DAFTAR PUSTAKA
Asikin Zainal, 2000, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Badrulzaman Darus Mariam, 1981, Bab-bab Tentang Credietverband Gadai dan Fiducia, Alumni, Bandung.
Bahsan M, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hamzah A. dan Manulang Senjun, dalam Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Hartini Rahayu, 2007, Penyelesaian Sengketa Kepailitan di Indonesia, Kencana, Surabaya.
HS. Salim, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Kamello Tan, 2004, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan, PT. Alumni, Medan.
Pardede Marulak dan Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2008, Penelitian Hukum Tentang Implementasi Jaminan Fidusia Dalam Pemberian Kredit Di Indonesia, Jakarta.
Salindeho John, 1994, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Sofwan Masjchoen Soedewi Sri dalam Satrio J, 2002, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sjahdeini Remy Sutan, 2002, Hukum Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Subekti R. Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya
Paramita, Cetakan XXXIII, Jakarta.
T. Oey Hoey, 1983, Fiducia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Widjaja Gunawan dan Yani Ahmad, Jaminan Fidusia, PT. Grafindo Persada, Jakarta.
Undang-Undang
Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Pasal 55 ayat 1 Undang-Undang Nomor. 37 Tahun 2004.
Pasal 15 Undang-Undang Perumahan dan Pemukiman, Pemilikan rumah dapat dijadikan jaminan, hutang dan pembebanan fidusia atas rumah tersebut dilakukan dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, 2001, Fokus Media, Bandung.
BAB III
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEPAILITAN
A. Pengertian Kepailitan
Kata pailit berasal dari bahasa Prancis; failite yang berarti kemacetan
pembayaran. Secara tata bahasa, kepailitan berarti berarti segala hal yang
berhubungan dengan pailit.
Kepailitan merupakan suatu proses di mana seorang debitur yang mempunyai
kesulitan keuangan untuk membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan,
dalam hal ini pengadilan niaga, dikarenakan debitur tersebut tidak dapat membayar
utangnya. Harta debitur dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan
pemerintah.
Dari sudut sejarah hukum, undang-undang kepailitan pada mulanya bertujuan
untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk
menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar.
Pengertian kepailitan dapat kita lihat dalam Undang-Undang No. 37 Tahun
2004 tentang kepailitan dan penundaan pembayaran utang, Bab I ketentuan umum,
Pasal 1 Ayat (1) yang menyatakan bahwa : “kepailitan adalah, sita umum atas semua
kekayaan debitur pailit yang pengurus dan pemberesannya dilakukan oleh curator di
bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur di dalam undang-undang”.
selanjutnya di dalam Ayat (2), dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan debitur pailit
pailit dalam Pasal 2 Ayat (1) lebih lanjut dikatakana sebagai debitur yang mempunyai
dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Di
dalam UU No. 37 Tahun 2004 ini dapat kita lihat pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit, yaitu :
1. Debitur
a. Apabila debitur adalah Bank, maka permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan oleh Bank Indonesia.
b. Apabila debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan
Penjaminan, Lembaga Penyimpan dan Penyelesaian, Permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
c. Apabila debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana
Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan
public, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Mentri
Keuangan.
2. Kreditur, baik satu ataupun lebih.
3. Kejaksaan apabila kepentingan umum memaksa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bank sebagai kreditur penerima
jaminan fidusia jika debiturnya pailit, kedudukan bank yang bersangkutan adalah
menjadi kreditur separatis. Kedudukan separatis dari bank seharusnya
penerima jaminan fidusia. Dalam Pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004 ditentukan
bahwa hak separatis kreditur pemegang hak jaminan kebendaan ditangguhkan
jangka waktunya selama 90 hari sejak putusan pailit ditetapkan. Ratio pembentuk
undang-undang menetapkan adanya tenggang waktu itu dapat dilihat di dalam
penjelasan Pasal 56 UU No. 37 Tahun 2004 yang bertujuan untuk :
a. Memperbesar kemungkinan tercapainya perdamaian.
b. Memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harta pailit.
c. Memungkinkan curator menjalankan tugasnya secara optimal.
Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan hukum
untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang
badan peradilan, dan baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksud dilarang
mengeksekusi atau memohonkan sita atas benda yang menjadi agunan.
Persoalannya adalah apakah hal itu tidak melanggar hak separatis pemegang
jaminan fidusia. Karena di dalam pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004 dinyatakan bahwa:
“dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56,
Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditur pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak
tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Apabila secara yuridis terjadi pelanggaran
hak separatis, dan dilakukan penyimpangan terhadap norma hukum seperti yang
tercantum didalam Pasal 55 UU No. 37 Tahun 2004, hal tersebut hanya dapat
dilakukan dengan membuat klausula dalam akta jaminan fidusia yang telah
fidusia, klausula yang demikian belum pernah ditemukan dalam rangka melindungi
hak separatis kreditur penerima jaminan fidusia.
B. Sumber-Sumber Hukum Kepailitan
Dengan semakin maraknya usaha bisnis baik dari kalangan ekonomi atas
menengah dan bawah sehingga membutuhkan fasilitas pendanaan untuk
melangsungkan usaha bisnis, pembahasan tentang salah satu media pendanaan bisnis
yang berupa jaminan fidusia dalam prespektif ini sangat penting karena hasilnya
diharapkan dapat diaplikasikan oleh seluruh kalangan masyarakat.
Di Indonesia maraknya krisis moneter dan diperparah lagi oleh krisis politik,
krisis moneter diawali dengan melemahnya nilai rupiah terhadap mata uang dolar AS.
Hal itu telah mengakibatkan utang-utang para pengusaha Indonesia dalam valuta
asing, terutama terhadap para kreditor luar negri, menjadi membengkak luar biasa
sehingga mengakibatkan banyak sekali debitur yang tidak membayar utang-utangnya.
Di samping itu kredit macet di perbankan dalam negri juga makin membumbung
tinggi secara luar biasa, sebelum krisis moneter perbankan di Indonesia memang juga
telah menghadapi masalah kredit bermasalah atau Non-Performing Loans yang
memperhatinkan, yaitu sebagai akibat terpuruknya sector riil karena krisis moneter
tersebut.
Pada situasi ini masyarakat kreditur mulai mencari-cari cara dan sarana untuk
dapat menagih tagihannya dengan memuaskan. Dirasakan bahwa peraturan kepailitan
itu pula upaya restrukturisasi utang tidak terlalu tampak menjanjikan bagi para
kreditur karena masih terpuruknya sektor riil. Selain itu dikhawatirkan upaya
penyelesaian utang dengan menempuh restrukturisasi utang akan berlangsung lama.
Banyak sekali debitur yang sulit dihubungi oleh para kreditnya karena berusaha
mengelak untuk bertanggung jawab atas utang-utangnya. Sedangkan upaya
restrukturisasi utang hanyalah mungkin di tempuh apabila debitor bersedia bertemu
dan duduk berunding dengan para kreditur atau sebaiknya.
Adanya kesedian untuk berunding tersebut bisnis debitur harus memiliki
prospek yang baik untuk mendatangkan revenue sebagai sumber pelunasan utang
yang direstrukturisasi itu. Mengingat restrukturisasi itu masih belum dapat
diharapkan akan berhasil dengan baik, sedangkan upaya dalam kepailitan dengan
menggunakan faillissementsverordening, secepatnya dapat diganti dan diubah. IMF
sebagai pemberi utang kepada Pemerintah Republik Indonesia berpendapat pula
bahwa upaya mengatasi krisis moneter krisis Indonesia tidak dapat terlepas dari
keharusan penyelesaian utang-utang luar negri dari para pengusaha Indonesia kepada
para kreditur luar negrinya dan upaya penyelesaian kredit-kredit macet perbankan
Indonesia. Oleh karena itu maka, IMF mendesak pemerintah Indonesia agar secara
resmi mengganti atau mengubah peraturan kepailitan berlaku yaitu,
faillissementsverordening sebagai sarana penyelesaian utang-utang para krediturnya.
Karena hasil desakan IMF akhirnya pemerintah turun tangan dan lahirlah
undang-undang Kepailitan (Perpu Kepailitan) perpu tersebut mengubah dan
menambah Peraturan kepailitan (faillissementsverordening).
Dari segi bahasa ada yang kurang dari judul perpu tersebut karena selama ini
faillissementsverordening kita kenal sebagai “peraturan kepailitan”. Oleh penyusun
perpu kata “verordening” telah diterjemahkan dengan kata “undang-undang”. Kalau
verordening telah diterjemahkan dengan istilah “Peraturan” maka perpu kepailitan
tersebut disebut sebagai Perpu No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Peraturan
Kepailitan.22
Setelah diterbitkan Perpu Kepailitan ini pada tanggal 22 April 1998 oleh
Pemerintah maka lima bulan kemudian Perpu Kepailitan telah diajukan kepada DPR
dan pada 9 September 1998 Peraturan Pemerintah pengganti undang-undang No. 1
Tahun 1998 Tentang Perubahan atas undang-undang tentang Kepailitan itu telah
ditetapkan menjadi undang-undang No.4 Tahun 1998.23
22
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hal.29-31.
23
Ibid.
Berdasarkan perkembangan
tersebut, selanjutnya oleh pemerintah dianggap perlu untuk melakukan perubahan
terhadap undang-undang kepailitan diatas yang dilakukan dengan memperbaiki,
menambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, yang jika
ditinjau dari materi yang diatur masih memiliki banyak kelemahan. Oleh karena itu
undang kepailitan yang baru yaitu UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Pembayaran Utang. Undang-undang ini dianggap perlu karena beberapa
alasan, yaitu :24
1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.
2. Untuk menghindari adanya kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang
menurut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan
kepentingan debitur atau para kreditur yang lainnya.
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya debitur berusaha untuk memberi
keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur
lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan
semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya
terhadap para kreditur.
Berdasarkan uraian diatas maka, sumber-sumber hukum kepailitan di
Indonesia adalah :
1. KUHPerdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, dan Pasal
1134.
24
2. Fallissementsverordening S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348 sepanjang
belum diubah dengan UU No. 4 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU
Kepailitan.
3. UU No. 4 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Kepailitan.
4. UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 90.
5. UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran
Utang.
C. Tujuan Hukum Kepailitan
Tujuan hukum kepailitan menurut Louis E. Levinthal dalam bukunya yang
berjudul “ The Early History of Bankrupicy Law ” adalah :25
1. Untuk menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitur dan
diantaranya para kreditur.
2. Mencegah para debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan para kreditur.
3. Memberikan perlindungan kepada debitur yang beritikad baik dari para
krediturnya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
Menurut Sutan Remi Sjahdeini, tujuan hukum kepailitan adalah :
1. Melindungi para kreditur konkuren untuk memperoleh hak mereka sehubungan
dengan berlakunya asas jaminan, bahwa “semua harta kekayaan debitur baik yang
25
bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang telah ada maupun yang akan ada
di kemudian hari, menjadi jaminan bagi perikatan debitur, yaitu dengan cara
memberikan fasilitas dan prosedur untuk mereka dapat memenuhi tagihan –
tagihannya terhadap debitur. Menurut hukum Indonesia.
2. Menjamin agar pembagian harta kekayaan debitur diantara para kreditur sesuai
dengan pari passu pembagian secara proporsional harta kekayaan debitur kepada
para kreditur konkuren atau unsecured creditors berdasarkan pertimbangan
besarnya tagihan masing-masing kreditur tersebut. (Pasal 1132 KUHPerdata).
3. Mencegah agar debitur tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merugikan kepentingan kreditur. Dengan dinyatakan debitur pailit, maka debitur
menjadi tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengurus dan memindah
tangankan harta kekayaannya yang dengan putusan pailit itu status hukum dari
harta kekayaan debitur menjadi harta pailit.
4. Dalam hukum di Amerika Serikat, hukum kepailitan memberikan perlindungan
kepada debitur yang beritikad baik dari para krediturnya, dengan cara
memperoleh pembebasan utang.
5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan keadaan
keuangan perusahaan menjadi buruk sehinggan perusahaan mengalami keadaan
insolvensi dan kemudian dinyatakan pailit oleh pengadilan.
6. Memberikan kesempatan kepada debitur dan kreditur untuk berunding dan
Berdasarkan UU No.37 Tahun 2004, maka tujuan UU Kepailitan dan
Penundaan Pembayaran Utang adalah :
1. Untuk menghindari perebutan harta debitur apabila dalam waktu yang sama ada
beberapa kreditur yang menagih piutangnya dari debitur.
2. Untuk menghindari ada kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang
menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa memperhatikan
kepentingan debitur atau para kreditur lainnya.
3. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah
seorang kreditur atau debitur sendiri. Misalnya debitur berusaha untuk memberi
keuntungan kepada seorang atau beberapa kreditur tertentu sehingga kreditur
lainnya dirugikan atau adanya perbuatan curang dari debitur untuk melarikan
semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya
terhadap para kreditur.
D. Syarat-syarat Kepailitan
Sangatlah penting untuk diketahui mengenai apa saja syarat-syarat yang harus
dipenuhi terlebih dahulu apabila seseorang atau badan hukum bermaksud mengajukan
permohonan pernyataan pailit melalui Pengadilan Niaga. Syarat-syarat tersebut perlu
diketahui karena apabila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh Pengadilan Niaga.
Pasal 1 Ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004 menyatakan bahwa : “debitur pailit adalah
Dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No.37 Tahun 2004 tersebut menyatakan bahwa :
“debitur yang mempunyai dua atau lebih kurator dan tidak membayar lunas
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan
satu atau lebih krediturnya”.
Dari ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dapat disimpulkan
bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap seorang debitur hanya dapat diajukan
apabila memenuhi syarat-syarat yaitu :
1. Debitur terhadap siapa permohonan itu diajukan harus paling sedikit mempunyai
dua kreditur, atau dengan kata lain harus mempunyai lebih dari satu kreditur.
2. Debitur tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu krediturnya.
3. Utang yang tidak dibayar itu harus telah jatuh waktu dan telah dapat ditagih.
Artinya bahwa kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik
karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana
diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang,
maupun karena putusan pengadilan, arbiter, atau majelis arbiter.
Pasal 2 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tersebut mengalami perubahan
terhadap syarat kepailitan yang ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (1)
faillissementsverordening sebagai berikut : “setiap debitur yang tidak mampu
membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang
atau beberapa orang krediturnya, dapat diadakan putusan oleh Hakim yang
menyatakan bahwa debitur yang bersangkutan dalam keadaan pailit”.
Oleh karena menurut KUH Acara Perdata Indonesia (HIR) seorang yang
mengajukan gugatan atau permohonan harus membuktikan kebenaran gugatan atau
permohonannya, atau dengan kata lain beban pembuktian ada pada penggugat atau
pemohon, maka pemohon pernyataan pailit harus dapat membuktikan bahwa Debitor
memiliki lebih dari satu Kreditor (terdapat Kreditor lain selain Kreditor pemohon),
dan harus dapat pula menyebutkan dengan mengemukakan bukti-bukti siapa saja
Kreditor-kreditor lain itu.
Perlu diketahui bahwasanya putusan pernyataan pailit tidak mengakibatkan
debitor kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum (volkomen
handelingsbevoegd) pada umumnya, tetapi hanya kehilangan kekuasaan atau
kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja.
Kewenangan debitor itu selanjutnya diambil alih oleh kurator. Ketentuan tersebut
berlaku sejak diucapkanya putusan pernyataan pailit. Kepailitan ini meliputi seluruh
kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu
yang diperoleh selama kepailitan. Sesudah pernyataan pailit tersebut maka segala
perikatan yang dibuat debitor dengan pihak ketiga tidak dapat dibayar dari harta
pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut mendatangkan kuntungan bagi harta
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR PEMEGANG JAMINAN FIDUSIA KARENA DEBITORNYA DINYATAKAN PAILIT
A. Kedudukan Kreditor Pemegang Fidusia Yang Debitornya Dinyatakan Pailit Pada dasarnya, sebelum pernyataan pailit, hak-hak debitor untuk melakukan
semua tindakan hukum berkenaan dengan kenyataan harus dihormati, tentunya
dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta kewajiban debitor menurut
peraturan perundangan-undangan. Semenjak pengadilan mengucapkan putusan
kepailitan dalam sidang yang terbuka untuk umum terhadap debitor, hak dan
kewajiban si pailit beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedalnya.
Akan tetapi, si pailit masih berhak melakukan tindakan – tindakan atas harta
kekayaan sepanjang membawa keuntungan bagi boedelnya.
Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut :
1. Kekayaan debitor pailit yang masuk harta pailit merupakan sitaan umum atas
harta pihak yang dinyatakan pailit. Menurut pasal 21 UUK dan PKPU, harta
pailit meliputi seluruh kekayaan debitor pada waktu putusan pailit diucapkan serta
segala kekayaan yang diperoleh debitor pailit selama kepailitan.
2. Kepailitan semata – mata hanya mengenai harta pailit dan tidak mengenai diri
pribadi debitor pailit.
3. Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai
4. Segala perikatan debitor yang timbul sesudah putusan pailit diucapkan tidak dapat
dibayar dari harta pailit kecuali jika menguntungkan harta pailit.
5. Harta pailit diurus dan dikuasai kurator untuk kepentingan semua para kreditor
dan debitor dan hakim pengawas memimpin dan mengawasi pelaksanaan jalannya
kepailitan.
6. Tuntutan dan gugatan mengenai hak dan kewajiban harta diajukan oleh atau
terhadap terhadap kurator.
7. Semua tuntutan atau yang bertujuan mendapatkan pelunasan suatu perikatan dari
harta pailit, dan dari harta debitor sendiri selama kepailitan harus diajukan dengan
cara melaporkannya untuk dicocokkan.
8. Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 UUK
dan PKPU, kreditor pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,
hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya
seolah – olah tidak terjadi kepailitan. Pihak kreditor tersebut, tidak kehilangan
haknya untuk menahan barang tersebut meskipun ada putusan pailit.
9. Hak eksekusi kreditor yang dijamin sebagaimana disebut dalam Pasal 55 ayat (1)
UUK dan PKPU, dan pihak ketiga untuk menurut hartanya yang berada dalam
penguasaan debitor pailit atau kurator, ditangguhkan maksimum untuk 90 hari
setelah putusan pailit diucapkan.
Pada dasarnya keduduakan kreditor adalah sama dan karenanya mereka
mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya
Bila kita lihat diatas, maka dapat diketahui bahwa pihak – pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit adalah :
a. Debitor itu sendiri yang memiliki dua atau lebih kreditor, melihat ketentuan itu,
maka berarti debitor yang hanya memiliki seorang kreditor tidak dapat
mengajukan permohonan kepailitan.
b. Seorang kreditor atau lebih, baik secara sendiri – sendiri ataupun bersama – sama.
Jika kreditor itu adalah satu – satunyakreditor maka permohaonan kepailitan itu
tidak dapat diajukan oleh kreditor.
c. Jaksa atau penuntut umum
Bentuk awal dari fidusia adalah fidusia cum creditore. Penyerahan hak milik
pada fidusia ini terjadi secara sempurna, sehingga penerima fidusia (kreditor)
berkedudukan sebagai pemilik yang sempurna juga.26
“dimana sebagai pemilik tentunya saja ia bebas berbuat apa pun terhadap barang yang
dimilikinya, hanya saja berdasarkan fides ia berkewajiban mengembalikan hak milik
atas barang tersebut kepada debitor pemberi fidusia, apabila pihak yang belakangan
ini telah melunasi utangnya kepada kreditor. Lebih daripada itu tidak ada pembatasan
– pembatasan lain dalam hubungan fidusia cum creditore. Hak milik disini bersifat
sempurna yang terbatas, karena digantungkan pada syarat tertentu. Untuk pemilik Hal senada juga, disampaikan
oleh Dr. A. Veenhoven yang menyatakan :
26
fidusia, hak miliknya digunakan pada syarat putus. Hak miliknya yang sempurna baru
lahir jika pemberi fidusia tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi).27
27
A. Veenhoven dalam Oey Hoey Tiong, Op.Cit., hal. 47.
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu hal yang sangat penting dalam
membuat suatu perjanjian, dimana dengan adanya kebebasan berkontrak akan
terciptanya suatu keadilan. Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan,
jika para pihak memiliki kedudukan yang seimbang. Karena, jika tidak adanya
keseimbangan maka kontrak dapat menjadi tidak seimbangan terhadap kedudukan
para pihak.
Kedudukan yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat
memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah hanya
mengikuti saja syarat – syarat kontrak yang diajukan kepadanya. Syarat lainnya
adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendaksehingga
membawa keuntungan kepadanya.
Kreditor dalam Pasal 1 ayat (8) UUJF yaitu pihak yang mempunyaipiutang
karena perjanjian atau undang – undan. Dalam hal ini kreditor yang dimaksud adalah
bank dan nasabah sebagai kreditor. Dari segi kacamata hukum, hubungan antara
nasabah dengan bank, yaitu hubungan kontraktual dan hubungan kontraktual.
Hubungan yang paling utama dan lazim antara bank dan nasabah adalah hubungan
kontraktual, terhadap nasabah debitor hubungan kontraktual tersebut berdasarkan
Hukum kontrak yang menjadi dasar terhadap hubungan antara bank dengan
nasabah sebagai debitor bersumber dari ketentuan – ketentuan KUHPerdata tentang
kontrak (buku ketiga). Sebab, menurut Pasa 1338 ayat (1) KUHPerdata, bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berkekuatan sama dengan undang – undang bagi
kedua belah pihak.
Perjanjian kredit bank, memuat serangkaian klausula atau covenant, dimana
sebagian besar dari klausula merupakan upaya untuk melindungi pihak kreditor
dalam pemberian kredit. Dalam perjanjian kredit antara bank dengan nasabahnya,
bank seringkali memintakan jaminan kepada debitornya sebagai jaminan atas kredit
yang dipinjamnya maka benda jaminannya akan dieksekusi olehbank tersebut.
Dalam Pasal 55 UUK dan PKPU mengakui hak separatis dari pemegang hak
jaminan sebagaimana ditentukan oleh KUHPerdata. Pencantuman Pasal 55 UUK dan
PKPU ini sangat penting bagi kepentingan dan pemberian perlindungan kepada
kreditor. Menurut Pasal 56 ayat (2) UUK dan PKPU, apabila penagihan kreditor
pemegang hak jaminan adalah suatu piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126
dan 127 UUK dan PKPU, maka kreditor pemegang hak jaminan diperkenankan untuk
berbuat demikian hanya sesudah piutang tersebut dicocokkan yang dilakukan dengan
maksud untuk mengambil pelunasan atas jumlah piutang yang telah diakui dalam
pencocokan utang – piutang tersebut.
Ketentuan hukum yang menentukan terjadinya keadaan yang disebut dengan
automatic stay, yaitu keadaan status quo bagi debitor dan para kreditor, biasanya
berlangsungnya pemeriksaan pailit oleh pengadilan yaitu sejak permohonan pailit
didaftarkan di pengadilan atau pada saat negosiasi antara kreditor dan debitor dalam
likuidasi terhadap pailit.
Secara konkrit tentang apa yang diuraikan dapat dilihat pada kasus sebagai
berikut :
PT. NV MASS telah ditunjuk PT. STAR MOTOR Untuk menjadi agen penyaluran
dan penjualan Sedan Mercedes, PT. NV MASS mendapat pembiayaan kredit
exploitasi dari BANK MANDIRI sebesar150.000.000.000,- (seratus lima puluh
miliar rupiah), untuk pembelian stock mobil Baby Benz dari PT. STAR MOTOR.
Sebagai jaminan pelunasan utang PT. NV MASS, maka seluruh kendaraan yang
dibeli dari PT. STAR MOTOR diserahkann sebagai agunan utama.
Dalam hal kredit yang diberikan oleh BANK MANDIRI kepada PT. NV
MASS adalah exploitasi pembelian kendaraan sehingga jaminan pokok yang
dkiminta oleh BANK MANDIRI adalah seluruh stock kendaraan yang dibiayai
berdasarkan ketentuan dalam pemberian kredit. Mengenai bentuk jaminannya yang
digunakan adalah jaminan fidusia, karena fidusia merupakan jaminan yang
memberikan kedudukan yang diutamakan pada penerima fidusia dalam hal ini adalah
BANK MANDIRI terhadap kreditor lainnya, jika tidak memenuhi janjinya maka
penerima fidusia atau BANK MANDIRI mempunyai hak untuk menjual benda yang
dijaminkan atas kekuasannya sendiri karena sertifikat fidusia ini mempunyai
sekalipun barang yang di serahkan sebagai jaminan tetap berada dalam penguasaan si
pemberi fidusia dalam hal ini PT. NV MASS.
Dalam memperoleh sertifikat jaminan fidusia ditempuh dengan adanya
tahap-tahapnya sebagai berikut:
1. Tahapan Pembebanan Fidusia
Pertama, Pembuatan perjanjian pokok tentang hutang atau kredit yang
menimbulkan hak dan kewajiban antara BANK MANDIRI dengan PT. NV MASS
dapat dibuat secara dibawah tangan atau Notaris. Kedua, Pembuatan akta
pembebanan jaminan fidusia harus dengan Akta Notaris dan dalam Bahasa Indonesia.
2. Pendaftaran Fidusia
Pertama, BANK MANDIRI atau wakilnya mengajukan permohonan
pendaftaran jaminan fidusia dengan melampirkan pernyataan fidusia yang memuat
antara lain:
- Identitas pemberi dan penerima fidusia
- Tanggal, nomor akta dan tempat notaris yang membuat
- Data perjanjian
- Obyek jaminan fidusia
- Nilai penjamin
- Nilai obyek jaminan fidusia.
Kedua, mencatatkan jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia pada tanggal
Ketiga, menerbitkan dan menyerahkan sertifikat fidusia kepada penerima atau
wakilnya pada tanggal yang sama dengan tanggal penerima permohonan pendaftaran.
c. Sertifikat Jaminan Fidusia adalah Salinan Buku Daftar Fidusia yang
memuat mengenai identitas pemberi dan penerima fidusia, tanggal dan
nomor akta jaminan, nama dan tempat kedudukan Notaris pembuat
akta, data perjnjian pokok, uraian objek jaminan, nilai penjamin, dan
nilai yang menjadi objek.
Dimana dalam melakuan penjualan kendaraan, PT. NV MASS sebagai
pemberi fidusia tidak harus melakukan dengan meminta izin kepada BANK
MANDIRI. Karena dalam hal ini tidak perlu dilakukan atau meminta izin terhadap
BANK MANDIRI, karena yang dibiayai dengan kredit exploitasi BANK MANDIRI
adalah barang persediaan. Hal ini mengacu pada ketentuan Undang – undang No.42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Karena menurut ketentuan Pasal 21 ayat (1)
pemberi fidusia dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi objek jaminan
fidusia dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.
Apabila kendaraan tersebut bukan digolongkan sebagai investory dan dijual
oleh PT. NV MASS tanpa izin dari BANK MANDIRI maka akan dikenakan sanksi,
sanksinya dapat dikenakan penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp.
50.000.000,-(lima puluh juta rupiah) kepada PT. NV MASS selaku pembeli fidusia
hal ini sesuai dengan Pasal 36 Undang – undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia. Karena menurut ketentuan Pasal 23 ayat (2) Undang – undang No.42 Tahun
kepada pihak lain benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang tidak merupakan
benda persediaan kecuali telah ada persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima
fidusia.
Selain kasus diatas, untuk menbuat dasar pembahasan dalam penulisan
diberikan contoh lain yang berkaitan dengan jaminan fidusia, yaitu sebagai berikut :
BANK MANDIRI cabang Jakarta telah memberikan fasilitas kredit kepada
PT. Blueberry Hill yang bergerak di bidang kontrak sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua
milyar rupiah) melalui Perjanjian Kredit tanggal 15 Januari 1999. PT. Blueberry Hill
didirikan dengan akta Notaris No. 119 tanggal 15 oktober 1999 dibuat dihadapan
Datuk Maharjo, SH, Notaris di Jakarta. Anggaran dasarnya belum diumumkan dalam
TBNRI namun sudah disetujui oleh Mentri Kehakiman tertanggal 2 Januari 2000. PT.
Blueberry Hill melakukan kontrak kerja dengan PT (persero) Hutama Karya Jaya
dalam pembangunan fly over dengan nilai proyek sebesar Rp. 5.000.000.000,- (lima
milyar rupiah) yang pembayarannya oleh PT (persero) Hutama Karya Jaya kepada
PT. Blueberry Hill dilakukan secara bertahap. Tahap I sebesar Rp. 1.500.000.000,-
(satu milyar lima ratus juta rupiah) dan Tahap II sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua
milyar rupiah) PT. Blusky adalah holding company dari PT. Blueberry Hill yang juga
sebagai deposan dari BANK MANDIRI, memberikan jaminan tanah berikut
bangunan kantor diatasnya seluas 800 m2 (delapan ratus meter persegi) yang terletak
di JL. Jend. Gatot Subroto, Jakart Selatan, yan terdaftar atas nama Ny.Amanah
Dengan adanya 2 (dua) contoh kasus di atas dapat diambil kesamaan, dimana
jaminan fidusia banyak digunakan, karena proses pembebenannya dianggap
sederhana, mudah, dan cepat. Karena para pelaku bisnis ingin semua prosesnya dapat
dilaksanakan dengan baik. Dan apabila para pelaku usaha bisnis ingin mengalami
pailit, para pelaku usaha bisnis tidak perlu merasa khawatir karena adanya jaminan
yang mereka punya. Sehingga para pelaku usaha bisnis dapat terus melakukan
kegiatannya. Dengan adanya jaminan fidusia ini, diharapkan segala sesuatunya dapat
dilaksanakan dan dilakukan dengan sebaik – baiknya agar apabila terjadi sengketa,
maka penyelesaian sengketa tersebut dapat diselesaikan dengan efesien dan efektif.
B. Hak Jaminan Fidusia Dalam Undang-Undang Kepailitan
Penjelasan Pasal 56 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 mengemukakan bahwa
harta kepailitan adalah yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator, terbatas pada
barang persediaan dan atau barang bergerak meskipun harta pailit tersebut dibebani
dengan hak jaminan. Ketenyuan ini menciptakan keadaan yang tidak menentu bagi
eksekusi Hak Jaminan Fidusia oleh kreditur.
Di dalam praktek perkreditan bank barang-barang persediaan dan barang
bergerak milik debitur yang memperoleh kredit dari bank hampir selalu dibebani
dengan hak jaminan fidusia. Hak jaminan fidusia memberikan secara hukum hak
kepemilikan kepada kreditur atas barang-barang yang dibebani dengan hak jaminan
Dengan demikian, bagi benda-benda yang dibebani hak jaminan fidusia,
kurator tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penjualan atas benda-benda
tersebut. Benda-benda yang dibebani hak jaminan fidusia tersebut secara hukum
dalam pelunasan hutang adalah milik kreditur bukan debitur.Sedangkan ketentuan
hak gadai menentukan bahwa hak gadai sah apabila barang bergerak yang dibebani
gadai itu diserahkan kepada kekuasaan kreditur pemegang hak gadai dan kekuasaan
kreditur akan membatalkan berlakunya hak gadai tersebut. Barang yang dibebani hak
gadai oleh kreditur kepada curator akan membatalkan sahnya gadai tersebut.
Ketentuan pasal 56 ayat (1) dan pasal 59 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 juga
bertentangan dengan pasal 21 ayat UU Hak Tanggungan dinyatakan pailit, maka
pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya
menurut ketentuan UU Hak Tanggungan.
Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas maka ketentuan Pasal 59 ayat (1)
UU No.37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa dengan memperhatikan ketentuan Pasal
56, Pasal 57, dan Pasal 58, kreditur pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 56 ayat (1) yaitu hak tanggungan,hak gadai, hak fidusia, dan sebagainya harus
melakukan haknya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak
dimulainya keadaan insovensi (harta kekayaan debitur berada dalam keadaan tidak
mampu membayar) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (1).
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 59 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004,
setelah lewat jangka waktu sebagaimana telah dimaksud dalam ayat (1) yaitu telah
agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 185 tanpa mengurangi hak pemegang hak tersebut untuk memperoleh hasil
penjualanann agunan tersebut.
Disamping ketentuan pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 tahun 2004 itu
telah mengabaikan berlakunya hak separatis dari kreditur pemengang hak jaminan
(fidusia) maupun yang lain, ketentuan ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 2004 itu tidak
realistis. Didalam praktek sangat sulit bagi seorang kreditur untuk dapat melakukan
eksekusi hak-hak jaminannya dalam jangka waktu hanya 2 (dua) bulan.
Banyak faktor di luar kendali kreditur pemengang hak jaminan (fidusia) yang
membuat berlarut-larutnya eksekusi hak jaminan itu. Misalnya mungkinkah bagi
bank untuk dapat menjual sebuah pabrik semen atau sebuah hotel berbintang 5 (lima)
yang merupakan agunan dalam waktu 2 (dua) bulan saja. Masa persiapan, ditambah
masa untuk mendapatkan pembeli sampai kepada menyelesaikan perjanjian jual-beli
dan penerimaaan uang penjualan pabrik semen atau hotel tersebut dapat memakan
waktu antara 1-2 tahunbahkan tidak mustahil bisa lebih lama dari 2 (dua) tahun.
Adalah menarik untuk menyimak ketentun Pasal 59 ayat 3 (tiga) UU No. 37
thun 2004.
Menurut pasal 59 ayat (3) UU No.37 tahun 2004 tersebut, setiap waktu
kuartor dapat membebaskan barang yang menjadi agunan dengan membayar kepada
kreditur yang bersangkutan jumlah terkecil antara harga pasar barang agunan dan
jumlah utang yang dijamin dengan barang agunan tersebut. Kata “dapat” dalam
Sehubungan dengan ketentuan dengan pasal ini, pertanyaan ialah “ apakah
kreditur hak jaminan yang bersangkutan wajib menyerahkan barang tersebut apabila
curator menggunakan wewenangnya itu ?Bolehkah kreditur menolak ? Apa akibat
hukumannya apablila kreditur menolak ? Ternyata di dalam Undang-Undang tidak
terdapat jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut. Berlakunya ketentuan
pasal tersebut juga berarti bahwa dimungkinkan bagi kurator untuk tidak menjul
barang yang dibebani dengan hak jaminan itu melalui lelang sebagaimana ditetukan
oleh berbagai undag-undang yang mengatur mengenai hak jaminan (fidusia).
Pertanyaan lain yang muncul sehubungan dengan ketentuan pasal 59 ayat (3)
UU No. 37 tahun 2004 ialah (i) Siapa yang menentukan harga pasar barang agunan
itu. (ii) Apakah harga pasar itu boleh ditetukan secara sepihak oleh kurator tanpa
persetujuan kreditur atau tanpa persetujuan pemilik barang (agunan itu dapat milik
debitur sendiri maupun milik pihak ketiga) ? Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tidak diatur dalam undang-undang. Seharusnya penentuan harga pasar barang agunan
itu ditentukan oleh perusahaan penilai yang independent. Namun biayanya tidak
murah. Akan timbul masalah mengenai biaya perusahaan penilai itu apabila
barangnya tidak besar dan atau nilai kreditnya tidak besar. Dengan kata lain untuk
barang agunan nilainya tidak besar dan atau nilai kreditnya tidak besar sebaiknya
kurator tidak melakukan pembebasan barang agunan itu sebagaimana dimaksud
dalam pasal 59 ayat (3) UU No. 37 tahun 2004.
Di dalam praktek harga antara pasar dan harga jual sangat berbeda. Dalam
lidukasi (liqudiation price). Dapat terjadi bahwa harga likuidasi jauh sekali di bawah
harga pasar. Dengan kata lain, apabila berdasarkan ketentuan pasal 59 ayat (3) UU
No.37 tahun 2004, kurator membebaskan barang agunan dengan membayar kepada
kreditor dengan harga pasar, yaitu dalam hal pasar lebih rendah dari jumlah tagihan,
tetapi ketika barang agunan itu dijual dan harga jadinya (harga liduikasinya) jauh
lebih rendah dari harga pasar yang menjadi nilai tebusan barang agunan itu oleh
kurator.
C. Perlindungan Hukum Kreditor Pemegang Fidusia Terhadap Eksekusi Yang Diumumkan Oleh Kreditor Lain Atas Debitor Yang Dinyatakan Pailit
Tiap kreditor mempunyai keistimewaan masing – masing ada beberapa
macam kreditor, diantaranya sebagai berikut :
1. Kreditor Separatis
Kreditor separatis ialah kreditor ialah kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan, yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena
akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak – hak eksekusi mereka
tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan dari debitor. Kreditor ini
dapat menjual sendiri barang – barang yang menjadi jaminan, seolah – olah
tidak terjadi kepailitan.28
28
Dikatakan separatis yang berkonotasi “pemisahan”, dikarenakan
kedudukan kreditor tersebut memaang dipisahkan darikreditor lainnya, dalam
arti dia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan,
yang terpisah dengan harta pailit.
Dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil sebesar piutangnya
sedangkan jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator sebagai budel pailit.
Sebaliknya bila hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditor
tersebut untuk tagihan yang belum terbayar dapat memasukkan
kekurangannya sebagai kreditor bersaing.
Hak jaminan kebendaan yang memberikan hak menjual sendiri secara
lelang dan untuk memperoleh pelunasan secara mendahului terdiri dari :
a. Gadai yang di atur dalam Bab XX Buku III KUHPerdata, untuk
kebendaan bergerak dengan cara melepaskan kebendaan yang
dijaminkan tersebut dari penguasa pihak yang memberikan
jaminan kebendaan berupa gadai tersebut.
b. Hipotik yang diatur dalam Bab XXI Buku III KUHPerdata, yang
menurut Pasal 314 KUHDagang berlaku untuk kapal laut yang
memiliki ukuran sekurang – kurangnya dua puluh meter kubik dan
didaftar di syahbandar Direktorat Jendral Perhubungan Laut
Departemen Perhubungan sehingga memiliki kebangsaan sebagai
kapal Indonesia dan diperlakukan sebagai benda tidak bergerak.
bergerak sehingga padanya berlaku ketentuan Pasal 1977
KUHPerdata.
c. Hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang – undang No.
4 Tahun 1996 yang mengatur mengenai penjaminan hak – hak atas
tanah tertentu berikut kebendaan yang dianggap melekat dan
diperuntukkan untuk dipergunakan secara bersama – sama dengan
bidang tanah yang diatasnya terdapat hak – hak atas tanah yang
dapat dijaminkan dengan hak tanggungan.
d. Jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No.42 Tahun
1999. Undang-Undang ini tidak memberikan rumusan positif
mengenai kebendaan yang dapat dijaminkan secara fidusia. UUjF,
menetapkan bahwa jaminan fidusia tidak berlaku terhadap :
d.1. hak tangungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,
sepanjang peraturan perundang – undangan yang berlaku
menentukan jaminan atas benda – benda tersebut wajib daftar.
Tetapi, bangunan diatas tanah milik orang lain yang tidak dibebani
hak tanggungan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan dapat dijadikan objek jaminan fidusia.
d.2. hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran
20 (dua puluh) M3 atau lebih.
d.3. hipotek atas pesawat terbang.
Dengan demikian jaminan fidusia meliputi seluruh kebendaan yang tidak
dapat dijaminkan dengan tiga jenis jaminan kebendaan diatas.
2. Kreditor Preferent/Istimewa
Dikatakan istimewa disebabkan kreditor yang karena sifat piutangnya
mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh
pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditor preferent ini
berada dibawah pemegang hak kebendaan. Pasal 1133 KUHPerdata
mengatakan bahwa hak untuk didahulukan di antara orang – orang berpiutang
terbit dari hak istimewa dari gadai dan hipotik. Hak istimewa adalah suatu hak
yang oleh undang – undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga
tingkatnya lebih tinggi dari pada orang piutang lainnya, semata – mata
berdasarkan sifat piutangnya.
Selanjutnya KUHPerdata mengatur mengenai kreditor preferent,
dimana menurut KUHPerdata kreditor preferent ialah kreditor pemegang hak
istimewa yang disebut dalam Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUHPerdata. Pada
Pasal 1139 KUHPerdata mengatakan : piutang – piutang yang diistimewakan
terhadap benda – benda tertentu, ialah :
a. Biaya perkara yang semata – mata disebabkan kerena suatu
penghukuman untuk melelang suatu benda bergerak maupun tidak
bergerak. Biaya ini dibayar dari pendapatan penjualan benda
yang diistimewakan, bahkan lebih dahulu pula daripada gadai dan
hipotik.
b. Uang – uang sewa benda – benda tak bergerak, biaya – biaya
perbaikan yang menjadi kewajiban si penyewa, beserta segela apa
yang mengenai kewajiban memenuhi perjanjian sewa.
c. Harta pembelian benda – benda bergerak yang belum dibayar.
d. Biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu barang.
e. Biaya untuk melakukan suatu pekerjaan pada suatu barang, yang
masih harus dibayar kepada seorang tukang.
f. Apa yang telah diserahkan oleh seorang pengusaha rumaah
penginapan sebagai demikian kepada seorang tamu.
g. Upah – upah pengangkutan dan biaya – biaya tambahan.
h. Apa yang harus dibayar kepada tukang – tukang batu, tukang –
tukang kayu dan lain – lain tukang untuk pembangunan,
penambahan dan perbaikan – perbaikan benda – benda tak
bergerak, asal saja piutangnya tidak boleh tua dari tiga tahun dan
hak milik atas persil yang bersangkutan masih tetap pada si
berutang.
i. Penggantian – penggantian serta pembayaran – pembayaran yang
harus dipikul oleh pegawai – pegawai yang memangku suatu
jabatan umum, karena segala kelalaian, kesalahan, pelanggaran
Selanjutnya Pasal 1149 KUHPerdata mengatakan : piutang – piutang yang
diistimewakan atas semua benda bergerak dan tidak bergerak pada umumnya ialah
yang disebutkan dibawah ini, piutang – piutang mana dilunasi dari pendapatan
penjualan benda – benda itu menurut urutan sebagai berikut :
a. Biaya – biaya perkara, yang semata – mata disebabkan karena pelelangan dan
penyelesaian suatu warisan, biaya – biaya ini didahulukan dari pada gadai dan
hipotek.
b. Biaya – biaya penguburan, dengan tidak mengurangi kekuasaan hakim untuk
menguranginya, jika benda – benda itu terlampautinggi.
c. Segala biaya perawatan dan pengobatan dari sakit yangpenghabisan.
d. Upah para buruh selama tahun yang lalu dan upah yang sudah dibayar dalam
tahun yang sedang berjalan, beserta jumlah uang kenaikan upah menurut Pasal
1602 q, jumlah uang – uang pengeluaran yang dilakukan oleh buruh guna
kepentingan majikan.
e. Piutang karena penyerahan bahan – bahan makanan, yang dilakukan kepada
debitor dan keluarganya selama waktu enam bulan terakhir.
f. Piutang – piutng penguasa sekolah berasrama untuk tahun penghabisan.
g. Piutang anak – anak yang belum dewasa dan orang – orang terampu terhadap
sekalian wali dan pengampu mereka, mengenai pengurusan mereka sekedar
piutang – piutang itu tidak dapat diambilkan pelunasan dari hipotek atau lain
jaminan yang harus diadakan menurut Bab XV Buku satu KUHPerdata ini
dibayar untuk pemeliharaan dan pendidikan anak – anak mereka yang sah
yang belum dewasa.
3. Kreditor Konkuren
Kreditor yang dikenal juga dengan kreditor bersaing. Kreditor konkuren ini
memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta
kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah
sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada para kreditor,
pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa secara proporsional
menurut perbandingan besarnya piutang masing – masing kreditor konkuren
tersebut.29
Pasal – pasal dalam KUHPerdata sebagaimana yang dijelaskan diatas
mengatur mengenai urutan prioritas masa kreditor, apabila tidak ditentukan bahwa
suatu piutang merupakan hak istimewa yang berkedudukan lebih tinggi dari pada Terlihat jelas bahwa kedudukan kreditor pemegang hak jaminan fidusia
apabaila debitor dinyatakan pailit adalah kreditor separatis. Dimana kreditor separatis
adalah pemegang hak jaminan kebendaan, dimana hak jaminan kebendaan yang
dimilki oleh kreditor pemegang hak jaminan tersebut untuk menjual secara lelang
kebendaan yang dijaminkan kebendaannya dan untuk selanjutnya memperoleh
pelunasan secara mendahulu dari kreditor – kreditor lainnya dari hasil penjualan
kebendaan yang dijaminkan kepadanya tersebut.
29
piutang yang dijamin dengan suatu hak jaminan, maka urutn kreditornya adalah
sebagai berikut :
a. Kesatu, kreditor yang memilki piutang yang dijamin dengan hak jaminan.
b. Kedua, kreditornyang memilki hak istimewa.
c. Ketiga, kreditor konkuren.
Tetapi apabila suatu hak istimewa ditentukan harus dilunasi terlebih dahulu
dari pada kreditor lainnya termasuk para kreditor pemegang hak jaminan, maka
urutan para kreditornya sebagai berikut :
a. Kesatu, kreditor memilki hak istimewa.
b. Kedua, kreditor yang memiliki piutang yang dijamin dengan hak jaminan.
c. Ketiga, kreditor konkuren.
Walaupun kreditor separatis dapat mengeksekusi dan mengambil sendiri hasil
penjualan hak jaminan, kreditor tersebut tetap tunduk pada hukum tentang
penangguhan eksekusi untuk masa tertentu, yakni selama maksimum 90 hari untuk
kepailitan,dan maksimum 270 hari untuk penundaan kewajiban pembayaran hutang.
Maka, dalam hubungan dengan aset – aset yang dijaminkan tersebut, kedudukan
kreditor separatis sangat lebih tinggi dari kreditor yang diistimewakan lainnya.
Dengan perkataan lain bahwa kedudukan kreditor separatis adalah yang tertinggi
dibandingkan kreditor lainnya.
Pada prinsipnya, kepailitan tidak berlaku bagi kreditor separatis, walaupun
terhadapnya dikenakan kewajiban eksekusi jaminan utang. Pihak kreditor separatis
kepailitan kreditor separatis harus mengajukan tagihannya untuk diverifikasi tanpa
harus melepaskan kedudukannya selaku kreditor preferent, dan apabila terdapat
bantahan kreditor separatis maka dia tidak mempunyai suara dalam perdamaian
kecuali dia melepaskan bagiannya sebagai kreditor separatis sehingga menjadi
kreditor konkuren.
Salah satu ciri jaminan hutang kebendaan yang baik adalah manakala hak
agunan tersebut dapat dieksekusi secara cepat dengan proses yang sederhana, efisien
dan mengandung kepastian hukum. Misalnya, ketentuan eksekusi di Amerika Serikat
yang membolehkan pihak kreditor mengambil sendiri barang objek jaminan fidusia
asalkan dapat dijual didepan umum, atau dijual dibawah tangan, asalkan dilakukan
dengan beritikad baik.
Fidusia sebagai salah satu jenis jaminan utang juga harus memiliki unsur –
unsur yang cepat, murah, dan pasti. Dalam prakteknya Undang – undang jaminan
fidusia juga memberi kemudahan dalam melaksanatkan eksekusi melalui lembaga
parate aksekusi. Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi ini tidak semata-mata
monoli jaminan fidusia, karena dalam hal gadai juga dikenal lembaga serupa.30
Berlakunya Undang – undang Rumah Susun No. 16 Tahun 1985 (UURS)
menciptakan prosedur yang lebih mudah yaitu lewat eksekusi dibawah tangan, tetapi
disamping syaratnya yang berat eksekusi dibawah tangan versi UURS tentunya hanya
berlaku atas fidusia yang berhubungan dengan rumah susun saja. Karena itu dalam
30
praktek eksekusi fidusia dibawah tangan sangat jarang digunakan. Salah satu
terobosan yang dilakukan oleh Undang – undang tentang fidusia ini adalah dengan
mengambil pola aksekusi hak tanggungan yang dikembangkan oleh Undang – undang
Hak Tanggungan No.4 Tahun 1996, yaitu dengan mengatur aksekusi fidusia secara
bervariasi sehingga para pihak dapat memilih model eksekusi yang diinginkan.
Eksekusi jaminan fidusia adalah penyitaan dan penjualan benda yang menjadi
objek jaminan fidusia. Yang menjadi penyebab timbulnya eksekusi jaminan fidusia
ini adalah karena debitor atau pemberi fidusia cidera janji atau tidak memenuhi
prestasinya tepat pada waktunya kepada penerima fidusia walaupun mereka telah
diberikan somasi.31
1. Pelaksanaan title oleh penerima fidusia Ada 4 cara eksekusi jaminan fidusia, yaitu:
Yang dimaksud dengan title eksekutorial, ialah tulisan yang mengandung
pelaksanaan putusan pengadilan, yang memberikan dasar untuk penyitaan dan lelang
sita tanpa perantara hakim.32
a. Akta Hipotek (berdasarkan Pasal 224 HIR)
Ada beberapa akta (tulisan) yang mempunyai titel ekskutorial, yakni yang
disebut dengan grosse akta, yaitu :
b. Akta Pengakuan Hutang (berdasarkan Pasal 1224 HIR)
31
Salim HS, Op.Cit., hal. 90. 32
c. Akta Hak Tanggungan (berdasarkan Undang – Undang Hak Tanggungan No. 4
Tahun 1996)
d. Akta Fidusia (berdasarkan Undang – Undang Fidusia No. 42 Tahun 1999)
Menurut kitab Undang – undang Hukum Acara Perdata HIR setiap akta yang
mempunyai titel ekskutorial dapat diajukan fiat eksekusi. Pasal 224 HIR tersebut
menyatakan bahwa grose akta hipotek dan surat hutang yang dibuat dihadapan
Notaris di indonesia yang kepalanya berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan kekuatan suatu keputusan
hakim, jadi berdasarkan titel eksekutorial ini penerima fidusia dapat langsung
melaksanakan eksekusi melalui pelelangan umum atas objek jaminan fidusia tanpa
melalui pengadilan.
Pasal 15 dari UUJF No. 42 Tahun 1999 menyatakan bahwa sertifikat jaminan
fidusia memuat dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”, sertifikat jaminan fidusia tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dari
Pasal-pasal tersebut diatas terlihat bahwa salah satu syarat agar suatu fiat eksekusi
dapat dilakukan adalah bahwa dalam akta tersebut terdapat kata yang berbunyi “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, kata-kata inilah yang
memberikan titel eksekutorial yaitu yang mensejajarkan akekuatan akta tersebut
dengan putusan pengadilan.
Yang dimaksug dengan fiat eksekusi adalah eksekusi atas sebuah akta seperti
dengan cara meminta fiat dari ketua pengadilan, yaitu memohon penetapan dari ketua
pengadilan untuk melakukan eksekusi.
2. Eksekusi fidusia secara parate eksekusi lewat pelelangan umum
Penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima
fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan.
Eksekusi fidusia dapat dilakukan dengan jalan melalui lembaga parate
eksekusi yaitu melalui lembaga pelelangan umum (kantor lelang), dimana hasil
pelelangan tersebut diambil untuk melunasi pembayaran piutang-piutangnya.
Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata, menyatakan bahwa apabila oleh para pihak
tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang atau si pemberi jaminan cidera
janji setelah tenggang waktu yang diberikan lampau, atau jika telah ditentukan
suatu tenggang waktu setelah dilakukannya suatu peringatan untuk membayar,
menyuruh menjual barang jaminannya dimuka umum menurut
kebiasaan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud
untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari
pendapatan penjualan tersebut.
Eksekusi lewat pelelangan umum ini dapat melibatkan pengadilan sama
sekali, seperti yang tercantum pada Pasal 29 ayat (1) hurup b UUJF yang
menyatakan bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas
kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
benda yang menjadi objek jaminan fidusia harus melalui pelelangan umum,
karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi.
Ada dua kemungkinan dari hasil pelelangan atau penjualan barang
jaminan fidusia, yaitu :
a. Hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan, penerima fidusia wajib
mengembalikan kelebihan tersebut kepada pemberi fidusia.
b. Hasil eksekusi tidak mencukupi untuk pelunasan utang, debitor atau
pemberi fidusia tetap bertanggugjawab atas hutang yang belum
dibayar.33
3. Eksekusi fidusia secara parate eksekusi melalui penjualan dibawah tangan
Jaminan fidusia dapat juga dieksekusi secara parate eksekusi (mengeksekusi
tanpa lewat pengadilan) dengan cara menjual benda objek fidusia tersebut secara
dibawah tangan, apabila penjualan melelui pelelangan umum diperkirakan tidak akan
menghasilkan harga tertinggi yang menguntungkan baik dari si pemberi fidusia
maupun si penerima fidusia.
Penjualan dibawah tangan dilakukan, dengan memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
a. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dengan penerima fidusia.
b. Jika dengan cara penjualan dibawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi
yang menguntungkan para pihak.
33
c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia kepada
pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam dua surat kabar yang beredar di
daerah yang bersangkutan.
e. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1(satu) bulan sejak
diberitahukan secara tertulis.
Menjadi pertanyaan bagaiman bila fidusia dibuat dibawah tangan dan tidak
didaftarkan. Apakah kreditor masih mendapat perlindungan hukum ? ada dua pokok
kajian, yaitu : Pertama, perlindungan kreditor terhadap debitornya. Dalam hal ini
apakah perjanjian yang dibuat dibawah tangan oleh kreditor dengan debitor mengikat
bagi para pihak, dan Kedua, perlindungan kreditor dari kreditor lainnya. Hal ini
dimungkinkan terjadi karena dalam fidusia berdasarkan Pasal 8 UUJF yang
mengatakan “jaminan fidusia dapat diberikan kepada lebih dari 1(satu) penerima
fidusia”, atau berdasarkan ketentuan Pasal 28 UUJF dan Pasal 1 sub 2 dikatakan
bahwa “kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lain.
Perlindungan kreditor dari fidusia yang dibuat berdasarkan akta dibawah
tangan dapat dipergunakan ketentuan Pasal 1138 KUHPerdata dan Pasal 1320
KUHPerdata. Dimana suatu perjanjian yang dibuat secara sah mengikat bagi yang
membuatnya. Perjanjian yang dibuat dibawah tangan ini dapat dijadikan bukti bahwa
antara para pihak telah terjadi ikatan.
Perlindungan kreditor terhadap benda milik debitor dijadikan jaminan dapat
“segala benda-benda bergerak dan tidak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan perorangan debitor itu”.
Jadi, perlindungan kreditor atas benda jaminan ini sebagai jaminan umum.
Terhadap benda-benda ini maka akta dibawah tangan sudah cukup sebagai
dasar peralihan hak milik atas benda bergerak tidak berwujud tersebut. Jadi,
perlindungan kreditor itu dapat diperkuat dengan ketentuan Pasal 1613 KUHPerdata,
dimana akta dibawah tangan sudah dianggap cukup untuk melakukan penyerahan.
Apabila terjadi bahwa benda yang difidusiakan yang berada ditangan pemberi fidusia
dijual pada pihak ketiga maka kreditor dapat dilakukan aksi hukum yang diatur dalam
Pasal 1341 KUHPerdata “kreditor boleh mengajukan tidak berlakunya segala
tindakan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitor”.
Perlindungan kreditor dari kreditor-kreditor lainnya yang memilki hak yang
dilakukan atau hak istimewa, dapat dilakukan dengan cara akta fidusia yang dibuat
secara dibawah tangan tersebut didaftarkan. Fungsi pendaftaran disini adalah untuk
menentukan saat lahirnya fidusia dalam rangka menentukan tingkatan kedudukan
kreditor yang didahulukan oleh kedudukan kreditor yang didahulukan dari kreditor
lainnya. Ketentuan pasal 1131 KUHPerdata menyebutkan bahwa “segala kebendaan
siberhutang, baik yang bergerak, maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada
maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan, jadi hak-hak seorang kreditor menurut Pasal tersebut
1. Semua barang-barang yang sudah ada, artinya yang sudah ada pada saat
hutang dibuat.
2. Semua barang yang ada, artinya barang-barang yang pada saat pembuatan
hutang belum menjadi kepunyaan kreditor, tetapi kemudian menjadi miliknya.
Dengan perkataan lain hak kreditor meliputi barang-barang yang akan
menjadi miliknya ada dikemudian hari benar dikemudian hari
benar-benar jadi miliknya.
3. Baik barang bergerak maupun tidak bergerak terhadap penjualan seluruh harta
kekayaan debitor tersebut, dan kemudian hasil penjualan tersebut dibagikan
secara profesional kepada para kreditor hanya terjadi dalam hal ada kepailitan
debitor atau dalam hal debitor dinyatakan pailit.
Telah disebutkan bahwa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi jaminan
hutang bisa kreditor separatis dan bisa juga pihak kurator. Hal ini bergantung pada
hubungan aset dengan kreditor (dijaminkan atau tidak) dan bergantung pada waktu
kapan eksekusi dilaksanakan.
Cara penjualan aset atau barang-barang, pada prinsipnya dilakukan dengan
mengajukan lelang dikantor lelang. Tata cara pelelangan dilakukan sesuai dengan
aturan yang berlaku untuk lelang tersebut.
Akan tetapi, penjualan harta pailit dapat juga dilakukan secara dibawah
tangan, asal saja untuk pembuatan tersebut telah mendapat izin dari hakim pengawas.
Hal ini tentunya dilakukan oleh kurator apabila kurator yakin bahwa penjualan
kantor lelang) akan menghasilkan yang lebih baik, antara lain karena dapat
menghemat biaya.34
34
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan dari bab-bab di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Kedudukan kreditor pemegang fidusia apabila debitor dinyatakan pailit maka
kreditor pemegang fidusia mempunyai hak yang didahulukan dan di istimewakan
dari kreditor lain. Kedudukan kreditor pemegang jaminan fidusia ini dapat
dibenarkan, karena pemegang jaminan fidusia tidak ditemukan dua kreditor
terhadap objek fidusia ini sesungguhnya kreditor pemilik benda dengan fidusia ini
sesungguhnya kreditor pemilik benda dengan demikian tidak termasuk harta
kekayaan debitor yang dinyatakan pailit. Berdasarkan kedudukan jaminan ini
kreditor pemegang jaminan fidusia mempunyai kekuatan hukum yang kuat dan
dilindungi haknya.
2. Hak jaminan fidusia dalam Undang-Undang Kepailitan, Pasal 56 Ayat (3) UU
No. 37 Tahun 2004 kepailitan adalah yang dapat digunakan atau dijual oleh
kurator, terbatas pada barang persediaan dan atau barang bergerak meskipun harta
pailit tersebut dibebani dengan hak jaminan. Ketentuan ini menciptakan keadaan
yang tidak menentu bagi eksekusi Hak Jaminan Fidusia oleh kreditur. Di dalam
praktek perkreditan bank barang-barang persediaan dan barang bergerak milik
jaminan fidusia. Hak jaminan fidusia memberikan secara hukum hak kepemilikan
kepada kreditur atas barang-barang yang dibebani dengan hak jaminan fidusia.
3. Perlindungan hukum terhadap pemegang jaminan fidusia terhadap eksekusi
sangat dilindungi secara utuh dan kuat. Karena, benda milik debitor yang
dipegang oleh kreditor yang dinyatakan pailit secara yuridis adalah milik kreditor,
bukan debitor yang pailit. Oleh karena itu, benda jaminan fidusia yang dipegang
oleh debitor bukan menjadi objek dari benda yang dinyatakan pailit milik
kreditor. Kekuatan milik kreditor atas benda yang difidusiakan adalah hak
kebendaan dalam bentuk hak milik yang kuat dan terlindungi.
B. Saran
1. Bagi para pelaku bisnis atau kreditor hendaknya dapat memanfaatkan sedemikian
rupa dengan itikad baik dalam mengeksekusi dan menahan harta milik debitor
sepanjang sesuai dengan besarnya utang yang dimiliki debitor kepada kreditor.
2. Kepada kreditor pemegang hak jaminan fidusia hendaknya mengoptimalkan
waktu yang diberikan untuk mengeksekusi benda jaminannya selama 2(dua)
bulan tersebut dalam mengeksekusi benda jaminannya.
3. Untuk memperoleh perlindungan hukum bagi kreditor yang kuat, harus
didaftarkan agar ada kekuatan eksekutorialnya dan menghindarkan fidusia yang
dilakukan dengan akta di bawah tangan tidak memiliki hak kebendaan melainkan
diberikan oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia, para kreditor hendaknya
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI JAMINAN FIDUSIA
A. Pengertian Jaminan Fidusia
Fidusia adalah suatu lembaga jaminan yang bersifat perorangan, yang kini
banyak dipraktikkan dalam lalu – lintas hukum perkreditan atau pinjam – meminjam.
Lembaga ini hanya kalah dalam besarnya kredit yang disalurkan, akan tetapi lebih
banyak yang menempuh perjanjian kredit ini.8
Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia.
Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan fidusia (UUJF) juga
mengunakan istilah Fidusia.9
a. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam
penguasaan pemilik benda.
Dalam Pasal 1 UUJF memberikan pengertian fidusia dan jaminan fidusia
sebagai berikut :
b. Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud
maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang – undang
8
John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 4.
9
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditor lainnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UUJF diatas mengenai pengertian jaminan
fidusia, UUJF secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah agunan atas
kebendaan atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan kepada penerima
fidusia yaitu hak yang didahulukan terhadap kreditor lainnya, dimana hak ini tidak
hapus karena adanya kapailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia untuk menggambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Fidusia sebagai salah satu jaminan adalah unsur pengaman kredit bank, yang
dilahirkan dengan diawali oleh perjanjian kredit bank. Hal ini melihat bahwa
perjanjian jaminan fidusia memiliki karakter assessor, yang dianut oleh UUJF, di
dalam pemberian perjanjian jaminan selalu diikuti dengan adanya perjanjian yang
mendahukui yaitu perjanjian utang – piutang yang disebut dengan perjanjian pokok.
Perjanjian jaminan ini tidak dapat berdiri sendiri, perjanjian ini harus mengikuti
perjanjian pokoknya. Apabila perjanjian pokok berakhir maka perjanjian jaminan
juga akan berakhir.
Sebagai salah satu perjanjian assessoir dari suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa
memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai
Sebagai suatu perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat
sebagai berikut :
1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok.
2. Keabsahan semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok.
3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang
disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak terpenuhi.10
Selain memiliki sifat diatas, jaminan fidusia juga memiliki beberapa
unsur-unsur yaitu :
a. Adanya hak jaminan
b. Adanya objek, yaitu benda bergerak / tidak bergerak
c. Benda menjadi objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia
d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor.11
Sebagai salah satu hak kebendaan, jaminan fidusia menganut prinsip droit de
preference, yaitu hak didahulukan terhadap kreditor lain untuk mengambil pelunasan
piutangnya atas hasil eksekusi benda jaminan, dan hak tersebut tidak dapat di hapus
karena kepailitan dan likuidasi si pemberi fidusia. Dengan adanya prinsip mendahului
ini, kreditor pemegang hak jaminan fidusia dapat langsung mengeksekusi hak-
haknya atas benda jaminannya untuk memenuhi utang dari debitur, hal ini juga
10
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, PT. Grafindo Persada, Jakarta, hal. 131.
11