• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebebasan Hakim dalam Pembuatan Putusan

Hakim adalah pejabat yang memimpin persidangan. Ia yang memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut. Hakim harus dihormati di ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal ini dapat menyebabkan hukuman. Hakim biasanya mengena- kan baju berwarna hitam. Sedangkan menurut UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur oleh undang-undang (pasal 31). Adapun yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia (pasal 1).

Hakim disebut sebagai aparatur penegak hukum yang di- beri kedudukan tinggi dan wewenang oleh undang-undang di-

Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

harapkan memberikan putusan yang seadil-adilnya, memberi kepastian dan manfaat hukum yang tepat untuk setiap kasus yang diajukan padanya.

Agar kedudukan hakim tetap pada pada posisinya yang mulia, berbagai “rekayasa” agar kemuliaan hakim terjaga. Mu- lai dari sitem seleksi calon hakim yang diperbaiki dari waktu ke waktu, ruang sidang dan peraturan dalam ruang sidang yang dikondisikan sedemikian rupa, kesejahteraan hakim diperha- tikan, kemampuan dan professionalitasnya terus ditingkatkan dan perilakunya diawasi.

Namun hakim adalah manusia yang sangat mungkin me- miliki kelemahan, kekurangan dan kesalahan. Pada posisi sep- erti itu ditangkap dengan jeli oleh para perongrong hukum un- tuk menjadikan putusan hakim tidak berdiri di atas kebenaran dan keadilan.

Menurut Soerjono Soekanto (1982: 51) pada diri sese- orang memiliki faktor-faktor yang dapat mempengaruhi karak- ter dan kepribadiannya, yaitu;

1. Raw in put yaitu faktor-faktor individual dan latar bela- kang kehidupan yang bersangkutan, misalnya pengaruh orang tua,

2. Instrumental in put yaitu faktor-faktor pendidikan formal, misalnya pengaruh sekolah,

3. Environmental in put yaitu faktor-fakor yang berasal dari lingkungan sosialnya secara luas.

Turut menguatkan apa yang disampaikan Soerjono Soe- kanto, Bismar Siregar (1986: 51) mengatakan bahwa “ke- mandirian dan kebebasan hakim sangat bergantung pada prib- adinya dan kemandirian hakim bukan terletak pada jaminan undang-undang tapi iman”.

127

Kebebasan hakim berarti kemerdekaan hakim atau ke- mandirian hakim untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah sebagaimana dikehenda- ki oleh Pasal 24 UUD 1945 banyak yang menafsirkan bahwa dalam perkataan merdeka dan terlepas dari ‘pengaruh’ kekua- saan pemerintah itu, terkandung pengertian yang bersifat fungsional dan sekaligus institusional. Tetapi, ada yang hanya membatasi pengertian perkataan itu secara fungsional saja, yaitu bahwa kekuasaan pemerintah tidak boleh melakukan in- tervensi yang bersifat mempengaruhi jalannya proses pengam- bilan keputusan dalam penyelesaian perkara yang dihadapi oleh hakim.

Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independensi kekuasaan kehakiman, telah diatur secara kon- stitusional dalam UUD 1945. Dari konsep negara hukum sep- erti yang digariskan oleh konstitusi, maka dalam rangka mel- aksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif) untuk membata- si atau mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menja- min dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tin- dakan sewenang-wenang dari pemerintah (https://kgsc.word- press.com/).

Produk kekuasaan kehakiman yang harus nir dari inter- fensi kekuasaan, kepentingan modal atau yang lainnya adalah putusan, penetapan dan akta perdamaian. Terkhusus yang menjadi sorotan dalam penetian ini adalah Putusan.

Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Dalam hal pembuatan putusan -dan dua bentuk produk yang lain- tanggung jawab Hakim sangat berat disebabkan oleh karena Hakim dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus bertanggung jawab kepada Tuhan (transendental re- sponsibility), diri sendiri (internal responsibility), para pihak yang berperkara dan masyarakat (horizontal responsibility), pengadilan yang lebih tinggi (hierarcy responsibility) dan ilmu pengetahuan hukum (legal studies responsibility). Mengingat beratnya tanggung jawab itu maka adanya profesionalisme dan integritas pribadi belumlah cukup, melainkan hakim juga harus mempunyai iman dan taqwa yang baik, mampu berko- munikasi serta menjaga peran, kewibawaan dan statusnya dih- adapan masyarakat, memiliki kemampuan multiple intelegent, IQ, EQ dan SQ.

Membuat putusan menjadi kerjaan rutin setiap kali me- nangani perkara, namun yang rutin itu wajib bersifat ilmiah. Artinya bahwa setiap produk putusan hakim adalah semacam karya ilmiah yang menuntut keilmiahan pada tiap-tiap lan- dasan pijak hukum dan berbagai argumentasinya. Bedanya dengan karya ilmiah-karya ilmiah produk akademisi adalah produk putusan hakim menjadi hukum (jurisprudensi) yang bisa merampas hak asasi atau melindungi hak asasi. Oleh kare- na sifat tugas hakim yang demikian ini, membawa konsekuensi bahwa hakim harus selalu mendalami perkembangan ilmu hu- kum dan kebutuhan hukum masyarakat. Dengan cara itu, akan memantapkan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasar pe- nyusunan putusannya. Dengan cara ini pula hakim dapat ber- peran aktif dalam reformasi hukum yang sedang dituntut oleh masyarakat saat ini.

129

Terkadang tugasnya menjadi sangat berat, menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 10 hakim “pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bah- wa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Pasal ini adalah imperatif bagi hakim untuk kreatif dan inovatif, merumuskan hukum dengan cara interpretasi hukum, terobosan hukum atau penemuan hu- kum yang sama sekali baru yang tidak tercantum dalam ragam peraturan perundangan yang ada sebelumnya.

Walaupun mendapatkan jaminan oleh undang-undang untuk melakukan penemuan hukum tidak banyak hakim mengambil peluang ini untuk kasus-kasus yang dihadapi, apal- agi pada kasus yang tidak atau belum diatur dalam peraturan perundangan. Kontroversi bisa saja muncul, hujatan bisa da- tang, eksaminasi bisa menghadang, dievaluasi menjadi tantan- gan.

Untuk menghindari putusan yang tidak berkualitas, hen- daknya setiap putusan hakim memperhatikan beberapa hal berikut;

1. Putusan hakim harus memperhatikan kondisi sosial masyarakat, terutama yang terkait dengan kasus yang dihadapinya. Dengan adanya penilaian dari masyarakat mengenai output pengadilan berarti telah terjadi persing- gungan antara lembaga peradilan dengan masyarakat di mana lingkungan peradilan itu berada. Implikasi dari pe- nilaian masyarakat terhadap putusan pengadilan tersebut mengandung makna, bahwa pengadilan bukanlah lembaga yang terisolir dari masyarakatnya. Pengadilan tidak boleh memalingkan muka dari rasa keadilan dan nilai-nilai hu-

Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

kum yang hidup dan berkembang. Para hakim senantiasa dituntut untuk menggali dan memahami hukum yang hidup dalam masyarakatnya (Zudan Arif Fakrulloh dalam

http://www.indomedia.com/bernas).

2. Putusan hakim perlu mempertimbangkan kepastian hu- kum, untuk kasus-kasus yang biasa, bisa diputus dengan putusan yang sangat normatif. Tapi perlu diperhatikan putusan yang hanya menitikan kepastian hukum berarti membatasi hukum pada hukum yang tertulis saja. Hukum semacam ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan baru yang mungkin berbeda dengan suasana hukum yang akan diterapkan. Menerapkan secara serampangan hu- kum tersebut demi kepastian hukum dapat berhadapan dengan rasa keadilan baik bagi pencari keadilan maupun masyarakat. Bismar Siregar pernah mengatakan di dunia ini tidak ada yang pasti (termasuk kepastian hukum), pu- tusan hukum berdasar pada nurani dan iman.

3. Putusan hakim harus fungsional, pendekatan hukum yang fungsional pada putusan hakim akan dapat mengukur nor- ma hukum dengan mendasarkan pada efektivitasnya dan bagaimana bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hakim yang berpikir fungsional dalam membuat putusan suatu kasus tidak akan semata-mata hanya mendasarkan pada suatu tatanan yang menghendaki status quo, keadilan, ke- bahagian dan kemanfaatan sosial masyarakat akan selalu dikedepankan. Dengan demikian, rumusan undang-un- dang tidak hanya dipahami sebatas bunyi undang-undang. Pasal-pasal yang ada dalam undang-undang tidak hanya dianggap sebagai pasal yang mati akan tetapi dilihat dan dipahami sebagai satu rumusan yang senantiasa dapat

131

dijabarkan untuk mewujudkan kehendak dari undang- undang itu sendiri. Bahkan apabila hukum dilihat seba- gai suatu sistem yang mempunyai tujuan tertentu, maka rumusan pasal-pasal yang ada haruslah dilihat sebagai wahana untuk mewujudkan tujuan tersebut. Memahami makna yang terkandung dalam peraturan perundangan. Menurut Cardozo (dalam Bagir Manan, 2008: 5) bahwa dalam hal ada aturan hukum namun terjadi pertentangan antara kepastian hukum dengan keadilan dan kemanfaatan masyarakat, tugas hakim adalah menafsirkan aturan terse- but agar hukum tersebut dapat sesuai dengan keadaan- keadaan baru. Dengan menafsirkan maka dapat diperte- mukan antara kepentingan kepastian (putusan berdasar hukum), dan kepentingan sosial dengan memberi makna baru terhadap hukum yang ada. Dalam kerangka yang leb- ih luas, aktualisasi aturan hukum dilakukan dengan men- emukan hukum (rechtsvinding, legalfinding) yang meliputi menemukan aturan hukum yang tepat, menafsirkan, mel- akukan konstruksi, dan lain sebagainya. Bahkan menggu- nakan bahan-bahan hukum non sistemik, local wisdoms

ataupun hukum transendental.

4. Putusan hakim sebagai tanggung jawab ilmiah, sebagaima- na penulis pernah nyatakan dimuka bahwa putusan hakim merupakan karya ilmiah yang wajib dipertanggungjawab- kan, dieksaminasi ataupun dievaluasi. Suatu putusan yang bertanggungjawab adalah putusan yang mempunyai tum- puan-tumpuan konsep yang kuat, dasar hukum yang kuat. Alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan (hukum dan atau non hukum) yang kuat. Orang boleh berbeda terhadap putusan semacam ini, tetapi tidak ada yang da-

Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

pat menyalahkan karena diputus atas dasar konsep yang kuat. Jadi, harus dibedakan antara pertanggungjawaban dengan rasa puas atau tidak puas terhadap suatu putusan (Bagir Manan, 2008: 5). Wajar dalam setiap putusan pasti ada yang dimenangkan dan dikalahkan, ada yang puas dan tidak puas.

133

CONTENT ANALYSIS TERHADAP

PUTUSAN PRAPERADILAN

NOMOR: O4/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.

A. Pemberantasan Korupsi dan Perlawanan Balik