• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS FORMULASI DIVERSI DALAM RANCANGAN UNDANGUNDANG PENGADILAN ANAK ATAS PERUBAHAN UNDANGUNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ANALISIS FORMULASI DIVERSI DALAM RANCANGAN UNDANGUNDANG PENGADILAN ANAK ATAS PERUBAHAN UNDANGUNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

UNDANG PENGADILAN ANAK ATAS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997

Oleh

IZDA RAHMI FARADILLAH

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam prakteknya cenderung memberikan stigma atas diri anak. Proses stigmatisasi ini berlangsung di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di pengadilan hingga di tempat pembinaan. Sebagai bentuk kebijakan pemerintah dalam rangka menciptakan kesejahteraan terhadap anak maka pemerintah memberikan kebijakan formulasi Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA) dengan merumuskan konsep diversi yang lebih menekankan diskresi untuk penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum sebagai upaya menghindarkan stigma mental anak pada proses hukum. Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah Mengapa perlu adanya Formulasi Diversi dalam rancangan Undang-undang Pengadilan anak atas perubahan Undang-undang-Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 dan hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan dalam menerapkan Formulasi Diversi dalam Rancangan Undang Pengadilan Anak atas perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

(2)

dalam Rancangan Undang-undang Pengadilan Anak diperlukan karena dapat menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak atas perbuatan yang dilakukannya, menjauhkan stigma buruk masyarakat dan hak-hak anak bisa terpenuhi. Formulasi diversi juga memfokuskan pada kepentingan korban, disamping itu juga untuk memperlakukan lebih manusiawi anak yang melakukan kejahatan. Formulasi diversi menyebabkan berkurangnya anak masuk pada proses peradilan, dan semakin berkurangnya anak masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan sehingga anak terheindar dari efek buruk atas proses formal.Hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam menerapkan formulasi diversi dalam Rancangan Undang-undang Pengadilan anak antara lain latar belakang anak melakukan kejahatan, pelanggaran yang sebelumnya dilakukan, sikap anak terhadap perbuatan yang dilakukan, akibat perbuatan anak terhadap korban, dan Pandangan korban tentang metode penanganan yang di tawarkan agar diversi dapat berjalan dengan baik maka harus ada masukan dan persetujuan dari korban/keluarga korban, serta untuk melindungi hak-hak anak penerapan formulasi diversi harus menjadi pertimbangan.

(3)

A. Latar Belakang

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam konstitusi bahwa Negara menjamin setiap anak berhak atas keberlangsungan hidup, tubuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaiman disebutkan dalam Pasal 28 B Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang selanjutnya akan disingkat UUD 1945.

Kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati, sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup manusia, oleh karena itu kita semua selalu berupaya agar jangan sampai anak menjadi korban kekerasan maupun anak terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan jahat atau perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji lainnya.

(4)

meningkat. Sebagai contoh sepanjang tahun 2010 tercatat dalam statistik kriminal kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Pada bulan Januari hingga Mei 2010 ditemukan 4.325 tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk anak anak yang ditahan di kantor polisi (polsek, polres, polda, mabes). Kemudian pada tahun yang sama tercatat 9.456 anak anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak pidana) tersebar di seluruh Rutan dan LP untuk orang dewasa. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. (www.hukumonline.com)

(5)

Filosofi sistem peradilan pidana anak yaitu mengutamakan perlindungan dan rehabilitasi terhadap pelaku anak (emphasized the rehabilitation of youthful offender) sebagai orang yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang dewasa. Anak memerlukan perlindungan dari negara dan masyarakat dalam jangka waktu ke depan yang masih panjang. Terhadap anak yang terlanjur menjadi pelaku tindak pidana diperlukan strategi sistem peradilan pidana yaitu mengupayakan seminimal mungkin intervensi sistem peradilan pidana.

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak.

(6)

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak antara lain disebabkan oleh faktor diluar diri anak tersebut.

Berdasarkan data dari Balai Pemasyarakatan Kanwil Depkumham Provinsi Lampung beberapa anak yang pernah dijatuhi hukuman pidana penjara, melakukan tindak pidana lain setelah menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan. Di dalam penjara yang masih minim ruangan, misalnya apabila seoarang anak sebelum putusannya berkekuatan hukum tetap ditempatkan di rumah tahanan negara, apabila pengawasan terhadap anak dikaitkan dengan interaksi tahanan dewasa akan sangat berakibat fatal, dimana si anak dapat meniru dan atau terpengaruh terhadap tahanan dewasa. Tentu hal ini sangat berdampak negatif terhadap perkembangan si anak. Seperti yang terjadi terhadap seorang anak yang di Bandar Jaya yang bernama Andi (bukan nama sebenarnya) yang telah menjalani pidana penjara selama 3 (tiga) bulan akibat melakukan pencurian sebagaimana dimaksud dengan Pasal 362 KUHP, yang kemudian setelah keluar dari penjara berselang 2 (dua) bulan melakukan tindak pidana berupa perampokan dengan teman-temannya sebagaimana diatur dalam Pasal 365 KUHP yang kemudian dijatuhi pidana selama 2 tahun penjara. (Roi Siregar. 2010. dalam makalah Diversi suatu inovasi terhadap penanggulangan anak nakal Bapas Depkumham Provinsi Lampung)

(7)

Pengadilan Anak yang selanjutnya disingkat Undang-Undang Pengadilan Anak dimaksudkan untuk melindungi dan mengayomi Anak yang berhadapan dengan hukum agar dapat menyongsong masa depannya yang masih panjang, serta memberi kesempatan kepada Anak agar melalui pembinaan akan diperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang mandiri, bertanggung jawab, dan berguna bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Namun dalam pelaksanaannya Anak diposisikan sebagai obyek, dan perlakuan terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum cenderung merugikan Anak. Selain itu Undang-Undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensip memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum sehingga perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan Anak yang berhadapan dengan hukum antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan Anak serta memberikan perlindungan khusus kepada Anak yang berhadapan dengan hukum.

(8)

Undang-Undang tersebut lebih sempurna dan dapat menampung aspiratif baik terhadap anak selaku pelaku tindak pidana maupun sebagai korban. (Http//: www.tempointeraktif.com)

Anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindakan kriminal sangat dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri anak. Untuk melakukan perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana, maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan kemanusiaan untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik untuk anak. Berdasaran pikiran tersebut, maka lahirlah konsep diversion yang dalam istilah bahasa Indonesia disebut Diversi atau pengalihan.

Ide diversi telah lama muncul di Indonesia dalam proses peradilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum, ide ini telah menjadi salah satu rekomendasi dalam Seminar nasional peradilan anak yang diselenggerakan oleh fakultas hukum Universitas Padjadjaran Bandung pada tanggal 5 Oktober 1996. Dalam rumusan hasil seminar tersebut terdapat hal-hal yang disepakati dalam rekomendasi seminar tersebut antara lain ide diversi. Namun dalam pembentukan Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 hal ini tidak terealisasikan dalam undang-undang ( Satya Wahyudi. 2011 : 5).

(9)

ditempatkan dalam Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), dan yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Restoratif Justice dan Diversi, yaitu dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap Anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan Anak dapat kembali kedalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut. Pada akhirnya proses ini harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif baik bagi Anak maupun bagi Anak Korban.

Pasal 1 angka 4 Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Munculnya kembali ide diversi dalam proses peradilan anak dalam rancangan undang-undang Pengadilan anak merupakan suatu langkah positif berdasarkan pengalaman dalam menerapkan hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dengan dirumuskannya D\diversi dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan maka hak-hak anak dapat terpenuhi seperti yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Anak. Tujuan Perlindungan Anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara optimal.

(10)

harus berhadapan dengan pihak yang berwajib dan harus menjalani proses persidangan sebagaimana diamanatkan undang-undang. Bila ditinjau dari aspek ekonomi dan sosial berapalah harga sepasang sandal, tentu perkara yang dimajukan ke persidangan biayanya jauh lebih mahal dibanding dengan menjalani proses sidang tersebut, hal ini memang secara tegas diatur dalam undang-undang positif baik dari aspek formil maupun materil. Peristiwa ini pada prinsipnya telah sesuai dengan hukum formal namun ditinjau dari aspek kemanfaatan dan tujuan hukum yakni untuk mewujudkan suatu ketertiban tentu proses sidang terhadap anak tidak perlu sebab hal itu telah tidak sesuai dengan tujuan hukum itu sendiri. (www.kompasiana.com )

Fenomena tersebut di atas hanyalah salah satu contoh terhadap permasalahan tentang penegakan hukum di negara ini, lain lagi dengan perkara yang terjadi di wilayah hukum Bandar Lampung dimana seorang anak harus berurusan dengan polisi karena mencuri helm. Pencurian helm tersebut berujung ke ranah hukum yakni ke pihak yang berwajib karena korban tidak dapat memaafkan pelaku pencuri helm. Apakah dengan memenjarakan seorang anak yang mencuri helm dia akan menjadi lebih baik nanti, tentu hal ini perlu dikaji lebih dalam lagi.

(11)

mencapai usia 12 (dua belas) tahun sampai 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhkan sanksi pidana.

Ciri dan sifat yang khas pada Anak dan demi perlindungan terhadap Anak, maka perkara Anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan pada pengadilan pidana Anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Dan proses peradilan perkara Anak sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang memahai masalah Anak. Namun sebelum masuk proses peradilan para penegak hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur pengadilan yakni melalui diversi.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Analisis Formulasi Diversi Dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berkaitan dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Mengapa Perlu Formulasi Diversi dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997? b. Hal-Hal Apa Saja Yang Perlu di Pertimbangkan untuk Menerapkan

(12)

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian skripsi ini terbatas pada kajian bidang hukum pidana meteriil dan hukum pidana formil dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya hanya terbatas pada alasan diperlukannya formulasi diversi dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak dan hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam menerapkan formulasi diversi dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan anak untuk mewujudkan kesejahteraan anak serta hak-hak anak. Ruang lingkup tempat penelitian skripsi ini adalah pada wilayah hukum Provinsi Lampung khususnya pada Kantor Balai Pemasyarakatan Bandar Lampung, Lembaga Advokasi Anak Bandar Lampung, dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Adapun maksud dan tujuan penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk megetahui mengapa diperlukannya diversi dalam rancangan undang-undang pengadilan anak atas perubahan undang-undang Nomor 3 Tahun 1997.

(13)

2. Kegunaan Penulisan

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang formulasi diversi dalam rangka memberi perlindungan terhadap anak ditinjau dari Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak.

b. Kegunaan Praktis

Secara Praktis, menjadi bahan masukan bagi kalangan praktisi hukum, khusus yang bergerak dalam bidang penyelenggara peradilan pidana dan kemasyarakatan serta memberikan gambaran tentang proses hukum bagi anak yang berhadapan dengan hukum, pelaksanaannya, perlindungan hak-hak anak. Oleh karena itu tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan serta kesadaran hukum dari aparat penegak hukum, masyarakat ilmiah hukum, dan masyarakat luas untuk melaksanakan cita-cita serta isi yang terkandung dalam undang-undang untuk mewujudkan kesejahteraan anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

(14)

acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan. (Abdulkadir Muhammad. 2004 : 77).

Kerangka teoritis yang akan penulis ajukan dalam membahas permasalahan dalam penelitian adalah kerangka teoritis tentang kebijakan formulasi dalam pembaruan hukum. Barda Nawawi Arif (2002 : 25) mengemukakan bahwa dalam pembaruan hukum pada hakikatnya berorientasi atau berpedoman pada dua pendekatan yaitu pendekatan yang berorientasi pada nilai (value oriented approach) dan pendekatan yang berorientasi pada pada kebijakan (policy oriented approach). Artinya dalam pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi sesuai nilai-nilai sentral sosio politi, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sentral ini yang menjadi landasan aspek-aspek kebijakan yang terdiri dari kebijakan social, kebijakkan criminal dan kebijakan penegakan hukum.

(15)

Prof. Sudarto, SH. (dikutip dari Barda 2008 :1) Mengemukakan arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu : Kebijakan kriminal ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Menurut Muladi (1995 : 13-14) Aspek kebijakan hukum pidana berorientasi pada tahap-tahap konkretisasi / opersionalisasi/ fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut sebagai tahap kebjakan legislatif.

Menurut Jimly Asshidiqie (1996 : 12-13) secara teoritis hukum dianggap relevan jika memenuhi beberapa ukuran yaitu relevansi yuridis, relevansi sosiologis, relevansi filosofis, dan relevansi teoritis.

Lahirnya Undang-Undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menambah fungsi Pengadilan satu lagi dibawah naungan pengadilan Umum. Adanya lex specialist derogate legi genaralis merupakan suatu asas hukum yang diterapkan dimana ketentuan-ketenuan yag telah diatur dalam KUHAP dapat dikesampingkan. Undang-undang yang baru dipandang lebih mengakomodir hak-hak anak dan pelaksanaanya lebih jelas dan relatif lengkap.

(16)

penulis ingin mengetahui bagaimana formulasi diversi yang diharapkan kelak dapat menampung dan memfasiltasi hak-hak anak. Diversi merupakan bentuk terobosan baru dalam pengadilan anak yang tujuan khususnya untuk menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan. Formulasi diversi tersebut dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak (RUU PA).

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan. Petugas dalam melaksanakan diversi menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dan aturan. Petugas melakukan diversi dengan cara pendekatan persuasif dan menghindari penangkapan yang menggunakan tindakan kekerasan dan pemaksaan untuk mengalihkan suatu kasus dari proses formal ke proses informal. Proses pengalihan ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Secara konseptual, diversi adalah suatu mekanisme yang memungkinkan anak dialihkan dari proses peradilan menuju proses pelayanan sosial. Dengan demikian, diversi juga bermakna suatu upaya untuk mengalihkan anak dari proses litigasi menuju proses non litigasi. Upaya untuk mengalihkan proses peradilan (pidana) anak menuju proses non-peradilan didasarkan atas pertimbangan, bahwa keterlibatan anak dalam proses peradilan pada dasarnya telah melahirkan stigmatisasi.

(17)

pengadilan anak dan hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam menerapkan formulasi Diversi.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti. (Soerjono Soekanto,1986 : 132)

Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah meliputi :

1. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa untuk mengetahui sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya. (KBBI.Depdiknas Edisi Kedua.2001:43).

2. Formulasi adalah merumuskan atau menyusn dalam bentuk yang tepat. (KBBI.Depdiknas Edisi Kedua.2001:320).

3. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak)

(18)

5. Diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. (Pasal 1 angka 4 Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak)

E. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dan memahami skripsi ini secara keseluruhan,maka sistematika penulisannya disusun sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan Bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan kerangka konseptual, serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan Bab tinjauan pustaka yang menguraikan mengenai pengertian anak, pengertian pengadilan anak, kebijakan formulasi dan pembaharuan hukum pidana, dan pengertian diversi.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan Bab yang berisi uraian mengenai pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengolahan dan pengumpulan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

(19)

Undang-Undang pengadilan anak atas perubahan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, hal-hal apa saja yang menjadi pertimbangan dalam menerapkan formulasi diversi dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak atas Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.

V. PENUTUP

(20)

A. Pengertian Anak

Anak merupakan seseorang yang dilahirkan dari sebuah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan antara pria dan wanita ini jika terikat dalam suatu ikatan perkawinan lazimnya disebut sebagai suami istri. Anak yang dilahirkan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya disebut sebagai anak sah. Namun ada juga anak yang dilahirkan di luar dari suatu ikatan perkawinan, anak yang dilahirkan bukan dari suatu ikatan perkawinan yang sah statusnya biasanya disebut sebagai anak tidak sah atau lebih konkritnya biasa disebut sebagai anak haram jaddah. Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minderjarig / person under age), orang yang dibawah umur/keadaan dibawah umur (minderjarig heid / inferiority) atau biasa disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali (minderjarige under voordij).

Di Indonesia terdapat pengertian yang beraneka ragam tentang anak, dimana dalam berbagai perangkat hukum yang berlaku menentukan batasan usia anak yang berbeda-beda. Hal ini sering membingungkan masyarakat awam mengenai pengertian anak itu sendiri secara hukum. Untuk itu digunakan asas “lex specialis

(21)

pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum, sehuingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggung jawab secara mandiri terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukannya.

Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anakPerbedaan pengertian anak tersebut dapat kita lihat pada tiap aturan perundang-undangan yang ada pada saat ini. Berikut ini dapat dilihat beberapa pengertian anak dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia:

1. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Diatur pada Pasal 1angka 2 yang menentukan: “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.”

2. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Diatur pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak adalah

orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur delapan belas tahun dan belum pernah kawin.”

3. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Diatur pada Pasal 1 huruf 5 yang menentukan: “Anak

(22)

belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.”

4. Pengertian Anak Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Diatur pada Pasal 1 yang menentukan: “Anak adalah

seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

5. Pengertian Anak Menurut Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi berdasarkan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Diatur pada Pasal 1 bagian 1 yang menentukan: “Seorang

anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan dicapai lebih cepat.”

6. Pengertian Anak Menurut Hukum Adat Menurut Hukum Adat tidak ada ketentuan yang pasti kapan seseorang dapat dianggap dewasa atau mempunyai wewenang untuk bertindak. Hasil penelitian Mr. Soepomo tentang Hukum Perdata Jawa Barat menjelaskan bahwa ukuran kedewasaan seseorang diukur dari segi :

1. dapat bekerja sendiri;

2. cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab;

(23)

B. Pengadilan Anak

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak disahkan dan diundangan pada tanggal 3 Januari 1997. Pengadilan anak berada dibawah naungan peradilan umum.

Peradilan Anak pertama kali ada di Amerika Serikat yang diawali pada tahun 1899 di Chicago. Pengadilan itu sendiri dinamakan Juvennile Court of Cook Country, yang kemudian diikuti oleh negara bagian lainnya. Di Belanda sendiri sudah terdapat Undang-Undang Anak (kinderwetten) sejak tahun 1901 dimana mengenai anak-anak ini yang penting untuk diperhatikan bukanlah mengenai masalah pemidanaan bagi mereka, melainkan masalah pendidikan yang perlu diberikan kepada mereka.

Peradilan Anak di Indonesia terbentuk sejak lahirnya UndangUndang No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Dengan berlakunya undang-undang tersebut mulai tanggal 03 Januari 1998, maka tata cara persidangan maupun penjatuhan hukuman dilaksanakan berlandaskan undang-undang tersebut. Memang jauh sebelum dibentuknya Undang-Undang Pengadilan Anak tersebut, pengadilan negeri telah menyidangkan berbagai perkara pidana yang terdakwanya anak-anak dengan menerapkan ketentuan-ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP.

(24)

menyangkut hukum acara yang hendak mempertahankan materiilnya. Sedangkan secara luas adalah kejadian-kejadian/hal-hal yang terjadi dengan suatu perkara termasuk proses penerapan hukum acara dalam mempertahankan materiilnya.

Secara juridis, peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk Badan Peradilan, dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Bantuan Hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga Indonesia.

Menurut Sudikno Mertokusumo (1973 : 6), peradilan adalah suatu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, yang fungsinya dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apapun atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah“eigenrichting”.

Penempatan kata “anak” dalam Peradilan Anak menunjukkan batasan atas perkara

(25)

anak, seperti Akta Kelahiran. Kalau tidak ada, dapat dilihat pada surat-surat yang lain, misalnya Surat Tanda Tamat Belajar, Kartu Pelajar, Surat Keterangan Kelahiran.

Bentuk Peradilan Anak jika didasarkan pada tolak ukur uraian tentang pengertian dari peradilan dan anak, serta motivasi tetuju demi kepentingan anak untuk mewujudkan kesejahteraannya maka tidak ada bentuk yang cocok bagi Peradilan Anak kecuali sebagai peradilan khusus. Demikianlah kenyataan yang terjadi di negara-negara yang telah mempunyai lembaga Peradilan Anak. Mereka menempatkan bentuk dan kedudukan secara khusus di dalam sistem peradilan negara masing-masing walaupun istilah yang dipakai berbeda-beda.

Berkaitan dengan hal diatas, telah diatur secara tegas dalam Pasal 2 Undang-Undang Pengadilan Anak bahwa Peradilan Anak bukanlah sebuah lingkungan Badan Peradilan baru melainkan suatu peradilan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada di lingkungan Peradilan Umum. Jadi merupakan suatu pengkhususan di lingkungan Peradilan Umum dengan kualifikasi perkara sama jenisnya dengan yang dilakukan oleh orang dewasa yaitu melanggar ketentuan dalam KUHP. Oleh karena itu secara sistematika hukum (recht sistematisch), isi kewenangan Peradilan Anak tidak akan dan tidak boleh:

1. Melampaui kompetensi absolut (absolute competenties) badan Peradilan Umum;

2. Memeriksa, mengadili, dan memutus perkara-perkara yang telah menjadi kompetensi absolut lingkungan badan peradilan lain seperti badan Peradilan Agama.

(26)

anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke sidang anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa. Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer (Pasal 7 ayat (1),(2) UU Pengadilan Anak).

Mengenai tata ruang sidang Pengadilan Anak, belum ada ditentukan secara jelas dalam Undang-Undang Pengadilan Anak, oleh karena itu tata ruang sidangnya dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 230 ayat (3) KUHAP, sebagai berikut:

a. tempat meja dan kursi hakim terletak lebih tinggi dari tempat Penuntut Umum, terdakwa, Penasihat Hukum dan pengunjung;

b. tempat panitera terletak di belakang sisi kanan tempat hakim ketua sidang ; c. tempat penuntut umum terletak di sisi kanan depan hakim;

d. tempat terdakwa dan penasihat hukum terletak di sisi kiri depan dari tempat hakim dan tempat terdakwa di sebelah kanan tempat penasihat hukum;

e. tempat kursi pemeriksaan terdakwa dan saksi terletak di depan tempat hakim;

f. tempat saksi atau ahli yang telah didengar terletak di belakang kursi pemeriksaan;

g. tempat pengunjung terletak di belakang tempat saksi yang telah didengar; h. bendera Nasional ditempatkan di sebelah kanan meja hakim dan panji

(27)

i. tempat rohaniawan terletak di sebelah kiri tempat panitera;

j. tempat sebagaimana dimaksud huruf a sampai huruf i di atas diberi tanda pengenal ;

k. tempat petugas keamanan di bagian dalam pintu masuk utama ruang sidang dan di tempat lain yang dianggap perlu.

Beberapa ketentuan khusus dalam pengadilan anak yaitu :

1. Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke sidang anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.

2. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.

3. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, yakni Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. 4. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997,

Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.

(28)

6. Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, maka yang dapat hadir dalam persidangan tersebut adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.

7. Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, selain mereka yang disebutkan di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan tertutup.

8. Berdasarkan Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, putusan pengadilan atas perkara anak yang dilakukan dalam persidangan tertutup, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.

9. Berdasarkan Pasal 153 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, apabila ketentuan dalam Pasal 8 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tidak dilaksanakan, maka putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum.

Pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 64 ayat (2) dicantumkan tentang perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dilaksanakan melalui :

1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hakhak anak;

2. Penyediaan petugas pendamping khusus sejak dini; 3. Penyediaan saran dan prasarana khusus;

4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; 5. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak

(29)

6. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan

7. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.

Selama Persidangan anak berhak :

1. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan dan kasusnya;

2. Hak mendapatkan pendamping, penasehat selama persidangan;

3. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya (transport, perawatan kesehatan);

4. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang merugikan, meimbulkan penderitaan mental, fisik, sosial (berbagai macam ancaman, penganiayaan, cara dan tempat penahanan misalnya).

5. Hak untuk menyatakan pendapat.

6. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan, karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau badan hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP (pasal 1 ayat 22).

7. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/ penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

(30)

Setelah persidangan :

1. Hak untuk mendapatkan pembinaan atau penghukuman yang manusiawi sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan ide mengenai pemasyarakatan. 2. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan-tindakan yang

merugikan, menimbulkan penderitaan mental, fisik, social dari siapa saja (berbagai macam ancaman, penganiayaan, pembunuhan misalnya).

3. Hak untuk tetap dapat berhubungan dengan orang tuanya, keluarganya.

Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat. Hal ini juga merupakan suatu perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, sehingga dalam melakukan perlindungan terhadap anak hak-hak anak benar-benar perlu diperhatikan. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

C. Kebijakan Formulasi dan pembaruan Hukum Pidana

(31)

menjadi landasan aspek-aspek kebijakan yang terdiri dari kebijakan social, kebijakkan criminal dan kebijakan penegakan hukum.

Prof. Sudarto, SH. (dalam Barda Nawawi Arif, 2008 : 1) Mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu :

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungis dan aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi ; dan

c. Dalam arti paling luas ialah keselurhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundangang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Menurut Muladi (1995 : 13-14) Aspek kebijakan hukum pidana berorientasi pada tahap-tahap konkretisasi / opersionalisasi/ fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari ;

a. Tahap Formulasi, yaitu tahap penegakan hukum in abstracto oleh badan pembuat undang-undang. Tahap ini disebut sebagai tahap kebjakan legislative.

b. Tahap Aplikasi, yaitu tahhap penerapan hukum pidana oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Tahap ini disebut tahap kebijakan yudikatif.

(32)

Menurut Jimly Asshidiqie (1996 : 12-13) secara teoritis hukum dianggap relevan jika memenuhi beberapa ukuran yaitu relevansi yuridis, relevansi sosiologis, reelevansi filosofis, dan relevansi teoritis.

1. Relevansi yuridis yaitu kaedah hukum tersebut tidak bertentangan dengan kaedah-kaedah konstitusi atau tidak bertentangan dengan norma hukum yang lebih tinggi.

2. Relevansi sosiologis yaitu apabbila kaedah hukum itu tersebut benar-benar diterima dan diakui oleh masyarakat;

3. Relevansi filosophis yaitu jika kaedah hukum tersebut tidak bertentangan dengan cita-cita hukum suatu masyarakat sebagai nilai positif tertinggi dalam suatu masyarakat. Falsafah hidup bangsa Indonesia ukurannya adalah falsafah Pancasila, yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dalam konteks berkehidupan berbangsa dan bernegara di Indoensia.

4. Relevansi teoritis yaitu relevansi yang didasarkan perkembangan teori-teori sistem pemidanaan peradilan pidana yaitu implementasi ide diversi sesuai dengan teori restroactive justice. Selain itu implementasi ide diversi sebagai upaya menghindari stigma/label jahat dan untuk menghindari prisonisasi pada anak. Impelementasi ide diversi dalam sistem peradilan pidan anak dapat diterima berdasarkan teori pendekatan hukum progresif.

Berkenaan dengan pembaruan hukum pidana Barda Nawawi Arief (2008 : 25), menyatakan:

“...makna dan hakikat pembaruanhukum pidana (penal reform) berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Pembaruan hukum (pidana) pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosiofilosofis, sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach).”

(33)

a. Hukum pidana nasional dibentuk tidak sekedar alasan sosiologis, politis, dan praktis semata-mata namun secara sadar harus disusun dalam kerangka ideologi Pancasila;

b. Hukum pidana nasional di masa mendatang tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang berkaitan dengan kondisi manusia, alam dan tradisi manusia;

c. Hukum pidana mendatang harus dapat menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh dalam pergaulan masyarakat beradab;

d. Hukum pidana mendatang harus memikirkan aspek-aspek yang bersifar preventif;

e. Hukum pidana mendatang harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang teknologi guna meningkatkan efektivitas fungsinya dalam masyarakat.

Bertolak dari makna dan hakikat Pembaruan hukum pidana tersebut, jika ide diversi hendak dijadikan bahan muatan (substansi) dalam kebijakan pembaruan formulasi hukum sistem peradillan pidana anak maka perlu dikaji terlebih dahulu tentang kesesuaian ide diversi dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural masyarakat Indonesia.

D. Pengertian Diversi

(34)

Jack E. Bynum (dikutip dari Marlina 2010 : 10) dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological Approach menyatakan ”Diversion is an attempt to divert, or channel out, youthful offender from the juvenile justice system (Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari system peradilan pidana).

Pengertian diversi juga dimuat dalam United Nation Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) butir 6 dan butir 11 terkandung pernyataan mengenai diversi yakni sebagai proses pelimpahan anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke proses informal seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat diversi sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, pemerintah atau non pemerintah. Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus-kasus anak yang telah terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak hukum. (Resolusi PBB tanggal 29 November 1985)

(35)

Menurut pendapat Peter C. Kratcoski (dikutip dari Marlina 2010 : 15), ada tiga jenis pelaksanaan program diversi yang dapat dilaksanakan yaitu :

a) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.

b) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.

c) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan pada pelaku.

Pada Telegram Kabareskrim terdapat pengertian mengenai diversi, yakni suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa diversi artinya pengalihan kasus-kasus yang berkaitan dengan anak yang disangka telah melakukan pelanggaran diluar prosedur peradilan formal dengan atau tanpa syarat-syarat tertentu.

(36)

meneruskan/melapaskan dari proses peradilan pidana atau mengembalikan/ menyerahkan kepada masyarakat dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan soaial lainnya. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan pemeriksaan yaitu dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang pengadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.

Program diversi memberi keuntungan pada masyarakat dalam penanganan yang awal dan cepat terhadap perilaku menyimpang. Penanganan awal ini juga menghemat biaya yang merupakan beban yang dikeluarkan oleh polisi setempat. Anak pelaku tindak pidana tersebut akan diberi petunjuk oleh polisi, Pembina pidana bersyarat remaja, petugas departemen kehakiman, dan sekolah menghubungi polisi. Kemudian remaja secara suka rela mengikuti konsultasi dan atau pendidikan yang cocok dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Jika yang bersangkutan sukses dalam program ini, jaksa tidak menuntut kasus tersebut dan tidak akan mencatat dalam berkas perkara atas perbuatan tersebut

(37)

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Formulasi diversi dalam Rancangan Undang-undang Pengadilan Anak sangat diperlukan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum, karena dengan formulasi diversi dapat menghindari penahanan terhadap pelaku anak, menghindari cap/label sebagai penjahat pada anak, mencegah pengulangan tindak pidana, dan menyatakan anak agar bertanggungjawab atas perbuatannya. Formulasi diversi juga memfokuskan pada kepentingan korban, disamping itu juga untuk memperlakukan lebih manusiawi anak yang melakukan kejahatan, dan hak-hak anak dapat terpenuhi. Formulasi diversi menyebabkan berkurangnya anak masuk pada proses peradilan, dan semakin berkurangnya anak masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan sehingga anak terhindar dari pengaruh negatif atas proses formal.

(38)

a. Latar belakang anak melakukan kejahatan, apakah perbuatannya didasari dari diri sendiri atau faktor dari luar. Jika perbuatannya didasari faktor dari luar maka dapat jadi pertimbangan untuk menerapkan formulasi diversi; b. Pelanggaran yang sebelumnya dilakukan, jika anak pernah melakukan

hukuman ringan, formulasi diversi harus tetap jadi pertimbangan. Jika anak sering melakukan pelanggaran hukum maka sulit di lakukan diversi, namun demikian perlu dilakukan hati hati dan pemikiran matang demi kepentingan terbaik bagi anak;

c. Sikap anak terhadap perbuatan tersebut, jika anak mengakui perbuatannya dan menyesalinya, hal ini menjadi pertimbangan yang positif untuk diterapkannya formulasi diversi;

d. Akibat perbuatan pelaku terhadap korban, apakah bersifat kebendaan atau justru terkait dengan tubuh dan nyawa seseorang, hal ini menjadi pertimbangan dalam formulasi diversi;

e. Pandangan korban tentang metode penangganan yang di tawarkan agar diversi dapat di rencanakan dengan baik maka harus ada masukan dan persetujuan dari korban/keluarga korban, hal inipun menjadi pertimbangan dalam menerapkan formulasi diversi ;

(39)

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan analisis formulasi Diversi dalam Rancangan Undang-undang pengadilan Anak Atas Perubahan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997, sebagai berikut:

1. Hendaknya dibuat satu peraturan perundangan yang jelas tentang penerapan formulasi diversi terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum, sehingga anak tidak lagi menjalani penahanan dan tidak mendapat stigmatisasi dari masyarakat. Orang tua juga harus lebih memperhatikan anak, karena keluarga adalah tempat pertama kali si anak tumbuh dan berkembang dan perlunya dibentuk sebuah forum orang tua dan sekolah dan instansi yang terkait agar dapat menghalau anak melakukan tindak pidana.

(40)

(Skripsi)

oleh

Izda Rahmi Faradillah

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(41)

Oleh

Izda Rahmi Faradillah

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG

(42)

(Skripsi)

Oleh

IZDA RAHMI FARADILLAH

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(43)

Hal

I. PENDAHULUAN

A. LatarBelakang ... 01

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 09

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 10

D. Kerangka Teori dan Konseptual ... 11

E. Sistematika Penulisan ... 16

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak ... 18

B. Pengertian Pengadilan Anak ... 21

C. Kebijakan Formulasi dan Pembaharuan Hukum Pidana ... 28

D. Pengertian Diversi ... 31

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 35

B. Sumber dan Jenis Data ... 36

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 38

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 38

(44)

B. Perlunya Formulasi Diversi dalam Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak Atas Perubahan Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1997... 43 C. Hal-Hal Yang Perlu Di Pertimbangkan Dalam Menerapkan

Formulasi Diversi Pada Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak Atas Perubahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 ... 54

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 65 B. Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA

(45)

Andrisman, Tri. 2011.Hukum Peradilan Anak.Bandar lampung : Unila Press

Asshidiqqie, Jimly. 1996. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Angkasa

Harahap. M. Yahya. 2009. Pembahasan dan Permasalahan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika.

Lamintang. P.A.F.Dasar-Dasar Hukum Pidana. Citra Aditia Bakti : Bandung

Marlina. 2010.Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice Dalam Hukum Pidana. Medan : USU Press

_______. 2011.Hukum Penitensier. Refika Aditama : Bandung

Mertokusumo, Sudikno. 1973. Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942. PT Gunung Agung

Muhammad, Abdulkadir.2004.Metode Penelitian Hukum. Bandung : Citra Aditia Bakti

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang : Universitas Diponegoro

Nawawi Arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti,Jakarta.

_________________. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP baru). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Sasangka, Hari. 2006.Hukum Acara Pidana. Bandung : Citra Aditia Bakti.

(46)

_______________. 1986.Pengantar Penelitian Hukum.UI Press. Jakarta.

Sunggono, Bambang. 1996.Metodologi Penelitian Hukum.Jakarta : Raja Grasindo Wahyudi, Satya. 2011. Implementasi Diversi dalam pembaruan sistem Peradilan

Pidana Anak di Indoenesia. Yogyakarta : Genta Publishing

Universitas Lampung. 2008. Format Penulisan Karya Ilmiah. Bandarlampung : Unila Press

Siregar, Roi.2010.dalam makalah Diversi suatu inovasi terhadap penanggulangan anak nakal.Bapas Depkumham.Provinsi Lampung

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Rancangan Undang-Undang Pengadilan Anak Tahun 2010

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2001. Jakarata : Balai Pustaka

Http : www.tempointeraktif.com/pemerintah+ajukan +RUU+pengadilan+anak/hpd dibrowsing pada tanggal 1 Oktober 2011

(47)

NOMOR 3 TAHUN 1997

Nama Mahasiswa :Izda Rahmi Faradillah

No. Pokok Mahasiswa : 0852011118

Bagian : Hukum Pidana

Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Sunarto DM., S.H., M.H. Hj. Firganefi, S.H., M.H.

NIP 19541112 198603 1 003 NIP 19631217 198803 2 003

2. Ketua Bagian Hukum Pidana

Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H.

(48)

1. Tim Penguji

Ketua :Prof. Dr. Sunarto DM., S.H., M.H.

...

Sekretaris/Anggota :Hj. Firganefi, S.H., M.H.

...

Penguji Utama :Eko Raharjo, S.H., M.H.

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.S.

NIP 19621109 198703 1 003

(49)

Ilmu itu lebih baik daripada harta, Ilmu akan menjaga engkau dan engkau menjaga harta, Ilmu itu penghukum (hakim) sedangkan harta terhukum, kalau

harta itu akan berkurang apabila dibelanjakan, tetapi ilmu akan bertambah apabila dibelanjakan

(Sayidina Ali bin Abi Thalib)

Taburlah gagasan petiklah perbuatan, taburlah perbuatan petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan petiklah karakter, taburlah karakter petiklah nasib

(Stephen R Covey)

Hidup cepat atau lambat akan menguji keseriusan kita atas impian kita jadi jika kita menghadapi kesulitan, cemooh, atau hambatan tabah dan kuatlah agar kita

bisa mencapai tujuan kita (Izda Rahmi Faradillah)

Ridhonya orangtua ridhonya Allah SWT (Sukriadi Siregar, S.H.)

Hanya ada dua pilihan dalam perjuangan, menyerah lalu kehilangan semuanya atau terus bangkit dan mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan

(50)

BISMILLAHIRRAHMANNIRAHIM

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka

dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku, aku

persembahkan sebuah karya ini kepada :

Kedua Orangtuaku tercinta yang sangat aku sayangi,

Drs. Hi. Hasan Faiz Bakry dan Hj. Heri Yusmida

yang senantiasa dengan tulus ikhlas memberikan limpahan kasih sayang serta doa di setiap

sujudnya dalam menantikan keberhasilanku

Abangku tercinta Fahri Fawwaz Faiz dan Kakcikku tersayang Heru Fahruddin Faiz, ST yang

telah mencurahkan kasih sayang, perhatian serta motivasi untuk keberhasilanku kelak.

Sahabat-sahabatku yang telah mengisi hari-hariku melewati suka dan duka bersama

(51)

Penulis dilahirkan di Kotabumi tanggal 20 Januari 1990, anak ketiga dari tiga bersaudara buah hati dari pasangan Bapak Drs. Hi. Hasan Faiz Bakry dan Ibu Hj. Heri Yusmida.

Penulis mengawali pendidikannya di Taman Kanak-kanak Dharma Wanita Kotabumi Tahun 1994 dan selesai pada Tahun 1995, kemudian melanjutkan Sekolah Dasar Negeri 1 Kotabumi dan selesai pada Tahun 2001, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 3 Kotabumi dan selesai pada Tahun 2004, melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Kotabumi dan selesai pada tahun 2007.

(52)

Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, Rabb seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : ANALISIS FORMULASI DIVERSI DALAM RANCANGAN UNDANG PENGADILAN ANAK ATAS PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997”.

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.untuk itu dengan kerendahan hati dan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.

(53)

5. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H. dan Bapak Budi Rizky Husin, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Ibu Hj. Aprilianti, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama penulis

menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

7. Bapak Turaihan Aldi dan Bapak Dede Suhendri selaku responden dari Lembaga Advokasi Anak (LADA) Bandar Lampung, Bapak Sukarmin, S.H. dan Ibu Mas Elianti, S.H. selaku responden dari Balai Pemasyarakatan (BAPAS) Bandar Lampung, serta Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H. dan Bapak Ahmad Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

8. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

9. Teristimewa untuk Papaku tercinta Drs. Hi. Hasan Faiz Bakry dan Mamaku tersayang Hj. Heri Yusmida terimakasih atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

(54)

11. Special Thanks to Abang Sukriadi Siregar, S.H. terimakasih atas kasih sayang, dukungan, doa, dan bantuannya selama ini.

12. Terima Kasih kepada keluarga besar Bapak Muhammad Hasan beserta keluarga dan seluruh masyarakat Wira Bangun, Kecamatan Simpang Pematang, Kabupaten Mesuji atas pembelajaran, pengalaman serta kenangan yang telah diberikan selama penulis menjalankan Kuliah Kerja Nyata (KKN). 13. Teman-teman seperjuangan angkatan 2008 dimanapun berada : Anna, Ira,

Ani, Ika, Yoan, Safira, Sari, Taufik, Jaya, Acung, Ningsih, Ressy, Rendy, Fani, Dhora, Intan, Lintong, Vera, Agus, Harina, Adi, Daniel dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Mei 2012 Penulis

Referensi

Dokumen terkait

Proses pada sistem e- Research Management dimulai dari pengajuan proposal oleh peneliti, persetujuan proposal oleh pihak pengelola penelitian di perguruan tinggi, pencatatan

Dari hasil analisa data diketahui bahwa Jenis kelamin dan usia saat mulai mengendarai sepeda motor memiliki pengaruh terhadap aspek keselamatan berkendara,

Rumah sakit menghormati informasi tersebut sebagai hal yang bersifat rahasia dan telah menerapkan kebijakan dan prosedur untuk melindungi informasi tersebut dari kehilangan

Ada perubahan konstruksi dari gabungan verba + nomina dalam bahasa Inggris menjadi satu kata verba yaitu refined.. (b) Kata majemuk berafiks yang pangkalnya berupa bentuk

Buku Kartun Kimia Materi Pokok Laju Reaksi untuk Siswa SMA/MA yang dikembangkan ini dapat lebih layak sebagai sumber belajar penunjang apabila telah dibuktikan

Uji hipotesis menggunakan rumus korelasi Kendall Tau menunjukkan ada hubungan hubungan tingkat harga diri dengan perilaku konsumtif remaja putri kelas XI di

Rasmita pada tahun 2017 dengan judul Implementasi metode SMART ( Simple Multi Attribute Rating Technique ) dalam Pemilihan Hotel di Kota Palu dan hasil

Latar belakang penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penilaian prestasi kerja yang terdiri dari aspek-aspek yang dinilai, penilai, metode penilaian dan umpan