GAMBARAN PEMERIKSAAN RETINOPATI DIABETIK
DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN NILAI
HEMOGLOBIN A1c PADA PASIEN DIABETES MELITUS
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
T E S I S
DOKTER SPESIALIS MATA
Oleh :
ENNY NILAWATI
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERAUTARA
GAMBARAN PEMERIKSAAN RETINOPATI DIABETIK
DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN NILAI
HEMOGLOBIN A1c PADA PASIEN DIABETES MELITUS
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
T E S I S
DOKTER SPESIALIS MATA
Oleh :
ENNY NILAWATI
PEMBIMBING :
Dr. DELFI, SpM (K)
Prof. Dr. H. ASLIM D SIHOTANG, SpM (KVR)
DR. Dr. DHARMA LINDARTO, SpPD-KEMD
Drs. H. ABDUL DJALIL AMRI ARMA, M.Kes
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERAUTARA
GAMBARAN PEMERIKSAAN RETINOPATI DIABETIK
DENGAN OPTICAL COHERENCE TOMOGRAPHY
DALAM HUBUNGANNYA DENGAN NILAI
HEMOGLOBIN A1c PADA PASIEN DIABETES MELITUS
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN
T E S I S
DOKTER SPESIALIS MATA
Diseminarkan dan dipertahankan pada hari Kamis 19 Juli 2012
Dihadapan Dewan Guru Bagian Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan
Telah disetujui :
1. Dr. Delfi, SpM (K) Kepala Bagian
---
2. Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra Ketua Program Studi
---
3. Dr. Delfi, SpM (K) Pembimbing
---
4. Prof. Dr. H. Aslim D Sihotang, SpM (KVR) Pembimbing
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrohim,
Puji syukur saya ucapkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia Nya saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis ini. Karya
tulis ini dibuat untuk memenuhi salah satu kewajiban dalam penyelesaian
Program Pendidikan Dokter Spesialis pada Ilmu Kesehatan Mata di Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan terimakasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pembimbing saya Prof. Dr. H. Aslim
D Sihotang, SpM (KVR), Dr. Delfi, SpM (K), Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra,
SpM, Drs. H. Abdul Djalil A Arma, M.Kes, Dr. Vanda Virgayanti yang telah
banyak memberi masukan, saran dan bantuan selama penulisan ini.
Rasa penghargaan dan terimakasih yang tak terhigga saya sampaikan
kepada yang terhormat guru-guru saya, Dr. H. Mohd, Dien Mahmud, SpM, Dr. H.
Chairul Bahri AD, SpM, Dr. H. Azman Tanjung, SpM, Prof. Dr. H. Aslim D
Sihotang, SpM (KVR), Dr. Masang Sitepu, SpM, Dr. Suratmin, Spm (K), Dr.
H.Bachtiar, SpM (K), Dr. H. Abdul Gani, SpM, Dr. Hj. Adelina Hasibuan SpM,
Dr. Hj. Nurhaida Djamil, SpM, Dr. Beby Parwis, SpM, Dr. Syaiful Bahri, SpM,
Dr. Riza Fatmi SpM, Dr. Pinto Y Pulungan, SpM, Dr. Hj.Heriyanti Harahap,
SpM, Dr. Hj. Aryani Atiyatul Amra, SpM, Dr. Delfi, SpM (K), Dr. Nurchaliza H
Siregar, SpM, Dr. Masitha Dewi Sari, SpM, Dr, Rodiah Rahmawaty Lubis, SpM,
Vanda Virgayanti, SpM, Dr. Ruly Hidayat SpM, Dr. Fithria Aldy SpM Atas
bimbingan dan pengalaman yang telah dibagikan selama saya menjalani
pendidikan.
Kepada teman-teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter
Spesialis, para perawat SMF mata RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pirngadi
yang sehari-hari telah memberikan bantuannya, saya sangat berterimakasih.
Kepada Pimpinan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, TKP
PPDS, Pimpinan RSUP H. Adam Malik dan RSU Dr. Pirngadi saya ucapkan
terimakasih atas kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk mengikuti
pendidikan magister Ilmu Kesehatan Mata ini.
Untuk yang sangat berarti dalam hidup saya adalah keluarga tercinta yang
senantiasa menyayangi, mencintai, memperhatikan dan mendoakan untuk
keberhasilan pendidikan saya. Untuk Ayahanda dan Ibunda saya yang sangat saya
cintai, terimakasih dan hormat saya yang sebesar-besarnya, tak terbalaskan segala
kebaikan dan pengorbanan, hanya doa tulus dari ananda disetiap waktu agar Allah
membalas kebaikan ayah dan ibunda dengan Ridho Nya. Terimakasih saya
kepada mertua Ayahanda (Alm) H. Abdulah Haris dan Ibunda (Almh) Hj.
Alawiyah, juga kepada Abang, kakak, adik serta ipar.
Kepada Suami tercinta, Imran Haris, ST, MT, terimakasih atas pengertian,
cinta, pengorbanan, ketulusan dan motivasi sehingga semua ini dapat tercapai.
atas pengertian dan kesabaran ananda menjadi semangat untuk menyelesaikan
pendidikan ini.
Kepada semua pihak yang telah banyak membantu baik moril maupun
materil, tiada kata yang dapat saya ucapkan selain ucapan terimakasih
setulus-tulusnya, semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan. Amin.
Kami menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna dan
masih banyak kekurangan, mohon maaf dan diharapkan kritik dan saran
membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Harapan saya semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran USU.
Medan, 26 Juli 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN 1.1.LATAR BELAKANG ... 1
1.2.RUMUSAN MASALAH ... 3
1.3.TUJUAN PENELITIAAN ... 3
1.4.HIPOTESIS PENELITIAN ... 4
1.5.MANFAAT PENELITIAN ... 4
BAB II TINJAUAAN KEPUSTAKAAN 2.1 KERANGKA TEORI ... 5
2.2 KERANGKA KONSEP ... 21
2.3 DEFENISI OPERASIONAL ... 22
BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 RANCANGAN PENELITIAN ... 23
3.2 TEMPAT DAN WAKTU ... 23
3.4 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ... 25
3.5 IDENTIFIKASI VARIABEL ... 25
3.6 BAHAN DAN ALAT ... 26
3.7 JALAN PENELITIAN DAN CARA KERJA ... 26
3.8 ANALISIS DATA ... 27
3.9 PERTIMBANGAN ETIKA ... 27
3.10 LAMA PENELITIAN ... 27
3.11 PERSONEL PENELITIAN ... 28
3.12 BIAYA PENELITIAN ... 28
BAB V HASIL PENELITIAN ... 29
BAB VI PEMBAHASAN ... 49
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 52
DAFTAR PUSTAKA ... 54
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Hari penglihatan sedunia (world sight day) diperingati oleh WHO setiap
kamis kedua di bulan Oktober, dengan tujuan agar masyarakat dunia sadar akan
bahaya berkurangnya penglihatan dan terjadinya kebutaan. WHO beranggapan
melihat merupakan hak asasi setiap manusia di dunia. Kira-kira tiga ratus empat
belas juta orang di dunia mengalami ketidakmampuan melihat. Dari angka ini, 45
juta orang benar-benar tidak dapat melihat atau mengalami kebutaan. Angka
tersebut diperkirakan akan mencapai dua kali lipat pada tahun 2020.
WHO memiliki program vision 2020 The right to sight yaitu sebuah
program yang bertujuan mengeliminasi penyakit kebutaan yang bisa dicegah
pada tahun 2020. Program ini telah dilaksanakan di lebih dari 40 negara.
Pemerintahan pada semua negara diharapkan dapat meningkatkan layanan
kesehatan, khususnya usaha pencegahan dan perawatan mata. Memberikan akses
perawatan mata akan mengurangi resiko terjadinya kebutaan, yang merupakan
bagian dari kewajiban pemerintah.
1
Berdasarkan National Programme for Control of Blindness (NPCB) 1992,
kebutaan akibat kelainan retina menempati urutan keempat (6,3%) setelah katarak,
kelainan kornea, dan optik atrofi. Menurut Andrha Padesh Eye Disease Study
(APEDS) kebutaan akibat kelainan retina menempati urutan kedua (22,4%)
setelah katarak .
Kelainan retina yang sering menyebabkan kebutaan antara lain adalah
retinopati diabetik (hampir 80 % dari seluruh kelainan retina adalah retinopati
diabetik), menurut WHO tahun 2002, retinopati diabetik merupakan penyebab
kebutaan yang mencapai 4,8% di seluruh dunia. Berdasarkan studi retinopati
diabetik, di Amerika dan Inggris prevalensi kebutaan akibat retinopati diabetik
merupakan penyebab utama kebutaan pada usia 20-70 tahun. Berdasarkan Visual
Impairment and Blindness di Eropa, retinopati diabetik menempati urutan teratas penyebab kebutaan pada usia 45-64 tahun.
2,3
Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronik diabetes melitus (DM)
karena mikroangiopati vaskular retina yang dapat menimbulkan kebutaan dan
umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko, diantaranya usia dan lama
menderita DM, kontrol gula darah, tipe DM serta penyakit yang menyertai.
Sekitar 40% dari kasus DM berisiko mengalami retinopati diabetik, bahkan 8%
terancam resiko kebutaan.
4,5,6,7
Sebaiknya sedini mungkin dilakukan pemeriksaan mata secara teliti dan
detail pada pasien DM untuk mengetahui bila terjadi komplikasi pada mata
sehingga dapat ditentukan terapi secara tepat dan cepat.
4,5,6,7
8
Berbagai penunjang diagnostik dapat membantu untuk mendeteksi
kelainan mata akibat komplikasi DM, hal ini memberikan dorongan bagi penulis
untuk melakukan penelitian mengenai komplikasi DM pada mata khususnya
retinopati diabetik dengan menggunakan optical coherence tomography (OCT).
1.2. RUMUSAN MASALAH
Apakah ada perbedaan gambaran retinopati diabetik dari OCT
dihubungkan dengan nilai hemoglobin A1c (HbA1c) ?
1.3. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
• Mendapatkan kasus retinopati diabetik dari pasien DM di RSUP H.
Adam Malik Medan.
• Bekerjasama dengan bagian Endokrinologi Penyakit Dalam sebagai
usaha mendeteksi sedini mungkin kelainan pada mata akibat
komplikasi DM yang terjadi pada pasien DM.
2. Tujuan Khusus
• Untuk menilai dan menginterpretasikan pemeriksaan OCT pada
retinopati diabetik secara analisa kualitatif dan analisa kuantitatif
pada pasien DM yang dihubungkan dengan nilai HbA1c.
• Berdasarkan kelainan yang terjadi pada retina dapat ditentukan terapi
selanjutnya untuk mencegah kondisi mata yang lebih buruk lagi,
bahkan kebutaan.
• Mampu menjelaskan kepada pasien DM mengenai kondisi kelainan
retina yang terjadi akibat DM yang dialaminya dan menjelaskan
prognosis kelainan dan tajam penglihatan penderita, sesuai dengan
1.4. HIPOTESIS PENELITIAN
Hipotesis dari penelitian ini adalah adanya hubungan antara nilai HbA1c
dengan gambaran retinopati diabetik pada pemeriksaan OCT baik secara
kualitatif maupun kuantitatif .
1.5. MANFAAT PENELITIAN
1. Dapat disusun suatu protap yang berkaitan dengan penegakan diagnosa
dan penatalaksanaan retinopati diabetik sehingga dapat mencegah
kebutaan yang ditimbulkan oleh komplikasi DM, yang berarti juga
menurunkan angka kebutaan dalam masyarakat.
2. Diharapkan ada kerjasama khusus antara sub divisi Endokrin
Departemen Penyakit Dalam dan sub divisi Vitreo Retina Departemen
Ilmu Kesehatan Mata untuk pelayanan yang lebih maksimal terhadap
pasien DM dalam evaluasi dan penatalaksanaan kelainan – kelainan
yang terjadi pada mata akibat DM dalam waktu sedini mungkin.
3. Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi data yang mendukung
data-data penelitian lain tentang angka kebutaan nasional, khususnya
yang disebabkan oleh diabetes, sehingga dapat dibuat kebijakan oleh
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KERANGKA TEORI
2.1.1. DIABETES MELITUS
Definisi
Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronik dimana terjadi peninggian
kadar gula dalam darah.2,4,5,6
Epidemiologi
Diabetes melitus merupakan masalah kesehatan yang perlu diwaspadai di
Indonesia. Telah dilakukan penelitian kuantitatif tentang penderita
dibetes, antara lain di Padang, jakarta dan Manado. Hasil penelitian
menunjukkan kisaran penderita diabetes antara 1,4-2,3%. Penelitian di
Koja tahun 1982 mendapatkan angka 1,7%, di Kayuputih (Jakarta Timur)
tahun 1992 sebesar 5,7%, dan daerah sub urban Abadijaya (Depok)
didapatkan penderita dibetes 13,6% pada tahun 2001. Dengan demikian
terlihat angka prevalensi diabetes selalu meningkat dari waktu ke
waktu.
Prevalensi DM untuk Indonesia cukup besar menurut
RISKERSDAS, sebesar 14,7% populasi di kawasan urban terancam DM
dan 7,2% populasi di rural terancam DM, Jika diproyeksikan, sebanyak 8,2
juta penduduk urban dan 5,5 juta penduduk rural di Indonesia mengalami
diabetes yang artinya akan menambah jumlah penderita retinopati
diabetik.
Klasifikasi Diabetes
4,8
Terdapat tiga macam tipe diabetes yaitu:
- Tipe 1 dapat terjadi pada semua usia, namun paling sering
terdiagnosa pada anak, remaja dan dewasa muda. Pada tipe ini,
tubuh tidak dapat menghasilkan insulin atau hanya sedikit. Injeksi
insulin setiap hari dibutuhkan pada tipe ini.
4,6,9,10
- Tipe 2, adalah yang paling banyak dari kasus diabetes. Paling
sering terjadi pada usia dewasa, meskipun bisa juga terjadi pada
remaja atau dewasa muda disebabkan obesitas.
- Diabetes gestasional, adalah terjadinya peninggian kadar gula
darah selama kehamilan pada wanita yang bukan diabetes.
Patogenesis
Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan oleh pankreas untuk
mengontrol gula darah. Penderita diabetes mempunyai kadar gula darah
yang tinggi karena tubuhnya tidak mampu memindahkan gula ke dalam
lemak, hati, dan sel-sel otot sebagai cadangan energi, hal ini bisa
disebabkan oleh pankreas yang tidak menghasilkan insulin dalam jumlah
yang cukup, atau sel-sel tubuh tidak berespon terhadap insulin secara
Kriteria Pasien DM
Ketika pasien datang pertama kalinya kepada dokter untuk berkonsultasi
maka perlu dipahami bahwa sebenarnya pasien tersebut telah menderita
diabetes sejak beberapa tahun sebelumnya. Fungsi sel beta pasien menurun
sebesar hampir 50% pada saat konsultasi pertama. Kondisi yang dikenal
sebagai pra-diabetes (pre-diabetic) merupakan titik awal yang penting
dalam menangani pasien sebelum masuk pada keadaan diabetes. Pada
akhir tahun ke –lima belas fungsi sel beta seorang pasien DM sudah
mendekati nol atau dengan kata lain penderita akan tergantung pada
insulin.
Kriteria Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) untuk
menentukan seseorang merupakan penderita DM adalah berdasarkan
gejalanya yaitu poliuria, polidipsi, polifagia, lemah dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan. Keluhan lain yang mungkin
dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan impotensia
pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl atau pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosa DM.
8
Kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat untuk
menegakkan diagnosa klinis DM. Diperlukan pemeriksaan lebih lanjug
dengan mendapatkan sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah
puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang
lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Menurut American diabetic association (ADA) standar kriteria
diabetes adalah: kadar A1c > 6,5%, gula darah puasa > 126 mg/dl (7
mmol/L), puasa didefinisikan tidak adanya ambilan kalori sedikitnya
selama 8 jam; 2 jam glukosa plasma > 200 mg/dl (11,1 mmol/L); pasien
dengan keluhan klasik hiperglikemi dengan gula darah sewaktu > 200
mg/dl.
9
Gula darah normal adalah ‹ 110 mg/dl. Jika gula darah berkisar
antara 111-126 mg/dl, maka pasien sudah berada dalam kelompok
pra-diabetes. Secara klinis mungkin pasien belum menunjukkan gejala-gejala
diabetes namun kita sudah memasukkan mereka sebagai orang dengan
risiko tinggi untuk menjadi penderita diabetes sesungguhnya.
10
Jenis komplikasi pada diabetes adalah komplikasi akut dan kronik.
Komplikasi akut meliputi hipoglikemi, ketoasidosis, dan hiperosmolar-non
ketotik. Komplikasi kronik dibagi menjadi makroangiopati, mikrovaskular
dan neuropati. Komplikasi makrovaskular di otak sebagai stroke, di
jantung sebagai penyakit jantung vaskular, di jaringan perifer sebagai
penyakit arteri perifer. Komplikasi mikrovaskular di mata sebagai
retinopati dan juga glaukoma serta katarak. Di ginjal sebagai nefropati dan
jaringan saraf sebagai neuropati.
8
2.1.2. RETINOPATI DIABETIK
Defiinisi
Retinopati diabetik merupakan komplikasi kronik diabetes melitus karena
mikroangiopati vaskular retina yang dapat menimbulkan kebutaan dan
umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko yang meliputi, usia dan
lama menderita DM, kontrol gula darah, tipe DM serta penyakit yang
menyertai, misalnya hipertensi dan nefropati.
Epidemiologi
5,6,8
Menurut WHO tahun 2002, retinopati diabetik merupakan penyebab
kebutaan yang mencapai 4,8% di seluruh dunia. Berdasarkan studi
retinopati diabetik di Amerika dan Inggris, prevalensi kebutaan akibat
retinopati diabetik merupakan penyebab utama kebutaan pada usia 20-70
tahun. Berdasarkan visual imparment and blindness di Eropa, retinopati
diabetik menempati urutan teratas penyebab kebutaan pada usia 45-64
tahun.
Berdasarkan Wisconsin Epidemiology Study, tentang retinopati
diabetik, bahwa lamanya seseorang menderita diabetes sangat erat
kaitannya dengan prevalensi terjadinya retinopati diabetik, baik tipe 1
maupun tipe 2. Dalam studi WESDR mereka menemukan kasus kebutaan
total, yaitu setelah 20 tahun lamanya menderita diabetes melitus, angka
keabutaan pada tipe 1 mendekati 99% dan tipe 2, 60% yang mencakup
berbagai tingkatan retinopati diabetik. Pasien yang lebih muda mempunyai
onset 3,6% (usia di bawah 30 tahun saat didiagnosa, tipe 1 diabetes), dan
pasien yang lebih tua mempunyai onset 1,6% (usia lebih dari 30 tahun saat
didiagnosa, tipe 2 diabetes). Pada kelompok usia yang lebih muda, 86%
kasus kebutaan disebabkan oleh retinopati diabetik. Pada kelompok usia
yang lebih tua, dimana sering terjadi komplikasi penyakit mata lainnya,
sepertiga kasus kebutaan disebabkan oleh retinopati diabetik.
Patogenesis
6
Penyebab pasti kelainan mikrovaskular pada penderita diabetes
belum diketahui. Diduga akibat hiperglikemia kronik yang merupakan
hasil perubahan biokimia dan fisiologis menyebabkan kerusakan endotel
vaskular. Perubahan spesifik kapilar retina disebabkan oleh kehilangan
perisit dan penebalan membran basal, yang diikuti oleh oklusi kapiler dan
nonperfusi retina, sehingga terjadi dekompensasi fungsi barier endotel,
yang menyebabkan terjadinya kebocoran serum dan udem retina.
Banyak kelainan darah dan biokimia yang berkaitan dengan
prevalensi dan keparahan retinopati yaitu:
6,7
- Peningkatan platelet adhesif
6
- Peningkatan agregasi eritrosit
- Kelainan serum lipid
- Defek fibrinolisis
- Kelainan nilai hormon pertumbuhan
- Kelainan serum dan kekentalan darah
Klasifikasi
Diabetik retinopati dapat diklasifikasikan dalam 2 jenis:
1. Non Proliferatif Diabetic Retinopathy (NPDR)
6,7,8,13
Pada retinopati diabetik nonproliferatif, perubahan mikrovaskular retina
hanya terbatas pada retina saja, tidak menyebar ke membran limitan
interna. Karakteristik NPDR termasuk, mikroaneurisma, area kapiler
nonperfusi, nerve fibre layer infark, intra retinal microvascular
abnormality (IRMAs), perdarahan dot and blot intraretina, edema retina, hard eksudat, arteriol abnormalitas, dilatasi dan beading vena
retina. NPDR dapat mengganggu fungsi visual dengan 2 mekanisme:
o Berbagai derajat sumbatan kapiler intraretina menimbulkan
makular iskemik.
o Peningkatan permeabilitas vaskularisasi retina menimbulkan edem
makula.
Retinopati diabetik non proliferatif dikelompokkan menjadi :
- Mild : hanya ada mikroaneurisma pada satu kuadran
- Moderat : mikroaneurisma pada dua kuadran
- Severe: apabila terdapat salah satu dari (perdarahan intraretinal difus dan mikroaneurisma pada 4 kuadran; venous beading di 2
Diabetik Makular Edema
Diagnostik diabetik makular edema (DME) sangat baik
menggunakan slitlamp biomikroskopis, untuk pemeriksaan segmen
posterior menggunakan kontak lens untuk memperjelas visualisasi.
Penemuan penting pada pemeriksaan termasuk:
- Lokasi retina yang menebal relatif terhadap fovea
- Adanya eksudat dan lokasinya
- Adanya cystoid makular edema
Fluoresein angiografi digunakan untuk melihat kebocoran pembuluh darah retina akibat kerusakan barir pembuluh darah retina.
Manifestasi diabetik makular edema berupa penebalan retina secara
fokal atau difus dengan atau tanpa eksudat. Karakteristik edem makula
fokal adanya kebocoran fokal dari lesi kapiler spesifik. Edem tersebut
berkaitan dengan ring hard exudate. Edem makula difus mempunyai
karakteristik dengan kelainan kapiler retina yang luas berhubungan dengan
kebocoran yang luas dari kerusakan ekstensif barir darah-retina, dan sering
dengan cystoid macular edema.
6
• Penanganan diabetik makular edema
6,7,8
Strategi pengobatan untuk diabetik makular edema meliputi modifikasi
gaya hidup, olah raga, berhenti merokok, kontrol gula darah, tekanan
• Penatalaksanaan laser pada diabetik makular edema
Beberapa paradigma pengobatan yang terbaru berasal dari Early
Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) menetapkan tentang
clinically significant macular edema (CSME) dan merekomendasi penatalaksanaan dengan laser fotokoagulasi fokal untuk berikut ini:
- Edema retina yang berlokasi pada atau dalam area 500 mikrometer
dari sentral makula.
6,7
- Hard exudates pada atau dalam area 500 mikrometer dari sentral jika berhubungan dengan penebalan retina yang berdekatan.
- Daerah yang mengalami penebalan lebih besar dari 1 area diskus jika
lokasinya dalam 1 diameter diskus dari sentral makula.
• Penatalaksanaan medikal pada diabetik makular edema
- Pada pasien DM yang sulit disembuhkan, injeksi triamsinolon
asetonid sub-tenon posterior dapat memperbaiki penglihatan dalam 1
bulan dan menstabilkan penglihatan sampai satu tahun dalam suatu
penelitian retrospektif.
6,7
- Pada pasien CSME yang sulit disembuhkan, intra vitreal
kortikosteroid dapat memperbaiki penglihatan dalam jangka singkat
dan mengurangi ketebalan makula selama 2 tahun folow up. Pada
masa yang akan datang, kortikosteroid dan anti VEGF dapat
• Penatalaksanaan bedah pada diabetik makular edema
Vitrektomi pars plana dan detachment posterior hyaloid juga
bermanfaat untuk mengatasi diabetik makular edema, khususnya dengan
traksi hialoid posterior dan diabetik makular edema difus.
Diabetik Makular Iskemik
6,7,8
Kapiler retina nonperfusi merupakan gambaran yang berhubungan
dengan NPDR yang progresif. Angiografi fluoresein menunjukkan kapiler
nonperfusi yang luas. Mikroaneurisma cendrung berkelompok pada
pinggir zona kapiler nonperfusi. Tertutupnya arteriol retina menimbulkan
area nonperfusi yang lebih besar dan iskemik progresif. Meluasnya zona
avaskular fovea lebih besar dari 1000 mikrometer diameter umumnya
bermakna untuk terjadi penurunan penglihatan.
Progresifitas menjadi PDR
6,7
NPDR berat ditetapkan oleh ETDRS dalam aturan 4:2:1, dengan
karakteristik 1 dari yang berikut:
1. Perdarahan intra retinal difus dan mikroaneurisma pada 4 kuadran
6
2. Venous beading pada 2 kuadran
3. Intra retinal mikrovascular abnormality (IRMAs) pada 1 kuadran
ETDRS mendapatkan NPDR berat mempunyai peluang 15%
NPDR mempunyai 2 dari gambaran diatas dengan peluang 45% progresif
menjadi hihg-risk PDR dalam waktu 1 tahun.
Pelepasan faktor-faktor vasoproliferatif meningkat sesuai derajat
iskemik retina. Satu faktor vasoproliferatif, VEGF, telah diisolasi dari
spesimen vitrektomi pasien PDR. VEGF ini dapat menstimulasi
neovaskularisasi pada retina, papil nervus optikus, atau segmen
anterior.
6
2. Proliferatif Diabetic Retinopathy (PDR)
6,7,8
Proliferasi fibrovaskular ekstra retina memperlihatkan variasi stadium
perkembangan PDR. Pembuluh darah baru berkembang dalam 3
stadium:
a. Pembuluh darah baru dengan jaringan fibrous minimal yang melintasi
dan meluas mencapai membrana limitan interna.
6
b. Pembuluh darah baru meningkat ukurannya dan meluas, dengan
meningkatnya komponen fibrous.
c. Pembuluh darah baru mengalami regresi, meninggalkan sisa proliferasi
fibrovaskular di sepanjang hialoid posterior.
Berdasarkan luasnya proliferasi, PDR dibagi dalam tingkatan6,7,8,11
- High risk PDR, bila ada salah satu dari (mild Neovascularisasi Disc
(NVD) dengan perdarahan vitreous; moderate to severe NVD
dengan atau tanpa perdarahan vitreous; atau moderate Neovascularisasi Elsewhere dengan perdarahan vitreous).
- Advanced PDR bila terdapat perdarahan vitreous dan tractional retinal detachment.
• Penatalaksanaan medikal pada retinopati diabetik
Prinsip utama penatalaksanaan medikal adalah memperlambat dan
mencegah komplikasi. Ini bisa dicapai oleh pelaksanaan pemeriksaan
lokal dan menyeluruh yang mempengaruhi onset NPDR dan
progresifitasnya menjadi PDR.
Hipertensi, bila tidak terkontrol selama beberapa tahun sering
menyebabkan progresifitas menjadi lebih tinggi dari DME dan
retinopati diabetik. Penyakit oklusi arteri karotis berat dapat
menimbulkan PDR advance sebagai bagian dari sindroma iskemik
okular.
6
Kehamilan dapat berkaitan dengan memburuknya retinopati, oleh
karena itu, wanita diabetes yang hamil memerlukan evaluasi retina
yang lebih sering.
6
Faktor yang paling penting dalam penatalaksanaan medikal pada
retinopati diabetik adalah mempertahankan kontrol gula yang baik.
6,7
6,7,8
• Penatalaksanaan laser pada PDR
Penanganan utama PDR meliputi penggunaan laser fotokoagulasi
termal dalam pola panretina untuk menimbulkan regresi.
selalu direkomendasikan. Tujuan scatter PRP adalah menyebabkan regresi dari jaringan neovaskular yang ada dan menjaga progresifitas
neovaskularisasi selanjutnya.
• Penatalaksanaan bedah pada PDR
6
Ada dua kelainan utama pada advance PDR adalah perdarahan
vitreous dan tractional retinal detachment.
- Bedah vitrektomi, indikasinya pada pasien PDR dengan
perdarahan vitreous yang tidak membaik sampai lebih satu tahun.
The diabetic retinopathy vitrectomy study (DRVS) telah menetapkan vitrektomi di awal pada perdarahan vitreous
sekunder dari PDR.
6,7,8
- Tractional Retinal detachment : vitrektomi bertujuan untuk memperbaiki traksi vitreoretina dan memfasilitasi perlekatan
kembali retina oleh penarikan atau pengelupasan vitreous kortikal
atau hialoid posterior.
2.1.3. Optical Coherence Tomography (OCT)
OCT adalah pemeriksaan non invasif, non kontak yang dapat mencitrakan
perbedaan-perbedaan lapisan retina. Interpretasi pencitraan OCT secara objektif
dan subjektif, dimana pembacaannya dalam bentuk analisa kualitatif dan
red-white) dan struktur yang kurang padat seperti vitreous dan cairan intra retina akan tampak berwarna lebih gelap (blue-black).
OCT dapat menjadi modalitas pemeriksaan bagi pasien DM untuk
mengetahui kelainan yang telah terjadi pada retina sehubungan dengan retinopati
diabetik, dimana dinilai ketebalan retina, ketebalan makula dan volumenya.
6,7,8,13
Stratus OCT merupakan suatu interferometer yang dapat mengamati
struktur retina dengan pengukuran echo delay time dari cahaya, dimana dapat
merefleksikan gambaran mikrostruktur yang berbeda pada retina.
6,7
13,14
Gambaran OCT pada Retinopati diabetik
- Memberikan pengukuran kuantitatif mengenai ketebalan retina sesuai dengan
distribusi geografik.
14,15,16
- Lebih sensitif untuk mendeteksi penebalan retina di awal dibandingkan
slit-lamp biomicroscopy
- Mempunyai korelasi yang signifikan dengan gambaran fluoresein agiografi.
- Hard exudates, nerve fiber layer microinfarcts (soft exudates) dan perdarahan intraretinal merupakan gambaran yang karakteristik. Ketiganya akan tamapk
berupa shadowing posterior yang menimbulkan hiper refleksi pada OCT.
- Penebalan retina tanpa perubahan kistoid dan mengenai area retina yang
bermakna memberikan gambaran udem spongy. Area spongy tersebut
kistoid dipikirkan sebagai nekrosis sel-sel Mueller dari udem yang kronik.
Perubahan ini berkaitan dengan lepasnya foveolar.
- Pola pada OCT (Kang et al) meliputi: tipe 1 berupa penebalan retina dengan
reflektifitas homogen; tipe 2 berupa penebalan retina dengan pengurangan
reflektifitas optikal pada lapisan luar retina; tipe 3A lepasnya foveola (foveolar detachment) tanpa traksi fovea; tipe 3B lepas foveola dengan adanya traksi foveola.
- Gambaran OCT yang spesifik : hilangnya kontur foveola; hilangnya perubahan
lapisan yang hiper reflektifitas; mild sampai moderate reflektifitas; tanda dari
hard exudats, soft exudats dan perdarahan retina dapat juga terjadi
- Manfaat OCT juga dalam mendeteksi membran epiretina, traksi vitreomakular,
hialoid posterior dan detachment foveola. Kelainan ini tidak dapat terlihat pada fluoresein angiografi. Identifikasi kelainan ini penting untuk mendeteksi
CSME dengan traksi vitreomakular yang menjadi acuan untuk intervensi bedah
segera.
- OCT juga dapat mengukur perubahan ketebalan setelah intervensi laser,
steroid intravitreal atau subtenon, dan pembedahan.
2.1.4 Hemoglobin A1c
Hemoglobin terglikasi (HbA1c), disebut juga glycohemoglobin atau
disingkat sebagai A1c, merupakan salah satu pemeriksaan darah yang penting
memberikan gambaran rata-rata gula darah selama periode waktu enam sampai
dua belas minggu dan hasil ini dipergunakan bersama dengan hasil pemeriksaan
gula darah mandiri sebagai dasar untuk melakukan penyesuaian terhadap
pengobatan diabetes yang dijalani.17
Hemoglobin adalah salah satu substansi sel darah merah yang berfungsi
untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Ketika gula darah tidak terkontrol
(yang berarti kadar gula darah tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan
hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat
ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1c. Bila kadar gula darah tinggi
dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1c akan tinggi pula. Ikatan HbA1c yang
terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan usia
sel darah merah). Kadar HbA1c akan mencerminkan rata-rata kadar gula darah
dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan.17
Korelasi antara Kadar A1c dan Rata-rata Kadar Gula Darah17
HbA1c (%) Rata-rata Gula Darah (mg/dl)
6 135
7 170
8 205
9 240
10 275
11 310
Kadar HbA1c normal pada bukan pasien diabetes antara 4% sampai
dengan 6%. Beberapa studi menunjukkan bahwa diabetes yang tidak terkontrol
akan mengakibatkan timbulnya komplikasi, untuk itu pada pasien diabetes kadar
HbA1c ditargetkan kurang dari 7%. Semakin tinggi kadar HbA1c maka semakin
tinggi pula resiko timbulnya komplikasi, demikian pula sebaliknya.17
Diabetes Control and Complications Trial (DCCT) dan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) mengungkapkan bahwa penurunan HbA1c akan banyak sekali memberikan manfaat. Setiap penurunan HbA1c sebesar 1%
akan mengurangi risiko kematian akibat diabetes sebesar 21%, serangan jantung
14%, komplikasi mikrovaskular 37% dan penyakit vaskuler perifer 43%.17
Pasien diabetes direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan
HbA1c setiap tiga bulan untuk menentukan apakah kadar gula darah telah
mencapai target yang diinginkan. Pada pasien diabetes dengan gula darah
terkontrol baik maka frekuensi pemeriksaan dapat dilakukan sedikitnya dua kali
setahun.17
2.2. KERANGKA KONSEP
Retinopati diabetik
Diabetes Melitus
HbA1c
2.3 DEFINISI OPERASIONAL
• Diabetus mellitus adalah: penyakit kronik dengan peninggian kadar
gula dalam darah.
• Retinopati diabetik adalah: kelainan retina (retinopati) akibat
komplikasi diabetes yang mengenai retina mata.
• OCT adalah: alat pemeriksaan mata non invasif dengan menggunakan
tehnik cross sectional.
• HbA1c adalah: zat yang terbentuk dari reaksi kimia antara glukosa dan
hemoglobin. Zat ini tersimpan dalam sel darah merah dan akan terurai
secara bertahap sesuai umur sel darah merah (120 hari). HbA1c ini
menggambarkan konsentrasi glukosa darah rata-rata selama periode
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini mempunyai design observasional dengan pengukuran data,
yang artinya terhadap subjek yang diteliti tidak diberikan perlakuan dan
pengambilan data dilakukan dengan sekali pengukuran.
3.2 TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan yang dilaksanakan
mulai bulan Pebruari 2012.
3.3 POPULASI DAN SAMPEL
A. Populasi
Populasi penelitian adalah semua pasien DM yang ada di poli endokrin
dan poli mata RSUP H. Adam malik Medan.
B. Sampel
Besar Sampel
N ≥ (Zα√PoQo + Zβ √ PaQa)2
(Po-Pa)2
N ≥ (1,96 √(0,4) (0,60) + 1,282√(0,6)(0,4)2
(0,25)2
N ≥ 40
Maka jumlah sampel adalah sama dengan atau lebih besar dari 40 pasien
Dimana:
Zα = deviat baku alpa, untuk α = 0,05, maka Zα = 1,96
Zβ = deviat baku beta, untuk β = 0,10, maka Zβ = 1,282
Po = Proporsi pasien DM yang mengalami retinopati diabetik = 0,4 (dari
kepustakaan)
Qo = 1 – Po = 1- 0,4 = 0,6
Po-Pa= Selisih proporsi yang bermakna (ditentukan peneliti) = 0,25
3.4. KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI
Kriteria inklusi :
Semua pasien DM yang berkunjung ke poli endokrin RSUP H. Adam
Malik Medan, dengan riwayat DM ≥ 5 tahun, mempunyai hasil
pemeriksaan HBA1c dan bersedia ikut dalam penelitian.
Semua pasien DM yang dikonsulkan dari ruangan atau poli Penyakit
Dalam ke poli mata RSUP H. Adam Malik Medan, yang mempunyai
gambaran fundus retinopati diabetik dan bersedia ikut dalam
penelitian.
Kriteria eksklusi :
Pasien DM dengan kelainan segmen anterior mata.
Pasien DM dengan kekeruhan lensa (katarak)
Pasien DM dengan keadaan umum jelek (lemah) sehingga tidak
kooperatif untuk dilakukan pemeriksaan.
Pasien DM dengan tekanan intraokular (TIO) › 21 mmHg.
3.5 IDENTIFIKASI VARIABEL
Penelitian ini memiliki 2 variabel penelitian :
1. Variabel terikat adalah diabetes melitus
3.6. BAHAN DAN ALAT
* Pulpen (pinsil)
* Kertas folio
* senter
* Snellen Chart
* Tonometer non kontak
* Slit lamp biomikroskop
* Oftalmoskop direk
* Oftalmoskop indirek
* OCT
* Tropicamid 1%
3.7. JALAN PENELITIAN DAN CARA KERJA
• Penjelasan kepada pasien DM yang memenuhi kriteria inklusi
mengenai cara pemeriksaan dan tujuan pemeriksaan yang akan
dilakukan.
• Pemeriksaan ketajaman penglihatan.
• Pemeriksaan segmen anterior.
• Pengukuran TIO, bila dibawah 21 mmHg, mata diberi tetes midriatil
1% untuk melebarkan pupil (anak mata).
• Pemeriksaan oftalmoskop direk dan oftalmoskop indirek.
• Penilaian dan interpretasi kelainan retina (morfologi dan ketebalan
retina) pada pasien DM dari masing-masing pemeriksaan tersebut
dicatat sebagai data penelitian untuk dijadikan hasil penelitian.
3.8 ANALISIS DATA
Analisa data dilakukan secara deskripsi dan disajikan dalam bentuk
tabulasi data. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan program
SPSS versi 12.
3.9 PERTIMBANGAN ETIKA
Usulan penelitian ini terlebih dahulu disetujui oleh rapat bagian Ilmu
Kesehatan Mata FK-USU/ RS H. Adam Malik Medan. Penelitian ini
kemudian diajukan untuk di setujui oleh rapat komite etika PPKRM
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
3.10. LAMA PENELITIAN
Bulan/minggu Des 2012 Feb 2012 Maret-Juni2012 Juli 2012
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
Usulan Penelitian
Penelitian
Penyusunan Laporan
3.11. PERSONAL PENELITIAN
Penelitian : dr. Enny Nilawati
3.12. BIAYA PENELITIAN
Biaya penelitian ditanggung oleh peneliti
BAB V
HASIL PENELITIAN
Penelitian dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan dalam kurun waktu
Pebruari 2012 sampai dengan Juni 2012. Dari 43 subjek penelitian didapatkan 77
mata (dimana 9 subjek mata unilateral karena mata yang sebelahnya memiliki
media keruh sehingga tidak dapat dilakukan OCT. Data yang ditampilkan dalam
tulisan ini merupakan data dari 43 pasien dan 77 mata. Berdasarkan subjek
penelitian diperoleh data dasar yang ditampilkan dalam bentuk tabulasi.
Tabel 5.1. Karakteristik jenis kelamin subjek penelitian
Jenis kelamin frekuensi %
Laki-laki 24 55,8 Perempuan 19 44,2 Total 43 100,0
Dari subjek penelitian didapatkan jumlah laki-laki sebanyak 24 (55,8%) dan perempuan 19 (44,2%).
Tabel 5.2. Karakteristik kelompok umur subjek penelitian
Umur (tahun) Frekuensi % 45 – 52 13 30,2 53 – 60 15 34,9 61 – 68 13 30,2 69 – 76 2 4,7 Total 43 100,0
Data mengenai umur pasien menunjukkan bahwa pasien yang berumur 53-60
berjumlah relatif lebih banyak dibandingkan kelompok umur yang lainnya, yaitu
yang sama dengan kelompok umur 61-68 yaitu sejumlah 13 (30,2%) subjek,
diikuti oleh kelompok umur 69-76 berjumlah 2 (4,7%) subjek.
Tabel 5.3. Karakteristik suku bangsa subjek penelitian
Suku Frekuensi %
Subjek penelitian berasal dari berbagai suku bangsa dimana dari 43 subjek
tersebut suku yang relatif lebih banyak adalah suku Karo 14 (32,6%) subjek,
diikuti suku Batak 12 (27,9%) subjek, suku Jawa 6 (14,0%) subjek, suku
Mandailing 5 (11,6%) subjek, suku Melayu 4 (9,3%) subjek dan suku Padang 2
(4,7%) subjek.
Tabel 5.4. Karakteristik tingkat pendidikan subjek penelitian
Pendidikan Frekuensi %
Data mengenai tingkat pendidikan subjek penelitian menunjukkan bahwa rata-rata
berpendidikan SLTA 18 (41,9%) subjek. Diikuti tingkat SLTP 11 (25,6%) subjek,
Tabel 5.5. Karakteristik lama subjek menderita DM
Lama DM (tahun) Frekuensi % 5-9 25 58,1
≥ 10 18 41,9
Total 43 100,0
Dari data penelitian berdasarkan lamanya DM yang dialami subjek, lebih banyak
jumlah yang mengalami DM dalam kurun waktu 5-9 tahun yaitu 25 (58,1%)
subjek, sedangkan yang mengalami DM lebih sama dengan 10 tahun adalah 18
(41,9%) subjek.
Tabel 5.6. Karakteristik kelompok nilai HbA1c (I) subjek
Nilai HbA1c (%) frekuensi %
Dari nilai pemeriksaan kadar HbA1c yang pertama subjek menunjukkan kisaran
nilai HbA1c subjek paling banyak pada kisaran nilai 5,8-7,8 dan 7,9-9,9 yaitu
masing-masing sebanyak 18 (41,9) subjek. Jumlah subjek pada nilai 10,0-12,0
adalah 6 (13,9%) subjek dan pada nilai 12,1-14,1 adalah 1 (2,3%) subjek.
Tabel 5.7. Karakteristik kelompok nilai HbA1c (II) subjek
Dari nilai pemeriksaan kadar HbA1c yang terbaru subjek didapatkan sebanyak 18
(41,9%) subjek pada kisaran nilai 5,8-7,8, sebanyak 17 (39,5%) subjek pada nilai
7,9-9,9 dan sebanyak 8 (18,6%) subjek pada nilai 10,0-12,0. Tidak ada subjek
yang mempunyai nilai kadar HbA1c pada kisaran nilai 12,1-14,1 (0%).
Tabel 5.8. Distribusi subjek menurut klasifikasi retinopati diabetika mata kanan
Diagnosis frekuensi % NPDR ringan 14 35,9 NPDR sedang 20 51,3 NPDR berat 3 7,7 NPDR berat+CSME 2 5,1 Total 39 100,0
Dari 39 mata kanan subjek penelitian diagnosis retinopati diabetika yang
terbanyak jumlahnya adalah NPDR sedang sebanyak 20 (51,3%) mata, diikuti
NPDR ringan sebanyak 14 (35,9%) mata. Diagnosis yang relatif sedikit adalah
NPDR berat yaitu 3 (7,7%) mata dan NPDR berat dengan CSME yaitu 2 (5,1%)
mata.
Tabel 5.9. Distribusi subjek menurut klasifikasi retinopati diabetika mata kiri
Diagnosis frekuensi % NPDR ringan 13 34,2 NPDR sedang 17 44,7 NPDR berat 6 15,8 NPDR berat+CSME 2 5,3 Total 38 100,0
Dari mata 38 kiri subjek penelitian juga menunjukkan bahwa NPDR sedang
ringan sebanyak 13 (34,2%) mata. NPDR berat didapatkan 6 (15,8%) mata dan
NPDR berat yang disertai CSME sebanyak 2 (5,3%) mata.
Tabel 5.10. Distribusi ketebalan fovea sentral mata kanan berdasarkan OCT
Ketebalan fovea frekuensi % Normal 19 48,7 Borderline 13 33,3 Edema 7 18,0 Total 39 100,0
Dari 39 mata kanan subjek yang dinilai ketebalan fovea dengan menggunakan
OCT tampak fovea dalam nilai normal sebanyak 19 ( 48,7%) mata, borderline
sebanyak 13 (33,3%) mata, dan edema sebanyak 7 (18,0%) mata.
Tabel 5.11. Distribusi ketebalan fovea sentral mata kiri berdasarkan OCT
Ketebalan fovea frekuensi % Normal 14 36,9 Borderline 15 39,5 Edema 9 23,6 Total 38 100,0
Dari 38 mata kiri subjek yang dinilai ketebalan fovea dengan menggunakan OCT
didapatkan fovea dalam nilai normal sebanyak 14 (36,9%) mata, borderline 15
(39,5%) mata, dan edema sebanyak 9 (23,6%) mata.
Tabel 5.12. Distribusi ketebalan parafovea nasal mata kanan berdasarkan OCT
Dari tabel ketebalan parafovea nasal mata kanan subjek, tampak paling banyak
mata mempunyai ketebalan fovea normal yaitu 28 (71,8%) mata. Mata yang
mempunyai nilai borderline sebanyak 10 (25,6%) mata dan yang mengalami
edema hanya 1 (2,6%) mata.
Tabel 5.13. Distribusi ketebalan parafovea temporal mata kanan berdasarkan OCT
Ketebalan parafovea temporal frekuensi % Normal 36 92,3 Boderline 2 5,1 Edema 1 2,6 Total 39 100,0
Ketebalan parafovea temporal dari mata kanan subjek menunjukkan paling
banyak mempunyai ketebalan normal yaitu 36 (92,3%) mata. Hanya 2 (5,1%)
mata yang berada pada nilai borderline dan 1 (2,6%) mata yang mengalami
edema.
Tabel 5.14. Distribusi ketebalan parafovea superior mata kanan berdasarkan OCT
Ketebalan parafovea superior frekuensi % Normal 31 79,5 Borderline 8 20,5 Edema 0 0 Total 39 100,0
Dari tabel distribusi tersebut tampak paling banyak mata kanan subjek
mempunyai ketebalan parafovea superior normal yaitu 31 (79,5%) mata.
Sebanyak 8 (20,5%) mata mengalami ketebalan borderline dan tidak ada
Tabel 5.15. Distribusi ketebalan parafovea inferior mata kanan berdasarkan OCT
Ketebalan parafovea inferior mata kanan subjek menunjukkan sebanyak 30
(76,9%) mata masih dalam ketebalan normal, sebanyak 7 (17,9%) dalam nilai
borderline dan sebanyak 2 (5,2%) mata mengalami edema.
Tabel 5.16. Distribusi ketebalan perifovea nasal mata kanan berdasarkan OCT
Ketebalan perifovea nasal frekuensi % Normal 33 84,6 Borderline 5 12,8 Edema 1 2,6 Total 39 100,0
Ketebalan perifovea nasal mata kanan subjek didapatkan sebanyak 33 (84,6%)
mata dalam ketebalan normal, sebanyak 5 (12,8%) mata dengan nilai borderline
dan sebanyak 1 (2,6%) mata mengalami edema.
Tabel 5.17. Distribusi ketebalan perifovea temporal mata kanan berdasarkan OCT
Ketebalan perifovea temporal frekuensi % Normal 36 92,3 Borderline 3 7,7 Edema 0 0 Total 39 100,0
Dari ketebalan perifovea temporal tampak bahwa, sebanyak 36 (92,3%) mata
dalam nilai normal, sebanyak 3 (7,7%) mata dalam nilai borderline dan tidak ada
Tabel 5.18. Distribusi ketebalan perifovea superior mata kanan berdasarkan OCT
Dari hasil pemeriksaan OCT pada zona ini tampak 37 (94,9%) mata mempunyai
ketebalan normal, dan 2 (5,1%) mata mempunyai nilai borderline.
Tabel 5.19. Distribusi ketebalan perifovea inferior mata kanan berdasarkan pemeriksaan OCT
Dari pemeriksaan OCT pada zona ini tampak sebanyak 34 (87,2%) mata
mempunyai ketebalan normal, sebanyak 4 (10,3%) dengan nilai borderline dan
hanya 1 (2,5%) mata dengan edema perifovea inferior.
Tabel 5.20. Distribusi ketebalan parafovea nasal mata kiri berdasarkan pemeriksaan OCT
Dari zona ini tampak bahwa 20 (52,6%) mata mempunyai ketebalan normal, 12
Tabel 5.21. Distribusi ketebalan parafovea temporal mata kiri berdasarkan
Dari zona parafovea temporal menunjukkan sebanyak 26 (68,4%) mata dengan
ketebalan normal, 5 (13,2%) dengan ketebalan borderline dan 7 (18,4%) mata
mengalami edema.
Tabel 5.22. Distribusi ketebalan parafovea superior mata kiri berdasarkan pemeriksaan OCT
Ketebalan zona ini menunjukkan bahwa dari 38 mata kiri subjek 20 (52,6%)
mempunyai ketebalan normal, 11 (28,9%) mata mempunyai ketebalan borderline
dan 7 (18,5%) mata mengalami edema.
Dari tabel di atas tampak lebih dari sebahagian subjek mempunyai ketebalan
normal pada zona parafovea inferior, yaitu sebanyak 23 (60,5%), sedangkan nilai
borderline 9 (23,7%) mata dan sebanyak 6 (15,8%) mengalami edema.
Tabel 5.24. Distribusi ketebalan perifovea nasal mata kiri berdasarkan pemeriksaan OCT
Ketebalan zona ini sebanyak 26 (68,4%) adalah normal, 8 (21,1%) adalah
borderline dan 4 (10,5%) mata mengalami edema.
Tabel 5.25. Distribusi ketebalan perifovea temporal mata kiri berdasarkan pemeriksaan OCT
Pada zona ini terlihat sebanyak 31 mata (81,6%) dengan ketebalan normal, 2 mata (5,3%) dengan ketebalan borderline, dan 5 mata (13,1%) dengan edema.
Pada zona ini tampak bahwa sebanyak 28 (73,7%) mata dengan ketebalan normal, 4 (10,5%) dengan ketebalan borderline dan 6 (15,8%) dengan edema.
Tabel 5.27. Distribusi ketebalan perifovea inferior mata kiri berdasarkan pemeriksaan OCT
Ketebalan perifovea inferior frekuensi % Normal 26 68,4 Borderline 7 18,5 Edema 5 13,1 Total 38 100,0
Pada zona ini tampak bahwa sebanyak 26 (68,4%) mata mempunyai ketebalan
normal, 7 (18,5%) mata dengan ketebalan borderline dan 5 (13,1%) mata
mengalami edema.
Uji ANOVA dilakukan untuk mengetahui signifikansi pengaruh kadar
HbA1c terhadap perubahan ketebalan retina (fovea sentral) dalam kelompok
ketebalan yang berbeda (normal, borderline dan edema), dimana sebelumnya
dilakukan uji homogenitas varian. Hal ini juga dilakukan pada lamanya subjek
BAB VI
PEMBAHASAN
Dari subjek penelitian yang berjumlah 43 pasien diabetes melitus relatif hampir
sama jumlah antara pasien laki-laki dan wanita. Beberapa literatur menyatakan
bahwa tidak terdapat predisposisi jenis kelamin untuk menderita diabetik
retinopati.23,24.Jumlah frekuensi dari masing-masing kelompok umur subjek
rata-rata hampir sama antara kelompok umur 45-52, 53-60 dan 61-68 yaitu berkisar 13
dan 15 subjek, ini mempunyai makna bahwa memang retinopati diabetik banyak
terjadi pada individu berusia di atas 40 tahun.
Terdapat variasi suku dari subjek penelitian yang diperiksa juga berbagai
tingkat pendidikan, data ini dapat digunakan untuk menggambarkan variasi subjek
yang mengikuti penelitian dan menunjukkan heterogenitas populasi penelitian.
Referensi menyatakan bahwa setelah 10 tahun mengalami diabetes melitus
prevalensi retinopati diabetik mencapai 7% sementara subjek yang mengalami
diabetes melitus hingga 25 tahun memiliki prevalensi retinopati diabetik sebesar
lebih dari 90%. Dari penelitian ini didapatkan besar subjek penelitian yang
mengalami DM selama kurun waktu 5-9 tahun sebanyak 25 subjek (58,1%)
dibandingkan subjek yang mengalami DM 10 tahun ke atas sebanyak 18 subjek
(41,9%). Lamanya subjek penelitian mengalami DM memberikan pengaruh
gambaran kelainan retinopati diabetik yang dialaminya, meskipun tidak dapat
disingkirkan kemungkinan diabetes telah berlangsung lebih lama dari yang
Pasien DM yang menjadi subjek penelitian telah mempunyai beberapa kali
nilai pemeriksaan kadar HbA1c yang menggambarkan kadar gula darah selama 3
bulan terakhir. Dari data terlihat bahwa rata-rata nilai HbA1c subjek berkisar
antara 5,8-9,9 %. Data ini diujikan apakah kadar HbA1c yang tinggi berpengaruh
terhadap keparahan retinopati diabetik subjek penelitian. Hasil dari uji ANOVA
memperlihatkan bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap keparahan
retinopati diabetik (ketebalan fovea), berbeda dengan lamanya DM yang dialami
subjek dimana mempunyai pengaruh yang signifikan.
Klasifikasi retinopati diabetik yang didapat pada subjek penelitian adalah
NPDR ringan sebanyak 14 mata kanan (35,9%) dan 13 mata kiri (34,2%), NPDR
sedang sebanyak 20 mata kanan (51,3%) dan 17 mata kiri (44,7%), NPDR berat
sebanyak 3 mata kanan (7,7%) dan 6 mata kiri (15,8%), sedangkan NPDR berat
disertai clinical significan macula edem (CSME) dijumpai 2 pada mata kanan
(5,1%) dan 2 pada mata kiri (5,3%). Data ini menunjukkan bahwa rata-rata subjek
penelitian mempunyai klasifikasi diagnosis NPDR sedang, artinya sejalan dengan
lama subjek menderita DM yaitu 5 tahun ke atas. Tidak dijumpai subjek dengan
klasifikasi PDR, hal ini dapat terjadi secara kebetulan mengingat kasus PDR
dalam klinis memang mempunyai prevalensi yang lebih kecil dibanding kasus
NPDR. 25.
Ketebalan retina menurut zona (maping retina dalam 9 zona) dinilai
dengan pemeriksaan OCT, dimana dari 77 mata yang diperiksa tampak perubahan
ketebalan (borderline dan edema) paling sering terjadi pada zona fovea sentral
mengalami edema 7 mata kanan (18,0%) dan 9 mata kiri (23,6%). Dari perubahan
ketebalan fovea sentral ini dilakukan uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh
kadar HbA1c dan lamanya DM subjek, didapatkan tidak ada pengaruh signifikan
dari kadar HbA1c namun signifikan dalam lama DM. Perlu dipertimbangkan
bahwa subjek penelitian mengalami lamanya DM yang berbeda-beda (tidak
semua subjek sama lama DM nya) sehingga dibandingkan dengan lama DM
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kadar hemoglobin A1c tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
perubahan ketebalan zona-zona makula retina. Perubahan ketebalan retina
khususnya zona fovea sentral dipengaruhi oleh lamanya DM.
2. Pemeriksaan OCT menunjukkan pertambahan ketebalan pada semua zona
tidak selalu terjadi, dari pemeriksaan tampak zona yang mengalami
perubahan ketebalan paling nyata adalah fovea sentral.
3. Mata dengan diagnosis NPDR berat dan NPDR yang disertai CSME memiliki
ketebalan yang lebih besar dibandingkan dengan diagnosis NPDR sedang
maupun ringan.
4. Penelitian dengan jumlah subjek yang lebih besar dan dengan lamanya
mengalami DM dalam kurun waktu yang sama diperlukan untuk memastikan
Saran
1. Diharapkan pasien-pasien DM mempunyai pengetahuan yang lebih baik
mengenai kemungkinan kelainan mata yang dapat terjadi akibat DM sehingga
lebih disiplin untuk berobat dan mengontrol KGD nya juga memeriksa mata di
poli mata dalam waktu tertentu yang ditentukan.
2. Penyediaan alat dan prasarana yang lebih lengkap di Rumah Sakit H. Adam
Malik guna mengatasi kasus-kasus dengan komplikasi akibat retinopati
diabetik yang berat, dengan demikian dapat memaksimalkan tindakan dan
DAFTAR PUSTAKA
1. World Sight Day, Upaya Mencegah Kebutaan di Seluruh Dunia, available at
http://www.mitranetra,or.id/default.asp?page=halo&id=78
2. Diabetic Eye Disease, Diabetic Retinopathy, available at,
http://www.denvereyesurgeons.con/denver/diabetic-eye-disease.htm
3. Damayanti Kun D dkk, Prevalensi & Faktor-Faktor Risiko Retinopati
Diabetik pada Penderita DM di RS Hasan Sadikin, Bag. Ilmu Kesehatan
Mata, FK UNPAD, RS Cicendo, available at:
isjf.pdii.Lipi.g0.id/admin/jurnal/252931417.pdf
4. Facts about Diabetic Retinopathy, available at, http://www-moorfields.
nhs.uk/Eyehealth/commoneyeconditions/Diabeticretinopathy/
5. Diabetes, cause, incidence, and risk factors, available at,
Facts
http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001350/US.National
6. American Academy of Ophthalmology, Basic and Clinical Science
Course,Retinal Vascular Disease in Retina and Vitreous, section 12, chapter
5, 2009-2010, p. 109-131
Library of
Medicine-The World’s Largest Medical Library.
7. Kanski JJ, Retinal Vascular Disease, Diabetic Retinopathy, in Clinical
Ophthalmology A systematic Approach, chapter 16, 2007, p. 566-584
8. Purba Darwan M dkk, Retinopati Diabetika, dalam Retina dari Pediatrik
hingga Geriatrik, Jakarta Eye Center, 2011, hal. 137-166
9. Kriteria Perkeni menegakkan DM, available at, www. Klinik Diabetes
Nusantara.com/pages/tentang diabetes/kontrol.hbalr.php.
10.Diagnosis DM, available at, www.ncbi.nlm.gov/pubmedhealth. National
11.Khurana AK, Diabetic Retinopathy in Comprehensive Ophthalmology,
chapter 12, 4th edition, 2007,p. 243-257
12.Tasman W, Diabetic Retinopathy, in Dune’s Clinical Ophthalmology, vol.3,
chapter 15, Lippincot Williams and Wilkins, Revised Edition, 2004, p.
251-259
13.Vander James F, Diabetic Retinopathy, in Ophthalmology Secrets in Color,
Third Edition, Mosby, Elsevier, 2007, p. 376-383
14.Ogden Thomas E, Medical Retina, in Retina Basic Science and Inherited
Retinal Disease, Third Edition, volume two, C.P. Wilkinson,Mosby,
Philadelpia, 2004, p. 967-973
15.Saxena Sandeep, Optical Coherence Tomography, Jaypee Brothers, Medical,
Mc Graw Hill, University of North Carolina, Chapel Hill, USA, p. 1-8
16.Sony P, Venkatesh P and all, Step by Step Optical Coherence Tomography,
Jaypee Brothers, Medical Publishers (P) Ltd, New Delhi, 2007, p.205-211
17.Hemoglobin A1c, available at, http//www.HbA1c/ common condition/Home
Page/html.
18.Jaffe GJ, Caprioli J, Optical coherence tomography to detect and manage
retinal disease and glaucoma. AJ Ophthlmol. 2004; 137:156-69
19.Chan A, Duker S, Tony H. Macular thickness assessment in healthy eyes
based on ethnicity using stratus OCT , Arch Ophthalmol.2006; 124:193-98
20.Goebel W, Gross K, Tatjana. Retinal Thickness in Diabetic Retinopathy; A
Study Using Optical Coherence Tomography (OCT), jurnal retina: Desember
2002, volume 22, issu 6, hal 759-767.
21.Lisegang TJ, Deutsch TA, Grand MG, Ocular development, Fundamentals
and principles of ophthalmology section 2, Sanfransisco, American
Academy of Ophthalmology, 2005-2006, p.133-157.
22.Boulton M. The pathogenesis of diabetika retinopathy: old concepts and new
23.Odgen TE, Hinton DR, The Development of the Retina. Third edition
volume one. Singapore. Mosby. 2002.p 3-17.
24.Celles J, Cipolla M. Diabetes and endothelial dysfunction, a clinical
perspective. Endocrine review. 2005. P.22,36-52.
25.David J Browning, Diabetic Macular Edema, Am J Ophthalmol
LAMPIRAN – LAMPIRAN
Uji Kadar HbA1C1 terhadap ketebalan Fovea mata kanan
Uji Kadar HbA1C2 terhadap ketebalan Fovea mata kanan ANOV A
19 7,900 1,3333 ,3059 7,257 8,543 5,8 10,1
13 8,438 1,8145 ,5033 7,342 9,535 6,2 11,3
7 7,814 1,8334 ,6930 6,119 9,510 5,9 10,6
39 8,064 1,5766 ,2525 7,553 8,575 5,8 11,3
Normal Borderline Udem Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for
19 8,016 1,3014 ,2986 7,389 8,643 6,2 10,3
13 8,500 2,0841 ,5780 7,241 9,759 6,4 13,8
7 7,943 1,7164 ,6488 6,355 9,530 6,1 10,3
39 8,164 1,6424 ,2630 7,632 8,697 6,1 13,8
Normal Borderline Udem Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for Mean
Means Plots
Gambaran OCT OD
Udem Borderline
Normal 8.4
8.2
8.0
7.8
Uji Lama DM terhadap ketebalan Fovea mata kanan
Lama DM
19 7,37 2,338 ,536 6,24 8,50 5 12
13 10,46 4,034 1,119 8,02 12,90 5 17
7 12,29 3,546 1,340 9,01 15,56 8 18
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
Uji Post Hoc
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
Uji Kadar HbA1C1 terhadap ketebalan Fovea mata kiri
Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). **.
14 7,743 1,2494 ,3339 7,021 8,464 6,2 9,8
15 8,680 1,8944 ,4891 7,631 9,729 6,4 13,8
9 8,100 1,6340 ,5447 6,844 9,356 6,4 11,3
38 8,197 1,6305 ,2645 7,661 8,733 6,2 13,8
Normal Borderline
Udem Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for Mean
Means Plots
Uji Kadar HbA1C2 terhadap ketebalan Fovea mata kiri
Uji Homegenitas Varian
14 7,671 1,4264 ,3812 6,848 8,495 5,8 10,6
15 8,200 1,5413 ,3980 7,346 9,054 6,1 11,3
9 8,200 1,5313 ,5104 7,023 9,377 6,5 10,3
38 8,005 1,4790 ,2399 7,519 8,491 5,8 11,3
Normal Borderline Udem Total
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
Post Hoc Tests
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
Uji Lama DM terhadap ketebalan Fovea mata kiri
(I-J) Std. Error Sig. Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval
N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound
95% Confidence Interval for Mean
Means Plots
Gambaran OCT OS
Udem Borderline
Normal 13
12
11
10
9
8
7