• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA PADA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA PADA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA

PADA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

(Studi Terhadap Siswa Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2014/2015)

(Skripsi)

Oleh

EKA RATNAWATI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA PADA

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL

(Studi pada Siswa Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung T.P.2014/2015)

Oleh

EKA RATNAWATI

Penelitian eksperimen semu bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan

alat peraga terhadap pemahaman konsep matematis siswa pada pembelajaran

kontekstual. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII MTs Negeri 2

Bandar Lampung tahun pelajaran 2014/2015. Sampel pada penelitian ini adalah

siswa kelas VII D dan siswa kelas VII F yang dipilih dengan menggunakan teknik

purposive sampling. Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa rata-rata

pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual

dan disertai penggunaan alat peraga lebih baik dari pada siswa yang mengikuti

pembelajaran kontekstual tanpa penggunaan alat peraga. Dengan demikian,

penggunaan alat peraga berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep

matematis siswa pada pembelajaran kontekstual.

Kata kunci: alat peraga, pemahaman konsep matematis

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Taman Negeri, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten

Lampung Timur pada tanggal 16 Maret 1989. Anak pertama dari dua bersaudara,

buah hati pasangan Bapak Sehono dan Ibu Sunariyah.

Pendidikan formal yang telah diikuti adalah TK Pertiwi Taman Negeri pada tahun

1995, SD Negeri 1 Taman Negeri, Kecamatan Way Bungur pada tahun 2001,

SLTP Negeri 1 Purbolinggo (sekarang menjadi SMP Negeri 1 Purbolinggo) tahun

2004, dan SMA Negeri 1 Purbolinggo pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis

terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan

Akademik dan Bakat (PKAB).

Penulis melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 1

Natar tahun 2010. Sejak tahun 2001 penulis terdaftar menjadi siswa Persaudaraan

Setia Hati Terate (PSHT) dan disahkan menjadi warga pada 19 Februari 2005.

Saat penulis duduk dibangku SMA, penulis dipercaya sekolah untuk mengikuti

berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan ekstrakurikuler yang penulis

(8)

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Generasi Muda (Gema) Forum

Pembinaan dan Pengkajian Islam (FPPI) FKIP Unila tahun 2007, Anggota Bidang

Bimbingan Baca Alqur’an (BBQ) tahun 2008, angkatan IX Unit Kegiatan

Mahasiswa Penelitian (UKM Penelitian) Unila pada tahun 2008, Kepala Divisi

Dana dan Usaha UKM Penelitian Unila pada tahun periode 2009-2010, dan

Bendahara Umum UKM Penelitian Unila periode 2010-2011. Sejak juni 2012

hingga sekarang penulis menjadi pengajar matematika di lembaga bimbingan

(9)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil ’Alamin…

Terucap syukur yang mendalam kepada Allah SWT,

ku persembahkan skripsi ini sebagai tanda cinta, kasih sayang, dan baktiku

kepada :

Bapak dan Mamak

yang selalu ada untuk mendoakan keberhasilanku dan memberikan

nasihat

Adikku tercinta Tesa Marwanto

Para pendidik yang telah mendidikku dengan penuh kesabaran

Sahabat-sahabatku yang selalu menjadi penyemangat bagiku

Dan

(10)

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum

mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri… (Q.S Ar Ra’d:11)

“Tiada kesuksesan bagi peragu dan penunda”

(11)

SANWACANA

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang

ber-judul “Pengaruh Penggunaan Alat Peraga terhadap Pemahaman Konsep

Matematis Siswa pada Pembelajaran Kontekstual (Studi pada Siswa Kelas VII

MTs Negeri 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2014/2015)”.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya penyusunan skripsi ini

tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan

terima kasih yang tulus ikhlas kepada:

1. Bapak Dr. H. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas

Lam-pung beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan

fasilitas kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

2. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA FKIP

Universitas Lampung;

3. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan

Matematika;

4. Ibu Dra. Arnelis Djalil, M.Pd., selaku pembahas atas kesediannya memberikan

sumbangan pemikiran, saran, dan kritik baik selama perkuliahan maupun

(12)

5. Ibu Dr. Tina Yunarti, M.Si., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya

memberikan bimbingan, sumbangan pemikiran, kritik, dan saran, baik selama

perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga skripsi ini menjadi

lebih baik;

6. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku Pembimbing Pembantu atas

kesediaannya memberikan bimbingan, sumbangan pemikiran, kritik, dan

saran, baik selama perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga

skripsi ini menjadi lebih baik;

7. Seluruh dosen yang telah mendidik dan membimbing penulis selama

menyelesaikan studi;

8. Pak Lianto yang telah banyak membantu penulis terutama pada saat ingin

memakai peralatan gedung G. Sosok yang secara tidak langsung telah

me-ngajarkan tentang keikhlasan, kejujuran, kesabaran dan arti kerja keras;

9. Bapak Drs. H Ridwan Hawari, MM selaku Kepala MTs Negeri 2 Bandar

Lampung yang telah memberikan izin penelitian;

10.Ibu Asnah Yusfit, S.Pd, selaku guru mitra yang telah banyak memberikan

arahan dan masukan selama penelitian, serta murid-murid kelas VIID dan

VIIF MTs Negeri 2 Bandar Lampung atas partisipasinya dalam penelitian ini;

11.Bapak, mamak, dan adikku tercinta Tesa serta keluarga besarku yang selalu

menyayangi, mendoakan, dan selalu memberikan dukungan untuk

keber-hasilanku. Terima kasih untuk lautan kasih sayang, kesabaran, dan pengertian

yang kalian berikan;

12.Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 Reguler: Rini, Abdul, Ifal, Wahyu,

(13)

Catur, Sartika, Putri, Evi, Iswan, Adit, Fantini, Risa, Firman, Endah, Munib,

Jesi, Maya, Wawan, Miftah, Bambang, Gede, Victor, Ikhwan. Terima kasih

untuk persahabatan dan kebersamaannya selama ini, tetap semangat untuk

menjadi the best mathematic teacher;

13.Keluarga besar UKM Penelitian Unila: bang Iwan, bang Lapri, bang Agung,

bang Gery, Mb Deta, Mb Ari, Mb Yuni, Mb Devi, Mb Mar, Riyan, Jasi,

Candra, Dodi, Ngudi, Auliana, Biyatmi, Nur, Afri, Desi, Astri, Priska, Rovi,

Agung I, Nanang, Rahman, Agung W, Dery, Juni, Maiyulis, Dedi, Asep,

Rendi, Terimakasih atas dukungan, semangat, serta kesediannya menjadi

tempat berbagi pemikiran baik dalam suka dan duka. Semoga UKM Penelitian

jaya di persada nusantara. Building Better Life By Science!;

14.Teman-teman PPL SMP Negeri 1 Bandarlampung :Maylisa, Mb Eva, Mb

Putri, Putri N, Shufiyanti, Paul, Asrul, Koko, Desti, Riri, dan Selvi, atas

kebersamaan selama 3 bulan yang luar biasa;

15.Teman-teman angkatan 2007 NR, kakak-kakakku angkatan 2006 dan 2005,

teman-teman dan adik-adikku angkatan 2008, 2009, dan 2010 atas

kebersamaannya;

16.Teman-teman keluarga Astri 21: Mb Tati, Mb Dian, Mb Iceu, Mb Binti N, Mb

Binti A, Mb Ria, Mb Rita, Mb Hotlina, Mb Fitri, Mb Nana, Mb Marhama, Mb

Mery S, Mb Mery E, Mb Vita, Yunita, Umi, Rika, Ika, Nani, Eny, Astri, Ichi,

Mita, Kiki, Mela, Prita, Fany, Desi. Terimakasih atas kebersamaannya dan

rasa solidaritasnya.

17.Teman-teman keluarga ”Cemara” Nunyai: Mb Erni, Mb Mela, Widya, dan Eti.

(14)

setiap keadaan, semangat, dukungan, serta kasih sayang dalam meniti

kehidupan.

18.Almamater yang telah mendewasakanku;

19.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan yang

telah diberikan dan semoga skripsi ini bermanfaat.

Bandarlampung, Desember 2014

Penulis,

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Ruang Lingkup Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka... 8

1. Pembelajaran Matematika... 8

2. Pendekatan Kontekstual………... 11

3. Alat Peraga………... 18

4. Pemahaman Konsep Matematis………... 23

B. Kerangka Pikir... 25

C. Anggapan Dasar... 27

(16)

III. METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel... 29

B. Desain Penelitian... 30

C. Data Penelitian…... 31

D. Teknik Pengumpulan Data... 31

E. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis 36 1. Teknik Analisis Data... 36

2. Teknik Pengujian Hipotesis... 38

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 40

B. Pembahasan... 45

V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 50

B. Saran... 50

DAFTAR PUSTAKA... 52

(17)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Daftar Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung... 29

3.2 Desain Penelitian ... 31

3.3 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 34

3.4 Klasifikasi Daya Pembeda. ... 35

4.1 Skor Pemahaman Konsep Matematis... 40

4.2 Pencapaian Indikator Pemahaman Konsep Kelas Eksperimen ... 41

4.3 Pencapaian Indikator Pemahaman Konsep Kelas Kontrol ... 42

4.4 Nilai Data Pemahaman Konsep Matematis ... 43

4.5 Nilai F Data Pemahaman Konsep Matematis ... 43

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

A.PERANGKAT PEMBELAJARAN

A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 56

A.2 Lembar Kerja Peserta Didik ... 93

B.PERANGKAT TES B.1 Kisi-Kisi Tes Pemahaman Konsep ... 114

B.2 Instrumen Tes Pemahaman Konsep. ... 116

B.3 Kunci Jawaban dan Teknik Penskoran Tes Pemahaman Konsep 118

B.4 Pedoman Penskoran Tes Pemahaman Konsep ... 120

C.ANALISIS DATA C.1 Tabel Data Nilai Pokok Bahasan Bilangan ... 122

C.2 Analisis Tes Uji Coba ... 125

C.3 Data Ketercapaian Pemahaman Konsep Matematis ... 128

C.4 Uji Normalitas Data Pemahaman Konsep Matematis ... 132

C.5 Uji Homogenitas Pemahaman Konsep Matematis ... 140

C.4 Uji Hipotesis ... 141

D.LAIN-LAIN D.1 Surat Izin Penelitian Pendahuluan ... 143

D.2 Surat Kesediaan Membimbing ... 144

D.3 Daftar Hadir Seminar Proposal ... 147

D.4 Surat Izin Penelitian ... 148

D.5 Surat Keterangan Penelitian ... 149

(19)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penentu kemajuan suatu

bangsa. Sedangkan kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh mutu

pendidikannya. Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia jangka

panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di

dunia. Oleh karena itu, hampir semua negara menempatkan pendidikan sebagai

faktor yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara.

Begitu juga Indonesia menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan

utama. Hal ini terlihat pada isi Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang

menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia adalah

mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga diperjelas dalam Undang-undang

Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional

pasal 3 yaitu:

“ Pendidikan nasional berfungsi membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Pendidikan merupakan aset bagi siswa agar dapat mengembangkan potensi

(20)

2

faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan

budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, peradaban terkait

fenomena dan kejadian di kehidupan sehari-hari serta berakhlak mulia.

Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya

kebermaknaan dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak

kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses

pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan untuk menghafal

informasi. Siswa dilatih untuk menimbun dan menghafal informasi tanpa

memahami informasi yang diterimanya untuk dihubungkan dalam kehidupan

sehari-hari, sehingga ilmu yang diperoleh siswa di sekolah tidak mampu

diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Pembelajaran di kelas seperti ini

biasanya menggunakan pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional

ditandai dengan guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep, sehingga

siswa lebih banyak mendengarkan dan pasif di dalam kelas. Tujuan pembelajaran

konvensional biasanya adalah peserta mengetahui sesuatu, bukan untuk

melakukan sesuatu. Pembelajaran seperti ini terbukti berhasil dalam kompetensi

mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa

memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.

Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan

mengetahuinya. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau biasa disebut

dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) membantu guru mengaitkan

antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong

(21)

3

penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual diharapkan dapat sesuai dengan

kriteria pembelajaran yang diharapkan dalam PP No.32 Tahun 2013:

“Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara inter -aktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreati-vitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.

Pembelajaran kontekstual telah sesuai dengan teori Piaget tentang perkembangan

struktur kognitif bahwa pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan

kognitif siswa. Pada teori Piaget disebutkan bahwa anak pada usia di atas 11

tahun berada pada tahap operasional formal. Ciri pokok perkembangan pada

tahap ini adalah siswa sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan

menggunakan pola berpikir kemungkinan. Tetapi anak usia di atas 11 tahun (usia

SMP) merupakan tahapan awal dari tahap operasi formal, sehingga dalam

mengembangkan kemampuan berpikir abstrak perlu dikaitkan dengan tahapan

sebelumnya, yaitu operasi konkret. Oleh sebab itu, keterkaitan dengan obyek,

fenomena, dan pengalaman konkret dalam mengembangkan berpikir abstrak perlu

dilakukan.

Objek dasar yang dipelajari dalam matematika adalah abstrak. Matematika

dengan konsep-konsep abstrak yang terstruktur akan sulit dipahami siswa.

Penggunaan alat peraga pada pembelajaran kontekstual menjadikan

konsep-konsep abstrak pada matematika dapat dipahami berdasarkan pemikiran yang

dibangun dari situasi nyata tertentu yang sudah dikenal dengan baik oleh siswa.

(22)

4

oleh siswa relatif mudah dipahami, sehingga memudahkan dalam pemecahannya.

Pendekatan kontekstual disertai dengan alat peraga memudahkan siswa belajar

matematika dengan memulai konsep dari yang konkret (kerja praktek) ke arah

yang abstrak (simbolisasi).

Alat peraga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data

dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan

informasi. Selain itu, alat peraga juga dapat membangkitkan motivasi serta minat

belajar siswa. Penggunaan alat peraga memungkinkan siswa berinteraksi secara

langsung dengan lingkungan atau model matematika yang nyata. Siswa

mengalami sendiri pembentukan konsep matematika, pembelajaran tidak monoton

pada konsep teoritis yang tertulis di buku sehingga pembelajaran akan lebih

menyenangkan dan siswa dapat memahami dengan baik konsep tersebut beserta

perkembangannya atau keterkaitannya dengan konsep yang lain.

Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas VII MTs Negeri 2 Bandar

Lampung, pembelajaran di dalam kelas dimulai dengan guru memberi tugas

kepada siswa untuk membaca materi yang akan dipelajari. Setelah siswa selesai

membaca, kemudian siswa diminta untuk mengerjakan contoh soal yang terdapat

di buku pegangan siswa. Jika siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan

contoh soal , siswa dipersilakan untuk menanyakannya kepada guru. Akan tetapi,

hanya beberapa siswa yang mengungkapkan kesulitannya kepada guru sedangkan

siswa yang lain terkesan pasrah walaupun mereka belum paham. Setelah itu,

siswa ditugaskan untuk mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat di buku,

kemudian guru membimbing mengerjakan soal ketika sebagian besar siswa

(23)

5

Jika dilihat dari adanya siswa yang tidak menanyakan apa yang belum

dipahaminya, ini menunjukkan bahwa kurangnya ide dari siswa untuk

mengajukan pertanyaan dan kurangnya antusias siswa dalam belajar matematika.

Sehingga diperlukan suatu pembelajaran yang menarik bagi siswa dan

memunculkan rasa ingin tahu yang mengakibatkan siswa lebih aktif bertanya.

Dalam hal ini, penggunaan alat peraga dalam pembelajaran kontekstual

diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian terhadap pembelajaran

matematika di kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung tahun ajaran 2014/2015

untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep

matematis siswa pada pembelajaran kontekstual.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

“Apakah terdapat pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep

matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung pada pembelajaran

kontekstual?”

C.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh penggunaan alat

peraga terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2

(24)

6

D.Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi Guru

Dapat memberikan sumbangan dalam upaya peningkatan kualitas

pembelajaran matematika untuk meningkatkan mutu pendidikan dan

pemahaman konsep matematis siswa.

2. Bagi Peneliti Lain

Dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian yang sejenis di masa yang

akan datang.

E.Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup lingkup penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan

konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi

ajar dengan situasi dunia nyata siswa. Situasi ini yang dapat mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya

dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga atau masyarakat.

2. Alat peraga yang digunakan dalam pembelajaran yaitu model benda nyata yang

digunakan untuk mengurangi keabstrakan materi matematika berupa miniatur

dan gambar.

3. Pengaruh dalam penelitian ini merupakan signifikansi dari perbedaan rata-rata

(25)

7

kontekstual dengan rata-rata skor tes akhir siswa yang mengikuti pembelajaran

kontekstual dengan alat peraga.

4. Pemahaman konsep siswa merupakan kemampuan siswa dalam memahami

konsep matematika yang dipelajari dapat dilihat dari nilai pemahaman konsep

matematika siswa setelah proses pembelajaran. Indikator kemampuan

pemahaman konsep dalam penelitian ini merujuk pada penjelasan teknis

Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11

November 2004 yaitu,:

a. Menyatakan ulang suatu konsep

b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu

c. Memberi contoh dan noncontoh dari konsep

d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika

e. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep

f. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu.

g. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.

(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Pustaka

1. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, yang dilakukan oleh pendidik

sebagai fasilitator dengan siswa yang merupakan subyek yang mengalami proses

belajar. Menurut konsep komunikasi (Suherman, 2001: 9), pembelajaran adalah

proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa,

dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi

siswa yang bersangkutan. Sedangkan menurut Mulyasa (2007:14), pembelajaran

merupakan proses yang sengaja direncanakan dan dirancang sedemikian rupa

dalam rangka memberikan bantuan bagi terjadinya proses belajar. Berarti

pembelajaran tidak hanya merupakan transfer ilmu dari guru ke siswa, melainkan

siswa yang membangun pengetahuannya melalui komunikasi atau diskusi antar

siswa dan siswa dengan guru berdasarkan dengan skenario pembelajaran yang

telah dirancang oleh guru.

Guru berperan dalam menentukan bagaiman sutu proses pembelajaran tersebut

berlangsung. Hal ini berdasarkan pendapat Dimyati dan Mudjiono (1999: 297)

yang menyatakan pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam

desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan

(27)

9

menciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang

menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan pengetahuan yang baru. Dalam

hal ini siswa sendirilah yang mengalami proses membangun suatu pola atau

keterkaitan suatu konsep dengan konsep yang lain sehingga akan melekat dengan

baik di benak siswa.

Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru diharapkan dapat berperan

sebagai fasilitator yang akan memfasilitasi siswa dalam belajar, dan siswa

sendirilah yang harus aktif belajar dari berbagai sumber belajar. Hal ini sejalan

dengan kurikulum 2013 di mana kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa,

mengembangkan kreativitas, kontekstual, menantang dan menyenangkan,

menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan belajar melalui berbuat

sehingga diperlukan partisipasi yang tinggi dari siswa dalam kegiatan

pembelajaran. Untuk itu, guru perlu menemukan cara terbaik bagaimana

menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran yang

diampunya, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih

lama konsep tersebut dan bagaimana setiap konsep dipahami sebagai bagian yang

saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh. Guru perlu

dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya

tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka

pelajari, serta dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa,

sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengkaitkannya

(28)

10

Dalam mendesain pembelajaran, penting bagi guru untuk mempertimbangkan

tingkat perkembangan siswanya. Menurut teori Piaget (Widyantini, 2010:4)

perkembangan intelektual seseorang hingga dewasa terbagi atas empat tahap yaitu

1. Tahap sensorik motorik (0 – 2 tahun)

2. Tahap pra operasional (2 – 7 tahun)

3. Tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun)

4. Tahap formal (lebih dari 11 tahun)

Selain Piaget ahli lain mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan belajar

seseorang adalah Bruner. Bruner (Widhyantini, 2010:4) membagi proses belajar

siswa menjadi tiga tahap yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.

1. Tahap Enaktif

Pada tahap ini, siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan dengan menggunakan benda konkrit atau menggunakan situasi nyata bagi para siswa.

2. Tahap Ikonik

Setelah mempelajari pengetahuan dengan benda nyata atau benda konkrit, tahap berikutnya adalah tahap ikonik yaitu siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagi perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkrit atau nyata.

3. Tahap simbolik

Selain dua tahap diatas masih ada satu tahap lagi yaitu tahap simbolik dimana siswa mewujudkan pengetahuannya dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain siswa harus mengalami proses berabstraksi.

Berdasarkan teori di atas, siswa tingkat SMP merupakan peralihan dari tahap

operasional konkrit menuju ke tahap formal. Oleh karena itu, agar siswa dapat

menguasai konsep-konsep matematika yang bersifat abstrak maka dalam

membelajarkan matematika kepada siswa masih diperlukan azas peragaan.

Karenanya ketika proses pembelajaran matematika berlangsung sudah seharusnya

(29)

11

dapat digunakan sebagai jembatan bagi siswa untuk berpikir abstrak berkaitan

dengan topik-topik tertentu yang dapat membantu pemahaman siswa.

Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan menggunakan alat peraga sangat

besar peranannya bagi keberhasilan belajar siswa. Dengan menggunakan alat

peraga siswa dapat melihat, meraba, mengungkapkan dengan memikirkan secara

langsung obyek yang sedang mereka pelajari. Sehingga konsep abstrak yang

sedang dipelajari dapat dipahami dengan baik, melekat dan tahan lama dibenak

pikiran siswa. Penggunaan alat peraga erat kaitannya dengan aspek penanaman

konsep, pemahaman konsep, selanjutnya siswa dapat memahami secara logis

hubungan antar konsep dengan yang lain. Selain itu, penggunaan alat peraga

pembelajarn akan lebih menyenangkan sehingga dapat meningkatkan motivasi

serta minat belajar siswa.

2. Pendekatan Kontekstual

Guru memiliki peranan dalam merancang skenario pembelajaran yaitu dalam

pemilihan pendekatan pembelajaran. Menurut Komalasari (2010:54) pendekatan

pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap

proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu

proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi,

menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.

Oleh karena itu, dalam pemilihan pendekatan pembelajaran guru hendaknya

menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk

(30)

12

Guru dapat menerapkan pendekatan belajar seperti yang disebutkan oleh Roy

Killen (Sanjaya, 2006:127) bahwa terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran,

yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan

pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches). Pendekatan

yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct

instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekpositori. Sedangkan

pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi

pembelajaran discovery, inkuiri, dan strategi pembelajaran induktif. Berdasarkan

pemaparan di atas terlihat jelas bahwa pendekatan pembelajaran yang dapat

memotivasi siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran serta membangun

suatu pengetahuannya sendiri yaitu dengan menerapkan pendekatan pembelajaran

yang berpusat pada siswa.

Salah satu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah

pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran

yang mengaitkan konsep dengan kehidupan sehari-sehari seperti yang

diungkapkan oleh Aqib (2013:4), pendekatan kontekstual atau disebut juga

contextual teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu

guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa,

dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya

dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Jadi pengetahuan

yang diperoleh siswa dibangun dengan mengaitkan pengetahuan tersebut dengan

(31)

13

Peran aktif siswa dalam pembelajaran sangat diperlukan dalam rangka

membangun suatu pengetahuan seperti yang dinyatakan oleh Sanjaya (2006: 255)

bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi

pembela-jaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk

dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi

kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam

kehidupan mereka. Sehingga dengan peran aktif siswa dalam pembelajaran,

siswa tidak paham secara konsep akan tetapi mengerti manfaat dari suatu konsep

tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.

Pembelajaran kontekstual membantu siswa untuk menemukan makna dan manfaat

dari suatu konsep atau ide abstrak dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan

dengan Hull’s dan Sounders (Komalasari, 2010:6) yang menyatakan bahwa dalam

pembelajaran kontekstual siswa menemukan hubungan penuh makna antara

ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata. Siswa

menginternalisasi konsep melalui penemuan, penguatan, dan keterhubungan.

Pembelajaran kotekstual menghendaki kerja dalam sebuah tim, baik di kelas,

laboratorium, tempat bekerja, maupun bank. Pembelajaran kontekstual menuntut

guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan beberapa bentuk

pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Dengan menciptakan lingkungan belajar dari berbagai bentuk pengalaman dapat

mendorong siswa untuk memunculkan ide atau pengetahuan dari

pengalaman-pengalaman yang di dapat oleh siswa pada kehidupan sehari-harinya. Hal ini

(32)

14

Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan

antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong

siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan

penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika suatu konsep dibangun dari

pengetahuan yang dimiliki oleh siswa maka pengetahuan tersebut akan dipahami

dan terekam dengan baik oleh siswa tersebut.

Pembelajaran konstekstual dapat melibatkan siswa dalam pembelajaran yang

bermakna artinya siswa mengerti apa dan sadar dari apa yang mereka pelajari

karena dalam pembelajaran kontekstual terdapat beberapa komponen utama.

Menurut Ditjen Dikdasmen (2003:10-19) bahwa

”Terdapat tujuh komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: a. Konstruktivisme (contructivism)

Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengtahuan bukan merupakan seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.

b. Menemukan (inquiry)

Inquiry berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui siklus observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. Kata kunci dari strategi inquiry adalah siswa menemukan sendiri.

c. Bertanya (questioning)

Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya memiliki beberapa kegunaan, yaitu:

1. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis. 2. Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.

(33)

15

5. Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu d. Masyarakat belajar (learning community)

Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok, dan dari yang tahu kepada yang belum tahu. Dalam kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual, guru disarankan melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen.

e. Pemodelan (modelling)

Asas modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.

f. Refleksi (reflection)

Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Realisasinya dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut.

1. Pernyataan langsung, tentang apa-apa yang diperoleh hari itu. 2. Catatan atau jurnal di buku siswa.

3. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. 4. Diskusi.

5. Hasil karya.

g. Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)

Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui keseriusan siswa dalam pembelajaran, dan pengaruh pengalaman belajar siswa terhadap perkembangan, baik intelektual maupun mental siswa.”

Berdasarkan pemaparan di atas, pada pembelajaran kontekstual, siswa tidak

sekedar menghafal materi akan tetapi mengonstruksi pengetahuannya.

Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengetahuan siswa yang telah diketahui

sebelumnya kemudian dikembangkan melalui penemuan dan diskusi sehingga

terbentuk pengetahuan baru.

Terdapat prinsip-prinsip tertentu yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan

pembelajaran kontekstual. Prinsip-prinsip tersebut seperti yang diungkapkan

Souders (Komalasari, 2010:8) bahwa

(34)

16

Proses pembelajaran hendaknya ada keterkaitan (relevansi) dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri siswa, dan dengan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata, seperti manfaat untuk bekal kerja di kemudian hari.

b. Pengalaman langsung (experiencing)

Dalam proses pembelajaran, siswa perlu mendapatkan pengalaman langsung melalui kegiatan eksplorasi, penemuan (discovery), inventori, investigasi, penelitian, dan sebagainya.

c. Aplikasi (applying)

Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam praktiknya, siswa menerapkan konsep dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang dibayangkan.

d. Kerja sama (cooperating)

Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespons, dan saling berkomunikasi. Bentuk belajar ini tidak hanya membantu siswa belajar tentang materi, tetapi juga konsisten dengan penekanan belajar kontekstual dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan yang nyata siswa akan menjadi warga yang hidup berdampingan dan berkomunikasi dengan warga lain.

e. Alih pengetahuan (transferring)

Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru”.

Sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya masalah yang dimunculkan

disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa sehingga akan timbul

ketertarikan siswa untuk mengeksplorasi dan memecahkan masalah tersebut.

Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang

menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari

dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individu siswa dan peran guru.

Sehubungan dengan itu, menurut Ditjen Dikdasmen (2003: 4-8) menjelaskan

bahwa

”pendekatan kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut: 1. Belajar berbasis masalah (problem-based learning), yaitu pendekatan

(35)

17

yang esensi dari mata pelajaran. Dalam hal ini, siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi berkaitan dengan pertanyaan, menyintesiskan, dan mempresen-tasikan penemuannya kepada orang lain.

2. Pengajaran autentik (authentic instruction), yaituu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konsep bermakna. Pengajaran ini mengembangkan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah di dalam konteks kehidupan nyata.

3. Belajar berbasis inkuiri (inquiry-based learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengakui metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.

4. Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (project-based learning) yang membutuhkan suatu pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi suatu materi pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan mengulminasikannya dalam produk nyata.

5. Belajar berbasis kerja (work-based learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja atau sejenisnya, dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa.

6. Belajar jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengombinasikan jasa layanan masyarakat dengan struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut. Jadi, menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembela-jaran akademis.

7. Belajar kooperatif (cooperatif learning) yang memerlukan pendekatan melalui pendekatan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.

Sebagai usaha dalam pencaian tujuan pembelajaran, berikut ini langkah-langkah

pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual (Nurhadi, 2004:4)

adalah:

1. Pendahuluan

(36)

18

b. Permasalahan yang diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.

2. Pengembangan:

a. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model matematis simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan. b. Kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif. Siswa diberi ke-sempatan menjelaskan dan memberi alasan terhadap jawaban yang di-berikannya, memahami jawaban teman atau siswa lain, menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban teman atau siswa lain, dan mencari alternatif penyelesaian. 3. Penutup/penerapan:

Melakukan refleksi terhadap setiap langkah atau terhadap hasil pembelajaran”.

Dengan demikian, pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang

memberdayakan siswa untuk membangun pengetahuan yang sudah ada pada

dirinya sebagai suatu pengalaman serta diperkaya dengan diskusi untuk dikaitkan

dalam materi pembelajaran untuk mengonstruksi pengetahuan baru sehingga akan

mendorong siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran dan memuculkan

ide-ide sehingga memperoleh hasil belajar yang baik.

3. Alat Peraga

Matematika dengan konsep-konsep abstrak yang terstruktur akan sulit dipahami

oleh siswa terlebih untuk siswa SMP yang tahap berfikirnya merupakan awal dari

tahap operasi formal. Dengan demikian, diperlukan model atau benda konkret

untuk menjembatani penalaran konsep matematika yang bersifat abstrak. Model

benda konkret yang digunakan untuk mengurangi keabstrakan konsep matematika

tersebut dinamakan alat peraga pembelajaran matematika. Hal ini berdasarkan

pendapat Sugiyono (2011:1), yang menyatakan bahwa

(37)

19

untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika”.

Dengan alat peraga hal-hal yang abstrak dapat disajikan dalam bentuk model

berupa benda konkrit yang dapat dilihat, dipegang diputarbalikkan sehingga

konsep mudah dipahami.

Perancangan atau penyusunan alat peraga disesuaikan dengan materi yang akan

dipelajari. Menurut Estiningsih (Widyantini, 2010:5), alat peraga merupakan

media pembelajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri dari konsep

yang dipelajari. Penggunaan alat peraga yang mencirikan suatu konsep

memungkinkan siswa untuk mengetahui apa yang mereka pelajari sehingga

struktur konsep akan tergambar dengan jelas.

Alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran. Kata media sendiri

berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang

secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Sedangkan menurut Sardiman

(2002:6), media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan

pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,

perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses

pembelajaran terjadi. Jadi, alat peraga merupakan benda konkrit yang digunakan

sebagai pengantar dalam pembelajaran sehingga terbentuk suatu konsep tertentu.

Alat peraga dipilih dan digunakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang

diharapkan tercapai kompetensinya oleh siswa. Menurut Sumardiyono

(38)

20

1. Models (memodelkan suatu konsep)

Alat peraga jenis model ini berfungsi untuk memvisualkan atau mengkonkretkan (physical) konsep matematika.

2. Bridge (menjembatani ke arah konsep)

Alat peraga ini bukan merupakan wujud konkrit dari konsep matematika, tetapi merupakan sebuah cara yang dapat ditempuh untuk memperjelas pengertian suatu konsep matematika. Fungsi ini menjadi sangat dominan bila mengingat bahwa kebanyakan konsep-konsep matematika masih sangat abstrak bagi kebanyakan siswa.

3. Skills (mentrampilkan fakta, konsep, atau prinsip)

Alat peraga ini secara jelas dimaksudkan agar siswa lebih terampil dalam mengingat, memahami atau menggunakan konsep-konsep matematika. Jenis alat peraga ini biasanya berbentuk permainan ringan dan memiliki penyelesaian yang rutin (tetap).

4. Demonstration (mendemonstrasikan konsep, operasi, atau prinsip matematika)

Alat peraga ini memperagakan konsep matematika sehingga dapat dilihat secara jelas (terdemonstrasi) karena suatu mekanisme teknis yang dapat dilihat (visible) atau dapat disentuh (touchable). Jadi, konsep matematikanya hanya “diperlihatkan” apa adanya.

5. Aplication (mengaplikasikan konsep)

Jenis alat peraga ini tidak secara langsung tampak berkaitan dengan suatu konsep, tetapi ia dibentuk dari konsep matematika tersebut. Jelasnya, alat peraga jenis ini tidak dimaksudkan untuk memperagakan suatu konsep tetapi sebagai contoh penerapan atau aplikasi suatu konsep matematika tersebut.

6. Sources (sumber untuk pemecahan masalah)

Alat peraga yang kita golongkan ke dalam jenis ini adalah alat peraga yang menyajikan suatu masalah yang tidak bersifat rutin atau teknis tetapi membutuhkan kemampuan problem-solving yang heuristik dan bersifat investigatif. Penyelesaian masalah yang disuguhkan dalam alat peraga tersebut tidak terkait dengan hanya satu konsep matematika atau satu keterampilan matematika saja, tetapi merupakan gabungan beberapa konsep, operasi atau prinsip. Hal ini bermanfaat untuk melatih kompetensi yang dimiliki siswa dan melatih ketrampilan problem-solving.”

Selain dipilih dan digunakan seseuai tujuan, menurut (Sugiyono, 2011:2) terdapat

manfaat praktis dari penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran yaitu

sebagai berikut :

a. Media dapat mengatasi berbagai keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh

(39)

21

pengalaman yang berbeda pula. Dalam hal ini media dapat mengatasi

perbedaan-perbedaan tersebut.

b. Media memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan

lingkungan.

c. Media menghasilkan keseragaman pengamatan

d. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan realistis.

e. Media dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru.

f. Media dapat membangkitkan motivasi dan merangsang siswa belajar

g. Media dapat memberikan pengalaman yang integral dari suatu yang konkrit

sampai kepada yang abstrak.

Sejalan dengan hal di atas, Hamalik (Sugiyono, 2011:2) mengemukakan bahwa

pemakaian media pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang

baru, membangkitkan motivasi, dan rangsangan kegiatan belajar, dan akan

membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Selain membangkitkan

motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa

meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,

memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Penggunaan alat

peraga dapat menarik respon siswa untuk belajar serta membantu siswa dalam

memahami materi yang sedang dipelajari.

Media pembelajaran memiliki berbagai fungsi yang sangat bermanfaat bagi siswa.

Menurut Levie & Lentz (Sugiyono, 2011:3), terdapat empat fungsi media

pembelajaran, khususnya media visual ,yaitu:

(40)

22

pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran yang tidak disenangi sehingga mereka tidak memperhatikan .

b. Fungsi afektif, media dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat mengubah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi menyangkut masalah sosial.

c. Fungsi kognitif, media dapat terlhat dari temuan-temuan penelitian yang menggunakan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.

d. Fungsi kompensatoris, media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca atau mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal”.

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa alat peraga mampu meningkatkan

pemahaman konsep matematis siswa. Alat peraga memvisualisasikan konsep

matematika yang bersifat abstrak sehingga siswa dengan mudah mengamati,

memperagakan, serta mengkonstruksi suatu konsep dalam benaknya. Dengan

pengamatan secara real dan langsung dari suatu konsep, maka pengetahuan yang

dibangun pun akan terekam dalam jangka waktu yang lama, serta siswa pun akan

lebih mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep tersebut.

Selain sebagai visualisasi suatu konsep, penggunaan alat peraga mampu menarik

minat belajar matematika karena siswa dalam belajar tidak hanya terpaku dengan

buku sebagai sumber belajarnya. Ketika siswa antusias untuk belajar matematika,

maka pembelajaran akan terasa menyenangkan dan konsep matematika juga akan

(41)

23

4. Pemahaman Konsep Matematis

Pemahaman konsep matematis merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan

dalam pembelajaran matematika. Djamarah dan Zain (Trianto, 2009:158)

mengatakan bahwa konsep atau pengertian adalah kondisi utama yang diperlukan

untuk menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental

sebelumnya berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan

obyek-obyeknya”. Obyek-obyek yang memiliki kesamaan ciri dikelompokkan menjadi

suatu kesatuan konsep yang setiap orang dapat membedakan atau menggolongkan

dari apa yang dimaksudkan oleh konsep tersebut.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Soedjadi (2000:14), yang menyatakan bahwa

konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau

mengklasifikasikan sekumpulan objek. Selanjutnya Slavin (2003:298),

mengatakan bahwa konsep adalah suatu gagasan abstrak yang digeneralisasi dari

contoh-contoh khusus. Sedangkan pemahaman merupakan kemampuan seseorang

untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat.

Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat

melihatnya dari berbagai segi. Seorang siswa dikatakan memahami sesuatu

apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberikan uraian yang lebih rinci

tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Jadi, pemahaman

konsep mempunyai makna dapat mengkomunikasikan definisi konsep yang

bersangkutan dengan kata-katanya sendiri, dapat memikirkan konsep yang

(42)

24

yang lain dan sebagai akibatnya dapat mengingat arti dari konsep tersebut selama

periode waktu yang panjang.

Memahami konsep dapat ditunjukkan dalam beberapa cara seperti

meng-identifikasi dan membuat contoh-contoh yang berhubungan dengan konsep

tersebut, mengenali berbagai pengertian dan interpretasi, mengidentifikasi

kesalahan-kesalahan umum yang mungkin terjadi tentang konsep tersebut,

hubungkan, membandingkan, dan membedakan dengan konsep lain dan

meng-aplikasikan konsep tersebut pada situasi yang baru dan kompleks.

Dalam proses pembelajaran, konsep juga memiliki kegunaan-kegunaan. Hamalik

(2002:164) menyatakan bahwa ada beberapa kegunaan konsep dalam suatu

pembelajaran yaitu sebagai berikut:

1. Konsep mengurangi kerumitan lingkungan.

2. Konsep membantu siswa untuk mengidentifikasi objek-objek yang ada di

sekitar mereka.

3. Konsep dan prinsip untuk mempelajari sesuatu yang baru, lebih luas dan lebih

maju. Siswa tidak harus belajar secara konstan, tetapi dapat menggunakan

konsep-konsep yang telah dimilikinya untuk mempelajari sesuatu yang baru.

4. Konsep mengarahkan kegiatan instrumental.

5. Konsep memungkinkan pelaksanaan pengajaran.”

Kemampuan pemahaman konsep matematis merupakan salah satu tujuan penting

dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan

pada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu. Dengan

(43)

25

Pemahaman matematis juga merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang

disampaikan oleh guru, sebab guru merupakan pembimbing siswa untuk mencapai

konsep yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan Carpenter (Ulfa, 2011:15) yang

menyatakan, “salah satu ide yang diterima secara luas dalam pendidikan

matematika adalah bahwa siswa harus memahami matematika”

Pada proses belajar mengajar, pemahaman konsep dapat dilihat melalui hasil

be-lajar siswa. Hasil bebe-lajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai aki-bat dari

proses belajar atau kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan

belajar. Berkenaan dengan hal tersebut Dimyati (2006:3) mengungkapkan hasil

belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.

Menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004

tanggal 11 November 2004 penilaian perkembangan anak didik dicantumkan

dalam indikator dari kemampuan pemahaman konsep sebagai hasil belajar

mate-matika. Indikator tersebut adalah:

a. Menyatakan ulang suatu konsep

b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu c. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep

d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika e. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep

f. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu g. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.”

B.Kerangka Pikir

Penelitian tentang pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep

matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung pada pembelajaran

(44)

26

ini, yang menjadi variabel bebas adalah penggunaan alat peraga serta variabel

terikatnya adalah pemahaman konsep matematis.

Belajar adalah aktivitas yang dapat menghasilkan perubahan dalam diri

sese-orang. Perubahan seseorang yang awalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan

hasil dari proses belajar. Banyak ditemui hasil belajar yang diperoleh siswa di

kelas tidak bertahan lama. Hal ini bisa terjadi karena proses belajar yang

dialaminya di dalam kelas kurang bermakna. Siswa hanya dituntut untuk merima,

menghafal, dan menggunakan konsep-konsep yang diberikan oleh guru tanpa ikut

berperan aktif dalam pembelajaran.

Untuk meningkatkan peran siswa dalam pembelajaran, diperlukan pembelajaran

yang bermakna yang tidak lagi berpusat pada guru, tetapi pembelajaran yang

sepenuhnya berpusat pada siswa. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

merupakan konsep belajar yang mengaitkan materi pembelajaran dengan

kehidupan sehari-hari, sehingga diharapkan siswa dapat mengaplikasikan

ilmunya.

Obyek matematika yang abstrak menyebabkan kesulitan bagi siswa dalam

mempelajarinya. Konsep-konsep yang abstrak tersebut akan lebih mudah

di-pahami oleh siswa jika dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Pengaitan dalam

kehidupan nyata dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga. Selain siswa

akan mengalami pembelajaran yang bermakna, diharapkan siswa juga lebih

tertarik dalam mempelajari ilmu-ilmu matematika. Oleh sebab itu, pembelajaran

matematika dengan pendekatan kontekstual disertai denagn alat peraga dianggap

(45)

27

sepenuhnya. Dengan alat peraga siswa mampu melihat serta mempraktekkan yang

mereka pelajari serta pembelajaran pun akan menyenangkan.

Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual disertai alat peraga bukan hanya

sekedar mendengar dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman

secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu diharapkan siswa

mengonstruksi sendiri pengetahuannya, serta menemukan sendiri konsep yang

dipelajarinya.

Salah satu komponen dalam pembelajaran kontekstual adalah masyarakat belajar

(learning community). Siswa diharapkan mampu bekerja sama dalam

ke-lompoknya untuk menemukan pengetahuan baru. Maka dalam pembelajaran ini,

siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, dengan anggota 4-5 orang yang

kemampuannya heterogen. Masing-masing kelompok diberikan masalah yang

sama dan diselesaikan secara bersama-sama dalam kelompoknya. Dengan

de-mikian siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran dan siswa dapat

memperagakan dan melihat secara langsung melalui alat peraga, yang akan

berdampak pada meningkatnya pemahaman konsep matematis siswa dalam

jangka panjang.

C.Anggapan Dasar

Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah faktor lain yang mempengaruhi

pemahaman konsep matematika siswa, selain alat peraga dianggap memiliki

(46)

28

D.Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh penggunaan alat peraga

terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2 Bandar

(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilakukan di MTs Negeri 2 Bandar Lampung dengan populasi siswa

kelas VII yang terdiri dari 10 kelas yaitu kelas unggulan 1, unggulan 2, dan kelas

A sampai dengan H, seperti terlihat pada tabel.

Tabel 3.1 Daftar Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung

No Kelas Guru Pengajar Matematika Keterangan

1 Unggulan 1 Wahyu Widodo Unggulan

2 Unggulan 2 Wahyu Widodo Unggulan

3 VII A Yuli Ismaya Super Reguler

4 VII B Yuli Ismaya Super Reguler

5 VII C Asnah Yusfit Super Reguler

6 VII D Asnah Yusfit Reguler

7 VII E Asnah Yusfit Reguler

8 VII F Asnah Yusfit Reguler

9 VII G Rini Sukismi Reguler

10 VII H Rini Sukismi Reguler

Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu dengan

memilih 2 kelas yang memiliki kemampuan yang sama dan diajar oleh guru yang

sama. Berdasarkan kebijakan pihak sekolah, peneliti diberikan kesempatan untuk

(48)

30

tidak dipilih karena merupakan kelas super reguler yang siswanya memiliki

kemampuan lebih tinggi dari kelas reguler. Sedangkan untuk VII D, VII E, dan

VII F dipilih kelas yang memiliki kemampuan yang sama. Berdasarkan nilai pada

pokok bahasan bilangan, diketahui rata-rata nilai kelas VII D yaitu 57,78, kelas

VII E memiliki rata-rata 68,42, dan kelas VII F memiliki rata-rata 53,95 sehingga

yang dipilih yaitu kelas VII D yang terdiri dari 36 siswa dan kelas VII F yang

terdiri dari 38 siswa. Dari dua sampel terpilih, satu kelas sebagai kelas

eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol. Kelas VII D sebagai kelas

kontrol (pembelajaran dengan pendekatan kontekstual) dan kelas VII F sebagai

kelas eksperimen (pembelajaran dengan pendekatan kontekstual disertai

penggunaan alat peraga).

B. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi experiment) karena

peneliti tidak dapat mengendalikan semua variabel yang mungkin berpengaruh

terhadap variabel yang diteliti. Variabel yang diukur di dalam penelitian ini

adalah pemahaman konsep matematis siswa. Desain yang digunakan adalah

post-test only control design yaitu terdapat dua kelas sebagai sampel. Kelas pertama

adalah kelas eksperimen, yaitu siswa mendapat pembelajaran matematika dengan

pendekatan kontekstual disertai dengan penggunaan alat peraga. Kelas kedua

adalah kelas kontrol, yaitu siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan

kontekstual tanpa penggunaan alat peraga. Kemudian diakhir pembelajaran pada

(49)

31

Desain penelitian yang diterapkan seperti pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.2 Desain Penelitian

Kelas Perlakuan Postest

E X O1

K Y O2

Keterangan:

E = Kelas eksperimen K = Kelas kontrol

X = Pembelajaran kontekstual disertai penggunaan alat peraga Y = Pembelajaran kontekstual

O1 = Hasil posttest kelas eksperimen O2 = hasil posttest kelas kontrol

C. Data Penelitian

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pemahaman konsep

matematis siswa yang berupa data kuantitatif yang diperoleh dari tes subsumatif

pada dua kelas yang dijadikan sampel penelitian setelah selesai mengikuti

pembelajaran menggunakan model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual

disertai alat peraga dan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.

D. Teknik Pengumpulan Data

Data pemahaman konsep matematis siswa dikumpulkan melalui tes. Instrumen

tes yang dapat dibuat dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang

hendak dicapai. Tes pemahaman konsep matematis ini berbentuk esai yang setiap

soalnya mengukur satu indikator pemahaman konsep matematis yaitu menyatakan

ulang suatu konsep, mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu,

(50)

32

bentuk representasi matematika, mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup

suatu konsep, menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi

tertentu, mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.

Sebelum diujikan, perangkat tes dikosultasikan dengan dosen pembimbing dan

guru mitra untuk diperiksa validitas isinya. Sebuah tes dikatakan memiliki

validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi

atau isi pelajaran yang diberikan (Arikunto, 2005:67). Setelah dilakukan

konsultasi, perangkat tes telah sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator,

sehingga tes dikategorikan valid.

Setelah perangkat tes dinyatakan valid, maka perangkat tes diujicobakan. Uji

coba dilakukan di luar sampel penelitian, yaitu diujicobakan di kelas unggulan 1.

Setelah diujicobakan, selain perangkat tes dinyatakan valid, perangkat tes juga

diukur tingkat reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal dengan

menggunakan rumus sebagai berikut:

1. Uji Reliabilitas

Untuk mengetahui tingkat reliabilitas tes, soal tes yang akan digunakan

diujicobakan di luar sampel. Menurut Arikunto (2005:109-111) untuk

menentukan tingkat reliabilitas instrumen tes digunakan rumus Alpha.

(51)

33

X : jumlah kuadrat semua data

Nilai r11yang diperoleh merupakan koefisien korelasi keseluruhan soal. Tinggi

rendahnya korelasi merupakan tinggi rendahnya tingkat reliabilitas soal. Untuk

mengetahui tingkat korelasi dapat mempergunakan daftar berikut:

1. 0,80 ≤

r <0,60 Korelasi sedang

4. 0,20 ≤

11

r < 0,40 Korelasi rendah

5. 0,00 ≤

11

r <0,20 Korelasi sangat rendah.”

Berdasarkan hasil uji coba dan dilakukan perhitungan indeks reliabilitas tes

pemahaman konsep matematis, diperoleh r11 sebesar 0,53 yang berarti soal tes

yang digunakan memiliki tingkat korelasi sedang. Angka ini menunjukkan bahwa

(52)

34

2. Tingkat Kesukaran

Tingkat kesukaran digunakan untuk menentukan derajat kesukaran suatu butir

soal. Seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (2012:225), untuk mengetahui

tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan rumus:

Keterangan:

P : Indeks tingkat kesukaran suatu butir soal

JT : Jumlah skor yang diperoleh siswa pada suatu butir soal

IT : Jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa pada suatu butir soal

Untuk menginterpretasikan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria

indeks kesukaran menurut Arikunto (2012:225) sebagai berikut:

Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Kesukaran

Nilai Interpretasi

0,00 – 0,30 Soal sukar

0,31 – 0,70 Soal sedang

0,71 – 1,00 Soal mudah

Setelah dilakukan uji coba soal tes pemahaman konsep matematis di luar sampel,

interpretasi soal yang diperoleh adalah soal mudah dan sedang ( data dapat dilihat

pada lampiran).

3. Daya Pembeda

Analisis daya pembeda dilakukan untuk mengetahui apakah suatu butir soal dapat

membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang

berkemam-puan rendah. Untuk menghitung daya pembeda, terlebih dahulu diurutkan dari

(53)

35

Kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki nilai

tertinggi (disebut kelompok atas) dan kelompok yang memiliki nilai terendah

(disebut kelompok bawah). Menurut Arikunto (2012:232), untuk menentukan

daya pembeda digunakan rumus:

Keterangan:

DP : Indeks daya pembeda suatu butir soal

JA : Jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah JB : Jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah IA : Jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah)

Hasil perhitungan daya pembeda menurut Arikunto (2012:232) diinterpretasikan

berdasarkan klasifikasi seperti yang tertera dalam tabel.

Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda

Nilai Interpretasi

Negatif Tidak baik

0,00 0,20 Jelek (Poor)

0,21 0,40 Cukup (Satisfactory)

0,41 – 0,70 Baik (Good)

0,71 – 1,00 Baik sekali (Excellent)

Setelah dilakukan pengujian terhadap tes pemahaman konsep matematis, indeks

daya pembeda yang diperoleh berkisar 0,28 0,72. Hal ini menunjukkan bahwa

(54)

36

E. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

1. Teknik Analisis Data

Analisis data penelitian dilakukan untuk menguji kebenaran hipotesis yang

diajukan. Untuk melihat keberartian perbedaan kedua sampel maka digunakan

uji-t. Uji-t hanya dapat digunakan jika data sampel memenuhi dua syarat, yaitu

sampel berasal dari polulasi yang berdistribusi normal dan kedua kelas memiliki

varians yang homogen. Oleh karena itu, sebelum pengujian hipotesis data

pemahaman konsep matematis siswa, dilakukan pengujian normalitas dan

homogenitas. Menurut Sudjana (2005: 273), pengujian normalitas untuk masing-

masing data dilakukan dengan Uji Chi-Kuadrat dengan hipotesis sebagai berikut.

Hipotesis : H0 : sampel berdistribusi normal

H1 : sampel tidak berdistribusi normal

Setelah dilakukan perhitungan, untuk kelas eksperimen diperoleh = 1,39.

Gambar

Tabel 3.1 Daftar Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung
Tabel 3.2 Desain Penelitian
Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Kesukaran
Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda

Referensi

Dokumen terkait

Sistem pengasutan motor listrik harus dilakukan pada motor-motor listrik yang memiliki daya yang cukup besar, ini dilakukan agar tidak terjadi gangguan pada sistim

PEMETAAN ZONA MINERALISASI EMAS BLOK “APUT”, KECAMATAN BATANG ASAI, KABUPATEN SAROLANGUN, PROVINSI JAMBI MENGGUNAKAN METODE IP FREKUENSI.. DOMAIN

Permasalahan yang diakibatkan oleh gaya hidup biasanya mengalami perkembangan yang cepat seiring dengan perkembangan dari gaya hidup tersebut, begitu juga

Alasan memilih Program Indonesia WiFi (@wifi.id) di Surabaya sebagai objek amatan dalam penelitian ini adalah karena terdapat beberapa masalah yang terjadi

Metode Fuzzy AHP dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan yang melibatkan banyak kriteria dan banyak responden, sebagai langkah pengambilan keputusan

Dalam penjelasan mengenai ketentuan yang diatur dalam Pasal 207 ayat (2) huruf b KUHAP dikatakan ketentuan ini memberikan kepastian di dalam mengadili

PENGARUH SOCIAL SKILL TRAINING TERHADAP KEMAMPUAN EMPATI ANAK USIA DINI Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

bahwa untuk itu perlu menetapkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tempat Pemasukan dan pengeluaran Media Pembawa Hama dan Penyakit Ikan