSK sangat menarik untuk dikaji, dikarenakan fenomena ini dari dulu hingga sekarang tetap berlangsung. Fenomena PSK yang bertentangan dengan nilai agama tidak terlepas dari latar belakang sulitnya mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak memadai dari seseorang.
Perkembangan permasalahan sosial dalam masyarakat begitu kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat, tepat dan berkelanjutan. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan sosial dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu sendiri. Atas dasar pertimbangan itulah pemerintah melalui Departemen Sosial RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator dan pendamping sosial dalam masyarakat yang disebut dengan nama Pekerja Sosial Masyarakat (PSM). Dari sini pula lah para Pekerja Sosial Masyarakat berperan menjadi salah satu motivator, stabilitator, dan pendamping sosial terhadap berbagai permasalahan fenomena PSK ini.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis lebih mendalam terkait berbagai temuan di lapangan terhadap berbagai peran Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan dalam menanggulangi berbagai permasalahan yang dihadapi para Pekerja Seks Komersil.
Setelah menganalisis lebih mendalam berdasarkan berbagai temuan dan fakta di lapangan, peneliti menemukan berbagai peran yang telah maksimal dilaksanakan oleh para Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, seperti peran sebagai pemberi dukungan, membentuk konsesus, membangun fasilitasi kelompok, menyampaikan informasi, melakukan pelatihan, membangun hubungan masyarakat, mengembangkan jaringan, berbagi pengalaman dan pengetahuan, mengumpulkan dan menganalisis data, menggunakan komputer, melakukan presentasi tertulis maupun verbal, manajemen, serta mengontrol financial.
Namun, dalam perjalanannya para pekerja sosial masyarakat masih sangat membutuhkan dukungan dari berbagai lembaga terkait seperti Dinas Sosial dan Pemerintah Daerah guna memaksimalkan berbagai peran yang masih belum dilaksanakan dengan baik seperti membentuk animasi sosial, melakukan mediasi dan negoisasi, memanfaatkan sumberdaya dan keterampilan, membangkitkan kesadaran masyarakat, melakukan konfrontasi, advokasi, dan memanfaatkan media.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang maha pengasih lagi maha penyayang.
Segenap karunia dan dan rahmat telah dilimpahkan sehingga penulis mampu
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam Menanggulangi Masalah Pekerja Seks Komersil (PSK) di Tangerang Selatan” sebagai tugas akademik di Program Studi Kesejahteraan Sosial, Fakultas Dakwah dan
Ilmu Komunikasi. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurahkan keharibaan
baginda Rasulullah Muhammad SAW, yang telah menjadi suri tauladan bagi umat
manusia.
Penulis menyadari bahwa penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan
serta dukungan berbagai pihak.Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan,
izinkanlah penulis menuangkan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Siti Napsiyah, MSW. dan Ahmad Zacky, M.Si. selaku Ketua Jurusan dan
Sekertaris program studi kesejahteraan sosial yang selalu memberikan arahan
dan nasihat dalam menjalani segenap proses perkuliahan.
2. Lisma Dyawati Fuaida, M.Si. selaku pembimbing yang senantiasa sabar dan
selalu memberikan nasihat guna terselesaikannya skripsi ini menjadi lebih
baik.
3. Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komulikasi yang telah
memberikan curahan pengetahuan agar penulis mampu menjadi orang yang
4. Pihak Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan, Dinas Sosial
Tangerang Selatan, dan Pemerintah Daerah Tangerang Selatan, yang telah
memberikan banyak informasi guna dijadikan bahan pembahasan utama
dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibunda Ani Devi Savitri, ayahanda Wahyu Sutawidjaja, dan adikku Karissa
Mayasani, yang memberikan cinta dan kasih sayang, serta motivasi dalam
menjalankan setiap aktivitas.
6. Teman-teman seperjuangan di prodi Kesejahteraan Sosial angkatan 2008 yang
bersedia memberikan masukan dan semangat.
Penulis begitu menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini jauh dari
kesempurnaan. Keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan wawasan yang penulis
alami, semakin menunjukkan bahwa skripsi ini begitu banyak kekurangan. Maka,
masukan dan saran begitu penulis harapkan agar mampu menjadikan tulisan ini lebih
baik.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi
pembaca. Semoga skripsi ini mampu membuka wawasan kita untuk dapat selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dalam managakkan kesejahteraan sosial.
Jakarta, 7 Oktober 2014
DAFTAR ISI
ABSTRAK
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
B. Rumusan Masalah
C. Pembatasan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
F. Metodologi Penelitian
G. Tinjauan Pustaka
H. Sistematika Penulisan
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Peranan Pekerja Sosial Masyarakat
B. Tinjauan Pekerja Seks Komersil
BAB III GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Sejarah Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang Selatan
i ii iv vi
1 6 6 6 7 7 11 12
14 24
B. Profil Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang Selatan
C. Struktur PSM Kota Tangerang Selatan
D. Maksud, Tujuan, Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Pekerja
Sosial Masyarakat
E. Pekerja Seks Komersial Tangerang Selatan
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS PERAN PEKERJA SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP PEKERJA SEKS KOMERSIL
A. Deskripsi Informan
B. Temuan Tentang Peran Fasilitatif, Edukasional,
Representatif, dan Teknis Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang Selatan
C. Analisis Peran Fasilitatif, Edukasional, Representasional, dan
Teknis Pekerja Sosial Mayarakat Tangerang Selatan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
55 57
59 62
65
68
73
81 84
1 A. Latar Belakang
Pekerja Seks Komersial (selanjutnya disingkat PSK) adalah salah satu
bagian dari dunia pelacuran yang didalamnya termasuk gigolo, waria, dan
mucikari. Fenomena PSK sangat menarik untuk dikaji, dikarenakan fenomena
ini dari dulu hingga sekarang tetap berlangsung. Fenomena PSK yang
bertentangan dengan nilai agama tidak terlepas dari latar belakang sulitnya
mencari pekerjaan dengan pendidikan yang rendah, keterampilan yang tidak
memadai dari seseorang. Seseorang yang memiliki pekerjaan sebagai
PSK,apabila berhubungan seksual tidaklah dengan orang (pelanggan) yang
sama. Akibat dari pelanggan yang dilayani berganti-ganti orangnya,
menyebabkan PSK dapat terkena virus HIV. Virus HIV dapat menyebabkan
seseorang terkena AIDS dan IMS (Infeksi Menular Seksual). PSK merupakan
kelompok resiko tinggi yang dapat tertular HIV/AIDS dan IMS.
Istilah pelacur berasal dari kata lacur. Kata lacur memiliki arti malang,
celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Melacur berarti hubungan badan yang
terjadi di luar norma resmi dari agama dan negara.1 Pelayan seks dalam
kerangka budaya menyebabkan perempuan (pelakunya) memperoleh
kehormatan luhur, seperti gadis-gadis (temple maidens) yang mempersembahkan keperawanannya dalam upacara agama pada masyarakat
1
purba.2 Pelacuran merupakan sejenis praktik perbudakan perempuan yang
memanfaatkan seks sebagai alat utamanya. Pelacuran masih dianggap
masyarakat sebagai prilaku manusia yang berada di luar norma, maka
persoalan pelacuran berhubungan dengan moralitas.
Melihat perkembangan istilah-istilah tersebut, semakin bisa dipahami
bahwa bahasa milik masyarakat. Perluasan dan penyempitan pemahaman
sebuah bahasa selalu berkembang seiring perkembangan masyarakat. Seperti
akhir-akhir ini, istilah pelacur menemukan istilah barunya, yakni pekerja seks
komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar, praktisi, dan
pejabat dari contoh di atas.
Selain istilah PSK, di Indonesia juga berkembang istilah Wanita Tuna
Susila (WTS). Istilah WTS lebih dikenal daripada istilah perempuan pelacur,
itu terjadi mungkin untuk membedakan dengan laki-laki pelacur yang disebut
gigolo. Secara legal, pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan
Menteri Sosial No.23/HUK/96 yang menyebut kata pelacur dengan istilah
PSK.
Manusia adalah makhluk sosial, yakni makhluk yang berkodrat hidup
dalam masyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan
sehari-hari manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan diantaranya
tempat tinggal. Tuntutan menuntut ilmu atau bekerja mencari nafkah, sering
menjadi alasan untuk bisa hidup layak atau dapat berfungsi sosial. Untuk
mencapai semua itu diperlukan semangat dan keterampilan, akan tetapi realita
2
Thank-Dam Truong, Seks Uang dan Kekuasaan Pariwisata dan Pelacuran di Asia
yang terjadi belum tentu sesuai dengan apa yang direncanakan. Oleh karena
itu, ketidaksiapan mental sering terjadi dalam menyikapi sebuah kehidupan
yang berakibat timbulnya rasa tidak percaya diri dan banyak
penyimpangan-penyimpangan dalam hidup. Pada saat itu banyak perempuan menjadi objek
eksploitasi seperti tercermin dalam wadah lembaga pernikahan dengan
adanya tradisi kawin paksa, poligami tanpa batas dan tanpa syarat, ditukar,
disetubuhi (budak) untuk dijual anaknya, bahkan model prostitusi atas nama
kawin kontrak untuk waktu tertentu dengan jumlah mahar yang telah
disepakati dan berbagai bentuk kekerasan terhadap wanita. Tentunya hal itu
merupakan realita lain dari perempuan yang termarginalkan.3
Kompleksitas permasalahan sosial yang berkembang dalam
masyarakat menuntut upaya sadar dari setiap komponen masyarakat untuk
memperbaharui dan mengelola sistem sosialnya serta menyelesaikan
permasalahan sosialnya. Pembaharuan yang dimaksud adalah upaya
pengembangan nilai-nilai yang melandasi struktur sosial suatu masyarakat
yang dinamis, stabil dan mengacu pada tujuan pencapaian kesejahteraan
sosial. Sementara pengelolaan sosial adalah bagaimana menjadikan seluruh
dinamika sosial dalam sistem masyarakat sebagai energi positif yang dapat
dimanfaatkan bagi pengembangan masyarakat itu sendiri. Penyelesaian
masalah sosial adalah intervensi sosial yang dilakukan secara sadar, inovatif
dan terukur terhadap suatu permasalahan sosial sebagai langkah untuk
menjadikan masalah tersebut normal kembali atau lebih baik lagi sesuai
3
dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Perkembangan permasalahan sosial dalam masyarakat begitu
kompleks sehingga diperlukan penanganan secara sungguh-sungguh, cepat,
tepat dan berkelanjutan. Artinya untuk menyelesaikan permasalahan sosial
dalam masyarakat tersebut diperlukan adanya motivator, stabilisator dan
pendamping sosial yang hidup serta berkembang dalam masyarakat itu
sendiri. Para motivator, stabilisator dan pendamping sosial tersebut perlu
dibekali pengetahuan dan pemahaman lebih terhadap permasalahan sosial
yang ada dalam lingkungannya, untuk selanjutnya berkiprah sesuai dengan
kultur dan tradisi lingkungannya itu sehingga mereka tidak terkesan eksklusif.
Atas dasar pertimbangan itulah pemerintah melalui Departemen Sosial
RI sejak tahun 1979 telah melatih masyarakat sebagai motivator, stabilisator
dan pendamping sosial dalam masyarakat yang disebut dengan nama Pekerja
Sosial Masyarakat (PSM). Para PSM ini merupakan voluntir dari masyarakat
yang berdomisili di desa-desa/kelurahan seluruh Indonesia. Adapun sebagai
pengarah mereka dalam operasionalnya adalah seorang Pekerja Sosial
Kecamatan yang merupakan pegawai negeri.
Maraknya PSK di Tangsel sudah sampai pada taraf meresahkan
warga, hal ini membuat petugas Satpol PP terus menggelar Operasi Penyakit
Masyarakat (selanjutnya disebut Pekat) ini. Pada operasi pada tanggal 15 Mei
2013, sebanyak 5 lokasi hiburan malam dan warung remang-remang yang
disinyalir digunakan sebagai ajang prostitusi dirazia petugas. Dari hasil
operasi di wilayah Serpong dan Ciputat, petugas berhasil menjaring
merupakan PSK lama.
Puluhan PSK berhasil terjaring dalam Pekat yang digelar Satuan Polisi
Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang Selatan (Tangsel), Rabu
(15/05/13) dini hari. Para wanita malam itu hanya pasrah saat petugas
gabungan Satpol PP, Kepolisian Sektor Ciputat dan Garnisun Tangsel,
menggelandangnya masuk ke mobil petugas. Selain warung remang-remang,
petugas juga menyisir sejumlah tempat hiburan malam yang disinyalir kerap
digunakan sebagai tempat prostitusi.
Taufik, Kasie Penertiban mengatakan, mereka yang terjaring operasi
pekat ini langsung di bawa ke kantor Satpol PP untuk dilakukan pendataan, “usai dilakukan pendataan, para “kupu-kupu malam” itu akan langsung
dibawa ke panti rehabilitasi di Pasar Rebo, Jakarta Timur. Operasi serupa
akan terus digelar Pemerintah Kota Tangsel, untuk meminimalisir tindak
prostitusi yang sudah sangat meresahkan warga.4
Jumlah 60 orang PSK dari wilayah Serpong dan Ciputat dalam satu
kali operasi Pekat sedikit banyak dapat menggambarkan berapa
sesungguhnya jumlah PSK yang sebenarnya di wilayah Tangsel. Pembinaan
merupakan hal umum yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap, kecakapan di bidang pendidikan, sosial, ekonomi, kemasyarakatan dan
lainnya. Pembinaan menekankan pada pendekatan praktis, pengembangan
sikap, kemampuan dan kecakapan. Pembinaan PSK dapat dilakukan oleh
PSM antara lain:
4
Adanya bimbingan konseling bagi para PSK
Adanya pelatihan ketrampilan bagi para PSK agar mereka dapat memiliki
keahlian lain yang menjadi dasar pergeseran mata pencaharian.
Adanya bantuan modal/pinjaman bagi para PSK agar mereka dapat
memulai usaha baru.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas penulis tertarik untuk
meneliti tentang “Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam membina masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) di Tangerang Selatan”.
B. Rumusan Masalah
“Bagaimana Peran Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) Tangerang
Selatan dalam menanggulangi masalah Pekerja Seks Komersial (PSK) di
Tangerang Selatan?”
C. Pembatasan Masalah
Karena luasnya ruang lingkup masalah pekerja seks komersial, maka
penelitian ini membatasi ruang lingkupnya hanya pada peran-peran yang
dilakukan PSM dalam menangani masalah PSK di Tangerang Selatan.
D. Tujuan Penelitian
Dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mendepkripsikan peran-peran PSM dalam menanggulangi masalah
PSK di Kota Tangerang Selatan.
Dari hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat, baik
secara teoritis maupun praktis.
1. Manfaat teoritis
Memberikan masukkan dan informasi yang diperlukan sebagai
bahan pustaka untuk pengembangan selanjutnya dan dapat memperkaya
khasanah keilmuan, khususnya pada Program Studi Kesejahteraan Sosial.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadikan bahan
pertimbangan bagi lembaga sebagai dasar Pekerja Sosial Masyarakat
(PSM) menanggulangi masalah Pekerja Seks Komersial (PSK).
F. Metodelogi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Hal ini dimaksudkan
bahwa penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung dan
wawancara mendalam dengan informan yang sangat memahami
permasalahan yang diteliti. Sedangkan tipe penelitian yang digunakan adalah
penelitian deskriftif (Descriptive Research), yaitu penelitian yang menggambarkan atau melukiskan situasi tertentu berdasarkan data yang
diperoleh di lapangan secara terperinci sesuai dengan fokus penelitian yang
telah ditetapkan. 5
1. Prosedur Kerja Penelitian
a. Teknik Penentuan Lokasi
5
Penentuan lokasi penelitian untuk mengkaji dan meneliti tempat
Rehabilitasi PSK oleh PSM ditentukan berdasarkan wilayah dan
lokasi yang sesuai dengan fokus penelitian untuk penelitian ini dan
juga terdapat banyak PSK diantaranya wilayah Ciputat dan Serpong.
Hal ini dimaksudkan agar penelitian berjalan dengan lancar. Penelitian
ini dilakukan di Kantor PSM Tangerang Selatan di Komplek Villa
Tekno Blok R1 No. 10 Serpong.
b. Teknik Penentuan Informan
Dalam penelitian ini pemilihan informan menggunakan teknik
purposive sampling. Purposive sampling yaitu penentuan sampel berdasarkan tujuan tertentu dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi.6
Informan yg dipilih adalah tiga orang PSK dan dua orang tokoh
masyarakat (PSM) yang dapat memberikan penjelasan dan memiliki
informasi yang memadai berkenaan dengan rumusan masalah dalam
penelitian ini.
Kerangka pemilihan informan:
No Informan Jabatan Jumlah
1 PSM Anggota 1
2 Aparat Pemerintah Daerah Pegawai Kecamatan
1
4 Pekerja Seks Komersial Penjaja 2
6
c. Teknik Pengumpulan Data
Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian, yaitu:
1) Sumber data primer adalah data yang diperoleh secara langsung
dengan penelitian melalui wawancara mendalam, pengamatan
langsung serta peneliti terlibat.7 Data primer didapatkan dari
teknik-teknik pengumpulan data berikut ini:
a) Pengamatan (observasi)
Observasi dilakukan dengan cara mengamati secara langsung
di Kantor PSM Kota Tangerang Selatan (sesuai dengan lokasi
yang telah ditentukan). Maksudnya adalah mengamati
bagaimana permasalahan para Pekerja Seks Komersial dan
Solusi yang diberikan oleh PSM. 8
b) Wawancara Mendalam (Indepth Interview)
Wawancara Mendalam (Indepth Interview) merupakan metode pengumpulan data yang sering digunakan dalam
penelitian kualitatif. Wawancara mendalam secara umum
adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang
diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman
(guide) wawancara, pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Dengan
7
Ibid
8
demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah
keterlibatannya dalam kehidupan informan. 9
2) Sumber data sekunder adalah semua data yang diperoleh secara
tidak langsung dari objek yang diteliti yang merupakan data
penunjang penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber untuk
melengkapi penelitian.10 Data sekunder merupakan data yang
memang sudah ada yang didapatkan dari instansi tertentu yaitu
kantor PSM jika datanya masih relevan dengan fokus penelitian.
Sebagai kelengkapan dari observasi dan wawancara mendalam
yang telah dilakukan, peneliti mencari dan membaca buku-buku
hasil penelitian atau literatur apa pun yang masih relevan dengan
fokus penelitian yang bisa membantu agar data yang di dapatkan
lebih lengkap.
2. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh
secara sitematis, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori,
menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, serta
membuat kesimpulan sehingga mudah difahami oleh diri sendiri maupun
orang lain.11 Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan
cara kualitatif. Cara ini dimaksudkan dengan menghubung-hubungkan
9
Rony Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimeter (Jakarta: Ghalis, 1994), h. 57. 10
Opcit
11
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan : Pendekatan Kuantitaif, Kualitatif, dan R&D
berbagai keterangan yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan
langsung kemudian ditarik makna dari keterkaitan hubungan antar
berbagai makna yang ada.
G. Tinjauan Pustaka
Setelah peneliti melakukan survei di perpustakaan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, ada beberapa literatur yang terkait dengan persoalan ini,
yakni skripsi:
1. Hasil penelitian Fazra Raissa Wulandari, dengan judul Peran Pekerja Sosial Masyarakat Kelompok Usaha Bersama dalam pemberdayaan keluarga miskin di desa Lebak Wangi Kecamatan Sepatan Timur Tangerang. Pembahasan dalam skripsi tersebut menjelaskan bahwa peran pendampingan sangat diperlukan agar KUBE dapat berjalan dan
berkembang dengan ditampilkannya pendamping. (Kesejahteraan Sosial,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011)
2. Hasil penelitian Lilik Jatmiko, dengan judul Kinerja Pekerja Sosial Dalam Meningkatkan Spiritualitas Kalayan di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Yogyakarta. Pembahasan dalam skripsi tersebut adalah menerapkan salah satu Program yang harus dilaksanakan oleh Pekerja
Sosial di PSKW yaitu program Spiritualitas yang diberikan kepada orang
yang menerima pelayanan dipanti (kalayan). (Pengembangan Masyarakat
Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010)
Pekerja Seks Komersial (Studi Kasus terhadap PSK di Gunung Kemukus Sragen Jawa Tengah). Pembahasan dalam skripsi tersebut tentang berbagai motif serta dampak psikologis PSK di Gunung Kemukus Sragen
Jawa Tengah. (Bimbingan Konseling, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2010)
Penulis menyadari bahwa literatur tersebut merupakan sumber
inspirasi dalam menyusun skripsi ini. Berbeda dengan karya ilmiah yang
menjadi gagasan tersebut, skripsi ini lebih objektif menekankan pada peran
Pekerja Sosial Masyarakat dalam pembinaan Pekerja Seks di Tangerang
Selatan.
H. Sistematika Penulisan
Secara garis besar skripsi ini akan dibagi dalam lima (5) bab dan
setiap bab dibagi atas beberapa sub bab dengan kebutuhan pembahasan dan
uraiannya, yaitu :
BAB I : Dalam bab ini penulis membahas Latar Belakang, Rumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metodelogi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Di dalam bab ini penulis membahas Landasan Teori yang meliputi : Pengertian Peran, Pengertian Pekerja Sosial, Prinsip Dasar Pekerja
Sosial, Pengertian Pekerja Seks Komersial, Penyebab Pekerja Seks dari
Perspektif Politik, Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi, Klasifikasi Pekerja Seks
Komersial, Faktor yang Memungkinkan Penyebab Terjerumusnya Wanita
BAB III : Pada bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang : Sejarah Kota Tangerang Selatan, Profil Tangerang Selatan, Sejarah Pekerja Sosial
Masyarakat Tangerang Selatan, Profil Pekerja Sosial Masyarakat Tangerang
Selatan, Struktur PSM Kota Tangerang Selatan, Maksud, Tujuan, Kedudukan
Tugas dan Fungsi Pekerja Sosial Masyarakat, Pekerja Seks Komersial
Tangerang Selatan.
BAB IV : Pada bab ini penulis mencoba memberikan temuan dan analisis terhadap penelitian yang dilakukan dengan membandingkannya antara teori
dan hasil penelitian.
BAB V : Pada bab ini penulis mencoba menarik kesimpulan atas hasil penelitian dengan memberikan sumbangsih berupa saran-saran yang mungkin
14
A. Tinjauan Peranan Pekerja Sosial Masyarakat 1. Pengertian Pekerja Sosial Masyarakat
Pekerja Sosial Masyarakat yang selanjutnya disingkat dengan PSM
adalah seseorang sebagai warga masyarakat yang mempunyai jiwa
pengabdian sosial, kemauan, dan kemampuan dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial, serta telah mengikuti bimbingan atau pelatihan di
bidang kesejahteraan sosial.1 Kesejahteraan Sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya.
Pekerja Sosial Profesional adalah seseorang yang bekerja, baik di
lembaga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi dan
profesi pekerjaan sosial, dan kepedulian dalam pekerjaan sosial yang
diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman praktek
pekerjaan sosial untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial. 2
2. Pengertian Peran
Peranan berasal dari kata peran. Peran memiliki makna yaitu
seperangkat tingkat diharapkan yang dimiliki oleh yang berkedudukan di
1
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 01 Tahun 2012. Bab I Pasal 1 2
masyarakat. peranan adalah bagian dari tugas utama yang harus
dilksanakan.3
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto4 mendefinisikan peranan
sebagai: Suatu konsep perihal apa-apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai suatu organisasi. Peranan meliputi
norma-norma yang dihubungkan dengan posisi/tempat seseorang dalam
masyarakat.
Serangkaian perilaku yang diharapkan pada seseorang sesuai dengan
posisi sosial yang diberikan baik secara formal maupun secara informal.
Peran didasarkan pada preskripsi (ketentuan) dan harapan peran yang
menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu
situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan mereka sendiri atau
harapan orang lain menyangkut peran-peran tersebut.5
Dalam kaitan dengan peran agen perubah (baik dan organisasi
pemerintah maupun organisasi non pemerintah) dalam diskursus
komunitas, sebenarnya ada berbagai peran yang dapat dilaksanakan. Peran
yang terkait dengan peran pemberdaya masyarakat adalah peran sebagai community worker ataupun enabler dalam diskursus komunitas. Sebagai communit y w orker sebenarnya ada empat (4) peran besar yang dapat dijalankan, di mana masing-masing terdapat peran-peran yang lebih
spesifik yang lebih mengarah pada tehnik-tehnik.
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas RI, 2007), h. 845.
4
Soerjono Soekanto, Sosiolog: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1990), h. 15. 5
Peran pertama adalah memfasilitasi komunitas sasaran, yang disebut
dengan nama peran-peran Fasilitatif (f acilitat ive roles). Sedangkan yang ke dua adalah peranan mendidik masyarakat, atau peran Edukasional (educati onalrol es). Sedangkan peran ke tiga adalah peran sebagai perwakilan masyarakat (represent ational rol es). Peran yang terakhir adalah peran-peran yang lebih bersifat tehnis atau
peran-peran Teknis (t echni cal rol es). Dari ke empat peran besar tersebut, baik pada peran fasilitatif, peran edukasional, peran
representasional maupun peran tehnis terdapat peran-peran spesifik yang
merupakan tehnik-tehnik yang lebih rinci dari empat peran tersebut.
Menurut Ife, dari peran Fasilitatif terdapat tujuh (7) peran khusus yaitu: animasi sosial (soci al animation); mediasi dan negosiasi (medi ation and negotiati on); pemberi dukungan (support ); membentuk konsensus (building consensus); fasilitasi kelompok (group facili tation); pemanfaatan sumber day a dan keterampilan (utili zati on of ski lls and resources); dan mengorganisir (organi zing). Peran Edukasional meliputi empat (4) peran, yaitu : membangkitkan kesadaran masyarakat (consciousness raisi ng); menyampaikan informasi (inf ormi ng); mengkonfrontasikan (confronti ng); dan pelatihan (trai ning). Kedua peran pertama inilah yang akan diuraikan secara lebih rinci, sedangkan ke dua peran berikutnya
hanya akan diuraikan peran-peran khususnya saja tanpa diuraikan lebih
Peran Representasional meliputi enam (6) peran, yaitu: mencari sumber daya (obtai ning resources); advokasi (advocacy); memanfaatkan media (usi ng the media); hubungan masyarakat (publi c relations); mengembangkan jaringan (networki ng); membagi pengetahuan dan pengalaman (sharing knowledge and experi ence). Sedangkan untuk peran Tehnis mencakup keterampilan pemberdaya masyarakat untuk mengumpulkan dan menganalisis data
(dat a coll ection and analysis); menggunakan komputer (using comput ers); melakukan presentasi tertulis maupun verbal (verbal and written presentati on); manajemen; dan kemampuan untuk mengontrol keuangan (finacial control ).
Seperti telah ditulis di atas, ke dua peran terakhir (peran
representasional dan peran tehnis) pada dasamya tidak akan diuraikan
secara khusus, sedangkan dua peran pertama (peran fasiltatif dan peran
edukasional) akan dijelaskan secara singkat satu persatu di bawah ini.
Peran fasilitatif dan peran edukasional dengan mempertimbangkan bahwa
ke dua peran ini merupakan peran-peran yang lebih mendasar dan
langsung dalam intervensi dengan komunitas. Sedangkan dua peran
terakhir bukan berarti tidak penting, akan tetapi peran-peran tersebut lebih
peran pertama. Meskipun tetap saja peran itu merupakan hal yang penting
untuk diperhatikan.6
a. Struktur Peran
Sruktur peran dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Peran Formal (Peran yang nampak jelas)
Yaitu sejumlah perilaku yang bersifat homogen. Peran formal
yang standar terdapat dalam keluarga. Peran dasar yang
membentuk posisi sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu adalah
peran sebagai provider (penyedia); pengatur rumah tangga;
memberikan perawatan; sosialisasi anak; rekreasi; persaudaraan
(memelihara hubungan keluarga paternal dan maternal);
terapeutik; seksual.
2) Peran Informal (Peran tertutup)
Yaitu suatu peran yang bersifat implisit (emosional) biasanya
tidak tampak kepermukaan dan dimainkan hanya untuk
memenuhi kebutuhan emosional individu dan untuk menjaga
keseimbangan dalam keluarga, peran-peran informal mempunyai
tuntutan yang berbeda, tidak terlalu dan didasarkan pada
atribut-atribut kepribadian anggota keluarga individual. Pelaksanaan
peran-peran informal yang efektif dapat mempermudah
pelaksanaan peran-peran formal.
6
Ife, Jim, Community Development: creating community alternatives – vision analysis
b. Variabel-variabel yang mempengaruhi struktur peran
1) Kelas sosial
2) Bentuk-bentuk keluarga
3) Latar belakang keluarga
4) Tahap siklus kehidupan keluarga
5) Model-model peran
6) Peristiwa situasional yang khususnya masalah kesehatan atau
sakit.7
3. Pengertian Pekerja Sosial
Pengertian pekerjaan sosial yang dikemukakan oleh Charles Zastrow, yang dikutip oleh Dwi Heru Sukoco sebagai berikut:
"Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang memungkinkan mereka mencapai tujuan".8
Dari pengertian di atas, maka seorang pekerja sosial harus bisa
menciptakan kondisi masyarakat yang baik dan teratur dalam menjaga
setiap keberfungsian elemennya yang menjadi para pemeran berbagai
peran yang ada di dalam masyarakat. menciptakan kondisi masyarakat
yang kondusif dengan relasi-relasi yang ada didalamnya untuk bisa
memberikan keterikatan di antara para pemegang peran tersebut.
7
Ibid., h. 302 8
Kesejahteraan sosial merupakan ilmu yang berusaha
menggabungkan antara teori dan praktik. Jika ditinjau dari sejarahnya,
teori-teori kesejahteraan sosial adalah teori yang dikembangkan dari
berbagai praktik yang dilakukan oleh para pekerja sosial. Pekerja sosial
adalah seseorang yang memiliki keahlian dan keterampilan dalam
menangani masalah-masalah kesejahteraan sosial agar dapat berfungsi
sosial.9
Rukminto menyimpulkan :
“Konsep Pekerja Sosial digunakan untuk menggambarkan
seseorang yang bergelut di bidang Pekerjaan Sosial yang berasal (lulusan) dari pendidikan Pekerjaan Sosial ataupun Ilmu
Kesejahteraan Sosial.”10
Zastrow menerangkan bahwa pekerja sosial ini merupakan sebuah
profesi yang membutuhkan dasar pengetahuan formal, konsep teoritis,
spesifik keahlian fungsional dan nilai-nilai penting digunakan untuk
kelengkapan dalam pemberian pelayanan sosial baik bagi individu,
kelompok maupun masyarakat, sehingga timbul adanya perubahan baik
dalam peningkatan kualitas hidup ataupun fungsi sosialnya.11
4. Pengertian Peran Pekerja Sosial
Keberadaan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) telah lama di kenal di
Indonesia, setidaknya setelah di atur dalam ketentuan Keputusan Menteri
Sosial Nomor 14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan
9
Departemen Sosial RI, Standar Pelayanan Minimal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial
Tuna Susila (Jakarta: DEP. SOS RI, 2005), h. 5.
10
Isbandi Rukminto, Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Jakarta: FISIP UI Press. 2005), h. 91.
11
Tata Kerja Pembimbing Sosial Masyarakat. Pada era awal delapan
puluhan PSM yang kita kenal sebagai Pekerja Sosial Masyarakat adalah
Pembimbing Sosial Masyarakat namun setelah diterbitkannya Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 28/HUK /1987 tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Sosial Nomor 14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas
Pokok, Fungsi dan Tata Kerja Pembimbing Sosial Masyarakat maka sejak
itu PSM menjadi Pekerja Sosial Masyarakat dan dikenal dimasyarakat
Indonesia yang berkedudukan sebagai salah satu pilar partisipan usaha
kesejahteraan sosial yang bersama-sama pilar parsitipasi lainnya dan
Pemerintah secara bertahap mewujudkan masyarakat yang
berkesejahteraan sosial.
Saat ini pengaturan tentang PSM diatur dalam Peraturan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2012 (Permensos RI No. 01
Tahun 2012) tentang Pekerja Sosial Masyarakat yang selanjutnya menjadi
payung hukum yang sah bagi segala aktifitas PSM sebagai pilar partisipan
dalam melaksanaan usaha kesejahteraan sosial di Indonesia. Sebagaimana
maksud diadakannya PSM yang diatur pada Pasal 2 yaitu:
a. memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk
berperan dalam melaksanakan penyelenggaraan kesejahteraan sosial; dan
b. meningkatkan kepedulian warga masyarakat dalam menangani masalah
sosial.
Permensos RI No. 01 Tahun 2012 yang ditetapkan di Jakarta oleh
merupakan penyempurnaan Keputusan Menteri Sosial RI Nomor: 28/HUK
/1987 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Sosial Nomor
14/HUK/KEP/II/1981 tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Tata Kerja
Pembimbing Sosial Masyarakat.
Berdasarkan Permensos RI No. 01 Tahun 2012 Pasal 3 tujuan
diadakannya PSM yaitu: “a. terwujudnya kehidupan masyarakat yang
berkesejahteraan sosial; b. terwujudnya warga masyarakat yang memiliki keberfungsian sosial yang mampu memenuhi kebutuhannya secara
mandiri; dan c. tertanganinya masalah sosial.”
Dari tujuan sesuai ketentuan Pasal 3 tersebut bermakna bahwa
pekerjaan sosial masyarakat dalam pelaksanaan kegiatannya memiliki
konsentrasi atau fokus, yaitu terhadap keberfungsian sosial (social functioning) baik secara individu maupun kolektif. Dengan kata lain fokus intervensi pekerjaan sosial adalah interaksi perilaku manusia dengan
lingkungan sosialnya.
Adapun keberfungsian sosial ini memiliki beberapa pengertian
diantaranya disampaikan oleh Garvin dan Seabury yang menyatakan
bahwa:12 “Socíal functioning is encompasses all the way that we respons to the demands of our socíal environment – an environment that include
family, peers, organizations, communities, as well as entie society.”
12
Garvin dan Seabury, Modul Dasar-dasar Pekerjaan Sosial bagi Tenaga Kesejahteraan
Sosial Masyarakat (Jakarta : Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial Departemen
Sedangkan Leonora S. de Guzman menyatakan bahw:13 ”Socíal functioning is the expression of the interaction between man and his socíal environment; it is the product of his action as he related to his
surrounding.”
Jadi inti dari kedua pengertian di atas apabila dikaitkan dengan
Permensos RI No. 01 Tahun 2012 Pasal 3 di atas bahwa socíal functioning lebih cenderung dikaitkan dengan bagaimana interaksi orang dengan
lingkungan sosialnya. Dalam hal ini pekerjaan sosial mencoba membantu
orang yang tidak atau kurang mampu berinteraksi dengan lingkungan
sosialnya sehingga bisa melaksanakan tugas-tugas dalam kehidupannya,
memecahkan permasalahannya ataupun memenuhi kebutuhannya.
Sehingga keberfungsian sosial dapat pula dilihat dari tiga kategori bahwa
keberfungsian sosial dipandang sebagai kemampuan melaksanakan
peranan sosial, kemampuan untuk memenuhi kebutuhan, dan kemampuan
untuk memecahkan permasalahan sosial yang dialaminya.
5. Prinsip Dasar Pekerja Sosial
Sesuai dengan prinsip pekerjaan sosial, yakni “membantu orang agar mampu membantu dirinya sendiri”, PSM sangat memperhatikan
pentingnya partisipasi sosial dan pendekatan pemberdayaan masyarakat.
Dalam konteks ini, dan bahkan dalam hampir semua praktik pekerjaan
sosial, peranan seorang community worker seringkali diwujudkan dalam kapasitasnya sebagai pendamping, bukan sebagai penyembuh atau
13
pemecah masalah (problem solver) secara langsung. Dalam konteks PSM, pendampingan sosial berpusat pada tiga visi praktik pekerjaan sosial, yang
dapat diringkas sebagai 3P, yaitu: pemungkin (enabling) pendukung (supporting), dan pelindung (protecting). Merujuk pada Payne (1986), prinsip utama pendampingan sosial adalah “making the best of the client’s
resources”. Dalam pendampingan sosial, klien dan lingkungannya tidak dipandang sebagai sistem yang pasif dan tidak memiliki potensi apa-apa.
B. Tinjauan Pekerja Seks Komersial
Kaum perempuan sebagai penjaja seks komersial selalu menjadi objek
dan tudingan sumber permasalahan dalam upaya mengurangi praktik
prostitusi. Prostitusi juga muncul karena ada definisi sosial di masyarakat
bahwa wanita sebagai objek seks.
Pekerja seks komersial pada umumnya adalah seorang wanita. Wanita
adalah mahluk bio-psiko-sosial-kultural dan spiritual yang utuh dan unik,
mempunyai kebutuhan dasar yang bermacam – macam sesuai dengan tingkat perkembangannya. Wanita/ibu adalah penerus generasi keluarga dan bangsa
sehingga keberadaan wanita sehat jasmani dan rohani serta sosial sangat
diperlukan. Wanita/ibu adalah pendidik pertama dan utama dalam keluarga.
1. Pengertian Prostitusi
Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap
moral/kesusilaan dan kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan yang
RI Nomor 7 Tahun 1984, perdagangan perempuan dan prostitusi
dimasukan sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan.
Kata prostitusi berasal dari kata latin 'prostitution (em)', kemudian
diintrodusir ke bahasa Inggris menjadi 'prostitution', dan menjadi prostitusi
dalam bahasa Indonesia. Dalam 'Kamus Inggris-Indonesia,
Indonesia-Inggris', oleh John M. Echols dan Hassan Shadili prostitusi diartikan
'pelacuran, persundalan, ketuna-susilaan', sedang dalam tulisan 'Tinjauan
Sosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi di Indonesia', oleh
Syamsudin, diartikan bahwa menurut isthlah prostitusi diartikan sebagai
pekerja yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum
untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah
sesuai apa yang diperjanjikan sebelumnya. Prostitusi atau Pelacuran
adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau berhubungan seks.
Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur atau biasa disebut
pekerja seks komersial (PSK). Kegiatan prostitusi adalah sebuah kegiatan
yang patut ditabukan karena secara moral di anggap bertentangan dengan
nilai agama dan kesusilaan.14
14
2. Pengertian Pekerja Seks Komersial
Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah orang yang menjual dirinya
dengan melakukan hubungan seks dengan orang lain untuk tujuan
ekonomi.15
PSK juga bisa diartikan sebagai wanita yang pekerjaannya menjual
diri kepada banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual,
dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang sebagai imbalan, serta
dilakukan di luar pernikahan.
Sebelum adanya istilah pekerja seks komersial, istilah lain yang juga
mengacu kepada pelayanan seks komersial adalah pelacur, prostitusi,
wanita tuna susila (WTS).
Faktor yang menyebabkan pelacuran (termasuk didalamnya)
menjadi meningkat antara lain: 16
1. Materialisme. Materialisme adalah seseorang yang memiliki tolak
ukur keberhasilan diperoleh dari materi. Maka, karena tolak ukurnya
itu, ia mau bekerja sebagai PSK. Ia bekerja sebagai PSK agar dapat
menjadi kaya dalam hal memenuhi kebutuhan hidup. Adanya rasa
kebanggan yang ditunjukkan pada orang lain, bekerja sebagai PSK.
Bekerja sebagai PSK dapat memenuhi kebutuhan hidup dan berhasil
dalam mencukupi kebutuhan hidup.
15
Diakses pada tanggal 09-02-2014 di http://subadra.wordpress.com 16
2. Orang setempat yang menjadi pelacur yang sukses. Seseorang yang
memiliki aspirasi yang tinggi terhadap materi. Ia akan
mewujudkan aspirasinya demi materi yang didapatnya. Salah
satunya yakni bekerja. Pekerjaan yang paling mudah, yaitu sebagai
model. Seorang PSK, ia akan memenuhi materi dengan menjadi
model. Salah satu pekerjaan menjadi model dilakukan karena,
adanya perasaan bangga yang dapat ditunjukkan pada orang lain.
Menjadi model selain wajah yang cantik dan tubuh yang tinggi, akan
membuat orang lain tertarik, sehingga banyak yang menginginkan
dia untuk dikontrak jadi model. Pekerjaan menjadi model dapat
menjadi kaya dan terpenuhi kebutuhan hidup.
3. Sikap permisif dari lingkungan. Lingkungan sekitar yang
terdapat banyak PSK, menyebabkan seseorang mengikuti cara
bekerja dengan menjadi PSK. PSK yang tinggalnya bersama dengan
warga, maka warga secara tidak langsung mengizinkan pekerjaan
PSK dan PSK dapat bersosialisasi dengan warga sekitar.
4. Dukungan orang tua. Setiap orang tua yang memiliki anak,
mereka pasti menginkan anaknya berhasil. Anak mereka berhasil
agar, dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarga. Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat orang tua yang
memiliki ekonomi yang rendah dalam keluarga. Satu sisi orang tua
mempunyai aspirasi untuk mengumpulkan materi yang banyak,
mewujudkan. Inspirasi dari orang tua tersebut agar dapat terwujud,
maka terpaksa anak mereka di beri izin untuk bekerja. Salah satu
alternatif untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga
yakni, menjadi PSK.
5. Faktor ekonomi. Seseorang bekerja seperti menjadi PSK adalah
untuk memenuhi kebutuhan hidup. Seseorang yang memiliki
ekonomi yang rendah, sementara biaya kebutuhan banyak dan
tuntutan kebutuhan hidup semakin meningkat. Untuk mengantisipasi
faktor ekonomi yang rendah dan untuk meningkatkan ekonomi
yang tinggi, sehingga kebutuhan dapat terpenuhi maka
alternatifnya bekerja. Kebanyakan seseorang bekerja sebagai PSK
dikarenakan faktor ekonomi, agar dapat bertahan hidup.
Belakangan ini ramai polemik tentang istilah pelacur menjadi PSK.
Dalam setiap forum, kelompok liberal dan para pezinah kerap
menggunakan istilah PSK dengan dalih berempati dengan wanita yang
mencari nafkah untuk diri dan keluarganya. Sementara, kaum religius,
menolak istilah PSK untuk mengganti dari kata pelacur. Manusia adalah
makhluk sosial, yakni makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat
dan saling membutuhkan satu sama lain. Dalam kehidupan sehari-hari
manusia mempunyai berbagai macam kebutuhan diantaranya tempat
tinggal. Tuntutan menuntut ilmu atau bekerja mencari nafkah, sering
menjadi alasan untuk bisa hidup layak atau dapat berfungsi sosial. Untuk
realita yang terjadi belum tentu sesuai dengan apa yang direncanakan.
Oleh karena itu, ketidaksiapan mental sering terjadi dalam menyikapi
sebuah kehidupan yang berakibat timbulnya rasa tidak percaya diri dan
banyak penyimpangan-penyimpangan dalam hidup. Pada saat itu banyak
perempuan menjadi objek eksploitasi seperti tercermin dalam wadah
lembaga pernikahan, tradisi kawin paksa dipoligami tanpa batas dan tanpa
syarat, ditukar, disetubuhi (budak) untuk dijual anaknya, bahkan model
prostitusi atas nama kawin kontrak untuk waktu tertentu dengan jumlah
mahar yang telah disepakati dan berbagai bentuk kekerasan terhadap
wanita. Tentunya hal itu merupakan realita lain dari perempuan yang
termarginalkan.17
Selain pelacur, kini muncul istilah baru yakni Pekerja Seks
Komersial (PSK) sebagaimana kerap dipakai oleh para pakar. Istilah PSK
ditolak oleh pemerintah, terutama berkenaan dengan statistik tenaga kerja.
Dengan menggunakan PSK, berarti sama dengan memasukkan sektor
pelacuran kedalam ruang lingkup lapangan pekerjaan yang sah, sehingga
mereka harus didata dan dimasukkan kedalam statistik tenaga kerja.
Selain pelacur dan PSK, kemudian berkembang istilah WTS (wanita
tuna susila) karena menganggap bahwa perempuan yang melacurkan diri
tidak menuruti aturan susila yang berlaku di masyarakat. Secara legal,
pemerintah Indonesia mengeluarkan surat Keputusan Menteri Sosial No.
17
23/HUK/96 yang menyebut pelacur dengan istilah WTS. Namun menurut
upaya pemerintah saat itu sebenarnya tidak lain untuk melebih haluskan
istilah pelacur.
Menarik, Ketua Indonesia Tanpa JIL (ITJ) Akmal Sjafril sampai menyebut penghalusan kata pelacur menjadi PSK sebagai bentuk
‘Konspirasi” . Ia mempertanyakan, siapa sebenarnya yang pertama kali
menggunakan istilah PSK , namun yang jelas, nampaknya semua media
sudah bersepakat (atau berkonspirasi ) untuk menggunakannya secara konsisten. Kata PSK adalah sebuah istilah yang sangat kontradiktif. Bukan
merupakan penghalusan, melainkan pengaburan makna yang sebenarnya.
Secara lebih tegas, penolakan istilah WTS atau PSK dan memilih untuk menggunakan pelacur. Hal ini disebabkan karena:
a. Arti pelacur baik secara denotatif maupun konotatif lebih lengkap
dan lebih spesifik
b. Istilah pekerja seks berlaku terlalu luas, tidak spesifik dan bermakna
ganda
c. Istilah pekerja seks dapat diartikan sebagai pengakuan bahwa
melacur merupakan pekerjaan.
Berdasarkan semua definisi diatas bisa disimpulkan bahwa seorang
pelacur adalah seorang yang berjenis kelamin wanita/perempuan yang
laki-laki. Perempuan berperan sebagai budak dan dibayar oleh laki-laki atas
jasa seks mereka.
Sejak kapan istilah WTS dipakai? Konon, istilah itu dimunculkan
pada era Orde Baru. Jaman itu banyak pula istilah di tengah masyarakat
yang diperhalus. Misalnya ditangkap polisi karena mengritik pemerintah
diistilahkan dengan diamankan. Kenaikan harga bahan bakar minyak
diistilahkan dengan penyesuaian harga. Penjara sebagai tempat para
penjahat menjalani hukuman diistilahkan dengan Lembaga
Pemasyarakatan. Kini istilah WTS lebih diperhalus lagi dengan Pekerja
Seks Komersial (PSK).
Ketika pers semakin bebas, banyak ide dan gagasan dalam memberi
istilah baru, termasuk menghaluskan bahasa (Eufimisme). Sangat aneh dan
ironis, jika pelacur dianggap bagian dari pekerjaan. Bahkan disetarakan
dengan buruh, petani, nelayan, pedagang. Atau mungkin meningkat pula
menjadi profesi semacam dengan dokter, notaris, dosen, dan guru.
Peraturan Daerah seperti di Kabupaten Bantul dan Kota Sambas
dalam menyebut pelaku perbuatan seks guna memperoleh uang adalah
tetap pelacur. Maka, apapun bentuk jasa layanan seks komersial, entah itu
di pinggir jalan, rel kereta api, gubuk reot, beralas tikar, lokalisasi,
layanan internet, online, hotel-hotel berbintang, tetap saja tak bisa
menaikkan derajat kaum pezinah atau pelacur. Baik laki-laki atau
perempuan yang menjajakan tubuhnya dengan yang bukan muhrimnya,
Pekerja seks komersial adalah seseorang yang menjual jasanya untuk
melakukan hubungan seksual untuk uang. Di Indonesia pelacur (pekerja
seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut sebagai sundal
atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat
buruk, hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila
tertangkap aparat penegak ketertiban, mereka juga digusur karena
dianggap melecehkan kesucian agama dan mereka juga diseret ke
pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal
sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan
banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Sundal
selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai
menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman
bernama kondom.
Kata pekerja sudah bisa dipastikan ada hubungannya dengan
lapangan pekerjaan serta orang atau badan hukum yang mempekerjakan
dengan standar upah yang dibayarkan. Kemudian, lapangan pekerjaan
yang diperbolehkan harus memenuhi syarat-syarat kerja secara normatif
yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, termasuk sistem
pengupahan dan keselamatan kesehatan kerja. Untuk selanjutnya, jenis
pekerjaan tidak boleh bertentangan dengan moralitas bangsa atau agama yang diakui oleh pemerintah. “Seks” tidak termasuk kelompok suatu jenis
jabatan maupun pekerjaan. Jadi, tidak tepat kalau istilah pekerja seks
Istilah pekerja seks sepertinya merupakan sebuah pemolesan bahasa yang
dapat berakibat kepada pembenaran terhadap perbuatan amoral tersebut.
Secara struktural, kinerja, germo, mucikari, calo, pekerja keamanan,
hingga pekerja seks itu sendiri mempunyai batas-batas kerja yang jelas dan
profesional. Jika melihat latar belakang kultural dan tempat transaksi
ekonomi indonesia yang beragam maka transakasi seksualitas tak hanya
ada lima kategori di atas. Banyak juga pekerja seks yang bekerja di mall
(sebagai pegawai mall dan merangkap pekerja seks untuk mencari uang
tambahan). Pekerja seks sekaligus mahasiswi, akrab disebut ayam kampus,
pekeja seks yang merangkap sebagai para pekerja atau pelayan di
tempat-tempat hiburan malam yang ada didaerah perkotaan dan di kantor-kantor
sebagai sekertaris, yang harga tubuh mereka cukup tinggi dan transaksi
terkadang melalui kartu kredit. Dari hal di atas dapat kita lihat bahwa
pekerja seks sebagai bagian dari prasyarat kinerja dan transaksi dagang
yang tidak selalu lepas dari ramainya pusat-pusat ekonomi yang strategis.
Sistem pekerja seks cenderung mempunyai hubungan yang bersifat
temporer insidental. Strategi tersebut tampak pada mekanisme kerja
mereka mengenai istilah short time dan long time booking yang semuanya hanya terjadi dalam waktu tertentu (setengah jam, satu jam, satu malam).
PSK adalah para pekerja yang bertugas melayani aktivitas seksual
dengan tujuan untuk mendapatkan upah atau imbalan dari yang telah
memakai jasa mereka tersebut. Banyak perempuam PSK yang berperan
keempat. Di Eropa dan di tempat lain banyak dari mereka yang
diiperdagangkan dari negeri lain untuk melayani permintaan jumlah
pelanggan yang meningkat. Perbudakan manusia tidak baru, Organisasi
Internasional pekerja (ILO) menaksir 12,3 juta orang diperbudak dalam
kerja paksa dan 2,4 juta dari mereka adalah korban industri perdagangan
dan penghasilan pertahunnya ditaksir sejumlah $10 milyar.
Lebih lanjut dalam kalangan PSK juga mempunyai
tingkatan-tingkatan operasional diantaranya :
a. Segmen kelas rendah
Dimana PSK tidak terorganisir, tarif pelayanan seks terendah yang
ditawarkan, dan biaya beroperasi dikawasan kumuh seperti halnya
pasar, kuburan, taman-taman kota dan tempat lain yang sulit
dijangkau, bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan
dengan para PSK tersebut.
b. Segmen kelas menengah
Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa menetapkan
tarif harga pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di
booking semalaman. c. Segmen kelas atas
Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang
relatif tingggi yang menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk mengencani wanita panggilan atau menggunakan kontak khusus
d. Segmen kelas tertinggi
Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita
model. Super germo yang mengorganisasikan perdagangan wanita
kelas atas ini.
3. Penyebab Pekerja Seks dari Perspektif Politik, Pendidikan, Sosial, dan Ekonomi
a. Penyebab adanya pekerja seks perspektif politik
Pekerja seks merupakan sejarah panjang keberadaan perempuan
dimana pilihan kehidupan seksual mereka hanya mempunyai beberapa
opsi secara garis besar yakni menikah dan membujang atau menjadi
pekerja seks. Pekerja seks juga sering dan bahkan selalu menjadi
bagian dari kondisi dan prasyarat tingkat dua terhadap lahirnya kota
dan industrialisasi. Baik itu dibidang pertambangan, jasa hingga
pariwisata. Pada masa kini, beberapa daerah di dunia maupun di
Indonesia mempunyai keragaman dalam menyikapi mencuatnya
keberadaan kegiatan pekerja seks tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
variasi latar belakang kebudayaan mereka. Di samping itu, pekerja
seks seakan menjadi komunitas tertentu yang seringkali dimarginalkan
oleh masyarakat, begitu juga hak-haknya. Selain itu banyak yang
memperlakukan pekerja seks dengan tidak selayaknya karena profesi
mereka yang dianggap juga tidak layak, bahkan ketika lokalisasi
tempat mereka bekerja di razia seakan-akan posisi mereka selalu salah.
Selain itu latar belakang pendidikan merupakan ajang pemicu
lainnya. Mereka tidak mendapatkan ruang kesempatan untuk
memasuki ladang pekerjaan yang membutuhkan latar belakang
pendidkan setingkat sarjana. Selain itu juga kemampuan memadai
dalam memasuki berbagai sektor pekerjaan yang dianggap lebih
terhormat dan bergengsi oleh masyarakat. Rendahnya pendidikan
membuat kaum pekerja seks tak mempunyai keleluasaan secara
ekonomi dalam hal memilih pekerjaan.
Dalam hal ini rendahnya latar belakang pendidikan pekerja seks
juga sering menimbulkan lemahnya daya tawar mereka, timbulnya
kepasifan dan kepribadian yang naif dalam melakukan sebuah interaksi.
Selain itu mereka juga membuka lebar ruang-ruang pemaksaan serta
kekerasan untuk masuk menerjang mereka, baik dari pihak mucikari,
pelanggan, hingga pemerintah daerah sendiri.
c. Penyebab adanya pekerja seks perspektif sosial
Penyebab lahirnya pekerja seks yang diakibatkan oleh kesulitan
ekonomi seperti yang dijelaskan di atas akan menjadi sebuah bahan dari
perdebatan hangat jika dilihat dari perspektif kultural. Dari perspektif
sosial kultural akan terlihat berbagai nuansa yang lolos dari sudut
pandang dan hitungan ekonomi. Pekerja seks lahir dari berbagai latar
belakang sosial kultural yang menstimulasinya seperti permisfitas
kultural, tekanan keluarga, aspirasi materil oleh individu hingga
merupakan fenomena pergeseran masyarakat dari yang sekedar
mengkonsumsi barang berdasarkan kebutuhan dasar dan mendesak
kepada kebutuhan akan pemenuhan citra dan nilai simbolitas yang
dapat meningkatkan gengsi sosial ditengah pergaulan dengan sekitar.
d. Penyebab adanya pekerja seks dari perspektif ekonomi
Jika ditilik dari prasyarat kerja, pemaknaan pelacur memenuhi
unsur yang nyaris serupa dan memang sama terhadap berbagai
prasyarat yang dimasukkan sebagai unsur kerja. Mulai dari
profesionalitas, skill, disiplin dan pengalaman yang diiperlukan. Selain
itu, ada terdapat pula unsur yang diperdagangkan dan ditransaksikan.
Permasalahan kemudian adalah barang apa yang ditransaksikan dengan
objek lawan interaksi/hubungan mereka. Jika seorang guru menjual
otaknya, jika seorang kuli menjual tenaga dan pundaknya, maka
seorang pekerja seks menjual kelaminnya. Kelamin yang dianggap
privat inilah yang kemudian menjadi permasalahan ketika berpindah
atau ditransaksikan ke area publik.
Pada fenomena pekerja seks, terdapat beberapa unsur transaksi
yang merupakan unsur dari mekanisme kerja, dimana sang subjek
menggunakan tubuh sebagai komoditas untuk dijual dalam satuan harga
yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak tanpa
ada yang merasa dirugikan dan kedua belah pihak merasa puas. Uang
atau barang tertentu menjadi elemen utama perantara kedua subjek yang
dapt digerakkan kembali, maka pekerjaan menjual tubuh juga
merupakan bagian dari mata pencaharian, dimana mereka menumpukan
sandaran pada kerja tersebut. Jika lokasi mata pencaharian mereka
dirusak seperti pembongkaran atau penggusuran lokalisasi, maka
hilanglah mata pencaharian mereka sebagai andalan dan sandaran. Hal
ini tentunya tak berbeda dengan mata pencaharian lainnya, seperti
petani, nelayan, dan guru.
Jenis pekerjaan ini juga memiliki disversifikasi yang baik dalam
struktur hingga operasional kerjanya. Dalam melihat fenomena di
Indonesia, jenis pekerjaan seks dibagi kedalam dua kategori besar
berdasarkan kriteria struktur dan sistem operasional, diantaranya : Pekerja seks jalanan
Pekerja seks ini sering kita temui di berbagai jalanan besar di Indonesia.
Sang pekerja lebih bersifat independen. Ketika terjadi interaksi tak ada
perantara ketiga seperti germo maupun penjaga keamanan. Harga tubuh
yang ditawarkan pun lebih miring. Hal ini karena selain tak ada tips
kepada pihak ketiga secara tetap. Kemolekan serta kecantikan mereka
lebih dibawah serta seusia mereka terkadang lebih tua dibanding
mereka yang berada di dalam lokalisasi. Pekerja seks bar dan kafe
Para pegawai perempuan merupakan pelaku utama sebagai pekerja seks
yang didukung oleh pegawai lainnya (laki-laki misalnya). Berperan
Transaksi bisa dilakukan di tempat kerja tersebut yang akan berlanjut
dengan hubungan seks di tempat lain, di hotel misalnya.
Pekerja seks di lokalisasi/rumah pelacuran (brothel). Sistem kerja ini merupakan area yang paling mudah diamati karena berbagai hal. Ia
merupakan pekerjaan yang diakui oleh negara/pemerintah setempat
karena dikenakan pajak atau retribusi daerah. Pekerja seks legal ini
berada dibawah pengawasan dan aturan dinas sosial. Secara tempat,
kawasan ini selalu dipisahkan dengan bentuk pembatasan yang jelas
seperti tembok, pagar kawat, bahkan dipisahkan dari perkampungan
masyarakat. Sistem kerja mereka pun sangat tertata dimana secara rutin
tim kesehatan akan datang seminggu sekali, misalnya ke area lokalisasi
untuk mengecek kesehatan para pekerja. Bentuk program kerja yang
dijalankan oleh dinas sosial dan kesehatan dalam bentuk pemberian
kondom cuma-cuma, pembuatan jadwal olahraga pagi dan sejenisnya.
1. Akibat-Akibat Pelacuran
Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran yaitu :
a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin atau kulit.
b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda
oleh pelacur terkadang melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga,
sehingga keluarga menjadi berantakan.
d. Merusak seni-seni moral, susila, hukum dan agama. Terutama sekali
menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat
kebiasaan, norma hukum dan agama.
e. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya
wanita-wanita pelacur itu cuma menerima upah sebagian kecil saja dari
pendapatan yang harus diterimanya karena sebagian besar harus
diberikan kepada germo. Dengan kata lain ada sekelompok manusia
benalu yang memeras darah dan keringat para pelacu r ini.
4. Klasifikasi Pekerja Seks Komersial
Berdasarkan modus operasinya, pekerja seks komersial di
kelompokkan menjadi dua jenis, yaitu.
a. Terorganisasi
Yaitu mereka yang terorganisasi dengan adanya pimpinan, pengelola
atau mucikari, dan para pekerjanya mengikuti aturan yang mereka
tetapkan. Dalam kelompok ini adalah mereka yang bekerja di
lokalisasi, panti pijat, salon kecantikan.
b. Tidak Terorganisasi
Yaitu mereka yang beroperasi secara tidak tetap, serta tidak
terorganisasi secara jelas. Misalnya pekerja seks di jalanan, kelab
5. Faktor yang Memungkinkan Penyebab Terjerumusnya Wanita Menjadi Pekerja Seks Komersial
Terjerumus adalah jatuh tersungkur, terjebak, jatuh ke dalam
kesengsaraan, tersesat. Banyaknya faktor yang melatar belakangi
terjerumusnya pekerja seks komersial antara lain adalah :
a. Faktor Ekonomi
Ekonomi adalah pengetahuan dan penelitian azas penghasilan,
produksi, distribusi, pemasukan dan pemakaian barang serta kekayaan,
penghasilan, menjalankan usaha menurut ajaran ekonomi . Salah satu
penyebab faktor ekonomi adalah:
1) Sulit Mencari Pekerjaan
Pekerjaan adalah kegiatan yang dilakukan setiap hari yang
merupakan sumber penghasilan. Ketiadaan kemampuan dasar
untuk masuk dalam pasar kerja yang memerlukan persyaratan,
menjadikan wanita tidak dapat memasukinya. Atas berbagai alasan
dan sebab akhirnya pilihan pekerjaan inilah yang dapat dimasuki
dan menjanjikan penghasilan yang besar tanpa syarat yang susah .
Berdasarkan survei yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak
Indonesia (YKAI) tahun 2003-2004 menjadi pekerja seks
komersial karena iming-iming uang kerap menjadi pemikat yang
akhirnya justru menjerumuskan mereka ke lembah kelam.
Alasan seorang wanita terjerumus menjadi pekerja seks adalah
sehari-hari namun sulitnya mencari pekerjaan sehingga menjadi
pekerja seks merupakan pekerjaan yang termudah.
Penyebab lain diantaranya tidak memiliki modal untuk kegiatan
ekonomi, tidak memiliki keterampilan maupun pendidikan untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik sehingga menjadi pekerja
seks merupakan pilihan.
Faktor pendorong lain untuk bekerja sebagai PSK antara lain
terkena PHK sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup
menjadi PSK merupakan pekerjaan yang paling mudah
mendapatkan uang.
2) Gaya Hidup
Adalah cara seseorang dalam menjalani dan melakukan dengan
berbagai hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Pergeseran norma selalu terjadi dimana saja apalagi dalam tatanan
masyarakat yang dinamis. Norma kehidupan, norma sosial, bahkan
norma hukum seringkali diabaikan demi mencapai sesuatu tujuan.
Kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk
menghindari kesulitan hidup, selain itu untuk menambah
kesenangan melalui jalan pintas. Dikutip dari TV7.com seorang
pengarang best seller “Jakarta Undercover” Moammar MK mengungkapkan bahwa pekerja seks komersial sebagian rela
Menjadi pekerja seks dapat terjadi karena dorongan hebat untuk
memiliki sesuatu.
Jalan cepat yang selintas terlihat menjanjikan untuk memenuhi
sesuatu yang ingin dimiliki.
Gaya hidup yang cenderung mewah juga dengan mudah ditemui
pada diri pekerja seks. Ada kebanggaan tersendiri ketika menjadi
orang kaya, padahal uang tersebut diketahui diperoleh dari mencari
nafkah sebagai PSK.
Gaya hidup menyebabkan makin menyusutnya rasa malu dan
makin jauhnya agama dari pribadi-pribadi yang terlibat dalam
aktifitas prostitusi maupun masyarakat. Pergeseran sudut pandang
tentang nilai-nilai budaya yang seharusnya dianut telah membuat
gaya hidup mewah dipandang sebagai gaya hidup yang harus di
miliki.
3) Keluarga yang tidak mampu
Keluarga adalah unit sosial paling kecil dalam masyarakat yang
peranannya besar sekali terhadap perkembangan