• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM DAN WAJAH HAKIM DALAM DINAMIKA HUKUM ACARA PERADILAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUKUM DAN WAJAH HAKIM DALAM DINAMIKA HUKUM ACARA PERADILAN"

Copied!
156
0
0

Teks penuh

(1)

Farkhani, S.HI., S.H., M.H Evi Ariyani, S.H., M.H

HUKUM DAN WAJAH HAKIM

DALAM DINAMIKA HUKUM

(2)

Hukum dan Wajah Hakim Dalam

Dinamika Hukum Acara Peradilan

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. & Evi Aryani, S.H., M.H.

Hukum dan Wajah Hakim Dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan; Farkhani, S.HI., S.H., M.H. & Evi Ariyani, S.H., M.H.; Editor: Luthfiaba Zahriani & Heni Satar Nurhaida; Solo: Pustaka Iltizam; 2016

156 hlm.; 20,5 cm ISBN: 978-602-7668-76-8

Penulis:

Farkhani, S.HI., S.H., M.H. Evi Ariyani, S.H., M.H.

Editor: Luthfiana Zahriani Heni Satar Nurhaida

Tata Letak: Taufiqurrohman

Cover: naka_abee

Cetakan I : Oktober 2016

Diterbitkan Oleh :

Perum Gumpang Baru

Jl. Kresna No. 1, Gumpang, Kartasura, Solo. Phone : 0271-7652680, HP. 081548542512

(3)

3 Kata Pengantar

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah-kan pada Nabi Muhammad Saw.

Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan atas tersele-saikannya buku yang ada di tangan saudara ini. Harus penulis sampaikan bahwa buku ini adalah penggabungan sedemikian rupa ditambah dengan polesan dari dua penulisnya atas dua penelitian yang dilakukan tahun sebelumnya.

Keinginan untuk tidak sekedar menjadi laporan peneli-tian, mendorong penulis untuk bekerja lebih baik di sela relung waktu yang kosong diantara aktivitas mengajar dan kesibukan mengurusi administrasi perkuliahan, mengubahnya menjadi buku agar dapat dikonsumsi oleh mahasiswa dan khalayak, termasuk kritik konstruktif. Pilihan judul “Hukum dan Wajah Hakim dalam Dinamika Hukum Acara Peradilan” karena pe-nelitian kami berkenaan dengan kinerja hakim dalam ruang sidang. Dissenting opinion, penemuan hukum dan praperadi-lan adalah bagian dari kinerja hakim yang dapat saja dilakukan sewaktu-waktu ketika kasus yang dihadapinya menuntut un-tuk melakukan itu.

(4)

upayanya untuk menghasilkan pendapat, hukum baru atau-pun putusan yang betul-betul harus dapat memenuhi tujuan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Prosedur beracara tetap harus dilalui, dibarengi dengan loncatan berpikir yang biasa-nya out of the box dengan hasil konklusi yang benar-benar brillian. Walaupun kesalahan bisa saja terjadi dan hakim tidak bisa dipidanakan karena persolan kesalahan dalam memberi-kan putusan tapi amemberi-kan dapat berakibat fatal pada keberlangsu-ngan karier dan kredebilitasny sebagai hakim.

Bagi hakim-hakim yang tidak atau belum memiliki ke-beranian untuk menjalankan fungsi hakim yang sesungguhnya karena berbagai alasan, bermain aman, patuh pada prosedur dan teks book, pada satu sisi menguntungkan dirinya namun pada sisi lain hukum menjadi sangat prosedural, rigid, stagnan dan tanpa dinamika yang akan mendorong pendalaman terha-dap pembelajaran hukum, menjadi hukum menjadi ilmu yang kurang menarik dan hanya terukurung dalam teks books and procedures. Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman sebenarnya sudah memberikan jaminan kemerdekaan bagi hakim untuk menggali segala nilai dan norma yang memung-kinkan dapat digunakan untuk memecahkan problem hukum, lokal maupun nasional.

Akhirnya, harapan penulis adalah semoga buku ini ber-manfaat.

Billaahi fii sabiililhaq, fastabiqul khairaat.

(5)

5

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ... 3

DAFTAR ISI ... 5

BANGUNAN HUKUM DAN GERAKAN HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA ... 7

A. Bangunan Hukum Indonesia ... 7

B. Sistem Hukum Indonesia ...15

C. Gerakan Hukum Progresif di Indonesia...22

D. Gerakan Hakim Progresif di Indonesia ...27

WAJAH DAN INTEGRITAS HAKIM ...29

A. Buruk Rupa Hakim Kita ...29

B. Jaminan Kemerdekaan Hakim ...35

WAJAH HAKIM INDONESIA DALAM BEDA PENDAPAT (DISENTING OPINION)DAN PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) ...41

A. Hakim Sebagai Judge Made Law dalam Sistem Hukum Indonesia ...41

B. Perilaku Hakim Indonesia ...45

C. Beda Pendapat (Dissenting Opinion) dan Penemuan Hukum Oleh Hakim ...55

DISSENTING OPINION DAN RECHTSVINDING DALAM PUTUSAN HAKIM (Sebuah Contoh Kecil dari Kinerja Hakim di PN

dan PA Kota Salatiga) ...69

(6)

NEGARA HUKUM DAN KEWAJIBAN MEMBERIKAN JAMINAN PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARANYA ...81

A. Negara Hukum ...81 B. Negara dan Perlindungan Terhadap Warga Negara ...99

PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA ... 103

A. Dinamika Institusi Hukum ...103 B. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Praperadilan di

Indo-nesia ...110 C. Fungsi, Tujuan dan Wewenang Praperadilan...120 D. Pra Peradilan; Sebuah Upaya Perlindungan Terhadap Subyek

Hukum ...123 E. Kebebasan Hakim dalam Pembuatan Putusan ...125

CONTENT ANALYSIS TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN NOMOR: O4/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. ... 133

A. Pemberantasan Korupsi dan Perlawanan Balik Koruptor 133 B. Analisis Prosedur Hukum Putusan Nomor: O4/Pid.

Prap/2015/PN.Jkt.Sel. ...136 C. Content Analysis dari Perspektif Idealitas Putusan Hakim ...

138

DAFTAR PUSTAKA ... 149

(7)

7 Bangunan Hukum dan Gerakan

Hukum Progresif di Indonesia

BANGUNAN HUKUM DAN GERAKAN

HUKUM PROGRESIF DI INDONESIA

A. Bangunan Hukum Indonesia

Sejak kemerdekaan Indonesia, negara ini dengan tegas menyatakan bahwa negara ini adalah negara hukum. Pernya-taan yang tertera tegas dalam konstitusi UUD 1945 ini bukan persoalan sepele bagi negara yang baru saja memerdekakan dirinya setelah lebih dari 3,5 abad dalam kangkangan jajahan beberapa negara Eropa dan Jepang. Sebab identitas dan bangu-nan hukum atas nama Indonesia dalam arti produksi legislasi Indonesia belum dapat memproduk berbagai aturan hukum yang melingkupi seluruh kebutuhan masyarakat Indonesia, ke-cuali konstitusi UUD 1945 yang bersifat sementara dan sangat simpel.

Keberanian menetapkan sebagai negara hukum bagi ne-gara yang baru saja lahir menjadi nene-gara merdeka merupakan keputusan dan kesepakatan politik yang sungguh sangat bera-ni, untuk tidak mengatakan terlalu gegabah dan terburu-buru. Karena menetapkan diri sebagai negara hukum berarti menun-tut pemerintah yang baru terbentuk untuk memegang teguh paradigma awal lahirnya istilah negara hukum.

(8)

kehidu-pan bernegara. Aristoteles mensejajarkan hukum (keadilan) dengan akal (kecerdasan dan bahkan dewa, sehingga barang-siapa memberi tempat bagi hukum untuk memerintah, berarti memberi tempat bagi dewa dan akal serta kecerdasan untuk memerintah, berarti pula telah memberi tempat bagi binatang buas, sebab menurut Aristoteles betapapun bijaksananya ma-nusia, ia tetap memiliki keinginan dan nafsu yang dapat men-dorongnya menjadi binatang buas dan menjadi makhluk yang paling rendah. Dengan demikiaan hukumlah yang patut me-miliki kedaulatan tertinggi dan hukumlah yang layak menjadi sumber kekuasaan dalam suatu negara. (Siti Fatimah, 2005: 23-24). Padahal belum ada perangkat hukum yang dibuat ke-cuali konstitusi yang sementara dan simpel itu (UUD 1945).

Sifat sementara dan simpel ini didasarkan pada statemen Bung Karno saat berpidato pada sidang PPKI tanggal 18 Agus-tus 1945;

“tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Un-dang-Undang Dasar sementara, UnUn-dang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap” (A.B. Kususma, 2004: 470)

(9)

9

situasi peralihan kekuasaan selain undang-undang dasar. Bila demikian adanya, menurut Hans Kelsen (2008: 315) negara harus dipresentasikan sebagai makhluk pribadi yang berbeda dari hukum, dengan maksud agar hukum dapat membenarkan negara, jika negara benar dan menyalahkan negara jika negara salah (pen).

Apalagi diktum keramat “negara hukum” secara tegas di-jelaskan dalam penjelasan UUD 1945 pra amandemen adalah

rechtstaat. Padahal menjadikan dan membangung negara hu-kum adalah persoalan pelik. Buktinya adalah pembangunan negara hukum sejak kemerdekaan belum juga selesai dengan baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Indonesia menjadi terkenal di dunia sebagai negara dengan sistem hukum yang sangat buruk. Yang dimaksud dengan pembangunan hukum yang belum selesai disini, menurut Satjipto Rahardjo (2007: 46-47) adalah bagaimana menjadikan negara hukum itu sua-tu organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah yang menyenangkan, menyejahterakan dan membahagiakan bangsa Indonesia.

Pemilihan aliran negara hukum ini (rechtstaat) juga mem-bawa konsekuensi tersendiri sebagaimana juga bila memilih model rule of law dan Islamic law. Mengapa model-model aliran atau sistem hukum ini diungkapkan? Karena sangat mungkin atau ada peluang dari masing-masing sistem hukum tersebut untuk diadopsi oleh negara Indonesia yang baru merdeka ini. Alasan simplistiknya adalah; rechtstaat, karena negara ini per-nah dijajah oleh beberapa negara Eropa yang menganut model

civil law, terutama Belanda. Adapun rule of law, karena Indo-nesia juga pernah dijajah oleh Inggris –negara hukum com-mon law- walau tidak begitu lama. Adapun kesempatan untuk menggunakan islamic law adalah mayoritas politisi dan

(10)

duduk Indonesia adalah Islam, bahkan sempat terjadi perde-batan sengit tentang salah satu norma hukum dalam Pancasila.

Pilihan negara hukum rechtstaat oleh founding fathers da-pat dipahami dengan beberapa alasan berikut ini, diantaranya;

1. Bahwa Indonesia adalah wilayah yang dijajah oleh Belanda selama 3,5 abad. Kurun waktu yang lama tersebut, menjadi waktu yang sangat baik bagi Belanda untuk menanamkan semua sistem hukum yang dianutnya untuk ditransplan-tasikan ke dalam negara jajahannya. Oleh karena kendala situasi dan kondisi yang dihadapi, pilihan model negara hukum rechtstaat adalah yang paling memungkinkan un-tuk menghindari facum of law (kekosongan hukum), ketia-daan hukum yang mengatur kehidupan masyarakat Indo-nesia yang baru meredeka.

2. Hukum-hukum warisan Belanda dengan berbagai pranata hukumnnya yang telah establish dalam waktu lama dan dipatuhi, menjadi jalan keluar yang paling mudah dan se-mentara untuk menutup ruang kosong hukum yang belum disusun secara matang dan komprehensif oleh pemerintah Indonesia.

3. Bahwa bagi negara yang baru merdeka, kemerdekaan, ke-daulatan politik dan pengakuan dari dunia internasional menjadi urusan yang sangat mendesak dan penting. Anca-man dari bangsa asing atas suatu bangsa yang telah merde-ka amerde-kan menjadi alasan yang semakin kuat bagi bangsa tersebut untuk mempertahankan kemerdekaannya.

(11)

11

Setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, ter-nyata kehidupan masyarakat dan bangsa ini masih banyak dia-tur oleh produk-pruduk hukum kolonial. Galibnya, justru pada persoalan-persoalan pokok dalam kehidupan bermasyarakat bangsa ini, belum juga bisa melepaskan diri dari kekang produk hukum kolonial, buktinya Kitab Undang-Undang Hu-kum Pidana (KUHPid), Kitab Undang-Undang HuHu-kum Perdata (KUHPerdt) dan hukum acaranya. Produk-produk hukum kolo-nial itu tidak juga berubah, apalagi diganti, hanya penghapusan beberapa pasal saja yang dirasa sudah tidak relevan dan me-langgar hak-hak asasi manusia secara mendasar.

Bagi sebuah bangsa yang merdeka, persoalan hukum yang demikian tersebut dianggap bagian dari sebuah ironi negara yang merdeka. Sebagai bangsa merdeka tidak seharusnya menjadi pewaris yang loyal terhadap perangkat undang-un-dang pemerintah Kolonial. Karena pada hakekatnya, penjajah itu masih kokoh mencengkeram negara dan bangsa ini, bukan

dalam bentuk fisik tapi dalam bentuk lainnya, dalam hal ini

produk-produk hukumnya yang masih eksis mengatur jantung kehidupan masyarakat Indonesia. Bagaimanapun produk-produk hukum kolonial harus dirubah dan diperbarui, karena dasar falsafahnya tidak berpijak pada nilai-nilai moral dan kul-tural masyarakat kita. Disamping itu sebagian materinya sudah tidak sesuai lagi dengan dengan kebutuhan masyarakat dan za-man (Busyro Muqaddas dkk, 1992: vi).

Salah satu bukti bahwa produk hukum kolonial itu tidak sejalan dengan nilai-nilai moral dan kultural masyarakat In-donesia adalah soal perzinahan yang diatur dalam pasal 284 KUHPidana. Delik perzinahan hanya akan jatuh pada salah satu dan atau kedua pezina berstatus dalam ikatan perkawinan yang sah. Sementara itu nilai-nilai dan kultul bangsa Indonesia,

(12)

tidak membenarkan sama sekali hubungan persebadanan tan-pa akad nikah yang sah walaupun didasarkan atas suka sama suka dan tanpa konsekuensi apapun dari hubungan perse-badanan tersebut.

Seiring berlakunya zaman, kondisi hukum di Indonesia be-lum berubah. Kondisi yang bebe-lum berubah ini menggiring pada satu identitas bangunan hukum Indonesia, paling tidak ia akan membentuk satu unsur penting dalam bangunan hukumnya. Memperhatikan historisitas perkembangan dan pembangu-nan hukum di Indonesia, negara ini mengakomodir seluruh sis-tem hukum yang berlaku pada masyarakat Indonesia termasuk

akulturasi budaya dan hukum yang telah memiliki kohesifitas

dan nilai kesejarahannya. Dengan demikian kita dapat melihat bahwa banguna hukum negara Indonesia tegak di atas tiga pi-lar sistem hukum; hukum adat, hukum islam dan hukum kolo-nial.

Bangunan hukum yang demikian khasnya ini menjadikan identitas hukum Indonesia sulit untuk dipersamakan dengan

sistem hukum yang berlaku secara spesifik pada aliran-aliran

hukum tertentu. Bangunan hukum Indonesia tidak identik dengan sistem reachtstaat, bukan pula rule of law dan sulit pula dikatakan sebagai socialist legality, serta sangat jauh dengan identitas dan karakteristik Islamic law.

Sistem hukum negara Indonesia merangkum seluruh kepentingan atau unsur dari sistem yang ada dengan didasar-kan pada satu standarisasi nilai dan norma pada nilai dan nor-ma Pancasila sebagai paramount law di negara ini.

(13)

men-13

gutamakan kepentingan umum (kepentingan negara) sebagia-mana sistem socialist legality. Tidak melepaskan agama namun tetap memerlukan nilai-nilai agama atau ketuhanan. Dengan sistem identitas bangunan hukum yang demikian dapat diten-garai bahwa sistem hukum Indonesia sengaja terbuka (Artidjo Alkotsar, 1997: 26) untuk berbagai unsur hukum yang ada asal sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yng didasarkan pada Pancasila. Dengan sistem yang seperti ini, berarti membu-ka diri untuk senantiasa menyesuaimembu-kan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman yang mendorong akselerasi pembangu-nan masyarakat Indonesia yang adil, merata dan sejahtera.

Argumentasi mengenai bangunan hukum Indonesia semacam ini selaras dengan apa yang pernah dikatakan oleh Baharudin Lopa;

“Oleh karenanya hukum nasional yang kita ciptakan itu adalah hukum nasional yang terbuka. Terbuka (luwes), karena siap menerima perubahan-perubahan. Dinamis, karena hukum nasional kita itu harus cepat menerima/ mengikuti perubahan-perubahan itu, sambil tetap menja-ga kepribadian kita yang khas Indonesia.” (dalam Artidjo Alkotsar, 1997: 26)

Sayangnya keinginan yang demikian itu tetap berputar

dalam kumparan positifisme hukum, mengekor pada perkem -bangan hukum yang mendominasi pemikiran hukum barat. Perkembangan yang dimaksudkan adalah, bahwa hukum yang mulanya dibangun, dijabarkan sesaui dengan tatanan nilai yang bersifat transendental (lex eterna; hukum Tuhan/ kodra-ti), hukum para nabi dengan risalah kitab suci yang dibawanya (lex devina), atau berasal dari hukum alam (lex natura) semata, terus bergeser pada pandangan yang melihat peran manusia begitu dominan dalam merumuskan ketentuan aturan hukum

(14)

konsep lex humana, yang cenderung bersifat legalistik nor-matif. Hal ini juga bisa kita temukan pada bangunan hukum Indonesia saat ini.

Filsafat modern yang dikenal dan sangat mempengaruhi paradigma berpikir Barat adalah Positivisme Logis. Paham ini

tidak mengakui metafisika. Mereka hanya mengakui persepsi

panca indera sebagai satu-satunya yang “ada”. Kalangan ilmuan

Barat mengakui bahwa dengan adanya filsafat Positivisme Lo -gis, Barat sukses mencapai hasil yang gemilang dalam

perkem-bangan ilmu pengetahuan (Taufiq Firmanto dalam hukum.

kompasiana.com).

Corak bangunan hukum yang demikian ini, jelas

menegasi-kan berbagai problem hukum yang bersifat metafisis-spirit -ualis-transendentalis yang banyak meliputi kehidupan pada masyarakat Timur dan Tengah khususnya.

Bangunan hukum yang bercorak positifistik legalistik, je -las sangat jauh untuk bisa menjangkau berbagai problem ke-hidupan manusia. Akhirnya berbagai persoalan hukum yang muncul kepermukaan yang seharusnya lebih tepat dan akurat

dilakukan dengan pendekatan non positifisme menjadi bebas,

lepas dan sulit untuk dilakukan pembuktian yang bersifat logis

dalam pandangan positifistik logis ala Barat. Jangankan pada aspek yang metafisis, problem hukum yang fisik dan beraneka

ragam kebutuhan serta peristiwa hukum yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia pun masih banyak yang be-lum dijangkau oleh produk perundang-undangan yang legalis-tik formalislegalis-tik tersebut.

(15)

tero-15

bosan-terobosan hukum, penemuan-penemuan hukum bah-kan kemerdekaan yang luas kepada para juris untuk berbeda pendapat, pandangan atau tafsiran terhadap kasus-kasus hu-kum yang ditanganinya. Bahkan kebebasan hakim untuk mem-berikan alasan terhadap penjatuhan vonis pada kasus yang dihadapinya telah dilindungi oleh undang-undang kehakiman yang terbaru.

Namun sekali lagi, walaupun ruang tersebut dibuka, tetap saja kendala lain semisal kemampuan intelektual, pengalaman dan latar belakang yang berbeda dari para juris akan sangat mempengaruhi lahir atau munculnya terobosan-terobosan yang diharapkan.

Deskripsi singkat berkenaan dengan bangunan hukum Indonesia sebagaimana tersebut di atas, akan semakin dapat dipahami bila kita memahami pula dengan apa yang di sebut “sistem hukum”. Sudah barang tentu dalam hal ini adalah sis-tem hukum Indonesia

B. Sistem Hukum Indonesia

Sistem berasal dari bahasa Yunani, “systema” yang berarti keseluruhan yang terdiri dari bermacam-macam bagian. Se-cara sederhana sistem diartikan sebagai susunan atau tatanan yang teratur, yang terdiri dari bermacam-macam bagian yang menyatu dan bersinergi untuk kokohnya sesuatu (bangunan). Maka sistem hukum dapat diartikan sebagai suatu tatanan atau susunan dari bagian-bagian tertentu yang membentuk bangu-nan hukum tertentu. Ini berarti dalam satu sistem hukum tidak boleh ada bagian-bagian tertentu yang saling bertentangan,

tumpang tindih, ringkih kohesifitas dan lemah kontennya. Bila

problem itu ada dalam sebuah sistem, maka seharusnya sistem

(16)

itu sendiri yang yang harus segera menyelesaikan problemnya hingga tidak berlarut-larut yang mengakibatkan bangunan sis-tem itu semakin buruk.

Sebenarnya tidak banyak sistem hukum yang dianut oleh banyak negara di dunia, dan pada masing-masing negara me-miliki kekhususan tersendiri pada sistem hukum yang men-jadi bangunan dan identitas hukum nasionalnya. Di negara kita, pada awalnya bangunan hukumnya tegak atas tiga sistem hukum yang diakomodir menjadi identitas ataupun ciri khas hukum Indonesia. Ketiga sistem tersebut adalah sistem hukum kolonial (Eropa Kontinental), hukum adat dan hukum Islam. Namun dalam perkembangannya ternyata mulai muncul un-sur-unsur sistem hukum anglo saxon dipraktekan dalam ranah hukum Indonesia dengan muatan dan wajah yang semakin je-las dari waktu ke waktu.

1. Sistem Hukum Eropa Kontinental

Sistem ini bermula dari pandangan Imamanuel Kant men-genai negara, “the union of multitude of men under law of justice”. Hukum negara bertujuan melindungi otonomi indi-vidu berupa kebebasan dan hak milik pribadi sebagai dasar yang diperlukan bagi kemerdekaan individu. Pikiran hukum semacam ini berkembang subur di tanah Eropa daratan, dan abad 19 adalah musim semi yang sangat baik bagi perkem-bangan paradigma. Tokoh-tokoh semacam von Savighny, Josep Stahl, dan LA. Hart lahir di abad ini dan memperkokoh hukum yang bersifat liberal dan individualis ini. Merekalah yang

(17)

17

dan diterima sebagai sesuatu yang alami. Padahal sesungguhn-ya adalah kemenangan kaum borjuis (Satjipto Rahardjo, 2009: 23) yang sedang berjaya pada masa itu, yang pada mulanya hanya memiliki kekuatan ekonomi namun stagnan dalam uru-san politik termasuk hukum di dalamnya.

Konsep hukum yang demikian itu –lebih dikenal dengan sistem rechtstaat-kemudian tersebar keseluruh penjuru dunia lewat kolonialisasi bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa lain-nya di Afrika, Asia dan Amerika.

Di Jerman, rechtstaat adalah bangunan hukum murni yang tidak berhubungan dengan politik. Hans Kelsen adalah orang yang meletakan landasan teori konsep itu. Ia mengatakan, ne-gara adalah tidak lain suatu bangunan hukum, dan isinya tidak lain adalah tentang hukum positif. Dan pertanyaan yang harus dijawab adalah apa dan bagaimana hukum itu dibentuk. Di-dasarkan pada paham ini maka sasaran utama dan satu-satu-nya diarahkan kepada pengetahuan atau mencari tahu tentang “apa itu hukum”. Dengan demikian, segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan hukum harus dikeluarkan, membebas-kan hukum dari unsur-unsur asing dari hukum (Satjipto Ra-hardjo, 2009: 6-7), seperti moral, ajaran agama, nilai-nilai adat

dan segala sesuatu yang spiritual metafisis.

Ciri khusus dari negara dengan sistem hukum Eropa konti-nental adalah; a) adanya perlindungan terhadap hak azazi ma-nusia, b) adanya pemisahan kekuasaan, c) pemerintah harus mendasarkan pada peraturan-peraturan hukum, dan d) ada-nya peradilan administrasi.

(18)

2. Sistem Hukum Adat

Pilar kedua dari bangunan hukum Indonesia adalah sis-tem hukum adat. Sissis-tem hukum adat di Indonesia adalah hasil kristalisasi nilai-nilai asli bangsa Indonesia yg hidup di masyarakat dan dijadikan pedoman bagi seluruh lapisan

masyarakat adat untuk menjalankan aktifitas nya, dan diteg -akkan oleh organisasi adat yang mendapatkan mandat. Nilai-nilai yang dijadikan sebagai pedoman yang pada akhirnya menjadi hukum adat itu adalah nilai-nilai atau yang menjadi aspek –kehidupan yang integral dalam hubungan pribadi den-gan masyarakat, antar masyarakat (kelompok), pribadi atau masyarakat dengan alam dan Tuhan. Corak nilai tersebut di-kategorisasikan; a) nilai magis-relegius, b) nilai komunal, c) nilai kontan, dan d) nilai visual (Soleman B. Taneka, 1987: 88-90). Singkatnya, sistem hukum adat mengakomodir seluruh nilai-nilai kultural kehidupan masyarakat adat.

Indonesia sangat kaya akan sistem hukum ini, karena In-donesia adalah negara yang paling banyak di dunia memiliki suku. Dari ratusan suku yang ada, dapat dikatakan masing-masing memiliki sistem hukum adat tersendiri, yang kemudian

oleh van Vollenhoven diklasifikasikan dalam 19 hukum adat.

Oleh karena hal inilah maka kiranya tidak mungkin setiap kali melakukan pembangunan, pembaharuan hukum mengesamp-ingkan aspek-aspek kehidupan asli (karakter) asli bangsa In-donesia (hukum adat).

Hukum adat bersumber pada peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena bersumber

pada nilai-nilai kehidupan yang tidak terkodifikasikan, hukum

(19)

me-19

nyesuaikan diri dengan perkembangan hidup masyarakatnya, b) tradisionalis, didasarkan pada nilai-nilai yang ditanamkan oleh nenek moyangnya. Dan sistem hukum adat akan tetap ber-tahan hidup tergantung pada kesadaran hukum masyarakat adat tersebut terhadap nilai-nilai hukum dan adat yang diya-kininya.

3. Sistem Hukum Islam

Sangat sedikit sejarahwan yang mengatakan bahwa Islam telah masuk ke Indonesia sejak pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab atau Utsman bin Affan. Mayoritas diantara mereka, berdasarkan fakta-fakta sejarah menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Terlepas dari per-bedaan itu, yang tidak mungkin dipungkiri adalah bahwa Islam sebagai agama yang syamil dan kamil, hanya mengakultur-asikan (mendakwah) sebagian dari sistem ajarannya. Aqidah, syari’ah dan muamalah adalah bagian yang integral dan tidak mungkin dipisah-pisahkan secara parsial dalam dakwah Islam.

Berkenaan dengan hukum Islam, sungguh tidak ada satu ayatpun dalam al-Qur’an maupun satu tekspun dalam al-Had-its yang secara tegas menerangkan hal itu secara epsitimologis. Istilah hukum Islam yang kita kenal saat ini adalah hasil simp-likasi dari term yang bernama syari’ah. Simpsimp-likasi terjemahan dan pemahaman seperti itu tidaklah salah, meskipun sebanyak lima kali kata syari’ah disebutkan dalam kitab suci al-Qur’an, namun konotasi lebih jauh dari kata hukum Islam (Jawahir Thantowi, 2002: 7).

Kesimpulan tentang hukum Islam dan syari’ah yang dike-mukakan oleh Thontowi mendapat kejelasan dari dari be-berapa defenisi hukum yang dikemukakan oleh bebe-berapa ahli

(20)

justru berawal dari terjemahan “Islamic Law” dalam khazanah keilmuan hukum Barat. Diantara pengertian itu sebagai beri-kut beriberi-kut ini;

Joseph Schacht (1964: 1), seorang orientalis mengartikan hukum Islam sebagai keseluruhan kita Allah yang mengatur kehidupan setiap muslim dalam segala aspeknya. Pengertian yang dikemukakan oleh Schatcht ini lebih mendekati penger-tian syari’ah. Adapun Hasby Asy-Syiddiqie (1993: 44) men-gartikan hukum Islam sebagai koleksi daya upaya fuqaha dalam menerapkan syari’at Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Pengertian dari Hasby ini lebih dekat dengan

makna fiqh (Mardani, 2009: 270).

Merujuk pada bebepa pengertian hukum dimuka, maka dapat dipahami bahwa sistem hukum Islam adalah seperang-kat aturan hukum yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan syari’at Islam yang terkadung dalam al-Qur’an dan al-Hadits serta hasil ijtihada para fuqaha yang kompeten di bidangnya. Dalam kontek keindonesian, yang dimaksud dengan hukum Islam adalah ketentuan-ketenatuan hukum sebagaimana

pengertian dimuka yang dikodifikasikan dalam sistem hukum

positif Indonesia.

Pemahaman yang demikian sangat beralasan dari segi his-torisitas pelembagaan hukum Islam dalam masyarakat Indo-nesia sejak awal masa kedatangan Islam ke Nusantara sampai pada saat Orde Refomasi ini. Telah banyak bagian-bagian dari

syari’at Islam yang telah menjadi bagian (positifisasi) yang tak

(21)

21

Sumber utama dari hukum Islam adalah wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits). Keduanya berfungsi sebagai groundnorm yang wajib mengilhami seluruh produk hukum yang menjadi kebu-tuhan bagi setiap pencari keadilan dalam hukum Islam. Teks-teks qath’i wajib dipegang teguh dan tertutup terhadap multi tafsir, namun para fuqaha memberikan peluang lewat ijtihad

yang terbuka dalam upaya penegakannya. Dengan demikian, hukum Islam tidak akan terjerumus dalam kubangan hukum yang bersifat lex humana, yang lepas sama sekali dari pancaran hukum yang telah ditetapkan Tuhan dalam kitab suci. Maqasid

al-Syari’ah dan maslahah lebih diunggulkan daripada mengi-kuti perkembangan kehidupan dan kebutuhan hidup manusia yang bisa positif dan dapat pula negatif.

Walaupun telah jelas bahwa bangunan hukum Indonesia terdiri dari tiga sistem tersebut, dalam prakteknya yang paling dominan dan paradigma hukum yang dipegangi dengan teguh oleh para penegak hukum, pemerintah dan legislator kita ada-lah merujuk pada sistem rechtstaat model eropa kontinental

yang legalistik positifistik. Sebuah sistem yang lebih mement -ingkan bentuk dari pada substansi, lebih memegang teguh prosedur daripada keadilan yang hakiki. Oleh karenanya pen-carian keadilan (searching for justice) bisa menjadi gagal hanya karena persoalan melanggar prosedur. “semua penanganan kasus harus sesuai dengan prosedur yang berlaku”, (Adji Same-kto, 2008: 33-34) demikian ungkapan yang sampai saat ini tetap dipertahankan dalam setiap menangani peristiwa hukum yang terjadi. Maka tidak jarang sebuah peristiwa hukum yang harusnya dapat diselesaikan dengan singkat, dapat memakan waktu yang sangat lama hanya karena persoalan prosedur yang harus ditaati. Bahkan segala bentuk atau upaya lain untuk mencari kebenaran dan keadilan (search for truth and justice) dalam upaya menegakkan keadilan, diluar prosedur hukum

(22)

yang berlaku, dianggap sebagai out of legal thought, bahkan di-anggap sebagai perbuatan illegal, melakukan pelanggaran dan dikenakan hukum dan prosedur hukum yang berlaku.

C. Gerakan Hukum Progresif di Indonesia

1. Sejarah hukum progresif

Wacana, tawaran dan pengajaran hukum progresif sangat menarik saat ini, di tengah degradasi legitimasi terhadap pen-egakan hukum di negeri ini. Dikatakan menarik karena hukum progresif berupaya menggugat keberadaan hukum modern yang dianggap mapan dalam memenuhi kebutuhan manusia dalam berhukum. Hukum progresif mengungkap tabir dan mendedah kegagalan hukum modern yang positivistik, legalis-tik dan linier dalam menjawab berbagai persoalan hukum yang terjadi dalam kehidupan dan kemanusiaan (Satjipto Rahadjo, 2009: v).

(23)

23

Wacana hukum progresif ini hadir di tengah kegalauan masyarakat Indonesia yang memuncak. Kegalauan itu tidak hanya melanda para pengamat, akademisi dan mahasiswa saja, bahkan rakyat awam sekalipun turut galau terhadap penega-kan hukum di Indonesia. Kegalauan mereka karena melihat fakta di depan mata dan terjadi berulang kali bahkan terus menerus, seperti kelemahan rakyat miskin dan marginal yang selalu dalam posisi lemah ketika harus berhadapan dengan hukum, sementara orang “kaya dan kuat” cenderung lolos dari jeratan hukum.

Sebenarnya telah lama muncul kegalauan itu. Pada tahun 1970, masyarakat sudah disajikan pertunjukan yang bernama

“mafia pengadilan”. Di era Orde Baru menyaksikan betapa hu -kum menjadi alat legitimasi perilaku despotik para penguasa dan para kroninya. Harapan sebenarnya hampir muncul pada era reformasi, namun tidak berapa lama kekecewaan pula yang didapatnya. Terutama dengan yang berhubungan dengan kasus korupsi, komersialisas dan commondifaction (Sadjipto Rahardjo, 2007: 3-4).

Setelah dirunut dan dicari apa sebenarnya yang menjadi-kan kondisi hukum (budaya hukum dan sistem penegakmenjadi-kan hukum) kita degradatif adalah kejujuran, integritas, keburukan moralitas, rendahnya akhlak serta tipisnya spiritualitas pada semua lini organ-organ penggerak hukum, bukan pada persoa-lan gaji dan tunjangan kesejahteraan. Sebab gaji dinaikkan dan tunjangan kesejahteraan ditingkatkan, tetap saja kondisi hu-kum di negara belum bergeser kearah yang sesuai dengan ek-spektasi harapan masyarakat Indonesia. Perilaku buruk yang berkembang itu lambat laun menular, merasuki alam bawah sa-dar pikiran masyarakat dan akhirnya dimplementasikan dalam perilaku ketika menghadapi persoalan hukum. “Kalau tidak

(24)

lusi dan suap sana-sini jangan harap keadilan yang diharapkan berpihak pada dirinya”, pikiran semacam ini akhirnya berubah menjadi suatu yang wajar bila “mentok” menghadapi problem hukum.

Melihat kondisi terpuruknya hukum di Indonesia itu, be-gawan hukum dari Universitas Dipenogoro Semarang, Satji-pto Rahardjo, berkontemplasi dan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan filosofis “apa yang salah dengan hukum kita?” dan

“apa serta bagaimana jalan untuk mengatasinya?”

Berawal dari pertanyaan kontemplatif itulah, selanjutnya Prof Tjip mengusung gagasan bahwa hukum Indonesia harus progresif. Sebagai seorang professor di bidang hukum tentu-nya, ia mencari landasan teoritik apa atau asumsi apa yang bisa dijadikan langkah awal atau pijakan untuk mengembangkan gagasan besarnya tersebut, serta bagaiman caranya agar ga-gasannya tersebar dan membumi, implementatif dalam dunia hukum yang nyata.

Asumsi dasar yang diajukannya adalah “hukum adalah un-tuk manusia”, bukan sebaliknya. Oleh karenanya hukum bukan untuk dirinya sendiri, sehingga menyingkirkan nilai apapun yang tidak berdimensi hukum. Hukum bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih be-sar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa-paksa untuk dimasukkan dalam skema hukum.

Dalam pikiran Prof. Tjip, hukum bukanlah institusi yang

(25)

25 “memang menghadapkan manusia kepada hukum men-dorong kita melakukan pilihan-pilihan rumit. Tetapi pada hakekatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut. Semakin landasan teori bergeser ke faktor hukum, semakin suatu teori menganggap hukum sebagai sesuatu yang mutlak-otonom dan final. Semakin bergeser ke manusia, semakin teori tersebut ingin mem-berikan ruang pada faktor manusia” (Satjipto Rahardjo, 2009: 5)

Dalam kesempatan yang lain Tjip juga mengatakan;

“…., baik faktor; peranan manusia, maupun masyarakat, ditampilkan kedepan, sehingga hukum lebih tampil seba-gai medan pergulatan dan perjuangan manusia. Hukum dan bekerjanya hukum seyogianya dilihat dalam konteks hukum itu sendiri. Hukum tidak ada untuk diri dan kep-erluannya sendiri, melainkan untuk manusia, khususnya kebahagiaan manusia” (Satjipto Rahardjo, 2007: ix).

Melihat hal ini, sebenarnya Prof Tjip tidak menciptakan te-ori baru yang ia namakan hukum progresif. Ia hanya membelo-kan arah hukum yang selama ini menjadi problem masyarakat Indonesia, kearah yang berbeda dan menjadikan hukum lebih baik dari sebelumnya dalam tataran implementatif. Gagasan

hukum ini berasal dari ajaran sosiologis yang dikembangkan oleh filosof Perancis; August Comte (1798-1857), yang ber-pendapat bahwa terdapat kepastian adanya hukum-hukum perkembangan mengatur roh manusia dan segala gejala hidup bersama dan itulah secara mutlak. Satjipto Rahardjo hanya mengintrodusir kembali, dan menyesuaikan dengan karakter keindonesiaan.

(26)

2. Motor gerakan hukum progresif

Prof. Tjip sangat sadar bahwa gagasannya (hukum pro-gresif) bukanlah persoalan baru dalam dunia toeri hukum. Ia hanya menyadarkan bahwa kondisi akut kerusakan sistem (penegakkan) hukum di Indonesia karena terkungkungnya pe-mikiran dan produk legislasi bangsa ini pada pada jenis hukum

yang positifistik legalistik sentris. Keadilan hukum hanya di -pahami bila keadilan itu sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku dan ketentuan hukum yang tertulis dalam berbagai peraturan perundangan yang berlaku.

Prof Tjip hanya menggali kembali lebih dalam dan men-gangkatnya kepermukan agar terlihat bahwa ada sisi lainnya dari teori hukum dan alat penunjangnya lainnya guna mem-perbaiki berbagai kerusakan pada sistem hukum yang tengah berlaku sekarang. Oleh karenanya, ia sangat gencar menyebar-jan gagasannya dalam berbagai kesempatan, terutama dalam kuliah-kuliah hukumnya yang ia tujukan pada mahasiswanya yang banyak diantaranya adalah para penegak hukum negeri ini. Para jaksa, polisi, hakim, pengacara dan akademisi yang menjadi mahasiswanya dipahamkan dengan benar akan mak-sud gagasan-gagasan pemikiran hukumnya dan mengharap mereka menjadi bagian dari motor penggerak perubahan

para-digama berfikir hukum di sektornya masing-masing.

(27)

27

Betapa tidak nestapa, norma atau kaidah hukum (undang-undang) yang sesungguhnya masih memberikan peluang untuk tidak dipahami secara tekstualis, justru hanya dibunyikan oleh hakim dengan apa adanya saja. Cara pandang hakim terhadap hukum seringkali amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim hanya menangkap apa yang disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal me-nangkap “keadilan masyarakat” (social justice). Hakim telah meninggalkan pertimbangan hukum yang berkeadilan dalam putusanputusannya. Akibatnya, kinerja pengadilan sering dis-oroti karena sebagian besar dari putusan-putusan pengadilan masih menunjukkan lebih kental “bauformalisme-prosedural” ketimbang kedekatan pada “rasa keadilan warga masyarakat” (D. Adriyanto dalam http://greatandre.blogspot.com).

Melihat hal ini, Satjipto Rahardjo hanya sebagai pemantik starter agar motor utama (hakim) bergerak lebih cepat dan progresif dalam setiap kali melintasi trek hukum di ruang-ru-ang pengadilan.

D. Gerakan Hakim Progresif di Indonesia

Harus diakui bahwa perjuangan Satjipto Rahardjo, agar gagasannya membumi mulai nampak ada sedikit hasil. Hasil yang lebih nyata adalah bahwa gagasan hukum progresifnya masih terus ditebarluaskan oleh para akademisi yang pernah menjadi mahasiswanya. Ajarannya masih terus didengungkan dalam ruang-ruang kuliah, diperbincangkan dalam ruang-ru-ang diskusi. Namun ini tidak cukup, karena persoalan utama dan akut hukum kita adalah dalam tataran implementasi oleh para aparatur penegak hukum di Indonesia.

(28)

Hal yang menggembirakan, adalah munculnya komunitas hakim yang mengklaim dirinya adalah hakim-hakim (beral-iran) progresif. Mereka tergabung dalam komunitas yang ber-nama Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia. Usianya pun masih tergolong muda.

Forum Komunikasi Hakim Progresif Indonesia ini terben-tuk pada tahun 2010. Lilik Mulyadi, penasehat Forum Komuni-kasi Hakim Progresif Indonesia ini mengatakan bahwa forum ini berawal dari diskusi-diskusi yang dilakukan oleh bebera-pa hakim di situs jejaring sosial. Awalnya, ada rencana untuk menggugat dan mendemo presiden dan DPR untuk memper-juangkan kesejahteraan hakim. Rencana ini akhirnya gagal, karena beberapa inisiatornya sempat ‘diperiksa’ oleh Badan Pengawasan Mahkamah Agung (MA).

Meski rencana demonstrasi terhenti, para hakim itu masih melakukan diskusi-diskusi via online melalui situs jejaring so-sial, di inbox Facebook,” Karena dianggap memiliki pemikiran dan tujuan yang sama, yakni menciptakan komunitas hakim yang berpikiran progresif (http//hukumonline.com).

“Keagakseriusan” komunitas ini terlihat dengan sudah adanya logo komunitas dan telah memiliki blog di dunia maya. Namun yang sangat disayangkan adalah ada nama tapi belum ada bentuk, apalagi aksi yang membuat warna dan wajah pen-gadilan di Indonesia berubah. Tentunya dengan lahirnya putu-san-putusan progresif yang dapat dirasakan oleh masyarakat luas. Untuk itu kita masih mau menungggu dan melihat sam-pai dimana mereka dapat memerankan klaimnya sebagai pen-dekar hakim progresih di rimba belantara hukum Indonesia.

(29)

29

WAJAH DAN INTEGRITAS HAKIM

A. Buruk Rupa Hakim Kita

Salah satu pengertian hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan tersebut berakibat diambilnya tindakan hukum.

Klausa “berakibat diambilnya tindakan hukum” menun-jukan pada upaya penegakan hukum, dan upaya penegakan hukum tidak lepas dari peran serta hakim sebagai pemberi putusan atau penilai apakah suatu perbuatan layak dijatuhi hukuman atau tidak dan/atau berapa kadar yang tepat untuk memberikan hukuman pada sutau perbuatan yang melanggar hukum. (Farkhani, 2011: 80)

Berdasar pada pemahaman tersebut, posisi hakim seba-gai salah satu aparatur penegak hukum sangat fundamental dan urgen. Hakim menjadi benteng terakhir bagi penegakkan hukum. Jika para hakim yang menjadi penegak hukum dan keadilan lemah, malas, rusak moralitas dan integritasnya, serta tumpul spiritualitas dan nuraninya, maka hampir dapat dipas-tikan penegakkan hukum sedang meluncur deras menuju ke-hancuran. Padahal hakim adalah penguasa kolektif yang bersi-fat mutlak atas segala putusan-putusannya dalam persidangan. Putusan-putusan yang dibuatnya tidak dapat dipersalahkan apalagi dipidanakan karena landasan-landasan ilmiah hukum

(30)

dan diktum-diktum peraturan yang dipergunakannya keliru, lemah, absurd bahkan tidak bernuansa hukum sekalipun.

Akhir-akhir ini posisi hakim sedang dalam sorotan tajam, karena banyak kasus yang menjerat hakim, yang memutar balik posisi hakim sebagai pengadil menjadi pesakitan yang diadili, akibat dari para hakim itu sendiri yang “memperda-gangkan” kewenangan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan sesaat. Demi keuntungan itu pula mereka tanpa ragu menggadaikan kehormatan dan keluhuran jabatan yang disandang sebagai penegak hukum. Bahkan, di atas itu semua, sadar atau tidak, mereka makin menggerus asa publik terha-dap masa depan penegakan hukum. Kasus suap hakim Syari-fuddin Umar, Muhtadi Asnun, Ibrahim dan Imas Dianasari men-jadi bukti yang cukup untuk mewakili perlaku hakim yang kian memperihatinkan. Perbuatan mereka menyumbang indikasi

remunerasi dan perbaikan gaji menjadi gagal guna menggen-jot kinerja dan membentengi integritas para hakim, agar tidak mudah diintervensi oleh kekuasaan uang para “pemilik modal”.

Tidak hanya uang yang merongrong integritas para hakim, moralitas individu yang tidak dibentengi dengan spiritualitas yang tinggi mendorong nafsu syahwat untuk dipenuhi secara ilegal. Kasus seorang hakim Mahkamah Syari’ah di Aceh baru-baru ini menjadi wakil dari rendahnya moral hakim. Belum lagi ancaman terhadap independensi para hakim, kekuasaan poli-tik juga sering menjadikan mereka gamang dalam mengemban kewenangannya dengan teguh. Banyak kasus yang melibatkan para politisi, para pemilik modal dan aparatur pemerintah tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam penetapan hukum dan pemerlakuan dalam sidang-sidangnya.

(31)

31

anggota masyarakat yang miskin baik secara ekonomi, sosial dan politik, terbelakang dan jauh dari paham tentang peneg-akkan hukum di negeri ini, dan dengan putusannya pula yang dirasa mengusik rasa keadilan masyarakat. Para hakim terse-but sekedar membunyikan pasal dari peraturan yang ada dan

hanya berkutat pada cara berfikir silogisme dengan alasan

legalitas dan kepastian hukum. Pemikiran hukum warisan penjajah benar-benar telah merasuk dalam sumsum dan pe-mikiran para hakim negeri ini. Pepe-mikiran hukum legal formal-ism yang positifistik yang sedang berkembang pada abad awal

Belanda menjajah Indonesia sampai menjelang kemerdekaan (3,5 abad) benar-benar diwariskan secara sukses di negeri jajahannya.

Masa yang sangat panjang, dimana awal masa munculnya pemikirian hukum legal formalism pada 1650 M, Belanda mel-aluli VOC-nya dan pemerintahnya telah menancapkan kuku imperalisme beserta tanaman nilai-nilai (norma dan teori) hukum, hingga sampai pada masa akhir kejayaan paham teori ini (awal abad 19) Belanda masih tetap bercokol di bumi In-donesia. Masa tanam dan internalisasi norma dan produk

hu-kum kolonial yang positifistik ini jelas telah mengurat akar, dan

sangat sulit dihilangkan dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, maka sebenarnya dapat saja dipahami mengapa hakim-hakim kita mayoritas terkungkung dan nyaman

terje-bak dalam lingkaran legal formalisitik yang positifistik, rasion -alistik dan empiristik.

Walaupun demikian, pada zaman yang telah berubah, ke-merdekaan telah lama dihirup bangsa ini, perkembangan ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi seharusnya dapat di-manfaatkan oleh para cendikiawan hukum, aparatur penegak hukum dan terkhusus hakim untuk melepaskan diri dari

(32)

erkungkungan sistem hukum yang telah mengurat akar terse-but. Bila kondisi yang telah berubah tersebut tidak sama sekali merubah mainset hukum hakim, lantas untuk apa hakim dapat ruang kebebasan dalam memutuskan perkara dan men-gapa hakim disebut sebagai judge made law?

Akibat dari teori yang melahirkan sistem peradilan yang senafas tersebut melahirkan realitas fakta bahwa hakim-hakim itu begitu cepat, tegas, mantap menyidangkan perkara dan memutuskan hukuman pada para terdakwa dari kalangan masyarakat kaum proletar, membunyikan peraturan perun-dang-undangan dan sedikit berkreasi bila kasus yang dihadap-inya dipublis oleh berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik dan diikuti oleh aksi demonstrasi dari kalangan mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan aksi soli-daritas.

(33)

tem-33

pat dimana bekerjanya hukum yang sesungguhnya. Realitas yang seperti ini sesungguhnya mencerminkan betapa para hakim belum optimal dan maksimal serta kesungguhan yang tinggi untuk meraih tujuan hukum yang hakiki, tercapainya keadilan dalam kehidupan masyarakat.

Kinerja hakim yang seperti itu menunjukkan bahwa hakim tidak benar-benar mengemban amanah kekuasaan kehakiman yang dipercayakan kepada mereka. Perannya yang sangat strat-egis dan sentral tidak dilaksanakan secara optimal. Dalam un-dang-undang kekuasaan kehakiman, peran hakim selain mem-berikan kontribusi dalam melaksanakan misi institusinya, juga menjadi kontributor dalam proses pelayanan publik dalam menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Di sisi yang lain, juga akan berimplikasi nyata terhadap pemenuhan tanggung jawab kelembagaan kekuasaan kehakiman. Kian berkualitas putusan yang dihasilkannya, maka peran lembaga yudikatif ini akan semakin dirasakan kontribusi dan manfaatnya bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Perjuangan Oliver Wendel Holmes, Hakim Agung Amerika Serikat yang populer itu, yang dengan perannya begitu gigih berupaya membebaskan dunia hukum pada umumnya, dan du-nia peradilan pada khususnya, dari belenggu “formalisme-posi-tivisme”, kiranya layak untuk disimak dan ditiru aspek positifn-ya. Karena dengan perjuangannya, kemudian masyarakat dan terutama pencari keadilan merasakan bahwa produk hukum, termasuk putusan pengadilan dapat lebih dekat dan memihak pada rasa keadilan masyarakat. Hakim tidak lagi memerankan dirinya sekedar terompet undang-undang”, melainkan men-empatkan posisinya sebagai “living interpretator” dari rasa keadilan masyarakat (Riza Thalib dalam http://www.dilmilti-jakarta.go.id).

(34)

Karena perannya yang sentral dan urgen dalam persidan-gan, hakim tidak bekerja sendiri tetapi dalam bentuk majlis hakim yang terdiri dari tiga, lima atau lebih dalam bilangan ganjil, kecuali pada kasus-kasus tertentu cukup menggunakan

hakim tunggal. Filosofi dan maksud dari majlis hakim dalam

persidangan adalah agar hakim lebih cermat, teliti, meling-kupi seluruh proses persidangan dengan detail-detailnya dan saling mengisi serta bertukar pendapat pada persoalan yang disidangkan. Pun demikian masih dibantu oleh panitera yang mencatat jalannya persidangan. Maksud lainnya adalah bahwa setiap hakim memiliki kemampuan ilmiah (pandangan) yang berbeda dalam satu kasus yang dihadapi, setiap individunya memiliki kebebasan (kemerdekaan) untuk menyatakan pen-dapatnya dan bebas pula untuk berbeda pendapat dengan ang-gota majilis hakim lainnya.

Penetapan kedudukan hakim yang merdeka dan mandiri dan dijamin dengan undang-undang, sesungguhnya memberi-kan kesempatan yang terbuka dan luas bagi para hakim untuk tidak sekedar menjadi “corong undang-undang”, tetapi lebih dari itu, hakim dapat dengan bebas melakukan interpretasi hu-kum atas teks-teks dan norma huhu-kum yang ada, berkreasi den-gan inovasi-inivasi yang berlandaskan pada pemahaman ilmu hukum yang mendalam, bahkan membuat hukum yang sama sekali baru (judge made law).

(35)

35

dan perkembangan hidup masyarakat. Hukum akan terasa su-lit menjangkau persoalan-persoalan kekinian dan yang akan datang.

B. Jaminan Kemerdekaan Hakim

Setelah sekian lama dan melihat realitas praktek

persidan-gan yang sangat rigid, positifistik dan seringkali mengabaikan

rasa keadilan masyarakat, Undang-Undang Kekuasaan Kehaki-man No. 48 Tahun 2009 pada pasal 5 ayat 1 memberikan ket-egasan atau perintah untuk melakukan hal tersebut, “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan mema-hami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia, secara tegas menyatakan bahwa Indone-sia adalah negara hukum, akan tetapi konsep negara hukum model rule of law atau rechtstaat tidak dijelaskan dengan tegas. Ketidaktegasan dalam berpihak pada salah satu bentuk dari bentuk sistem hukum yang diadopsi di banyak negara, men-jadikan ketidakjelasan sistem bagi tata hukum di Indonesia. Bukti ini dapat dilihat ketika awal reformasi banyak pihak me-nyoroti UUD 1945 yang dikatakan oleh Soekarno sebagai revo-lutie groundwet (Konstitusi Revolusi atau Konstitusi Singkat).

Karena sebagai konstitusi yang sangat singkat -baik sing-kat dari sisi penyusunannya maupun singsing-kat dari sisi mater-inya- jelas ada banyak kekurangan. Jimly Asshiddiqie (2005: 7) merangkumnya dalam 8 (delapan) kekurangan, salah satu diantaranya adalah kurangkuatnya kemandirian kekuasaan ke-hakiman. Oleh sebab itu kemudian UUD 1945 diamandemen, diantaranya dalam rangka memperkuat kekuasaan kehakiman

(36)

yang ditindaklanjuti pula oleh perubahan-perubahan terhadap undang-undang tentang kekuasaan kehakiman yang telah ada.

Tuntutan terhadap persoalan ini penting karena hakim adalah benteng terakhir dari sistem penegakkan hukum di ne-gara ini. Kekuasaan kehakiman diperkuat tidak lain adalah un-tuk agar hakim memerankan fungsi sebagai penegakan hukum sekaligus “pembuat hukum” yang kredibel dan professional. Diantara indikasi bahwa hakim itu bebas berkreasi dan berino-vasi dalam ranah hukum (wilayah kerjanya) adalah lahirnya penemuan-penemuan hukum baru atas kasus yang dihadapin-ya dan indikasi bahwa hakim itu bebas merdeka adalah adandihadapin-ya

dissenting opinion (beda pendapat) dalam putusan pengadilan, walaupun harus dipahami bahwa tidak semua putusan harus ada dua hal tersebut.

Khusus berkenaan dengan dissenting opinion, dalam se-jarahnya sudah dikenal dalam peradilan di Indonesia, namun karena sifatnya yang sangat internal (rahasia) maka tidak ban-yak khalaban-yak mengetahui bahwa itu ada. Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (2010) ditulis bahwa Se-benarnya, dissenting opinion sudah lama dikenal dalam dunia peradilan di Indonesia. Yang belum ada saat itu adalah keharu-san memuatnya dalam putukeharu-san. selama ini dissenting opinion

dicantumkan dalam sebuah buku yang khusus disediakan dan dikelola ketua pengadilan secara rahasia dalam buku tersebut dicantumkan nama hakim yang berbeda pendapat, kedudu-kannya dalam majelis, nomor perkara, tanggal putusan, penda-pat dan alasannya.

(37)

37 musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat ke-cuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. putusan diambil dengan suara terbanyak; b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi ter-dakwa.” Selanjutnya, dalam penjelasan pasal tersebut ditegas-kan bahwa hal itu dicatat dalam berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia. Kesimpulannya, ketentuan yang selama ini dipegangteguhi oleh hakim itu, maka dissenting opinion yang dilakukan secara terbuka di antara para anggota majelis hakim dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan tidak dimung-kinkan.

Pertama kali dissenting opinion memiliki landasan yuridis yang tegas dan memperbolehkan untuk dikemukakan dalam persidangan adalah dengan lahirnya UU No. 4 Tahun 1998 ten-tang Kepailitan. Setelah itu muncul Perma No. 2 Tahun 2000 tentang Hakim Adhoc yang didalamnya memperbolehkan dis-senting opinion cantumkan dalam putusan walaupun dalam bentuk lampiran. Selanjutnya untuk benar-benar mewujud-kan kemerdekaan hakim yang sesungguhnya yang secara tegas menuangkan dissenting opinion adalah UU No. 4 Tahun 2004 yang diperbaharui menjadi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru setelah regulasi yang jelas ini muncul, beberapa kasus dissenting opinion langsung mencuat dipermukaan, yang pertama kasusnya Abudullah Puteh dan yang cukup menarik perhatian adalah kasusnya Akbar Tanjung.

Kasus Abdulllah Puteh (2005), diyakini sebagai kasus dis-senting opinion pertama setelah regulasinya jelas. Kemudian diteliti oleh Sartika Dewi Lestari dengan judul “Penerapan Dis-senting Opinion dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara

(38)

Korupsi Pengadaan Helikopter dengan Terdakwa Ir. H. Abdul-lah Puteh oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.

Hasil dari penelitiannya adalah terlihat adanya perbedaan pendapat dari dua orang hakim, yaitu hakim ketua dan hakim anggota I pada perkara Abdullah Puteh. Hakim ketua dan Hakim anggota I berpendapat bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdul-lah Puteh. Keadaan tersebut disebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh terjadi sebelum diundan-gkannya UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tanggal 27 Desember 2002. Den-gan tidak diperbolehkannya KPK melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut, maka berita acara pemeriksaan KPK dianggap tidak sah. Surat dakwaan yang dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan yang tidak sah, berakibat surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan persidangan juga dianggap tidak sah. Penahanan terhadap Ab-dullah Puteh juga dianggap tidak sah karena didasarkan kepa-da penyidikan yang tikepa-dak sah.

Pendapat dua orang hakim ini kalah, karena tiga hakim lainnya menganggap bahwa Abdullah Puteh bersalah. Berdasar pada asas “demokrasi” yaitu voting jika terdapat perbedaan pendapat yang tidak dapat disatukan, maka tiga orang hakim itulah yang menang dan berhak menjatuhkan vonis kepada ter-dakwa (http://digilib.uns.ac.id).

(39)

39

bertugas memantau perilaku hakim termasuk didalamnya ter-hadap putusan-putusan yang dikelaurkan oleh hakim. Hara-pannya hakim-hakim busuk sebagaimana disebutkan dimuka tidak banyak terjadi di lingkungan peradilan manapun.

kkk

(40)
(41)

41

WAJAH HAKIM INDONESIA DALAM

BEDA PENDAPAT

(DISENTING

OPINION)

DAN PENEMUAN HUKUM

(RECHTSVINDING)

A. Hakim Sebagai Judge Made Law dalam Sistem Hukum

Indonesia

Persepsi masyarakat pada umumnya tentang hakim ada-lah orang yang mengadili perkara di lembaga peradilan, ber-pakaian toga hitam dan memiliki tingkat prestise yang baik dalam strata sosial masyarakat pada umumnya. Hakim dipan-dang sebagai orang “suci” karena kedudukannya dan pemaha-mannya terhadap setiap persoalan hukum yang ada. Persepsi masyarakat tentang hakim yang demikian itu tidak salah, akan tetapi memahami secara mendalam tentang hakim sangat penting, terutama bagi para peminat ilmu hukum.

Dalam khazanah kebahasaan Indonesia, kata hakim bu-kanlah bahasa asli dari masyarakat (bahasa) Indonesia. Kata ini adalah serapan dari bahasa Arab. Kata ini dapat dipahami sebagai bagian dari bahasa Indonesia, karena Arab (Islam) adalah agama (budaya) yang pertama kali masuk dan men-gakulturasi dengan berbagai pranata kehidupan dan budaya masyarakat Indonesia, termasuk dalam bahasanya. Berkenaan dengan hal ini, akan sangat membantu bila pengetahuan awal tentang hakim dimengerti terlebih dahulu.

(42)

Hakim dalam bahasa Arab, berawal dari kata ha-ka-ma,

fa’ilnya adalah hakimun yang bermakna aturan, peraturan, kekuasaan atau pemerintah. Secara terminologi, dapat ditemu-kan beberapa pandangan ahli, diantaranya adalah

a. Dalam kamus Oxford Leaner’s Pocket Dictionary (1991: 227) , istilah yang sama tentang hakim disebut dengan kata judge, maknanya adalah public officer with outhority

to decide cases in a lawcourt, makna lainnya adalah person that decides who has won a competition. Makna yang ketiga adalah person able to give an opinion on the value of some-thing.

b. Kamus Besar Bahasa Indonesia (W.J.S Purwadarminta,

2006: 398) memberikan tiga definisi hakim, yaitu (1)

orang yang mengadili perkara (dalam pengadilan atau mahkamah); (2) pengadilan; atau (3) juri penilai. Hakim dapat dimaknai juga sebagai orang yang pandai, budiman dan ahli atau orang yang bijaksana.

c. Kamus Hukum karya JCT Simorangkir, Rudy T Prasetya, dan J.T. Prasetyo secara sederhana mengartikan hakim se-bagai petugas pengadilan yang mengadili perkara.

d. Menurut Bangalore Principle of Judicial Conduct (2002), adalah “any person exercising judicial power, however de-signed”.

Dalam sistem hukum Islam, hakim memiliki padanan kata dan makna dengan qadhi. Lain dari itu, ada istilah mazhalim (Imam al-Mawardi, 2000: 157-158).

(43)

Juman-43

toro dan Samsul Munir Amin, 2005: 76). Sedangkan arti Qadi adalah hakim yang ditunjuk oleh penguasa atau goverment atas dasar keahliannya dalam bidang hukum (Islam). (Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, 2005: 261).

Berdasar pada pengertian hakim tersebut, terang dan nyata bahwa posisi hakim sangat strategis dalam upaya pen-egakan hukum. Hakim adalah benteng terakhir, bila hakim hancur maka tidak ada gunanya segala pranata dan sistem hu-kum walaupun sangat baik. Di tangan hakim tempat keluarnya keadilan, ia ibarat krain yang menyalurkan keadilan dari sum-ber-sumber keadilan terdalam dan tersembunyi dari pandan-gan masyarakat awam. Oleh karenanya hakim bukan corong peraturan perundang-undangan atau sekedar penerap hukum ibarat memainkan puzzle bongkar pasang mainan anak-anak.

Tugas berat ini sangat jelas tertera dalam pembukaan setiap putusan hukum yang dikeluarkannya “demi keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 2 {1} UU No 49 Th. 2009). Dari frase ini saja sudah dapat dikatakan bahwa hakim adalah wakil Tuhan dalam menetapkan keadilan di dunia. Jadi keadilan yang lebih utama yang harus ditegak-kan buditegak-kan hukum (kepastian hukum). Memang sesuai dengan pasal 1 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa kekua-saan kehakiman dan peradilan adalah menegakkan hukum dan keadilan. Tetapi asas kemerdekaan hakim dan kebebasan hakim untuk berbeda pendapat dalam menilai dan memberi putusan pada suatu dakwaan kasus. Disinilah ruang penegak-kan keadilan yang seharusnya menonjol.

Tidak mudah untuk menemukan keadilan, karena persepsi setiap orang terhadap keadilan berbeda. Putusan yang diang-gap hakim sebagai suatu keadilan belum tentu akan terasa adil bagi para pihak yang berperkara ataupun bagi masyarakat.

(44)

Ditambah lagi dengan tak ada satu kata sepakat untuk devinisi tentang keadilan. Lord Denning yang seorang Hakim Agung Inggris pernah mengatakan bahwa “Justice is not something you can see. It is not temporal but eternal. How does a man know what is justice. It is not the product of his intellect but of his spirit”. J. Djohansjah, mantan Hakim Agung Amerika menyata-kan bahwa “Justice means different things to different people”. Menurut mantan Ketua Mahkamah Agung RI Baqir Manan dalam suatu kesempatan menyatakan, “bahwa keadilan dalam sebuah perkara adalah keadilan bagi para pihak dalam perkara itu, bukan bagi yang lainnya. Tidak pernah ada satu pun kasus/ perkara di pengadilan yang sama. Oleh karenanya keadilannya pun akan berbeda dari satu perkara atas perkara yang lain”.

Guna membantu dan mepermudah memaknai keadilan, Rifyal Ka’bah menyebut ada 3 (tiga) bentuk keadilan yang harus diwujudkan oleh hakim: Legal Justice, Moral Justice dan

Social Justice. Legal Justice (Keadilan Hukum) adalah keadilan berdasarkan undang-undang yang dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Moral Justice (Keadilan Moral) tidak lain dari keadilan berdasarkan moralitas. Moralitas adalah standar baik dan buruk. Moralitas berasal dari berbagai sumber, yang ter-penting adalah agama. Social Justice (Keadilan Sosial) seba-gai salah satu dasar negara (sila kelima Pancasila) digambar-kan dalam tiga bentuk keadilan sosial yang meliputi keadilan

ekonomi, kesejahteraan rakyat dan keadilan yang diinsafi (dis -adari) oleh mayoritas rakyat yang dapat berkembang.

(45)

satu-45

nya. Pada persoalan inilah kecerdasan, naluri (insting), nurani dan spiritualitas hakim berperan penting untuk menemukan keadilan. Untuk kepentingan hal inilah kebebasan hakim dija-min oleh konstitusi dan undang-undang, bahkan hakim men-dapatkan jaminan bahwa putusan-putusan hukumnya tidak dapat dipidanakan karenanya.

B. Perilaku Hakim Indonesia

Tahun 1970-an, istilah mafia peradilan sudah menjadi

kosa kata baru dalam ranah hukum Indonesia. Ini menunjuk-kan bahwa proses penegamenunjuk-kan hukum kita mulai bermasalah

terutama dalam ruang litigasi. Bila yang dilabeli mafia ini ada -lah lembaga peradilan maka aktor penting dalam permainan tersebut adalah para hakim. Karena merekalah yang pegang peranan dan kendali utama dalam proses yang berlangsung dilembaganya tempat “mengabdi”.

Zaman orde telah berganti, namun istilah awal itu tidak pernah hilang lagi dalam kamus peradilan Indonesia. Peradi-lan yang sejatinya mandiri dan merdeka, kompeten dan ber-wibawa, tidak berpihak, pengayom hukum penegak kepastian hukum dan keadilan berubah menjadi mesin pencetak uang yang handal. Penggeraknya sudah dapat ditebak, hampir setiap orang dalam organ peradilan terjebak dalam gerak mesin itu, dan tuas penggerak sekaligus pengendalinya adalah hakim.

Statemen dimuka tidak berlebihan dan bukan mengada-ada, lembaga peradilan di Indonesia telah menuai kritik dan ketidakpercayaan masyarakat yang mengandung tuduhan

ter-jadinya ketidakadilan (in juctice) putusan, adanya mafia per -adilan kepada seluruh jajaran hakim di semua lini per-adilan (dari pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung).

(46)

Tuduhan tersebut didasarkan pada hasil monitoring be-berapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia. In-donesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan hasil monitoringnya yang dilakukan pada bulan Juni 2001 di media tentang terungkapnya kasus pro judicial corruption yang di-lakukan oleh pihak-pihak yang berperkara di lembaga peradi-lan, baik pengacara, polisi, jaksa maupun hakim. Transparenci International Indonesia (TII), pada Februari 2009 mengemu-kakan hasil penelitian Indeks Persepsi Suap dan Korupsi yang juga menunjukkan keterlibatan lembaga peradilan (termasuk hakim) dengan indeks dan nominal suap yang lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga lainnya (Nunuq Nuswardani, Jurnal Hukum Vol. 4. 16 Oktober 2009; 516)

Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi dan per-an hakim menjadi sper-angat penting, terlebih dengper-an segala ke-wenangan yang dimilikinya. Semua keke-wenangan hakim di-gerakkan seluruhnya untuk tegaknya hukum dan tercapainya keadilan, tegaknya kebenaran dengan tanpa panda bulu dan keberpihakkan kepada setiap orang yang berperkara. Hakim harus mmapu menjadikan lembaganya menjadi lembaga yang berwibawa, dihormati dan “ditakuti” dalam hal menegakkan keadilan dan kebenaran.

(47)

47

perilaku advokat diawasi oleh Komisi Pengawas. Dari empat komisi yang memiliki tugas pengawasan sekaligus mereko-mendasikan kepada lembaga berwenang untuk menindak para penengak hukum yang “nakal”.

Lebih dari itu, berdasar atas kekecewaan masyarakat dan ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum, terutama dalam hal menindak pelaku-pelaku korupsi. Ketidakpercayaan tersebut jelas terarah pada kinerja kepolisian dalam penye-lidikan maupun penyidikan, kinerja kejaksaan dalam tugasn-ya mewakili kepentingan pemerintah dalam menuntut dan mendakwa, kinerja hakim dalam memvonis. Buntutnya adalah lahirnya lembaga “super body” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Kekecewaan terhadap penegakan hukum sering pula be-rawal dari sisi lemah atau buruknya proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga yang berwenang membentuk un-dang-undang. Sekali lagi, lubang kekecewaan terhadap persoa-lan ini pun telah dibentuk Mahkamah Konstitusi, yang mem-berikan hak yang sangat luas kepada seluruh rakyat Indonesia untuk me-judicial review setiap undang-undang yang lahir dan dianggap merampas hak-hak rakyat dan tidak berkeadilan.

Dalam hal penegakan hukum, setelah dasawarsa reformasi yang heroik itu, posisi dan kedudukan hakim kembali disorot tajam. Kondisi yang demikian sudah barang tentu karena ban-yak hakim yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi, tidak menjaga wibawanya, dan berani bermain mata dalam penega-kan hukum demi sedikit kenikmatan hidup dunia, memburu harta guna menumpuk kekayaannya. Sebagai bukti bahwa hakim kita sedang menghadapi masalah besar adalah bebera-pa contoh berikut;

(48)

1. Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, Dwi Djanuwanto, meminta disediakan penari telanjang oleh pengacara. Atas

tuduhan ini, dia menolak mentah-mentah. “Saya kan di fit -nah, di-dzalimi.”

2. Hakim Mahkamah Syariah Tapak Tuan, Aceh, Dainuri, ber-buat cabul dengan perempuan yang sedang berperkara dalam kasus perceraian, Evi. Dainuri mengakui dirinya pernah bermesraan berkali-kali dengan Evi dengan cara menggosok-gosok punggung Evi di kamar mandi dan ber-pangkuan dalam keadaan telanjang di hotel yang disewa oleh hakim terlapor.

3. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin, ter-tangkap tangan oleh KPK menerima sejumlah uang dari kurator, Puguh Wirawan dengan nilai ribuan dollar AS. Syarifuddin ditangkap KPK di rumahnya 1 Juni lalu sekitar pukul 22.10 WIB. Kasus ini masih berlangsung di Pengadi-lan Tipikor.

4. Hakim Pengadilan Negeri Serui , Endratno Rajamai, mem-eras Dewi Parasita sebanyak 66 kali dengan total nilai Rp 80 juta an. Endratno memeras karena mengetahui Dewi mencintainya. Perasaan itu dimanfaatkan Endratno. Atas kasus ini, pada awal 2010 Endratno diganjar hukuman skorsing dan dimutasi.

5. Hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Bandung, Imas Dianasari, tertangkap tangan oleh KPK pada 30 Juni 2011 karena menerima sejumlah uang dari pihak berperkara sebanyak Rp 200 juta. Kasus ini masih berlangsung di Pengadilan Tipikor Bandung.

(49)

49

terbukti menyalahi jabatannya sebagai pegawai negeri sipil saat menjabat hakim di Pengadilan Tinggi Tangerang dalam memproses kasus Gayus Tambunan. Muhtadi men-erima sejumlah uang dari Gayus.

7. Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Ja-karta, Ibrahim, dihukum 3 tahun penjara penjara. Hakim Ibrahim dihukum karena menerima imbalan sebesar Rp 300 juta karena berpihak kepada DL Sitorus.

8. Hakim Pengadilan Negeri Bitung, Sulawesi Utara, Ardian-syah Famiahgus Djafar, dipecat karena menjadi calo calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dia menerima uang dari Riza Rahmawati sebanyak Rp 90 juta dengan janji bisa menjadi-kan Riza sebagai CPNS di lingkungan MA ( http://indone-sianunic.blogspot.com).

9 Kasus yang paling mutakhir adalah tertangkapnya hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Puji Wijayanto oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang pesta narkoba di se-buah tempat karaoke bersama teman-temannya dan em-par orang wanita pekerja seks komersial (PSK).

Selain yang tersebut di atas adalah perilaku hakim-hakim

ad hock Pengadilan Tipikor di beberapa daerah, seperti Sema-rang, Surabaya, Kalimantan Timur dan beberapa daerah

lain-nya, yang sungguh-sungguh berpraktik sebagai mafia peradi -lan. Lihatlah perilaku Kartini Marpaung dan kawan-kawan di Pengadilan Tipikor Semarang, Jawa Tengah. Di tangan-tangan mereka para pelaku tindak pidana korupsi banyak yang be-bas dari jeratan hukum. Putusan-putusan bebe-bas yang mereka berikan kepada sujumlah koruptor, bukan murni dari jerih payahnya memeriksa bukti-bukti yang nyata diperadilan dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

(50)

tusan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh suap-suap yang diberikan di belakang meja sidang.

Dan peristiwa yang membuat rasa keadilan hukum dan masyarakat yang semakin tergerus adalah Mahkamah Agung yang diisi oleh para hakim agung yang tidak jauh berbeda den-gan hakim-hakim di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Mereka mengabaikan moral justice dan social justice, memberi-kan rekomendasi pada presiden untuk menghapusmemberi-kan vonis-vonis mati pengedar barang-barang narkotika. Padahal karena narkotika itu ribuan bahkan jutaan warga Indonesia terancam mati perlahan.

Kasus-kasus hakim nakal, mafia hakim sebagaimana terse -but dimuka, memang tidak boleh mengenaralisir bahwa se-luruh hakim di Indonesia berperilaku sama seperti mereka. Masih ada hakim-hakim yang menjaga kehormatan dirinya, kehormatan hukum, kehormatan lembaga peradilan, meneg-akkan hukum dan keadilan dengan nuraninya dan memper-timbangkan moral justice dan social justice. Namun itu tidak banyak dan mereka terutup oleh ulah hakim-hakim yang bejat moralnya, yang lebih menghiasi wajah hakim di Indonesia.

Bandingkan dengan kasus-kasus berikut ini;

1. Pencurian sandal yang disidangkan di Pengadilan Negeri Palu. Tersangka yang masih anak-anak dituntut pidana 5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum.

2. Kasus pencurian tiga buah biji Kakou oleh nenek Minah di Ajibarang Banyumas. Ia harus menghadapi meja persidan-gan hanya karena biji Kako yang harpersidan-ganya tidak lebih dari 2000 rupiah dipasaran

(51)

51

sempat dipenjara, ditahan di rutan kelas II Kediri. Kedu-anya diancam karena pencurian buah semangka 5 tahun penjara. Mereka dikeluarkan dari tahanan karena permo-honan penangguhan penahanan yang diajukan oleh pen-gacara Lembaga Bantuan Hukum dikabulkan oleh hakim dan setelah kasus ini banyak disorot oleh masyarakat

4. Pencurian biji merica seberat setengah ons yang dilakukan oleh kakek Rawi, 66 tahun, di Sinjai Sulewesi Selatan. Ia harus menghadiri setiap persidangan sampai sidang sele-sai sampai pembacaan vonis. Kasus ini juga menyeret Ka-polsek Sinjai karena ada rekayasa penambahan bukti ba-rang curian, yang semual setengah ons menjadi setengah kilogram.

5. Hakim di Mahkamah Agung memvonis nenek Rasminah dengan pidana penjara 4 bulan 10 hari karena mencuri 6 buah piring majikannya.

6. Kasus pencurian sarung oleh Amsirah di Pamekasan Ma-dura. Masjlis hakim Pengadilan Negeri Pamekasan meng-hukumnya 3 bulan 24 hari. Terpidana esok harinya lang-sung bebas kerana sudah menjalani masa tahanan.

7. Pencurian kapuk randu oleh Manisih (40) dan Sri Suratmi (19) di Batang Jawa Tengah. Kerugian yang diakibatkan-nya tidak lebih dari uang seharga dua belas ribu rupiah itu harus menjalani persidangan yang berlarut-larut

8. Kasus penjabretan tas yang berisi uang seribu rupiah oleh seorang anak usia 14 tahun di Denpasar Bali. Anak sekecil itu dan dengan kerugian yang sangat kecil itu harus ber-siap menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri Den-pasar Bali.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini didasarkan pada penelitian yang mengambil setting dunia barat dengan tradisi simfoni orkestra, maka belum tentu juga menjadi ukuran-ukuran yang mutlak

Pengajuan sengketa Proses Pemilu diajukan dalam tahapan Penetapan Calon Semantara (DCS), Objek dari permohonan pemohon merupakan Surat Keputusan dan Berita Acara Komisi

Dalam penulisan skripsi ini, penulis akan melakukan perancangan suatu program aplikasi yang dapat mengolah data-data percobaan pertanian menggunakan analisis ragam dan

Berdasarkan uraian tersebut maka yang dimaksud dengan teori pembelajaran matematika dalam penelitian ini adalah pembelajaran yang membuat siswa untuk menemukan

• Impor garam hanya dapat dilakukan oleh IP (Importir Produsen) sebagai bahan baku/penolong dan Importir Terdaftar (IT) yang ditunjuk Departemen Perdagangan yang memenuhi

Data diperoleh berdasarkan hasil ulangan harian setelah kegiatan pembelajaran dan dilaksanakan pada saat tindakan. Rata-rata kelas perolehan nilai matematika adalah

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan prestasi belajar matematika melalui model pembelajaran kooperatif Jigsaw pada siswa kelas VIII A MTs Al Jauhar Semin Kabupaten

Kajian ini bertujuan untuk menganalisis model pelatihan dakwah berbasis moderasi beragama yang berkaitan dengan pola, proses dan strategi kaderisasi di Pemuda