• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN

SALAM (

Syzygium polyanthum

Wight) DARI TIGA

TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

SKRIPSI

ARUM SAMUDRA

1110102000046

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

(2)

ii

KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN

SALAM (

Syzygium polyanthum

Wight) DARI TIGA

TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

ARUM SAMUDRA

1110102000046

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

(3)

iii

Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,

Dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Arum Samudra

NIM : 1110102000046

Tanda tangan :

(4)

iv Nama : Arum Samudra

NIM : 1110102000046

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia

Disetujui oleh

Pembimbing I

Puteri Amelia, M. Farm., Apt NIP. 198012042011012004

Pembimbing II

Marissa Angelina, M. Farm., Apt NIP. 198212312005022001

Mengetahui

Ketua Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(5)

v Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Arum Samudra

NIM : 1110102000046

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Dewan Penguji

Pembimbing I : Puteri Amelia, M. Farm., Apt ( )

Pembimbing II : Marissa Angelina, M. Farm., Apt ( )

Penguji I : Ismiarni Komala, M.Sc., PhD., Apt ( )

Penguji II : Prof. Dr. Atiek Soemiati, MS., Apt ( )

Ditetapkan di : Ciputat

(6)

vi

Nama : Arum Samudra

Program Studi : Farmasi

Judul : Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium

polyanthum Wight)Dari Tiga Tempat Tumbuh Di

Indonesia

Standardisasi ekstrak tanaman obat perlu dilakukan untuk melindungi masyarakat dari penggunaan obat herbal yang tidak memenuhi persyaratan mutu. Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi sebagai langkah awal standardisasi ekstrak etanol daun Salam (Syzygium polyanthum Wight) dari tiga tempat tumbuh di Indonesia yaitu Tangerang Selatan, Sukoharjo, dan OKU Timur. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan beberapa parameter spesifik dan non spesifik sehingga menjamin bahwa ekstrak tersebut mempunyai nilai dan parameter yang terukur. Hasil karakterisasi untuk parameter spesifik menunjukkan organoleptik ekstrak (bentuk ekstrak kering, warna hitam kecoklatan, bau aromatik lemah, dan rasa pahit), dengan kadar senyawa terlarut dalam air 31,167 % ± 0,756 - 49,011 % ± 0,577, dan terlarut dalam etanol 38,545 % ± 0,5829 - 58,091 % ± 0,671. Kandungan kimia ekstrak daun Salam ini yaitu flavonoid, alkaloid, tanin, saponin, dan terpenoid. Hasil uji parameter non spesifik menunjukkan susut pengeringan (8,420 % ± 0,2979 sampai 12,624 % ± 1,5844), bobot jenis (1,002 % ± 0,0005 - 1,005 % ± 0,0016), kadar air (4,999 % ± 0,2403 - 7,298 % ± 0,1807), kadar abu total (7.242 % ± 0,5365 - 14,438 % ± 0,4065), kadar abu tidak larut asam (0,380 % ± 0,0315 - 1,314 % ± 0,0220). Pada pengujian cemaran logam Pb (Tidak terdeteksi - 95,43 µg/g), logam Cd (4,42 - 8,62 µg/g), dan logam As (<0,005 µg/g).

(7)

vii

Name : Arum Samudra

Program Study : Pharmacy

Title : Characterization of Ethanol Leaf Extract Salam (Syzygium polyanthum Wight) From Three Places to Grow in Indonesia

Standardization of medicinal plant extracts needs to be done to protect the public from the use of herbal remedies that do not meet the quality requirements. In this research, the characterization as a first step to standardization of the ethanol extract of leaves of Salam (Syzygium polyanthum Wight) of the three places to grow in Indonesia, South Tangerang, Sukoharjo, and East OKU. The purpose of this study is to establish some specific and non-specific parameters so as to ensure that the extract has a value and the measured parameters. Characterization results for a specific parameter indicating the organoleptic extract (dry extract form, brownish black color, weak aromatic odor and bitter taste), with levels of dissolved compounds in water 31,167 % ± 0,756 - 49,011 % ± 0,577, dissolved in ethanol 38,545 % ± 0,5829 - 58,091% ± 0.671. Greetings leaf chemical constituents of this extract are flavonoids, alkaloids, tannins, saponins, and triterpenoids. The test results indicate non-specific parameters of drying shrinkage (8.420% ± 0.2979 - 12.624% ± 1.5844), specific gravity (1.002% ± 0.0005 - 1.005 ± 0.0016%), water content (4.999% ± 0,2403 - 7.298% ± 0.1807), total ash content (7242% ± 0.5365 - 14.438% ± 0.4065), acid insoluble ash content (0.380% ± 0.0315 - 1.314 ± 0.0220%). The testing of Pb contamination (Not detected - 95.43 mg/g), metal Cd (4.42 - 8.62 mg/g), and metal As (<0.005 mg/g).

(8)

viii

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang tak tak pernah lelah melimpahkan

rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta

penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun umatnya dari lembah

kegelapan menuju jalan yang terang benderang.

Skripsi yang berjudul “Karakterisasi Ekstrak Etanol Daun Salam

(Syzygium polyanthum Wight) Dari Tiga Tempat Tumbuh Di Indonesia” ini

disusun sebagai salah satu syarat tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana

Farmasi pada Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT yang selalu memberikan nikmat dan karunia yang tak

terhingga.

2. Prof. Dr. Komarudin Hidayat selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Prof. Dr. (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt. selaku Ketua Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Ibu Puteri Amelia, M. Farm., Apt dan Ibu Marissa Angelina, M. Farm.,

Apt selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan serta meluangkan

waktu, tenaga, dan juga pikiran dalam penelitian dan penyusunan skripsi

ini.

6. Kedua orang tua tercinta, Bapak Musthofa Suyadi dan Ibu Saginah, yang

selalu memberikan dukungan baik moril maupun materiil, serta kasih

(9)

ix

7. Kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberi

kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan melalui program

beasiswa “Santri Jadi Dokter”.

8. Para peneliti di LIPI, Ibu Lia, Ibu Lala, Ibu Tatik, Ibu Mimin, Ibu Lisna,

Ibu Mega, Mas Udin, Pak Rokib, serta Mas Lili yang telah membantu

penulis selama melakukan penelitian di LIPI.

9. Bapak/Ibu dosen yang telah memberikan ilmunya selama penulis

menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

10.Para staf, karyawan dan laboran Program Studi Farmasi yang telah banyak

membantu.

11.Keluarga besar Harjo Wiyoto dan Soekaryo yang selalu memberikan

dukungan dan semangat.

12.Untuk yang selalu mendengar keluh kesah dan selalu memberi semangat

serta bantuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini, Finti Muliati.

13.Teman yang berjuang bersama di LIPI, Arsyadanie Saifi Adli, serta “The

Pavillioons” yang selalu berbagi dalam suka ataupun duka.

14.Teman-teman Farmasi angkatan 2010 (Andalusia) yang tidak membuat

penulis menyesal telah menjadi bagian dari kalian.

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis selama ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun

harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Ciputat, 4 September 2014

(10)

x

Sebagai civitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Arum Samudra

NIM : 1110102000046

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya

ilmiah saya dengan judul :

KARAKTERISASI EKSTRAK ETANOL DAUN SALAM (Syzygium

polyanthum Wight) DARI TIGA TEMPAT TUMBUH DI INDONESIA

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat

dengan sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat

Pada Tanggal : 4 September 2014

Yang menyatakan

(11)

xi HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK...

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 2.1DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight)...

2.1.1 Klasifikasi Tanaman ... 2.2.2.2 Aspek Parameter Non Spesifik ... 2.2.3 Manfaat Standardisasi ... 2.2.3.1 Standardisasi menjamin keseragaman khasiat (efikasi) ... 2.2.3.2 Standardisasi untuk uji klinik ... 2.2.3.3 Standardisasi menjamin aspek keamanan dan stabilitas

ekstrak/bentuk sediaan ... 2.2.3.4 Standardisasi meningkatkan nilai ekonomi... 2.3SIMPLISIA ... 2.4EKSTRAK... 2.3.4.1Faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak ... 2.5EKSTRAKSI...

(12)

xii 2.6.2 Kromatografi Gas-Spektrometri Massa (KG-SM)... 2.6.3 High Performance Liquid Chromatography (HPLC)... 2.7 SPEKTROFOTOMETRI ...

2.7.1 Spektrofotometri UV-Vis ... 2.7.2 Spektrofotometri Serapan Atom ...

BAB 3 METODE PENELITIAN... 3.3.6 Penentuan Parameter-parameter Standarisasi ...

3.3.6.1 Parameter Spesifik ... 3.3.6.2 Parameter Non Spesifik ...

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 4.1 HASIL PENELITIAN...

4.1.1 Hasil Determinasi Sampel... 4.1.2 Pengamatan Makroskopik Daun Salam... 4.1.3 Hasil Ekstraksi Daun Salam... 4.1.4 Parameter Spesifik...

4.1.4.1 Identitas Ekstrak... 4.1.4.2 Organoleptik Ekstrak... 4.1.4.3 Penentuan Kadar Senyawa Terlarut dalam Pelarut

Tertentu... 4.1.4.4 Identifikasi Kandungan Kimia Ekstrak... 4.1.4.5 Pola Kromatogram... 4.1.4.6 Kadar Total Flavonoid... 4.1.5 Parameter Non Spesifik... 4.2 PEMBAHASAN...

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN...

(13)

xiii

DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN...

(14)

xiv

(15)

xv

Tabel 4.3 Identitas ekstrak... Tabel 4.4 Organoleptik ekstrak... Tabel 4.5 Kadar senyawa terlarut dalam pelarut tertentu... Tabel 4.6 Identifikasi kandungan kimia ekstrak... Tabel 4.7 Nilai Rf... Tabel 4.8 Data Kromatogram HPLC... Tabel 4.9 Kadar Total Flavonoid... Tabel 4.10 Parameter non spesifik daun Salam... Tabel L.1 Senyawa terlarut air... Tabel L.2 Senyawa terlarut etanol... Tabel L.3 Susut pengeringan... Tabel L.4 Bobot jenis... Tabel L.5 Kadar abu... Tabel L.6 Kadar abu tidak larut asam... Tabel L.7 Kadar air... Tabel L.8 Standar kuersetin... Tabel L.9 Kadar total flavonoid... Tabel L.10 Standar logam Pb... Tabel L.11 Standar logam Cd... Tabel L.12 Standar logam As...

(16)

xvi

Lampiran 2 Hasil determinasi... Lampiran 3 Rendemen ekstrak... Lampiran 4 Perhitungan kadar senyawa terlarut air... Lampiran 5 Perhitungan kadar senyawa terlarut etanol... Lampiran 6 Pehitungan susut pengeringan... Lampiran 7 Perhitungan bobot jenis... Lampiran 8 Perhitungan kadar abu... Lampiran 9 Perhitungan kadar abu tidak larut asam... Lampiran 10 Perhitungan kadar air... Lampiran 11 Perhitungan kadar total flavonoid... Lampiran 12 Hasil uji cemaran logam berat... Lampiran 13 Perhitungan cemaran logam berat... Lampiran 14 Bahan dan alat penelitian...

(17)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar

didunia yang memiliki lebih dari 30.000 spesies tanaman tingkat tinggi. Hingga

saat ini, tercatat 7000 spesies tanaman telah diketahui khasiatnya. Namun, kurang

dari 300 tanaman yang digunakan sebagai bahan baku industri farmasi secara

regular. Sekitar 1000 tanaman telah diidentifikasi dari aspek botani sistematik

tumbuhan dengan baik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

Dengan kekayaan hayati yang berlimpah tersebut, tidak sedikit masyarakat

Indonesia yang memanfaatkannya untuk berbagai keperluan, diantaranya sebagai

obat tradisional. Obat tradisional telah digunakan sejak zaman dahulu baik di

Indonesia maupun di negara-negara lainnya. Sampai sekarangpun tetap

dimanfaatkan dan bahkan cenderung meningkat. Namun, eksistensinya belum

dapat disetarakan dengan pelayanan pengobatan modern dengan menggunakan

obat kimia, karena memang belum seluruhnya teruji keamanan dan manfaatnya.

Selama ini kebanyakan manfaat dan pengembangannya hanya dari data empiris

dan dari pengalaman yang diwariskan dari generasi ke generasi (Hariyati, 2005).

WHO pada tahun 2008 mencatat bahwa 68% penduduk dunia masih

menggantungkan sistem pengobatan tradisional yang mayoritas melibatkan

tumbuhan untuk menyembuhkan penyakit dan lebih dari 80% penduduk dunia

menggunakan obat herbal untuk mendukung kesehatan mereka (Saifudin, Rahayu,

& Teruna, 2011).

Kecenderungan masyarakat untuk kembali ke alam meneguhkan peran

penting tumbuhan sebagai sumber obat bahkan berpotensi nilai ekonomi tinggi.

Namun isu besar yang menjadi pemikiran pemerintah saat ini adalah bagaimana

menjamin obat yang berbasis herbal memiliki mutu yang terukur, mampu

mendukung derajat kesehatan dan terjamin keamanan, terbebas dari bahan dan

mikroba berbahaya serta bagaimana menaikkan nilai ekonomi sehingga menjadi

negara produsen yang bermartabat (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

(18)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam rangka mengembangkan obat tradisional diperlukan pengendalian

mutu simplisia yang akan digunakan untuk bahan baku obat atau sediaan galenik.

Pengendalian mutu simplisia dapat dilakukan salah satunya dengan cara

melakukan standardisasi simplisia. Standardisasi perlu dilakukan untuk menjaga

kualitas bahan baku obat alam baik yang berupa simplisia maupun yang berbentuk

ekstrak atau sediaan galenik (Hariyati, 2005). Standardisasi dalam kefarmasian

tidak lain adalah serangkaian parameter, prosedur dan cara pengukuran yang

hasilnya merupakan unsur-unsur terkait paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam

artian memenuhi syarat standar (kimia, biologi dan farmasi), termasuk jaminan

(batas-batas) stabilitas sebagai produk kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu

ekstrak terdiri dari berbagai parameter standar umum dan parameter standar

spesifik. Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan serta melindungi

konsumen untuk tegaknya trilogi “mutu-keamanan-manfaat”. Pengertian standardisasi juga berarti proses menjamin bahwa produk akhir (obat, ekstrak atau

produk ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan (dirancang dalam formula) terlebih dahulu (Anonim, 2000).

Salah satu tanaman yang mempunyai banyak manfaat yaitu daun salam

(Syzygium polyanthum Wight). Daun salam telah dikenal secara luas oleh

masyarakat indonesia. Biasanya daun salam digunakan untuk bumbu berbagai

macam masakan. Namun dibalik itu semua, ternyata daun salam mempunyai

aktivitas farmakologis yang sangat berguna bagi tubuh kita. Menurut Nuratmi dkk

(1998), pemberian sirup daun salam pada tikus putih dengan dosis yang

berbeda-beda, memperlihatkan adanya efek antidiare. Semakin besar dosis yang diberikan

maka efeknya juga semakin besar. Pada dosis 450 mg/100 g BB sama dengan

tikus yang diberi loperamid 0,12 mg/100 g BB. Penelitian selanjutnya juga

menunjukkan bahwa ekstrak etanolik 30% daun salam memberikan aktivitas

antidiare pada hewan uji (Malik & Ahmad, 2013).

Berdasarkan data uji praklinik antihiperurisemia, ekstrak daun salam dan

jinten hitam dan kombinasinya dengan dosis tunggal 200 mg/kgBB terbukti

berpotensi menurunkan kadar asam urat dalam darah mencit putih jantan galur

(19)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

asam urat berturut-turut adalah kurang lebih sebesar 79,35 %, 61,29 %, dan

72,90 % (Muhtadi, Suhendi, W., & Sutrisna, 2012)

Sementara itu, ekstrak metanol daun salam memiliki aktivitas sebagai

antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli (Rambe,

Pasaribu, & Nst, 2012). Ekstrak metanol daun salam juga dapat menghambat pertumbuhan vegetatif F.oxysporum, meskipun persentase penghambatan tertinggi

hanya sebesar 57,16 % pada konsentrasi 5 %. Pada media cair, ekstrak daun salam

efektif menurunkan jumlah konidia dan berat hifa. Selain itu, ekstrak metanol

daun salam mampu menghambat perkecambahan konidia F. oxysporum. Persentase penghambatan perkecambahan konidia pada perlakuan ekstrak daun

salam 3 % sebesar 84,67 % pada jam ke-4 setelah inkubasi (Noveriza &

Miftakhurohmah, 2010).

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun salam

dengan dosis 2,62 mg/20 g BB dan 5,24 mg/20 g BB dapat menurunkan secara

bermakna kadar glukosa darah mencit jantan yang diinduksi dengan aloksan

(Studiawan & Santosa, 2005). Sedangkan ekstrak metanol daun salam

menunjukkan adanya aktivitas antioksidan pada lC50sebesar 90,85 μg/mL (Har &

Ismail, 2012).

Mengingat begitu banyak manfaat pada daun salam (Syzygium

polianthum) berdasarkan dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan, maka

perlu dilakukan upaya penetapan standar mutu dan juga keamanan dari ekstrak

daun salam. Selain itu, untuk mendukung program LIPI (Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia) yang menguji tentang aktivitas daun salam sebagai

Antiviral Dengue, maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi ekstrak etanol daun salam dari tiga tempat tumbuh di Indonesia (OKU Timur, Sukoharjo,

dan Tangerang Selatan).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari hasil penelusuran pustaka yang telah dilakukan, belum ada penelitian

mengenai karakterisasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight).

Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini dilakukan karakterisasi

(20)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Untuk mengetahui beberapa hasil uji parameter spesifik dan non spesifik

dari ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum Wight) sehingga nantinya

dapat menjamin bahwa sampel tersebut mempunyai mutu dan nilai-nilai

parameter yang terstandar.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan data awal standardisasi

sehingga dapat menjamin kualitas, mutu, dan keamanan ekstrak etanol daun salam

(21)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DAUN SALAM (Syzygium polyanthum Wight) 2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Secara ilmiah, tanaman salam diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Sub Kelas : Dialypetalae

Bangsa : Myrtales

Suku : Myrtaceae

Marga : Syzygium

Jenis : Syzygium polyanthum

(Tjitrosoepomo, 1988)

Gambar 1. Pohon salam (Sumber : Koleksi pribadi)

(22)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gambar 2. Buah, bunga, dan daun salam (sumber : Ibujempol.com)

2.1.2 Nama Daerah

Daun salam memiliki banyak nama lain di daerah, diantaranya adalah

Sumatera : meselangan, ubar serai (Melayu), Jawa : salam, gowok (Sunda), salam,

manting (Jawa), salam (Madura), Kangean : kastolam. Nama asing daun salam

yaitu salam leaf dan sinonimnya Eugenia polyantha Wight (Dalimartha, 2000).

2.1.3 Deskripsi Tanaman

Tinggi pohon mencapai 25 m, batang bulat, permukaan licin, bertajuk

rimbun dan berakar tunggang. Daun tunggal, letak berhadapan, panjang tangkai

daun 0,5-1 cm. Helaian daun berbentuk lonjong sampai elips atau bundar telur

sungsang, ujung meruncing, pangkal runcing, tepi rata pertulangan menyirip,

permukaan atas licin berwarna hijau tua, permukaan bawah berwarna hijau muda,

panjang 5-15 cm, lebar 3-8 cm, jika diremas berbau harum. Bunga majemuk

tersusun dalam malai yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih, baunya

harum. Biji bulat, diameter sekitar 1 cm berwarna cokelat.Buahnya buah buni,

bulat diameter 8-9 mm,buah muda berwarna hijau, setelah masak menjadi merah

(23)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.1.4 Tempat Tumbuh

Salam menyebar di Asia Tenggara, mulai dari Burma, Indocina, Thailand,

Semenanjung Malaya, Sumatera, Kalimantan, dan Jawa. Salam tumbuh liar di

hutan dan pegunungan, atau ditanam di pekarangan dan sekitar rumah. Pohon ini

dapat ditemukan didaerah dataran rendah sampai ketinggian 1.400 m dpl

(Dalimartha, 2000).

2.1.5 Kandungan Kimia Tumbuhan

Tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight) mengandung banyak senyawa. Menurut Hariana (2008) antara lain minyak atsiri, tanin, flavonoid.

Anggota famili Myrtaeae memiliki sifat rasa kelat, wangi, dan astringen (Enda, 2009).

Bagian tanaman salam yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian

daunnya. Daun salam mengandung tanin, minyak atsiri (salamol dan eugenol),

flavonoid (Kuersetin, Kuersitrin, mirsetin dan mirsitrin), seskuiterpen,

triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton, saponin, dan karbohidrat (Fitri, 2007).

Menurut Purwati (2004), daun salam oleh Badan POM ditetapkan sebagai salah

satu dari sembilan tanaman obat unggulan yang telah diteliti atau diuji secara

klinis untuk menanggulangi masalah kesehatan tertentu (Fitri, 2007).

Menurut Sudarsono (2002) Kandungan tanaman salam lainnya adalah

saponin,triterpenoid, flavonoid, polifenol, alkaloid, tanin dan minyak atsiri yang

terdiri dari sesquiterpen, lakton dan fenol (Adrianto, 2012).

Uji fitokimia dari daun salam menunjukkan adanya beberapa senyawa

metabolit sekunder yaitu flavonoid, fenolik, dan kumarin (Hermansyah, 2008)

2.1.6 Kegunaan Tanaman

Daun salam umumnya digunakan sebagai rempah pengharum masakan di

sejumlah negeri di Asia Tenggara, baik untuk masakan daging, ikan, sayur mayur,

maupun nasi. Daun dicampur dalam keadaan utuh, kering ataupun segar dan turut

dimasak hingga masakan tersebut matang. Dari segi kesehatan, daun salam efektif

(24)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kolesterol darah, menurunkan kadar asam urat, mengobati sakit maag (gastritis), gatal-gatal (pruritis), kudis (scabies), dan eksim (Enda, 2009).

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak etanolik 30%

daun salam memberikan aktivitas antidiare pada hewan uji (Malik &

Ahmad, 2013).

Winarto (2004) menyatakan bahwa daun salam mempunyai kandungan

kimia yaitu tanin, flavonoid, dan minyak atsiri 0,05 % yang terdiri dari eugenol

dan sitral. Minyak atsiri atau dikenal orang dengan nama minyak ateris atau

minyak terbang (essential oil) dihasilkan oleh tanaman tertentu. Mekanis

metoksisitas fenol dalam minyak atsiri menyebabkan denaturasi protein pada

dinding sel kuman dengan membentuk struktur tersier protein dengan ikatan

nonspesifik atau ikatan disulfida (Adrianto, 2012).

Minyak atsiri mengandung sitral dan eugenol yang berfungsi sebagai

anestetik dan antiseptik (Adrianto, 2012). Antiseptik adalah obat yang

meniadakan atau mencegah keadaan sepsis, zat ini dapat membunuh atau

mencegah pertumbuhan mikroorganisme (Ganiswara, 1995). Eugenol adalah

sebuah senyawa kimia aromatik, berbau, sedikit larut dalam air dan larut pada

pelarut organik. Bidang medis sering menggunakan eugenol. Kandungan eugenol

merupakan analgesik dan antiseptik lokal yang baik. Beberapa minyak atsiri dapat

digunakan sebagai bahan antiseptik internal dan eksternal, bahan analgesik,

hemolitik atau enzimatik, sedatif, stimulan, untuk obat sakit perut, bahan pewangi

kosmetik dan sabun (Adrianto, 2012).

Selain minyak atsiri terdapat kandungan tanin. Tanin, tannic acid atau

gallotanic acid dapat ditemukan pada berbagai macam tanaman. Tanin telah terbukti mempunyai efektifitas antioksidan dan menghambat pertumbuhan tumor

(Robinson, 1995). Tanin menyebabkan denaturasi protein dengan membentuk

kompleks protein. Pembentukan kompleks protein melalui kekuatan nonspesifik

seperti ikatan hidrogen dan efek hidrofobik sebagaimana pembentukan ikatan

kovalen, menginaktifkan adhesi kuman (molekul untuk menempel pada sel

inang), menstimulasi sel-sel fagosit yang berperan dalam respon imun selular

(25)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Flavonoid adalah senyawa yang terdapat pada sebagian besar

tumbuh-tumbuhan. Sebagian besar tumbuhan obat mengandung flavonoid (Adrianto,

2012). Pada tumbuhan, flavonoid tidak hanya berperan sebagai pigmen yang

memberi warna pada bunga dan daun saja, namun juga sangat penting bagi

pertumbuhan, perkembangan dan pertahanan tumbuhan. Misalnya sebagai enzim

inhibitor, prekusor bahan toksik, melindungi tumbuhan (dari bakteri, virus, radikal

bebas dan radiasi sinar UV) (Sabir, 2003). Beberapa penelitian terakhir

menunjukan bahwa flavonoid memiliki efek antimikroba, antiinflamasi,

merangsang pembentukan kolagen, melindungi pembuluh darah, antioksidan dan

antikarsinogenik (Sabir, 2003). Flavonoid sebagai antibakterial dapat menekan

pertumbuhan bakteri yang mengkontaminasi luka sehingga infeksi dapat

dihindarkan (Dharmayanti, 2000).

Pelezar (1988) menyatakan bahwa sebagai antibakteri, flavonoid bekerja

dengan menghambat perkembangan mikroorganisme karena mampu membentuk

senyawa kompleks dengan protein melalui ikatan hidrogen. Mekanisme kerjanya

dengan mendenaturasikan molekul-molekul protein dan asam nukleat yang

menyebabkan koagulasi dan pembekuan protein yang akhirnya akan terjadi

gangguan metabolisme dan fungsi fisiologis bakteri. Jika metabolisme bakteri

terganggu maka kebutuhan energi tidak tercukupi sehingga mengakibatkan

rusaknya sel bakteri secara permanen yang pada akhirnya menyebabkan kematian

bakteri (Adrianto, 2012).

2.2 STANDARDISASI 2.2.1 Karakterisasi Simplisia

Karakterisasi merupakan langkah awal dari standardisasi. Standardisasi

simplisia dilakukan untuk mengendalikan mutu simplisia. Standarisasi diperlukan

agar dapat diperoleh bahan baku yang seragam yang akhirnya dapat menjamin

efek farmakologi tanaman tersebut (Hariyati, 2005). Standarisasi simplisia

mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan digunakan untuk obat sebagai

bahan baku harus memenuhi persyaratan tertentu (Krisyanella, Dachriyanus, &

(26)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Standardisasi dalam kefarmasian tidak lain adalah serangkaian parameter,

prosedur dan cara pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait

paradigma mutu kefarmasian, mutu dalam artian memenuhi syarat standar (kimia,

biologi dan farmasi), termasuk jaminan (batas-batas) stabilitas sebagai produk

kefarmasian umumnya. Persyaratan mutu ekstrak terdiri dari berbagai parameter

standar umum dan parameter standar spesifik. Pengertian standardisasi juga

berarti proses menjamin bahwa produk akhir obat (obat, ekstrak atau produk

ekstrak) mempunyai nilai parameter tertentu yang konstan (ajeg) dan ditetapkan terlebih dahulu (Anonim, 2000).

Standardisasi suatu simplisia tidak lain pemenuhan terhadap persyaratan

sebagai bahan dan penetapan nilai berbagai parameter dari suatu produk.

Standardisasi simplisia juga mempunyai pengertian bahwa simplisia yang akan

digunakan untuk obat sebagai bahan baku harus memenuhi persyaratan yang

tercantum dalam monografi terbitan resmi Departemen Kesehatan (Materia

Medika Indonesia) (Anonim, 2000).

Objek standardisasi adalah ekstrak tumbuhan yakni material yang

diperoleh dengan cara menyari bahan tumbuhan dengan pelarut tertentu. Kecuali

dinyatakan lain pelarut yang diperbolehkan adalah etanol (Anonim, 1995). Pelarut

organik selain etanol memiliki potensi toksisitas yang lebih tinggi. Etanol

memiliki kemampuan menyari dengan polaritas yang lebar mulai senyawa

nonpolar sampai dengan polar. Sedangkan penyari air cukup sulit diuapkan pada

suhu rendah sehingga berpotensi terdegradasinya komponen aktif atau

terbentuknya senyawa lain karena pemanasan. Ekstraksi dengan non pelarut

seperti superkritikal gas diperkenankan namun yang menjadi masalah aplikasi di

Indonesia untuk industri masih sangat terbatas karena peralatan yang cukup mahal

(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

2.2.2 Parameter Standardisasi

2.2.2.1 Aspek Parameter Spesifik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011) Parameter spesifik yakni parameter yang berfokus pada senyawa atau

(27)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Analisis kimia yang dilibatkan ditujukan untuk analisa kualitatif dan kuantitatif

terhadap senyawa aktif.

Menurut Anonim (2000), Parameter spesifik meliputi :

a. Parameter identitas ekstrak, meliputi deskripsi tata nama (Nama ekstrak,

Nama latin tumbuhan, Bagian tumbuhan yang digunakan, dan Nama

Indonesia tumbuhan) dan senyawa identitas (senyawa tertentu yang

menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu). Tujuannya adalah

untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan spesifik dari senyawa

identitas.

b. Parameter organoleptik ekstrak, yaitu penentuan parameter yang

menggunakan pancaindra untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, dan

rasa dari suatu ekstrak.

c. Parameter senyawa terlarut dalam pelarut tertentu, yaitu parameter yang

diuji dengan cara melarutkan ekstrak dengan pelarut tertentu (air atau

alkohol) untuk ditentukan jumlah solut yang identik dengan jumlah

senyawa kandungan secara gravimetri. Dalam hal tertentu dapat diukur

senyawa terlarut dalam pelarut lain misalnya heksana, diklorometan, dan

metanol.

d. Parameter kandungan kimia ekstrak

1) Pola kromatogram

Tujuannya untuk memberikan gambaran awal komposisi kandungan

kimia berdasarkan pola kromatogram.

2) Kadar kandungan kimia tertentu

Dengan tersedia suatu kandungan kimia yang berupa senyawa

identitas atau senyawa kimia utama ataupun kandungan kimia lainnya,

maka secara kromatografi instrumental dapat dilakukan penetapan

kadar kandungan kimia tersebut. Instrumen yang dapat digunakan

adalah densitometer, kromatografi gas, KCKT atau instrumen yang

sesuai. Tujuannya memberikan data kadar kandungan kimia tertentu

sebagai senyawa identitas atau senyawa yang diduga bertanggung

(28)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2.2.2 Aspek Parameter Non Spesifik (Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011) Parameter non spesifik yakni aspek yang berfokus pada aspek kimia,

mikrobiologi dan fisis yang akan mempengaruhi keamanan konsumen dan

stabilitas. Aspek ini tidak berpengaruh pada aktivitas farmakologi secara

langsung.

Aspek parameter nonspesifik diantaranya (Anonim, 2000) :

a. Parameter susut pengeringan, adalah pengukuran sisa zat setelah

pengeringan pada temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai berat

konstan, yang dinyatakan sebagai nilai prosen. Dalam hal khusus (jika

bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap)

identik dengan kadar air karena berada di atmosfer/lingkungan udara

terbuka. Tujuannya untuk memberikan batasan maksimal (rentang) tentang

besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan.

b. Parameter bobot jenis, adalah masa per satuan volume pada suhu kamar

tertentu (25oC) yang ditentukan dengan alat khusus piknometer atau alat

lainnya. Tujuannya untuk memberikan batasan tentang besarnya masa

persatuan volume yang merupakan parameter khusus ekstrak cair sampai

ektrak pekat (kental) yang masih dapat dituang dan untuk memberikan

gambaran kandungan kimia terlarut.

c. Parameter kadar air, adalah parameter pengukuran kandungan air yang

berada di dalam bahan, dilakukan dengan cara yang tepat diantara cara

titrasi, destilasi atau gravimetri. Tujuannya untuk memberikan batasan

minimal atau rentang tentang besarnya kandungan air dalam bahan.

d. Parameter kadar abu, yaitu parameter yang dilakukan dengan cara

memanaskan bahan pada temperatur dimana senyawa orgaik dan

turunannya terdestruksi dan menguap. Sehingga tinggal unsur mineral dan

anorganik. Tujuannya untuk memberikan gambaran kandungan mineral

internal dan eksternal yagn berasal dari proses awal sampai terbentuknya

ekstrak.

e. Parameter sisa pelarut, parameter yang diuji dengan cara menentukan

(29)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

umum dengan kromatografi gas. Untuk ekstrak cair berarti kandungan

pelarutnya, misalnya kadar alkohol.

f. Parameter cemaran logam berat, adalah penentuan kandungan logam berat

secara spektroskopi serapan atom atau lainnya yang lebih valid. Tujuannya

untuk memberikan jaminan bahwa ekstrak tidak mengandung logam berat

tertentu melebihi nilai yang ditetapkan karena berbahaya (toksik) bagi

kesehatan.

2.2.3 Manfaat Standardisasi

2.2.3.1Standardisasi menjamin keseragaman khasiat (efikasi)

Mayoritas penggunaan bahan obat berbasis herbal di Indonesia masih

bersifat tidak terukur baik kepastian tanaman, takaran, cara penyiapan sehingga

tidak menjamin konsistensi khasiat. Salah satu tujuan dari standardisasi adalah

menjaga konsistensi dan keseragaman khasiat dari obat herbal. Standardisasi

melibatkan pemastian kadar senyawa aktif farmakologis melalui analisis

kuantitatif metabolit sekunder yang akan menjamin keseragaman khasiat

(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

Tercatat sekitar 997 industri obat tradisional di Indonesia dan 98

diantaranya adalah produsen dengan skala besar dan sedang. Produsen dengan

skala besar dan sedang telah mampu mengekspor produknya ke negara lain.

Selain itu juga banyak bahan mentah rempah dan obat herbal diekspor ke luar

negeri tanpa mengalami pengolahan. Problem yang seringkali dihadapi adalah

belum terstandarnya bahan baku yang diperdagangkan bahkan dijumpainya

kontaminan mikrobiologis pada produk obat herbal (Saifudin, Rahayu, &

Teruna, 2011).

2.2.3.2Standardisasi untuk uji klinik

Uji Klinik adalah uji senyawa kimia obat, obat herbal, ekstrak dan

berbagai sediaan pada dosis tertentu dengan target biologis manusia agar

memberikan respon biologis berupa parameter-parameter klinik perbaikan dari

kondisi patologis yang terkait dengan penyakit tertentu. Untuk itu semua aspek

(30)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

oleh konsistensi dosis. Jika jumlah zat aktif yang diberikan tidak konsisten maka

disini peran besar standardisasi untuk menjaga senyawa-senyawa aktif selalu

konsisten terukur antar perlakuan. Jadi, penentuan dosis senyawa marker untuk uji

klinik ekstrak atau obat herbal sangatlah fundamental (Saifudin, Rahayu, &

Teruna, 2011).

2.2.3.3Standardisasi menjamin aspek keamanan dan stabilitas ekstrak/bentuk sediaan

Tempat tumbuh tanaman, penanganan pasca panen, proses ekstraksi,

penyimpanan simplisia tanaman dan ekstrak juga mempengaruhi elemen

keamanan terhadap pemakaian logam berat, pestisida dalam tanah, udara dan air,

jenis dan jumlah mikroorganisme dan metabolit pencemar berbahaya. Keberadaan

air di dalam suatu ekstrak juga mempengaruhi stabilitas bahan baku bahkan

bentuk sediaan yang nantinya dihasilkan. Untuk itu dilakukan berbagai analisis

untuk menentukan batas minimal kadar air, zat dan jumlah mikroba pencemar.

Upaya ini disebut dengan penentuan parameter spesifik dan non spesifik

(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

Proses standardisasi yang meliputi aspek kimiawi metabolit sekunder,

jumlah cemaran mikroba minimal dan cemaran logam berat sangatlah penting

karena terkait dengan khasiat dan keamanan pada konsumen. Keberadaan residu

air yang cukup tinggi menyebabkan tumbuhnya mikroba yang akan

memperpendek stabilitas ekstrak atau bentuk sediaan yang dibuat (Saifudin,

Rahayu, & Teruna, 2011).

2.2.3.4Standardisasi meningkatkan nilai ekonomi

Tanaman obat dan rempah Indonesia mempunyai potensi besar sebagai

produk unggulan. Belum tingginya upaya lintas sektoral dan terpadu antara

swasta-pemerintah-perguruan tinggi untuk mengangkat secara sistematis natural product Indonesia mengakibatkan banyak produk ekspor herbal yang berdaya tawar rendah. Hingga kini Cina dan India adalah raja produk herbal dunia, bahkan

Singapura yang merupakan negara mungil adalah salah satu pengolah dan penjual

(31)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

eksportir sehingga banyak sekali bahan mentah Indonesia yang diekspor dengan

harga yang cukup murah. Namun, melalui pabrikasi dan proses di negara yang

bersangkutan tersebut dijual dengan nilai yang jauh lebih tinggi. Standardisasi

adalah upaya penting untuk menaikkan nilai ekonomi produk alam Indonesia

(Saifudin, Rahayu, & Teruna, 2011).

2.3 SIMPLISIA

Dalam buku Materia Medika Indonesia ditetapkan definisi bahwa simplisia

adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami

pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang telah

dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan

simplisia pelikan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh,

bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel yang

secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan cara tertentu

dikeluarkan dari selnya, atau senyawa nabati lainnya yang dengan cara tertentu

dipisahkan dari tumbuhannya dan belum berupa senyawa kimia murni

(Anonim, 2000).

Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan tumbuhan liar

(wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg

(konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi

(umur dan cara) panen, serta proses pasca panen dan preparasi akhir. Walaupun

ada juga pendapat bahwa variabel tersebut tidak besar akibatnya pada mutu

ekstrak nantinya dan dapat dikompensasi dengan penambahan/pengurangan bahan

setelah sedikit prosedur analisis kimia dan sentuhan inovasi teknologi farmasi

lanjutan sehingga tidak berdampak banyak pada khasiat produknya

(Anonim, 2000).

Proses panen dan preparasi simplisia merupakan proses yang dapat

menentukan mutu simplisia dalam berbagai artian, yaitu komposisi senyawa

kandungan, kontaminasi dan stabilitas bahan. Namun demikian simplisia sebagai

produk olahan, variasi senyawa kandungan dapat diperkecil, diatur atau diajegkan.

(32)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap

dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan 3 konsep untuk menyusun

parameter standar umum (Anonim, 2000) :

1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya memenuhi 3

parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis

(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis)

serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).

2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai

obat tetap diupayakan memenuhi 3 paradigma seperti produk

kefarmasian lainnya, yaitu Quality-Safety-Efficacy

(Mutu-Aman-Manfaat).

3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang

bertanggung jawab terhadap respon biologis haru mempunyai

spesifikasi kimia, yaitu informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa

kandungan.

2.4 EKSTRAK

Menurut buku Farmakope Indonesia Edisi 4, disebutkan bahwa ekstrak

adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari

simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.

Sebagian besar ekstrak dibuat dengan mengekstraksi bahan baku obat secara

perkolasi. Seluruh perkolat biasanya dipekatkan secara destilasi dengan

pengurangan tekanan, agar bahan sesedikit mungkin terkena panas

(Anonim, 2000).

Ekstrak cair adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol

sebagai pelarut atau sebagai pengawet. Jika tidak dinyatakan lain pada

masing-masing monografi tiap ml ekstrak mengandung senyawaaktif dari 1 gr simplisia

yang memenuhi syarat. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan dapat

didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienap tuangkan (dekantasi)

(33)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan cara mengekstraksi simplisia

nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit. Simplisia dicampur dengan

derajat halus yang sesuai dalam panci dengan air secukupnya, lalu dipanaskan di

atas tangas air selama 15 menit terhitung mulai suhu mencapai 90oC sambil

sesekali diaduk. Diserkai selagi panas melalui kain flanel, lalu ditambahkan air

panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh volume infus yang

dikehendaki (jika dikatakan lain, dibuat infus 10%) (Anonim, 2000).

Menurut Saifudin dkk (2011), lingkungan tempat tumbuh tanaman sangat

mempengaruhi kualitas dan keamanan bahan baku ekstrak dan produk akhir yang

dihasilkan. Umumnya tanaman liar heterogen dari berbagai aspek misalnya

kandungan metabolitnya secara kuantitatif (bahkan kualitatif yakni beberapa

senyawa tidak terdeteksi), kemungkinan adanya pencemar dan kontaminan yang

berasal dari air dan tanah yang tidak terkontrol. Tanaman budidaya mungkin lebih

bisa dikontrol berbagai aspek yang mengurangi mutu. Keseragaman genetik juga

mempengaruhi kualitas dan kuantitas metabolit sekunder yang dihasilkan.

Senyawa kimia dalam ekstrak ditinjau dari asalnya dapat dibedakan

menjadi 4 kelompok yaitu (Anonim, 2000) :

1. Senyawa kandungan asli dari tumbuhan asal

2. Senyawa hasil dari perubahan senyawa asli

3. Senyawa kontaminasi

4. Senyawa hasil interaksi kontaminasi dengan senyawa asli atau senyawa

(34)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4.1 Faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu ekstrak.

Faktor-faktor itu diantaranya (Anonim, 2000) :

1. Faktor biologi

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya dan

khusus dipandang dari segi biologi. Faktor biologi, baik untuk bahan dari

tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari tumbuhan liar (wild

crop) yang meliputi beberapa hal yaitu (Anonim, 2000) :

a. Identitas jenis (spesies)

Jenis tumbuhan dari sudut keragaman hayati dapat dikonfirmasi sampai

informasi genetik sebagai faktor internal untuk validasi jenis (spesies).

b. Lokasi tumbuhan asal

Lokasi berarti faktor eksternal, yaitu lingkungan (tanah dan atmosfer)

dimana tumbuhan berinteraksi berupa energi (cuaca, temperatur,

cahaya) dan materi (air, senyawa organik dan anorganik)

c. Periode pemanenan hasil tumbuhan

Faktor ini merupakan dimensi waktu dari proses kehidupan tumbuhan

terutama metabolisme sehingga menentukan senyawa kandungan.

Kapan senyawa kandungan mencapai kadar optimal dari proses

biosintesis dan sebaliknya kapan senyawa tersebut dikonversi atau

dibiotransformasi ataupun dibiodegradasi menjadi senyawa lain.

Menurut Saifudin dkk (2011), pemanenan sebaiknya dilakukan pada

saat tanaman mengandung kadar metabolit tertinggi. Untuk itu perlu

diperhatikan musim panen, kematangan organ terpilih dan siklus

biosintesis harian. Hal itu perlu didasarkan pada penelitian ilmiah

terkait, setidaknya dengan penelusuran pustaka yang relevan.

d. Penyimpanan bahan tumbuhan

Merupakan faktor eksternal yang dapat diatur karena dapat berpengaruh

pada stabilitas bahan serta adanya kontaminasi (biotik dan abiotik).

Menurut Saifudin dkk (2011), penyimpanan yang baik adalah

penyimpanan yang menghindarkan dari kontaminasi dan menjaga

(35)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

menyebabkan uap air terabsorpsi ke dalam ekstrak sehingga kadar air

meningkat. Penyimpanan didalam ruang berpengatur udara sangatlah

direkomendasikan. Penyimpanan ekstrak di dalam pendingin atau

freezer bersuhu 0oC tidak direkomendasikan karena menyebabkan

pembacaan coliform positif bahkan cukup tinggi hingga ekstrak tidak memenuhi syarat terkait kadar bakteri coliform. Penyimpanan ekstrak pada kotak dengan dasar dilapisi kapur tohor cukup baik mencegah

pertumbuhan kapang dan bakteri. Namun demikian umumnya tanaman

yang mengandung minyak atsiri ekstraknya cukup resisten terhadap

pertumbuhan mikroba selama lebih dari 0,5-1 tahun apalagi dengan

ruang berpengatur udara.

e. Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan

2. Faktor kimia

Mutu ekstrak dipengaruhi oleh bahan asal yaitu tumbuhan obatnya,

khususnya dipandang dari segi kandungan kimianya. Faktor kimia, baik

untuk bahan dari tumbuhan obat hasil budidaya (kultivar) ataupun dari

tumbuhan liar (wild crop), meliputi beberapa hal yaitu (Anonim, 2000) :

a. Faktor internal

1) Jenis senyawa aktif dalam bahan

2) Komposisi kualitatif senyawa aktif

3) Komposisi kuantitatif senyawa aktif

4) Kadar total rata-rata senyawa aktif

b. Faktor eksternal

1) Metode ekstraksi

2) Perbandingan ukuran alat ekstraksi (diameter dan tinggi alat)

3) Ukuran, kekerasan dan kekeringan bahan

4) Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi

5) Kandungan logam berat

(36)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.5 EKSTRAKSI

Pengambilan bahan aktif dari suatu tumbuhan, dapat dilakukan dengan

cara ekstraksi. Pengertian ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia

yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut. Pengetahuan

mengenai golongan senyawa aktif yang dikandung dalam simplisia akan

mempermudah proses pemilihan pelarutan dan cara ekstraksi yang tepat (Anonim,

2000). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan

senyawa non polar dalam senyawa non polar. Metode ekstraksi dipilih

berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya

penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi, dan kepentingan dalam

memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel, 1989).

2.5.1 Proses Pembuatan Ekstrak

2.5.1.1Pembuatan serbuk simplisia (Anonim, 2000)

Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk

simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia dengan

peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini dapat

mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal sebagai berikut :

1. Makin halus serbuk simplisia, proses ekstraksi makin efektif-efisien,

namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi perlatan

untuk tahapan filtrasi.

2. Selama penggunaan peralatan penyerbukan dimana ada gerakan dan

interaksi dengan benda keras (logam dll) maka akan timbul panas (kalori)

yang dapat berpengaruh pada kandungan senyawa. Namun hal ini dapat

dikompensasi dengan penggunaan nitrogen cair.

2.5.1.2Pelarut (Anonim, 2000)

Pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik

(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif, dengan

demikian senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa

(37)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kandungan yang diinginkan. Dalam hal ekstrak total, maka cairan pelarut yang

dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit skunder yang terkandung.

Faktor utama untuk pertimbangan pada pemilihan pelarut adalah sebagai

berikut (Anonim, 2000) :

1. Selektivitas

2. Kemudahan bekerja dan proses dengan cairan tersebut

3. Ekonomis

4. Ramah lingkungan

5. Keamanan

Pada prinsipnya, Pelarut harus memenuhi syarat kefarmasian atau dalam

perdagangan dikenal dengan kelompok spesifikasi “pharmaceutical grade”.

Sampai saat ini berlaku bahwa pelarut yang diperbolehkan adalah air dan alkohol

(etanol) serta campurannya. Jenis pelarut seperti metanol dan lainnya (alkohol

turunannya), heksana dan lainnya (hidrokarbon aliphatik), toluen dan lainnya

(hidrokarbon aromatik), kloroform, aseton, umumnya digunakan sebagai pelarut

untuk tahap separasi dan tahap pemurnian (fraksinasi). Khusus metanol, dihindari

penggunaannya karena sifatnya yang toksik akut dan kronik. Namun demikian

jika dalam uji ada sisa pelarut dalam ekstrak menunjukkan negatif, maka metanol

sebenarnya pelarut yang lebih baik dari etanol (Anonim, 2000).

2.5.1.3Pemekatan/penguapan (vaporasi dan evaporasi) (Anonim, 2000)

Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut) secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak hanya

menjadi kental/pekat.

2.5.1.4Pengeringan ekstrak (Anonim, 2000)

Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga

menghasilkan serbuk, masa kering-rapuh, tergantung proses dan peralatan yang

digunakan. Ada berbagai proses pengeringan ekstrak yaitu :

1. Pengeringan Evaporasi

2. Pengeringan Vaporasi

(38)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4. Pengeringan konveksi

5. Pengeringan Kontak

6. Pengeringan Radiasi

7. Pengeringan Dielektrik

2.5.1.5Rendemen (Anonim, 2000)

Rendemen adalah perbandingan antara berat ekstrak yang diperoleh

dengan berat simplisia awal.

2.5.2 Metode Ekstraksi (Anonim, 2000)

Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Anonim, 2000)

yaitu:

1). Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi ialah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur

ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode

pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan

pengadukan yang kontinyu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan

pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama,

dan seterusnya.

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai

sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada temperatur

ruangan. Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi

antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus

menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

2). Cara Panas

a. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik

didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan

(39)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi

sempurna.

b. Sokletasi

Sokletasi ialah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru

yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu

dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.

c. Digesti

Digesti merupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-50oC.

d. Infusa

Infusa adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air

mendidih, temperatur terukur 96oC-98oC selama waktu tertentu (15-20 menit).

e. Dekok

Dekok adalah infus yang waktunya lebih lama (lebih dari 30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air.

2.6 KROMATOGRAFI

Kromatografi adalah suatu prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu

proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau

lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah

tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan

adanya perbedaan dalam adsorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul

atau kerapatan muatan ion (Anonim, 1995).

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam tergantung pada

pengelompokannya. Berdasarkan mekanisme pemisahannya dibedakan menjadi

kromatografi adsorbsi, kromatografi partisi, kromatografi pasangan ion,

kromatografi penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran, dan kromatografi

afinitas. Sedangkan berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat

dibagi menjadi kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis, kromatografi cair

kinerja tinggi, dan kromatografi gas (Gandjar & Rohman, 2007). Pemisahan dan

(40)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala

mikro maupun makro (Harbone, 1987).

Dalam penggunaan kromatografi untuk tujuan kualitatif dapat

mengungkapkan ada atau tidak adanya senyawa tertentu dalam cuplikan.

Sedangkan untuk tujuan kuantitatif dapat menunjukkan banyaknya

masing-masing komponen campuran. Selain penggunaan kualitatif dan kuantitatif,

kromatografi dapat digunakan untuk tujuan preparatif yaitu untuk memperoleh

komponen campuran dalam jumlah memadai dalam keadaan murni. Selama

pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil konsentrasi

yanng simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah aliran fase

gerak. Profil dikenal juga dengan puncak atau pita, secara perlahan-lahan akan

melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena solut-solut

melanjutkan migrasinya ke fase diam (Gandjar & Rohman, 2007).

2.6.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan salah satu metode pilihan

kromatografi secara fisikokimia (Gandjar & Rohman, 2007). KLT merupakan

bentuk planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada KLT fase

diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukaan bidang datar yang

didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium atau plat plastik. Meskipun

demikian, kromatografi planar ini merupakan bentuk terbuka dari kromatografi

kolom.

KLT dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai untuk mencapai

hasul kualitatif, kuantitatif atau preparatif. Kedua dipakai untuk menjajaki sistem

pelarut dan sistem penyangga yang akan dipakai dalam kromatografi kolom.

Kromatografi lapis tipis (KLT) dapat digunakan untuk tujuan analitik dan

preparatif, KLT analitik digunakan untuk menganalisa senyawa-senyawa organik

dalam jumlah kecil, misalnya menentukan jumlah komponen dalam campuran dan

menentukan pelarut yang tepat untuk pemisahan dengan KLT preparatif.

Sedangkan KLT preparatif digunakan untuk memisahkan campuran senyawa dari

(41)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tersebut dikumpulkan dan digunakan untuk analisa berikutnya

(Townshend, 1995).

Plat KLT yang umum digunakan adalah plat KLT analitik dengan

ketebalan 0,1-0,2 nm dengan ukuran 20x20 cm yang dilapisi dengan adsorben

silika gel 60 F254 dengan ketebalan 0,2 mm. Plat kemudian ditempatkan ke dalam

bejana dengan fase gerak yang sesuai, dimana ketinggian fase gerak cukup untuk

membasahi bagian bawah plat dan tidak sampai membasahi dimana sampel

diaplikasikan. Fase gerak kemudian bermigrasi melewati adsorben dengan gaya

kaliper, dan proses ini dikenal sebagai pengembangan (Sarker, Latif, & Gray,

2006).

Jumlah volume fase gerak harus mampu mengelusi lempeng sampai

ketinggian lempeng yang telah ditentukan. Setelah lempeng terelusi, dilakukan

deteksi bercak. Laju pergerakan fase gerak terhadap fase diam dihitung sebagai

retardation factor (Rf). Nilai Rf diperoleh dengan membandingkan jarak yang ditempuh oleh zat terlarut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak (Gandjar &

Rohman, 2007). Fase gerak harus memiliki kemurnian yang tinggi. Hal ini

dikarenakan KLT merupakan teknik yang sensitif. Fase gerak yang digunakan

adalah pelarut organik yang memiliki tingkat polaritas tersendiri, melarutkan

senyawa contoh, dan tidak bereaksi dengan penjerap (Gocan, 2002). Adsorben

yang umumnya digunakan dalam KLT meliputi :

1. Silika Gel

Silika gel adalah yang paling banyak digunakan sebagai adsorben dan fase

stasioner yang dominan untuk KLT. Sebagian besar analisa dengan KLT

dilakukan dengan menggunakan fase normal lapisan silika gel.

Silika gel ini dapat digunakan sebagai fase polar maupun non polar. Untuk

fase polar, merupakan silika yang dibebaskan dari air dan bersifat sedikit asam.

Silika gel perlu ditambah gips (kalsium sulfat) untuk memperkuat pelapisannya

pada pendukung. Sebagai pendukung biasanya lapisan tipis digunakan kaca

dengan ukuran 20x20 cm, 10x20 cm, atau 5x10 cm. Pendukung yang lain berupa

lembaran alumunium atau plastik seperti ukuran diatas yang umumnya dibuat oleh

(42)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Silika gel kadang-kadang ditambah senyawa fluoresensi, agar bila disinari

dengan sinar UV dapat berfluoresensi atau berpendar, sehingga dikenal sebagai

silika gel 60 F254 yang berarti silika gel untuk fase non polar terbuat dari silika

yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya, lemak, parafin, minyak silikon

raber gom, atau lilin, dengan fase gerak air yang bersifat polar dapat digunakan

sebagai eluen. Fase diam ini dapat memisahkan banyak senyawa namun elusinya

sangat lambat dan keterulangannya kurang bagus (Sumarno, 2001).

2. Alumina

Alumina ini bersifat sedikit basa, lebih jarang digunakan. Saat akan

digunakan harus diaktifkan kembali dengan pemanasan. Alumina yang digunakan

sebagai fase diam untuk KLT umunya yang bebas air, sehingga mempunyai

aktivitas penjerapan lebih tinggi (Sumarno, 2001).

3. Perlit Mineral

Perlit mineral adalah adsorben baru untuk KLT, yang dibuat dengan

mengkonversi SiO2 (70-75%) menjadi silikat yang larut dengan Na2CO3

(Gocan, 2002).

4. Kiselgur

Kiselgur ini sebenarnya merupakan asam silika yang berbentuk amorf,

berasal dari kerangka diatomae, maka lebih dikenal dengan nama tanah diatome,

kurang bersifat adsorptif dibanding silika (Sumarno, 2001).

5. Magnesium Silikat

Magnesium silikat hanya digunakan bila adsorben atau penjerap lain tidak

dapat digunakan. Nama lain dalam perdagangan dikenal floresil (Sumarno, 2001).

Floresil (magnesium silikat) adalah endapan silika dan magnesium. Sifat dan

aplikasi dari floresil pada KLT dan KCKT ditinjau dan dibandingkan dengan

adsorben lainnya (Gocan, 2002).

6. Selulosa

Selulosa mempunyai polaritas tinggi sehingga dapat digunakan sebagai

pemisahan secara partisi, baik dengan bentuk kertas maupun bentuk lempeng.

Kedua bentuk tersebut masih sering digunakan untuk pemisahan flavonoid.

Ukuran partikel yang digunakan kira-kira 50 µm. Fase diam ini sekarang sudah

(43)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

diam yang lain sehingga lebi efisien dan lebih banyak digunakan untuk

memisahkan senyawa-senyawa polar atau isomernya (Sumarno, 2001).

7. Resin

Resin berfungsi sebagai fase pada KLT penukar ion. Resin merupakan

polimer dari stirendifenil yang mengalami kopolimerisasi, bersifat non polar. Fase

diam ini sangat berguna untuk memisahkan senyawa berbobot molekul tinggi dan

bersifat amfoter seperti asam amino, protein, enzim, nukleotida. Sebagai fase

gerak digunakan larutan asam kuat atau basa kuat (Sumarno, 2001).

Gambar 3. Kromatografi Lapis Tipis

(Sumber : http://www.chemguide.co.uk/analysis/chromatography/thinlayer.html)

Harga Rf dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan sebagaimana

persamaan berikut :

Harga maksimum Rf adalah 1, sampel bermigrasi dengan kecepatan sama

dengan fase gerak. Harga minimum Rf adalah 0, dan ini teramati jika sampel

tertahan pada posisi titik awal di permukaan fase diam (Gandjar & Rohman,

2007).

2.6.2 Kromatografi Gas – Spektrometri Massa/Gas Chromatography Mass Spectrometry

Kromatografi Gas (KG) merupakan metode yang dinamis untuk

(44)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

campuran. Kegunaan umum KG yaitu untuk melakukan pemisahan dinamis dan

identifikasi semua jenis senyawa organik yang mudah menguap dan juga untuk

melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam suatu campuran

(Gandjar & Rohman, 2007).

KG merupakan teknik pemisahan yang mana solut-solut yang mudah

menguap (dan stabil terhadap panas) bermigrasi melalui kolom yang mengandung

fase diam dengan suatu kecepatan yang bergantung pada rasio distribusinya. Pada

umumnya solut akan terelusi berdasarkan pada peningkatan titik didihnya, kecuali

jika ada interaksi khusus antara solut dengan fase diam. Pemisahan pada KG

didasarkan pada titik didih suatu senyawa dikurangi dengan semua interaksi yang

mungkin terjadi antara solut dengan fase diam. Fase gerak yang berupa gas akan

mengelusi solut dari ujung kolom lalu menghantarkannya ke detektor.

Penggunaan suhu yang meningkat (biasanya pada kisaran 50oC-350oC) bertujuan

untuk menjamin bahwa solut akan menguap dan karenanya akan cepat terelusi

(Gandjar & Rohman, 2007).

Komponen utama pada KG adalah kontrol dan penyedia gas pembawa,

ruang suntik sampel, kolom yang diletakkan pada oven yang dikontrol secara

termostatik, sistem deteksi dan pencatat (detektor dan recorder) serta komputer yang dilengkapi dengan perangkat pengolah data (Gandjar & Rohman, 2007).

1. Fase gerak pada KG

Fase gerak ada KG disebut juga sebagai gas pembawa karena tujuan

awalnya adalah membawa solut ke kolom, karenanya gas pembawa tidak

berpengaruh pada selektifitas. Syarat gas pembawa yaitu tidak reaktif,

murni/kering karena kalau tidak murni akan berpengaruh pada detektor, dan dapat

disimpan dalam tangki tekanan tinggi.

Gas pembawa biasanya mengandung gas helium, nitrogen, hidrogen, atau

campuran argon dan metana. Pemilihan gas pembawa tergantung pada

penggunaan spesifik dan jenis detektor yang digunakan.

2. Ruang suntik sampel pada KG

Fungsi dari ruang suntik ini adalah untuk mengantarkan sampel ke dalam

aliran gas pembawa. Penyuntikan sampel dapat dilakukan secara manual atau

Gambar

Gambar 3. Kromatografi Lapis Tipis
Gambar 4. Kromatografi Gas – spektrofotometri massa
Gambar 5. High Performance Liquid Chromatography
Gambar 6. Spektrofotometri UV-Vis (sumber : Gandjar & Rohman,2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Winda Gusti Enda : Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Mencit Jantan, 2010. mg/kg bb) mempunyai efektifitas yang

Optimasi komposisi surfaktan, kosurfaktan, dan minyak ( Virgin Coconut Oil) dari SNEDDS ekstrak kloroform daun salam ( Syzygium polyanthum (Wight)Walp.) mampu menghasilkan

Skripsi yang berjudul “ Uji Aktivitas Antimikroba Ekstrak Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp) Terhadap Beberapa Mikroba Patogen Secara KLT-Bioautografi ”

1) Ekstrak etanol 96% daun Salam (Eugenia polyanthum Wight.) dosis 0,625; 1,25; dan 2,5 g/kgBB mempunyai efek antidiare terhadap mencit jantan galur Swiss Webster yang

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daun Salam yang segar ( Syzygium polyanthum (Wight) Walp), larutan etanol 96%, potasium oksonat, allopurinol dan

Hasil penelitian menujukkan bahwa pemberian kombinasi ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera Lam) dan Daun Salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp) menunjukkan efek

Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada pemberian konsentrasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum (Wight) Walp.) terhadap

Selanjutnya dilakukan pengujian karakteristik ekstrak kering daun salam (Syzigium polyanthum (Wight) Walp.) yang meliputi karakteristik ekstrak non spesifik, spesifik