NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Diajukan Sebagai Salah Satu Prasyaratan Meraih Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
ZIFFANY FIRDINAL 0810112196
Program Kekhususan : Hukum Tata Negara (PK VI)
PROGRAM SARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam sebuah negara (supreme law
of the land),1 secara teoritis, suatu undang-undang dasar merupakan kontrak sosial dari rakyat pada suatu negara. Sebagai sebuah kontrak sosial, konstitusi
harus dijunjung tinggi sebagai landasan kebijakan negara. Indonesia sendiri telah
memiliki kontrak sosial berupa Undang-Undang Dasar Negara yang apabila
diperiodisasikan dapat diklasifikasikan kepada 4 (empat) periode, yakni semenjak
digunakannya Undang-Undang Dasar tahun 1945 (UUD 1945), lalu Konstitusi
Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950, dan berlaku kembalinya UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli
1959, namun secara umum, terdapat 3 (tiga) undang-undang dasar yang pernah
Lihat Fatmawati, Peranan Mahkamah Konstitusi dalam Membangun Kesadaran Berkonstitusi, dalam Jurnal Konstitusi Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Volume I Nomor 1, November 2010, h.92.
2
Tiga Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di Indonesia adalah UUD 1945 sebelum perubahan, UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah perubahan. Walaupun secara substansi UUD 1945 dapat dikatakan baru, namun tetap merupakan perubahan UUD 1945 yang asli berdasarkan lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga secara formal terdapat tiga (tiga) Undang-Undang Dasar yang pernah dan masih berlaku di Indonesia. Naskah resmi UUD NRI 1945 itu sendiri menurut Jimly Asshidiqie ada lima, yakni :
1. Naskah UUD 1945 yang diberlakukan oleh Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Perubahan mendasar tersebut berlangsung selama 4 (empat) tahapan,3 serta
menyebabkan perubahan struktur ketatanegaraan secara signifikan,4 dengan nama
resmi baru Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
NRI 1945). Termasuk pengaturan tentang syarat pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden yang tertuang pada ketentuan Pasal 6A ayat (2) yang menatakan bahwa:
“Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan
umum.”
Dari sisi tekstual, sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 6A ayat (2) tersebut,
dapat disimpulkan bahwa UUD NRI 1945 memberikan ruang kepada partai
politik peserta pemilihan umum untuk mencalonkan Presiden dan Wakil
Presiden, dengan syarat bahwa partai politik tersebut merupakan peserta
pemilihan umum. Namun pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, tepatnya melalui ketentuan Pasal
5 ayat (4) dinyatakan bahwa :
Pasangan Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.
3
Penulis sependapat dengan Mahfud MD yang menyatakan bahwa UUD 1945 diubah secara formal sebanyak 1 (satu) kali, dimana terdapat 4 (empat) tahapan dalam proses perubahan tersebut. Hal ini didasari pada ke empat sidang MPR tidak ada satupun yang saling tumpang tindih dalam melakukan perubahannya, melainkan secara bertahap. Lihat Makalah : Penjajakan Materi dan Agenda Perubahan Kelima UUD 1945, oleh Moh Mahfud MD, pada Seminar Sehari Meninjau Kembali Prospek dan Agenda Perubahan UUD Republik Indonesia 1945 yang diselengarakan oleh Pusat Studi Hukum Tata Negara Fak Hukum UI tanggal 21 Nopember 2007. H. 6.
4
Selain melalui ketentuan Pasal 5 ayat (4) tersebut, dalam aturan peralihan
di undang-undang yang sama Pasal 101, khusus untuk pemilihan umum tahun
2004, cukup dengan syarat pencalonan 3% (tiga persen) suara sah nasional,
ataupun memperoleh 5% (lima persen) kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Tidak jauh berbeda, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden yang menjadi payung hukum baru,
memberikan ketentuan yang sama, bahkan lebih besar untuk syarat pencalonan
pasangan Presiden dan Wakil Presidenmelalui Pasal 9 yang menyatakan bahwa:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (duapuluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presidden dan Wakil Presiden.
Ketentuan dalam undang-undang pemilu presiden tersebut, secara
langsung menambah syarat pada prosedur pencalonan bagi Presiden dan Wakil
Presiden, karena pada dasarnya, jika ditinjau dari sisi ketentuan UUD NRI 1945,
pencalonan cukup dilakukan oleh partai politik peserta pemilihan umum.
Terlebih jika dilihat pada ketentuan yang juga mendasari hadirnya
undang-undang tersebut, yakni ketentuan pada Pasal 6A ayat (5) yang menyatakan bahwa
“Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lanjut
diatur dalam undang-undang.” Ketentuan pengaturan tata cara pelaksanaan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tersebut oleh UUD NRI 1945 sebenarnya
menutup kemungkinan proses legislasi menambah syarat pencalonan, khususnya
partai politik maupun gabungannya dalam mencalonkan pasangan Presiden dan
Wakil Presiden.
Terhadap pembatasan tersebut, kita dapat mendalaminya dengan mengacu
pada perdebatan sengit ketika pembahasan Pasal 6A, fokus arah permasalahan
hanya pada ketentuan ayat (3) yang mengisyaratkan mayoritas suara dari rakyat
untuk memenangkan Pemilihan Presiden. Dalam risalah sidang pembahasan
Pasal 6A pada umumnya, dan ayat (2) khususnya tidak ada sedikitpun fraksi
maupun anggota MPR yang menyinggung masalah ambang batas (presidential
threshold). Terlebih ayat (5) dari Pasal 6A telah mengunci rapat penambahan
prasyarat pengajuan calon, tidak seperti prasyarat personal yang pada
pembahasannya sengaja diberikan wewenang kepada undang-udang untuk
memberikan batasan tambahan, tidak hanya sekedar yang ada dalam norma UUD
NRI 1945.
Terkait dengan ketentuan undang-undang yang merubah makna Pasal 6A
ayat (2) UUD NRI 1945 tersebut, telah dilakukan uji materil (judicial review) ke
Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan kewenangannya, lembaga tersebut
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 9 Undang-Undang 42 Tahun 2008 tersebut
konstitusional. Walaupun terdapat pendapat berbeda di dalam Majelis Hakim
Konstitusi yang memutus perkara tersebut.5
Beberapa hal tersebutlah yang melatar belakangi ketertarikan penulis
mengkaji perihal perubahan makna Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terkait Putusan Mahkamah Konstitusi
5
Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, khususnya terhadap ketentuan Pasal 9
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden dalam skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar sarjana.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang pada penelitian ini adalah adanya perubahan
makna terhadap ketentuan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 jika disandingkan dengan ketentuan Pasal 9
Undnag-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden. Untuk memberikan batasan terhadap kajian terhadap rumusan
permasalahan tersebut diajukan 3 (tiga) pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimanakah latar belakang perumusan Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
b. Bagaimanakah latar belakang perumusan Pasal 9 Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden?
c. Bagaimanakah bentuk perubahanmakna pada Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian dari rumusan masalah tersebut, tujuan dari penulisan
skripsi ini juga dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) hal, yakni:
a. Mengetahui latar belakang perumusan Pasal 6A ayat (2)
b. Mengetahui latar belakang perumusan Pasal 9 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
c. Mengkaji bentuk penyempitan makna Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil kajian yang akan dibahas oleh penulis, diharapkan dapat
memberikan manfaat, antara lain:
a. Manfaat Teoritis
1. Untuk menambah khasana ilmu pengetahuan penulis secara umum,
dan khususnya terkait tentang perubahan makna dari suatu konstitusi.
2. Agar dapat memperbandingkan kajian teoritis dengan praktik
dilapangan.
3. Melatih kemampuan penulis untuk membuat karya tulis ilmiah,
khususnya skripsi.
b. Manfaat Praktis
Diharapakan nantinya, hasil penelitian ini dapat berguna bagi
seluruh pihak terkait yang menjadi subyek pada kajian ini.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Untuk mencapai hasil yang diharapkan serta kebenaran dari
penulisan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka penulisan skripsi ini
menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) yang
data sekunder berupa doktrin-doktrin dan asas-asas dalam ilmu hukum.
Penelitian hukum normatif dapat berupa inventarisasi hukum positif,
penemuan asas-asas dan dasar falsafah (doktrin, dogma) hukum positif,
dan penemuan hukum incroncreto.6
2. Pendekatan Masalah
Dalam mengkaji pokok permasalahan,Menurut Johnny Ibrahim,
nilai ilmiah dari suatu pembahasan isu hukum (legal issue) yang dikaji
bergantung pada pendekatan (approach) yang dipergunakan, dalam hal ini
penulis menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach),
pendekatan sejarah (historical approach), dan pendekatan konseptual
(conseptual approach).7 Terhadap beragam pendekatan tersebut bukanlah permasalahan karena dalam penelitian hukum pada khususnya tidak ada
satu teknik tertentu yang bisa memecahkan permasalahan “there is no
single technique that is magically „right for all problem”8. Sementara,
dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan sebagai berikut:9
a. Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach)
Pada penelitian normatif harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai
aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu
Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing,2006,h. 299.
8Ibid
, h. 301.
9
b. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)
Pendekatan sejarah bertujuan untuk memahami hukum
secara lebih mendalam tentang suatu sistem atau lembaga, atau
suatu pengaturan hukum tertentu, sehingga dapat memperkecil
kekeliruan, baik dalam pemahaman maupun penerapan suatu
lembaga atau ketentuan hukum tertentu.
c. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Pendekatan konseptual ini memiliki tujuan
pengabstraksikan hal-hal yang bersifat partikular menjadi
umum/universal. Pendekatan ini digunakan untuk menggambarkan
konsep perubahan makna, serta dampaknya kedepan.
3. Metode Analisis Bahan Hukum
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah penelitian yang
berupa hasil studi kepustakaan (data sekunder), yang berasal dari bahan
hukum primer dan sekunder. Oleh karena itu penelitian ini dapat
digolongkan sebagai penelitian hukum normatif, pengolahan data pada
hakekatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap
bahan-bahan hukum tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan
konstruksi.
4. Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Bahan Hukum Primer,yaitubahan-bahan penelitian yang berasal
1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
3) Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949
4) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
5) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
Republik Indonesia Nomor III/MPRS/1963 Tentang
Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung
Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur
Hidup
6) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
SementaraRepublik IndonesiaNomor IX/MPRS/1966
Tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara
7) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
SementaraRepublik IndonesiaNomor XV/MPRS/1966
Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan
Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden
8) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
SementaraRepublik IndonesiaNomor XLIV/MPRS/1968
Nomor IX/MPRS/1966 Sebagai Presiden Republik
Indonesia
9) Ketetapan Majelis Permusyawaratan RakyatRepublik
IndonesiaNomor II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia
10)Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
IndonesiaNomorVI/MPR/1999 Tentang Tata Cara
Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia
11)Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
IndonesiaNomor IV/MPR/1983 tentang referendum
12)Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985
Tentang Referendum
13)Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
14)Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 jo
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi.
15)Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
16)Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
17)Peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
b. Bahan Hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya buku-buku,
hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya (ilmiah) dari kalangan
hukum dan dari hasil karya dari khalayak umum.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
misalnya: kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, internet dan
sebagainya.10
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian
kepustakaan, yaitu dengan cara pengumpulan data dengan bersumber pada
peratturan perundang-undangan dan bahan-bahan pustaka. Tujuan dan
kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan
pemecahan permasalahan penelitian.11
6. Sumber Bahan Hukum
Dalam proses penyelesaian penelitian ini, penulis memperoleh
bahan hukum dari penelitian kepustakaan (Library Research) yang berasal
dari data skunder, yakni bahan hukum priemer berupa peraturan
10
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, h. 117.
11Ibid.,
perundang-undangan, bahan hukum skunder terkait kepustakaan
(buku-buku terkait), jurnal ilmiah, makalah dan lainnya, serta bahan hukum
tersier yang merupakan suplemer berupa kamus hukum maupun bahasa.
7. Analisis Bahan Hukum
Analisa bahan hukum dilakukan dengan analisa kualitatif, dalam
hal ini memetakan kebutuhan bahan dan diklasifikasikan lebih lanjut untuk
ditelaah untuk menelaah perubahan makna Pasal 6A ayat (2) UUD NRI
1945 atas hadirnya ketentuan ambang batas pada prasyarat pencalonan
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, apakah sudah benar atau
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konstitusi
Konstitusi secara konseptual memiliki tiga karakter utama, pertama,
konstitusi sebagai hukum tertinggi suatu negara (a constitution is a supreme law
of the land), kedua, konstitusi sebagai suatu kerangka kerja suatu sistem
pemerintahan (a constitution is a frame work for goverment), dan ketiga,
konstitusi merupakan suatu instrumen yang memiliki legitimasi dalam membatasi
kekuasaan dan kewenangan pejabat pemerintah (constitution is a letimate way to
grant and limit powers of goverment officials).12
Pengertian dari konstitusi itu sendiri berasal dari kata latin constitutio yang
berkaitan erat dengan kata jus atau ius yang berarti hukum atau prinsip.13 Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata konstitusi merujuk pada pengertian 1) segala
ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar, dsb) dan
2)undang-undang dasar suatu negara.14 Kedua pengertian yang digambarkan
tersebut merupakan pengertian konstitusi dalam artian luas dan sempit, sementara
pada tulisan ini pengertian konstitusi lebih dititik beratkan dalam artian sempit,
yakni konstitusi sebagai undang-undang dasar suatu negara, yang dalam hal ini
adalah Indonesia.
12
Komisi Konstitusi, Buku I Naskah Akademik Kajian Komprehensif Komisi Konstitusi tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Jakarta,2004, h.17.
13
Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi,Penerbit Buku Kompas, 2010 h. 3. Bandingkan dengan Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-Asas hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, 1985, h. 41.
14
Tidak dapat dipungkiri sebuah konstitusi memiliki masa tersendiri, hal ini
sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa konstitusi merupakan suatu produk
kesepakatan politik, dimana berlandaskan pada kondisi politik, ekonomi, sosial,
dan budaya pada saat dibuat.15 Karena itulah konstitusi memiliki keterbatasan
dalam menyelesaikan permasalahan ketatanegaraan kontemporer, dimana
persoalan-persoalan tersebut tidak dapat dijawab karenasifatnya yang insidentil
ataupun temporeryang terkadang jauh dari logika konstitusi itu sendiri.
Oleh karena itu diperlukan upaya agar konstitusi tersebut dapat tetap
menjawab permasalahan ketatanegaraan kontemporer,dalam hal ini melalui
mekanisme perubahan konstitusi.George Jellinek mengklasifikasikan perubahan
konstitusi secara garis besar kedalam 2 (dua) jenis cara, yakni melalui prosedur
formal (verfassungsanderung), dan melalui prosedur Informal (
verfassung-swandlung).16 Melengkapi pendapat George Jellinek, C. F. Strong membagi lagi
secara lebih rinci cara perubahan konstitusi dengan prosedur formal (
vervassung-sanderung) tersebut kedalam 4 (empat) cara, yakni:17
1. By the ordinary legislature but under certain restriction, (Perubahan melalui lembaga legislatif biasa, tetapi melalui aturan-aturan tertentu) 2. By the people through a referendum, (Perubahan melalui referendum) 3. By a majority for all units of a federal state,(Oleh mayoritas dari seluruh
negara bagian, dalam hal ini pada negara federal) 4. By special convention, (Oleh lembaga khusus)
15
Moh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,Jakarta, Rajawali Pers,2009, h.379,
dalam bukunya ini mahfud mengutip pernyataan K.C. Wheare yaitu “A constitution is indeed the resultanct of parallelogram of forces –political, economic and social- wich operate at that time of
it‟s adoption”, pendapat yang sama juga diutarakan oleh beliau dalam Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Rajawali Pres, 2009. h.153.
16
Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum tata Negara Jilid I, Jakarta, Sekertariat Jenderal dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI,2006, h. 144.
17
Sementara itu, K. C. Wheare memiliki pendapat sendiri mengenai
klasifikasidalam perubahan konstitusi, ia membaginya kedalam 4 (empat) jenis,
yakni:18
1. Some primary forces 2. Formal amandement19 3. Judicial interpretation 4. Usage and convention
Dalam tinjauan pustaka ini, dibagi menjadi 2 (dua) bagian pokok bahasan,
yakni perihal perubahan formal konstitusi (undang-undang dasar) dan perubahan
informalnya. Tinjauan teoritik inilah yang nantinya akan menjadi pisau bedah
dalam melakukan penelitian atas perubahanan makna terhadap Pasal 6A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia jika disandingkan dengan aturan Pasal
9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden, dalam hal ini aturan undang-undang tersebut telah menambah
prasyarat pencalonan pasangan Presiden dan Wakil Presiden.
B. Perubahan Konstitusi Secara Formal
Perubahan Konstitusi secara formal dapat dimaknai sebagai perubahan
yang dilakukan berdasarkan prosedur yang ditentukan oleh konstitusi itu sendiri,
Hampir semua negara menetapkan aturan mengenai perubahan konstitusi dalam
konstitusinya kecuali Chechnya, Finlandia, dan Swedia.20 Terkait dengan
18Ibid,
h. 109.
19 Formal amandement
inilah yang oleh George Jellinek klasifikasikan sebagai
verfassungsanderung (Perubahan melalui prosedur formal), sementara ketiga jenis lainnya, yakni
Some primary forces, Judisial interpretationUsage and conventiondiketegorikan ke dalam lingkup
vervassungswandlung (Perubahan secara informal).
20
unsur dasar yang harus ditetapkan dalam konstitusi mengenai perubahan
konstitusi secara teoritik meliputi beberapa hal, yakni:21
1. Usul inisiatif perubahan konstitusi
2. Syarat penerimaan atau penolakan usul tersebut menjadi agenda resmi
bagi lembaga pengubah konstitusi
3. Pengesahan rancangan perubahan konstitusi
4. Pengumuman resmi pemberlakuan hasil perubahan konstitusi
5. Pembahasan tentang hal-hal yang tidak boleh diubah dalam konstitusi
6. Hal-hal yang hanya boleh diubah melalui putusan referendum atau
klausa khusus
7. Lembaga-lembaga yang berwenang melakukan perubahan konstitusi
seperti parlemen, negara bagian bersama parlemen, referendum, lembaga khusus, parlemen dan pemerintah, parlemen dan referendum, parlemen dan pemilu, pemerintah/perdana menteri, presiden, atau raja.
Pengaturan mengenai perubahan konstitusi secara formal di Indonesia,
semenjak berlakunya 3 (tiga) Undang-Undang Dasar (UUD), yakni UUD 1945,
UUD RIS, UUDS 1950, dan UUD 1945 setelah amandemen, adalah:
a) Pada Undang-Undang Dasar 1945
Ketentuan mengenai perubahan terletak pada pasal 37 ayat (1)
yang berbunyi :
Untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis permusyawaratan Rakyat harus hadir”dan ayat (2) yang berbunyi “Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat yang hadir
Ketentuan tersebut berlaku pada periode awal Undang-Undang
Dasar Tahun 1945, setelah pmerintahan orde baru dibawah pimpinan
Soeharto sebagai Presiden, selain ketentuan ditingkat undang-undang
dasar, juga teerdapat kewajiban melakukan referendum untuk melakukan
perubahan, diatur lebih lanjut oleh Ketetapan MPR Nomor
21 Ibid
IV/MPR/1983tentang referendum yang ditingkat teknis pelaksanaan
dinaungi oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985
Tentang Referendum.
b) Pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949
Ketentuan mengenai perubahan terletak pada Bab VI Perubahan,
Ketentuan2 Peralihan dan Ketentuan2 Penutup, tepatnya pada bagian 1
Perubahan, Pasal 190 ayat (1) yang menyatakan syarat kuorum kehadiran
dan mekanisme perubahan berdasarkan undang-undang federal, secara
utuh berbunyi:
Dengan tidak mengurangi jang ditetapkan dalam pasal 51, ajat kedua, maka Konstitusi ini hanja dapat diubah dengan undang-undang federal dan menjimpang dari ketentuan2nja hanja diperkenankan atas kuasa undang-undang federal; baik Dewan Perwakilan Rakjat maupun Senat tidak boleh bermupakat ataupun mengambil keputusan tentang usul untuk itu, djika tidak sekurang-kurangnja dua-pertiga dari djumlah anggota-sidang menghadiri rapat.
Sementara ayat (2) yang menyatakan bahwa “Undang-undang
sebagai dimaksud dalam ajat pertama, dirundingkan pula oleh Senat
menurut ketentuan2 Bagian 2 Bab IV.” Ketentuan ini mengisyaratkan
suatu mekanisme balances antara Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Federal dalam memutuskan usulan perubahan, selanjutnya pengaturan
tentang kondisi deadlock yang mungkin tercipta dalam perubahan ini
diatur melalui ketentuan ayat (3) yang berbunyi:
Dewan Perwakilan Rakjat hanja dapat menerimanja dengan sekurang-kurangnja tiga-perempat dari djumlah suara anggota jang hadir.
Selain mekanisme perubahan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Federal dan Senat, pengaturan terhadap pengumuman dan pelaksanaan
perubahan undang-undang dasar tersebut juga dicantumkan secara tekstual
oleh Konstitusi RIS 1950, melalui ketentuan Pasal 191, yakni pemerintah
sebagai pihak yang mengumumkan, serta masa transisi terhadap alat
kelengkapan negara, maupun aturan-aturan lama sebelum dan ketika
perubahan dilakukan, posisi hukumnya tetap berlaku, hingga ada
pengganti yang sesuai dengan perubahan undang-undang dasar.
c) Pada Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
Ketentuan mengenai perubahan terletak pada Bagian I mengenai
Perubahan, tepatnya pada Pasal 140, mulai dari usulan perubahan
undang-undang dasar yang harus tegas terhadap ketentuan yang akan diubah
melalui suatu undang-undang sebagai dasar pijakan. Selanjutnya, usul
perubahan yang berbentuk undang-undang tesebut diserahkan presiden
kepada suatu badan yakni Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar. Isi
dari majelis tersebut adalah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Sementara dan anggota-anggota Komite Nasional Pusat yang tidak
menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara. Selain itu, Ketua
Dewan Pewakilan Rakyat Sementara secara otomatis menjadi ketua
Berdasarkan ketentuan Pasal141, apabila rancangan perubahan
undang-undang dasar tersebut diterima oleh Majelis Perubahan
Undang-Undang Dasar, maka pemerintah berkewajiban mengesahkan rancangan
tersebut secepatnya. Serta pemerintah juga diharuskan mengumumkan
perubahan tersebut seperlunya. Selain mekanisme perubahan dan pengesahan,
ketentuan peralihan terhadap hasil perubahan juga ditampung, yakni alat
kelengkapan kekuasaan negara tetap berlaku hingga dilakukan perubahan
aturan, kecuali terhadap yang secara nyata bertentangan dengan perubahan
undang-undang dasar tersebut.
d) Pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Ketentuan tersebut terletak pada BAB XVI mengenai Perubahan
Undang-Undang Dasar, tepatnya pada Pasal 37, dalam hal ini usulan
perubahan diajukan dengan kuorum minimal sepertiga dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Usulan perubahan tersebut harus secara
jelas dan berbentuk tertulis dengan menunjuk bagian mana yang akan diubah
beserta alasan perubahannya. Dalam mekanisme perubahan, sidang Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang membahas usulan perubahan tersebut, juga
memiliki kuorum minimal kehadiran, yakni dua pertiga darijumlah anggota
keseluruhan, serta minimal disetujui oleh setengah ditambah satu dari jumlah
anggota yang hadir. Selain mekanisme perubahan, juga terdapat larangan
terhadap perubahan bentuk negara kesatuan republik Indonesia.
Berdasarkan konstruksi mengenai pengaturan (tata cara) perubahan formal
Indonesia menganut konsep konstitusi yang bersifat kaku (rigid).22 Perubahan konstitusi secara formal itu sendiri terjadi di Indonesia sebanyak satu kali
perubahan dengan 4 (empat) tahapan.
Pada tahapan pertama perubahan yang dilakukan dalam Sidang Tahunan
MPR Tahun 1999 konsentrasi MPR adalah membatasi kekuasaan Presiden dan
memperkuat kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga
legislatif.23Tahapan kedua yang dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun
2000 terkait masalah wilayah negara dan pembagian pemerintahan daerah,
menyempurnakan perubahan pertama dalam hal memperkuat kedudukan DPR,
dan ketentuan-ketentuan yang terperinci tentang HAM.24
Tahapan ketiga perubahan undang-undang dasar ditetapkan pada Sidang
Tahunan MPR Tahun 2001 dalam hal ini materi perubahan ketiga ini meliputi
ketentuan tentang Asas-asas landasan bernegara, kelembagaan negara dan
hubungan antarlembaga negara, dan ketentuan-ketantuan tentang Pemilihan
Umum.25 Serta tahapan terakhir (keempat) dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR
22
Indikator suatu naskah konstitusi dapat dikategorikan luwes (flexible) atau kaku (rigid) adalah (i) apakah terhadap naskah konstitusi tersebut dimungkinkan delakukan perubahan dan apakah cara mengubahnya cukup mudah atau sulit, dan (ii) apakah naskah konstitusi itu mudah atau tidak mudah mengikuti perkembangan kebutuhan zaman, penulis berpendapat, konstitusi yang pernah dan sedang berlaku di Indonesia memungkinkan untuk dilakukan perubahan dan tergolong mudah untuk diubah, dengan syarat usul 1/3 dan persetujuan 50% + 1 anggota MPR yang dianut, jikadibandingkan dengan sebelumnya yang membutuhkan referendum sebagai salah satu syarat perubahan, serta dengan perbandingan perubahan konstitusi di Amerika Serikat, dan Afrika Selatan yang cenderung sulit dan berliku.
23
yang meliputi Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Passal 22 UUD 1945. Jimly Asshidiqie,Menuju Negara Hukum yang Demokratis,BIP, 2009, h. 172.
24
Tahun 2002 melingkupi ketentuan tentang kelembagaan negara dan hubungan
antarlembaga negara, penghabusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA),
ketentuan tentang pendidikan dan kebudayaan, ketentuan tentang perekonomian
dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan tambahan.26
Pada perubahan formal yang dilakukan pada kurun waktu 1999 sampai
dengan 2002 tersebut, telah terjadi perubahan yang sangat signifikan, Jimly
Asshidiqie sendiri menyatakan bahwa perubahan formal tersebut sampai dengan
300%, naskah konstitusi ini dapat digolongkan sebagai sebuah konstitusi baru
dengan nama resmi “ Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945” perubahan ini telah mengakibatkan berubahnya kedudukan dan hubungan
beberapa lembaga negara, penghapusan lembaga negara tertentu, dan
pembentukan lembaga-lembaga negara baru. Konstitusi yang baru ini juga
menegaskan kembali demokrasi konstitusional sebagai batu pijakan bernegara
Indonesia.
ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7), Pasal 7C, Pasal 8 ayat (1) dan (2), Pasal 11 ayat (2) dan (3), Pasal 17 ayat (4), Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4), Bab VIIB, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6), Pasal Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23E ayat (1), (2), dan (3), Pasal 23F ayat (1), dan (2), Pasal 23G ayat (1) dan (2), Pasal 24 ayat (1) dan (2), Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) UUD 1945.
26
C. Perubahan Konstitusi Secara Informal
Perubahan konstitusi secara formal hanya dapat diharapkan menyelesaikan
permasalahan kenegaraan yang berlatar prefentif (pencegahan), karena prosedur
yang harus dilalui cukup panjang, terlebih arus politisasi yang kuat melekat pada
mekanisme tersebut tidak efisien untuk memecahkan permasalahan yang lebih
bersifat insidensil dan membutuhkan respon cepat. Hal inilah yang menjadi alasan
perubahan konstitusi juga dapat dilakukan secara informal, mengingat proses yang
harus dilalui relatif lebih sederhana.Sebagaimana diuraikan diatas, perubahan
konstitusi secara informal dapat dilakukan dengan beberapa cara, yakni:
a) Some primary force
Perubahan konstitusi dapat terjadi apabila terdapat tekanan kuat dari suatu
kekuasaan ataupun kondisi tertentu, contoh nyata dari perubahan konstitusi
dengan cara ini adalah di Jepang. Ketika Jepang menyerah tanpa syarat pada
sekutu pasca pembom-atom-an Kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika
Serikat, pelucutan senjata dan militer menjadi syarat yang diajukan. Dari
perkuliahan oleh Prof. Shimada dapat ditarik kesimpulan bahwa tekanan yang
kuat dari pihak sekutulah yang mendesak perubahan (penggantian) konstitusi
dilakukan. Ketika itu hak negara Jepang untuk mempersenjatai diri (membuat
militer/tentara) dinyatakan dicabut dan inkonstitusional untuk dilakukan.27
Di Indonesia sendiri hal ini pernah terjadi pasca perjanjian Konfrensi Meja
Bundar yang menghasilkan tiga buah persetujuan pokok, yakni:
27
Konstitusi Jepang Tahun 1947 dibentuk pada masa Amerika Serikat mendudukinya,
1) Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat
2) Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, dan
3) Didirikan Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan
Belanda.
Dalam hal mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat, pembentukan
Undang-Undang Dasarnya sendiri dikawal pada KMB ini, RUU yang akan
disahkan oleh KNP (Komite Nasional Pusat) yang diakui sebagai badan
perwakilan di wilayah Republik Indonesia.28Hal ini dapat diartikan some primary
forces-lah yang menyebabkan pergantian UUD 1945 ke UUD RIS. Contoh
lainnya adalah keluarnya Dekrit Presiden29 pada tanggal 5 Juli Tahun 1959 yang
menjadi landasan hukum berganti (kembali) UUDS 1950 ke UUD 1945 sebelum
amandemen. Latar belakang keluarnya Dekrit ini adalah pergulatan ideologi oleh
para anggota konstituante yang tidak kurun mencapai kata sepakat untuk membuat
konstitusi baru pengganti UUDS 1950, bahkan cenderung menimbulkan
perpecahan bangsa, dekrit tersebut dapat “dibenarkan” akibat keadaan darurat
yang timbul menyebabkan staatsnoodariecht(hukum darurat negara) dan
berdasarkan pada prinsip salus populi supreme lex (keselamatan rakyat adalah
dasar hukum yang tertinggi).30
b) Judicial Interpretation
Mengutip pendapat Satjipto Raharjo, bahwa salah satu sifat yang ada pada
peraturan perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat otoritatif dari
rumusan norma yang dibentuknya. Dalam hal ini beliau memandang bentuk
Dari segi konstitusionalitasnya, dekrit presiden tidak memiliki legitimasi namun dapat dibenarkan sebagai hukum darurat negara, serta (menurut pendapat Mahfud MD) merupakan pelaksanaan asas (Keselamatan Rakyat adalah Hukum Tertinggi).
30
tulisan atau litera scripta hanyalah suatu usaha untuk menyampaikan ide atau
pikiran. Ide atau pikiran tersebut tentu saja tidak akan mungkin tersampaikan
secara utuh dalam untaian kata-kata di dalam perundang-undangan tersebut.
Dengan demikian, merupakan suatu keharusan bagi hukum itu sendiri
pada khususnya “membedah” ide ataus pikiran yang ingin disampaikan oleh
norma tertulis pada peraturan-perundang-undangan. Selain alasan tersebut, tidak
dapat kita elakkan bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang
lebih dari sekedar prosedur hukum, dalam hal ini pola pikir atau nalar hukum
dapat mencakup pengetahuan dalam konteks sosial ditengah masyarakat.31
Proses pembedahan tersebut tentu saja dilakukan oleh “dokter bedah”
yang dalam hal ini adalah hakim yang secara kelembagaan merupakan organ
pengadilan yang tergolong sebagai lembaga yudisial. inilah yang menjadi cikal
bakal dari Judicial Interpretation dan ketika dibawakan kedalam konteks
perubahan undang-undang dasar, maka istilah yang digunakan adalah pernafsiran
konstitusi (constitutional interpretation).
Bila menilik lebih dalam, dalam melakukan penafsiran hukum tentu
memerlukan metode-metode yang sesuai. Secara umum metode-metode tersebut
diklasifikasi kan kedalam 6 (enam) cara interpretasi, yakni:32
1) Interpretasi Gramatikal
Interpretasi33 ini juga dapat disebut interpretasi menurut bahasa,
metide ini menekankan pentingnya bahasa dalam menentukan makna
31
Philippe Nonet & Philip Selznick, Jakarta, HUMA, Hukum Responsif, 2001, h. 59.
32
terhadap suatu objek. Metode interpretasi gramatikal ini disebut juga cara
penafsiran objektif, dimana cara penafsiran ini tergolong paling sederhana
untuk mengetahui makna dari undang-undang dasar yang akan
diinterpretasikan.
Terkait pendekatan contextualism yang dapat digunakan dalam
metode penafsiran ini dapat dikriteriakan kedalam 3 (tiga) hal, pertama,
noscitur a socis, yaitu arti suatu perkataan harus dinilai dari ikatannya
dalam kumpulan-kumpulannya, kedua, ejusdemgeneris, asas ini
mengandung makna of the same class. Jadi suatu perkataan yang
digunakan dalam lingkungan atau kelompok yang sama, ketiga, expressum
facit cassare tacitum, yaitu bahwa kata-kata yang dicantumkan secara
tegas mengakhiri pencarian mengenai maksud dari suatu
perundang-undangan.34 Misalnya, apabila di muka peraturan telah merinci tentang
„perdagangan, tenaga terampil, pekerja atau orang lain apapun‟, maka kata
„orang lain apapun‟ harus diartikan dalam kategori orang-orang yang telah
disebutkan sebelumnya itu. Ketiga hal inilah yang menjadi pendekatan
dalam menafsirkan hukum.
2) Interpretasi Teleogis atau Sosiologis
Interpretasi dalam hal ini dimaknai sebagai pemaknaan peraturan
perundang-undangan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Fokus dari
interpretasi ini adalah aktualisasi peraturan perundang-undangan yang ada.
33
Pusat Bahasa, Op. Cit., h. 535, interpretasi adalah pemberian kesan, pendapat, atau pandangan teoritis terhadap sesuatu; tafsiran.
34
3) Interpretasi Sistematis atau Logis
Secara garis besar, pengertian dari interpretasi ini adalah
menghubung-kan suatu undang-undang dengan undang-undang lain.
Dengan kata lain mencari sistematika dan logika suatu peraturan
perundang-undangan tersebut dibentuk.
4) Interpretasi Historis
Penafsiran dengan metode ini bermaksud memaknai isi peraturan
perundang-undangan melalui penelitian sejarah pembentukannya. Secara
garis besar, interpretasi historis ini dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara,
pertama, menurut sejarah undang-undang tersebut dibentuk, dimana
pencarian maksud ketentuan awal pembentukan undang-undang tersebut
dilihat dari pandangan subjektif para pembentuknya, kedua, menurut
sejarah hukum, dimana cara ini berusaha memahami suatu undang-undang
dalam konteks keseluruhan sejarah hukum yang ada.
5) Interpretasi Komparatif atau Perbandingan
Ialah metode penafsiran yang dilakukan dengan cara
membanding-kan antara beberapa aturan hukum untuk mencari kejelasan makna suatu
ketentuan peraturan perundang-undangan. Perbandingan ini dilakukan
dengan cara membandingkan penerapan asas-asas hukumnya
(rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-undangan yang akan
membanding latar belakang atau sejarah pembentukan peraturan
perundang-undangan tersebut.
6) Interpretasi futuristis
Ialah metode penemuan hukum yang bersifat antisipatif, dimana
kecenderungan bentuk interpretasi lebih menitik beratkan pada sifat ius
constituendum (hukum atau undang-undang yang ingin dicitakan) daripada
ius constitutum (hukum atau undang-undang yang berlaku saat ini).
Sementara pada metode penafsiran35 konstitusi, dimana praktek penafsiran
ini diterapkan pada proses judicial review, khususnya di Indonesia oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai the sole interpreter of the constitution
(satu-satunya penafsir konstitusi), dikenal 6 (enam) macam cara, yakni:36
1) Penafsiran Tekstual
Ialah penafsiran yang menekankan pada pengertian norma tertulis yang
ada pada konstitusi atau undang-undang sebagaimana dipandang secara umum
oleh mayoritas orang.
2) Penafsiran Historis (atau Penafsiran Orginalism)
Penafsiran ini dapat disamakan dengan interpretasi historis
sebagaimana dibahas sebelumnya yaitu untuk menelaah original intent dari
pembentukan konstitusi tersebut. Penafsiran ini biasanya di-gunakan untuk
menjelaskan teks, konteks, tujuan dan struktur dari konstitusi itu sendiri.
35 Ibid
, h, 1373, berasal dari kata tafsir, yang berarti 1) keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur‟an agar maksudnya mudah dipahami 2)keterangan; penjelasan. Ketika kata tafsir diberikan imbuhan pe-an, maka bermakna proses, cara, perbuatan menafsirkan; upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas;
36
3) Penafsiran Doktrinal
Adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara memahami aturan
undang-undang atau konstitusi melalui sistem preseden atau melalui
praktik peradilan.
4) Penafsiran Prudensial
Merupakan metode penafsiran yang dilakukan dengan penuh
per-timbangan antara kemanfaatan yang akan ditimbulkan oleh penafsiran tersebut
dengan resiko yang harus ditanggung.
5) Penafsiran Struktural
Yaitu metode penafsiran yang dilakukan dengan cara mengaitkan
aturan dalam undang-undang dengan konstitusi atau Undang-Undang Dasar
yang mengatur tentang struktur ketatanegaraan.
6) Penafsiran Etikal
Metode ini dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip moral dan etika yang
terdapat di dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Pendekatannya lebih
kepada falsafati, aspirasi ataupun moral yang bersumber dari konstitusi itu
sendiri.
c) Usage and convention
Usage (kebiasaan) andconvention (konvensi) dapat diterima secara
harafiah dalam hal menjadi salah satu sarana perubahan undang-undang dasar
secara informal. Konvensi ketatanegaraan37 memiliki posisi strategis sebagai
aturan politik dalam bekerjanya konstitusi secara empiris. Namun yang perlu
37
digaris bawahi dalam hal ini adalah konvensi tidak dapat diberi sanksi oleh
pengadilan apabila dilanggar pelaksanaanya. Tetapi posisi konvensi sebagai
non-legalrules yang mengatur cara legal rules diterapkan merupakan suatu
kenyataan dalam pelaksanaan di dalam praktik bernegara.
Contoh nyata perubahan yang terjadi terhadap norma yang terkandung
di dalam undang-undang dasar tanpa perubahan formal oleh konvensi
ketatanegaraan adalah perubahan yang terjadi dalam sistem pemerintahan
berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen), yakni dengan dipraktikkannya
sistem pertanggungjawaban menteri sebagaimana termuat dalam Maklumat
Pemerintah tanggak 14 november 1945, padahal pertanggungjawaban
pemerintah pada UUD 1945 berada pada presiden.38
Perbedaan mendasar antara konvensi ketatanegaraan dengan kebiasaan
ketatanegaraan39 adalah unsur pengulangan pada kebiasaan. Tidak semua
konvensi merupakan pengulangan, contoh diatas merupakan sebuah konvensi
yang baru pertama kali terjadi dan tidak belum terulang. Sehingga jika
disilogiskan maka akan muncul kausa “setiap kebiasaan ketatanegaraan
adalah konvensi ketatanegaraan” dan “tidak semua konvensi ketatanegaraan
adalah kebiasaan”. Contoh dari kebiasaan ketatanegaraan yang menjadi
konvensi ketatanegaraan adalah adanya pidato kenegaraan oleh preseden di
DPR dan DPD.40
38 Ibid
., h.205; lihat juga Moh Mahfud MD, Politik Hukum... Op. Cit., h.40.
39
Penulis juga berpendapat bahwa kata kebiasaan ketatanegaraan lebih tepat mengartikan
usage.
40
Praktik konvensi dinegara-negara lain misalnya ditemukan di Inggris,
di sana disyaratkan seorang menteri harus punya kedudukan sebagai anggota
parlemen, dan Raja atau Ratu akan mengangkat Ketua Partai yang menjadi
pemenang dalam pemilu sebagai Perdana menteri.
Mekanisme perubahan undang-undang dasar secara garis besar dapat
dikelompokan kedalam 2 (dua) jenis, pertama, dengan cara informal (
verfassung-sanderung), dan kedua, dengan cara informal (verfassungswandlung). Lebih
gamblang lagi, dapat diartikan bahwa perubahan konstitusi secara formal
merupakan perubahan yang berdasarkan ketentuan konstitusi itu sendiri,
Indonesia sendiri pernah mempraktekkannya ketika pe-rubahan Undang-Undang
Dasar 1945 dikurun waktu 1999 hingga 2002.
Serta perubahan konstitusi secara informal dapat jabarkan lebih lanjut
melalui 3 (tiga) cara, pertama, melalui kekuatan kekuasaan yang utama seperti
yang terjadi di Jepang, pasca pernyaaan menyerah tanpa syarat kepada pihak
sekutu (Amerika Serikat) dan ketika Indonesia dipaksa membuat konstitusi RIS
yang merupakan hasil Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949, kedua, melalui
penafsiran konstitusi oleh lembaga yudisial, dalam hal ini di Indonesia
palaksanaannya oleh Mahkamah Konstitusi, dan ketiga, melalui kebiasaan dan
BAB III
PEMBAHASAN PERMASALAHAN
A. Latar Belakang Perumusan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
1) Sejarah Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia
Dalam mengkaji latar belakang perumusan ketentuan pengusulan
calon Presiden dan Wakil Presiden yang secara hukum positif (ius
constitutum) saat ini, yakni berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tidak
mungkin dilepaskan dari pendekatan sejarah (historical approach)
terhadap ketentuan-ketentuan sebelumnya. Dalam pokok bahasan ini,
diklasifikasikan pengaturan tersebut kedalam 4 (empat) ketentuan
undang-undang dasar yang sebelumnya berlaku sebelum amandemen ketiga
ditahun 2001 merubah ketentuan terkait.
Pada hakikatnya, undang-undang dasar yang pernah berlaku di
Indonesia hanya 3 (tiga), yakni Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang merupakan dampak langsung
dari Konfrensi Meja Bundar 1949, dan Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950 yang pada mulanya dicanangkan menjadi perantara sebelum
dibentuknya suatu undang-undang dasar baru hasil konstituante.
KhususUndang-Undang Dasar Tahun 1945, terbagi lagi kedalam 3 (tiga)
versi, yakni pasca kemerdekaan Indonesia (sidang 18 Agustus 1945),
Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959,41 dan versi terakhir setelah amandemen Undang-Undang Dasar Indonesia yang berlangsung pada
tahun 1999-2002, yang secara formal dinamai sebagai Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.42
a) Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (Periode 1945-1949) Sebagaimana diketahui, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di
Indonesia, untuk pertama kalinya dilakukan pada 18 Agustus 1945,
tepatnya ketika rapat yang mengesahkan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.43 Secara
konstitusional, sandaran hukum pemilihan presiden dapat ditemukan pada
ketentuan Pasal 6 ayat (2), yakni melalui pemilihan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.44
Namun pada masa awal kemerdekaan, kondisi empiris kenegaraan
yang „belum‟ mampu mengadakan suatu pemilihan umum untuk
membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat membuat pilihan
penunjukan Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil
41
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 UUD 1945 periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) bersama dengan penjelasan resmi dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No.7. UUD 1945, sementara pada Periode kedua (5 Juli 1959 s/d 1999) dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 didasari Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959.
42Lihat ketentuan Aturan Tambahan Pasal II UUD NRI 1945 yang menyatakan “Dengan
ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal” yang di sahkan pada 10 Agustus 2002
43
Sejarah ketatanegaraan h. 17
44
Secara utuh, ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 berbunyi
Presiden dalam rapat pengesahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945
sebagaimana diterangkan sebelumnya. Presiden sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan merupakan sistem yang terbentuk secara normatif di
undang-undang dasar tersebut. Namun pada prakteknya, posisi Presiden
sebagai kepala pemerintahan didistorsi oleh praktek ketatanegaraan, yakni
melalui keluarnya Maklumat Wakil Presiden Nomor X, tertanggal 16
Oktober 1945. Dalam hal ini posisi kepala pemerintahan diserahkan pada
Perdana Menteri.45 Selanjutnya agresi militer yang dilakukan oleh pihak
Belanda memaksakan Indonesia untuk membentuk Negara Federasi yang
merupakan akibat langsung Konfrensi Meja Bundar 1949, Negara Federasi
ini dibawahi oleh Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS).
b) Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Kondisi empiris Indonesia pasca kemerdekaan „memaksa‟
terbentuknya Republik Indonesia Serikat. Melalui 2 (dua) kali agresi
amiliter yang dilakukan oleh Belanda (Tahun 1947 dan 1948), akhirnya
Indonesiamelalui upaya diplomasi yang ditengahi oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa dalam forum yang bernama Konfrensi Meja Bundar,
bersama Belanda dan BFO (Byeenkomst voor Federal Overleg).46 Hasil
45
Selain Maklumat Wakil Presiden Nomor X tertanggal 16 Oktober 1945, Maklumat Pemerintah tertanggal 14 November 1945 yang mengesahkan Kabinet St. Syahrir (Perdana Menteri).
46
konfrensi yang dilaksanakan pada 2 November 1949 dihasilkan 3 (tiga)
pokok persetujuan, antara lain:47
1. Didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat;
2. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat;
3. Didirikannya Uni antara Republik Indonesia Serikat dengan
Kerajaan Belanda.
Sementara itu, berkaitan dengan pemulihan kedaulatan terdiri atas
3 (tiga) persetujuan induk, yakni:
1. Piagam Penyerahan kedaulatan;
2. Status Uni;
3. Persetujuan perpindahan.
Berdasarkan perundingan inilah dibentuk Negara Republik
Indonesia Serikat, didasari oleh pemberlakuan Konstitusi Republik
Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949, di dalamnya termasuk
Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan termasuk
Distrik Federal Jakarta, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara
Sumetera Timur, dan Negara Sumatera Selatan.48
Terkait pencalonan Presiden,49 hal ini didasari oleh ketentuan Pasal
69 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, yakni melalui pemilihan oleh
orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah daerah-daerah bagian yang
tersebut pada Pasal 2 Konstitusi tersebut. Persyaratan personal untuk dapat
dipilih sebagai Presiden adalah minimal berusia 30 tahun dan memiliki
47ibid, h 62-63 48
Lihat ketentuan Pasal 2 Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
49
hak untuk memilih. Menjadi catatan khusus dalam sejarah ketatanegaraan
Indonesia, karena pada masa berlakunya Konstusi Republik Indonesia
Serikat ini secara bulat dan munfakat Soekarno terpilih sebagai Presiden
Republik Indonesia Serikat pada 16 Desember 1949 berdasarkan ketentuan
yang ada.
c) Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (1950-1959)
Salah satu dampak berdirinya Negara Repubik Indonesia Serikat
adalah diakuinya kedaulatan Indonesia secara utuh oleh pihak Belanda.
Namun bentuk negara federal yang ada sangat jauh dari cita-cita awal
kemerdekaan Indonesia yang menginginkan suatu negara kesatuan.
Keinginan untuk menyatukan diri kembali sebagai suatu negara kesatuan
oleh rakyat Indonesia, tergambar melalui kondisi dilapangan, dalam hal ini
negara-negara pada Byeenkomst voor Federal Overleg sontak
menggabungkan dirinya ke Negara Republik Indonesia yang merupakan
salah satu negara bagian di Republik Indonesia Serikat.
Pada akhirnya, hanya 3 (tiga) negara bagian saja yang terdapat di
Republik Indonesia Serikat, yakni Negara Republik Indonesia, Negara
Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur.50 Hal ini berujung pada
permusyawaratan yang dilakukan oleh Negara Republik Indonesia dengan
50
Negara Republik Indonesia Serikat,51 persetujuan bersama yang terjadi pada 19 Mei 1950 menghasilkan kesepakatan untuk melaksanakan negara
kesatuan yang telah dicanangkan berdasarkan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia 17 Agustus 1945 silam. Hasil dari kesepakatan tersebut
berujung pada dibentuknya suatu undang-undang dasar sementara untuk
melegalkan negara kesatuan yang disepakati.
Kedua pemerintah, dalam hal melaksanakan persetujuan tersebut
membentuk panita bersama, dengan perwakilan dari Pemerintah Negara
Republik Indonesia Serikat yang diketuai olehProf. Mr. Soepomo, dan dari
Pemerintah Negara Republik Indonesia diketuai oleh A. Halim.52 Panita
bersama inilah yang membuat rencana undang-undang dasar sementara
yang akhirnya disahkan melalui Undang-Undang Negara Federal Nomor 7
Tahun 1950 (Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat Normor 56).
Terkait pemilihan Presiden pada undang-undang dasar sementara
ini, secara normatif bersandar pada ketentuan BAB II Alat Perlengkapan
Negara, Bagian I Pemerintah, yakni Pasal 45 ayat (3) yang memberikan
delegasi pengaturan prosedur pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
kepada suatu undang-undang.53
51
Negara Republik Indonesia Serikat dalam hal ini mewakili Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur
52
Sejarah, Opt Cit, h. 71
53 Secara utuh, bunyi Pasal 45 ayat (3) tersebt adalah “
Presiden dan Wakil-Presiden dipilih menurut aturan jang ditetapkan dengan undang-undang” namun sepanjang pencarian
d) Pengaturan Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 (Dekrit Presiden 1959-1999)
Pada dasarnya, pengaturan pemilihan Preiden dan Wakil Presiden
pada Undang-Undang Dasar 1945 pasca dikeluarkannya dekrit presiden 5
Juli 1959, secara normatif konstitusi tetap sama dengan periode
sebelumnya,54 dalam hal ini dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat dengan suara terbanyak, pengaturan lebih lanjut terkait hal ini
selanjutnya didelegasikan kedalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat/Sementara Republik Indonesia (TAP MPR/S).
Pada periode berlakunya UUD 1945 setelah dekrit presiden, sepat
dideklarasikannya Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh MPRS,
yakni melalui TAP MPRS Nomor III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan
Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden
Republik Indonesia Seumur Hidup. Selanjutnya dinamika sosial politik di
Indonesia yang begejolak semennjak peristiwa pemberontakan Partai
Komunis Indonesia, melaui gerakan G.30.S/PKI (Gerakan 30 September
Partai Komunis Indonesia) yang menyebabkan keluarnya Surat Perintah
Sebelas Maret 1966 (Supersemar).
MPR sendiri memperkuat posisi supersemar dengan mengeluarkan
TAP MPRS Nomor IX/MPRS/1966 Tentang Surat Perintah
54
Hal ini mengacu pada ketentuan Passal 6 UUD 1945, yang menyatakan bahwa
“Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak” namun mengingat pada Praktek sebelum Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara, yang isinya antara lain memberikan daya laku surat
perintah terhadap Soeharto hingga pemilihan umum MPR terlaksana.
Selain memperkuat daya laku supersemar, MPRS juga meniadakan
pemilihan Wakil Presiden dan memberikan mandat kepada Soeharto
(pemegang supersemar) sebagai pemegang jabatan apabila Presiden
berhalangan, dilakukan melalui TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 Tentang
Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan
Pejabat Presiden. Pada akhirnya, MPRS mengangkat Soeharto menjadi
Presiden berdasarkan TAP MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 Tentang
Pengangkatan Pengemban Ketetapan MPRSNomor IX/MPRS/1966
Sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pengaturan terhadap Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
sendiri baru ditetapkan oleh MPR hasil Pemilihan Umum Tahun 1971,
melalui TAP MPR Nomor II/MPR/1973 Tentang Tata-Cara Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada pengaturannya,
dijelaskan secara rinci syarat personal untuk menjadi Presiden dan Wakil
Presiden, serta juga dijelaskan prosedur pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden oleh fraksi ataupun gabungan fraksi.55
55
Setelah reformasi bergulir ditahun 1999, pasca lengsernya Soeharto
(pengunduran diri) di tahun 1998, tepatnya setelah pemilihan umum tahun
1999, MPR hasil pemilu tersebut menetapkan aturan baru terkait
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, melalui TAP MPR Nomor
VI/MPR/1999 Tentang Tata Cara Pencalonan dan Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada pengaturan baru ini, terdapat 2
(dua) hal yang berubah, yakni terkait dapat dicalonkannya seorang
Presiden dengan kuota minimal 70 orang anggota MPR dan ditiadakannya
ketentuan “mampu bekerja sama” antara Presiden dan Wakil Presiden.56
2) Latar Belakang Perumusan Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Pada dasarnya, ketentuan pengusulan calon Presiden dan Wakil
Presiden yang dinyatakan oleh Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dilandasi oleh semangat reformasi
ditetapkan oleh Majelis dan putusan-putusan Majelis; g. Berwibawa; h. Jujur; i. Cakap; j. Adil; k. Dukungan dari Rakyat yang tercermin dalam majelis; l. Tidak pernah terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam setiap kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan PANCASILA dan Undang -Undang Dasar 1945, seperti gerakan G-30-S/PKI dan/atau Organisasi terlarang lainnya; m. Tidak sedang menjalani pidana berdasarkan keputusan Pengadilan yang tidak dapat dirubah lagi karena tindak pidana yang diancam pidana sekurang-kurangnya 5 tahun; n. Tidak terganggu jiwa/ingatannya.
Sementara itu, terkait syarat pencalonan, diatur oleh ketentuan Pasal 9 yang menyatakan
bahwa “Calon Presiden diusulkan oleh Fraksi secara tertulis dan disampaikan kepada Pimpinan Majelis melalui Pimpinan-pimpinan Fraksi yang mencalonkan dengan persetujuan dari calon yang bersangkutan.” Dalam hal ini apabila calon hanya satu, maka MPR langsung
mengesahkannya sebagai Presiden melalui Rapat Paripurna (Pasal 13 ayat (2)). Salah satu poin yang menjadi catatan adalah ketentuan yang mengharuskan pemilihan dilakukan secara tertutup apabila terdapat lebih dari 1 (satu) calon Presiden.
Terkait Wakil Presiden, prosedur pemilihannya sama dengan Presiden, namun ditambahkan syarat mampu bekerjasama sebagaimana diwajibkan oleh Pasal 2 ayat (1) aturan ini.
56
Saldi Isra, Perkembangan Pengisian Jabatan Presiden Di Bawah Undang-Undang Dasar 1945, pada:
htentangp://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=97:perkemba
yang salah satu butir tuntutannya adalah perubahan undang-udang dasar.57 Terkait pembahasannya sendiri, ketentuan pengusulan calon (Pengisian
Jabatan)58 Presiden dan Wakil Presiden, sejatinya telah dimulai semenjak
periode pertama perubahan undang-undang dasar, yakni pada tahun
1999,59 dan di periode kedua di tahun 2000,60 namun pada kedua periode
tersebut tidak tercapai kata sepakat atas usulan perubahan yang akan
disahkan.
Pada tahapan ketiga perubahan undang-undang dasar-lah beberapa
ketentuan Pasal 6A diakomodir untuk disahkan, khususnya terkait
ketentuan syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden, serta
pemilihan langsung oleh rakyat. Sementara terkait pemberhentian Presiden
maupun Wakil Presiden dan mekanismenya, larangan Presiden untuk
membubarkan serta membekukan DPR, Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya serta pemilihan
Wakil Presiden, dan kekuasaan Presiden dalam membuat perjanjian
internasional.61
Rumusan baru terkait dengan putaran kedua pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden, pelaksana tugas kepresidenan apabila Presiden dan
57
Gerakan Reformasi mengajukan 4 tuntutan, yakni (a) Amandemen UUD 1945, (b) Berantas praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), (c) Cabut paket 5 UU Politik yang dipandang menghambat perkembangan demokrasi, dan (d) Cabut Dwifungsi ABRI, sehingga dapat disimpulkan bahwa amandemen (perubahan) UUD 1945 merupakan salah satu karya langsung reformasi 1998.
58
Pada risalah sidang pembentukan UUD NRI 1945, digunakan istilah „pengisian masa
jabatan‟ sebagai pokok bahasan pembentukan Pasal 6A UUD NRI 1945, lebih lanjut dapat dilihat
pada : Naskah Komprehensif, Opt Cit, h. 219
Wakil Presiden berhalangan secara bersamaan, kekuasaan Presiden
menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain, dan pembentukan dewan pertimbangan Presiden, baru berhasil
disetujui MPR pada tahapan perubahan terakhir (keempat) UUD NRI
1945.62
Dalam pembahasan perubahan undang-undang dasar, khususnya
terkait tata cata pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, tidak terlepas
dari perdebatan awal, apakah sistem pemilihan yang dianut langsung atau
tidak langsung,63 selain itu, perdebatan yang muncul terkait ketentuan
Pemilihan Umum Presiden dan Wakilnya diwarnai pro kontra terkait
syarat personal seseorang untuk menjadi pimpinan Negara ini.64
Terkait prasyarat personal, secara original intent memang sengaja
diberikan kewenangan pada undang-undang untuk merincinya, hal ini
tergambar jelas dari perdebatan prasyarat personal calon Presiden maupun
Wakilnya sebagai berikut:
Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat memberian
usulan terhadap materi Pasal 6 undang-undang dasar, yakni:
Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima
kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri.65
62
Perubahan Pasal 6A Ayat (4), Pasal 8 Ayat (3), Pasal Pasal 11 Ayat (1), dan Pasal 16 UUD 1945
63
Dalam hal ini dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat ataupun melalui lembaga tersendiri yang dipilih melalui pemilu khusus.
64
Lihat Lihat, Ibid, h. 165
65Ibid,