• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jaminan Kemerdekaan Hakim

Setelah sekian lama dan melihat realitas praktek persidan-

gan yang sangat rigid, positifistik dan seringkali mengabaikan

rasa keadilan masyarakat, Undang-Undang Kekuasaan Kehaki- man No. 48 Tahun 2009 pada pasal 5 ayat 1 memberikan ket- egasan atau perintah untuk melakukan hal tersebut, “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan mema- hami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara Republik Indonesia, secara tegas menyatakan bahwa Indone- sia adalah negara hukum, akan tetapi konsep negara hukum model rule of law atau rechtstaat tidak dijelaskan dengan tegas. Ketidaktegasan dalam berpihak pada salah satu bentuk dari bentuk sistem hukum yang diadopsi di banyak negara, men- jadikan ketidakjelasan sistem bagi tata hukum di Indonesia. Bukti ini dapat dilihat ketika awal reformasi banyak pihak me- nyoroti UUD 1945 yang dikatakan oleh Soekarno sebagai revo- lutie groundwet (Konstitusi Revolusi atau Konstitusi Singkat).

Karena sebagai konstitusi yang sangat singkat -baik sing- kat dari sisi penyusunannya maupun singkat dari sisi mater- inya- jelas ada banyak kekurangan. Jimly Asshiddiqie (2005: 7) merangkumnya dalam 8 (delapan) kekurangan, salah satu diantaranya adalah kurangkuatnya kemandirian kekuasaan ke- hakiman. Oleh sebab itu kemudian UUD 1945 diamandemen, diantaranya dalam rangka memperkuat kekuasaan kehakiman

yang ditindaklanjuti pula oleh perubahan-perubahan terhadap undang-undang tentang kekuasaan kehakiman yang telah ada. Tuntutan terhadap persoalan ini penting karena hakim adalah benteng terakhir dari sistem penegakkan hukum di ne- gara ini. Kekuasaan kehakiman diperkuat tidak lain adalah un- tuk agar hakim memerankan fungsi sebagai penegakan hukum sekaligus “pembuat hukum” yang kredibel dan professional. Diantara indikasi bahwa hakim itu bebas berkreasi dan berino- vasi dalam ranah hukum (wilayah kerjanya) adalah lahirnya penemuan-penemuan hukum baru atas kasus yang dihadapin- ya dan indikasi bahwa hakim itu bebas merdeka adalah adanya

dissenting opinion (beda pendapat) dalam putusan pengadilan, walaupun harus dipahami bahwa tidak semua putusan harus ada dua hal tersebut.

Khusus berkenaan dengan dissenting opinion, dalam se- jarahnya sudah dikenal dalam peradilan di Indonesia, namun karena sifatnya yang sangat internal (rahasia) maka tidak ban- yak khalayak mengetahui bahwa itu ada. Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (2010) ditulis bahwa Se- benarnya, dissenting opinion sudah lama dikenal dalam dunia peradilan di Indonesia. Yang belum ada saat itu adalah keharu- san memuatnya dalam putusan. selama ini dissenting opinion

dicantumkan dalam sebuah buku yang khusus disediakan dan dikelola ketua pengadilan secara rahasia dalam buku tersebut dicantumkan nama hakim yang berbeda pendapat, kedudu- kannya dalam majelis, nomor perkara, tanggal putusan, penda- pat dan alasannya.

Selain karena sifatnya yang rahasia, Undang-undang No- mor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 182 ayat 6 mengatakan “Pada asasnya putusan dalam

37 musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat ke- cuali jika hal itu setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut: a. putusan diambil dengan suara terbanyak; b. jika ketentuan tersebut huruf a tidak juga dapat diperoleh putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi ter- dakwa.” Selanjutnya, dalam penjelasan pasal tersebut ditegas- kan bahwa hal itu dicatat dalam berita acara sidang majelis yang bersifat rahasia. Kesimpulannya, ketentuan yang selama ini dipegangteguhi oleh hakim itu, maka dissenting opinion yang dilakukan secara terbuka di antara para anggota majelis hakim dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan tidak dimung- kinkan.

Pertama kali dissenting opinion memiliki landasan yuridis yang tegas dan memperbolehkan untuk dikemukakan dalam persidangan adalah dengan lahirnya UU No. 4 Tahun 1998 ten- tang Kepailitan. Setelah itu muncul Perma No. 2 Tahun 2000 tentang Hakim Adhoc yang didalamnya memperbolehkan dis- senting opinion cantumkan dalam putusan walaupun dalam bentuk lampiran. Selanjutnya untuk benar-benar mewujud- kan kemerdekaan hakim yang sesungguhnya yang secara tegas menuangkan dissenting opinion adalah UU No. 4 Tahun 2004 yang diperbaharui menjadi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru setelah regulasi yang jelas ini muncul, beberapa kasus dissenting opinion langsung mencuat dipermukaan, yang pertama kasusnya Abudullah Puteh dan yang cukup menarik perhatian adalah kasusnya Akbar Tanjung.

Kasus Abdulllah Puteh (2005), diyakini sebagai kasus dis- senting opinion pertama setelah regulasinya jelas. Kemudian diteliti oleh Sartika Dewi Lestari dengan judul “Penerapan Dis- senting Opinion dalam Proses Pengambilan Putusan Perkara

Korupsi Pengadaan Helikopter dengan Terdakwa Ir. H. Abdul- lah Puteh oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat”.

Hasil dari penelitiannya adalah terlihat adanya perbedaan pendapat dari dua orang hakim, yaitu hakim ketua dan hakim anggota I pada perkara Abdullah Puteh. Hakim ketua dan Hakim anggota I berpendapat bahwa KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi pengadaan helikopter dengan terdakwa Ir. H. Abdul- lah Puteh. Keadaan tersebut disebabkan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Abdullah Puteh terjadi sebelum diundan- gkannya UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tanggal 27 Desember 2002. Den- gan tidak diperbolehkannya KPK melakukan penyelidikan atau penyidikan terhadap perkara korupsi tersebut, maka berita acara pemeriksaan KPK dianggap tidak sah. Surat dakwaan yang dibuat berdasarkan berita acara pemeriksaan yang tidak sah, berakibat surat dakwaan yang menjadi dasar pemeriksaan persidangan juga dianggap tidak sah. Penahanan terhadap Ab- dullah Puteh juga dianggap tidak sah karena didasarkan kepa- da penyidikan yang tidak sah.

Pendapat dua orang hakim ini kalah, karena tiga hakim lainnya menganggap bahwa Abdullah Puteh bersalah. Berdasar pada asas “demokrasi” yaitu voting jika terdapat perbedaan pendapat yang tidak dapat disatukan, maka tiga orang hakim itulah yang menang dan berhak menjatuhkan vonis kepada ter- dakwa (http://digilib.uns.ac.id).

Kemerdekaan hakim yang dijamin oleh undang-undang pada satu sisi berdampak pada baiknya model pengambilan atau penentuan putusan hakim, pada satu sisi membuka pelu- ang hakim untuk berbuat semaunya. Untuk mengimbangi efek negatif yang muncul, maka dibentuklah Komisi Yudisial yang

39

bertugas memantau perilaku hakim termasuk didalamnya ter- hadap putusan-putusan yang dikelaurkan oleh hakim. Hara- pannya hakim-hakim busuk sebagaimana disebutkan dimuka tidak banyak terjadi di lingkungan peradilan manapun.

kkk

41

WAJAH HAKIM INDONESIA DALAM

BEDA PENDAPAT (DISENTING

OPINION) DAN PENEMUAN HUKUM

(RECHTSVINDING)

A. Hakim Sebagai Judge Made Law dalam Sistem Hukum