• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Hakim Indonesia

Tahun 1970-an, istilah mafia peradilan sudah menjadi

kosa kata baru dalam ranah hukum Indonesia. Ini menunjuk- kan bahwa proses penegakan hukum kita mulai bermasalah

terutama dalam ruang litigasi. Bila yang dilabeli mafia ini ada- lah lembaga peradilan maka aktor penting dalam permainan tersebut adalah para hakim. Karena merekalah yang pegang peranan dan kendali utama dalam proses yang berlangsung dilembaganya tempat “mengabdi”.

Zaman orde telah berganti, namun istilah awal itu tidak pernah hilang lagi dalam kamus peradilan Indonesia. Peradi- lan yang sejatinya mandiri dan merdeka, kompeten dan ber- wibawa, tidak berpihak, pengayom hukum penegak kepastian hukum dan keadilan berubah menjadi mesin pencetak uang yang handal. Penggeraknya sudah dapat ditebak, hampir setiap orang dalam organ peradilan terjebak dalam gerak mesin itu, dan tuas penggerak sekaligus pengendalinya adalah hakim.

Statemen dimuka tidak berlebihan dan bukan mengada- ada, lembaga peradilan di Indonesia telah menuai kritik dan ketidakpercayaan masyarakat yang mengandung tuduhan ter-

jadinya ketidakadilan (in juctice) putusan, adanya mafia per- adilan kepada seluruh jajaran hakim di semua lini peradilan (dari pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung).

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

Tuduhan tersebut didasarkan pada hasil monitoring be- berapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia. In- donesian Corruption Watch (ICW) mengungkapkan hasil monitoringnya yang dilakukan pada bulan Juni 2001 di media tentang terungkapnya kasus pro judicial corruption yang di- lakukan oleh pihak-pihak yang berperkara di lembaga peradi- lan, baik pengacara, polisi, jaksa maupun hakim. Transparenci International Indonesia (TII), pada Februari 2009 mengemu- kakan hasil penelitian Indeks Persepsi Suap dan Korupsi yang juga menunjukkan keterlibatan lembaga peradilan (termasuk hakim) dengan indeks dan nominal suap yang lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga lainnya (Nunuq Nuswardani, Jurnal Hukum Vol. 4. 16 Oktober 2009; 516)

Sebagai aktor utama lembaga peradilan, posisi dan per- an hakim menjadi sangat penting, terlebih dengan segala ke- wenangan yang dimilikinya. Semua kewenangan hakim di- gerakkan seluruhnya untuk tegaknya hukum dan tercapainya keadilan, tegaknya kebenaran dengan tanpa panda bulu dan keberpihakkan kepada setiap orang yang berperkara. Hakim harus mmapu menjadikan lembaganya menjadi lembaga yang berwibawa, dihormati dan “ditakuti” dalam hal menegakkan keadilan dan kebenaran.

Hadirnya orde reformasi sempat memberikan harapan bagi cerahnya masa depan penegakan hukum, kebebasan be- rekspresi dan transparansi birokrasi. Sebab keluhan-keluhan yang dirasakan pada zaman Orde Baru dicarikan solusi dan dibentuk lembaga-lembaga baru guna mendukung penega- kan hukum. Semua lembaga penegak hukum diawasi oleh se- buah lembaga komisi pengawas. Perilaku hakim diawasi oleh Komisi Yudisial, perilaku jaksa diawasi oleh Komisi Kejaksaan, perilaku Polisi diawasi oleh Komisi Perpolisian Nasional, dan

47

perilaku advokat diawasi oleh Komisi Pengawas. Dari empat komisi yang memiliki tugas pengawasan sekaligus mereko- mendasikan kepada lembaga berwenang untuk menindak para penengak hukum yang “nakal”.

Lebih dari itu, berdasar atas kekecewaan masyarakat dan ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum, terutama dalam hal menindak pelaku-pelaku korupsi. Ketidakpercayaan tersebut jelas terarah pada kinerja kepolisian dalam penye- lidikan maupun penyidikan, kinerja kejaksaan dalam tugasn- ya mewakili kepentingan pemerintah dalam menuntut dan mendakwa, kinerja hakim dalam memvonis. Buntutnya adalah lahirnya lembaga “super body” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Kekecewaan terhadap penegakan hukum sering pula be- rawal dari sisi lemah atau buruknya proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga yang berwenang membentuk un- dang-undang. Sekali lagi, lubang kekecewaan terhadap persoa- lan ini pun telah dibentuk Mahkamah Konstitusi, yang mem- berikan hak yang sangat luas kepada seluruh rakyat Indonesia untuk me-judicial review setiap undang-undang yang lahir dan dianggap merampas hak-hak rakyat dan tidak berkeadilan.

Dalam hal penegakan hukum, setelah dasawarsa reformasi yang heroik itu, posisi dan kedudukan hakim kembali disorot tajam. Kondisi yang demikian sudah barang tentu karena ban- yak hakim yang bekerja tidak sesuai dengan kompetensi, tidak menjaga wibawanya, dan berani bermain mata dalam penega- kan hukum demi sedikit kenikmatan hidup dunia, memburu harta guna menumpuk kekayaannya. Sebagai bukti bahwa hakim kita sedang menghadapi masalah besar adalah bebera- pa contoh berikut;

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

1. Hakim Pengadilan Negeri Yogyakarta, Dwi Djanuwanto, meminta disediakan penari telanjang oleh pengacara. Atas

tuduhan ini, dia menolak mentah-mentah. “Saya kan di fit- nah, di-dzalimi.”

2. Hakim Mahkamah Syariah Tapak Tuan, Aceh, Dainuri, ber- buat cabul dengan perempuan yang sedang berperkara dalam kasus perceraian, Evi. Dainuri mengakui dirinya pernah bermesraan berkali-kali dengan Evi dengan cara menggosok-gosok punggung Evi di kamar mandi dan ber- pangkuan dalam keadaan telanjang di hotel yang disewa oleh hakim terlapor.

3. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifuddin, ter- tangkap tangan oleh KPK menerima sejumlah uang dari kurator, Puguh Wirawan dengan nilai ribuan dollar AS. Syarifuddin ditangkap KPK di rumahnya 1 Juni lalu sekitar pukul 22.10 WIB. Kasus ini masih berlangsung di Pengadi- lan Tipikor.

4. Hakim Pengadilan Negeri Serui , Endratno Rajamai, mem- eras Dewi Parasita sebanyak 66 kali dengan total nilai Rp 80 juta an. Endratno memeras karena mengetahui Dewi mencintainya. Perasaan itu dimanfaatkan Endratno. Atas kasus ini, pada awal 2010 Endratno diganjar hukuman skorsing dan dimutasi.

5. Hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Negeri Bandung, Imas Dianasari, tertangkap tangan oleh KPK pada 30 Juni 2011 karena menerima sejumlah uang dari pihak berperkara sebanyak Rp 200 juta. Kasus ini masih berlangsung di Pengadilan Tipikor Bandung.

6. Hakim Pengadilan Negeri Tangerang, Muhtadi Asnun, di- vonis 2 tahun penjara pada 9 Desember 2010 lalu. Asnun

49

terbukti menyalahi jabatannya sebagai pegawai negeri sipil saat menjabat hakim di Pengadilan Tinggi Tangerang dalam memproses kasus Gayus Tambunan. Muhtadi men- erima sejumlah uang dari Gayus.

7. Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Ja- karta, Ibrahim, dihukum 3 tahun penjara penjara. Hakim Ibrahim dihukum karena menerima imbalan sebesar Rp 300 juta karena berpihak kepada DL Sitorus.

8. Hakim Pengadilan Negeri Bitung, Sulawesi Utara, Ardian- syah Famiahgus Djafar, dipecat karena menjadi calo calon pegawai negeri sipil (CPNS). Dia menerima uang dari Riza Rahmawati sebanyak Rp 90 juta dengan janji bisa menjadi- kan Riza sebagai CPNS di lingkungan MA (http://indone- sianunic.blogspot.com).

9 Kasus yang paling mutakhir adalah tertangkapnya hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Puji Wijayanto oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sedang pesta narkoba di se- buah tempat karaoke bersama teman-temannya dan em- par orang wanita pekerja seks komersial (PSK).

Selain yang tersebut di atas adalah perilaku hakim-hakim

ad hock Pengadilan Tipikor di beberapa daerah, seperti Sema- rang, Surabaya, Kalimantan Timur dan beberapa daerah lain-

nya, yang sungguh-sungguh berpraktik sebagai mafia peradi- lan. Lihatlah perilaku Kartini Marpaung dan kawan-kawan di Pengadilan Tipikor Semarang, Jawa Tengah. Di tangan-tangan mereka para pelaku tindak pidana korupsi banyak yang be- bas dari jeratan hukum. Putusan-putusan bebas yang mereka berikan kepada sujumlah koruptor, bukan murni dari jerih payahnya memeriksa bukti-bukti yang nyata diperadilan dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Putusan-pu-

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

tusan mereka lebih banyak dipengaruhi oleh suap-suap yang diberikan di belakang meja sidang.

Dan peristiwa yang membuat rasa keadilan hukum dan masyarakat yang semakin tergerus adalah Mahkamah Agung yang diisi oleh para hakim agung yang tidak jauh berbeda den- gan hakim-hakim di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Mereka mengabaikan moral justice dan social justice, memberi- kan rekomendasi pada presiden untuk menghapuskan vonis- vonis mati pengedar barang-barang narkotika. Padahal karena narkotika itu ribuan bahkan jutaan warga Indonesia terancam mati perlahan.

Kasus-kasus hakim nakal, mafia hakim sebagaimana terse- but dimuka, memang tidak boleh mengenaralisir bahwa se- luruh hakim di Indonesia berperilaku sama seperti mereka. Masih ada hakim-hakim yang menjaga kehormatan dirinya, kehormatan hukum, kehormatan lembaga peradilan, meneg- akkan hukum dan keadilan dengan nuraninya dan memper- timbangkan moral justice dan social justice. Namun itu tidak banyak dan mereka terutup oleh ulah hakim-hakim yang bejat moralnya, yang lebih menghiasi wajah hakim di Indonesia.

Bandingkan dengan kasus-kasus berikut ini;

1. Pencurian sandal yang disidangkan di Pengadilan Negeri Palu. Tersangka yang masih anak-anak dituntut pidana 5 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum.

2. Kasus pencurian tiga buah biji Kakou oleh nenek Minah di Ajibarang Banyumas. Ia harus menghadapi meja persidan- gan hanya karena biji Kako yang harganya tidak lebih dari 2000 rupiah dipasaran

3. Kasus pencurian semangka oleh Basar dan Kholil di Kedi- ri, Jawa Timur. Dua orang bapak dari keluarga miskin ini

51

sempat dipenjara, ditahan di rutan kelas II Kediri. Kedu- anya diancam karena pencurian buah semangka 5 tahun penjara. Mereka dikeluarkan dari tahanan karena permo- honan penangguhan penahanan yang diajukan oleh pen- gacara Lembaga Bantuan Hukum dikabulkan oleh hakim dan setelah kasus ini banyak disorot oleh masyarakat 4. Pencurian biji merica seberat setengah ons yang dilakukan

oleh kakek Rawi, 66 tahun, di Sinjai Sulewesi Selatan. Ia harus menghadiri setiap persidangan sampai sidang sele- sai sampai pembacaan vonis. Kasus ini juga menyeret Ka- polsek Sinjai karena ada rekayasa penambahan bukti ba- rang curian, yang semual setengah ons menjadi setengah kilogram.

5. Hakim di Mahkamah Agung memvonis nenek Rasminah dengan pidana penjara 4 bulan 10 hari karena mencuri 6 buah piring majikannya.

6. Kasus pencurian sarung oleh Amsirah di Pamekasan Ma- dura. Masjlis hakim Pengadilan Negeri Pamekasan meng- hukumnya 3 bulan 24 hari. Terpidana esok harinya lang- sung bebas kerana sudah menjalani masa tahanan.

7. Pencurian kapuk randu oleh Manisih (40) dan Sri Suratmi (19) di Batang Jawa Tengah. Kerugian yang diakibatkan- nya tidak lebih dari uang seharga dua belas ribu rupiah itu harus menjalani persidangan yang berlarut-larut

8. Kasus penjabretan tas yang berisi uang seribu rupiah oleh seorang anak usia 14 tahun di Denpasar Bali. Anak sekecil itu dan dengan kerugian yang sangat kecil itu harus ber- siap menghadapi persidangan di Pengadilan Negeri Den- pasar Bali.

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

Kasus-kasus yang demikian mencoreng moreng dunia per- adilan di Indonesia. Sekaligus mengindikasikan bahwa hukum sebagai panglima di negara hukum menjadi kurang berarti, karena dalam penerapannya ada indikasi dan bukti nyata dis- kriminasi. Bila pejabat dan aparatur negara yang melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan, kecenderungan untuk bebas dari dakwaan terbuka lebar. Namun bila yang mel- akukan pelanggaran adalah rakyat kecil, palu hakim secepat kilat menjatuhkan vonis ibarat peluru kendali yang dijaatuh- kan, tidak berapa lama langsung meledak.

Kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil menjadi bukti bahwa hakim-hakim kita lebih berperan sebagai penghukum bukan pengadil. Hakim-hakim kita dalam menjalankan rule of law sangat bersifat mekanistik-prosedural, jauh dari sensiti-

fitas keadilan. Dari kasus-kasus tersebut menjadi bukti nyata

pula bahwa hakim-hakim Indonesia dalam memeriksa perkara atau kasus selalu mendasarkan pada bukti-bukti formal, se- dangkan bukti formal sangat mungkin direkayasa. Buktinya kasus pencurian merica di Sinjai, bukti yang semula setengah ons menjadi setengah kilogram.

Berbagai persoalan di atas, jangan an sich disikapi hakim dengan argementasi kaku pada tugas dan fungsi hakim yang di- jamin oleh undang-undang, seperti mendasarkan pada, bahwa; 1. Hakim (pengadilan) tidak boleh menolak perkara yang di-

ajukan kepadanya dengan dalih hukumnya tidak jelas atau belum ada hukum yang mengaturnya (pasal 16 KUHAP, pasal 10 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009).

2. Segala apa yang diputus oleh hakim adalah (dianggap) be- nar (res judicata proveritate habetur).

53

Setelah itu mengabaikan kewajiban lainnya yang juga di- perintahkan oleh undang-undang, “hakim dan hakim konstitu- si wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” (pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009).

Memang tegaknya hukum tidak hanya berada di tangan hakim ada, lima faktor untuk menjamin tegaknya hukum (Sar- jono Soekanto, 2002: 3-53);

1. Hukumnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah peraturan perundangan. Oleh karena itu, pembentuk undang-un- dang (legislatif), pelaksananya (eksekutif) dan penegakn- ya (yudikatif) harus memahami azas-azas yang berlaku pada undang-undang. Pembuatan undang-undang harus

memenuhi syarat filosofis/ideologis, yakni tidak boleh

bertentangan dengan ideologi negara, syarat yuridis, un- dang-undang harus memuat ketentuan yang mengatur kewenangan pembuat undang-undang, dan syarat sosiolo- gis, undang-undang yang dibuat harus sesuai dengan ke- butuhan dan kondisi masyarakat dimana undang-undang tersebut akan diberlakukan.

2. Penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang bersinggungan langsung dengan upaya penegakan hukum, berjalannya undang-undang, mencakup law enforcement dan peace maintenance. Aparatur penegak hukum, dalam menjalan- kan tugasnya harus sesuai dengan kewenangan yang di- berikan oleh undang-undang, mengutamakan keadilan dan profesionlisme.

3. Sarana pendukung tegaknya hukum, sarana yang dimak- sudakn diantaranya adalah tersedianya sumber daya ma- nusia yang handal, berkualitas dan memiliki integritas,

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

peralatan yang memadai, sistem organisasi yang kuat dan berwibawa serta ketersediaan dana yang memadai, untuk keperluan sosialisasi, penyuluhan hukum dan lain seba- gainya.

4. Masyarakat, tidak berarti hukum yang dibuat bila masyarakatnya tidak peduli dengan berbagai peraturan hukum yang ada. Kesadaran masyarakat akan peran pent- ingnya hukum, berusaha mentaatinya dan mengindahkan segala norma hukum yang ada, akan menjadikan hukum berfungsi dengan baik.

5. Kebudayaan, yakni hasil karya, rasa dan cita yang dicipta- kan oleh karsa masyarakat menjadi penyuplai nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan sebagai dasar terbentuknya norma hukum. Budaya masyarakat ini dapat menjadikan sumber penyelaras antara hukum dan perilaku yang men- jadi denyut kehidupan masyarakat.

Dari kelima faktor penentu tegaknya hukum tersebut, hakim dalam kedudukannya sebagai penegak hukum menjadi kunci utama, penentu keberhasilan penegakan hukum. Hakim menjadi satu-satunya organ negara yang memiliki hak untuk menentukan salah dan benarnya tindak tanduk manusia di depan hukum. Oleh karenanya jabatan hakim harus benar- benar diisi oleh orang-orang yang kompeten, kapabel dan me- miliki integritas serta spiritualitas yang mapan. Spiritualitas menjadi unsur penunjang yang tidak boleh ditinggalkan kare- na dengan spiritualitas itu dapat mengasah nurani dan menjadi jalan keluar memohon petunjuk kepada Yang Maha Adil untuk memutuskan perkara yang dihadapinya dengan seadil-adilnya. Semangat keagamaan ini akan membimbing hakim dan mey- akinkan hakim bahwa bila putusan-putusan hukum yang diam-

55

bilnya bertentangan dengan keadilan, akan mengingatkannya bahwa esok (diakhirat) ada pengadilan yang paling adil yang menjadikan dirinya sebagai terdakwa karena ketidakadilan yang pernah dilakukannya di dunia.

Pelanggaran dan penyelewengan akan kedudukan yang disandang oleh seorang hakim akan berdampak pada citra di- rinya di masyarakat. Apabila citra negatif sudah melekat pada jabatan hakim di mata masyarakat luas, maka kepercayaan rakyat akan tugas dan wewenang dalam memeriksa dan me- mutus perkara di negeri ini akanakan menempati urutan ter- endah dibandingkan dengan penegak hukum lainnya, dan hal ini bisa jadi akan menjadi pemantik yang potensial untuk ter- jadinya eigenrechting, hakim-hakim jalanan dan penerapan hukum rimba (Anang Priyanto pada http//www.word-to-pdf- converter.net)

C. Beda Pendapat (Dissenting Opinion) dan Penemuan