• Tidak ada hasil yang ditemukan

Content Analysis dari Perspektif Idealitas Putusan Hakim

Sebelum mengambil putusan perkara, hakim dituntut un- tuk mendalami apa makna dari kebebasan dan kemandirian serta dituntut untuk pula memprediksi akibat putusannya, sehingga diharapkan hakim akan benar menjatuhkan putusan dan seadil-adilnya. Putusan yang benar dan adil adalah putu- san yang mencerminkan tingkat kesadaran.

139

Hakim yang berkualitas adalah hakim yang menguasai un- dang-undang secara baik dan benar, selanjutnya menggunakan undang-undang itu secara baik dan benar dalam kasus-kasus konkrit. Hakim juga harus mengetahui nilai-nilai (tingkat) ke- sadaran hukum masyarakat sehingga keputusan hakim selalu dilandasi pertimbangn-pertimbangan hukum yang lengkap dan sistematis sehingga orang yang mendengar atau membaca suatu putusan dapan mengetahui jalan pikiran hakim dalam pengambilan keputusan (Subiharta, 1999: 117).

Setelah membaca secara seksama putusan praperadilan O4/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel. yang ditandatangani oleh Hakim Sarpin Rizaldi dan Panitera Pengganti Ayu Triana Listiati, yang pada intinya memenangkan permohonan praperadilan Budi Gunawan atas penetapan statusnya sebagai tersangka korup- tor oleh KPK. Kemenangan Budi Gunawan dalam praperadilan itu menjadikan ia terbebas dari penetapan tersangka koruptor oleh KPK.

Putusan tersebut serta merta menimbulkan kegaduhan dalam dunia hukum di Indonesia. Paling tidak terpolarisasi dalam dua kubu, kubu pertama mendukung putusan Hakim Sarpin, Sarpin dipandang menerapkan kebebasan dan ke- mandirian hakim dengan melakukan satu terobosan hukum dan kubu yang menganggap putusannya kontroversial. Untuk tidak terjebak pada kubu-kubuan tentang hal itu, peneliti men- coba menganalisis konten putusan tersebut dengan tolak ukur idealita putusan hakim yang dibahas pada bab sebelumnya dan asas-asas yang berlaku pada hukum pidana terutama asas le- galitas dan kepastian hukum serta logika hukum.

Sebelum melakukan itu, dalam putusan yang memenang- kan Budi Gunawan tersebut, Hakim Sarpin memberikan 5 (lima) pertimbangan sebagai berikut;

Content Analysis Terhadap Putuzan Peradilan Nomor: 04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

1. Penetapan tersangka merupakan obyek praperadilan

Hakim Sarpin dalam putusannya itu mengetahui bahwa wewenang praperadilan sebagaimana tertera dalam KUHAP Pasal 77 juncto 82 ayat (1) juncto 95 ayat (1) dan (2) KUHAP serta Pasal 1 angka 10 KUHAP tidak disebutkan penetapan ter- sangka termasuk dalam obyek praperadilan. Namun, Sarpin berpendapat, bukan berarti jika tidak disebutkan kemudian bukan wewenang praperadilan.

Argumentasi Sarpin terhadap pendapatnya bahwa peneta- pan tersangka menjadi obyek praperadilan adalah;

a. Mendasarkan pada pendapat ahli Bernard Arief Shi- darta yang menyatakan bahwa penetapan tersangka sebagai hasil dari penyidikan.

b. Penerapan tafsiran “barang” terhadap satu tidak pi- dana.

c. Penafsiran penghaluasan hukum (recht verfeining) dan penafsiran secara luas (extensive intepretatie) dalam hukum pidana materiil tindak pidana subversif pada masa lalu (lihat putusan pada hal 223-225).

2. Penetapan tersangka mengandung unsur pemaksaan

Hakim Sarpin berpandangan bahwa penetapan tersangka termasuk bagian dari bentuk pemaksaan yang dilakukan oleh penyidik.

“bahwa segala tindakan Penyidik dalam proses penyidi- kan dan segala tindakan Penuntut Umum dalam proses penuntutan adalah merupakan tindakan paksa, karena telah menempatkan atau menggunakan label “Pro Justi- cia” pada setiap tindakan” (hal 225 putusan).

141 3. Komjen Pol. Budi Gunawan bukan penegak hukum dan

pejabat negara pada saat melakukan tindak pidana yang disangkakan.

Sarpin menuturkan KPK menyasar Budi Gunawan saat menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier pada 2003-2006. Menurut Sarpin, jabatan ini hanya administrasi di bawah Dep- uti Sumber Daya Manusia dengan pangkat eselon II. Dengan posisinya yang seperti itu pada saat itu, dengan berbagai ar- gumennya ia menyimpulkan bahwa Budi Gunawan bukan pen- egak hukum dan bukan penyelenggara negara (hal 234-236).

4. KPK tidak bisa menyerahkan bukti penetapan ter- sangka Budi Gunawan.

Karena menurut Hakim Sarpin yang hadir dalam persi- dangan, KPK tidak dapat menghadirkan alat bukti yang men- unjukkan Budi Gunawan sebagai penegak hukum ataupun pe- nyelenggara negara (hal 237-238).

5. Tidak meresahkan masyarakat.

Sarpin menilai kasus yang disangkakan kepada Budi Gunawan tidak berdampak banyak kepada masyarakat. Sebab, status tersangka dikenakan saat Budi Gunawan menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier. Kasus menjadi perhatian publik baru ketika ia jadi calon tunggal Kapolri (hal. 238).

6. Tidak ada kerugian negara

Bahwa hakim Sarpin mendasarkan pada alasan-alasan sebelumnya, terutama terkait dengan hadiah atau pemberian janji tidak berkorelasi dengan hilangnya uang negara sehingga dinilai tidak ada kerugian negara (hal 238-239).

Content Analysis Terhadap Putuzan Peradilan Nomor: 04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Dari 6 (enam) argumentasi Hakim Sarpin yang men- dorongnya untuk menjatuhkan kemenangan bagi Pemohon. Bahwa argumentasi tersebut dapat dilihat bagaimana sesung- guhnya argumentasi itu dapat dieksaminasi;

Pertama, bahwa penerimaan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan dapat saja diterima sebagai satu terobosan hukum di bidang hukum acara. Tetapi setelah membaca keseluruhan argumnetasi Sarpin, ada hal yang menurut peneliti janggal;

a. Untuk argumentasi bahwa asas legalitas menurut Sarpin hanya berlaku dalam hukum pidana ma- teriil. Pada pada banyak tulisan baik dalam media elektronik (website atau blog) serta buku-buku bahwa dalam hukum acara pidana pun berlaku asas legalitas. Asas legalitas asas yang berlaku umum disemua sistem hukum.

b. Kejanggalan berikutnya adalah dalam metode pe- nafsiran; Sarpin menafsirkan penetapan tersang- ka sebagaimana penafsiran tentang barang/ben- da yang ada dalam tindak pidana. Ini tidak fair. Karena pada argumen sebelumnya ia menyatakan tafsirannya bahwa asas legalitas hanya berlaku pada pidana materiil. Disini terlihat ketidakkon- sistenan Sarpin dalam berargumentasi. Ditambah dengan metode penafsiran ekstensif pada kasus subversif yang pernah berlaku pada zaman orde baru. Pada hal bila melihat klausul pada pasal 77 KUHAP penyebutan tindakan paksa limitatif pada penangkapan, penahanan dan penggeledahan.

143 Kedua, Pada kemantapan argumentasinya yang menyatakan

bahwa dalam penetapan tersangka terdapat upaya paksa dan perampasan hak asasi manusia, pendasa- ran argumentasi Sarpin bukan pada klausul aturan

tetapi pada landasan filosofis dan sisi unsur peram- pasan hak asasi manusia. Pandangannya tersebut disandarkan pula pada pendapat saksi ahli Bernard Arief Shidarta sebagaimana diungkap dimuka. Ke- mudian ada beberapa pandangan dari saksi ahli juga yang menyatakan bahwa penetapan tersangka pada saat pembuatan undang-undang berbeda konsek- uensinya bersamaan dengan perkembangan hukum yang ada, kaitannya dengan harkat dan martabat manusia serta ada beberapa peraturan perundangan yang walaupun untuk sementara merampas hak-hak orang yang ditetapkan sebagai tersangka.

Putusan Sarpin yang memasukan penetapan tersang- ka sebagai obyek praperadilan akhirnya mendapat kekuatan hukum setelah Mahkamah Konstitusi me- mutuskan bahwa penetapan tersangka juga sebagai obyek praperadilan yang dipandang didalamnya ada unsur pemaksaan dari penyidik dan perampasan hak asasi. Alasan-alasn dalam putusan MK No. 21/PUU- XII/2014 yang dibacakan pada tanggal 28 April 2015 secara subtantif memiliki alasan yang sama seba- gaimana yang digunakan oleh Sarpin.

Ketiga, bahwa argumentasi Budi Gunawan bukan penegak hukum dan bukan pula penyelenggara negara adalah alasan yang dapat dikatakan tidak masuk akal, men- gada-ada. Pada argumentasi ini logika hukum Sarpin terlihat kacau.

Content Analysis Terhadap Putuzan Peradilan Nomor: 04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

Telah menjadi pengetahuan umum bahwa lembaga kepolisian adalah penjaga keamanan da ketertiban. Jawahir Thontowi (2002: 256) mengatakan “jati diri polisi sebagai aparat keamanan dan bagian dari penegak hukum”. Polisi sebagai penegak hukum dan aparatur negara tidak terbagi-bagi dalam jabatan- jabatan eselonitas. Jabatan eselonisasi hanya sebagai struktur organisasi dan administrasi. Semua orang yang dalam melaksanakan tugasnya mendapatkan gaji negara dapat dikatakan sebagai penyelenggara negara, tidak terbagi-bagi dalam jabatan-jabatan ter- tentu.

Keempat, KPK dianggap tidak mampu menghadirkan alat buk- ti yang terkait perbuatan yang disangkan, berupa bukti transaksi keuangan, yakni seluruh Laporan Hasil Analisi (LHA) transaksi keuangan antara tahun 2003-2009. Disini yang terjadi adalah perbedaan pemahaman antara Termohon dengan Hakim ten- tang alat bukti. Padahal KPK telah menyerah 22 alat bukti yang dapat dijadikan alat bukti lain yang tidak sama dengan permintaan hakim. Ini menunjukkan bahwa hakim hanya memfokuskan satu alat bukti saja yang belum bisa dihadirkan KPK, sementara alat bukti lainnya tidak dipertimbangkan.

Kelima, Setiap perkara tindak pidana korupsi, pada saat di- lakukan tentu tidak akan timbul keresahan dalam masyarakat, karena sifatnya yang tersembunyi. Tidak mungkin korupsi dilakukan secara terang-terangan, sifat extra ordinary dari kejahatan ini berbeda den- gan kejahatan-kejahatan lainnya, white collar crime, tersembunyi, rapi, sistematis, non-violence. Disinilah

145

terlihat bahwa hakim tidak memahami secara tepat sifat kejahatan korupsi.

Masalah keresahan muncul, hanya persoalan waktu saja yang kebetulan bersamaan dengan penetapan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri.

Keenam, dalam kejahatan korupsi berupa pemberian hadiah,

janji, gratifikasi, dan suap pasti tidak akan ada un- sur kerugian negara. Tetapi perlu diingat bahwa tin- dak pidana korupsi yang tertuang dalam UU Tipikor tidak hanya mensyaratkan adanya kerugian (keuan- gan) negara, termasuk didalamnya penyalahgunaan wewenang, memperkaya diri sendiri atau orang lain.

Pemberian hadiah, janji, gratifikasi, dan suap bisa

memperkaya diri sendiri. Jadi argumentasi tidak ada kerugian negara pada perkara ini tidak ada rel- evansinya.

Bila dilihat dari idealita putusan hakim sebagiamana ter- cantum dalam pembahasan sebelumnya (bagian akhir bab se- belumnya), maka dapat dinilai bahwa putusan hakim praper- adilan (Sarpin) sebagai berikut;

1. Bahwa putusan hakim harus memperhatikan kondisi so- sial masyarakat kurang diperhatikan oleh Hakim Sarpin. Sebab selama ini korupsi adalah white collar crime yang memiliki dampak kehancuran luar biasa yang bagi pem-

bangunan fisik maupun karakter bangsa. Ekspektasi

masyarakat agar korupsi mendapatkan penindakan yang

extra ordinary dengan hukuman ekstra pula menjadi ter- cederai.

Keputusan Sarpin menjadi pendorong kuat bagi para ter- sangka koruptor lainnya untuk melakukan perlawanan

Content Analysis Terhadap Putuzan Peradilan Nomor: 04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

kepada para penyidik. Imbas kedepannya akan membuat langkah-langkah penyidik dalam penanganan segala tin- dak pidana, khususnya korupsi akan terhambat dilangkah awal. Kemudian dapat pula merubah image korupsi, bukan lagi sebagai extra ordinary crime.

2. Putusan hakim perlu mempertimbangkan kepastian hu- kum. Dalam kasus ini, hakim Sarpin cukup berani untuk keluar dari apa yang dinamakan kepastian hukum. Kepas- tian hukum sangat identik dengan asas legalitas dimana suatu perbuatan hukum tidak akan dilakukan suatu pros- es penindakan hukum bila tidak ada aturan yang meng- hendakinya. Padahal dalam KUHAP pasal 77 jelas bahwa penetapan tersangka bukan obyek praperadilan. Disini

Sarpin mencoba untuk lepas dari kungkungan positifisme

hukum, yang menghendaki bahwa hukum harus berdasar pada undang-undang.

Sarpin menggunakan beberapa metode interpretatif dan menggunakan satu sumber hukum formil berupa doktrin sebagai landasan penguat argumentasi putusannya. Tapi sayangnya logika hukum yang dipakai tidak konsisten, ar- gumentasinya terlalu dangkal dan menyederhanakan per- soalan. Oleh karenanya setelah putusan itu jatuh, banyak ahli yang mencemooh apa yang jadi putusannya, mencuri- gai kemerdekaanya sebagai hakim, sampai pada rekomen- dasi untuk memeriksanya oleh otoritas Mahkamah Agung. Putusan Hakim Sarpin menjadi putusan satu-satunya yang kontroversial di tahun 2015 dan menjadi perbincangan ataupun kajian bagi para praktisi dan akademisi.

3. Putusan hakim harus fungsional. Pendekatan hukum yang fungsional pada putusan hakim akan dapat mengukur nor- ma hukum dengan mendasarkan pada efektivitasnya dan

147

bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hakim yang berpikir fungsional dalam membuat putusan suatu kasus tidak akan semata-mata hanya mendasarkan pada suatu tatanan yang menghendaki status quo, keadilan, ke- bahagian dan kemanfaatan sosial masyarakat akan selalu dikedepankan.

Faktanya adalah bahwa pasca putusan Sarpin pada kasus ini menjadi kegaduhan di bidang hukum. Masyarakat tidak senang ada koruptor yang dapat lepas dari jeratan hukum (lembaga KPK). Kalaupun itu bukan masuk wewenang KPK seharusnya penyidikan awal KPK bisa digunakan oleh Kejaksaan untuk melanjutkannya, tapi sampai sekarang tidak ada kabar adanya proses lanjutan dari data (alat bukti) hasil penyidikan KPK. Image yang berkembang di masyarakat adalah tidak mungkin kasus Budi Gunawan akan ditindaklanjuti baik oleh Kepolisian maupun oleh Ke- jaksaan.

4. Putusan hakim sebagai tanggung jawab ilmiah. Putusan hakim adalah karya ilmiah hakim. Layaknya karya ilmiah yang dapat dikonsumsi oleh khalayak, maka dalam setiap membuat putusan, hakim harus benar-benar mengguna- kan prinsip-prinsip dasar karya ilmiah; sistematis, logis, dapat diukur dan diuji. Secara umum putusan Hakim Sarpin berkenaan dengan perkara ini sudah dapat dikatakan baik dalam menerapkan prinsip-prinsip karya ilmiah dalam bentuk putusan. Ada beberapa masalah dalam penggunaan logika dapat dijadikan bahan uji bagi putusannya. Tapi say- angnya, putusan hakim bukan karya ilmiah biasa. Putusan hakim adalah hukum yang harus dipatuhi oleh siapapun, apalagi sudah tertutup atau tidak ada lagi upaya hukum yang dapat ditempuh untuk melakukan koreksi ataupun

Content Analysis Terhadap Putuzan Peradilan Nomor: 04/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

perlawanan dari putusan hakim tersebut. Ditambah sete- lah putusan Hakim Sarpin itu muncul putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan penetapan tersangka menjadi obyek praperadilan, dimana putusan MK adalah final and

binding.

149

DAFTAR PUSTAKA

A.A.G. Peters dan Koesriani Siswosoebroto, Hukum dan Perkem- bangan Sosial Buku Teks Sosiologi Hukum Buku II, Ja- karta,: Pustaka Sinar Harapan, 1990.

A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indone- sia, 2004.

Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia”, Makalah dalam Training Hak Asasi Manusia Bagi Pengajar Hukum dan HAM, Makassar, 2010. Adji Samekto, Justice Not For All; Kritik Terhadap Hukum Mod-

ern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis, Yogyakarta: Genta Press, 2008.

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana di Indonesia Cet. VI, Jakarta:

Sinar Grafika, 2012.

Artidjo Alkotsar, Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: UII Press, 1997.

Azhary, Negara Hukum Indonesia-Analisis Yuridis Normatif ten- tang Unsur-unsurnya, Jakarta: UI Press, 1995.

Bagir Manan, Menjadi Hakim Yang Baik, Jakarta: Pusdiklat Teknis Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA-RI, 2008. Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana Tentang Sis- tem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: BP. Undip Semarang, 2007.

Bismar Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Jakarta: Cv Rajawali, 1986.

Busyro Muqoddas dkk, 1992, Politik Pembangunan Hukum Na- sional, Yogyakarta: UII Press.

Farkhani, Pengantar Ilmu Hukum cet. III, STAIN Salatiga Press, Salatiga, 2014.

Hotma P. Sibuea, Asas Negara Hukum, Peraturan, Kebijakan dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Jakar- ta: Erlangga, 2010.

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Nor- matif terj. Raisul Muttaqien, Bandung: Nusa Media, 2008.

Hasby Asy-Syiddiqie, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bin- tang, 1993.

I Gede Yuliarta, “Lembaga Praperadilan dalam Perspektif Kini dan Masa Mendatang dalam Hubungannya dengan Hak Asasi Manusia, Tesis, Semarang: Pascasarjana UN- DIP, 2009.

Imam al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam terj. AH. Al Kattani dan K. Nurdin, Jakarta: Gema Insani Press, 2000:

Jawahir Thontowi, Islam, Politik dan Hukum; Esai-Esai Ilmiah Untuk Pembaharuan, Yogyakarta: Madyan Press, 2002. J.H. Rapar, Filsafat Politik Plato Aristoteles Augustinus Machi-

avelli, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Junaidi, “Positivisasi Hukum Islam dalam Perspektif Pemban- gunan Hukum Nasional Indonesia di Era Reformasi”, Tesis, Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2009.

151

Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Ed.), Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008. Majda El-Mahtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indone-

sia, Jakarta: Kencana, 2009.

Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Admin- istrasi Pengadilan, Buku II edisi revisi, Jakarta: Reed- box Publisher diterjemahkan oleh Muhammad Iqbal S.Hi., MA, 2010.

Mardani, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Na- sional”, dalam Jurnal Hukum No. 2 Vol. 16 April 2009. MPR RI, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Re- publik Indonesia Tahun 1945 (sesuai dengan urutan Bab, Pasal dan Ayat), Jakarta: Sekertaris Jenderal MPR RI, 2010.

Muladi, Hak Asasi Manusia Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, Bandung:

Refika Aditama, 2005.

Romi Libriyanto, Trias Politika dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Malang: Pukap Indonesia, 2008.

Salman Luthan dkk, Praperadilan di Indonesia; Teori, Sejarah dan Praktiknya, Jakarta: ICJR, 2014.

Satjipto Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2007.

_____________, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya,

Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Siti Fatimah, Praktik Judicial Review di Indonesia (Sebuah Pen- gantar), Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Soleman B. Taneko, Hukum Adat Suatu Pengantar Awal dan Prediksi Masa Mendatang, Bandung: Ersco, 1987. Sumali, Reduski Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Peng-

ganti Undang-Undang (Perppu), Malang: UMM Press, 2002.

Soerjono Soekanto, Teori Sosiologi tentang Pribadi dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.

Subiharta, “Kebebasan Hakim dalam Mengambil Keputusan Perkara Pidana di Lingkungan Peradilan Umum”, tesis, Semarang: Universitas Dipenogoro, 1999.

Totok Jumatoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushhul Fikih, TK: Amzah, 2005.

Widayati, Rekonstruksi Kedudukan Ketetapan MPR dalam Sis- tem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2015.

W.J.S. Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2006.

Yahya Harahap, 2001 : 6

Zaqiu Rahman, “Kewenangan Praperadilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”, artikel dalam Jurnal Online Re- chtsvinding diunduh tanggal 23 Oktober 2015.

Zudan Arif Fakrulloh, “Hakim Sosiolog, Hakim Masa Depan”, dalam http://www.indomedia.com/bernas, diakses pada 10 Nopember 2015.

153

Bahan Internet

www.tikusmerah.com

Riza Thalib dalam http://www.dilmilti-jakarta.go.id.

D. Adriyanto dalam http://greatandre.blogspot.com

http//hukumonline.com

http://nahakunaon.blogspot.com

Putusan Mahkamah Agung.go.id

https://kgsc.wordpress.com/

http://kpk.go.id/id/nukpk/id/berita/berita-kpk-kegiatan/290

BIODATA PENULIS

Farkhani, S.HI., S.H., M.H, lahir di Indramayu, 24 Mei 1976. Pendidikan dasar dan menengahnya diselesaikan di kota kela- hirannya (SD, SMP, SMU Muhammadiyah), pernah nyantri di Pondok Pesantren Islam al-Mukmin Ngruki Sukoharjo. Pen- didikan tingginya di tempuh di kota Surakarta pada Univer- sita Muhammadiyah Surkarta Fakultas Agama Islam Jurusan Syari’ah dan Fakultas Hukum (2003), pada waktu yang sama nyantri di Pondok Hajjah Nuriyah Shabran-UMS (2002). Gelar S2 diraih pada universitas yang sama di bidang ilmu hukum (2009), kini sedang menyelesaikan S3 di universitas yang sama. Aktivitas yang dijalani sekarang sebagai dosen Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga dan Anggota Majlis Hukum dan HAM PW Muhammadiyah Jawa Tengah. Beberapa karya yang pernah diterbitkan adalah; Essensi Ajaran Islam 2 (kontributor): LPID- UMS, Surakarta, 2007, Catatan Pinggir Seorang Guru (editor), STAIN Salatiga Press:, 2007, Pengantar Manajemen Pendidikan (editor), Fairuz Media, Sukoharjo, 2009, Pengantar Ilmu Hu- kum , STAIN Salatiga Press, 2010, Madrasah dan Pelestarian Lingkungan Sumbangan Konseptual dan Strategi Aksi (kon- tributor), STAIN Salatiga Press, 2011, Hukum Pemerintahan Daerah Eksperimentasi Demokratisasi Pasca Refromasi, STAIN Salatiga Press, 2011, Hukum Perjanjian (editor) STAIN Salatiga Press, 2012, Konsep Jihad dan Mujahid Damai (editor, Diktis Kemenag RI, 2012), Studi Keislaman di Pergruan Tinggi, STAIN Salatiga Press, 2013, Pengantar Hukum Adat (Editor), Pustaka Iltizam, 2016 dan Hukum Waris Adat (Editor), Pustaka Iltizam, 2016. Beberapa tulisannya juga telah dimuat di jurnal Ijtihad,

155

Attarbiyah, dan Inferensi (IAIN Salatiga), Ishraqi (FAI-UMS) dan Profetika (Pasca Sarjana-UMS).

Evi Aryani, S.H., M.H, lahir di Surakarta, 17 Nopember 1971. Pendidikan dasar, menengah dan tingginya diselesaikan di kota kelahirannya. Gelar Sarjana Hukum diperoleh dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta pada tahun 1996 dan gelar Magister Hukum diperoleh pada almamater yang sama pada tahun 2006 dengan konsenterasi hukum bisnis. Sejak tahun 2000 bekerja sebagai dosen tetap Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pernah menjabat sebagai Direk- tur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Islam dan seka- rang sebagai Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga. Pernah melakukan beberapa penelitian yang dibiayai oleh lembaga sendiri dan nasional. Buku yang pernah diterbitkannya Hukum Perjanjian Implementasinya dalam Kontrak Karya, STAIN Salatiga Press, 2012.

Catatan: ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...