• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menelaah Kewenangan Pra Peradilan Dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Menelaah Kewenangan Pra Peradilan Dalam"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM

MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

Oleh: Patty Regina Rafli Fadilah Achmad

Valeryan Natasha

Universitas Indonesia Depok

(2)

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Patty Regina Nama : Rafli Fadilah

NPM : 1106056075 NPM : 1206246313

Program Studi : Ilmu Hukum Program Studi: Ilmu Hukum

Nama : Valeryan Natasha

NPM : 1206251471

Program Studi: Ilmu Hukum Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul :

KEWENANGAN PRAPERADILAN DALAM

MEMUTUS PENETAPAN TERSANGKA

Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami.

Depok, 12 Mei 2015

(3)

D A F T A R I S I

Lembar Orisinalitas...2 Daftar Isi ...3

I. PENDAHULUAN

I.1Pendahuluan...4

II. PEMBAHASAN

II.1Pembahasan...5 II.2 Pandangan Pro Penetapan Tersangka Sebagai Objek

Praperadilan...5 II.2.A Perlindungan Hak Atas Jaminan, Perlindungan dan .Kepastian Hukum...5 II.2.B Progresivitas Hukum...7 II.2.C Ketiadaan Mekanisme Check and Balances Terhadap

Tindakan Penetapan Tersangka...9 II.3 Pandangan Kontra Penetapan Tersangka sebagai Objek

Praperadilan...10 II.3.A Kewenangan Praperadilan Bersifat Limitatif dan Tidak

Dapat Dengan Bebas Dirubah atau

Ditafsirkan...10 II.3.B Penetapan Tersangka Tidak Menimbulkan Kerugian...11 II.3.C Penetapan Tersangka sebagai Satu Kesatuan Proses dengan

Penyidikan...12 II.4 Mekanisme Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan..13

III. PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

I.

(4)

Maraknya kontroversi atas putusan Hakim Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjenpol Budi Gunawan menjadi awal dari perhatian media atas kewenangan Praperadilan memutus penetapan tersangka. Peristiwa ini menjadi pusat perhatian karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sendiri tidak disebutkan bahwa penetapan tersangka adalah salah satu objek gugatan praperadilan.1

Berdasarkan Pasal 1 ayat (10) KUHAP, disebutkan bahwa praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Secara limitatif, wewenang praperadilan dijabarkan dalam Pasal 77 KUHAP, yang mensimbolir praperadilan sebagai suatu lembaga yang berfungsi untuk menguji apakah tindakan/upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik/penuntut umum sudah sesuai dengan undang-undang dan tindakan tersebut telah dilengkapi administrasi penyidikan secara sah atau tidak.2 Selain itu, penjelasan lain di dalam

KUHAP terkait praperadilan disebutkan di dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 97 yang menjabarkan mengenai tuntutan ganti kerugian dan rehabilitasi.

Pertanyaan besar terkait isu ini adalah, dapatkah penetapan tersangka menjadi objek praperadilan yang limitatif jika penetapan status tersebut dilakukan secara tidak sah oleh penyidik dan menimbulkan kerugian bagi pihak terkait? Jika tidak, upaya apa yang dapat dilakukan terhadap proses penetapan tersangka yang tidak sah secara hukum? Tulisan ini akan membahas mengenai kewenangan praperadilan dalam penetapan status tersangka dari kedua sudut pandang, baik pro maupun kontra. Selain itu, penulis juga akan mencoba memberikan saran dan solusi terkait permasalahan ini.

II.

(5)

Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber pada hak habeas corpus, yang memberikan jaminan fundamental terhadap HAM khususnya hak kemerdekaan.3 Penerapan konsep ini pertama kali direalisasikan di Inggris

melalui Habeas Corpus Act 1679 yang memberikan perlindungan dari penangkapan sewenang-wenang dan menjamin peradilan yang cepat.4 Hal serupa

tertuang sebagai prinsip yang melandasi pengaturan mengenai praperadilan di dalam KUHAP.

Pada status quo, manifestasi perlindungan terhadap hak tersebut di dalam KUHAP terbatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan ganti rugi atau rehabilitasi. Dalam Penjelasan KUHAP Pasal 95, disebutkan bahwa ganti rugi atas “kerugian karena dikenakan tindakan lain” yang dapat diperkarakan dalam praperadilan ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.

Lembaga praperadilan bertujuan untuk melindungi pelanggaran hak yang terjadi atau akan terjadi kepada tersangka. Karena pada dasarnya, proses penyidikan melalui upaya paksa seperti yang dijabarkan di atas sudah merupakah bentuk pelanggaran hak yang dijustifikasi oleh aturan hukum. Namun, apabila penyidikan dilakukan secara tidak sah menurut hukum atau bahkan melawan hukum, maka tersangka harus memiliki mekanisme upaya hukum untuk membela haknya.

II.2 Pandangan Pro Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan II.2.APerlindungan Hak Atas Jaminan, Perlindungan dan Kepastian Hukum

Pada hakikatnya, keberadaan pranata praperadilan adalah sebagai bentuk pengawasan dan mekanisme keberatan terhadap proses penegakan hukum yang terkait erat dengan jaminan perlindungan hak asasi manusia.5 Kewenangan

praperadilan memutus penetapan tersangka merupakan upaya untuk mengisi kekosongan hukum perihal mekanisme apabila penetapan tersangka oleh penyidik dilakukan secara tidak sah menurut hukum, misalnya apabila penetapan tersangka tidak berdasarkan dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur didalam Pasal 184 KUHAP.6 Kekosongan hukum sejatinya dapat menimbulkan suatu ketidakpastian

hukum (rechtsonzekerheid).7 Hal ini tidaklah sesuai dengan konsep Negara hukum

(6)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sebagai Negara hukum dalam tataran ideal yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik maupun ekonomi.8 Dimana, salah satu

ciri Negara hukum menurut Julius Stahl adalah perlindungan hak asasi manusia.9

Dalam segi yuridis salah satu perlindungan hak ini diejawantahkan didalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) yang menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Kepastian hukum ini jelas tidak akan tercapai ketika permasalahan yang ada mengenai mekanisme penetapan tersangka yang tidak sah sesuai hukum masih belum ada penyelesaiannya. Padahal jika dikaitkan dengan teori mengenai tujuan hukum yang dikemukakan Gustav Radbuch, salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan kepastian hukum, dan jika hukum positif isinya tidak adil dan gagal untuk melindungi kepentingan rakyat, maka undang-undang seperti ini adalah cacat secara hukum dan tidak memiliki sifat hukum, sebab hukum itu pada perinsipnya untuk menegakkan keadilan.10 Adapun isi

KUHAP terkait dengan praperadilan jika dikaitkan dengan penetapan tersangka sifatnya multitafsir terhadap berbagai interpretasi.11 Ketentuan yang bersifat

multitafsir mengakibatkan ketidakpastian hukum melanggar asas lex certa dan lex stricta, serta bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan yang secara nyata bertentangan dengan prinsip due process of law sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3) serta Pasal 28I ayat (5) UUD 1945.12

Hak yang selanjutnya perlu dibahas adalah mengenai perlindungan hukum. Prof. Satjipto Rahardjo mendefinisikan perlindungan hukum sebagai kegiatan memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.13 Dari sudut pandang

(7)

jenisnya, yaitu preventif dan represif.14 Pada perlindungan hukum preventif,

subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Sedangkan, pada perlindungan hukum yang represif tujuannya adalah untuk menyelesaikan sengketa lewat penanganan perlindungan hukum oleh lembaga peradilan. Perlindungan hukum dalam konteks penetapan tersangka dapat mengambil sarana represif, yang bentuknya dapat melalui kebolehan untuk menggugatkan perkaranya ke suatu lembaga, dalam hal ini adalah praperadilan. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum lewat praperadilan ini timbul karena tersangka terkait haruslah memiliki cara untuk melakukan upaya hukum yang sifatnya koreksional terhadap penetapan status tersangkanya.

Kekhawatiran terkait perlindungan hukum terhadap tersangka ini juga disuarakan oleh Anwar Usman, Hakim Anggota dalam perkara terkait di Makhamah Konstitusi, bahwa setiap tindakan penyidik yang tidak memegang teguh prinsip kehati-hatian dan diduga telah melanggar hak asasi manusia dapat dimintakan perlindungan kepada pranata praperadilan. Terkait limitasi dalam Pasal 1 angka 10 juncto Pasal 77 huruf a KUHAP, Hakim Anwar mengatakan bahwa penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang di dalamnya kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk dalam perampasan hak asasi seseorang.15

II.2.B Progresivitas Hukum

Formulasi kewenangan praperadilan di dalam KUHAP didasarkan pada pertimbangan bahwa upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik secara tidak sah menurut hukum dapat menimbulkan kerugian atas hak seorang tersangka. Upaya paksa dalam konteks ini termasuk penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan.16 Dengan kata lain, penetapan tersangka per se tidak

dapat dikategorikan sebagai upaya paksa.

Namun, seiring dengan perkembangan kehidupan di masyarakat, penetapan tersangka nampaknya berpotensi besar menimbulkan kerugian bagi tersangka yang telah ditetapkan statusnya sehingga belum menjadi isu krusial.17 Hal ini

(8)

memberikan kesan buruk terhadap penetapan status tersangka seseorang, sehingga mencemari nama baik tersangka terkait. Selain itu, keberadaan pasal terkait penetapan tersangka dalam beberapa undang-undang yang mengatur mengenai lembaga negara seperti KPK dan Polri, menyebabkan kerugian yang berakibat hukum pada tersangka.18 Dalam Pasal 33 ayat (2) UU KPK, disebutkan bahwa

“Dalam hal Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya.” Hal serupa tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2003, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dijadikan tersangka/terdakwa dapat diberhentikan sementara dari jabatan dinas Kepolisian Negara Republik Indonesia, sejak dilakukan proses penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.”

Pasal-pasal tersebut mengindikasian kemungkinan, jika bukan keharusan, bagi Pimpinan KPK dan Anggota Polri untuk mengundurkan diri secara sementara dari jabatannya. Pengunduran diri merupakan suatu akibat yang nyata bagi tersangka terkait, yang jelas sifatnya merugikan karena menyebabkan seseorang kehilangan posisi atau jabatannya. Pertanyaannya sekarang, dapatkah penetapan tersangka menjadi salah satu objek praperadilan, melihat esensinya yang dalam situasi tertentu dapat menimbulkan kerugian bagi tersangka?

Perubahan kondisi di masyarakat seharusnya dapat diakomodasi oleh hukum terutama apabila terjadi kemungkinan pelanggaran hak dan merugikan masyarakat. Hal ini sesuai dengan konsep hukum progresif yang dinyatakan Prof. Satjipto Rahardjo dalam teori hukum progresif, yaitu hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum.19 Berdasarkan pandangan ini maka seharusnya objek

praperadilan perlu diperluas dan tidak hanya terpaku pada konsep awal yang hanya terbatas pada upaya paksa, sehingga penetapan tersangka yang pada hakikatnya bukanlah upaya paksa dapat dijadikan objek praperadilan.

(9)

hak-hak untuk menjadi pejabat publik, ditundanya hak untuk naik pangkat bagi PNS dan TNI/POLRI, dan mulai saat itu pula lah langkah-langkahnya terbatas, untuk bertemu tetangga dan keluarga saja pasti sudah tidak lagi nyaman, apalagi ke tempat-tempat publik atau lingkungan sosial dan hal tersebut akan terjadi dalam waktu yang cukup lama, bahkan anak, istri dan keluarga besarnya juga menanggung beban secara psikologis.20

II.2.C Ketiadaan Mekanisme Check and Balances Terhadap Tindakan Penetapan Tersangka

Segala tindakan penyidik harus dapat diuji berdasarkan doktrin equality of arms. Doktrin ini muncul akibat keadaan yang tidak seimbang antara tersangka/terdakwa dengan Negara (penyidik/penuntut umum). Oleh sebab itu, doktrin ini mendasari posisi yang harus setara antara tersangka dengan penyidik, yang hanya dapat didapatkan, antara lain, melalui pengujian keabsahan tindakan penyidik terhadap tersangka.

Hal ini kemudian lebih jauh dikonfirmasi oleh Hakim Anwar Usman dalam putusan Makhamah terkait. Beliau mengakui bahwa KUHAP tidak memiliki check and balances atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik, karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah.21 Padahal, apabila penetapan tersangka

didasari pada alat bukti yang diperoleh secara tidak sah, maka keabsahan tindakan penetapan tersangka tersebut dapat dipertanyakan. Hakim Anwar mencontohkan putusan New York v. Straus-Kahn,22 dalam menjelaskan kemungkinan pembatalan

kasus di Magistrates Court akibat adanya keraguan terhadap kredibilitas saksi korban.

Ada 3 (tiga) prinsip yang mendasari perlunya mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti, yaitu protection by state, disciplining the police dan legitimacy of verdict.23 Prinsip hak atas protection by state lahir karena

terkadang upaya dari penyidik dalam menemukan alat bukti dilakukan dengan melanggar hak asasi calon tersangka atau tersangka.24 Prinsip disciplining the

(10)

sah, untuk menghalangi penyidik ataupun penuntut umum untuk mengulangi kesalahan mereka.25 Sedangkan, prinsip legitimacy of verdict berfokus pada

legitimasi putusan di mata masyarakat jika putusan dihasilkan lewat pengikutsertaan alat bukti yang tidak sah.26

Selain itu, mekanisme pengujian terhadap penetapan tersangka juga dapat meminimalisir kemungkinan dilakukannya praktek malicious prosecution. Malicious prosecution dalam tradisi hukum common law didefinisikan sebagai perbuatan melawan hukum yang dilakukan secara sengaja oleh penyidik. Selain membahas mengenai proses yang melawan hukum, unsur lainnya dalam malicious prosecution adalah: (1) secara sengaja dan dengan melawan hukum melakukan tindakan hukum yang dilakukan (2) tanpa tujuan yang pantas dan (3) mengesampingkan kepentingan korban dari malicious prosecution.27 Konsep

tersebut merupakan respon atas adanya kemungkinan penyelewenangan kewenangan yang dilakukan oleh penyidik selaku penegak hukum. Dalam hal ini, salah satu bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh penyidik adalah berbentuk penetapan tersangka yang tidak didasari pada alas hak yang sah. Di Indonesia istilah ini lebih dikenal dengan nama “kriminalisasi,” meskipun pada akhirnya nomenklatur tersebut tidak sesuai dengan kaidah dan asas hukum yang berlaku, sehingga lebih tepat apabila digunakan istilah malicious prosecution. Dikarenakan penetapan status tersangka merupakan bagian dari proses penyidikan, maka di dalamnya terdapat kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik yang termasuk perampasan hak asasi seseorang.28

II.3 Pandangan Kontra Penetapan Tersangka sebagai Objek Praperadilan II.3.A Kewenangan Praperadilan Bersifat Limitatif dan Tidak Dapat Dengan Bebas Dirubah atau Ditafsirkan

(11)

dalam KUHAP bersifat limitatif. Pengaturan limitatif ini dibuat semata-mata untuk menjamin proses penegakan hukum yang sejalan dengan hukum acara.

Pasal 77 KUHAP secara tegas dan limitatif telah mengatur tindakan hukum apa saja yang dapat diuji pada praperadilan sebagaimana yang telah dijabarkan dalam pendahuluan. Dalam ketentuan Pasal 77, tidak diatur mengenai penetapan tersangka. Tidak ada kata atau frasa dalam Pasal 77 yang dapat ditafsirkan sebagai penetapan tersangka ataupun termasuk penetapan tersangka. Maka jelas bahwa Pasal 77 telah mengatur apa yang dapat diuji di praperadilan, dan hal tersebut tidak termasuk penetapan tersangka.

Masuknya penetapan tersangka sebagai salah satu objek praperadilan adalah suatu hal yang tidak terdapat di KUHAP, baik dalam bentuk penafsiran ataupun penambahan. Terbukanya penafsiran yang luas justru bertolakbelakang dengan filosofi hukum acara pidana yang limitatif dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28 D UUD NRI 1945. Ketidakpastian hukum tersebut muncul dikarenakan pasal-pasal dalam KUHAP yang seharusnya sudah jelas dan ketat penafsiran dan pengawasan pelaksanaannya, sekarang dapat ditafsirkan dan ditambah dengan makna yang sebelumnya tidak ada di dalam KUHAP. Menurut Eddy O.S. Hiariej, saksi ahli pemohon dalam perkara terkait di Makhamah, aturan hukum acara pidana yang bersifat multitafsir jelas bertentangan dengan kepastian hukum yang adil.

Selain itu, penafsiran ini juga tidak sesuai dengan asas noscitur a sociis.30

Asas noscitur a sociis mendasarkan bahwa suatu kata atau istilah harus diartikan dalam rangkaiannya, dalam arti bahwa istilah itu harus dimaknai dalam kaitan associated with-nya.31 Sedangkan, dalam hal ini, penetapan tersangka tidak

termasuk rangkaian (associated with) pengertian upaya paksa, maka tidak dapat diartikan sebagai objek praperadilan.

II.3.B Penetapan Tersangka Tidak Menimbulkan Kerugian

(12)

Hal ini semakin diperkuat oleh adanya asas praduga tidak bersalah (pressumption of innocence), dimana seorang tersangka atau terdakwa dinyatakan tidak bersalah hingga pengadilan menyatakannya bersalah.32 Asas ini dipertegas

dalam Penjelasan Umum KUHAP butir (3)(c) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

M. Yahya Harahap berpendapat bahwa dengan adanya asas ini, tersangka akan ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat dan martabat, dinilai sebagai subjek dan bukan objek. Artinya, yang diperiksa dalam penyidikan bukanlah manusianya sebagai tersangka, tetapi perbuatan tindak pidana yang dituduhkan kepadanyalah yang menjadi objek pemeriksaan.33 Hal ini

mengindikasikan bahwa penetapan seorang tersangka tidak akan menimbulkan kerugian atas manusia yang ditetapkan status tersangkanya karena keberadaan asas praduga tak bersalah, karena yang dikenakan upaya paksa dalam proses penyidikan adalah atas perbuatan tindak pidana yang dituduhkan, bukan manusia tersangkanya. Di luar daripada itu, manusia yang ditetapkan statusnya sebagai tersangka tetap dipastikan dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan sebaliknya.

Pengejewantahan asas ini nampak jelas dalam implementasi pemberian hak-hak tersangka (dan terdakwa). Hak-hak tersangka diatur di dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP. Pemberian hak-hak ini meliputi hak untuk segera diproses perkaranya, hak dalam pembelaan, hak dalam memberikan keterangan secara bebas, hak untuk mendapat bantuan hukum, hak untuk mendapat kunjungan dokter/perawatan medis, hak untuk berhubungan dengan keluarga, hak untuk surat menyurat, hak untuk mendapat kunjungan kerohanian, hak untuk tidak dibebani beban pembuktian, dan sub-hak lainnya.34 Berdasarkan

hak-hak ini nampak jelas bahwa penetapan tersangka tidak menimbulkan kerugian bagi tersangka yang ditetapkan statusnya.

(13)

pelanggaran hak. Berdasarkan Pasal 28 J Ayat (2) UUD NRI 1945, “Dalam menjalani hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang ,” yang artinya pembatasan hak yang didasari oleh undang-undang adalah dibenarkan dan bukan merupakan suatu pelanggaran.

II.3.C Penetapan Tersangka sebagai Satu Kesatuan Proses dengan Penyidikan

Proses hukum formil bergantung pada sumber hukumnya, yaitu KUHAP. Di dalam KUHAP, hanya ada definisi “tersangka,” serta tidak ada penjelasan langsung dan eksplisit terkait penetapan tersangka itu sendiri. Di sisi lain, bahkan terminologi “tersangka”-pun bergantung pada keberadaan “bukti permulaan,” yang juga tidak ditentukan batasan yang jelas di dalam KUHAP.35

Praperadilan terhadap penetapan tersangka sebetulnya tidak memiliki dasar formil. Tidak hanya karena bukan merupakan salah satu objek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP, tetapi juga karena definisi “penetapan tersangka” dan “bukti permulaan” bahkan tidak ada perumusannya di dalam KUHAP.

Hal ini berbeda dengan objek praperadilan yang tertera dalam Pasal 77 KUHAP, yang sudah secara terang dan jelas dirumuskan di dalam KUHAP arti dan cakupan tindakannya.36 Oleh sebab itu, penetapan tersangka sangat tidak

mungkin menjadi objek praperadilan, karena praperadilan sebagai salah satu perwujudan nyata hukum acara di Indonesia tidak dapat memutus hal yang bahkan belum jelas ketentuan formilnya.

II.4Mekanisme Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan

Penetapan tersangka dapat dijadikan sebagai objek praperadilan melalui mekanisme revisi terhadap KUHAP dalam pasal-pasal terkait wewenang praperadilan.

Penulis menawarkan bahwa penetapan tersangka yang dapat dijadikan sebagai objek praperadilan hanyalah penetapan tersangka yang:

(14)

Kedua ketentuan ini haruslah berlaku secara kumulatif. Apabila telah memenuhi kedua unsur ini, maka penetapan tersangka tersebut dapat diperkarakan melalui proses yang sama seperti objek praperadilan lainnya.

III. PENUTUP

Saat ini pada status quo, penetapan status tersangka belum menjadi wewenang praperadilan di dalam hukum positif di Indonesia. Dengan adanya berbagai kasus yang marak belakangan ini, penyertaan penetapan status tersangka sebagai objek praperadilan mulai dipertanyakan kemungkinannya.

Pihak yang mendukung penetapan status tersangka sebagai objek praperadilan menyatakan bahwa hal ini dapat dilakukan atas dasar prinsip hukum progresif dan untuk mengisi kekosongan hukum, serta untuk menjamin hak perlindungan hukum tersangka sebagaimana yang dijanjikan di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945.

(15)

1 Indonesia, Undang-Undang tentang KUHAP, Nomor 8 Tahun 1981, Ps. 1 Ayat 10 j.o. Ps. 77

2 Mohammad Hatta, Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Galangpress, 2008, hal. 62 3 O.C. Kaligis, Antologi Tulisan Ilmu Hukum Volume 3, Jakarta: Alumni, 2007, hal. 112 4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 2003, hal. 173

5 Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 28 April 2015. hal. 11

6 Ibid.

7 Sudargo Gautama , Himpunan jurisprudensi Indonesia yang penting untuk praktek sehari-hari (landmark

decision), Jakarta: Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 91

8 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Negara Hukum Indonesia,

http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf, hal. 1

9 Zulfa Simatur, et al., UUD Negara Republik Indonesia 1945; Lembaga-Lembaga Negara beserta

Pimpinannya; Peraturan Perundang-undangan; Kabinet Kerja (Jokowi-JK), Jakarta: Visimedia, 2014, hal. 44

10 Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 5

11 Ibid, Hal. 13

12 Ibid, Hal. 14

13 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Medan: Karolus Kopong, hal. 175. 14 Ibid.

15 Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 13

16 Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstutisionalisme: Advokat, Jakarta: Kata, 2007, hal. 36 17 Ihasanuddin, “MK Putuskan Penetapan Tersangka Termasuk Obyek Praperadilan”,

http://nasional.kompas.com/read/2015/04/28/14064101/MK.Putuskan.Penetapan.Tersangka.Termasuk.Obyek .Praperadilan, diakses pada 28 April 2015

18 Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 28 April 2015. hal. 72

19 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010, hal. 67

20 Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 19

21 Ibid, hal. 10

22 New York v. Strauss-Kahn

23 Paul Roberts & Adrian Zuckerman, Criminal Evidence, Oxford: Oxford University Press, 2010, hal. 179

24 Ibid, hal 182

25 Ibid, hal. 185

26 Ibid, hal. 204

27 e-Study Guide for Civil Liability in Criminal Justice, textbook by Darrell L

28 Putusan Makhamah Agung Nomor 21/PUU-XII/2014, op.cit, hal. 13

29 Ibid, hal. 28

30 Ibid, hal. 25

31 Christopher Enright, Legal Technique, Riverwood: The Federation Press, 2002, hal. 151

32 Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Dalam Tantangan Zaman, Jakarta: EGC, 2007, hal.

59

33 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan, hal.

34

34 Todung Mulya Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia: Catatan Todung Mulya Lubis, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2005. hal. 36 35 Eva Achjani Zulfa (saksi ahli pemohon)

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel di atas kita bisa melihat bagaiamana motif diri menjadi faktor yang penting dalam mengembangkan kegiatan khithabah di kalangan mahasiswa.. Motif diri ini juga

Jika kelima unsur teori komunikasi diaplikasikan ke dalam kegiatan Para Pensiunan Pembaca dan Penulis TTS, adalah yang menerima pesan melalui karya-karya yang dibuat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi zakat dan yang dikeluarkan UMKM mebel ukir dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar melalui BAZNAS

Berdasarkan sifat-sifat fenotif yang diamati secara kualitatif dan kuantitatif pada tanaman Jeruk Besar (Citrus maxima Merr.) faktor lingkungan dan pemeliharaan tanaman

Pada Penelitian ini akan dilakukan analisis model antrian pada antrian penderita Covid-19 di Kota Batam saat ini, serta akan dilakukan simulasi menggunakan metode

Kuku yang relatif melebihi yang normal tumbuh melukai sisi lateral nail groove, kemudian bakteri dan jamur dapat masuk.. Kuku juga dapat dianggap tubuh sebagai benda asing

PERBA PENGARUH ASIMETRI INFORMASI TERHADAP PERUBAHAN HARGA SAHAM PADA PERUSAHAAN SEKTOR PERTAMBANGAN DI BURSA EFEK INDONESIA TAHUN 2008-2012.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan krioprotektan kedalam pengencer sperma terhadap kualitas sperma setelah thawing dan untuk mengetahui tahapan mana