• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbandingan Pengaturan Upah Dan Pekerja Perempuan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbandingan Pengaturan Upah Dan Pekerja Perempuan Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Aedy, Hasan. 2007. Indahnya Ekonomi Islam. Bandung: Alfabeta.

Al-Qur’an. 2005. Sygma.

Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Aminah, Mia Siti. 2010. Muslimah Career. Yogyakarta: Pustaka Grhatama.

Dawabah, Asyraf Muhammad. 2009. Muslimah Karier. Jawa Timur: Mashun.

Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam. 2002. Islam untuk Disiplin Ilmu Ekonomi. Departemen Agama RI.

Farid, Mohammad (Editor). 1999. Perisai Perempuan. Yogyakarta: LBH APIK & Ford Foundation.

Hafidhuddin, Didin dan Hendri Tanjung. 2008. Sistem Penggajian Islami. Depok: Raih Asa Sukses.

Khakim, Abdul. 2006. Aspek Hukum Pengupahan. Bandung : PT Citra Aditya Bakti.

Muharam, Hidayat. 2006. Hukum Ketenagakerjaan serta Pelaksanaannya di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Qorashi, Baqir Sharief. 2007. Keringat Buruh. Jakarta: Al-Huda.

(2)

Soejono dan Abdurrahman. 2003. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Aida Milasari, Hak-hak Pekerja,

“Buruh dalam Islam”, (http://fadlyrahman.wordpress.com /2009/11/09/buruh-dalam-islam/,diakses 15 Agustus 2010).

Hadi Muttaqin Hasyim, Penggajian dalam Islam,

John C. Reinard, “Penelitian Kualitatif”,

John W. Creswell, “Penelitian kuantitatif”,

(3)

Taufik, Wanita Bekerja dalam Pandangan Islam,

Peraturan Perundang-undangan

11. Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

12. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

13. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women);

14. Undang-Undang Nomor 80 Tahun 1957 tentang Persetujuan Konvensi ILO Nomor 100 mengenai Pengupahan bagi Laki-laki dan Wanita untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya;

15. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1999 tentang Pengesahan ILO Convention Nomor 111 Concerning Discrimination in Respect of Employment and Occupation (Konvensi ILO mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan);

(4)

17. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum;

18. Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Kep. 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur;

(5)

BAB III

PENGATURAN UPAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 13 TAHUN 2003

A. Upah menurut Hukum Islam

1. Besar Upah yang Harus Diterima oleh Pekerja

Dalam Islam, besaran upah ditetapkan oleh kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Kedua belah pihak memiliki kebebasan untuk menetapkan jumlah upah, serta bebas menetapkan syarat dan cara pembayaran upah tersebut. Asalkan saling rela dan tidak merugikan salah satu pihak.39

Tingkat upah minimum dalam Islam harus cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar pekerja yaitu pangan, sandang, dan papan. Sadeq (1989) menjelaskan bahwa ada dua faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan upah, yaitu faktor primer dan faktor sekunder. Faktor primer adalah kebutuhan dasar, beban kerja dan kondisi pekerjaan. Faktor sekunder adalah memperlakukan pekerja sebagai saudara.40

Pada dewasa ini yang menonjol adalah faktor primer, sedangkan faktor sekunder tidak dijumpai. Hal ini menjadikan pengusaha dan pekerja berada pada

39

Hadi Muttaqin Hasyim, Penggajian dalam Islam,

2010).

40

(6)

dua pihak yang saling berlawanan, sehingga timbulah hubungan konflik di antara keduanya.

Perhitungan besaran upah menurut Islam, yaitu sebagai berikut:41

a. Prinsip adil dan layak dalam penentuan besaran upah.

b. Manajemen perusahaan secara terbuka dan jujur serta memahami kondisi internal dan situasi eksternal kebutuhan karyawan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan.

c. Manajemen perusahaan perlu melakukan perhitungan maksimisasi besaran gaji yang sebanding dengan besaran nishab zakat.

d. Manajemen perusahaan perlu melakukan revisi perhitungan besaran gaji baik di saat perusahaan menghasilkan laba maupun kerugian, dan mengkomunikasikannya kepada buruh/ pekerja.

Islam sangat menginginkan upah pekerja diberikan secara adil. Karena itulah Islam menetapkan pilihan untuk membatalkan akad (perjanjian) apabila jelas bahwa seorang pekerja ditipu dalam hal upahnya. Demikianlah hal-hal yang dihargai agar pekerja tidak sampai mengalami perlakuan zalim atau tindakan sewenang-wenang dalam bentuk apapun. Layak berhubungan dengan besaran upah yang diterima oleh pekerja. Kelayakan upah yang diterima oleh pekerja dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu pangan (makanan), sandang (pakaian), dan papan (tempat tinggal).42

41

Ibid, hlm. 83. 42

(7)

Manajemen perusahaan perlu melakukan konsep upah minimum dengan konsep “nishab zakat” sebagai upah minimum. Artinya, jika nishab zakat disesuaikan dengan harga 85 gram emas dalam setahun, maka dalam sebulan batas upah minimum adalah 85/12 = 7,083 gram emas. Jika harga rata-rata satu gram emas sebesar Rp 198.000,00 maka upah minimum untuk satu bulan adalah 7,083 x Rp 198.000,00 = Rp 1.408.100,00. Dengan asumsi kondisi harga emas stabil.43

Islam juga menetapkan konsep upah tertinggi dalam membayar para pekerja. Artinya, pekerja tidak boleh meminta bayaran atas pekerjaannya di luar batas kemampuan perusahaan untuk membayarnya.

Dalam Islam, upah yang telah ditetapkan sebelumnya di dalam akad dapat direvisi oleh manajemen perusahaan, baik pada saat mengalami laba ataupun rugi. Namun, revisi tersebut haruslah terlebih dahulu dibicarakan dengan pekerja.

44

Jika terjadi maka hal ini juga melanggar konsep keadilan dalam pengupahan atau penggajian. Jangan sampai karena mengharapkan bayaran yang tinggi akhirnya menzhalimi perusahaan. Meminta bayaran yang tinggi kepada perusahaan yang tidak mampu membayaranya juga merupakan suatu kezaliman.45

Qardhawi menyatakan, “tidak boleh juga bagi pekerja untuk menuntut upah di atas haknya dan di atas kemampuan pengguna jasanya (perusahaan)

43

Ibid, hlm. 79. 44

Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, op. cit. hlm. 81. 45

(8)

melalui tekanan dengan cara aksi mogok kerja, rekayasa organisasi buruh, atau cara-cara lainnya”.46

46

Ibid, hlm. loc. cit.

Konsep ini menekankan hal yang sangat penting pada kondisi sekarang ini. Pengusaha diminta untuk mencukupi kebutuhan karyawannya, tetapi di pihak lain, pekerja diminta untuk tidak meminta bayaran yang tinggi hingga pengusaha tidak mampu membayarnya.

Dalam hal ini, Islam telah meletakkan dasar-dasar untuk melindungi hak-hak para pengusaha dan pekerja. Apabila pengusaha menyadari sepenuhnya tentang kewajiban mereka kepada para pekerja maka kemungkinan besar mereka akan membayar pekerja mereka dengan upah yang cukup untuk menutupi kebutuhan pokok. Hal ini terjadi jika mereka betul-betul beriman dan mengharap ridha Allah swt dalam pengabdiannya kepada kemanusiaan.

Perbedaan mengenai besarnya upah juga ada diatur dalam Islam. Berikut firman Allah swt mengenai perbedaan upah pekerja.

“Dan setiap orang memperoleh tingkatan sesuai dengan apa

yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan

balasan perbuatan mereka, dan mereka tidak dirugikan.” (Al-Ahqaf: 19).

“…Dan kamu tidak akan diberi balasan, kecuali sesuai dengan

(9)

“Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah

diusahakannya.” (An-Najm: 39).

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa pekerjaan seseorang akan dibalas menurut berat pekerjaannya. Maududi menjelaskan bahwa kebijakan upah diperbolehkan untuk pekerjaan yang berbeda47

2. Kewajiban Membayar Upah

. Islam menghargai keahlian dan pengalaman.

Pengusaha berkewajiban membayar upah kepada buruh yang telah selesai melaksanakan pekerjaannya. Entah itu secara harian, mingguan, bulanan, ataupun lainnya. Islam menganjurkan untuk mempercepat pembayaran upah, jangan ditunda-tunda. Rasulullah bersabda:

“Berikanlah upah orang upahan sebelum kering keringatnya.”

(HR. Ibnu Majah dan Imam Thabrani).48

Dalam Islam, keterlambatan pembayaran upah secara sewenang-wenang kepada pekerja dilarang, kecuali keterlambatan tersebut ada diatur dalam akad (perjanjian). Begitu juga dengan penangguhan pembayaran upah oleh pengusaha,

Memperlambat pembayaran upah dapat menyebabkan penderitaan besar bagi para pekerja.

47

Ibid, hlm. 35 48

(10)

harus terlebih dahulu diatur dalam akad. Jika tidak diatur maka pengusaha wajib membayar upah pekerja setelah menyelesaikan pekerjaannya.49

Sebenarnya menurut Islam, majikan tidak boleh mengingkari waktu pembayaran upah yang telah disepakati. Jika ditunda, hal itu menjadi hutang majikan kepada pekerja sebesar jumlah upah yang ditunda tersebut. Setelah pekerja melunasi pekerjaan dengan persyaratan pekerjaan itu, majikan haruslah menepati janjinya.50

Surat di atas merupakan jaminan bahwa upah kerjanya akan dibayar sesuai dengan akad yang telah disepakati bersama. Tidak saja upah pekerja itu harus dibayar secara adil, tetapi pelaksanaan pembayarannya juga tidak boleh ditunda, harus sesuai dengan kelaziman pembayaran upah yang berlaku atau sesuai dengan akad yang ada.

Firman Allah swt:

“Dan janganlah kamu merugikan manusia dengan mengurangi

hak-haknya dan janganlah membuat kerusakan di bumi.” (Asy-Syu’ara: 183).

51

49

Hadi Muttaqin Hasyim, “Penggajian Dalam Islam”,

Islam pun juga mengatur mengenai upah kerja lembur. Nabi Muhammad saw bersabda:

wordpress.com, 15 Agustus 2010.

50

Hadi Muttaqin Hasyim, “Penggajian Dalam Islam”, wordpress.com, 15 Agustus 2010.,

51

(11)

“Janganlah kamu membebani mereka (para pekerja) di luar

batas kemampuan mereka, maka jika harus demikian maka

bantulah mereka.” (HR. Muslim).52

Islam menyatakan bahwa pembayaran upah dapat dilakukan di tempat kerja atau di tempat lain yang dekat dengannya. Para pekerja tidak boleh dipersulit dan tidak boleh diharuskan pergi ke tempat yang jauh dari tempat kerjanya.

Dari hadist ini dapat diketahui bahwa Rasulullah saw memerintahkan bagi pengusaha yang menyuruh para pekerjanya untuk bekerja melebihi waktu yang seharusnya agar diberikan upah tambahan atau upah lembur.

53

3. Pembayaran Upah bagi Pekerja yang Tidak Bekerja

Menurut Ahmat Tabakoglu, dalam Islam pekerja harus tetap mendapatkan upah meskipun pekerja tidak bekerja yang disebabkan oleh kesalahan perusahaan. Misalnya tidak ada bahan baku, tidak ada listrik, dan lain-lain.54

B. Upah Menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Besar Upah yang Harus Diterima oleh Pekerja

52

Didin Hafidhuddin dan Hendri Tanjung, op.cit. hlm. 93. 53

Baqir Sharief Qorashi, op. cit. 251. 54

(12)

Setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yaitu mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/ buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.

Upah merupakan sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan diri si pekerja maupun keluarganya serta cerminan kepuasan kerja. Sementara bagi pengusaha melihat upah sebagai bagian dari biaya produksi, sehingga harus dioptimalkan penggunaannya dalam meningkatkan produktivitas dan etos kerja.

Pihak-pihak yang dapat menentukan upah adalah sebagai berikut:55

a. Buruh/ pekerja dan pengusaha, keduanya bersepakat dalam menentukan upah.

b. Serikat buruh. Ini dikarenakan mereka berkompeten dalam menentukan upah buruh/ pekerja bersama pengusaha, dengan syarat kaum buruh/ pekerja memberikan kewenangan kepada mereka untuk melakukannya.

c. Negara, namun disyaratkan dalam intervensinya Negara tidak menghilangkan hak-hak buruh/ pekerja maupun hak-hak pengusaha. Apabila upah telah ditentukan, maka buruh memiliki kemerdekaan penuh untuk menerima atau menolak tanpa adanya unsur paksaan.

Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara

pengusaha dan pekerja atau serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila

55

(13)

pengaturan tersebut lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, maka kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib membayar upah pekerja menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.56

Pencapaian kebutuhan hidup layak perlu dilakukan secara bertahap karena kebutuhan hidup minimum yang sangat ditentukan oleh tingkat kemampuan dunia usaha.

Upah minimum menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Sedikit berbeda dengan ajaran Islam yang memiliki prinsip adil dan layak dalam menentukan besaran upah.

57

1. Upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/ kota; Upah minimum dapat terdiri dari:

2. Upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/ kota.

Di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak ada diatur mengenai konsep upah tertinggi, hanya ada diatur mengenai upah pekerja yang tidak boleh lebih rendah dari upah minimum.

Namun, ada diatur mengenai perbedaan besaran upah. Pada Pasal 92 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa:

56Pasal 91 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

57

(14)

“Pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan

memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan

kompetensi”.

Penyusunan struktur dan skala upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan upah sehingga terdapat kepastian upah tiap pekerja serta untuk mengurangi kesenjangan antara upah terendah dan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan. Lebih lanjut mengenai pengaturan tentang struktur dan skala upah dapat dilihat pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP.49/MEN/2004 tentang Ketentuan Struktur dan Skala Upah.

2. Kewajiban Membayar Upah

Dalam Pasal 95 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga mengatur bahwa pengusaha yang terlambat membayar upah pekerja yang diakibatkan oleh kesengajaan atau kelalaian pengusaha, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja. Dan yang mengatur pengenaan denda tersebut adalah pemerintah (Pasal 95 ayat (3) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Pedoman pengenaan denda diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah, yaitu:

(15)

2. Setelah lewat hari kedelapan, maka menjadi 1% (satu persen) untuk tiap hari keterlambatan, dengan ketentuan bahwa tambahan itu untuk satu bulan dan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari upah yang seharusnya diterima buruh;

3. Jika melebihi satu bulan dan upah masih belum dibayar, maka selain denda pengusaha juga wajib membayar bunga yang ditetapkan oleh bunga bank untuk kredit perusahaan yang bersangkutan.

Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum dan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Pasal 90 ayat (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa:

“Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan

penangguhan.”

Penangguhan pelaksanaan upah minimum bagi perusahaan yang tidak mampu dimaksudkan untuk membebaskan perusahaan yang bersangkutan melaksanakan upah minimum yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Bila penangguhan tersebut berakhir, maka perusahaan yang bersangkutan wajib melaksanakan upah minimum yang berlaku pada saat itu, tetapi tidak wajib membayar pemenuhan ketentuan upah minimum yang berlaku pada waktu diberikan penangguhan.

(16)

KEP-231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum, yaitu:

1. Permohonan penangguhan diajukan oleh pengusaha kepada gubernur melalui instansi yang membidangi ketenagakerjaan provinsi, paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum.

2. Permohonan penangguhan didasarkan atas kesepakatan tertulis antara pengusaha dan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/ serikat buruh yang tercatat.

3. Permohonan penangguhan harus disertai dengan:

a. Naskah asli kesepakatan tertulis antara pengusaha dan serikat pekerja/ serikat buruh atau pekerja/ buruh perusahaan yang bersangkutan;

b. Laporan keuangan perusahaan yang terdiri dari neraca, perhitungan rugi/ laba beserta penjelasan-penjelasan untuk 2 (dua) tahun terakhir;

c. Salinan akta pendirian perusahaan;

d. Data upah menurut jabatan pekerja/ buruh;

e. Jumlah pekerja/ buruh seluruhnya dan jumlah pekerja/ buruh yang dimohonkan penangguhan pelaksanaan upah minimum;

(17)

4. Laporan keuangan untuk perusahaan berbadan hukum harus sudah diaudit oleh akuntan publik.

5. Berdasarkan permohonan penangguhan pelaksanaan upah minimum oleh pengusaha, apabila diperlukan gubernur dapat meminta akuntan publik untuk memeriksa keadaan keuangan guna pembuktian ketidakmampuan perusahaan.

6. Berdasarkan permohonan tersebut, gubernur menetapkan penolakan atau persetujuan penangguhan pelaksanaan upah minimum setelah menerima saran dan pertimbangan dari Dewan Pengupahan provinsi.

7. Persetujuan penangguhan ditetapkan oleh gubernur untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.

8. Penangguhan diberikan dalam bentuk:

a. Membayar upah minimum sesuai dengan upah minimum yang lama; atau

b. Membayar upah minimum lebih tinggi dari upah minimum yang lama, tetapi lebih rendah dari upah minimum baru; atau

c. Menaikkan upah minimum secara bertahap.

9. Setelah berakhirnya izin penangguhan, pengusaha wajib melaksanakan ketentuan upah minimum yang baru.

(18)

Dalam jangka waktu berakhhir dan belum ada keputusan dari gubernur, maka terhadap permohonan penangguhan yang telah memnuhi persyaratan

dianggap telah disetujui.

11. Selama permohonan penangguhan masih dalam proses penyelesaian, pengusaha tetap membayar upah sebesar upah yang biasa diterima pekerja/ buruh.

12. Apabila permohonan ditolak gubernur, pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja minimal sama dengan upah minimum yang berlaku terhitung mulai tanggal berlakunya ketentuan upah minimum yang baru.

Selain itu, pengusaha juga berkewajiban membayar upah lembur kepada pekerja. yang telah bekerja melebihi ketentuan waktu kerja yang telah disepakati atas permintaan pengusaha.

Upah kerja lembur adalah salah satu dari kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja yang tercantum dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Untuk pengaturan lebih lanjut, upah kerja lembur diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.

Di dalam Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur disebutkan bahwa, waktu kerja lembur adalah:

(19)

(satu) minggu atau 8 (delapan) jam sehari, dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan atau pada hari libur resmi yang ditetapkan Pemerintah.”

Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh melebihi waktu kerja, wajib membayar upah lembur (Pasal 4 ayat (1) Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-102/MEN/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur).

Upah yang merupakan hak pekerja harus dibayar di tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian atau peraturan perusahaan, jika tidak diatur maka pembayaran upah dilakukan di tempat pekerja biasa bekerja atau di kantor perusahaan.58

3. Pembayaran Upah bagi Pekerja yang Tidak Bekerja

Pada keadaan tertentu, pengusaha tetap berkewajiban membayar upah pekerja meskipun pekerja tidak melakukan pekerjaannya. Hal ini berlaku bagi:59

a. Pekerja/ buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

Upah yang dibayarkan kepada pekerja yang sakit adalah sebagai berikut.

1. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari upah;

58

Pasal 16 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah

59

(20)

2. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima persen) dari upah;

3. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari upah;

4. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima persen) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh pengusaha.

b. Pekerja perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan (dengan ketentuan harus memberitahukan kepada pengusaha);

c. Pekerja/ buruh tidak masuk kerja karena pekerja/ buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

Upah yang dibayarkan adalah sebagai berikut.

1. Pekerja menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;

2. Menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

3. Mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

4. Membaptiskan anaknya, dibayar selama 2 (dua) hari;

5. Isteri melahirkan atau keguguran, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;

(21)

7. Anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia dibayar selama 1 (satu) hari.

d. Pekerja/ buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap Negara;

e. Pekerja/ buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

f. Pekerja/ buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. Pekerja/ buruh melaksanakan hak istirahat (tidak termasuk pada hari libur resmi);

h. Pekerja/ buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/ serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan

i. Pekerja/ buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Kewajiban pembayaran upah bagi pekerja yang tidak melakukan pekerjaannya seperti yang tersebut di atas diatur dalam Pasal 93 ayat (2), (3), dan (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

(22)

lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).60

60

(23)

BAB IV

KONSEP PEKERJA PEREMPUAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

A. Konsekuensi Pekerja Perempuan dalam Kehidupan Rumah Tangga

Perempuan adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan bertanggung jawab atas suami dan anak yang dipimpinnya. Perempuan adalah perempuan karir dalam rumah tangganya yang mengatur dan mengelola segala urusan rumah tangga.61

Jika nafkah diwajibkan kepada laki-laki, maka ini tidak menghalangi seorang perempuan untuk bekerja menghasilkan uang, dengan syarat dia tidak berbuat zalim kepada suami dan anaknya. Seorang pekerja perempuan harus dapat menyesuaikan antara kerja dan kewajiban rumah tangganya. Kerja tidak boleh mengalahkan kewajibannya melaksanakan urusan rumah, kebutuhan-kebutuhan keluarga, merawat suami dan anaknya.

Dalam Islam, suami bertanggung jawab atas nafkah istrinya. Menafkahi merupakan bagian dari kewajiban seorang suami dan salah satu hak istri atas suami. Wajib bagi suami untuk menafkahi istrinya dengan memberinya makanan, minuman, dan pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya yang dapat mencukupi kehidupannya dengan kebiasaan manusia di sekitarnya tanpa melampaui batas atau kurang dari sewajarnya.

61

(24)

Alasan kenapa perempuan bekerja sudah pernah diterangkan dalam bab sebelumnya. Namun bagaimana konsekuensinya dalam kehidupan rumah tangga jika perempuan bekerja?

Kecenderungan untuk bekerja di luar rumah jelas akan membawa konsekuensi sekaligus berbagai implikasi sosial, antara lain meningkatnya kanakalan remaja akibat kurangnya perhatian orang tua, makin longgarnya nilai-nilai ikatan perkawinan/ keluarga dan lain-lain. Hal-hal ini lebih sering diasosiasikan sebagai akibat dari semakin banyaknya ibu rumah tangga bekerja di luar rumah, terutama di perkotaan. Permasalahan akan menjadi semakin rumit, bila ibu rumah tangga yang bekerja di luar rumah dalam jangka waktu yang relatif lama (baik di kota lain atau di luar negeri). Dengan kata lain ibu rumah tangga harus tinggal di kota lain dan berpisah dengan keluarganya dalam kurun waktu lama. Yang berarti itensitas pertemuan dengan keluarga menjadi jauh berkurang dan secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keharmonisan dalam keluarga.62

B. Pekerja Perempuan Menurut Hukum Islam

1. Hak-hak Pekerja Perempuan

62

Ratna P. Tjaja, “Wanita Bekerja dan Implikasi Sosial”, http://docs.google.com/

(25)

Islam menetapkan hak-hak yang menjamin kehidupan yang baik dan mulia bagi pekerja perempuan. Berikut hak-hak pekerja perempuan menurut Islam.63

1. Perjanjian kerja yang jelas secara lisan maupun tulisan, transparan, dan berkeadilan tentang jenis pekerjaan, ketentuan upah dan jaminan-jaminan sosial lainnya;

2. Persamaan martabat pekerjaan terhadap pekerja perempuan, tidak merendahkan martabat pekerja perempuan;

3. Pekerja perempuan tidak diperbolehkan bekerja yang tidak sesuai dan diluar batas kemampuan. Harus diberikan pekerjaan yang layak dan cocok bagi pekerja perempuan;

4. Biaya pengobatan yang layak apabila terjadi kecelakaan kerja;

5. Mempunyai waktu bekerja dan waktu luang untuk diri sendiri serta keluarga (hak untuk istirahat dan cuti);

6. Upah yang layak dan tepat waktu dalam pembayaran;

7. Berhak dalam berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapatnya. Serikat buruh bertujuan membantu pekerja perempuan dalam mencari keadilan dan mensosialisasi pekerjaan sesuai kesepakatan bersama;

63

“Buruh dalam Islam”,

(26)

Hak untuk istirahat bagi pekerja perempuan memang sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan ada waktu-waktu tertentu dimana Ia mempunyai tuntutan reproduksi yang tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Kita tidak boleh memaksa mereka untuk tidak punya anak, tidak menyusui, tidak haid dan semisalnya, karena semua itu fitrah mereka. Kita juga tidak boleh menolak buruh perempuan karena alasan-alasan tidak produktif, karena produktivitas perempuan tidak semata-mata diukur dan sisi jam kerja. Allah berfirman dalam Surat An-Nisa’ ayat 32:

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu sebagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa’: 32)

Selain itu, Islam juga mengatur hak untuk mendapatkan kesempatan ibadah, sebab ibadah merupakan hak manusia yang paling mendasar. Tidak boleh pihak manapun atas nama apapun mengurangi atau menghapuskan hak ibadah orang lain. Karena Islam dengan ajaran-ajarannya sangat menjunjung tinggi hak beragama dan berkeyakinan.64

2. Perlindungan bagi Pekerja Perempuan

64

Aida Milasari, “Hak-hak Pekerja”,

(27)

Dalam bab sebelumnya telah dijelaskan bahwa Islam melarang perempuan untuk bekerja pada pekerjaan yang dasarnya haram, pekerjaan yang halal tapi dituntut untuk melanggar aturan Islam (seperti tidak dibolehkan memakai jilbab), dan jenis pekerjaan yang sifatnya pribadi.

Selain itu dilarang pula bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan– pekerjaan yang membutuhkan kerja otot, seperti melakukan penggalian, pengeboran, pembangunan, industri besi, kayu, dan sejenisnya yang menuntut jerih payah luar biasa dan memberatkan perempuan.

Pelarangan perempuan untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan di atas adalah dimaksudkan untuk melindungi perempuan dari pekerjaan yang hanya akan merugikan dirinya sendiri.

Islam juga melarang perempuan bekerja pada malam hari untuk melindunginya dari fitnah. Hal ini dikecualikan untuk pekerjaan yang mengandung nilai manfaat secara sosial dan bersifat darurat, seperti dokter, perawat, bidan dan sebagainya, terjamin keamanannya baik secara fisik ataupun mental, tidak merusak aqidah maupun akhlak.65

C. Pekerja Perempuan menurut UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

65

Taufik, “Wanita Bekerja dalam Pandangan Islam”,

(28)

1. Hak-hak Pekerja Perempuan

Hak-hak pekerja perempuan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah sebagai berikut.

1. Hak untuk mendapatkan makanan dan minuman bergizi serta keamanan selama di tempat kerja dan angkutan antarjemput bagi pekerja perempuan yang bekerja pada malam hari (Pasal 76 ayat (3) dan (4) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

2. Hak untuk mendapatkan waktu istirahat dan cuti (Pasal 79 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

3. Hak untuk beribadah (Pasal 80 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)

4. Hak untuk tidak bekerja pada hari pertama dan kedua dalam masa haid karena merasakan sakit dengan memberitahukan kepada pengusaha (Pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan);

(29)

6. Berhak diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya yang masih menyusu jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja (Pasal 83 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Ketentuan hukum lain yang mengatur mengenai hak-hak pekerja perempuan dapat kita jumpai dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, disebutkan bahwa:

“Setiap orang, baik pria maupun wanita yang melakukan

pekerjaan yang sama, sebanding, setara atau serupa, berhak atas

upah serta syarat-syarat perjanjian kerja yang sama.”

Kemudian ayat (4) dari Pasal 38 tersebut menyatakan:

“Setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan

pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya

berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan dapat

menjamin kelangsungan kehidupan keluarganya.”

Pasal 49 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan:

Ayat (1): wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.

(30)

mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita.

2. Perlindungan bagi Pekerja Perempuan

Perlindungan terhadap pekerja wanita dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan diatur dalam Pasal 76, yaitu sebagai berikut.66

1. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas) tahun antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00. Tanggung jawab atas pelanggaran ini dibebankan kepada pengusaha dengan sanksi berupa pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/ atau denda paling sedikit Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (Pasal 187 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

Pada Pasal 3 Konvensi ILO mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang Bekerja di Sektor Industri disebutkan bahwa:

“Kaum perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan

pada malam hari pada usaha industri publik atau swasta apapun,

atau pada cabang-cabangnya, kecuali di dalam usaha di mana

66

(31)

hanya anggota-anggota dari keluarga yang sama yang di

pekerjakan.”

Cukup jelas bahwa maksud dari pasal di atas adalah untuk melarang pekerja perempuan yang bekerja di sektor industri bekerja pada waktu malam. Namun hal ini tidak berlaku dalam hal force major, yaitu ketika di dalam usaha terjadi interupsi pekerjaan yang mungkin terduga sebelumnya dan yang tidak bersifat pengulangan dan dalam hal di mana pekerjaan berhubungan dengan bahan mentah atau bahan-bahan yang harus dikerjakan yang cepat rusak apabila kerja malam dimaksud memang perlu untuk menjaga agar bahan-bahan tersebut tidak terbuang.67

a. Pertambangan, pengerukan dan pekerjaan-pekerjaan lain untuk mengambil mineral dari bumi;

Usaha industri dalam Pasal 1 ayat (1) Konvensi ILO mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang Bekerja di Sektor Industri ini meliputi:

b. Usaha-usaha di mana barang-barang diolah, diubah, dibersihkan, diperbaiki, dihias, diselesaikan, disiapkan untuk dijual, dipreteli atau dihancurkan, atau di man bahan-bahan dikerjakan, termasuk usaha-usaha yang berkaitan dengan pembangunan kapal atau pembangkitan, transformasi atau transmisi tenaga listrik atau tenaga penggerak lainnya;

67

(32)

c. Usaha-usaha yang berkaitan dengan pekerjaan pembangunan atau rancang-bangun, termasuk pekerjaan konstruksi, perbaikan, pemeliharaan, perombakan dan pembongkaran.

2. Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja perempuan hamil yang menurut dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya bila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Ketentuan ini berarti bahwa pengusaha boleh mempekerjakan wanita yang sedang tidak hamil antara pukul 23.00 sampai pukul 07.00 dengan kewajiban:

a. Memberikan makanan dan minuman bergizi;

b. Menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja;

c. Menyediakan pengangkutan antar-jemput bagi pekerja perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.

Menurut Pasal 3 Konvensi ILO No. 183 Tahun 2000 tentang Revisi Terhadap Konvensi tentang Perlindungan Maternitas:

(33)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan, kajian dan analisis yang dilakukan pada Bab I sampai dengan Bab IV, penulis merumuskan beberapa kesimpulan berdasarkan pertanyaan dalam perumusan masalah sebagai berikut:

1. Mengenai perbandingan upah dalam ajaran Islam dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memiliki banyak persamaan. Persamaan itu meliputi:

a. Defenisi upah berdasarkan ajaran Islam maupun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

b. Bentuk upah pun sama menurut pandangan Islam dan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

c. Dan mengenai upah harus diatur dalam perjanjian kerja (dalam Islam disebut akad) baik berdasarkan ajaran Islam maupun Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

(34)

boleh terlambat. Dan upah tetap dibayarkan kepada pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya yang dikarenakan alasan-alasan tertentu;

2. Mengenai persamaan pekerja perempuan dalam Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, meliputi:

a. Mengenai prinsip non-diskriminasi dalam bekerja;

b. Mengenai hak-hak pekerja perempuan dan perlindungan bagi mereka.

Perbedaan pekerja perempuan menurut Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, meliputi:

a. Alasan-alasan perempuan boleh bekerja;

b. Pekerjaan-pekerjaan yang dilarang untuk perempuan;

B. Saran

(35)

bekerja pun pasti bertambah dan pihak pengusaha diuntungkan dengan proses produksi yang berjalan dengan baik.

(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM PENGATURAN UPAH DAN PEKERJA

PEREMPUAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN

A. Pengaturan Upah menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Pengertian Upah

Kata upah sepertinya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Bagi para pekerja, upah merupakan sumber penghasilan yang dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya. Sementara menurut para pengusaha upah adalah bagian dari biaya produksi, sehingga penggunaannya harus dioptimalkan dalam peningkatan produktivitas.

Menurut Baqir Sharief Qorashi, “pengupahan bermakna membayar kompensasi atas apa yang memberi manfaat, entah itu karena suatu pekerjaan atau selainnya”.16

16

Baqir Sharief Qorashi, op. cit. hlm. 161.

Allah swt berfirman:

(37)

Surat At-Taubah ayat 105 ini menjelaskan bahwa Allah swt

memerintahkan kita untuk bekerja dan Allah pasti membalas semua yang telah kita kerjakan. Hal yang paling unik dalam ayat ini adalah penegasan Allah swt bahwa motivasi atau niat bekerja itu mestilah benar. Sebab kalau motivasi bekerja tidak benar, Allah akan membalas dengan cara memberi azab. Sebaliknya, kalau motivasi itu benar maka Allah akan membalas pekerjaan itu dengan balasan yang lebih baik dari apa yang kita kerjakan.

Kemudian dalam surat An-Nahl ayat 97 disebutkan,

“Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97).

Surat An-Nahl ayat 97 di atas menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam menerima pahala/ balasan dari Allah swt. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi upah dalam Islam, jika mereka mengerjakan pekerjaan yang sama. Hal yang menarik dari ayat ini adalah balasan Allah atau kompensasi di akhirat (dalam bentuk pahala).

Sementara itu, dalam surat Al-Kahf ayat 30 Allah berfirman,

“Sungguh, mereka yang beriman dan mengerjakan kebajikan,

Kami benar-benar tidak akan menyia-nyiakan pahala orang yang

mengerjakan perbuatan yang baik itu.” (Al-Kahf: 30).

(38)

berlaku zalim dengan cara menyia-nyiakan amal para hamba-Nya. Konsep keadilan dalam upah inilah yang sangat mendominasi dalam setiap praktik yang pernah terjadi di negeri Islam.

Lebih lanjut kalau kita lihat hadis Rasulullah SAW tentang upah yang diriwayatkan oleh Abu Dzar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Mereka (para budak dan pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah asuhanmu; sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus diberinya makan seperti apa yang dimakannya (sendiri) dan member pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri); dan tidak membebankan pada mereka dengan tugas yang sangat berat, dan jika kamu membebankannya dengan tugas seperti itu, maka hendaklah membantu mereka (mengerjakannya)” (HR Muslim).17

“Siapa yang menjadi pekerja bagi kita, hendaklah ia mencarikan istri (untuknya); seorang pembantu bila tidak memilikinya, hendaklah ia mencarikannya untuk pembantunya. Bila ia tidak mempunyai tempat tinggal, hendaklah ia mencarikan tempat tinggal. Abu Bakar mengatakan: Diberitakan kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Siapa yang mengambil sikap

Dari hadis ini dapat didefenisikan bahwa upah yang sifatnya materi (kompensasi di dunia) mestilah terkait dengan keterjaminan dan ketercukupan pangan dan sandang. Perkataan, “harus diberinya makan seperti apa yang

dimakannya (sendiri) dan memberi pakaian seperti apa yang dipakainya (sendiri)” bermakna bahwa upah yang diterima harus menjamin makan dan pakaian pekerja yang menerima upah.

Dalam hadis yang lain, diriwayatkan dari Mustawrid bin syadad Rasulullah SAW bersabda:

17

(39)

selain itu, anak ia adalah seorang yang keterlaluan atau pencuri’” (HR. Abu Daud).18

Dari pengertian di atas, jelaslah bahwa upah menurut Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan merupakan hak pekerja/ buruh dan bukan pemberian sebagai hadiah dari pengusaha. Karena pekerja/ buruh telah atau akan bekerja untuk pengusaha sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Apabila ternyata pekerja/ buruh tidak bekerja sesuai yang telah diperjanjikan, pekerja/ buruh yang bersangkutan tidak berhak atas upah dari pengusaha.

Hadis ini menegaskan bahwa kebutuhan papan (tempat tinggal)

merupakan kebutuhan asasi bagi para pekerja. Bahkan, menjadi tanggung jawab majikan juga untuk mencarikan jodoh bagi pekerjanya yang masih lajang (sendiri).

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis di atas, maka dapat didefenisikan bahwa upah adalah imbalan yang diterima seseorang atas

pekerjaannya dalam bentuk imbalan materi di dunia (adil dan layak) dan dalam bentuk imbalan pahala di akhirat (imbalan yang lebih baik).

Pengertian upah dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah adalah:

“Hak pekerja/ buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/ buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/ buruh dan

keluarganya atas suatu pekerjaan dan/ atau jasa yang telah atau akan dilakukan.”

18

(40)

Terdapat persamaan dalam pengertian upah menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagkerjaan, yaitu imbalan kepada seorang pekerja atas pekerjaan yang sudah dilakukannya. Namun, imbalan menurut Islam juga mencakup imbalan pahala untuk akhirat.

2. Bentuk Upah

Dalam Islam bentuk upah yang dibayarkan haruslah dengan mata uang yang berlaku. Tidak sah bila pembayaran dilakukan dengan kartu-kartu dan sejenisnya, yang kemudian ditukarkan dengan barang-barang dari gudang. Kecuali jika para buruh rela dengannya.19

Jika majikan tidak memiliki mata uang nominal, maka pembayaran upah pekerja dengan benda dapat dilakukan asal pekerja mau menerima. Yang penting benda tersebut memiliki standar pasar yang memiliki sifat mubah dan jelas manfaatnya. Pembayaran upah dalam bentuk benda harus diikuti dengan taksiran yang sama dengan jumlah upah dalam nilai mata uang nominal.20

19

Baqier Sharief Qorashi, op. cit. hlm. 251

Mengenai bentuk upah, dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memang tidak ada diatur. Namun hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan Upah. Menurut Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah ini:

20

Hadi Muttaqin Hasyim, “Penggajian dalam Islam”,

(41)

“Pada dasarnya upah diberikan dalam bentuk uang”.

Dan pada ayat (2) disebutkan bahwa:

“Sebagian dari upah dapat diberikan dalam bentuk lain kecuali

minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan

ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima

persen) dari nilai upah yang seharusnya diterima”.

Dalam penjelasan Pasal 12 di atas disebutkan:

“Untuk menuju ke arah sistem pembayaran upah bersih, maka upah harus dibayar dalam bentuk uang, prinsip tersbut diharapkan bahwa buruh akan dapat menggunakan upahnya secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kebutuhannya. Penerapan system terseut sekali-kali tidak mengurangi kemungkinan untuk

memberikan sebagian upahnya dalam bentuk lain adalah hasil produksi atau barang yang mempunyai nilai ekonomi bagi buruh”.

Pembayaran upah harus dilakukan dengan alat pembayaran yang sah dari Negara Republik Indonesia bila upah ditetapkan dalam mata uang asing, maka pembayaran akan dilakukan berdasarkan kurs resmi pada hari dan tempat pembayaran.21

21

Pasal 13 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(42)

3. Upah dalam Perjanjian Kerja

Baik Hukum Islam maupun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur untuk memuat mengenai upah di dalam perjanjian kerja.

Menurut Islam mengenai upah harus diatur dalam perjanjian kerja yang disebut dengan akad. Akad ini meliputi ijab dan qabul. Karena dengan ijab dan qabul terjadilah kontrak di antara kedua belah pihak. Namun, dalam kaitan ini harus jelas perwujudannya, seperti ucapan pekerja, “Aku pekerjakan diriku padamu,” yang mesti dijawab pihak lain, “Aku terima”.22

Bagi kedua pihak yang membuat akad, disyaratkan hal-hal berikut ini23

1. Usia dewasa, minimal berusia lima belas tahun. Karenanya, tidak boleh mempekerjakan anak-anak di bawah umur, dan tidak sah bertransaksi dengan mereka kecuali terdapat kesepakatan dengan wali mereka, seperti ayah atau datuk mereka dari pihak ayah atau dengan hakim syar’i. Sebab seorang hakim

syar’i merupakan wali bagi orang yang tidak memiliki wali.

:

2. Berakal, akad menjadi tidak sah bila dibuat dengan orang gila. Sebab, seorang gila tidak memiliki kesadaran dan daya pemahaman.

3. Kerelaan kedua belah pihak merupakan syarat utama yang wajib dipenuhi setiap akad atau kesepakatan. Karena, bila tidak terdapat kerelaan kedua belah pihak, transaksinya menjadi tidak sah.

22

Baqier Sharief, op. cit. hlm. 161. 23

(43)

Allah berfirman dalam surat Al-Qasas ayat 25-28

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata,

‘Sesungguhnya ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.’ Ketika (Musa) mendatangi ayahnya dan dia menceritakan kepadanya kisah (mengenai dirinya), dia berkata, ‘Janganlah engkau takut! Engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.” (Al-Qasas: 25).

“Dan salah seorang dari kedua (perempuan) itu baerkata, ‘Wahai ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engaku ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat di

percaya’.” (Al-Qasas: 26).

“Dia (Syeikh Madyan) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. Insya Allah engaku akan mendapatiku termasuk orang yang baik’.” (Al-Qasas: 27).

“Dia (Musa) berkata, ‘Itu (perjanjian) antara aku dan engkau. Yang mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu yang aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan (tambahan) atas diriku (lagi). Dan Allah menjadi saksi atas apa yang kita ucapkan’.”

(Al-Qasas: 28)

Dari surat di atas dapat disimpulkan bahwa:24

1) Kontrak/ perjanjian upah harus merupakan perjanjian sukarela dari kedua belah pihak. Maksudnya, tidak ada paksaan dalam kontrak upah tersbut.

24

(44)

2) Kontrak upah bersifat legal (perjanjian syariah dengan adanya hak dan kewajiban antara keduanya).

3) Hak dan kewajiban harus secara jelas dinyatakan:

a) Tingkat upah, berapa upahnya, harus jelas.

b) Periode kontrak. Berapa lama, harus jelas.

c) Jenis dan sifat pekerjaan. Dijelaskan secara detil, apa pekerjaannya.

Beberapa tambahan tentang prinsip perjanjian upah dalam Al-Qur’an dan sunnah adalah sebagai berikut.25

1. Kontrak harus bebas dari riba dan gharar/ penipuan.

2. Pada prinsipnya, keinginan kedua belah pihak terhadap suatu kontrak adalah esensial untuk ditinjau ulang.

3. Ide tunjangan pengobatan untuk karyawan dan keluarganya mencakup kesehatan dan kecelakaan dapat bervariasi tergantung kasusnya.

4. Kontrak yang bertentangan dengan syariah harus dihindari, tidak boleh dinegosiasikan, dan tidak boleh dipaksakan.

5. Upah minimum harus diaplikasikan kepada perusahaan yang berpotensi menggaji karayawannya di bawah upah minimum, bukan kepada semua industri dan bisnis.

25

(45)

Di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan juga memuat mengenai pengaturan upah di dalam perjanjian kerja yang didasarkan atas kesepakatan pengusaha dan pekerja. Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan berbunyi:

“Perjanjian kerja adalahsuatu perjanjian antara pekerja/ buruh

dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat

kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak”.

Dari pengertian perjanjian kerja di atas dapat dilihat bahwa di dalam sebuah perjanjian kerja harus terdapat unsur upah, mengingat pengertian tersebut menyebutkan mengenai hak kedua belah pihak. Dan salah satu hak pekerja adalah mendapatkan upah. Hanya saja kesepakatan mengenai ketetapan upah di dalam perjanjian kerja tersebut tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.26

a. Kesepakatan kedua belah pihak.

Perjanjian kerja dapat dibuat secara lisan maupun tulisan. Berdasarkan ketentuan Pasal 52 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, syarat sahnya perjanjian kerja adalah:

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum.

c. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan

(46)

d. Pekerjaan yang dijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

B. Pekerja Perempuan menurut Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

1. Alasan Perempuan Boleh Bekerja

Islam membolehkan perempuan untuk memiliki harta sendiri. Bahkan perempuan pun boleh berusaha mengembangkan hartanya agar semakin bertambah. Allah Swt berfirman:

“… Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan

dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka

usahakan.” (Qs An Nisa 32).

Seorang perempuan dalam Islam diperbolehkan bekerja dengan alasan-alasan sebagai berikut.27

a. Jika ia seorang janda. Seorang janda diperbolehkan bekerja untuk menjaga jati dirinya dan mencegah perbuatan mengemis dan berutang.

b. Membantu suami dan suaminya mengizinkan. Dalam hal ini istri berperan sebagai mitra kerjasama secara ekonomi.

27

(47)

c. Membantu keluarga suami atau istri. Ketika seseorang memerlukan bantuan, maka yang wajib menolongnya adalah keluarga terdekatnya. Perempuan yang bekerja untuk keluarganya adalah merupakan salah satu bentuk ibadah.

Al-Qur’an telah mengisyaratkan seorang perempuan yang keluar untuk kebutuhan individu dan keluarganya dalam kisah dua putri dan lelaki saleh bersama Nabi Musa as. Allah swt berfirman:

“…Dia (Musa) berkata, ‘Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?’ Kedua (perempuan) itu menjawab, ‘Kami tidak dapat memberi minum (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya.” (Al-Qasas: 23).

Dalam ayat di atas telah dijelaskan kepada Nabi Musa as, bahwa kedua perempuan tersebut tidak keluar rumah kecuali karena mereka membutuhkan pekerjaan tersebut. Sebab orang tua mereka telah lanjut usia dan tidak mampu memberikan minum ternaknya, sehingga kedua putrinya yang menjalankan pekerjaan tersebut.

(48)

perbuatan yang mubah dan mengabaikan perbuatan wajib, berarti ia telah berbuat maksiat (dosa) kepada Allah swt.

Oleh karena itu tidak layak bagi seorang muslimah mendahulukan bekerja dengan melalaikan tugas pokoknya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Juga tidak layak baginya mengutamakan bekerja sementara ia melalaikan kewajiban-kewajibannya yang lain, seperti mengenakan jilbab jika keluar rumah, sholat lima waktu dan lain-lain.

Tidak seperti ajaran Islam yang mengatur alasan mengapa perempuan bekerja, pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak ada mengatur mengenai alasan perempuan untuk bekerja. Hal ini berarti Negara memberikan kebebaskan kepada perempuan untuk bekerja apapun alasannya.

Tapi dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari bahwa perempuan bekerja karena berbagai alasan, dan salah satu alasannya adalah tuntutan ekonomi yang mendesak.

2. Pekerjaan yang Dilarang untuk Pekerja Perempuan

Ada beberapa pekerjaan yang dilarang oleh Islam untuk digeluti oleh pekerja perempuan. Pekerjaan-pekerjaan tersebut adalah sebagai berikut.28

a. Jenis pekerjaan yang pada dasarnya haram. Dalam hal ini seperti jenis pekerjaan menjadi pekerja seks komersial (PSK), pelayan kafe/ bar yang mengharuskan tenaga kerja perempuan bergaul dengan yang bukan

28

(49)

muhrimnya, pekerjaan yang bertujuan untuk penipuan, lintah darat, dan lainnya.

b. Jenis pekerjaan yang halal dilakukan tetapi dituntut untuk melanggar aturan Islam. Misalnya, menjadi sekretaris yang mengharuskannya berpakaian tanpa jilbab. Sekretaris adalah jabatan yang halal, tetapi keharusan berpenampilan tanpa jilbab melanggar syariah Islam.

c. Hal-hal yang sifatnya pribadi sehingga membuat seorang perempuan tidak bisa bekerja. Misalnya tidak boleh bekerja seperti kemampuan menjaga niat, tidak bisa menjaga pergaulan dengan lain jenis, tidak mendapat izin dari suaminya, dan lain sebagainya.

Bagi pekerja perempuan disyaratkan bahwa pekerjaan/ profesi yang dijalankannya sesuai dengan harkat, martabat dan kodrat perempuan, serta tidak bertentangan dengan akhlak Islami. Namun pada dasarnya perempuan tidak dibolehkan bekerja pada malam hari diluar rumahnya, kecuali apabila tuntutan pekerjaannya mengandung nilai manfaat secara sosial dan bersifat darurat, seperti dokter, perawat, bidan dan sebagainya, terjamin keamanannya baik secara fisik ataupun mental, tidak merusak aqidah maupun akhlak serta tidak mengundang adanya fitnah.29

Sedangkan, di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak ada mengatur mengenai pekerjaan yang dilarang untuk digeluti oleh pekerja perempuan. Sebenarnya Undang-undang Ketenagakerjaan

29

Taufik, “Wanita Bekerja dalam Pandangan Islam”,

(50)

sebelumnya yaitu Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 pada Pasal 98 ayat (1) ada mengatur mengenai pekerjaan yang dilarang untuk digeluti oleh pekerja perempuan. Pekerjaan tersebut yaitu:

a. di dalam tambang bawah tanah, lubang di bawah permukaan tanah, tempat mengambil mineral logam dan bahan-bahan galian lainnya dalam lubang atau terowongan di bawah tanah termasuk dalam air;

b. pada tempat kerja yang dapat membahayakan keselamatan, kesehatan, kesusilaan, dan yang tidak sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabat pekerja wanita;

c. pada waktu tertentu malam hari.

Namun, sejak keluarnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, sehingga otomatis ketentuan di dalam ayat tersebut juga tidak berlaku lagi pada saat

sekarang. Hal ini dikarenakan untuk mencegah terjadinya diskriminasi terhadap pekerja perempuan.

Walaupun larangan pekerjaan-pekerjaan yang seperti tersebut dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1997 sudah tidak berlaku lagi sekarang. Namun, pengusaha tetap diharuskan memberikan perlindungan yang lebih terhadap pekerja perempuan yang bekerja di bidang-bidang tersebut.

(51)

dalam Segala Jenis Pertambangan. Pasal 2 konvensi ini menyebutkan bahwa seorang perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan di bawah tanah dalam pertambangan.

Hukum nasional boleh membuat pengecualian terhadap larangan di atas kepada:30

a. perempuan yang menduduki jabatan manajemen yang tidak melakukan pekerjaan manual;

b. perempuan yang dipekerjakan dalam pelayanan kesehatan dan kesejahteraan;

c. perempuan yang, sebagai bagian dari pendidikan mereka, menajalani periode latihan di beberapa bagian bawah tanah dari suatu pertambangan; dan

d. perempuan lainnya yang pada waktu-waktu tertentu harus memasuki beberapa bagian bawah tanah dari suatu pertambangan untuk melakukan pekerjaan non-manual.

Istilah pertambangan dalam Pasal 1 Konvensi ini mencakup segala usaha, baik Negara maupun swasta, untuk melakukan penggalian bahan apapun dari bawah permukaan bumi.

Kemudian pada Konvensi mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang Bekerja di Sektor Industri menyebutkan bahwa kaum perempuan berapapun usianya tidak boleh dipekerjakan pada malam hari pada usaha industri publik maupun swasta kecuali di dalam usaha di mana hanya anggota-anggota dari

30

(52)

keluarga yang sama yang dipekerjakan (Pasal 3 Konvensi mengenai Kerja Malam bagi Perempuan yang Bekerja di Sektor Industri).

3. Prinsip non-Diskriminasi antara Pekerja Perempuan dan Pekerja Laki-laki

Dalam Islam, perempuan dan laki-laki diciptakan bukan sebagai musuh atau lawan, tetapi sebagai bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Di dalam Islam tidak ada yang disebut dengan pengurangan hak perempuan atau

penzaliman kepada perempuan demi kepentingan laki-laki. Kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama di hadapan Allah swt.31

Akan tetapi bila suatu hukum ditetapkan khusus untuk jenis manusia tertentu (laki-laki saja atau perempuan saja), maka akan terjadi pembebanan hukum yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Misalnya kewajiban mencari nafkah (bekerja) hanya dibebankan kepada laki-laki, karena hal ini berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumah tangga. Islam telah menetapkan bahwa kepala rumah tangga adalah tugas pokok dan tanggung jawab laki-laki.

Allah juga telah membebankan hukum yang sama terhadap laki-laki dan perempuan apabila hukum itu ditujukan untuk manusia secara umum. Misalnya pembebanan kewajiban sholat, puasa, zakat, menunaikan haji, menuntut ilmu, mengemban dakwah, dan yang sejenisnya. Semua ini dibebankan kepada laki-laki dan perempuan tanpa ada perbedaan. Sebab semua kewajiban tersebut dibebankan kepada manusia seluruhnya, semata-mata karena sifat kemanusiaan yag ada pada keduanya, tanpa melihat apakah seseorang itu laki-laki maupun permpuan.

31

(53)

Dengan demikian perempuan tidak terbebani tugas (kewajiban) mencari nafkah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk keluarganya. Perempuan justru berhak mendapatkan nafkah dari suaminya (bila perempuan tersebut telah menikah) atau dari walinya (bila belum menikah). Bahkan sekalipun sudah tidak ada lagi orang yang bertanggung jawab terhadap nafkahnya, Islam telah

memberikan jalan lain untuk menjamin kesejahteraannya, yakni dengan

membebankan tanggung jawab nafkah perempuan tersebut kepada Daulah (Baitul Maal). Bukan dengan jalan mewajibkan perempuan bekerja.

Ada beberapa pekerjaan yang sama-sama layak dikerjakan oleh perempuan dan laki-laki, ada juga beberapa pekerjaan yang khusus dikerjakan oleh masing-masing secara sendiri-sendiri. Pekerjaan-pekerjaan yang

membutuhkan kerja otot selamanya akan menjadi bagian dari tugas laki-laki. Dengan demikian, seorang perempuan tidak layak baginya melakukan pekerjaan– pekerjaan yang membutuhkan kerja otot, seperti melakukan penggalian,

pengeboran, pembangunan, industri besi, kayu, dan sejenisnya yang menuntut jerih payah luar biasa dan memberatkan perempuan.32

32

Asyraf Muhammad Dawabah, op. cit. hlm. 101.

Pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam Islam bukanlah bermaksud untuk mendiskriminasikan salah satu pihak. Tapi lebih pada

(54)

Islam juga mempertimbangkan fitrah penciptaan antara laki-laki dan perempuan dalam membagi tugas dan jatahnya masing-masing. Dan fitrah itulah yang menjadikan laki-laki sebagai lelaki sejati, dan yang menjadikan perempuan sebagai perempuan sejati. Ia juga telah menitipkan karakter yang berbeda kepada masing-masing jenis agar dimandatkan kepada masing-masing jenis tugas-tugas tertentu, bukan untuk kepentingan pribadi atau kepentingan jenis tertentu, melainkan untuk kepentingan kehidupan manusia yang berdiri tegak, teratur, dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya, dan dapat diwujudkan cita-citanya. 33

33

Ibid. hlm. 102.

Bentuk non-diskriminasi antara pekerja perempuan dan pekerja laki-laki dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat dalam Pasal 6, yang berbunyi: “Setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha”. Berdasarkan pasal ini maka pengusaha harus memberikan hak dan kewajiban pekerja tanpa

membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik.

(55)

Konvensi-konvensi ini mengatur larangan diskriminasi bagi pekerja perempuan dan laki-laki, perbedaannya bukan berdasarkan bentuk berat atau ringannya suatu pekerjaan seperti yang diatur dalam Islam, tetapi larangan akan perbedaan upah untuk pekerjaan yang sama bagi pekerja perempuan dan laki-laki dan larangan terhadap diskriminasi jenis kelamin yang menyebabkan kurangnya kesempatan kerja.

Dalam Pasal 3 ayat (3) Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 tentang Pemberian Upah yang Sama bagi Para Pekerja Laki-laki dan perempuan, menyebutkan:

“Perbedaan tingkat pengupahan di antara pekerja, sebagaiman

ditentukan oleh penilaian objektif, tidak membedakan jenis kelamin dan hanya

berhubungan dengan perbedaan-perbedaan dalam pekerjaan yang harus

dilakukan serta tidak boleh bertentangan dengan prinsip pengupahan yang sama

bagi pekerja laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya”.

Dari bunyi ayat ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan upah hanya boleh diterapkan untuk pekerjaan yang berbeda, bukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin.

(56)

Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan diperkuat dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskrimanasi terhadap Perempuan (The Convention on The Elimination of Discrimination Against Women/ CEDAW).

Pasal 11 CEDAW menegaskan hak perempuan untuk bekerja yaitu:34

1. Hak atas kesempatan kerja yang sama, termasuk penerapan criteria seleksi yang sama dalam penerimaan pegawai;

2. Bebas untuk menentukan profesi dan pekerjaan dan pelatihan;

3. Hak yang sama untuk menerima upah, termasuk perlakuan yang sama untuk pekerjaan yang bernilai sama;

4. Hak untuk mendapatkan jaminan sosial; jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, termasuk usaha perlindungan terhadap fungsi melanjutkan keturunan;

5. Melarang pemecatan atas dasar kehamilan, memberlakukan cuti hamil;

6. Memberikan perlindungan khusus terhadap pekerja perempuan selama kehamilan pada jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya.

Negara-negara peserta diwajibkan untuk membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di lapangan kerja guna menjamin hak-hak yang sama atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan.

34

(57)

4. Syarat-syarat untuk Perempuan Bekerja

Islam menjadikan seorang perempuan bekerja ke luar rumah bukan atas dasar sebuah slogan palsu atau persaingan semu antara perempuan dan laki-laki. Seorang perempuan menjalankan perannya sebagai muslimah karir sangat erat kaitannya dengan kebutuhan individu untuk bekerja menafkahi dirinya sendiri jika tidak ada seorang yang menjalankan urusannya dan membiayai hidupnya, atau menghasilkan harta kekayaan untuk diinfakkan ke lembaga-lembaga sosial. Erat kaitannya pula dengan kebutuhan rumah tangga untuk membantu suami

memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, atau menafkahi anak-anaknya jika tidak ada yang membiayai hidup mereka.35

Perempuan adalah perhiasan dunia yang dilindungi oleh norma dan akhlak, dimuliakan oleh aturan yang sesungguhnya baik untuk dirinya, baik untuk agamanya, dan baik untuk masyarakat di sekitarnya. Demikian halnya dengan kebolehannya bekerja, dalam tataran operasional ada beberapa syarat-syarat untuk bekerja.36

a. Pekerjaan yang dipilih adalah yang sesuai dengan syariat. Dalam hal ini, perempuan harus pintar memilah pekerjaan, jangan terjebak oleh pekerjaan yang akan menjerumuskannya pada hal yang haram, seperti penyuapan, pengadaan barang-barang yang haram seperti miras, pornografi, judi, atau pekerjaan yang akan menuntutnya untuk melanggar aturan-aturan Islam.

35

Ibid. hlm. 97. 36

(58)

b. Tetap teguh dengan identitasnya sebagai muslimah dengan cara tetap memenuhi adab muslimah dalam hal bergaul, berpakaian, berbicara, dan bertingkah laku.

c. Jika sudah menikah harus mendapatkan izin dari suami. Segenting apapun urusan istri, tanpa izin suami tidak boleh dilaksanakan apalagi harus ke luar rumah.

d. Tidak mengabaikan tugas utama sebagai istri dan ibu. Anak-anak selalu membutuhkan ibunya.

Seorang pekerja perempuanharus meminta izin wali jika hendak bekerja, baik wali itu suaminya (jika sudah menikah), atau ayah dan saudara laki-lakinya jika belum menikah. Sebab seorang wali adalah pemimpin, dan penanggung jawab seorang perempuan di hadapan Allah swt.

Nabi Muhammad saw bersabda:

“Tidak boleh keluar dari rumah, kecuali dengan izin suami.”

(HR. Al-Baihaqi).37

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh

karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas

sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki)

telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….” (An-Nisa’: 34).

Firman Allah swt:

37

(59)

Jadi, kepemimpinan seorang laki-laki atas seorang perempuan bukanlah didasarkan atas kelebihan yang ada pada dirinya, melainkan sebab kepemimpinan tersebut didasarkan atas pembagian peran dalam rumah tangga dengan system yang mampu menciptakan stabilitas dan keharmonisan rumah tangga,

menyebarkan semangat saling menerima di antara masing-masing pihak.38

Syarat kedua yang dapat kita temukan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah bagi pekerja perempuan yang bekerja di malam hari yang tidak boleh kurang dari delapan belas tahun (Pasal 76 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), tanpa

pengecualian. Dan yang bertanggung jawab atas pelanggaran ayat ini adalah pengusaha.

Syarat-syarat untuk perempuan bekerja di dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak diatur secara jelas. Bisa kita lihat pada Pasal 68 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berbunyi, “Pengusaha dilarang mempekerjakan anak”. Pasal itu adalah satu syarat untuk perempuan bekerja, yaitu bukan anak-anak (tidak boleh berusia di bawah delapan belas tahun).

Namun, hal ini diberi pengecualian untuk anak yang berusia tiga belas tahun hingga lima belas tahun untuk melakukan pekerjaan ringan selama tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial, serta mendapatkan izin tertulis dari orang tua atau wali si anak (Pasal 69 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan).

38

(60)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Bekerja merupakan sumber satu-satunya untuk membangun bumi dan mengeruk perbendaharaannya, sekaligus sarana utama untuk menjamin penghidupan atau rezeki manusia dan stabilitas kehidupannya. Seandainya manusia tidak bekerja dan berusaha dalam memperoleh rezekinya, niscaya mustahil manusia dapat bertahan hidup di muka bumi.4

Untuk memperoleh rezeki atau nafkah banyak cara dan jalan yang dapat ditempuh, tentunya dengan cara yang benar dan halal, salah satu diantaranya adalah: mencari nafkah dengan jalan bekerja, menyerahkan kepandaian dan tenaga, menjadi pegawai atau karyawan atau buruh kepada yang memerlukan manakala suatu saat tenaga itu diperlukan orang lain untuk suatu pekerjaan. Islam telah mewajibkan kerja atas setiap lengan tangan yang berkemampuan, dan menganggap pekerjaan adalah fardhu yang mesti dilakukan demi mendapatkan keridhaan Allah SWT dan rejeki-Nya yang baik-baik. Manusia dituntut untuk bersungguh-sungguh untuk kepentingan pribadinya dengan tidak merugikan orang lain. Ia boleh mencari rejeki dan mendapatkan sesuatu yang dapat dicarinya. Ia mendapat manfaat dari orang lain dan sebaliknya memberi manfaat kepada mereka.

4

(61)

Rezeki yang diperoleh dapat berupa barang dan dapat pula berupa upah yang mana penerimaannya bisa dalam bentuk upah nominal, minimum, upah nyata, upah biaya hidup dan upah wajar.

Dua permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini adalah mengenai upah dan pekerja perempuan. Islam memberikan jalan, bahwa dalam pembayaran upah supaya ditentukan sesuai dengan upah yang pantas dan baik. Dan juga memberikan kebebasan untuk menuntut haknya, yang merupakan hak asasi bagi manusia, apabila hak mereka dimiliki orang lain.

Dalam ekonomi Islam pekerja adalah mitra kerja, bukan sekedar faktor pruduksi. Karena itu kepentingannya menjadi perhatian utama. Rasulullah saw telah menyuruh umatnya yang mempunyai bisnis dengan tenaga kerja agar membayar upahnya sebelum keringat tenaga kerja mengalir.5

Pengupahan merupakan masalah yang sangat krusial dalam bidang ketenagakerjaan dan bahkan apabila tidak professional dalam menangani pengupahan tidak jarang menjadi potensi perselisihan serta mendorong timbulnya mogok kerja atau unjuk rasa.

6

5

Hasan Aedy, Indahnya Ekonomi Islam, Alfabeta, Bandung, 2007, hlm. 16. 6

Abdul Hakim, Aspek Hukum pengupahan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 1.

(62)

Dalam Islam, sebagian kelompok berpendapat untuk mengunci perempuan di dalam rumah dan melarangnya keluar, meskipun untuk melakukan pekerjaan yang dapat membantu masyarakat. Karena mereka menganggap hal tersebut telah keluar dari kodrat dan fitrah yang telah Allah swt ciptakan pada diri seorang perempuan, dan dapat menyebabkannya lepas dari tanggung jawab rumah tangga dan bisa menghancurkan keutuhan keluarga.

Mereka menilai bahwa kesalehan perempuan bisa dibuktikan ketika dia hanya keluar rumah dua kali. Pertama, saat dia keluar dari rumah ayahnya menuju rumah suaminya, kedua,

Referensi

Dokumen terkait

Rachmawati (2008) menunjukan bahwa ukuran perusahaan memiliki pengaruh terhadap audit delay yang berarti semakin besar suatu perusahaan semakin pendek audit delay

Langkah akhir adalah evaluasi dan revisi. Evaluasi dan revisi ini merupakan komponen yang sangat penting untuk mengembangkan kualitas pembelajaran. Melalui tanggapan

Penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti dan Muslimin (2014) yang berjudul “Efektivitas Alat Permainan Edukatif (APE) Berbasis Media DALAM Meningkatkan

Judul skripsi ini adalah “Pemberian Bantuan Hukum Oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) sebagai Perwujudan Hak Konstitusional Fakir Miskin di Makassar” dan untuk

Dalam kasus yang diangkat menjadi pokok bahasan penelitian kali ini yang menjadikan pengusaha UMKM Kerajinan Kulit dan Koper di Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo sebagai

Pada grafik percobaan menggunakan selang dengan diameter 3/4 tekanan tertinggi mencapai 0.28 pada variasi 7 dimana katup 1 ditutup penuh dan katup 2 ditutup 45 derajat, hal

Rumput laut yang telah direndam pada pupuk organik dan telah diaklimatiasi di tambak kemudian dilakukan perbanyakan pada waring berukuran 3x3x1 m yang ditancapkan