IMPLIKATUR DALAM WACANA KAMPANYE POLITIK
PEMILIHAN CALON WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA
MEDAN PERIODE 2010 – 2015
SKRIPSI
OLEH
LIDI WATY SIANTURI NIM 060701020
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
IMPLIKATUR DALAM WACANA KAMPANYE POLITIK
PEMILIHAN CALON WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA
MEDAN PERIODE 2010 – 2015
OLEH
LIDI WATY SIANTURI NIM 060701020
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana dan
telah disetujui oleh
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Parlaungan Ritonga, M. Hum Drs. Asrul Siregar, M.Hum
NIP. 19610721 198803 1 001 NIP. 19590502 198601 1 001
Departemen Sastra Indonesia
Ketua
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya
orang yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada suatu
perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau
pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang tertulis
sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila
pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi
berupa pembatalan gelar kesarjanaan yang saya peroleh.
Medan, Mei 2011
IMPLIKATUR DALAM WACANA KAMPANYE POLITIK
PEMILIHAN CALON WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA MEDAN PERIODE 2010-2015
LIDI WATY SIANTURI ABSTRAK
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Bapa Maha Pengasih dan
Penyayang, atas kasih dan karunia-Nya yang tiada henti-hentinya kepada penulis
dalam mengerjakan skripsi ini dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menemui kesulitan, akan
tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak baik berupa dorongan
nasihat, dukungan moral, dan petunjuk praktis maka penulisan skripsi ini dapat
diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak
yang telah membantu penulisan ini, yaitu:
1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Ikhwanuddin Nasution, M.Si., selaku ketua Departemen
Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang
juga sebagai dosen pembimbing akademik (PA) penulis dari awal
perkuliahan sampai akhir penulisan skripsi ini dan telah banyak membantu
penulis.
3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, selaku Sekretaris Departemen Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum., selaku pembimbing I yang telah
banyak memberikan masukan dan saran kepada penulis, baik dalam
5. Bapak Drs. Asrul Siregar, M. Hum., selaku pembimbing II yang telah
banyak memberi dukungan dan membantu penulis dalam penyusunan
proposal hingga penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu staf pengajar Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang telah membekali penulis
dengan ilmu pengetahuan, baik dalam bidang linguistik, sastra maupun
bidang-bidang umum lainnya, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per
satu.
7. Kedua orang tua, ayahanda M. Sianturi, ibunda R. Simanullang, dengan
ini penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih setulus-tulusnya
dan juga buat saudara-saudaraku yang terkasih, kakak Mesia, bang Jetlan,
Handono, Erikson, Melri, Carlos, Damayanti, bang Roky, Roky, dan
Margareth, atas segala doa dan dorongan serta bantuan materi kepada
penulis yang tidak ternilai harganya.
8. Rekan-rekan angkatan’06 yang telah banyak memberi bantuan dan saran
khususnya Dewi, Monica, Meri, Lina, Vera, Vero, Fitri, Triana, Nelly,
Frenki, Marune, dan teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan
satu per satu.
9. Teman-teman satu kost Berdikari 106: kakak Nini, Dewi, Lina, Lensi, Adi,
Debora, Rohana, Yanna, Nelli, Lintong, kakak Berta, kakak Enong, Fera.
10.Teman seperjuanganku Dedew, Hennie, dan Monica. Tiada teman sebaik
kalian. Terima kasih buat semuanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari
kekurangan-kekurangan. Untuk itu dengan kerendahan hati penulis menerima segala
saran dan kritik yang dapat menyempurnakan isi skripsi ini. Terima kasih.
Medan, Mei 2011
Penulis,
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ……… ii
PRAKATA ………. iii
DAFTAR ISI ………. iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……….. 1
1.2 Masalah ………. 6
1.2.1 Batasan Masalah ……… 6
1.3 Tujuan ………... 7
1.4 Manfaat ………. 7
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ……….. 8
2.1.1 Konsep Implikatur ………. 8
2.1.2 Konsep Wacana Kampanye Politik ……….. 8
2.2 Landasan Teori ………. 9
2.2.1 Pragmatik ……….. 9
2.2.2 Implikatur ………. 10
2.2.3 Tindak Tutur ………. 13
2.2.4 Konteks ……… 16
2.3 Tinjauan Pustaka ………. 19
3.1.1 Lokasi Penelitian ………. 21
3.1.2 Waktu Penelitian ………. 21
3.2 Populasi dan Sampel ……….. 21
3.2.1 Populasi ………... 21
3.2.2 Sampel ………. 22
3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ……… 22
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ………. 23
BAB IV IMPLIKATUR DALAM WACANA KAMPANYE POLITIK PEMILIHAN CALON WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA MEDAN PERIODE 2010 – 2015 4.1 Bahan Analisis ……… 29
4.2 Analisis Implikatur dan Tindak Tutur ……… 32
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ………. 72
5.2 Saran ………... 73
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
IMPLIKATUR DALAM WACANA KAMPANYE POLITIK
PEMILIHAN CALON WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA MEDAN PERIODE 2010-2015
LIDI WATY SIANTURI ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Bahasa sebagai lambang bunyi yang arbitrer digunakan oleh masyarakat
untuk berhubungan dan bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri
(Harimurti Kridalaksana, 1994:24). Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai
peranan penting dalam interaksi manusia. Bahasa dapat digunakan manusia untuk
menyampaikan ide, gagasan, keinginan, perasaaan dan pengalamannya kepada
orang lain. Tanpa bahasa manusia akan lumpuh dalam komunikasi maupun
interaksi antara individu maupun kelompok. Dengan demikian, manusia tidak
dapat terlepas dari bahasa karena pentingnya fungsi bahasa dalam kehidupannya.
Bahasa merupakan alat pertukaran informasi. Namun, kadang-kadang
informasi yang dituturkan oleh komunikator memiliki maksud terselubung. Oleh
karena itu, setiap manusia harus memahami maksud dan makna tuturan yang
diucapkan oleh lawan tuturnya. Dalam hal ini tidak hanya sekedar mengerti apa
yang telah diujarkan oleh si penutur, tetapi juga konteks yang digunakan dalam
ujaran tersebut harus dipahami. Kegiatan semacam ini akan dapat dianalisis dan
dipelajari dengan pragmatik. Pragmatik merupakan subdisiplin linguistik
interdisipliner yang tidak hanya terbatas pada kerangka teori saja namun
merupakan ilmu yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pragmatik
cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa daripada bentuk atau
strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme
dapat diketahui dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan bahasa baik
secara lisan maupun tulisan yang berwujud tuturan.
Dalam kajian ilmu pragmatik juga dibahas tentang implikatur. Salah satu
aplikasi bahasa sebagai alat komunikasi adalah implikatur dalam wacana
kampanye politik. Implikatur adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan
sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Dilihat dari sudut
pandang pragmatik, dalam kampanye politik banyak implikatur di balik janji-janji
yang disampaikan kepada rakyat. Pada dasarnya wacana kampanye politik ini
lekat dengan situasi politik partai yang terkait dengan dukung- mendukung. Hal
ini dijumpai ketika adanya pemilihan umum baik pemilihan presiden dan
wakilnya, calon legislatif, dan pemilihan umum kepala daerah. Tahun 2010
memiliki arti penting bagi seluruh masyarakat Medan karena tahun tersebut
diadakan pemilihan umum calon walikota dan wakil walikota yang diadakan
tanggal 9 Juli 2010 yang diawali dengan kampanye yang sangat menarik.
Nama-nama pasangan calon Walikota dan wakil Walikota Medan yang terpilih adalah:
No. urut 1 pasangan Dr. H. Sjahrial R. Anas - Drs. H. Yahya Sumardi. No. urut 2
pasangan Sigit Pramono Asri, S.E. - Ir. Hj. Nurlisa Ginting, M.Sc. No. urut 3
pasangan Indra Sakti Harahap, S.T., M.Sc. - Dr. Delyuzar, S.P., PA(K). No. urut 4
pasangan H. Bahdin Nur Tanjung, S.E., M.M. - Drs. H. Kasim Siyo. No. urut 5
pasangan Drs. H. Joko Susilo - Amir Mirza Hutagalung, S.E. No. urut 6 pasangan
H. Rahudman Harahap - H. Djulmi Eldin. No. urut 7 pasangan Prof. Dr. H.M.
Arif Nasution, M.A. - H. Supratikno W.S., S.E. No. urut 8 pasangan Ir. H.
Shah - Dr. Ir. Binsar Situmorang, M.Si. No. urut 10 pasangan dr. Sofyan Tan -
Nelly Armayanti, S.P., M.Sp.
Perubahan sistem pemilihan yang ditetapkan melalui putusan Mahkamah
Konstitusi yang berbasis pada perolehan suara telah membuat para caleg
mengubah strategi. Sistem perolehan suara terbanyak mau tidak mau membawa
atmosfer kompetisi yang semakin ketat. Tidak hanya dengan partai lawan, tetapi
juga dengan rekan separtai kekuatan figur menjadi sangat penting. Salah satu cara
memperkenalkan figur tersebut melalui berbagai atribut kampanye yang dianggap
simbol reprentasi calon legislatif. Meskipun tidak memberikan pengaruh
signifikan, nyatanya baliho digunakan para caleg untuk mencitrakan dirinya
dengan menggunakan kata-kata atau gambar yang unik. Strategi berkomunikasi
untuk menyampaikan pesan dan menarik perhatian rakyat menjadi prioritas utama
bagi para juru kampanye.
Kajian implikatur dianggap penting karena terikat konteks untuk
menjelaskan maksud implisit dari tindak tutur penuturnya. Dengan demikian
praanggapan lawan tutur bermacam-macam bergantung pada referensi dan
pemahaman konteks yang dimilikinya untuk membuat inferensi terhadap
implikatur dari seseorang penutur. Untuk memahami bentuk-bentuk bahasa yang
implikatif perlu adanya pengkajian dan analisis yang mendalam. Selain itu, dalam
mengkaji dan menganalisis diperlukan kepekaan dengan konteks yang melingkupi
peristiwa kebahasaan itu, supaya maksud terselubung di balik wacana kampanye
politik benar-benar dimengerti oleh masyarakat.
Dengan melihat secara khusus teks-teks yang digunakan dalam wacana
bahasa dalam kampanye tersebut. Bahasa-bahasa dalam wacana kampanye politik
tersebut berdiri sebagai sesuatu yang harus dibaca dan dilihat. Kata-kata tersebut
memberi kita ide dan visi baru yang mempengaruhi cara berpikir kita. Untuk
dapat mempengaruhi pembaca, wacana kampanye politik biasanya ditampilkan
dengan suatu gaya pengungkapan yang khas. Kekhasan dari wacana kampanye itu
sangat menarik.
Dalam memahami implikatur dalam wacana kampanye politik pemilihan
calon Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010 - 2015 ini, pembaca
sangat terbantu dengan adanya ilustrasi gambar dengan berbagai karakter, ukuran
dan penguatan kata-kata. Kedudukan gambar cukup penting dalam menarik
perhatian khalayak karena lebih mudah diingat daripada kata-kata yang
mempunyai banyak maksud yang bisa digali di dalamnya. Dan salah satu
kekhasan gambar adalah sebagai alat ungkap pesan secara visual menawarkan
kesempatan luas untuk didayagunakan sebagai alat memperjelas pesan, mudah
dimengerti, menarik perhatian dalam rangka mengajak sesuatu maksud atau
gagasan kepada khalayak.
Dengan demikian, aspek desain komunikasi visual dalam rangkaian
wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota Medan
periode 2010-2015 merupakan upaya persuasif bersifat mengajak,
menginformasikan, menegaskan, dan menyuruh atau memerintah sedangkan
tujuannya adalah untuk mempengaruhi pembaca, merangsang perhatian,
menimbulkan tindakan, merangsang tindakan, supaya memilih sesuai dengan
Grice (1967 dalam Soemarmo, 1988:170) mengemukakan bahwa untuk
menggunakan bahasa secara efektif dan efisien diperlukan kaidah penggunaan
bahasa. Kaidah ini terdiri dari 2 pokok, yaitu: (1) prinsip koperatif yang
menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu
dengan memegang tujuan dari percakapan itu.” (2) empat maksim percakapan
yang terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan
maksim pelaksanaan. Beliau juga menyatakan apabila salah satu dari empat
maksim tersebut tidak dipatuhi berarti si pembaca bermaksud menyatakan sesuatu
di balik yang diucapkannya. Dengan demikian, ucapan tersebut mempunyai
implikatur karena mempunyai maksud di balik ucapan itu (Lubis, 1993: 74)
Wacana kampanye politik ini jelas mengandung implikatur dan hal ini
sangat menarik. Untuk menemukan implikatur yang terdapat pada suatu ujaran
dibutuhkan kaidah pertuturan. Kaidah tersebut terdiri dari: (1) penentuan makna
dasar dari ucapan itu, (2) penentuan implikaturnya yang terdiri dari penganutan
prinsip kooperatifnya, nilai evaluatifnya dan kemungkinan kesimpulannya
(Siregar, 1997:39)
Bentuk wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan Wakil
Walikota Medan periode 2010 - 2015 pada media luar ruang seperti baliho juga
tidak terlepas dari tindak tutur. Dalam menelaah implikatur harus benar-benar
disadari pentingnya konteks ucapan tuturan. Tuturan wacana kampanye politik
pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010 - 2015 memiliki
keunikan tersendiri dan sangat menarik untuk diteliti karena banyak pesan-pesan
mengangkat “Implikatur dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Walikota
dan Wakil Walikota Medan Periode 2010 - 2015” sebagai judul penelitian.
1.2Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun masalah yang dikaji dalam
penelitian ini adalah:
1. Implikatur apakah yang terdapat dalam wacana kampanye politik
pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010 - 2015?
2. Tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam Wacana Kampanye Politik
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010 - 2015?
1.2.1 Batasan Masalah
Suatu penelitian harus dibatasi supaya terarah dan tujuannya tercapai.
Ruang lingkup penelitian ini terbatas pada analisis pragmatik yang meliputi
implikatur dan tindak tutur yang terdapat dalam wacana kampanye politik
pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010 - 2015. Adapun
yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah wacana kampanye politik yang
penulis batasi hanya pada media cetak khususnya baliho sedangkan data yang
1.3Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan implikatur yang terdapat dalam Wacana Kampanye Politik
Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010 - 2015.
2. Menentukan dan menganalisis jenis-jenis tindak tutur dalam Wacana
Kampanye Politik Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Medan
Periode 2010 - 2015.
1.4Manfaat
Penelitian ini memiliki manfaat baik untuk diri peneliti sendiri maupun
orang lain. Adapun manfaat yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah :
1. Memberikan pengalaman tersendiri bagi peneliti dengan mengetahui
implikatur dalam wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan
Wakil Walikota Medan periode 2010 – 2015.
2. Menambah sumber bacaan, memperkaya ilmu pengetahuan dan dapat
digunakan sebagai bahan perbandingan kepada peneliti-peneliti lainnya
yang ingin menganalisis tentang implikatur dalam sebuah wacana
kampanye politik.
3. Memberikan sumbangan pikiran untuk pengajaran Pragmatik Indonesia,
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah: 1) rancangan atau buram surat, dsb; 2) ide atau pengertian
yang diabstrakkan dari peristiwa konkret: satu istilah dapat mengandung dua –
yang berbeda; 3) gambaran mental dari obyek, proses, atau apa pun yang ada di
luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (KBBI,
1988:546). Untuk memahami hal-hal yang ada dalam penelitian ini diperlukan
beberapa konsep, yaitu konsep implikatur dan konsep wacana kampanye politik.
2.1.1 Konsep Implikatur
Implikatur merupakan satu kajian bidang ilmu pragmatik. Implikatur
adalah ujaran atau pernyataan yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan
yang sebenarnya diucapkan atau dengan kata lain tuturan yang disampaikan itu
dicakup dalam dua bagian yaitu apa yang disampaikan (makna dasar) dan apa
yang diimplikasikan (makna lain/implikaturnya).
2.1.2 Konsep Wacana Kampanye Politik
Wacana adalah kesatuan tutur yang merupakan satuan bahasa terlengkap
yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh seperti novel, buku,
artikel, pidato atau kotbah (Alwi, dkk. 2003:1265). Wacana merupakan
kesatuan gramatikal. Kesatuannya dilihat dari kesatuan maknanya bukan dari
bentuknya (morfem, klausa, kata atau kalimat).
Kampanye politik merupakan proses menyampaikan pesan-pesan politik
yang salah satu fungsinya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat. Setiap
partai politik selalu berusaha menemukan cara-cara paling efektif untuk merekrut
massa sebanyak-banyaknya. Salah satu cara merekrut massa tersebut adalah
melalui pesan-pesan politik dari para kandidat. Pesan-pesan tersebut semakin
bervariasi baik bentuknya maupun media yang digunakan. Media iklanlah yang
paling banyak dipilih oleh para kandidat. Media iklan tersebut diantaranya media
cetak, media elektronik, dan media luar ruang seperti baliho, spanduk, poster, dll.
Cara memperkenalkan figur tersebut melalui berbagai atribut kampanye yang
dianggap sebagai simbol reprentasi caleg dengan menggunakan kata-kata atau
gambar yang unik untuk menarik perhatian masyarakat.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Pragmatik
Menurut Yule, pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari
tentang makna yang dikehendaki si penutur (dalam Cahyono, 1955:213). Dalam
pragmatik juga dilakukan kajian tentang deiksis, praanggapan, implikatur,
inferensi, tindak tutur, dan aspek-aspek struktur wacana (Levinson, 1983 dalam
Soemarmo, 1988:169).
Dalam penelitian ini, pembicaraan mengenai kajian pragmatik lebih
dibatasi pada implikatur tindak tutur yang merupakan bagian dari suatu tuturan
2.2.2 Implikatur
Menurut Gunpers (dalam Lubis, 1991:68), inferensi (implikatur) adalah
proses interpretasi yang ditentukan oleh situasi dan konteks. Selalu benar apa
yang dimaksud oleh si pembicara tidak sama dengan apa yang ditanggap oleh si
pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat atau sering juga
terjadi si pembicara mengulangi kembali ucapannya mungkin dengan cara atau
kalimat yang lain supaya dapat ditanggapi oleh si pendengar.
Hal yang memungkinkan berlangsungnya situasi percakapan seperti di atas
dikuasai oleh satu hukum atau kaidah pragmatik umum yang menurut H. Paul
Grice (1967 dalam Soemarmo, 1988:171) disebut kaidah penggunaan bahasa.
Kaidah ini mencakup peraturan tentang bagaimana percakapan dapat dilakukan
secara efektif dan efisien. Kaidah ini terdiri dari 2 pokok, yaitu: (1) prinsip
koperatif yang menyatakan “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya
percakapan itu dengan memegang tujuan dari percakapan itu.” (2) empat maksim
percakapan yang terdiri dari maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim
relevansi, dan maksim pelaksanaan.
Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan hal
yang sebenarnya. Konstribusi peserta percakapan hendaknya didasarkan pada
bukti-bukti yang memadai. Misalnya seseorang harus mengatakan bahwa
Indonesia adalah ibukota Jakarta, bukan kota-kota yang lain kecuali kalau
benar-benar tidak tahu. Akan tetapi, bila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada
Maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan
konstribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan
bicaranya.
Contoh:
(4) Tetangga saya hamil.
(5) Tetangga saya yang perempuan hamil.
Ujaran (4) di atas lebih ringkas, juga tidak menyimpang nilai kebenaran
(truth value). Setiap orang tentu mengetahui bahwa wanitalah yang mungkin
hamil. Dengan demikian, elemen yang perempuan dalam tuturan (5) sifatnya
berlebihan. Kata hamil dalam (4) sudah menyarankan tuturan itu. Kehadiran yang
perempuan dalam (5) justru menerangkan hal-hal yang sudah jelas. Hal ini
bertentangan dengan maksim kuantitas.
Maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan
konstribusi yang relevansi dengan masalah pembicaraan.
Contoh:
(6) + Ani, ada telepon untuk kamu.
- Saya lagi di belakang, Bu!
Jawaban (-) pada (6) di atas sipintas tidak berhubungan, tetapi bila diamati,
hubungan implikasionalnya dapat diterangkan. Jawaban (-) pada (6)
mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu. Fenomena
(6) mengisyaratkan bahwa fenomena relevansi tindak ucap peserta konstribusinya
tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa
Maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara
secara langsung, tidak takabur, tidak taksa, dan tidak belebihan serta runtut.
Contoh:
(7) + let’s stop and get something to eat!
- Okay, but not M-C-D-O-N-A-L-D-S!
Dalam (7) tokoh (-) menjawab ajakan (+) secara langsung, yakni dengan mengeja
satu per satu kata Mc Donalds penyimpangan ini dilakukan karena ia tidak
menginginkan anaknya yang sangat menggemari makanan itu mengetahui
maksudnya.
Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya
menganggap bahwa pembicaraanya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas.
Apabila terdapat tanda-tanda bahwa salah satu dasar atau maksim tersebut tidak
diikuti maka ucapan itu mempunyai implikatur (Siregar 1997:30)
Contoh:
A. Nasinya sudah masak. Implikaturnya adalah silakan dimakan.
B. Saya punya sepeda. Implikaturnya adalah sepeda saya boleh Anda pakai.
Kalimat-kalimat di atas mempunyai implikatur karena keduanya tidak
sesuai dengan maksim kuantitas (sesuatu yang jelas masih dinyatakan). Jadi,
pendengarnya harus memutuskan bahwa ada makna lain di balik ucapan itu dan
karena disetiap percakapan kita harus menganggap bahwa prinsip kooperatifnya
selalu diikuti maka tugas pendengarnya adalah menetapkan atau mengolah ucapan
itu untuk menentukan makna di baliknya dengan mempergunakan kaidah-kaidah
2.2.3 Tindak Tutur
Menurut Searle, (dalam Rani, 2004:158) komunikasi bahasa terdapat
tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang,
kata, atau kalimat, tetapi akan lebih tepat apabila disebut produk atau hasil dari
lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku atau tindak tutur. Lebih
tegasnya, tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat dalam kondisi
tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari komunikasi bahasa. Sebagaimana
komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah,
tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah.
Teori tindak tutur dikemukakan oleh John R. Searle (1983) dalam bukunya
Speech Acts: An Essay in the Philosophy of Language. Ia membagi praktik
penggunaan bahasa menjadi tiga macam tindak tutur, yaitu:
1. Tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu topik dengan satu keterangan
dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’ dengan ‘predikat’ atau
‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. Dalam tindak ini tidak
dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan si penutur,
tetapi bermaksud untuk memberi tahu petutur (dalam Lubis, 1991:9)
Contoh: Saya lapar, seseorang mengartikan Saya sebagai orang pertama
tunggal (si penutur), dan lapar mengacu ke ‘perut yang kosong dan perlu
diisi’, tanpa bermaksud untuk meminta makanan.
2. Tindak ‘ilokusi’ yaitu tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan
fungsi tertentu. Pada tindak tutur ini, penutur mengucapkan kalimat tidak
dimaksudkan untuk memberi tahu penutur saja, tetapi ada keinginan
Contoh: Saya lapar yang maksudnya adalah meminta makanan merupakan
suatu tindak ilokusi. Begitu juga kalimat “ Saya mohon bantuan Anda”
tidak hanya suatu pernyataan saja, tetapi maksudnya adalah si penutur
benar-benar meminta bantuan.
3. Tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang ditimbulkan oleh ungkapan
itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi pengucapan kalimat
itu (Nababan, 1989:18, dalam Lubis, 1993:9)
Contoh: dari kalimat Saya lapar yang dituturkan oleh si penutur
menimbulkan efek kepada pendengar yaitu dengan memberikan atau
menawarkan makanan kepada penutur.
Dalam ilmu bahasa dapat kita samakan tindak lokusi itu dengan
“predikasi”, tindak ilokusi dengan ‘maksud kalimat’ dan tindak perlokusi dengan
‘akibat suatu ungkapan’ atau dengan kata lain dapat kita katakan bahwa lokusi
adalah makna dasar atau referensi kalimat itu. Ilokusi sebagai daya yang
ditimbulkan oleh pemakainya sebagai perintah, ejekan, keluhan, pujian, dan
lain-lain. Perlokusi adalah hasil dari ucapan tersebut terhadap pendengarnya
Kalimat: Nilai raportmu bagus sekali!
Dari segi lokusi, ini hanya sebuah pernyataan bahwa nilai raport itu bagus (makna
dasar). Dari segi ilokusi, dapat berupa pujian atau ejekan. Pujian kalau nilai
raportnya memang bagus, dan ejekan kalau nilainya tidak bagus. Dari segi
perlokusi dapat membuat pendengar itu menjadi sedih (muram) dan sebaliknya
Ucapan yang tidak langsung itu tidak menyatakan pujian atau ejekan,
tetapi mengharuskan si pedengar mengolahnya sehingga makna yang sebenarnya
dapat ditentukannya.
Jadi, kalimat: nilai raportmu bagus sekali bermakna dasar sebuah raport
bernilai bagus. Prinsip kooperatifnya di sini dijalankan karena si pembicara
menyatakan sesuai dengan tujuan pembicara itu. Dari segi evaluatifnya dapat
dikatakan sebagai berikut: si pembicara menyatakan sesuatu dengan terang dan
jelas dan ini biasanya mempunyai makna di balik ujaran tersebut.
Dalam hal ini, konteks dan penuturnya memegang peranan untuk
menyatakan nilai evaluatifnya. Jika yang menyatakan itu adalah orang tua kepada
anaknya yang menunjukkan raportnya dan air muka orang tua itu tidak jernih,
maka jelas daya ilokusi pernyataan itu adalah kekesalan. Kesimpulan ini
menentukan bagaimana respon si pendengar atau anak yang mempunyai raport
tersebut. Ia mungkin akan menyatakan bahwa guru-gurunya tidak jujur atau juga
mungkin hanya merasa sedih atau mungkin juga dapat menangis atau ia
menyatakan akan berusaha sekuat mungkin. Dan inilah nilai perlokusi.
Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam
lima kategori, yakni:
1. Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan menyatakan,
mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat,
melaporkan.
2. Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek berupa
tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah,
3. Komisatif yaitu ilokusi yang terikat pada suatu tindakan di masa depan,
misalnya menjanjikan, menawarkan.
4. Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan
sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi,
misalnya mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi
maaf, mengecam, menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan
sebagainya.
5. Deklaratif yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan
hubungan, misalnya mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi
nama, menjatuhkan hukuman, mengucilkan atau membuang, mengangkat
(pegawai), dan sebagainya.
2.2.4 Konteks
Konteks berasal dari bahasa latin ‘contexere’ yang berarti ‘menjalin
bersama’. Kata konteks merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau
lingkungan yang berhubungan dengan dirinya, yang terjalin bersama.
Hymes (1972, dalam Chaer, 1995:62), sorang pakar linguistik terkenal
mengatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang
bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING.
Kedelapan komponen itu adalah:
1. S (Setting and Scane).
2. P (Participants).
5. K (Keys), mengacu pada nada, cara dan semangat dimana suatu pesan
disampaikan dengan senang hati, serius, mengejek, bergurau.
6. I (Instrumentalities).
7. N (Norm of interaction and interpretation), mengacu pada tingkah laku
yang khas dan sikap yang berkaitan dengan peristiwa tutur.
8. G (Genres), mengacu pada jenis penyampaian.
Setting berkenaan dengan tempat dan waktu tuturan berlangsung
sedangkan scane mengacu pada situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis
pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat
menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di lapangan
sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai
tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak
orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita boleh
berbicara keras-keras, tetapi di ruang perpustakaan harus seperlahan mungkin.
Participants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa
pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima
(pesan). Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara
dan pendengar, tetapi dalam khotbah di mesjid, khotib sebagai pembicara dan
jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan
sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan
menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda apabila berbicara dengan
orang tua atau gurunya bila dibandingkan kalau ia berbicara dengan teman
Ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang
terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara,
namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang
berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan terdakwa, pembela berusaha
membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha
memberikan keputusan yang adil. Dalam peristiwa tutur di ruang kajian linguistik,
dosen yang cantik itu berusaha menjelaskan materi kuliah agar dapat dipahami
mahasiswanya namun mungkin ada diantara para mahasiswa datang hanya untuk
memandang wajah ibu dosen yang cantik itu.
Act Sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran
ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan
apa hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk
ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah
berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Keys mengacu pada nada, cara dan semangat di mana suatu pesan
disampaikan: dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan
sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan
dengan gerak tubuh dan isyarat.
Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur
lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentatalities ini juga mengacu
pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, ragam dialek atau register.
Norms of interaction and interpretation mengacu pada norma atau aturan
bertanya dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran
dari lawan bicara.
Genres mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi,
pepatah, doa, dan sebagainya.
2.3 Tinjauan Pustaka
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan maka ada sejumlah sumber
yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Adapun sumber tersebut adalah
seperti berikut.
Wijana (2001) meneliti implikatur dalam wacana pojok. Dia
menyimpulkan tentang fakta bahwa sebuah tuturan khususnya tuturan yang
diutarakan untuk maksud mengritik, mengecam, memberikan cara-cara dengan
sopan, seperti halnya wacana pojok dikreasikan sedemikian rupa dengan
tuturan-tuturan yang berimplikatur. Dalam hal ini kajian pragmatik harus memberikan
kepastian konteks agar semakin sempit atau terbatas kemungkinan implikatur
yang dapat ditimbulkan oleh sebuah tuturan.
Dewana (2001), dalam skripsinya Pasangan Bersesuaian dalam Wacana
Persidangan (Analisis Implikatur Percakapan). Dia menyimpulkan tentang
penerapan prinsip kerja sama serta empat maksim percakapan pasangaan
bersesuaian yang terdapat pada analisis implikatur percakapan dalam wacana
persidangan adalah pola panggilan-jawaban, pola permintaan
pemersilahan-penerimaan, pola permintaan informasi-pemberian, pola penawaran-pemersilahan-penerimaan,
Anina (2006) meneliti tentang implikatur percakapan dalam wacana
humor berbahasa Indonesia. Dia menyimpulkan bahwa wacana humor berbahasa
Indonesia memilki karakteristik wujud lingual implikatur percakapan seperti
kalimat deklaratif, interogatif, imperatif. Selain itu, implikasi pragmatis implikatur
percakapan dalam wacana humor berbahasa Indonesia memiliki fungsi
menghibur, menyindir, memerintah, dan mengejek.
Dari uraian di atas, penelitian terhadap implikatur dalam wacana
khususnya wacana kampanye politik masih sedikit. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini akan diteliti bagaimana bentuk implikatur dalam Wacana
Kampanye Politik Pemilihan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota Medan
Periode 2010 - 2015 dan pesan-pesan apa yang tersirat di balik konteks yang
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian
Lokasi adalah letak atau tempat. Lokasi penelitian ini adalah sepanjang
pinggir jalan di kota Medan seperti Padang Bulan, Iskandar Muda, Gatot Sobroto,
Jln. Hayam Wuruk.
3.1.2 Waktu Penelitian
Pengumpulan data dalam penelitian wacana kampanye politik pemilihan
calon Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010-2015 dilakukan mulai
April 2010 - Juni 2010.
3.2 Populasi dan Sampel 3.2.1 Populasi
Populasi adalah sekelompok orang, benda atau hal yang menjadi sumber
pengambilan sampel; suatu kumpulan yang memenuhi syarat tertentu yang
berkaitan dengan masalah penelitian (Alwi, dkk. 2003:889). Yang menjadi
populasi dalam penelitian ini adalah wacana kampanye politik yang dimuat dalam
media massa cetak yaitu baliho yang terdapat di sepanjang pinggir jalan di kota
3.2.2 Sampel
Sampel adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukkan sifat suatu
kelompok yang lebih besar, bagian kecil yang mewakili kelompok atau
keseluruhan yang lebih besar; per contoh. Karena jumlah populasi di atas terlalu
besar maka pemilihan sampel dilakukan secara acak karena tidak mungkin
meneliti secara keseluruhan data yang ada, sehingga diambillah sebagian dari data
yang memiliki karakter yang sama untuk diteliti. Karakter yang dimaksud adalah
berupa wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota
Medan, periode 2010 - 2015, mempunyai program kerja, adanya ilustrasi gambar
disertai teks (tulisan), dimuat dalam media luar ruang seperti baliho serta adanya
konteks. Sesuai dengan kriteria yang ada terpilihlah sepuluh sampel dari
keseluruhan jumlah populasi.
3.3Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Data sangat diperlukan dalam penelitian untuk dianalisis. Oleh karena itu,
untuk memperoleh data penelitian ini penulis menggunakan metode simak.
Disebut metode simak atau penyimakan karena memang berupa penyimakan:
dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto,
1993:133). Metode ini digunakan karena penulis hanya menyimak pemakaian
bahasa wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota dan Wakil Walikota
Medan periode 2010 - 2015 yang terdapat pada media massa cetak seperti baliho.
Pada dasarnya, penyimakan itu diwujudkan dengan penyadapan. Kegiatan
libat cakap. Hal ini disebabkan penulis tidak terlibat dalam dialog, melainkan
penulis berkedudukan sebagai pemerhati bahasa. Kemudian penulis melanjutkan
dengan mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan data tersebut sebagai
penunjang keabsahan data tersebut. Pencatatan seperti ini dipandang sebagai
teknik lanjutan yang disebut ”teknik catat” (Sudaryanto 1993:136). Mengingat
objek penelitian ini adalah wacana kampanye politik pemilihan calon Walikota
dan Wakil Walikota Medan periode 2010 - 2015, maka penulis mengambil
contoh-contoh yang akan dijadikan data dalam penelitian ini dari media cetak
seperti baliho yang terpampang di sepanjang jalan kota Medan yang kemudian
dilakukan pemotretan untuk memperoleh gambarnya. Oleh sebab itu, data dalam
penelitian ini adalah data tulis.
3.4 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan penulis dalam upaya menemukan kaidah dalam
tahap analisis data adalah metode padan. Metode padan alat penentunya di luar,
terlepas dan tidak menjadi bagian dari bahasa (language) yang bersangkutan
(Sudaryanto, 1993:13). Teknik merupakan jabaran metode yang ditentukan oleh
alat yang dipakai. Fakta itu menunjukkan bahwa dalam berbicara tentang teknik ,
ihwal alat yang dipakai sangat penting untuk dibahas. Penulis sendiri
menggunakan teknik pilah unsur penentu atau teknik (PUP) sebagai teknik dasar
di dalam penelitian ini. Adapun alatnya adalah daya pilah yang bersifat mental
yang dimiliki oleh penelitinya (Sudaryanto, 1993:21). Sesuai dengan jenis
daya pilah itu dapat disebut daya pilah referensial. Teknik lanjutannya, penulis
menggunakan teknik hubung banding menyamakan (HBS).
Contoh:
Salah satu versi dari calon no. urut 2 pasangan Sigit Pramono Asri, S.E. – Ir. Hj.
Nurlisa Ginting, M.Sc.
Contoh data (2) dianalisis dengan menggunakan teori implikatur dan
tindak tutur yang dijadikan landasan teori pada penelitian ini. Tuturan data (2)
akan dianalisis sebagai berikut.
“BERSINAR”
BERSAMA SIGIT – NURLISA MEDAN SEJAHTERA INSYA ALLAH
KITA PASTI MAMPU!
Menentukan implikatur dalam data 2 digunakan kaidah pertuturan seperti
yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya
dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace
adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan
memegang tujuan dari percakapan itu.” Dalam wacana tersebut dituturkan bahwa
“Bersama Sigit – Nurlisa Medan sejahtera. Insya Allah kita pasti mampu. Mohon
doa dan dukungan menjadi Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010 - 2015”
dengan memegang tujuan dari tuturan tersebut yaitu mengajak
masyarakat/pembaca. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim
percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar, tuturan
tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan yang
dikemukakan Grace dapat diputuskan bahwa tuturan data 2 mengandung
implikatur karena terbukti melanggar dua dari empat maksim tersebut yaitu
maksim kualitas dan maksim pelaksanaan. Maksim kualitas mewajibkan setiap
peserta pertuturan mengatakan hal yang sebenarnya berdasarkan bukti-bukti yang
memadai. Tuturan data 2 tidak bersifat kooperatif karena tidak menuturkan hal
yang sebenarnya dan tidak dapat dipastikan kebenaran dari tuturan tersebut.
Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara
langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta
runtut. Tuturan data 2 tidak diungkapkan secara langsung dan mengandung
ketaksaan/ambigu karena dari tuturan tersebut dapat memunculkan dua
pemahaman yang berbeda apabila dikaji secara pragmatik sesuai dengan konteks
pada saat tuturan itu berlangsung. Teks data di atas diutarakan penuturnya tidak
sesuatu, tetapi tindak tutur data di atas adalah untuk memengaruhi lawan tuturnya.
Penafsiran yang pertama (merujuk pada makna dasarnya) yaitu bersama Sigit -
Nurlisa Medan sejahtera. Penafsiran yang kedua (implikasinya) adalah informasi
yang dituturkan itu merupakan suatu bentuk ajakan untuk memilih. Dengan kata
lain, penutur secara tidak langsung mengajak dengan cara mengarahkan
penawaran yang baik dalam ingatan masyarakat yakni Medan dibawah naungan
pasangan Sigit - Nurlisa mampu menciptakan Medan yang sejahtera dan mereka
menyakinkan hal tersebut kepada masyarakat. Dengan demikian, tuturan data di
atas tidak menganut prinsip kooperatif.
Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan
nilai evaluatif data 2 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Konteks
merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang atau lingkungan yang
berhubungan dengan diri yang terjalin bersamanya. Situasi yang digambarkan
dalam data 2 lekat dengan suasana pemilihan partai politik yang terkait dengan
dukung-mendukung yang memperebutkan satu kursi calon Walikota dan Wakil
Walikota Medan periode 2010-2015.
Austin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara
bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu: (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu
topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’
dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) tindak ‘ilokusi’
yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan
sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang
ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi
pengucapan kalimat itu.
Demikian pula halnya dengan data 2, dalam tuturan ini telah terjadi secara
serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin.
Lokusinya adalah “Bersama Sigit – Nurlisa Medan sejahtera, Insya Allah kita
pasti mampu. Mohon doa dan dukungan menjadi Walikota dan Wakil Walikota.”
Secara kultural, tuturan data 2 mempunyai daya ilokusi yaitu memberi janji dan
mengajak. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan memberikan janji
dan mengajak, daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari masyarakat
untuk memilih calon yang dapat mewujudkan Medan sejahtera. Dengan demikian,
setelah membaca tuturan data 2 pembaca akan menyadari dan akan lebih
bertindak hati-hati dalam menentukan hak suaranya dalam pemilihan nantinya,
yaitu memilih pasangan calon yang mampu mewujudkan Medan sejahtera.
Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam
lima kategori, yakni: (1) Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan
menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat,
melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek
berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah,
memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisatif yaitu ilokusi yang terikat
pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan.
(4) Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan
sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya
mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam,
yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya
mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat
dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 2 mencakup
kelima tindak ilokusi di atas karena tuturan tersebut merujuk kepada sebuah
tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif), yaitu bersama Sigit
- Nurlisa Medan sejahtera. Memerintah/menasihati (direktif), yaitu mohon doa
dan restu untuk menjadi Walikota dan Wakil Walikota Medan periode 2010 –
2015. Menjanjikan, menawarkan atau suatu tindakan yang terikat di masa depan
(komisatif), yaitu bersama Sigit - Nurlisa Medan sejahtera. Insya Allah kita
mampu. Mengungkapkan atau mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap
keadaan yang tersirat dalam ilokusi (ekspresif), yaitu mewujudkan kehidupan
yang sejahtera bagi masyarakat Medan. Menggambarkan perubahan dalam suatu
keadaan hubungan (deklaratif), yaitu member perubahan terhadap kota Medan
menjadi lebih sejahtera.
Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data 2 memiliki
BAB IV
IMPLIKATUR DALAM WACANA KAMPANYE POLITIK PEMILIHAN CALON WALIKOTA DAN WAKIL WALIKOTA MEDAN
PERIODE 2010 -2015
4.1 Bahan Analisis
Seperti telah diuraikan di atas bahwa baliho yang dijadikan sebagai sampel
penelitian ada sepuluh buah wacana. Adapun kesepuluh wacana tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Wujudkan….Medan Sehat
Dalam Semua Bidang
Dengan kerukunan dan kebersamaan
Pilihanku: 1
Dr. H.Sjahrial R. Anas – Drs. H. Yahya Sumardi
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan Periode 2010 – 2015
2. BERSINAR
Bersama Sigit-Nurlisa Medan Sejahtera
Insya Allah
Kita Mampu!
Sigit Pramono Asri, S.E. – Ir. Hj. Nurlisa Ginting M.Sc.
Mohon Do’a dan dukungan menjadi Walikota dan Wakil Walikota Medan
Periode 2010 – 2015
Percayalah……..BESINAR calon terbaik
- Politisi dan birokrasi yang bersih, tegas dan professional
- Untuk KTP berasuransi dan pendidikan gratis
- Untuk Medan yang lebih terarah dan rapi
3. Kita Peduli
Indra Sakti Harahap, S.T., M.Si. – Delyuzar, S.P. P.A. (k)
Membangun Kota Medan Berjaya dan Berkeadilan Calon Walikota dan
Wakil Walikota Medan Periode 2010 – 2015
4. Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010 - 2015
Bergandeng Tangan Membangun Medan
Bahdin – Kasim Siyo
Program Prioritas:
- Pendidikan bermutu dan bebas biaya sampai tingkat SMU
- KTP tanpa biaya
- Berobat gratis tanpa surat miskin cukup dengan KTP atau kartu
keluarga
- Perbaikan ekonomi pedagang kecil dan menengah
5. Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010 - 2015
Mohon doa agar diberi kekuatan dan kemudahan
Ayo coblos No. 5 Pasti satu putaran
Drs. H. Joko Susilo – Amir Mirza Hutagalung, S.E.
Independen dipilih oleh masyarakat kota Medan
Profesional Amanah Sosial Tanggap Intelektual
Bersatu Membangun kota Medan Metropolitan yang aman, tertib dan
sejahtera
Siap bekerja melayani masyarakyat kota Medan
H. Rahudman Harahap – H. Djulkmi Eldin
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010 - 2015
7. Sudah Saatnya……
Beriktiar bersama untuk Medan lebih sejahtera dan bermartabat
Coblos No. 7
Prof. DR. H. M. Arif Nasution, M.A. – H. Supratikno W.S., S.E.
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010 - 2015
8. Ir. H. Maulana Pohan, M.M. – H. Ahmad Arif, S.E., M.M.
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan Periode 2010 - 2015
Mari…………
Benahi Medan Perbaiki Citra
Lanjutkan yang tertunda
9. Ajib – Binsar
Bersatu untuk Medan
H. Arif Shah – Dr. Ir. Binsar Situmorang, M. Si.
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan Periode 2010 - 2015
10.Maju 10…
Menuju ke arah perbaikan
Dr. Sofyan Tan - Nelly Armayanti, S.P., M.Sp
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan Periode 2010 - 2015
4.2 Analisis Implikatur dan Tindak Tutur dalam Wacana Kampanye Politik Pemilihan Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan Periode 2010 – 2015.
Setelah data terkumpul, tuturan dalam wacana akan dianalisis melalui
kaidah pertuturan yang dikemukakan Grace, yaitu menentukan implikatur yang
terdiri dari penganutan prinsip koperatifnya dan empat maksim percakapan serta
menentukan tindak tutur apa yang terdapat dalam tuturan tersebut.
Contoh 1, wacana 1
1. Wujudkan….Medan Sehat Dalam Semua Bidang
Dengan kerukunan dan kebersamaan Pilihanku: 1
Menentukan implikatur dalam data 1 digunakan kaidah pertuturan seperti
yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya
dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace
Medan harus diwujudkan dalam semua bidang dengan kerukunan dan
kebersamaan. Tujuan dasar dari percakapan itu adalah untuk mengajak
masyarakat/pembaca agar memilih pasangan tersebut sebagai Walikota dan Wakil
Walikota Medan. Kemudian dilanjutkan dengan penganutan empat maksim
percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim tersebut dilanggar maka
tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat maksim percakapan
yang dikemukakan Grace, dapat diputuskan bahwa tuturan data 1 mengandung
implikatur karena terbukti melanggar satu dari empat maksim tersebut yaitu
maksim pelaksanaan. Maksim pelaksanaan mewajibkan setiap peserta pertuturan
berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak
berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan data 1 tidak diungkapkan secara langsung,
sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuturan tersebut mengandung makna
lain dari makna dasarnya atau mengandung unsur ketaksaan/ambigu. Oleh karena
itu, ketika membaca teks wacana tersebut muncul dua pemahaman yang berbeda
apabila salah satunya dikaitkan dengan konteks yang ada dan dikaji secara
pragmatik. Tuturan data di atas diutarakan penuturnya tidak semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, tetapi tindak
tutur data di atas untuk memengaruhi lawan tuturnya. Penafsiran yang pertama,
jika dikaitkan dengan makna dasarnya adalah sebuah pernyataan, yaitu wujudkan
Medan dalam semua bidang dengan kerukunan dan kebersamaan, pilihanku
nomor satu. Penafsiran kedua, jika dikaitkan dengan konteks pada saat si penutur
menuturkan teks tersebut adalah suatu bentuk ajakan atau himbauan kepada
masyarakat supaya ikut berpartisipasi memilih pasangan tersebut sebagai
simpatik pembaca dengan kalimat yang menarik dan menyelipkan keinginan di
balik tuturan itu dengan menggunakan kata-kata wujudkan Medan sehat dalam
semua bidang dengan kerukunan dan kebersamaan, pilihanku nomor satu.
Dengan demikian, tuturan data di atas tidak menganut prinsip kooperatif.
Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan
nilai evaluatif data 1 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Konteks
merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang
berhubungan dengan diri yang terjalin bersamanya. Situasi yang digambarkan
dalam data 1 lekat dengan suasana pemilihan partai politik yang terkait dengan
dukung-mendukung yang memperebutkan satu kursi calon Walikota dan Wakil
Walikota Medan periode 2010-2015.
Austin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara
bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu: (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu
topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’
dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) tindak ‘ilokusi’
yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan
sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang
mewujudkan suatu ungkapan. Dan (3) tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek
yang ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan
kondisi pengucapan kalimat itu.
Demikian pula halnya dengan data 1, dalam tuturan ini telah terjadi secara
serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin.
ilokusi yaitu memberi janji dan mengajak. Oleh sebab itu, apabila daya ilokusinya
memberikan janji dan mengajak, perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari
masyarakat untuk memilih calon yang dapat bekerja sama dengan mereka untuk
mewujudkan Medan sehat dalam semua bidang. Dengan demikian, setelah
membaca tuturan data1 pembaca akan menyadari dan akan lebih bertindak
hati-hati dalam menentukan hak suaranya dalam pemilihan nantinya, yaitu memilih
pasangan calon yang tekun dan mampu mempunyai hubungan atau kerja sama
yang baik dengan sesamanya, baik walikota dengan atasannya, dengan wakilnya,
dengan bawahannya, khususnya dengan masyarakat..
Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud ke dalam
lima kategori, yakni: (1) Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan
menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat,
melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek
berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah,
memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisatif yaitu ilokusi yang terikat
pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan.
(4) Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan
sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya
mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam,
menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan sebagainya. (5) Deklaratif
yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya
mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat
dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 1 mencakup
kelima tindak ilokusi di atas karena tuturan tersebut merujuk kepada sebuah
tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif) yaitu dalam
mewujudkan Medan yang sehat dalam semua bidang sangat dibutuhkan sikap
kerja sama yang baik dan sikap kepedulian terhadap sesama tanpa memandang
suku, agama, dan ras. Memerintah atau menasihati (direktif), yaitu Medan harus
diwujudkan menjadi kota yang sehat dalam semua bidang dengan kerukunan dan
kebersamaan. Menjanjikan, menawarkan atau suatu tindakan yang terikat di masa
depan (komisatif), yaitu bersama pasangan calon akan mewujudkan Medan sehat
dalam semua bidang dengan kerukunan dan kebersamaan. Mengungkapkan atau
mengutarakan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam
ilokusi (ekspresif), dan menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan
hubungan (deklaratif), wujudkan Medan yang sehat dengan kerja sama yang baik.
Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data 1 memiliki
Contoh 3. Data 3
Kita Peduli
Indra Sakti Harahap, S.T., M.Si. – Delyuzar, S.P. P.A. (k) Membangun Kota Medan Berjaya dan Berkeadilan
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan Periode 2010 – 2015
Menentukan implikatur dalam data 3 digunakan kaidah pertuturan seperti
yang sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya
dan empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace
adalah “katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan
memegang tujuan dari percakapan itu”. Dalam wacana tersebut dituturkan “Kita
peduli membangun kota Medan berjaya dan berkeadilan“ dengan memegang
tujuan dari tuturan tersebut yaitu untuk mengajak masyarakat/pembaca. Kemudian
dilanjutkan dengan penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari
empat maksim tersebut dilanggar, maka tuturan tersebut memiliki implikatur.
Berdasarkan empat maksim percakapan yang dikemukakan Grace dapat
diputuskan bahwa tuturan data 3 mengandung implikatur karena terbukti
melanggar dua dari empat maksim tersebut yaitu maksim pelaksanaan dan
berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa atau ambigu, dan tidak
berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan data 3 tidak diungkapkan secara langsung
dan mengandung ketaksaan/ambigu karena dari tuturan tersebut dapat
memunculkan dua pemahaman yang berbeda apabila dikaji secara pragmatik
sesuai dengan konteks pada saat tuturan itu berlangsung. Kalimat-kalimat data di
atas diutarakan penuturnya tidak semata-mata untuk menginformasikan sesuatu
tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, tetapi tindak tutur data di atas bertujuan
untuk memengaruhi lawan tuturnya. Penafsiran yang pertama jika dikaitkan
dengan makna dasarnya dapat berupa pernyataan bahwa kita peduli membangun
kota Medan berjaya dan berkeadilan. Penafsiran yang kedua (implikasinya) adalah
pernyataan yang dituturkan itu merupakan suatu bentuk ajakan agar masyarakat
memilih pasangan tersebut. Hal ini terlihat pada kalimat “kita peduli”. Kalimat
tersebut acuannya bisa kepada kedua pasangan yang peduli terhadap kota Medan
dan dapat juga antara pasangan dengan masyarakat/pembaca yang peduli terhadap
kota Medan. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta percakapan mengatakan
hal yang sebenarnya. Konstribusi peserta percakapan di atas tidak didasarkan pada
bukti-bukti yang memadai karena pada kenyataannya belum dapat dilihat hasil
tuturan tersebut. Dengan demikian, tuturan data di atas tidak menganut prinsip
kooperatif.
Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan
nilai evaluatif data 3 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Konteks
merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang
dukung-mendukung yang memperebutkan satu kursi calon Walikota dan Wakil
Walikota Medan periode 2010 - 2015.
Austin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara
bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu: (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu
topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’
dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) tindak ‘ilokusi’
yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan
sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang
mewujudkan suatu ungkapan. (3) tindak ‘perlokusi’ yaitu hasil atau efek yang
ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi
pengucapan kalimat itu.
Demikian pula halnya dengan data 3, dalam tuturan ini telah terjadi secara
serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin.
Lokusinya adalah kita peduli membangun kota Medan berjaya dan berkeadilan.
Secara kultural, tuturan data 3 mempunyai daya ilokusi yaitu memberi janji. Oleh
sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan memberikan janji maka daya
perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari masyarakat untuk memilih calon
yang dapat bekerja sama dengan mereka. Dengan demikian, setelah membaca
tuturan data 3, pembaca akan menyadari dan akan lebih bertindak hati-hati dalam
menentukan hak suaranya dalam pemilihan nantinya, yaitu memilih pasangan
calon yang tekun dan mampu mempunyai hubungan atau kerja sama yang baik
dengan sesamanya, baik walikota dengan atasannya, dengan wakilnya, dengan
Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud kedalam
lima kategori, yakni: (1) Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan
menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat,
melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek
berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah,
memohon, menuntut, memberi nasihat. (3) Komisatif yaitu ilokusi yang terikat
pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan, menawarkan.
(4) Ekspresif yaitu ilokusi yang bertujuan mengungkapkan atau mengutarakan
sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi, misalnya
mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam,
menuduh, memuji, mengucapkan belasungkawa dan sebagainya. (5) Deklaratif
yaitu menggambarkan perubahan dalam suatu keadaan hubungan, misalnya
mengundurkan diri, membabtis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
mengucilkan atau membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
Berdasarkan lima kategori yang dikemukakan Searle tersebut, dapat
dikatakan bahwa implikatur yang terkandung dalam tuturan data 3 mencakup
kelima tindak ilokusi di atas karena tuturan tersebut merujuk kepada sebuah
tindakan untuk mengusulkan atau menyatakan (representatif), yaitu sifat
kepedulian sangat dibutuhkan untuk membangun Medan berjaya dan berkeadilan.
Memerintah/menasihati (direktif), yaitu “kita” yang maksudnya bisa mengarah
kepada penutur dan kepada pembaca, harus peduli membangun Medan berjaya
dan berkeadilan. Menjanjikan, menawarkan atau suatu tindakan yang terikat di
terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi (ekspresif), yaitu kita perduli
membangun kota Medan berjaya dan berkeadilan dan menggambarkan perubahan
dalam suatu keadaan hubungan (deklaratif), yaitu membangun kota Medan
dibutuhkan kepedulian dari sesama.
Jadi, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa data 3 memiliki
implikatur dan tindak tutur.
Contoh 4, wacana 4
Calon Walikota dan Wakil Walikota Medan 2010-2015 Bergandeng Tangan Membangun Medan
Bahdin – Kasim Siyo Program Prioritas:
- Pendidikan bermutu dan bebas biaya sampai tingkat SMU
- KTP tanpa biaya
- Berobat gratis tanpa surat miskin cukup dengan KTP atau kartu keluarga
Menentukan implikatur data 4 digunakan kaidah pertuturan seperti yang
sudah dijelaskan pada landasan teori yaitu penentuan prinsip kooperatifnya dan
empat maksim percakapan. Prinsip kooperatif yang dikemukakan Grace adalah
“katakan apa yang diperlukan pada saat terjadinya percakapan itu dengan
memegang tujuan dari percakapan itu.” Dalam wacana tersebut dituturkan bahwa
“Bergandeng tangan membangun Medan. Dengan program prioritas: pendidikan
bermutu dan bebas biaya sampai tingkat SMU, KTP tanpa biaya, berobat gratis
tanpa surat miskin cukup dengan KTP atau kartu keluarga, perbaikan ekonomi
pedagang kecil dan menengah “ dengan memegang tujuan dari tuturan tersebut
yaitu untuk mengajak masyarakat/pembaca. Kemudian dilanjutkan dengan
penganutan empat maksim percakapan. Apabila salah satu dari empat maksim
tersebut dilanggar maka tuturan tersebut memiliki implikatur. Berdasarkan empat
maksim percakapan yang dikemukakan Grace dapat diputuskan bahwa tuturan
data 4 mengandung implikatur karena terbukti melanggar dua dari empat maksim
tersebut yaitu maksim pelaksanaan dan maksim kualitas. Maksim pelaksanaan
mewajibkan setiap peserta pertuturan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak
taksa atau ambigu, dan tidak berlebih-lebihan serta runtut. Tuturan data 4 tidak
diungkapkan secara langsung dan mengandung ketaksaan/ambigu karena dari
tuturan tersebut dapat memunculkan dua pemahaman yang berbeda apabila dikaji
secara pragmatik sesuai dengan konteks pada saat tuturan itu berlangsung.
Tuturan data di atas diutarakan penuturnya tidak semata-mata untuk
menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, tetapi tindak
pernyataan yaitu bergandeng tangan membangun Medan. Penafsiran yang kedua
(implikasinya) adalah pernyataan yang dituturkan itu merupakan suatu bentuk
ajakan untuk memilih. Kata “bergandengan tangan berarti bersama-sama bekerja,”
kata tersebut acuannya bisa antara masyarakat dengan pasangan calon untuk
membangun Medan, dapat juga antara kedua pasangan calon yang secara
sama-sama membangun Medan. Maksim kualitas mewajibkan setiap peserta
percakapan mengatakan hal yang sebenarnya. Konstribusi peserta percakapan
tidak didasarkan pada bukti-bukti yang lengkap dan tuturan berupa prioritas
tersebut tidak dapat dibuktikan. Dengan demikian, tuturan data 4 di atas tidak
menganut prinsip kooperatif.
Langkah berikutnya adalah menentukan nilai evaluatifnya. Menentukan
nilai evaluatif data 4 dibutuhkan pengetahuan mengenai konteks. Konteks
merujuk pada keseluruhan situasi, latar belakang, atau lingkungan yang
berhubungan dengan diri yang terjalin bersamanya. Situasi yang digambarkan
dalam data 4 lekat dengan suasana pemilihan partai politik yang terkait dengan
dukung-mendukung yang memperebutkan satu kursi Calon Walikota dan Wakil
Walikota Medan periode 2010-2015.
Austin mengatakan bahwa ada tiga macam tindak tutur yang terjadi secara
bersamaan dalam sebuah tuturan, yaitu: (1) tindak ‘lokusi’ yang mengaitkan suatu
topik dengan satu keterangan dalam ungkapan, serupa dengan hubungan ‘pokok’
dengan ‘predikat’ atau ‘topik’ dan penjelasan dalam sintaksis. (2) tindak ‘ilokusi’
yaitu suatu pengucapan atau suatu pernyataan, tawaran, janji pernyataan, dan
sebagainya. Ini erat hubungannya dengan bentuk-bentuk kalimat yang
ditimbulkan oleh ungkapan itu pada pendengar sesuai dengan situasi dan kondisi
pengucapan kalimat itu.
Demikian pula halnya dengan data 4, dalam tuturan ini telah terjadi secara
serentak tiga macam tindak tutur seperti yang dikemukakan oleh Austin.
Lokusinya adalah bergandeng tangan membangun Medan. Secara kultural,
tuturan data 4 mempunyai daya ilokusi yaitu memberi janji dan mengajak. Oleh
sebab itu, apabila daya ilokusinya merupakan memberikan janji dan dapat juga
berupa ajakan maka daya perlokusinya adalah (seharusnya) kesadaran dari
masyarakat untuk memilih calon yang dapat dapat diajak bekerja sama dengan
mereka. Dengan demikian, setelah membaca tuturan data 4, pembaca akan
menyadari dan akan lebih bertindak hati-hati dalam menentukan hak suaranya
dalam pemilihan nantinya, yaitu memilih pasangan calon yang tekun dan mampu
mempunyai hubungan atau kerja sama yang baik dengan sesamanya, baik
walikota dengan atasannya, dengan wakilnya, dengan bawahannya, khususnya
dengan masyarakat.
Searle mengklasifikasikan tindak ilokusi berdasarkan maksud kedalam
lima kategori, yakni: (1) Representatif atau assertif yaitu ilokusi yang bertujuan
menyatakan, mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat,
melaporkan. (2) Direktif yaitu ilokusi yang bertujuan menghasilkan suatu efek
berupa tindakan yang dilakukan oleh penutur, misalnya memesan, memerintah,
memohon, menuntut, dan memberi nasihat. (3) Komisatif yaitu ilokusi yang
terikat pada suatu tindakan di masa depan, misalnya menjanjikan, dan