• Tidak ada hasil yang ditemukan

Beda Pendapat (Dissenting Opinion) dan Penemuan Hukum

Kemandirian dan kebebasan hakim dijamin oleh Konsti- tusi, UUD 1945 dan selanjutnya diimplementasikan dalam undang-undang, yang terakhir adalah UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Tidak hanya di Indonesia, diseluruh negara kebebasan hakim benar-benar dijamin, bahkan oleh konvensi-konvensi internasional. Diantara konvensi internasional yang menjamin kebebasan dan kemerdekaan hakim adalah;

1. Universal Declaration of Human Rights pasal 10

2. Internatinal Convenant of Civil and Political Rights pasal 14

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

3. Vienna Declaration and Programmefor Action tahun 1993 paragraf 27

4. International Bar Association Code of Minimum Standarts of Judicial Independence tahun 1982 di New Delhi

5. Universal Declaration of the Independence tahun 1983 di Montreal Canada

6. Beijing Statements of Principles of the Independence of Ju- diciary in the Law Asia Region tahun 1995 (Paulus E Lotu- lung, 2003).

Menjadi pertanyaan kita adalah apakah kebebasan dan kemerdekaan hakim itu membuat hakim bebas sebebas-be- basnya atau memiliki batasan-batasan. Menurut Paulus E Lo- tulung (2003), kebebasan dan kemandirian yang dimaksud bukan dalam makna kebebasan mutlak tanpa batasan. Kare- na tidak ada yang memiliki kebebasan mutlak kecuali Tuhan. Kekuasaan kehakiman yang dikatakan independensi itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commision of Jurists dikatakan “independence does not mean that the judge is enti- tled to act in arbitary manner.”

Hemat penulis, kekuasaan hakim dalam persidangan me- mang sangat luar biasa bebas. Sebab putusan hakim tentang perkara apapun yang dihadapinya tidak dapat dipidanakan, dengan catatan putusan yang diberikannya bebas dari faktor- faktor eksternal non-judicary. Ini artinya putusan yang salah, tidak mendasar, mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat atau tidak, mengabaikan unsur moral, mempertimbangkan nu- rani dan sebagainya, asalkan dalam putusannya diberikan ar- gumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka jadilah sebagai putusan. Bila para pihak yang berperkara

57

tidak puas terhadap putusannya, maka ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk mendapatkan keadilan agar berpihak padanya.

Kebebasan yang dimaksudkan dalam kekuasaan kehaki- man, termasuk didalamnya bebas pula bagi tiap individu-in- dividu hakim untuk berbeda pendapat dengan anggota hakim lainnya dalam musyawarah majlis hakim pada saat menjatuh- kan putusan. Kemudian diberikan kesempatan untuk mengu- tarakan perbedaan pandangannya itu dalam persidangan.

Kebebasan yang dijamin tersebut dapat dalam bentuk beda pendapat (dissenting opinion) dan penemuan hukum baru (rechtsvinding).

1.

Beda pendapat (dissenting opinion)

Beda pendapat atau lebih familiar disebut dissenting opin- ion merupakan persoalan baru dalam ranah peradilan Indone- sia. Istilah ini baru tenar setelah hampir satu windu perjala- nan reformasi, yakni pada kasus-kasus pidana korupsi yang menimpa pejabat negara. Sesungguhnya secara yuridis telah dikenal pada UU No 4 tahun 1998 tentang Kepailitan. Mungkin kalau bukan karena reformasi yang diusung dan dikawal oleh mahasiswa, tidak akan secepat ini tenarnya sistem yang tidak dikenal dalam sistem hukum eropa kontinental masuk dalam sistem peradilan Indonesia.

Pendapat atau opini hukum ini memang pada awalnya han- ya dikenal dalam negara hukum anglo saxon, seperti Amerika dan Inggris. Ia merupakan penjelasan tertulis dari seorang hakim dalam menyelesaikan perkara berdasarkan pada rasion- alitas dan prinsip hukum yang mengarahkan kepada peraturan

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

yang telah dibuat. Pendapat itu biasanya diterbitkan dengan arahan pengadilan dan hasilnya mengandung pernyataan apa itu hukum dan bagaimana seharusnya hukum itu diinterpre- tasikan. Opini hukum ini dikenal dengan istilah legal opinion.

Dalam legal opinion tersebut terdiri dari beberapa macam istilah dengan epistimologi tersendiri, yakni;

1. Judicial opinion, yakni pernyataan atau pendapat, atau putusan hakim dalam memutuskan perkara, baik per- data maupun pidana.

2. Majority opinion, yaitu pendapat hakim yang disetujui oleh mayoritas hakim yang ada pada suatu lembaga peradilan.

3. Concuring opinion, yaitu pendapat yang dikelurkan oleh pengadilan tinggi kepada pengadilan yang lebih rendah, berupa memo atau catatan.

4. Plurality opinion, yaitu biasanya pendapat di pengadi- lan tingkat banding, dimana tidak ada satupun pen- dapat yang diterima dan didukung oleh mayoritas hakim.

5. Dissenting opinion, yaitu beda pendapat (www.pa-ma- gelang.go.id)

Dissenting opinion secara harfiah berasal dari kata dissent

yang berarti berselisih paham, opinion diartikan sebagai pen- dapat, pikiran dan perasaan (Wojowasito dan Purwadarminta, 2001: 45 dan 131). Maka secara sederhana, dissenting opinion adalah perbedaan pendapat, dalam hal ini adalah pendapat di bidang hukum.

Secara istilah, dissenting opinion (beda pendapat) adalah beda pendapat yang diutarakan oleh seorang atau bebera-

59

pa orang hakim dalam sebuah majlis hakim dalam memutus perkara dan dibacakan dimuka persidangan, sedangkan pen- dapat itu tidak mendapat dukungan mayoritas dari anggota- anggota dalam majlis hakim tersebut.

Walaupun pada mulanya, dissenting opinion adalah bagian dari hukum acara di negara-negara anglo saxon, namun lambat laun diapsi pula oleh negara-negara penganut eropa kontinen- tal, seperti Indonesia, Belanda, Prancis dan negara lainnya.

Di Indonesia, dissenting opinion dikenal pertama kali men- jadi bagian dari hukum acara adalah pada kasus kepailitan den- gan landasan yuridis UU No. 4 tahun 1998. Namun dissenting pinion ini hanya familiar di kalangan pelaku usaha, yang san- gat terbatas. Dissentingopinion mulai marak diperbincangkan pada kasus Akbar Tanjung. Selanjutnya muncul dalam dua un- dang-undang, yakni UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 37 tentang Mahkamah Agung.

Setelah lahirnya beberapa undang-undang yang menca- tumkan secara tegas diperbolehkannya hakim berbeda pen- dapat dengan pendapat mayoritas hakim, kemudian dissenting opinion mulai lebih sering muncul, terutama pada kasus-kasus pidana (korupsi).

Dalam perkembangannya dissenting opinion tidak hanya dilakukan oleh para hakim (juris) pada lembaga-lembaga per- adilan, tetapi mulai melebar pada penjurian di luar lembaga- lambaga peradilan. Adapu latar belakang penerapan dissenting opinion di Indonesia berdasarkan pada pemikiran sederhana yang menyatakan bahwa sebuah putusan dapat dikatakan adil bila mana setiap hakim dapat menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas, terbuka dan ju-

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

jur dengan pertimbangan hukum, sampai tercapainya satu pu- tusan yang bersifat kolektif.

Pengadopsian dissenting opinion karena diyakini mem- bawa manfaat dan nilai-nilai positif yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk mengontrol hakim. Diantara nilai-nilai positif yang dapat diambil darinya adalah;

a. Dapat diketahui pendapat hakim yang berbobot, dalam upaya hukum banding dan kasasi akan menjadi pertimbangan pendapat hakim mana dalam majlis tingkat pertama yang sesuai dengan putusan banding atau kasasi.

b. Sebagai indikator untuk menentukan jenjang ka- rir hakim, menjadi standar penentuan pangkat dan jabatan yang selama ini hanya berdasarkan usia dan etos kerja. Kualitas putusan hakim menjadi penilaian kualitas hakim.

c. Sebagai upaya untuk menghindari kecurigaan masyarakat terhadap praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam putusan hakim.

d. Dengan adanya dissenting opinion dapat diketahui apakah putusan hakim itu sesuai dengan aspirasi hu- kum dan keadilan masyarakat atau tidak.

e. Dissenting opinion dapat juga menjadi alat ukur apa- kah peraturan perundangan yang ada (dalam kasus yang dihadapi) cukup responsif atau tidak (www.pa- magelang.go.id)

Dissenting opinion dapat saja lahir di semua level peradilan dan pada semua sidang penjurian. Dissenting Opinion terjadi karena beberapa sebab: interpretasi yang berbeda dari kasus

61

hukum, penggunaan prinsip-prinsip yang berbeda, atau penaf- siran yang berbeda dari fakta-fakta. Dalam putusan yang dike- luarkan, hakim dapat menulis “setuju di bagian tertentu dan tidak setuju sebagian tertentu.” Dan dalam dissenting opinion ini juga sangat mungkin muncul pemikiran-pemikiran baru tentang hukum pada kasus yang dihadapi dengan berbagai permasalahan yang melingkupinya, muncul terobosan-tero- bosan hukum dan temuan-temuan hukum serta dapat diguna- kan guna memancing terjadinya perubahan-perubahan pada peraturan tertentu dan dapat saja ditiru oleh hakim yang lain pada kasus yang sejenis. Walaupun memang dissenting opinion tidak mengikat dan berpengaruh apapun pada putusan hakim. Ia merupakan wujud penghargaan terhadap pandangan-pan- dangan hakim yang sangat mungkin berbeda. Mungkin inilah

salah satu dari landasan filosofis mengapa sebuah perkara atau

kasus disidang oleh hakim dalam bentuk majlis yang berjum- lah ganjil.

2.

Penemuan hukum oleh hakim (rechtsvinding)

Hukum yang diciptakan seringkali menyisakan celah-celah yang dapat dipergunakan bagi orang-orang yang tidak bertang- gung jawab untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat mer- ugikan orang lain maupun lembaga, baik lembaga privat mau- pun lembaga publik. Pun kita pahami bahwa perkembangan hukum tidak seakseleratif perkembangan kehidupan manusia yang sangat dinamis. Maka sangat dimungkinkan adanya kebi- asaan atau perbuatan baru manusia yang belum dapat diatur oleh hukum yang telah ada. Karena mungkin kebiasaaan atau perbuatan baru manusia ada yang bersifat merugikan pihak lain, maka tidak menutup kemungkinan akan ada pengaduan suatu perkara kepada hakim.

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

Mendasarakan pada produk hukum Hindia Belanda da- hulu, yaitu Algemen Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia

(AB) yang hingga kini masih berlaku, pada pasal 22 dinyata- kan bahwa; “hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak leng- kap, maka ia dapat dituntut atau dihukum karena menolak mengadili”. Artinya apapun perkara hukum yang diajukan ke- hadapan hakim (pengadilan) maka tidak ada alasan menolak untuk mengadili perkara tersebut. Dengan demikian hakim dituntut untuk menemukan hukum baru berdasarkan keahl- iannya. Selain itu pula, dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 10, hakim wajib menggali, mengi- kuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidp dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam pasal 5 dinya- takan “hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil, professional dan berpengalaman di bidang hukum” (Farkhani, 2010)

Penemuan hukum, pada hakekatnya mewujudkan pengem- banan hukum secara ilmiah dan secara praktikal. Penemuan hukum sebagai sebuah reaksi terhadap situasi-situasi prob- lematikal yang dipaparkan orang dalam peristilahan hukum berkenaan dengan dengan pertanyaan-pertanyaan hukum

(rechtsvragen), konflik-konflik hukum atau sengketa-sengketa

hukum. Penemuan hukum diarahkan pada pemberian jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tentang hukum dan hal pen- carian penyelesaian-penyelesaian terhadap sengketa-sengketa konkret. Terkait padanya antara lain diajukan pertanyaan-per- tanyaan tentang penjelasan (tafsiran) dan penerapan aturan- aturan hukum, dan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dari fakta-fakta yang terhadapnya hukum harus diterapkan. Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyele-

63

saian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah- kaidah hukum.

Penemuan hukum termasuk kegiatan sehari-hari para yuris, dan terjadi pada semua bidang hukum, seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum pemerintahan dan hukum pa- jak. Ia adalah aspek penting dalam ilmu hukum dan praktek hukum. Dalam menjalankan profesinya, seorang ahli hukum pada dasarnya harus membuat keputusan-keputusan hukum, berdasarkan hasil analisanya terhadap fakta-fakta yang diaju- kan sebagai masalah hukum dalam kaitannya dengan kaidah- kaidah hukum positif. Sementara itu, sumber hukum utama yang menjadi acuan dalam proses analisis fakta tersebut adalah peraturan perundangan-undangan. Dalam hal ini yang menja- di masalah, adalah situasi dimana peraturan Undang-undang tersebut belum jelas, belum lengkap atau tidak dapat memban- tu seorang ahli hukum dalam penyelesaian suatu perkara atau masalah hukum. Dalam situasi seperti ini, seorang ahli hukum tidak dapat begitu saja menolak untuk menyelesaikan perkara tersebut. Artinya, seorang ahli hukum harus bertindak atas ini- siatif sendiri untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan. Seorang ahli hukum harus mampu berperan dalam menetap- kan atau menentukan apa yang akan merupakan hukum dan apa yang bukan hukum, walaupun peraturan perundang-un- dangan yang ada tidak dapat membantunya.

Penemuan hukum dibedakan menjadi dua, penemuan dalam arti sempit dan penemuan dalam arti luas.

a. Penemuan hukum dalam arti sempit

Ada beberapa sarjana hukum yang memberikan pengertian penemuan hukum dalam arti sempit, diantara- nya;

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

1. Ahmad Ali menyatkan, “jika peraturannya sudah ada dan sudah jelas, dimana hakim tinggal menerapkan- nya saja. Dalam penerapannya, hakim dianggap mel- akukan penemuan, yaitu penemuan kecocokan antara diktum-diktum hukum dengan peristiwa hukum yang terjadi.

2. Sudikno Mertokusumo menyatakan, “suatu penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam me- meriksa dan memutus suatu perkara.” Penemuan hu- kum oleh hakim terasa lebih berwibawa karena dis- amping hakim adalah ahli hukum, temuan hukumnya juga memiliki kekuatan hukum dan mengikat (paling tidak) para pihak yang berperkara. Kalau temuan hu- kum itu diikuti pula oleh hakim yang lain, temuan itu menjadi jurispudensi sebagai salah satu jenis sumber hukum formil bagi hakim.

b. Penemuan hukum dalam arti luas

Dalam pengertian ini, hakim tidak lagi dipandang se- bagai pencocok antara peraturan hukum yang ada dengan peristiwa dengan peristiwa yang terjadi. Singkatnya hakim tidak sekedar corong undang-undang. Ia sudah masuk dalam tataran memperluas makna suatu ketentuan un- dang-undang yang terbagi atas konstruksi dan interpretasi hukum. Ada beberapa contoh pengetian penemuan hukum dalam arti luas oleh para ahli, diantaranya;

1. van Eika Hommes menyebutkan bahwa penemuan hu- kum dalam arti luas lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petu- gas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa konkrit.

65

2. Paul Scholten menyatakan bahwa penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang- kadang dan sering terjadi hukum harus benar-benar ditemukan karena sama sekali belum ada peraturan- nya atau dengan cara menginterpretasikannya dengan menggunakan berbagai macam metode.

Walaupun penemuan hukum bisa juga ditemukan oleh ahli hukum selain hakim, tetap saja hakim adalah pemain utamanya karena hakimlah yang selalu menghadapi berbagai peristiwa dan harus memberikan putusan atas peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal itu diperkuat dengan asas “ius curia novit”, yak- ni hakim dianggap mengetahui hukum.

Dasar dan alasan pemikiran untuk melakukan penemuan hukum adalah sebagai berikut;

1. Karena peraturannya tidak ada

2. Peraturan ada tetapi kurang jelas sehingga dilakukan interpretasi sedemikian rupa agar dapat menyelesai- kan suatu perkara.

3. Peraturan ada tetapi sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman, kondisi dan kebutuham serta rasa keadilan masyarakat.

Hasil penemuan hukum (rechtsvinding) oleh hakim itu merupakan hukum karena mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum serta dituangkan dalam bentuk putusan. Di samping itu pula hasil penemuan hukum oleh hakim itu meru- pakan sumber hukum. Penemuan hukum itu sendiri lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksana-

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

kan hukum terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hal ini merupakan proses kongkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa kong- krit. Atau lebih lanjutnya dapat dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peratu- ran hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.

Dari abstraksi pemikiran yang dikemukakan di atas, ter- dapat beberapa hal atau faktor serta alasan yang melatar be- lakangi perlunya suatu analisis terhadap prosedur penemuan hukum oleh hakim dalam proses penyelesaian perkara teru- tama pada tahap pengambilan keputusan, antara lain sebagai berikut :

a. Bahwa kegiatan kehidupan manusia ini sangatlah luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak mung- kin tercakup dalam satu peraturan perundang-undangan dengan tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia, sehingga tak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap seleng- kap-lengkapnya dan jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak lengkap dan tidak jelas maka harus dicari dan ditemukan.

b. Perhatian dan kesadaran akan sifat dan tugas peradilan telah berlangsung lama dan ajaran penemuan hukum, aja- ran penafsiran hukum atau metode yuridis ini dalam abad ke 19 dikenal dengan hermeneutic yuridis (hermeneuti- ka), namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan penerapannya.

67

c. Munculnya suatu gejala umum, yakni kurangnya serta menipisnya rasa kepercayaan sebagian “besar” masyarakat terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Gejala ini hampir dapat didengar dan dilihat, melalui berbagai me- dia yang ada. Menurut hemat peneliti gejala ini lahir tidak lain adalah karena terjadinya suatu ketimpangan dari apa yang seharusnya dilakukan/diharapkan (khususnya dalam proses penegakan hukum) dengan apa yang terjadi dalam kenyataannya.

d. Kaitannya dengan gejala umum di atas, dari mekanisme penyelesaian perkara (kasus) yang ada, tidak jarang hakim selaku penegak hukum menjatuhkan putusan/vonis terha- dap kasus yang tanpa disadari telah melukai rasa keadilan masyarakat disebabkan karena terlalu kaku dalam melihat suatu peraturan (bersifat normative/positivistik) tanpa mempertimbangkan faktor sosiologis yang ada. Salah satu contoh yang masih hangat dimemori kita pada awal bulan yang lalu yakni divonis bebasnya beberapa kasus korupsi (koruptor) kelas kakap yang nyata-nyata telah merugikan Negara.

e. Alasan yang lain yang tentunya sangat terkait dengan kaji- an ini yakni melihat bagaimana seorang hakim melakukan penemuan hukum dalam tugas dan tanggung jawabnya yang sudah menjadi kewajiban melekat pada profesinya serta sejauhmana hal itu dapat mewarnai dalam setiap pu- tusan yang dilahirkan.

Salah satu contoh penemuan hukum yang menjadi presed- en di dalam hukum Indonesia, misalnya dalam kasus sengkon dan karta yang menumbuhkan kembali lembaga Herzeining (peninjauan kembali) dan penafsiran secara meluas (eksten-

Wajah Hakim Dalam Beda Pendapat dan Penemuan Hukum

sif) di dalam definisi mengenai barang dalam Pasal 378 oleh

Bintan Siregar kemudian pada zaman kolonial dengan be-

berapa benchmark cases, seperti mendefinisikan ulang unsur-

unsur perbuatan melawan hukum melalui kasus pipa ledeng

atau mendefinisikan secara luas (ekstensif) pengertian barang dalam delik pencurian, yang mengkualifikasikan listrik sebagai

barang pada H.R. 23 Mei 1921, N.J.1921, 564. Dalam konteks hukum nasional ialah putusan yang mengizinkan perubahan status jenis kelamin pasca operasi penggantian kelamin se- bagaimana diputus oleh Pengadilan Jakarta Selatan dan Barat Nomor 546/73.P Tanggal 14 November 1973 dengan pemohon ialah Iwan Robianto Iskandar.

69

DISSENTING OPINION DAN

RECHTSVINDING DALAM

PUTUSAN HAKIM

(Sebuah Contoh Kecil dari Kinerja Hakim di

PN dan PA Kota Salatiga)

Secara yuridis, kebebasan dan kemerdekaan hakim dija- min oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Kebebasan yang di- maksud adalah kebebasan hakim dalam memutuskan perkara lewat pertimbangan hukumnya dan bebas pula dari intervensi pihak lain, termasuk penguasa.

Dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehaki- man, Pasal 14 ayat (3) dan (4) memuat ketentuan bahwa dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, Bila dalam hal sidang permusyawaratan tidak da- pat dicapai mufakat bulat pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan. Ketentuan Pasal ini mengartikan bahwa

dissenting opinion sebagai pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

Dalam UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dissenting opin- ion diatur dalam ketentuan Pasal 30 ayat (3) dan (4) sebagai berikut: Pasal 30 ayat (2) menggariskan, dalam musyawarah pengambilan putusan setiap Hakim Agung wajib menyampai-

Dissenting Opinion dan Rechtsvinding Dalam Putusan Hakum

kan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpi- sahkan dari putusan. Pada ayat (3) ditambahkan, ”dalam hal musyawarah tidak dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim Agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.

Hakim dalam melakukan dissenting opinion, biasanya dipengaruhi oleh faktor subyektif yang ada pada diri hakim itu sendiri dan faktor obyektifnya. Yang dimaksud dengan faktor subyektif ini adalah;

1. Sikap prilaku yang apriori, adanya sikap hakim yang ber- landasarkan kepada terdakwa yang diperiksa dan diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana.

2. Sikap perilaku emosional, hakim yang mempunyai sifat mudah tersinggung akan berbeda dengan sifat seorang hakim yang tidak mudah tersinggung. Putusan seorang hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan putusan seorang hakim yang sabar.

3. Sikap arrogance power, sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan adalah arogansi kekuasaan. Di sini hakim