PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA
PADA PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
(Studi Terhadap Siswa Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung Semester Ganjil Tahun Pelajaran 2014/2015)
(Skripsi)
Oleh
EKA RATNAWATI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PERAGA TERHADAP PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIS SISWA PADA
PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
(Studi pada Siswa Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung T.P.2014/2015)
Oleh
EKA RATNAWATI
Penelitian eksperimen semu bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan
alat peraga terhadap pemahaman konsep matematis siswa pada pembelajaran
kontekstual. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII MTs Negeri 2
Bandar Lampung tahun pelajaran 2014/2015. Sampel pada penelitian ini adalah
siswa kelas VII D dan siswa kelas VII F yang dipilih dengan menggunakan teknik
purposive sampling. Berdasarkan analisis data diperoleh bahwa rata-rata
pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti pembelajaran kontekstual
dan disertai penggunaan alat peraga lebih baik dari pada siswa yang mengikuti
pembelajaran kontekstual tanpa penggunaan alat peraga. Dengan demikian,
penggunaan alat peraga berpengaruh positif terhadap pemahaman konsep
matematis siswa pada pembelajaran kontekstual.
Kata kunci: alat peraga, pemahaman konsep matematis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Taman Negeri, Kecamatan Way Bungur, Kabupaten
Lampung Timur pada tanggal 16 Maret 1989. Anak pertama dari dua bersaudara,
buah hati pasangan Bapak Sehono dan Ibu Sunariyah.
Pendidikan formal yang telah diikuti adalah TK Pertiwi Taman Negeri pada tahun
1995, SD Negeri 1 Taman Negeri, Kecamatan Way Bungur pada tahun 2001,
SLTP Negeri 1 Purbolinggo (sekarang menjadi SMP Negeri 1 Purbolinggo) tahun
2004, dan SMA Negeri 1 Purbolinggo pada tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis
terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Jurusan
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Lampung melalui jalur Penelusuran Kemampuan
Akademik dan Bakat (PKAB).
Penulis melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 1
Natar tahun 2010. Sejak tahun 2001 penulis terdaftar menjadi siswa Persaudaraan
Setia Hati Terate (PSHT) dan disahkan menjadi warga pada 19 Februari 2005.
Saat penulis duduk dibangku SMA, penulis dipercaya sekolah untuk mengikuti
berbagai macam kegiatan yang berkaitan dengan ekstrakurikuler yang penulis
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif di Generasi Muda (Gema) Forum
Pembinaan dan Pengkajian Islam (FPPI) FKIP Unila tahun 2007, Anggota Bidang
Bimbingan Baca Alqur’an (BBQ) tahun 2008, angkatan IX Unit Kegiatan
Mahasiswa Penelitian (UKM Penelitian) Unila pada tahun 2008, Kepala Divisi
Dana dan Usaha UKM Penelitian Unila pada tahun periode 2009-2010, dan
Bendahara Umum UKM Penelitian Unila periode 2010-2011. Sejak juni 2012
hingga sekarang penulis menjadi pengajar matematika di lembaga bimbingan
PERSEMBAHAN
Alhamdulillahirobbil ’Alamin…
Terucap syukur yang mendalam kepada Allah SWT,
ku persembahkan skripsi ini sebagai tanda cinta, kasih sayang, dan baktiku
kepada :
Bapak dan Mamak
yang selalu ada untuk mendoakan keberhasilanku dan memberikan
nasihat
Adikku tercinta Tesa Marwanto
Para pendidik yang telah mendidikku dengan penuh kesabaran
Sahabat-sahabatku yang selalu menjadi penyemangat bagiku
Dan
Sesungguhnya Alloh tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum
mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri… (Q.S Ar Ra’d:11)
“Tiada kesuksesan bagi peragu dan penunda”
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, nikmat, dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
ber-judul “Pengaruh Penggunaan Alat Peraga terhadap Pemahaman Konsep
Matematis Siswa pada Pembelajaran Kontekstual (Studi pada Siswa Kelas VII
MTs Negeri 2 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2014/2015)”.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa terselesaikannya penyusunan skripsi ini
tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih yang tulus ikhlas kepada:
1. Bapak Dr. H. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas
Lam-pung beserta staf dan jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan
fasilitas kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
2. Bapak Dr. Caswita, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan MIPA FKIP
Universitas Lampung;
3. Bapak Dr. Haninda Bharata, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Matematika;
4. Ibu Dra. Arnelis Djalil, M.Pd., selaku pembahas atas kesediannya memberikan
sumbangan pemikiran, saran, dan kritik baik selama perkuliahan maupun
5. Ibu Dr. Tina Yunarti, M.Si., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya
memberikan bimbingan, sumbangan pemikiran, kritik, dan saran, baik selama
perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga skripsi ini menjadi
lebih baik;
6. Bapak Dr. Sugeng Sutiarso, M.Pd., selaku Pembimbing Pembantu atas
kesediaannya memberikan bimbingan, sumbangan pemikiran, kritik, dan
saran, baik selama perkuliahan maupun selama penyusunan skripsi sehingga
skripsi ini menjadi lebih baik;
7. Seluruh dosen yang telah mendidik dan membimbing penulis selama
menyelesaikan studi;
8. Pak Lianto yang telah banyak membantu penulis terutama pada saat ingin
memakai peralatan gedung G. Sosok yang secara tidak langsung telah
me-ngajarkan tentang keikhlasan, kejujuran, kesabaran dan arti kerja keras;
9. Bapak Drs. H Ridwan Hawari, MM selaku Kepala MTs Negeri 2 Bandar
Lampung yang telah memberikan izin penelitian;
10.Ibu Asnah Yusfit, S.Pd, selaku guru mitra yang telah banyak memberikan
arahan dan masukan selama penelitian, serta murid-murid kelas VIID dan
VIIF MTs Negeri 2 Bandar Lampung atas partisipasinya dalam penelitian ini;
11.Bapak, mamak, dan adikku tercinta Tesa serta keluarga besarku yang selalu
menyayangi, mendoakan, dan selalu memberikan dukungan untuk
keber-hasilanku. Terima kasih untuk lautan kasih sayang, kesabaran, dan pengertian
yang kalian berikan;
12.Teman-teman seperjuangan angkatan 2007 Reguler: Rini, Abdul, Ifal, Wahyu,
Catur, Sartika, Putri, Evi, Iswan, Adit, Fantini, Risa, Firman, Endah, Munib,
Jesi, Maya, Wawan, Miftah, Bambang, Gede, Victor, Ikhwan. Terima kasih
untuk persahabatan dan kebersamaannya selama ini, tetap semangat untuk
menjadi the best mathematic teacher;
13.Keluarga besar UKM Penelitian Unila: bang Iwan, bang Lapri, bang Agung,
bang Gery, Mb Deta, Mb Ari, Mb Yuni, Mb Devi, Mb Mar, Riyan, Jasi,
Candra, Dodi, Ngudi, Auliana, Biyatmi, Nur, Afri, Desi, Astri, Priska, Rovi,
Agung I, Nanang, Rahman, Agung W, Dery, Juni, Maiyulis, Dedi, Asep,
Rendi, Terimakasih atas dukungan, semangat, serta kesediannya menjadi
tempat berbagi pemikiran baik dalam suka dan duka. Semoga UKM Penelitian
jaya di persada nusantara. Building Better Life By Science!;
14.Teman-teman PPL SMP Negeri 1 Bandarlampung :Maylisa, Mb Eva, Mb
Putri, Putri N, Shufiyanti, Paul, Asrul, Koko, Desti, Riri, dan Selvi, atas
kebersamaan selama 3 bulan yang luar biasa;
15.Teman-teman angkatan 2007 NR, kakak-kakakku angkatan 2006 dan 2005,
teman-teman dan adik-adikku angkatan 2008, 2009, dan 2010 atas
kebersamaannya;
16.Teman-teman keluarga Astri 21: Mb Tati, Mb Dian, Mb Iceu, Mb Binti N, Mb
Binti A, Mb Ria, Mb Rita, Mb Hotlina, Mb Fitri, Mb Nana, Mb Marhama, Mb
Mery S, Mb Mery E, Mb Vita, Yunita, Umi, Rika, Ika, Nani, Eny, Astri, Ichi,
Mita, Kiki, Mela, Prita, Fany, Desi. Terimakasih atas kebersamaannya dan
rasa solidaritasnya.
17.Teman-teman keluarga ”Cemara” Nunyai: Mb Erni, Mb Mela, Widya, dan Eti.
setiap keadaan, semangat, dukungan, serta kasih sayang dalam meniti
kehidupan.
18.Almamater yang telah mendewasakanku;
19.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Penulis berharap semoga Allah SWT senantiasa membalas semua kebaikan yang
telah diberikan dan semoga skripsi ini bermanfaat.
Bandarlampung, Desember 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan Penelitian... 5
D. Manfaat Penelitian... 6
E. Ruang Lingkup Penelitian... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan pustaka... 8
1. Pembelajaran Matematika... 8
2. Pendekatan Kontekstual………... 11
3. Alat Peraga………... 18
4. Pemahaman Konsep Matematis………... 23
B. Kerangka Pikir... 25
C. Anggapan Dasar... 27
III. METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel... 29
B. Desain Penelitian... 30
C. Data Penelitian…... 31
D. Teknik Pengumpulan Data... 31
E. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis 36 1. Teknik Analisis Data... 36
2. Teknik Pengujian Hipotesis... 38
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 40
B. Pembahasan... 45
V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan... 50
B. Saran... 50
DAFTAR PUSTAKA... 52
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
3.1 Daftar Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung... 29
3.2 Desain Penelitian ... 31
3.3 Kriteria Tingkat Kesukaran ... 34
3.4 Klasifikasi Daya Pembeda. ... 35
4.1 Skor Pemahaman Konsep Matematis... 40
4.2 Pencapaian Indikator Pemahaman Konsep Kelas Eksperimen ... 41
4.3 Pencapaian Indikator Pemahaman Konsep Kelas Kontrol ... 42
4.4 Nilai Data Pemahaman Konsep Matematis ... 43
4.5 Nilai F Data Pemahaman Konsep Matematis ... 43
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
A.PERANGKAT PEMBELAJARAN
A.1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) ... 56
A.2 Lembar Kerja Peserta Didik ... 93
B.PERANGKAT TES B.1 Kisi-Kisi Tes Pemahaman Konsep ... 114
B.2 Instrumen Tes Pemahaman Konsep. ... 116
B.3 Kunci Jawaban dan Teknik Penskoran Tes Pemahaman Konsep 118
B.4 Pedoman Penskoran Tes Pemahaman Konsep ... 120
C.ANALISIS DATA C.1 Tabel Data Nilai Pokok Bahasan Bilangan ... 122
C.2 Analisis Tes Uji Coba ... 125
C.3 Data Ketercapaian Pemahaman Konsep Matematis ... 128
C.4 Uji Normalitas Data Pemahaman Konsep Matematis ... 132
C.5 Uji Homogenitas Pemahaman Konsep Matematis ... 140
C.4 Uji Hipotesis ... 141
D.LAIN-LAIN D.1 Surat Izin Penelitian Pendahuluan ... 143
D.2 Surat Kesediaan Membimbing ... 144
D.3 Daftar Hadir Seminar Proposal ... 147
D.4 Surat Izin Penelitian ... 148
D.5 Surat Keterangan Penelitian ... 149
I. PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penentu kemajuan suatu
bangsa. Sedangkan kualitas sumber daya manusia ditentukan oleh mutu
pendidikannya. Pendidikan merupakan investasi sumber daya manusia jangka
panjang yang mempunyai nilai strategis bagi kelangsungan peradaban manusia di
dunia. Oleh karena itu, hampir semua negara menempatkan pendidikan sebagai
faktor yang penting dan utama dalam konteks pembangunan bangsa dan negara.
Begitu juga Indonesia menempatkan pendidikan sebagai sesuatu yang penting dan
utama. Hal ini terlihat pada isi Pembukaan UUD 1945 alinea IV yang
menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional bangsa Indonesia adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini juga diperjelas dalam Undang-undang
Republik Indonesia nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
pasal 3 yaitu:
“ Pendidikan nasional berfungsi membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Pendidikan merupakan aset bagi siswa agar dapat mengembangkan potensi
2
faktual, konseptual, dan prosedural dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan
budaya dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, peradaban terkait
fenomena dan kejadian di kehidupan sehari-hari serta berakhlak mulia.
Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masalah lemahnya
kebermaknaan dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, anak
kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses
pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan untuk menghafal
informasi. Siswa dilatih untuk menimbun dan menghafal informasi tanpa
memahami informasi yang diterimanya untuk dihubungkan dalam kehidupan
sehari-hari, sehingga ilmu yang diperoleh siswa di sekolah tidak mampu
diaplikasikan dalam kehidupannya sehari-hari. Pembelajaran di kelas seperti ini
biasanya menggunakan pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvensional
ditandai dengan guru lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep, sehingga
siswa lebih banyak mendengarkan dan pasif di dalam kelas. Tujuan pembelajaran
konvensional biasanya adalah peserta mengetahui sesuatu, bukan untuk
melakukan sesuatu. Pembelajaran seperti ini terbukti berhasil dalam kompetensi
mengingat dalam jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali siswa
memecahkan masalah dalam kehidupan jangka panjang.
Belajar akan lebih bermakna jika siswa mengalami apa yang dipelajarinya, bukan
mengetahuinya. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual atau biasa disebut
dengan Contextual Teaching and Learning (CTL) membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
3
penerapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual diharapkan dapat sesuai dengan
kriteria pembelajaran yang diharapkan dalam PP No.32 Tahun 2013:
“Proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara inter -aktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreati-vitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik”.
Pembelajaran kontekstual telah sesuai dengan teori Piaget tentang perkembangan
struktur kognitif bahwa pembelajaran disesuaikan dengan tingkat perkembangan
kognitif siswa. Pada teori Piaget disebutkan bahwa anak pada usia di atas 11
tahun berada pada tahap operasional formal. Ciri pokok perkembangan pada
tahap ini adalah siswa sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan
menggunakan pola berpikir kemungkinan. Tetapi anak usia di atas 11 tahun (usia
SMP) merupakan tahapan awal dari tahap operasi formal, sehingga dalam
mengembangkan kemampuan berpikir abstrak perlu dikaitkan dengan tahapan
sebelumnya, yaitu operasi konkret. Oleh sebab itu, keterkaitan dengan obyek,
fenomena, dan pengalaman konkret dalam mengembangkan berpikir abstrak perlu
dilakukan.
Objek dasar yang dipelajari dalam matematika adalah abstrak. Matematika
dengan konsep-konsep abstrak yang terstruktur akan sulit dipahami siswa.
Penggunaan alat peraga pada pembelajaran kontekstual menjadikan
konsep-konsep abstrak pada matematika dapat dipahami berdasarkan pemikiran yang
dibangun dari situasi nyata tertentu yang sudah dikenal dengan baik oleh siswa.
4
oleh siswa relatif mudah dipahami, sehingga memudahkan dalam pemecahannya.
Pendekatan kontekstual disertai dengan alat peraga memudahkan siswa belajar
matematika dengan memulai konsep dari yang konkret (kerja praktek) ke arah
yang abstrak (simbolisasi).
Alat peraga dapat membantu siswa meningkatkan pemahaman, menyajikan data
dengan menarik dan terpercaya, memudahkan penafsiran data, dan memadatkan
informasi. Selain itu, alat peraga juga dapat membangkitkan motivasi serta minat
belajar siswa. Penggunaan alat peraga memungkinkan siswa berinteraksi secara
langsung dengan lingkungan atau model matematika yang nyata. Siswa
mengalami sendiri pembentukan konsep matematika, pembelajaran tidak monoton
pada konsep teoritis yang tertulis di buku sehingga pembelajaran akan lebih
menyenangkan dan siswa dapat memahami dengan baik konsep tersebut beserta
perkembangannya atau keterkaitannya dengan konsep yang lain.
Berdasarkan observasi yang dilakukan di kelas VII MTs Negeri 2 Bandar
Lampung, pembelajaran di dalam kelas dimulai dengan guru memberi tugas
kepada siswa untuk membaca materi yang akan dipelajari. Setelah siswa selesai
membaca, kemudian siswa diminta untuk mengerjakan contoh soal yang terdapat
di buku pegangan siswa. Jika siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan
contoh soal , siswa dipersilakan untuk menanyakannya kepada guru. Akan tetapi,
hanya beberapa siswa yang mengungkapkan kesulitannya kepada guru sedangkan
siswa yang lain terkesan pasrah walaupun mereka belum paham. Setelah itu,
siswa ditugaskan untuk mengerjakan soal-soal latihan yang terdapat di buku,
kemudian guru membimbing mengerjakan soal ketika sebagian besar siswa
5
Jika dilihat dari adanya siswa yang tidak menanyakan apa yang belum
dipahaminya, ini menunjukkan bahwa kurangnya ide dari siswa untuk
mengajukan pertanyaan dan kurangnya antusias siswa dalam belajar matematika.
Sehingga diperlukan suatu pembelajaran yang menarik bagi siswa dan
memunculkan rasa ingin tahu yang mengakibatkan siswa lebih aktif bertanya.
Dalam hal ini, penggunaan alat peraga dalam pembelajaran kontekstual
diharapkan mampu mengatasi masalah tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian terhadap pembelajaran
matematika di kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung tahun ajaran 2014/2015
untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep
matematis siswa pada pembelajaran kontekstual.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
“Apakah terdapat pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep
matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung pada pembelajaran
kontekstual?”
C.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya pengaruh penggunaan alat
peraga terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2
6
D.Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagi Guru
Dapat memberikan sumbangan dalam upaya peningkatan kualitas
pembelajaran matematika untuk meningkatkan mutu pendidikan dan
pemahaman konsep matematis siswa.
2. Bagi Peneliti Lain
Dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian yang sejenis di masa yang
akan datang.
E.Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup lingkup penelitian ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan
konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi
ajar dengan situasi dunia nyata siswa. Situasi ini yang dapat mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya
dalam kehidupan siswa sebagai anggota keluarga atau masyarakat.
2. Alat peraga yang digunakan dalam pembelajaran yaitu model benda nyata yang
digunakan untuk mengurangi keabstrakan materi matematika berupa miniatur
dan gambar.
3. Pengaruh dalam penelitian ini merupakan signifikansi dari perbedaan rata-rata
7
kontekstual dengan rata-rata skor tes akhir siswa yang mengikuti pembelajaran
kontekstual dengan alat peraga.
4. Pemahaman konsep siswa merupakan kemampuan siswa dalam memahami
konsep matematika yang dipelajari dapat dilihat dari nilai pemahaman konsep
matematika siswa setelah proses pembelajaran. Indikator kemampuan
pemahaman konsep dalam penelitian ini merujuk pada penjelasan teknis
Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11
November 2004 yaitu,:
a. Menyatakan ulang suatu konsep
b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu
c. Memberi contoh dan noncontoh dari konsep
d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika
e. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep
f. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu.
g. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Tinjauan Pustaka
1. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran merupakan komunikasi dua arah, yang dilakukan oleh pendidik
sebagai fasilitator dengan siswa yang merupakan subyek yang mengalami proses
belajar. Menurut konsep komunikasi (Suherman, 2001: 9), pembelajaran adalah
proses komunikasi fungsional antara siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa,
dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi
siswa yang bersangkutan. Sedangkan menurut Mulyasa (2007:14), pembelajaran
merupakan proses yang sengaja direncanakan dan dirancang sedemikian rupa
dalam rangka memberikan bantuan bagi terjadinya proses belajar. Berarti
pembelajaran tidak hanya merupakan transfer ilmu dari guru ke siswa, melainkan
siswa yang membangun pengetahuannya melalui komunikasi atau diskusi antar
siswa dan siswa dengan guru berdasarkan dengan skenario pembelajaran yang
telah dirancang oleh guru.
Guru berperan dalam menentukan bagaiman sutu proses pembelajaran tersebut
berlangsung. Hal ini berdasarkan pendapat Dimyati dan Mudjiono (1999: 297)
yang menyatakan pembelajaran adalah kegiatan guru secara terprogram dalam
desain instruksional, untuk membuat siswa belajar secara aktif, yang menekankan
9
menciptakan suasana yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang
menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan pengetahuan yang baru. Dalam
hal ini siswa sendirilah yang mengalami proses membangun suatu pola atau
keterkaitan suatu konsep dengan konsep yang lain sehingga akan melekat dengan
baik di benak siswa.
Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, guru diharapkan dapat berperan
sebagai fasilitator yang akan memfasilitasi siswa dalam belajar, dan siswa
sendirilah yang harus aktif belajar dari berbagai sumber belajar. Hal ini sejalan
dengan kurikulum 2013 di mana kegiatan pembelajaran berpusat pada siswa,
mengembangkan kreativitas, kontekstual, menantang dan menyenangkan,
menyediakan pengalaman belajar yang beragam, dan belajar melalui berbuat
sehingga diperlukan partisipasi yang tinggi dari siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Untuk itu, guru perlu menemukan cara terbaik bagaimana
menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan di dalam mata pelajaran yang
diampunya, sehingga semua siswa dapat menggunakan dan mengingatnya lebih
lama konsep tersebut dan bagaimana setiap konsep dipahami sebagai bagian yang
saling berhubungan dan membentuk satu pemahaman yang utuh. Guru perlu
dapat berkomunikasi secara efektif dengan siswanya yang selalu bertanya-tanya
tentang alasan dari sesuatu, arti dari sesuatu, dan hubungan dari apa yang mereka
pelajari, serta dapat membuka wawasan berpikir yang beragam dari siswa,
sehingga mereka dapat mempelajari berbagai konsep dan mampu mengkaitkannya
10
Dalam mendesain pembelajaran, penting bagi guru untuk mempertimbangkan
tingkat perkembangan siswanya. Menurut teori Piaget (Widyantini, 2010:4)
perkembangan intelektual seseorang hingga dewasa terbagi atas empat tahap yaitu
1. Tahap sensorik motorik (0 – 2 tahun)
2. Tahap pra operasional (2 – 7 tahun)
3. Tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun)
4. Tahap formal (lebih dari 11 tahun)
Selain Piaget ahli lain mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan belajar
seseorang adalah Bruner. Bruner (Widhyantini, 2010:4) membagi proses belajar
siswa menjadi tiga tahap yaitu tahap enaktif, ikonik dan simbolik.
1. Tahap Enaktif
Pada tahap ini, siswa dituntut untuk mempelajari pengetahuan dengan menggunakan benda konkrit atau menggunakan situasi nyata bagi para siswa.
2. Tahap Ikonik
Setelah mempelajari pengetahuan dengan benda nyata atau benda konkrit, tahap berikutnya adalah tahap ikonik yaitu siswa mempelajari suatu pengetahuan dalam bentuk gambar atau diagram sebagi perwujudan dari kegiatan yang menggunakan benda konkrit atau nyata.
3. Tahap simbolik
Selain dua tahap diatas masih ada satu tahap lagi yaitu tahap simbolik dimana siswa mewujudkan pengetahuannya dalam bentuk simbol-simbol abstrak. Dengan kata lain siswa harus mengalami proses berabstraksi.
Berdasarkan teori di atas, siswa tingkat SMP merupakan peralihan dari tahap
operasional konkrit menuju ke tahap formal. Oleh karena itu, agar siswa dapat
menguasai konsep-konsep matematika yang bersifat abstrak maka dalam
membelajarkan matematika kepada siswa masih diperlukan azas peragaan.
Karenanya ketika proses pembelajaran matematika berlangsung sudah seharusnya
11
dapat digunakan sebagai jembatan bagi siswa untuk berpikir abstrak berkaitan
dengan topik-topik tertentu yang dapat membantu pemahaman siswa.
Kegiatan pembelajaran dengan menggunakan menggunakan alat peraga sangat
besar peranannya bagi keberhasilan belajar siswa. Dengan menggunakan alat
peraga siswa dapat melihat, meraba, mengungkapkan dengan memikirkan secara
langsung obyek yang sedang mereka pelajari. Sehingga konsep abstrak yang
sedang dipelajari dapat dipahami dengan baik, melekat dan tahan lama dibenak
pikiran siswa. Penggunaan alat peraga erat kaitannya dengan aspek penanaman
konsep, pemahaman konsep, selanjutnya siswa dapat memahami secara logis
hubungan antar konsep dengan yang lain. Selain itu, penggunaan alat peraga
pembelajarn akan lebih menyenangkan sehingga dapat meningkatkan motivasi
serta minat belajar siswa.
2. Pendekatan Kontekstual
Guru memiliki peranan dalam merancang skenario pembelajaran yaitu dalam
pemilihan pendekatan pembelajaran. Menurut Komalasari (2010:54) pendekatan
pembelajaran dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu
proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi,
menguatkan, dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.
Oleh karena itu, dalam pemilihan pendekatan pembelajaran guru hendaknya
menggunakan pendekatan pembelajaran yang dapat memotivasi siswa untuk
12
Guru dapat menerapkan pendekatan belajar seperti yang disebutkan oleh Roy
Killen (Sanjaya, 2006:127) bahwa terdapat dua pendekatan dalam pembelajaran,
yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centred approaches) dan
pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centred approaches). Pendekatan
yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung (direct
instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekpositori. Sedangkan
pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa menurunkan strategi
pembelajaran discovery, inkuiri, dan strategi pembelajaran induktif. Berdasarkan
pemaparan di atas terlihat jelas bahwa pendekatan pembelajaran yang dapat
memotivasi siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran serta membangun
suatu pengetahuannya sendiri yaitu dengan menerapkan pendekatan pembelajaran
yang berpusat pada siswa.
Salah satu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa adalah
pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran
yang mengaitkan konsep dengan kehidupan sehari-sehari seperti yang
diungkapkan oleh Aqib (2013:4), pendekatan kontekstual atau disebut juga
contextual teaching and learning (CTL) adalah konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa,
dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Jadi pengetahuan
yang diperoleh siswa dibangun dengan mengaitkan pengetahuan tersebut dengan
13
Peran aktif siswa dalam pembelajaran sangat diperlukan dalam rangka
membangun suatu pengetahuan seperti yang dinyatakan oleh Sanjaya (2006: 255)
bahwa Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi
pembela-jaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk
dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka. Sehingga dengan peran aktif siswa dalam pembelajaran,
siswa tidak paham secara konsep akan tetapi mengerti manfaat dari suatu konsep
tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Pembelajaran kontekstual membantu siswa untuk menemukan makna dan manfaat
dari suatu konsep atau ide abstrak dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sejalan
dengan Hull’s dan Sounders (Komalasari, 2010:6) yang menyatakan bahwa dalam
pembelajaran kontekstual siswa menemukan hubungan penuh makna antara
ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata. Siswa
menginternalisasi konsep melalui penemuan, penguatan, dan keterhubungan.
Pembelajaran kotekstual menghendaki kerja dalam sebuah tim, baik di kelas,
laboratorium, tempat bekerja, maupun bank. Pembelajaran kontekstual menuntut
guru mendesain lingkungan belajar yang merupakan gabungan beberapa bentuk
pengalaman untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Dengan menciptakan lingkungan belajar dari berbagai bentuk pengalaman dapat
mendorong siswa untuk memunculkan ide atau pengetahuan dari
pengalaman-pengalaman yang di dapat oleh siswa pada kehidupan sehari-harinya. Hal ini
14
Teaching and Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika suatu konsep dibangun dari
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa maka pengetahuan tersebut akan dipahami
dan terekam dengan baik oleh siswa tersebut.
Pembelajaran konstekstual dapat melibatkan siswa dalam pembelajaran yang
bermakna artinya siswa mengerti apa dan sadar dari apa yang mereka pelajari
karena dalam pembelajaran kontekstual terdapat beberapa komponen utama.
Menurut Ditjen Dikdasmen (2003:10-19) bahwa
”Terdapat tujuh komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: a. Konstruktivisme (contructivism)
Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak dengan tiba-tiba. Pengtahuan bukan merupakan seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat, tetapi manusia harus mengonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
b. Menemukan (inquiry)
Inquiry berarti proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, melainkan hasil dari menemukan sendiri melalui siklus observasi, bertanya, mengajukan dugaan, pengumpulan data, dan penyimpulan. Kata kunci dari strategi inquiry adalah siswa menemukan sendiri.
c. Bertanya (questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan strategi utama dalam pembelajaran kontekstual. Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya memiliki beberapa kegunaan, yaitu:
1. Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis. 2. Membangkitkan motivasi siswa untuk belajar.
15
5. Membimbing siswa untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu d. Masyarakat belajar (learning community)
Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok, dan dari yang tahu kepada yang belum tahu. Dalam kelas yang menggunakan pendekatan kontekstual, guru disarankan melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok yang anggotanya heterogen.
e. Pemodelan (modelling)
Asas modelling adalah proses pembelajaran dengan memperagakan sesuatu sebagai contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa.
f. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya. Realisasinya dalam pembelajaran antara lain sebagai berikut.
1. Pernyataan langsung, tentang apa-apa yang diperoleh hari itu. 2. Catatan atau jurnal di buku siswa.
3. Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu. 4. Diskusi.
5. Hasil karya.
g. Penilaian yang sebenarnya (authentic assessment)
Penilaian nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa. Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui keseriusan siswa dalam pembelajaran, dan pengaruh pengalaman belajar siswa terhadap perkembangan, baik intelektual maupun mental siswa.”
Berdasarkan pemaparan di atas, pada pembelajaran kontekstual, siswa tidak
sekedar menghafal materi akan tetapi mengonstruksi pengetahuannya.
Pengetahuan tersebut diperoleh dari pengetahuan siswa yang telah diketahui
sebelumnya kemudian dikembangkan melalui penemuan dan diskusi sehingga
terbentuk pengetahuan baru.
Terdapat prinsip-prinsip tertentu yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan
pembelajaran kontekstual. Prinsip-prinsip tersebut seperti yang diungkapkan
Souders (Komalasari, 2010:8) bahwa
16
Proses pembelajaran hendaknya ada keterkaitan (relevansi) dengan bekal pengetahuan (prerequisite knowledge) yang telah ada pada diri siswa, dan dengan konteks pengalaman dalam kehidupan dunia nyata, seperti manfaat untuk bekal kerja di kemudian hari.
b. Pengalaman langsung (experiencing)
Dalam proses pembelajaran, siswa perlu mendapatkan pengalaman langsung melalui kegiatan eksplorasi, penemuan (discovery), inventori, investigasi, penelitian, dan sebagainya.
c. Aplikasi (applying)
Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Dalam praktiknya, siswa menerapkan konsep dan informasi ke dalam kebutuhan kehidupan mendatang yang dibayangkan.
d. Kerja sama (cooperating)
Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespons, dan saling berkomunikasi. Bentuk belajar ini tidak hanya membantu siswa belajar tentang materi, tetapi juga konsisten dengan penekanan belajar kontekstual dalam kehidupan nyata. Dalam kehidupan yang nyata siswa akan menjadi warga yang hidup berdampingan dan berkomunikasi dengan warga lain.
e. Alih pengetahuan (transferring)
Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalaman berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru”.
Sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya masalah yang dimunculkan
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa sehingga akan timbul
ketertarikan siswa untuk mengeksplorasi dan memecahkan masalah tersebut.
Pembelajaran kontekstual menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang
menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang sedang dipelajari
dan sekaligus memperhatikan faktor kebutuhan individu siswa dan peran guru.
Sehubungan dengan itu, menurut Ditjen Dikdasmen (2003: 4-8) menjelaskan
bahwa
”pendekatan kontekstual harus menekankan pada hal-hal sebagai berikut: 1. Belajar berbasis masalah (problem-based learning), yaitu pendekatan
17
yang esensi dari mata pelajaran. Dalam hal ini, siswa terlibat dalam penyelidikan untuk pemecahan masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep dari berbagai isi materi pelajaran. Pendekatan ini mencakup pengumpulan informasi berkaitan dengan pertanyaan, menyintesiskan, dan mempresen-tasikan penemuannya kepada orang lain.
2. Pengajaran autentik (authentic instruction), yaituu pendekatan pengajaran yang memperkenankan siswa untuk mempelajari konsep bermakna. Pengajaran ini mengembangkan keterampilan berpikir dan memecahkan masalah di dalam konteks kehidupan nyata.
3. Belajar berbasis inkuiri (inquiry-based learning) yang membutuhkan strategi pengajaran yang mengakui metodologi sains dan menyediakan kesempatan untuk pembelajaran bermakna.
4. Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (project-based learning) yang membutuhkan suatu pengajaran komprehensif dimana lingkungan belajar siswa (kelas) didesain agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pendalaman materi suatu materi pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengonstruk (membentuk) pembelajarannya, dan mengulminasikannya dalam produk nyata.
5. Belajar berbasis kerja (work-based learning) adalah suatu pendekatan pengajaran yang memungkinkan siswa menggunakan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah dan bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja atau sejenisnya, dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan siswa.
6. Belajar jasa layanan (service learning) yang memerlukan penggunaan metodologi pengajaran yang mengombinasikan jasa layanan masyarakat dengan struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan tersebut. Jadi, menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan dan pembela-jaran akademis.
7. Belajar kooperatif (cooperatif learning) yang memerlukan pendekatan melalui pendekatan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar.
Sebagai usaha dalam pencaian tujuan pembelajaran, berikut ini langkah-langkah
pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual (Nurhadi, 2004:4)
adalah:
1. Pendahuluan
18
b. Permasalahan yang diberikan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.
2. Pengembangan:
a. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model matematis simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan. b. Kegiatan pembelajaran berlangsung secara interaktif. Siswa diberi ke-sempatan menjelaskan dan memberi alasan terhadap jawaban yang di-berikannya, memahami jawaban teman atau siswa lain, menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban teman atau siswa lain, dan mencari alternatif penyelesaian. 3. Penutup/penerapan:
Melakukan refleksi terhadap setiap langkah atau terhadap hasil pembelajaran”.
Dengan demikian, pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
memberdayakan siswa untuk membangun pengetahuan yang sudah ada pada
dirinya sebagai suatu pengalaman serta diperkaya dengan diskusi untuk dikaitkan
dalam materi pembelajaran untuk mengonstruksi pengetahuan baru sehingga akan
mendorong siswa untuk berperan aktif dalam pembelajaran dan memuculkan
ide-ide sehingga memperoleh hasil belajar yang baik.
3. Alat Peraga
Matematika dengan konsep-konsep abstrak yang terstruktur akan sulit dipahami
oleh siswa terlebih untuk siswa SMP yang tahap berfikirnya merupakan awal dari
tahap operasi formal. Dengan demikian, diperlukan model atau benda konkret
untuk menjembatani penalaran konsep matematika yang bersifat abstrak. Model
benda konkret yang digunakan untuk mengurangi keabstrakan konsep matematika
tersebut dinamakan alat peraga pembelajaran matematika. Hal ini berdasarkan
pendapat Sugiyono (2011:1), yang menyatakan bahwa
19
untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika”.
Dengan alat peraga hal-hal yang abstrak dapat disajikan dalam bentuk model
berupa benda konkrit yang dapat dilihat, dipegang diputarbalikkan sehingga
konsep mudah dipahami.
Perancangan atau penyusunan alat peraga disesuaikan dengan materi yang akan
dipelajari. Menurut Estiningsih (Widyantini, 2010:5), alat peraga merupakan
media pembelajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri dari konsep
yang dipelajari. Penggunaan alat peraga yang mencirikan suatu konsep
memungkinkan siswa untuk mengetahui apa yang mereka pelajari sehingga
struktur konsep akan tergambar dengan jelas.
Alat peraga merupakan bagian dari media pembelajaran. Kata media sendiri
berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium yang
secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Sedangkan menurut Sardiman
(2002:6), media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan
pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan,
perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses
pembelajaran terjadi. Jadi, alat peraga merupakan benda konkrit yang digunakan
sebagai pengantar dalam pembelajaran sehingga terbentuk suatu konsep tertentu.
Alat peraga dipilih dan digunakan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
diharapkan tercapai kompetensinya oleh siswa. Menurut Sumardiyono
20
1. Models (memodelkan suatu konsep)
Alat peraga jenis model ini berfungsi untuk memvisualkan atau mengkonkretkan (physical) konsep matematika.
2. Bridge (menjembatani ke arah konsep)
Alat peraga ini bukan merupakan wujud konkrit dari konsep matematika, tetapi merupakan sebuah cara yang dapat ditempuh untuk memperjelas pengertian suatu konsep matematika. Fungsi ini menjadi sangat dominan bila mengingat bahwa kebanyakan konsep-konsep matematika masih sangat abstrak bagi kebanyakan siswa.
3. Skills (mentrampilkan fakta, konsep, atau prinsip)
Alat peraga ini secara jelas dimaksudkan agar siswa lebih terampil dalam mengingat, memahami atau menggunakan konsep-konsep matematika. Jenis alat peraga ini biasanya berbentuk permainan ringan dan memiliki penyelesaian yang rutin (tetap).
4. Demonstration (mendemonstrasikan konsep, operasi, atau prinsip matematika)
Alat peraga ini memperagakan konsep matematika sehingga dapat dilihat secara jelas (terdemonstrasi) karena suatu mekanisme teknis yang dapat dilihat (visible) atau dapat disentuh (touchable). Jadi, konsep matematikanya hanya “diperlihatkan” apa adanya.
5. Aplication (mengaplikasikan konsep)
Jenis alat peraga ini tidak secara langsung tampak berkaitan dengan suatu konsep, tetapi ia dibentuk dari konsep matematika tersebut. Jelasnya, alat peraga jenis ini tidak dimaksudkan untuk memperagakan suatu konsep tetapi sebagai contoh penerapan atau aplikasi suatu konsep matematika tersebut.
6. Sources (sumber untuk pemecahan masalah)
Alat peraga yang kita golongkan ke dalam jenis ini adalah alat peraga yang menyajikan suatu masalah yang tidak bersifat rutin atau teknis tetapi membutuhkan kemampuan problem-solving yang heuristik dan bersifat investigatif. Penyelesaian masalah yang disuguhkan dalam alat peraga tersebut tidak terkait dengan hanya satu konsep matematika atau satu keterampilan matematika saja, tetapi merupakan gabungan beberapa konsep, operasi atau prinsip. Hal ini bermanfaat untuk melatih kompetensi yang dimiliki siswa dan melatih ketrampilan problem-solving.”
Selain dipilih dan digunakan seseuai tujuan, menurut (Sugiyono, 2011:2) terdapat
manfaat praktis dari penggunaan alat peraga dalam proses pembelajaran yaitu
sebagai berikut :
a. Media dapat mengatasi berbagai keterbatasan pengalaman yang dimiliki oleh
21
pengalaman yang berbeda pula. Dalam hal ini media dapat mengatasi
perbedaan-perbedaan tersebut.
b. Media memungkinkan adanya interaksi langsung antara siswa dengan
lingkungan.
c. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
d. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkrit dan realistis.
e. Media dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru.
f. Media dapat membangkitkan motivasi dan merangsang siswa belajar
g. Media dapat memberikan pengalaman yang integral dari suatu yang konkrit
sampai kepada yang abstrak.
Sejalan dengan hal di atas, Hamalik (Sugiyono, 2011:2) mengemukakan bahwa
pemakaian media pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang
baru, membangkitkan motivasi, dan rangsangan kegiatan belajar, dan akan
membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Selain membangkitkan
motivasi dan minat siswa, media pembelajaran juga dapat membantu siswa
meningkatkan pemahaman, menyajikan data dengan menarik dan terpercaya,
memudahkan penafsiran data, dan memadatkan informasi. Penggunaan alat
peraga dapat menarik respon siswa untuk belajar serta membantu siswa dalam
memahami materi yang sedang dipelajari.
Media pembelajaran memiliki berbagai fungsi yang sangat bermanfaat bagi siswa.
Menurut Levie & Lentz (Sugiyono, 2011:3), terdapat empat fungsi media
pembelajaran, khususnya media visual ,yaitu:
22
pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran yang tidak disenangi sehingga mereka tidak memperhatikan .
b. Fungsi afektif, media dapat terlihat dari tingkat kenikmatan siswa ketika belajar (atau membaca) teks yang bergambar. Gambar atau lambang visual dapat mengubah emosi dan sikap siswa, misalnya informasi menyangkut masalah sosial.
c. Fungsi kognitif, media dapat terlhat dari temuan-temuan penelitian yang menggunakan bahwa lambang visual atau gambar memperlancar pencapaian informasi atau pesan yang terkandung dalam gambar.
d. Fungsi kompensatoris, media pembelajaran terlihat dari hasil penelitian bahwa media yang memberikan konteks untuk memahami teks membantu siswa yang lemah dalam membaca atau mengorganisasikan informasi dalam teks dan mengingatnya kembali. Dengan kata lain, media pembelajaran berfungsi untuk mengakomodasi siswa yang lemah dan lambat dalam menerima dan memahami isi pelajaran yang disajikan dengan teks atau disajikan secara verbal”.
Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa alat peraga mampu meningkatkan
pemahaman konsep matematis siswa. Alat peraga memvisualisasikan konsep
matematika yang bersifat abstrak sehingga siswa dengan mudah mengamati,
memperagakan, serta mengkonstruksi suatu konsep dalam benaknya. Dengan
pengamatan secara real dan langsung dari suatu konsep, maka pengetahuan yang
dibangun pun akan terekam dalam jangka waktu yang lama, serta siswa pun akan
lebih mampu memecahkan masalah yang berkaitan dengan konsep tersebut.
Selain sebagai visualisasi suatu konsep, penggunaan alat peraga mampu menarik
minat belajar matematika karena siswa dalam belajar tidak hanya terpaku dengan
buku sebagai sumber belajarnya. Ketika siswa antusias untuk belajar matematika,
maka pembelajaran akan terasa menyenangkan dan konsep matematika juga akan
23
4. Pemahaman Konsep Matematis
Pemahaman konsep matematis merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan
dalam pembelajaran matematika. Djamarah dan Zain (Trianto, 2009:158)
mengatakan bahwa konsep atau pengertian adalah kondisi utama yang diperlukan
untuk menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental
sebelumnya berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan
obyek-obyeknya”. Obyek-obyek yang memiliki kesamaan ciri dikelompokkan menjadi
suatu kesatuan konsep yang setiap orang dapat membedakan atau menggolongkan
dari apa yang dimaksudkan oleh konsep tersebut.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Soedjadi (2000:14), yang menyatakan bahwa
konsep adalah ide abstrak yang dapat digunakan untuk menggolongkan atau
mengklasifikasikan sekumpulan objek. Selanjutnya Slavin (2003:298),
mengatakan bahwa konsep adalah suatu gagasan abstrak yang digeneralisasi dari
contoh-contoh khusus. Sedangkan pemahaman merupakan kemampuan seseorang
untuk mengerti atau memahami sesuatu setelah sesuatu itu diketahui dan diingat.
Dengan kata lain, memahami adalah mengetahui tentang sesuatu dan dapat
melihatnya dari berbagai segi. Seorang siswa dikatakan memahami sesuatu
apabila ia dapat memberikan penjelasan atau memberikan uraian yang lebih rinci
tentang hal itu dengan menggunakan kata-katanya sendiri. Jadi, pemahaman
konsep mempunyai makna dapat mengkomunikasikan definisi konsep yang
bersangkutan dengan kata-katanya sendiri, dapat memikirkan konsep yang
24
yang lain dan sebagai akibatnya dapat mengingat arti dari konsep tersebut selama
periode waktu yang panjang.
Memahami konsep dapat ditunjukkan dalam beberapa cara seperti
meng-identifikasi dan membuat contoh-contoh yang berhubungan dengan konsep
tersebut, mengenali berbagai pengertian dan interpretasi, mengidentifikasi
kesalahan-kesalahan umum yang mungkin terjadi tentang konsep tersebut,
hubungkan, membandingkan, dan membedakan dengan konsep lain dan
meng-aplikasikan konsep tersebut pada situasi yang baru dan kompleks.
Dalam proses pembelajaran, konsep juga memiliki kegunaan-kegunaan. Hamalik
(2002:164) menyatakan bahwa ada beberapa kegunaan konsep dalam suatu
pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Konsep mengurangi kerumitan lingkungan.
2. Konsep membantu siswa untuk mengidentifikasi objek-objek yang ada di
sekitar mereka.
3. Konsep dan prinsip untuk mempelajari sesuatu yang baru, lebih luas dan lebih
maju. Siswa tidak harus belajar secara konstan, tetapi dapat menggunakan
konsep-konsep yang telah dimilikinya untuk mempelajari sesuatu yang baru.
4. Konsep mengarahkan kegiatan instrumental.
5. Konsep memungkinkan pelaksanaan pengajaran.”
Kemampuan pemahaman konsep matematis merupakan salah satu tujuan penting
dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan
pada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu. Dengan
25
Pemahaman matematis juga merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang
disampaikan oleh guru, sebab guru merupakan pembimbing siswa untuk mencapai
konsep yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan Carpenter (Ulfa, 2011:15) yang
menyatakan, “salah satu ide yang diterima secara luas dalam pendidikan
matematika adalah bahwa siswa harus memahami matematika”
Pada proses belajar mengajar, pemahaman konsep dapat dilihat melalui hasil
be-lajar siswa. Hasil bebe-lajar merupakan perubahan tingkah laku sebagai aki-bat dari
proses belajar atau kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan
belajar. Berkenaan dengan hal tersebut Dimyati (2006:3) mengungkapkan hasil
belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.
Menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen Depdiknas Nomor 506/C/Kep/PP/2004
tanggal 11 November 2004 penilaian perkembangan anak didik dicantumkan
dalam indikator dari kemampuan pemahaman konsep sebagai hasil belajar
mate-matika. Indikator tersebut adalah:
a. Menyatakan ulang suatu konsep
b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu c. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep
d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika e. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep
f. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu g. Mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.”
B.Kerangka Pikir
Penelitian tentang pengaruh penggunaan alat peraga terhadap pemahaman konsep
matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung pada pembelajaran
26
ini, yang menjadi variabel bebas adalah penggunaan alat peraga serta variabel
terikatnya adalah pemahaman konsep matematis.
Belajar adalah aktivitas yang dapat menghasilkan perubahan dalam diri
sese-orang. Perubahan seseorang yang awalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan
hasil dari proses belajar. Banyak ditemui hasil belajar yang diperoleh siswa di
kelas tidak bertahan lama. Hal ini bisa terjadi karena proses belajar yang
dialaminya di dalam kelas kurang bermakna. Siswa hanya dituntut untuk merima,
menghafal, dan menggunakan konsep-konsep yang diberikan oleh guru tanpa ikut
berperan aktif dalam pembelajaran.
Untuk meningkatkan peran siswa dalam pembelajaran, diperlukan pembelajaran
yang bermakna yang tidak lagi berpusat pada guru, tetapi pembelajaran yang
sepenuhnya berpusat pada siswa. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
merupakan konsep belajar yang mengaitkan materi pembelajaran dengan
kehidupan sehari-hari, sehingga diharapkan siswa dapat mengaplikasikan
ilmunya.
Obyek matematika yang abstrak menyebabkan kesulitan bagi siswa dalam
mempelajarinya. Konsep-konsep yang abstrak tersebut akan lebih mudah
di-pahami oleh siswa jika dikaitkan dengan kehidupan nyata siswa. Pengaitan dalam
kehidupan nyata dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga. Selain siswa
akan mengalami pembelajaran yang bermakna, diharapkan siswa juga lebih
tertarik dalam mempelajari ilmu-ilmu matematika. Oleh sebab itu, pembelajaran
matematika dengan pendekatan kontekstual disertai denagn alat peraga dianggap
27
sepenuhnya. Dengan alat peraga siswa mampu melihat serta mempraktekkan yang
mereka pelajari serta pembelajaran pun akan menyenangkan.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual disertai alat peraga bukan hanya
sekedar mendengar dan mencatat, tetapi belajar adalah proses berpengalaman
secara langsung. Melalui proses berpengalaman itu diharapkan siswa
mengonstruksi sendiri pengetahuannya, serta menemukan sendiri konsep yang
dipelajarinya.
Salah satu komponen dalam pembelajaran kontekstual adalah masyarakat belajar
(learning community). Siswa diharapkan mampu bekerja sama dalam
ke-lompoknya untuk menemukan pengetahuan baru. Maka dalam pembelajaran ini,
siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, dengan anggota 4-5 orang yang
kemampuannya heterogen. Masing-masing kelompok diberikan masalah yang
sama dan diselesaikan secara bersama-sama dalam kelompoknya. Dengan
de-mikian siswa dapat berperan aktif dalam pembelajaran dan siswa dapat
memperagakan dan melihat secara langsung melalui alat peraga, yang akan
berdampak pada meningkatnya pemahaman konsep matematis siswa dalam
jangka panjang.
C.Anggapan Dasar
Anggapan dasar dalam penelitian ini adalah faktor lain yang mempengaruhi
pemahaman konsep matematika siswa, selain alat peraga dianggap memiliki
28
D.Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh penggunaan alat peraga
terhadap pemahaman konsep matematis siswa kelas VII MTs Negeri 2 Bandar
III. METODE PENELITIAN
A. Populasi dan Sampel
Penelitian ini dilakukan di MTs Negeri 2 Bandar Lampung dengan populasi siswa
kelas VII yang terdiri dari 10 kelas yaitu kelas unggulan 1, unggulan 2, dan kelas
A sampai dengan H, seperti terlihat pada tabel.
Tabel 3.1 Daftar Kelas VII MTs Negeri 2 Bandar Lampung
No Kelas Guru Pengajar Matematika Keterangan
1 Unggulan 1 Wahyu Widodo Unggulan
2 Unggulan 2 Wahyu Widodo Unggulan
3 VII A Yuli Ismaya Super Reguler
4 VII B Yuli Ismaya Super Reguler
5 VII C Asnah Yusfit Super Reguler
6 VII D Asnah Yusfit Reguler
7 VII E Asnah Yusfit Reguler
8 VII F Asnah Yusfit Reguler
9 VII G Rini Sukismi Reguler
10 VII H Rini Sukismi Reguler
Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu dengan
memilih 2 kelas yang memiliki kemampuan yang sama dan diajar oleh guru yang
sama. Berdasarkan kebijakan pihak sekolah, peneliti diberikan kesempatan untuk
30
tidak dipilih karena merupakan kelas super reguler yang siswanya memiliki
kemampuan lebih tinggi dari kelas reguler. Sedangkan untuk VII D, VII E, dan
VII F dipilih kelas yang memiliki kemampuan yang sama. Berdasarkan nilai pada
pokok bahasan bilangan, diketahui rata-rata nilai kelas VII D yaitu 57,78, kelas
VII E memiliki rata-rata 68,42, dan kelas VII F memiliki rata-rata 53,95 sehingga
yang dipilih yaitu kelas VII D yang terdiri dari 36 siswa dan kelas VII F yang
terdiri dari 38 siswa. Dari dua sampel terpilih, satu kelas sebagai kelas
eksperimen dan satu kelas sebagai kelas kontrol. Kelas VII D sebagai kelas
kontrol (pembelajaran dengan pendekatan kontekstual) dan kelas VII F sebagai
kelas eksperimen (pembelajaran dengan pendekatan kontekstual disertai
penggunaan alat peraga).
B. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu (quasi experiment) karena
peneliti tidak dapat mengendalikan semua variabel yang mungkin berpengaruh
terhadap variabel yang diteliti. Variabel yang diukur di dalam penelitian ini
adalah pemahaman konsep matematis siswa. Desain yang digunakan adalah
post-test only control design yaitu terdapat dua kelas sebagai sampel. Kelas pertama
adalah kelas eksperimen, yaitu siswa mendapat pembelajaran matematika dengan
pendekatan kontekstual disertai dengan penggunaan alat peraga. Kelas kedua
adalah kelas kontrol, yaitu siswa yang mendapat pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual tanpa penggunaan alat peraga. Kemudian diakhir pembelajaran pada
31
Desain penelitian yang diterapkan seperti pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.2 Desain Penelitian
Kelas Perlakuan Postest
E X O1
K Y O2
Keterangan:
E = Kelas eksperimen K = Kelas kontrol
X = Pembelajaran kontekstual disertai penggunaan alat peraga Y = Pembelajaran kontekstual
O1 = Hasil posttest kelas eksperimen O2 = hasil posttest kelas kontrol
C. Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pemahaman konsep
matematis siswa yang berupa data kuantitatif yang diperoleh dari tes subsumatif
pada dua kelas yang dijadikan sampel penelitian setelah selesai mengikuti
pembelajaran menggunakan model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
disertai alat peraga dan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual.
D. Teknik Pengumpulan Data
Data pemahaman konsep matematis siswa dikumpulkan melalui tes. Instrumen
tes yang dapat dibuat dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang
hendak dicapai. Tes pemahaman konsep matematis ini berbentuk esai yang setiap
soalnya mengukur satu indikator pemahaman konsep matematis yaitu menyatakan
ulang suatu konsep, mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu,
32
bentuk representasi matematika, mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup
suatu konsep, menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi
tertentu, mengaplikasikan konsep atau algoritma pemecahan masalah.
Sebelum diujikan, perangkat tes dikosultasikan dengan dosen pembimbing dan
guru mitra untuk diperiksa validitas isinya. Sebuah tes dikatakan memiliki
validitas isi apabila mengukur tujuan khusus tertentu yang sejajar dengan materi
atau isi pelajaran yang diberikan (Arikunto, 2005:67). Setelah dilakukan
konsultasi, perangkat tes telah sesuai dengan kompetensi dasar dan indikator,
sehingga tes dikategorikan valid.
Setelah perangkat tes dinyatakan valid, maka perangkat tes diujicobakan. Uji
coba dilakukan di luar sampel penelitian, yaitu diujicobakan di kelas unggulan 1.
Setelah diujicobakan, selain perangkat tes dinyatakan valid, perangkat tes juga
diukur tingkat reliabilitas, tingkat kesukaran, dan daya pembeda soal dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
1. Uji Reliabilitas
Untuk mengetahui tingkat reliabilitas tes, soal tes yang akan digunakan
diujicobakan di luar sampel. Menurut Arikunto (2005:109-111) untuk
menentukan tingkat reliabilitas instrumen tes digunakan rumus Alpha.
33
X : jumlah kuadrat semua data
Nilai r11yang diperoleh merupakan koefisien korelasi keseluruhan soal. Tinggi
rendahnya korelasi merupakan tinggi rendahnya tingkat reliabilitas soal. Untuk
mengetahui tingkat korelasi dapat mempergunakan daftar berikut:
1. 0,80 ≤
r <0,60 Korelasi sedang
4. 0,20 ≤
11
r < 0,40 Korelasi rendah
5. 0,00 ≤
11
r <0,20 Korelasi sangat rendah.”
Berdasarkan hasil uji coba dan dilakukan perhitungan indeks reliabilitas tes
pemahaman konsep matematis, diperoleh r11 sebesar 0,53 yang berarti soal tes
yang digunakan memiliki tingkat korelasi sedang. Angka ini menunjukkan bahwa
34
2. Tingkat Kesukaran
Tingkat kesukaran digunakan untuk menentukan derajat kesukaran suatu butir
soal. Seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (2012:225), untuk mengetahui
tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan rumus:
Keterangan:
P : Indeks tingkat kesukaran suatu butir soal
JT : Jumlah skor yang diperoleh siswa pada suatu butir soal
IT : Jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa pada suatu butir soal
Untuk menginterpretasikan tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria
indeks kesukaran menurut Arikunto (2012:225) sebagai berikut:
Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Kesukaran
Nilai Interpretasi
0,00 – 0,30 Soal sukar
0,31 – 0,70 Soal sedang
0,71 – 1,00 Soal mudah
Setelah dilakukan uji coba soal tes pemahaman konsep matematis di luar sampel,
interpretasi soal yang diperoleh adalah soal mudah dan sedang ( data dapat dilihat
pada lampiran).
3. Daya Pembeda
Analisis daya pembeda dilakukan untuk mengetahui apakah suatu butir soal dapat
membedakan siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa yang
berkemam-puan rendah. Untuk menghitung daya pembeda, terlebih dahulu diurutkan dari
35
Kemudian dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang memiliki nilai
tertinggi (disebut kelompok atas) dan kelompok yang memiliki nilai terendah
(disebut kelompok bawah). Menurut Arikunto (2012:232), untuk menentukan
daya pembeda digunakan rumus:
Keterangan:
DP : Indeks daya pembeda suatu butir soal
JA : Jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah JB : Jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah IA : Jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah)
Hasil perhitungan daya pembeda menurut Arikunto (2012:232) diinterpretasikan
berdasarkan klasifikasi seperti yang tertera dalam tabel.
Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda
Nilai Interpretasi
Negatif Tidak baik
0,00 0,20 Jelek (Poor)
0,21 0,40 Cukup (Satisfactory)
0,41 – 0,70 Baik (Good)
0,71 – 1,00 Baik sekali (Excellent)
Setelah dilakukan pengujian terhadap tes pemahaman konsep matematis, indeks
daya pembeda yang diperoleh berkisar 0,28 0,72. Hal ini menunjukkan bahwa
36
E. Teknik Analisis Data dan Pengujian Hipotesis
1. Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian dilakukan untuk menguji kebenaran hipotesis yang
diajukan. Untuk melihat keberartian perbedaan kedua sampel maka digunakan
uji-t. Uji-t hanya dapat digunakan jika data sampel memenuhi dua syarat, yaitu
sampel berasal dari polulasi yang berdistribusi normal dan kedua kelas memiliki
varians yang homogen. Oleh karena itu, sebelum pengujian hipotesis data
pemahaman konsep matematis siswa, dilakukan pengujian normalitas dan
homogenitas. Menurut Sudjana (2005: 273), pengujian normalitas untuk masing-
masing data dilakukan dengan Uji Chi-Kuadrat dengan hipotesis sebagai berikut.
Hipotesis : H0 : sampel berdistribusi normal
H1 : sampel tidak berdistribusi normal
Setelah dilakukan perhitungan, untuk kelas eksperimen diperoleh = 1,39.