• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Karakteristik Lanskap Habitat Musim Dingin Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) Berbasis Satellite Tracking di Kalimantan Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Karakteristik Lanskap Habitat Musim Dingin Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) Berbasis Satellite Tracking di Kalimantan Selatan"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KARAKTERISTIK LANSKAP HABITAT MUSIM DINGIN

SIKEP MADU ASIA (Pernis ptilorhynchus) BERBASIS SATELLITE TRACKING DI KALIMANTAN SELATAN

ANNISA HASANAH

A44070026

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul:

STUDI KARAKTERISTIK LANSKAP HABITAT MUSIM DINGIN SIKEP

MADU ASIA (Pernis ptilorhynchus) BERBASIS SATELLITE TRACKING DI KALIMANTAN SELATAN

Adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan pada daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 16 Desember 2011

(3)

RINGKASAN

ANNISA HASANAH. A44070026. Studi Karakteristik Lanskap Habitat

Musim Dingin Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) Berbasis Satellite Tracking di Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh SYARTINILIA.

Burung pemangsa sebagai top predator dalam rantai makanan dapat berfungsi sebagai salah satu spesies indikator untuk disfungsi ekosistem. Burung pemangsa migrasi merupakan burung yang memiliki fungsi spesies indikator yang lebih tinggi karena distribusi yang sangat luas mulai dari breeding habitat, wintering

habitat, dan stopover habitat. Sikep Madu Asia (SMA) merupakan salah satu burung pemangsa migrasi yang memiliki habitat musim dingin (wintering habitat) di Indonesia. Sejak tahun 2003, sebanyak 49 individu SMA yang telah diiikuti jejaknya dengan menggunakan satelit ARGOS dan sekitar 47% dari individunya memiliki habitat musim dingin di Pulau Kalimantan. Habitat musim dingin SMA terdiri dari dua, yaitu corehabitat dan edge habitat. Core dan edge habitat dinilai memiliki karakteristik lanskap tersendiri sehingga menjadi alasan untuk individu SMA memilih habitat tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik lanskap core habitat dan edge habitat SMA, membandingkan karakteristik lanskap core habitat dan edge habitat SMA, dan menyusun rekomendasi untuk pengelolaan lanskap habitat musim dingin SMA.

Pada studi ini, survei dilakukan pada core dan edge habitat SMA di provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Analisis yang digunakan dalam studi ini ialah analisis karakteristik lanskap habitat musim dingin dan analisis perbandingan variabel lingkungan di core dan edge habitat. Analisis karakteristik lanskap menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU). Analisis perbandingan variabel lingkungan dilakukan dengan uji t-student (t-test).

(4)

Component (PC) atau Komponen Utama (KU) yang dapat menjelaskan 76,716 % dari variasi data bagi karakteristik lanskap edge habitat musim dingin SMA.

Komponen pertama (KU1) yaitu jarak terdekat ke elevasi lebih dari 300 meter dan jarak terdekat ke hutan lahan kering; komponen kedua (KU2) yaitu kemiringan lahan dari agak datar ke bergelombang; komponen kelima (KU5) yaitu jarak terdekat ke hutan rawa gambut merupakan persamaan karakteristik yang ditemukan pada core dan edge habitat. Ketiga karakteristik utama ini merupakan karakteristik dasar yang menentukan karakteristik lanskap habitat musim dingin SMA. Karakter ini memiliki tingkat kepentingan yang sama dalam menyusun karakteristik baik pada core maupun edge habitat. Perbedaan karakteristik memiliki dua jenis perbedaan, yaitu karakteristik yang sama tetapi urutan KU yang berbeda dan karakteristik yang berbeda tetapi urutan KU yang sama. Perbedaan ini menentukan tingkat kepentingan masing-masing KU.

(5)

® Hak Cipta IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(6)

STUDI KARAKTERISTIK LANSKAP HABITAT MUSIM DINGIN

SIKEP MADU ASIA (Pernis ptilorhynchus) BERBASIS SATELLITE TRACKING DI KALIMANTAN SELATAN

ANNISA HASANAH

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul : Studi Karakteristik Lanskap Habitat Musim Dingin Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) Berbasis Satellite Tracking di Kalimantan Selatan

Nama : Annisa Hasanah NRP : A44070026

Departemen : Arsitektur Lanskap

Disetujui Dosen Pembimbing

Dr. Syartinilia, SP, MSi

NIP. 19781209 200604 2 025

Diketahui

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, M.SLA

NIP. 19480912 197412 2 001

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Studi Karakteristik Lanskap Habitat Musim Dingin Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) Berbasis Satellite Tracking di Kalimantan Selatan”. Tujuan penulisan skripsi adalah sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Dr. Syartinilia, SP, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi; Prof. Dr. Hadi Susilo Arifin, MS dan Prof. Dr. Wahyu Qamara Mugnisyah, M.Agr selaku dosen penguji atas masukan dan arahan dalam penulisan skripsi; ayah dan mama, Dr. Ir. Apendi Arsyad, MSi dan Sudarijati, SE, MSi, adik-adik tersayang, Inna Rahmawati dan Fathia Nurul Izzah atas kasih sayang bagi penulis; Ir. Qodarian Pramukanto, MSi selaku dosen pembimbing akademik, Profesor Hiroyoshi Higuchi, Zaini Rahman (LSM RAIN), Kang Abit yang telah membantu dan mendukung penulis selama survei penelitian; mas Tri, Mas Poce, dan Doni yang telah banyak membantu dalam pengolahan data; teman-teman ARL 44 tercinta atas kekeluargaan, kebersamaan, serta suka-duka yang telah dialami bersama selama 4 tahun; teman-teman ARL 45, 46, dan 47 atas kebersamaan dan semangatnya; dan teman-teman terdekat penulis atas bantuan dan motivasinya.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 16 Desember 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 23 Maret 1989. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Dr. Ir. Apendi Arsyad, M.Si dan Sudarijati, SE, MSi. Tahun 2007, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dengan mayor Arsitektur Lanskap.

Penulis pernah menjabat sebagai bendahara internal dan ketua divisi Keprofesian Himpunan Mahasiswa Arsitektur Lanskap (HIMASKAP) periode 2008-2010 , anggota HRD International Association of Student in Agriculture and Related Sciences (IAAS), dan ketua EcoFun Community. Penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Sosiologi Umum tahun 2009 dan Perencanaan Lanskap tahun 2011. Penghargaan yang pernah diraih penulis di antaranya: Best Project dalam program “Danamon Young Leaders Awards 2009” dengan karya EcoMonopoly, “ASHOKA Youngchangemakers Award 2009”, Mahasiswa Berprestasi ke-1 tingkat Fakultas Pertanian 2010, “Bayer Young Environmental Envoy” 2010, penerima beasiswa “Bussiness Plan Bank Mandiri” 2011, Juara 1 tingkat nasional “Kompas Kampus Green Living and Youth Creativity Competition 2011” dan 1st Prize “Low Carbon Workshop Tri-University” di Zhenjiang, China.

(10)

DAFT R T ABEL... ... ... ... .... ... ... XlI

DAFT R GMBAR ... ... ... ... ... .... .... .... ... ... ... ... ... ... XIlI

DAFT R LAMPlRAN ... .... ... ... ... ... ... ... ... ... ... XIV

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan... 2

1.3. Manfaat... 3

II. TINJAUN PUSTAA... 5

2.1. Migrasi Bung Pemangsa... 5

2.2. Habitat Burung yang Bermigrasi ... ... ... ... ... 6

2.3. Core habitat dan Edge habitat... ... ... ... ... .... ... ... 7

2.4. Skep Madu Asia (Penis ptilorhyncus) .... 8

2.4.1. Deskripsi Fisik ........ 8

2.4.2. Penyebaran... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 9

2.4.3. Kebiasaan, Makanan, dan Perkembangbiakan .... 10

2.5. Satelite Tracing ... ... .... .... ... ... ... .... ... ... ... ... 10

III. METODOLOGI ... 14

3.1. Tempat dn Waktu .......... 14

3.2. Alat dn Bahan... 14

3.3. Data... 15

3.4. Metode Penelitian... 20

3.4.1. Inventarisasi... 20

3.4.2. nalisis... 21

3.4.2.1. Pangkalan Data Variabel Lingkungan... 21

3.4.2.2. Analisis Karakteristk Lanskap Habitat Skep Madu Asia 24 3.4.2.3. Analisis Perbandingan Variabel Lingkungan ... 24

3.5. Output... 24

IV. KONDISI UMUM ... 26

4.1. Letak Administratif ...... 26

4.2. Kondisi Bioisik ...... 26

4.3. Kondisi So sial Budaya... 28

(11)

V. HASIL DAN PEBAHASAN... 31

5.1. Kondisi Habitat ................. ... ... ... ... ... .... ... ... ... 31

5.5.1 Taman Hutan Raya Sultan Adam ... 31

5.5.2 Hulu Sungai Selatan... 32

5.5.3 Muara Barito ............................. 33

5.2. Karakteristk Core habitat ... ... 34

5.3. Karakteristik Edge habitat... 38

5.4. Perbandingan Karakteristik Core dan Edge habitat... 41

5.3.1 Persamaan Karakteristik... 42

5.3.2 Perbedaan Karkteristk .............................................. 42

5.5. Perbandingan Variabel Core habitat dan Edge habitat... 46

5.6. Rekomendasi Pengelolaan Lanskap Habitat Musim Dingin SMA .... 47

5.6.1 Jangka Pendek ................................................................. 48

5.6.2 Jangka Panjang ....................... 52

VI. SIPULAN DN SN ... 54

6.1 Simpulan... 54

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jenis, Bentuk dan Sumber Data ... 15

Tabel 2. Klasifikasi Faktor Kemiringan Lahan ... 22

Tabel 3. Variabel Lingkungan ... 22

Tabel 4. Hasil Analisis Komponen Utama untuk Core Habitat ... 35

Tabel 5. Hasil Analisis Komponen Utama untuk Edge Habitat ... 39

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian ... 4

Gambar 2. Core Habitat dan Edge Habitat... 8

Gambar 3. Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) ... 9

Gambar 4. Mekanisme Satellite Tracking dengan ARGOS ... 12

Gambar 5. Distribusi habitat musim dingin 49 invididu SMA yang di-track tahun 2003-2010 ... 13

Gambar 6. Lokasi Penelitian (Provinsi Kalimantan Selatan) ... 14

Gambar 7. Peta Distribusi Core dan Edge Habitat di Kalimantan Selatan ... 16

Gambar 8. Peta Penutupan Lahan Kalimantan Selatan... 17

Gambar 9. Peta Kemiringan Lahan Kalimantan Selatan ... 18

Gambar 10. Peta Elevasi Kalimantan Selatan ... 19

Gambar 11. Satellite Tracking ... 20

Gambar 12. Bagan Alur Penelitian ... 25

Gambar 13. Luas Penutupan Lahan di Kalimantan Selatan ... 27

Gambar 14. Luas Kemiringan Lahan di Kalimantan Selatan ... 27

Gambar 15. Luas Elevasi di Kalimantan Selatan ... 28

Gambar 16. Danau Riam Kanan ... 31

Gambar 17. Lanskap Edge Habitat di Taman Hutan Raya Sultan Adam... 32

Gambar 18. Aktivitas Penambangan dan Pencemaran Air di Sekitar Tahura Sultan Adam ... 32

Gambar 19. Lanskap Core Habitat di Kandangan, Hulu Sungai Selatan ... 33

Gambar 20. Aktivitas Penambangan di Core Habitat Kawasan Kandangan ... 33

Gambar 21. Lanskap Edge Habitat di Sungai Barito ... 34

Gambar 22. Diagram Persamaan dan Perbedaan Karakteristik Lanskap Habitat Musim Dingin SMA ... 41

Gambar 23. Sketsa dan Foto Lanskap Core Habitat SMA : Kombinasi Lahan Pertanian dengan Hutan Lahan Kering ... 45

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 0-300 meter ... 62

Lampiran 2. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 300-500 meter . 63 Lampiran 3. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 500-700 meter . 64 Lampiran 4. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi 700-1000 meter ... 65

Lampiran 5. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Elevasi > 1000 meter ... 66

Lampiran 6. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 0-3% ... 67

Lampiran 7. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 3-8% ... 68

Lampiran 8. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 8-15% ... 69

Lampiran 9. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 15-25% ... 70

Lampiran 10. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan 25-40% ... 71

Lampiran 11. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Kemiringan lahan > 40% ... 72

Lampiran 12. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Hutan Lahan Kering .... 73

Lampiran 13. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Hutan Rawa Gambut ... 74

Lampiran 14. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Semak Belukar Rawa .. 75

Lampiran 15. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Sawah... 76

Lampiran 16. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Perkebunan Sawit ... 77

Lampiran 17. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Pertanian/Perkebunan/Semak ... 78

Lampiran 18. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Badan Air ... 79

Lampiran 19. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Lahan Terbuka ... 80

Lampiran 20. Peta Jarak Terdekat (Euclidean Distance) ke Lahan Terbangun... 81

(15)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Burung pemangsa sebagai top predator dalam rantai makanan dapat berfungsi sebagai salah satu spesies indikator untuk disfungsi ekosistem (Syartinilia, 2008). Ancaman terhadap keberadaan burung pemangsa seringkali terjadi di Indonesia, di antaranya: deforestasi, fragmentasi lahan, perburuan, dan perdagangan satwaliar. Hal ini secara tidak langsung menyebabkan adanya ketidakseimbangan ekosistem (Raptor Centre Indonesia, 2008).

Burung pemangsa terdiri dari dua jenis, yaitu burung pemangsa migrasi dan burung pemangsa non migrasi. Elang Jawa merupakan salah satu contoh burung non-migrasi yang menjadi top predator (Syartinilia, 2008). Dibandingkan dengan burung pemangsa non-migrasi, burung pemangsa migrasi merupakan jenis burung dengan fungsi spesies indikator yang lebih tinggi karena distribusi yang sangat luas mulai dari breeding habitat, wintering habitat, dan stopover habitat.

Sikep Madu Asia (SMA) merupakan salah satu burung permangsa migrasi yang memiliki habitat musim dingin (wintering habitat) di Indonesia. Habitat musim dingin SMA terdistribusi ke Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste pada masa wintering. Sejak tahun 2003, sebanyak 49 individu SMA yang telah diiikuti jejaknya dengan menggunakan satelit ARGOS dan sekitar 47% dari individunya memiliki habitat musim dingin di Pulau Kalimantan (Higuchi et al. in prep.). Oleh karena itu, Kalimantan menjadi lokasi studi yang penting untuk mengidentifikasi karakteristik lanskap habitat musim dingin (Syartinilia, Yamaguchi N, Higuchi H, 2010).

Satellite tracking adalah alat yang cukup ampuh untuk menginvestigasi pergerakan hewan ketika sedang berpindah dalam skala global (Cohn, 1999; Webster, M. S., P. P. Marra, S. M. Haig, S. Bensch and R. T. Holmes, 2002). Teknologi ini dapat mengakumulasi bukti terkait pada rute migrasi, lokasi

(16)

Higuchi H, 2008). Satellite tracking tidak hanya memberikan informasi dasar tentang pergerakan dari spesies target, tetapi juga memberikan kontribusi terhadap konservasi spesies dengan menunjukkan tempat persinggahan yang penting atau area yang bertumpang tindih antara burung mencari makan dan rawai perikanan (Yamaguchi et al., 2008). Secara umum, satellite tracking hanya menyediakan informasi lokasi dan waktu saja (dimana dan kapan burung tersebut berada). Ketika informasi ini digabungkan dengan variabel lingkungan dan teknik Sistem Informasi Geografi (SIG), penggunaan habitat dari spesies tersebut dapat dianalisis.

Kalimantan memiliki persentase tertinggi untuk habitat musim dingin SMA, sehingga memegang peranan penting untuk pelestarian habitat. Di sisi lain, kawasan hutan di Kalimantan Selatan terbilang cukup memprihatinkan karena berbagai masalah, di antaranya pembalakan liar, kebakaran hutan di musim kemarau, dan penambangan liar. Pada tahun 2009, tercatat sebanyak 27 kasus pembalakan liar yang terjadi di Kalimantan Selatan (Komisi Kepolisian Indonesia, 2010).

Distribusi habitat musim dingin SMA di Pulau Kalimantan dibagi menjadi

core habitat dan edge habitat dengan luasan masing-masing 27.528,3 km2 dan 153.463,4 km2. Persentase luas core habitat SMA di Pulau Kalimantan yang teridentifikasi adalah sebesar 3,7% dari luas Pulau Kalimantan (Syartinilia et al., 2010). Oleh karena itu, core dan edge habitat dinilai memiliki karakteristik lanskap tersendiri sehingga menjadi alasan untuk individu SMA memilih habitat tersebut.

Pengetahuan tentang karakteristik lanskap habitat SMA dalam konteks habitat musim dingin adalah suatu prasyarat untuk memahami dan mengelola ekologi habitat musim dingin. Oleh karena itu, karakteristik lanskap baik pada core

(17)

1.2.Tujuan

Tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah

1. mengidentifikasi karakteristik lanskap core habitat dan edge habitat SMA, 2. membandingkan karakteristik lanskap core habitat dan edge habitat SMA, dan 3. menyusun rekomendasi untuk pengelolaan lanskap habitat musim dingin SMA

1.3.Manfaat

(18)

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Sistem Informasi

Geografi (GIS) dan analisis statistik

Burung Pemangsa Indikator bagi disfungsi ekosistem

Karakteristik lanskap habitat musim dingin SMA

Rekomendasi pengelolaan lanskap habitat musim dingin SMA Burung pemangsa

migrasi: Sikep Madu Asia Distribusi luas

 Fungsi sebagai spesies indikator lebih tinggi Ancaman : kerusakan habitat. deforestasi, fragmentasi lahan, perburuan dan perdagangan Satwaliar Satellite tracking Core habitat Burung pemangsa non-migrasi: contoh : Elang Jawa

Distribusi sempit

 Fungsi sebagai spesies indikator lebih rendah Breeding habitat: Jepang Stopover habitat Wintering habitat : Kalimantan

(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Migrasi Burung Pemangsa

Migrasi adalah pergerakan organisme musiman terarah yang dilakukan selama perjalanan bulak-balik diantara area reproduksi (breeding site) dan area masa musim dingin (wintering site). Hal ini terjadi pada semua bentuk kehidupan dari hewan dan tanaman, baik besar maupun kecil. Migrasi merupakan suatu respon makhluk hidup terhadap pergantian musim. Burung pemangsa mencari kondisi yang sesuai terhadap suhu, cahaya, dan makanan (Bildstein, 2006).

Selama beberapa tahun, banyak teori migrasi yang telah menjelaskan tentang asal-usul dari sistem migrasi. Teori tersebut menyatakan bahwa sistem migrasi berkembang ketika populasi nenek moyang yang menetap membangun perilaku bermigrasi yang kemudian individu memulai untuk bermigrasi baik menuju maupun keluar dari area breeding yang baru (belahan utara), atau menuju dan keluar dari area non-breeding yang baru (belahan selatan). Teori komprehensif menunjukkan bahwa kecenderungan migrasi telah berkembang, dan terus berlanjut untuk berkembang (Bildstein, 2006). Migrasi tahunan terjadi dengan perubahan garis lintang dan ketinggian (Kendeigh, 1961).

Dalam terminologi habitat burung pemangsa yang bermigrasi, terdapat tiga jenis residen, di antaranya: residen permanen, residen musim panas, dan residen musim dingin. Residen permanen adalah spesies yang ada di suatu area sepanjang tahun walaupun spesies lain bermigrasi. Residen musim panas adalah spesies yang ada hanya pada area yang hangat (tropis), termasuk juga musim reproduksi yang terjadi pada awal musim semi sampai akhir musim gugur. Residen musim dingin adalah spesies yang ada hanya pada musim dingin atau periode non-reproduksi (Kendeigh, 1961).

(20)

(habitat reproduksi). Migrasi ini terjadi pada akhir musim gugur untuk menghindari cuaca ekstrim di habitat asalnya dan mencari makanan di luar habitat asalnya. Migrasi musim semi disebut sebagai return migration ialah migrasi yang terjadi dari habitat musim dingin kembali menuju habitat asalnya. Migrasi ini terjadi pada musim semi. Umumnya, migrasi musim semi terjadi lebih cepat dibandingkan migrasi musim gugur. Migrasi jarak jauh ini dapat memberi manfaat menghindari musim dingin yang cukup keras di belahan utara, dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan menjamin masa reproduksi rata-rata yang lebih tinggi (Bildstein, 2006).

2.2.Habitat Burung yang Bermigrasi

Selama migrasi, burung pemangsa memiliki habitat-habitat yang umumnya digunakan untuk tiga tujuan, yaitu reproduksi (breeding site), persinggahan (stop-over), dan tinggal sementara pada masa musim dingin (wintering site). Tempat reproduksi ialah tempat yang digunakan oleh suatu spesies untuk melakukan proses reproduksi. Stopover didefinisikan sebagai tempat burung yang bermigrasi berhenti sementara untuk beberapa waktu tertentu pada rute migrasi. Selama pemberhentian sementara, burung menggunakan habitat untuk beristirahat, berkumpul dan mencari makan. Lokasi stopover ialah lokasi yang menjadi rute migrasi dan tempat singgah sementara bagi burung pemangsa selama sekitar satu minggu atau lebih. Aktivitas persinggahan ini seringkali digunakan untuk antisipasi terhadap migrasi yang melewati habitat yang tidak terlalu baik (Bildstein, 2006).

(21)

2.3.Core Habitat dan Edge Habitat

Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen, baik fisik maupun biotik, yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar (Alikodra, 1990). Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra,1990). Habitat inti (core habitat) atau interior ialah habitat yang memiliki tingkat isolasi yang tinggi dari gangguan seperti bising, angin, radiasi surya, dan peningkatan predator (Tietje, 2000). Habitat pinggir (edge habitat) adalah tempat yang terdiri dari sekumpulan tumbuhan bertemu dengan daerah suksesi atau sekumpulan tumbuhan lain. Area ini dipengaruhi oleh transisi antara komunitas yang disebut sebagai ecotone. Area ini umumnya lebih kaya satwaliar dibanding area sekitarnya. Edge habitat memiliki karakteristik yang mempengaruhi ukuran dari edge habitat dan tingkat kekayaan habitat tersebut (Thomas, 1979).

Edge habitat merupakan bagian terluar dari suatu inti (patch) yang memiliki nilai lingkungan berbeda dengan bagian inti. Luasan area ini dapat berukuran kecil sampai ratusan meter bergantung pada faktor lingkungan (Tietje, 2000).

Core habitat merupakan area yang memiliki tingkat perlindungan yang cukup tinggi. Core habitat umumnya dikelilingi oleh edge habitat. Fungsi dari edge habitat ini di antaranya sebagai penyangga yang dapat menjamin aktivitas penggunaan lahan yang tidak mengancam integritas dari fungsi core habitat. Edge habitat ini juga berfungsi untuk menciptakan koridor satwa liar dan konektivitas diantara kedua core habitat. Fungsi core habitat dan edge habitat secara ekologis tersaji pada Gambar 2 (Phillips, 2002).

(22)

konservasi dan peneliti dikarenakan nilainya dalam melindungi sumber akuatik. Keberadaan zona penyangga (edge habitat) harus berada di sekitar area daratan yang menjadi core habitat. Edge habitat ini diperlukan untuk melindungi habitat daratan dan akuatik dari pemanfaatan tata guna lahan yang bisa merusak area tersebut. Ketika core habitat menopang populasi agar dapat hidup, edge habitat

berfungsi untuk melindungi sumber daya air (Semlitsch et al., 2001).

Gambar 2. Core Habitat dan Edge Habitat

(Sumber : www.data.iucn.org)

2.4.Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus)

Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhynchus) atau sering dikenal dengan istilah

Oriental Honey Buzzards adalah burung pemangsa yang hidup di kawasan hutan, kawasan lahan yang terolah, dan semi-gurun (Ferguson J, Christie DA, 2005).

2.4.1. Deskripsi Fisik

(23)

warna iris jingga, warna paruh abu-abu, kaki kuning, dan dari jarak pendek bulu-bulu yang berbentuk sisik di depan mata merupakan ciri khas yang bersifat diagnostik. Suara burung ini keras dan bernada tinggi (MacKinnon, 1990). Burung ini bertengger secara berkelompok (Ferguson et al., 2005).

Berdasarkan jenis kelamin, burung ini memiliki beberapa perbedaan, di antaranya:

1. jantan dewasa : memiliki puncak kepala yang ramping, bulunya berwarna coklat, kepala dan badannya berwarna coklat tua gelap,

2. jantan dewasa tipikal : memiliki puncak kepala yang panjang, berwarna coklat, dan

3. Betina Dewasa : terbang rendah, tidak memiliki puncak, lebih pucat, besar

Gambar 3. Sikep Madu Asia (Pernis ptilorhyncus) (Sumber : www.reference.findtarget.com)

2.4.2. Penyebaran

(24)

menghabiskan waktu musim dingin di Asia Tenggara yang dijadikan sebagai habitat musim dingin. SMA terdistribusi ke Filipina, Malaysia, Indonesia, dan Timor Leste. Semua SMA yang bermigrasi ke Asia Tenggara akan bergerak menuju semenanjung Malaysia, tetapi arah dan titik pangkalan berbeda antar individu. Setelah mencapai Sumatera, tujuh burung mengubah arah pergerakan ke arah timur laut: satu individu tiba di Pulau Mindanau dan enam individu mengakhiri migrasi untuk menetap selama musim dingin di Pulau Kalimantan (Yamaguchi et al., 2008).

Setiap tahunnya, SMA melakukan dua tipe migrasi, yaitu migrasi musim gugur (autumn migration) dan migrasi musim semi (spring migration). Migrasi musim gugur yang dilakukan oleh individu SMA dilakukan pada bulan September dari breeding habitat di Jepang kemudian sampai di habitat musim dingin di kawasan Asia Tenggara sekitar bulan Desember. Migrasi musim semi dilakukan pada akhir bulan Februari dari habitat musim dingin. Individu SMA kembali ke habitat asalnya sekitar bulan Mei (Higuchi H, Shiu H, Nakamura H, Uematsu A, Kuno K, Saeki M, Hotta M, Tokita K, Moriya E, Morishita E, Tamura E, 2005).

2.4.3.Kebiasaan, Makanan, dan Perkembangbiakan

SMA sering mengunjungi bukit berhutan. Spesies ini juga memiliki gaya terbang yang khas, yaitu dengan beberapa kepakan sayap yang diikuti oleh gerakan melayang yang lama. Spesies ini juga terbang membumbung tinggi di langit dengan bentangan sayap tetap datar. SMA mempunyai kebiasaan mengambil sarang tawon dan lebah. Makanan SMA adalah lebah, tawon, madu, dan tempayak juga buah-buahan yang lunak, reptilia, dan lain-lain. Sarang burung ini terbuat dari ranting-ranting bercampur daun-daun hijau, diletakkan pada pohon-pohon di hutan. Saat reproduksi, SMA menghasilkan satu atau dua butir telur berwarna putih atau kuning tua dengan banyak bercak merah atau coklat (MacKinnon, 1990).

2.5.Satellite Tracking

(25)

dalam skala global (Cohn, 1999; Webster et al., 2002). Dengan menggunakan teknologi ini, ahli ekologi dapat mengakumulasi bukti yang terkait pada jalur migrasi, tempat singgah, dan tempat mencari makan. Data satellite tracking ini tidak hanya menyediakan informasi dasar mengenai pergerakan dari spesies target, tetapi juga menunjukkan tempat singgah penting yang didatangi oleh burung-burung yang sedang mencari makan atau yang berada di area perikanan (Higuchi et al., 2005).

Sejak tahun 1980, teknologi satellite tracking digunakan untuk memantau burung. Satellite tracking pada hewan menggunakan PTTs (Platform Transmitter Terminals) untuk ditrack menggunakan satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration). PTT ditempelkan pada bagian punggung dari burung kemudian PTT digabungkan dengan GPS (Global Positioning System) (Gillespie, 2001).

Berat PTT relatif kecil (sekitar 200 gram) untuk menghindari gangguan pada burung saat sedang terbang. Energi yang digunakan dalam PTT memanfaatkan tenaga surya dengan menggunakan baterai nikel-kadmiun yang dapat diisi kembali. Baterai ini dapat diisi ulang sebanyak 1000 kali dan bertahan selama 3 tahun (Seegara WS, Henkeb MB, Schorc M, Stoned M, 1996). Akan tetapi, kegagalan dalam tracking dapat terjadi pada saat penggunaaan PTT yang dikarenakan oleh burung mati, PTT yang terlepas, daya tahan baterai habis, dan baterai yang digunakan terlepas dari PTT.

Secara umum, satellite tracking memberikan informasi waktu dan lokasi satwa bergerak. Dengan mengintegrasikan data dengan beberapa variabel lingkungan dan menggabungkannya dengan teknik Sistem Informasi Geografi (GIS), penggunaan habitat dari burung yang telah ditandai dapat dianalisis. Beberapa peneliti menggunakan pendekatan ini untuk memeriksa strategi migrasi (Fujita G, Hong-Liang G, Ueta M, Goroshko O, Krever V, Ozaki K, Mita N, Higuchi, H, 2004), dan untuk penggunaan habitat (Kernohan BJ, Millspaugh JJ, Jenks JA, Naugle DE, 1998).

(26)

(NOAA). NOAA mengikuti lintasan sepanjang 830 km di atas permukaan bumi pada kecepatan satu lintasan orbit setiap 102 menit. Data yang diterima dan ditaruh oleh NOAA akan dikirimkan ke stasiun pusat di Amerika Serikat dan Prancis. Data ini umumnya diterima sekali per orbit dan dikirimkan ke ARGOS

Global Processing Centre. Informasi diubah ke dalam informasi posisi lintang dan bujur. Informasi ini dikirimkan kepada peneliti melalui internet (Gambar 4). Proses ini membutukan 1-2 jam dari waktu saat satelit menerima signal dari transmitter ke waktu saat data lokasi diperoleh oleh peneliti (Higuchi et al., 2005).

Gambar 4. Mekanisme Satellite Tracking dengan ARGOS (Sumber : Higuchi et al., 2005)

(27)

Gambar 5. Distribusi habitat musim dingin 49 invididu SMA yang di-track tahun 2003-2010

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

Jumlah SMA

(28)

III.

METODOLOGI

3.1. Tempat dan Waktu

Studi ini dilakukan pada core dan edge habitat SMA di provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia (Gambar 6). Kegiatan survei dilakukan dengan mengambil beberapa lokasi di Provinsi Kalimantan Selatan, di antaranya, Sultan Adam, Hulu Sungai Selatan, dan muara Sungai Barito. Survei lapang dilakukan pada tanggal 20-23 Februari 2011. Penelitian dilakukan selama 6 bulan dimulai pada Februari 2011 dan berakhir pada bulan Juli 2011.

Gambar 6. Lokasi Penelitian (Provinsi Kalimantan Selatan)

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan selama penelitian ini adalah a. kamera digital

b. binokular

c. Global Positioning System (GPS)

d. software ArcGIS 9.3 (ESRI, 2009), ERDAS Imagine 9.1 (Leica, 2006), dan XLStat Version 2011.2.08 (Addinsoft, 2011)

Sumber : Syartinilia, 2010

Sultan Adam Hulu Sungai Selatan

(29)

3.3. Data

Jenis, bentuk, dan sumber data disajikan dalam Tabel 1. Data yang digunakan memiliki bentuk raster dan vektor.

Tabel 1. Jenis, Bentuk dan Sumber Data

No Jenis Data Bentuk Data Sumber

1. Peta Distribusi Core habitat dan Edge habitat

SMA di Kalimantan Selatan (Gambar 7)

Raster, Kategori Resolusi : 250 m x 250 m

Syartinilia et al.,

2010

2. Peta Penutupan Lahan (Gambar 8)

Raster, Kategori (Sumber image : ALOS PALSAR tahun 2007, Resolusi : 50 m x 50 m)

Laboratorium Remote Sensing, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, 2007 3. Peta Batas Administasi

Kalimantan

Vektor Syartinilia et al.,

2010 4. Peta Kemiringan lahan

(Gambar 9)

Raster, Kontinu (resolusi : 50 x 50 m)

DEM SRTM (dibuat dari peta DEM)

5. Peta Elevasi (Gambar 10) Raster, Kontinu (resolusi : 50 x 50 m)

DEM SRTM

(http://srtm.csi.cgiar. org/)

6. Data Satellite Tracking

(Gambar 11)

Vektor, Point

Empat individu SMA Nomor Platform : 40759, 40753, 66552, 95445

(30)
[image:30.595.96.512.85.671.2]

(31)
[image:31.595.86.510.62.667.2]

Gambar 8. Peta Penutupan Lahan Kalimantan Selatan

(32)
[image:32.595.87.509.64.676.2]
(33)
[image:33.595.93.517.77.689.2]
(34)
[image:34.595.109.499.71.423.2]

Gambar 11. Satellite Tracking

3.4. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan, di antaranya: inventarisasi, analisis, dan output. Bagan alur penelitian disajikan pada Gambar 12. Rincian tahapan penelitian sebagai berikut:

3.4.1.Inventarisasi

(35)

platform 40753 telah di-track dari tahun 2007 sampai 2009, nomor platform 66552 telah di-track dari tahun 2006-2010, dan nomor platform 95445 telah

di-track tahun 2009.

Survei dilakukan selama empat hari pada tanggal 20-23 Februari 2011. Survei lapang dilakukan pada bulan Februari saat individu SMA akan melakukan spring migration, individu ini akan melakukan migrasi dari habitat musim dingin (wintering habitat) ke habitat asalnya (breeding habitat) di Jepang. Kegiatan yang dilakukan selama survei adalah pengecekan kondisi lapang, pengambilan foto, dan

tracking dengan menggunakan GPS.

Pada hari pertama, survei dilakukan di core dan edge habitat pada Taman Hutan Raya Sultan Adam. Dua individu SMA ditemukan di kawasan ini. Pada hari kedua, survei dilakukan di core dan edge habitat pada kawasan Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Pada hari ketiga, survei dilakukan di edge habitat pada daerah Gunung Kentawan dan Tanuhi, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Pada hari keempat, survei dilakukan di muara sungai Barito yang menjadi

edge habitat.

3.4.2. Analisis

Tahapan analisis dibagi menjadi dua tahapan, meliputi: analisis spasial dan analisis statistik. Analisis spasial menggunakan Sistem Informasi Geografi dengan software ArcGIS and ERDAS. Analisis statistik dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu metode Analisis Komponen Utama (AKU) dan metode uji-perbandingan variabel (uji t-student).

3.4.2.1. Pangkalan Data Variabel Lingkungan

(36)

terdekat terhadap faktor elevasi, dan sepuluh jarak terdekat terhadap penutupan lahan.

Untuk memperoleh jarak terdekat tersebut, seluruh peta diubah melalui proses

recode/reclassify yang bertujuan untuk menyeragamkan informasi masing-masing piksel data menjadi bernilai 0 dan 1 dengan menggunakan Spatial Analysis Tools. Nilai 1 adalah nilai variabel lingkungan yang ingin diinformasikan sedangkan nilai 0 adalah nilai variabel lngkungan yang sementara dihilangkan informasinya. Setelah itu, peta-peta diubah melalui proses vector polygon. Proses ini bertujuan untuk mengubah data raster menjadi bentuk vektor. Pada akhirnya, peta-peta bentuk vektor akan diubah menjadi peta jarak terdekat (euclidean distance). Fungsi euclidean distance adalah memberikan informasi tentang jarak dari setiap sel dalam raster ke sumber terdekat (ESRI, 2007). Peta-peta euclidean distance

tercantum pada Lampiran 1 sampai Lampiran 21. Tabel 2. Klasifikasi Faktor Kemiringan Lahan

Kelas Kemiringan Lahan Klasifikasi

I 0-3% Datar

II 3-8% Agak Datar

II 8-15% Bergelombang

III 15-25% Berbukit

IV 25-40% Pegunungan

V >40% Pegunungan

Sumber : SK. Menteri Pertanian No. 837/Kpts/Um/11/1980 dan No.: 683/Kpts/Um/8/1981

Tabel 3. Variabel Lingkungan

No. Variabel Lingkungan Singkatan Sumber

(37)

3 Jarak Terdekat ke Elevasi 500-700 meter JTE3 yang dibuat menjadi peta

euclidean

distance

4 Jarak Terdekat ke Elevasi 700-1000 meter JTE4 5 Jarak Terdekat ke Elevasi > 1000 meter JTE5 6 Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 0-3% JTK1 7 Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 3-8% JTK2 8 Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan

8-15%

JTK3

9 Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan 15-25%

JTK4

10 Jarak Terdekat ke Kemiringan lahan 25-40%

JTK5

11 Jarak Terdekat ke Kemiringan Lahan > 40%

JTK6

12 Jarak Terdekat ke Hutan Mangrove JTMG Ekstraksi dari peta penutupan lahan yang dibuat menjadi peta euclidean distance

13 Jarak Terdekat ke Badan Air JTBA 14 Jarak Terdekat ke Hutan Rawa Gambut JTHR 15 Jarak Terdekat ke Hutan Lahan Kering JTHK 16 Jarak Terdekat ke Lahan Terbangun JTBG 17 Jarak Terdekat ke Semak Belukar Rawa JTSB 18 Jarak Terdekat ke Pertanian/Perkebunan/

Semak

JTPS

19 Jarak Terdekat ke Lahan Terbuka JTBK 20 Jarak Terdekat ke Perkebunan Sawit JTST

21 Jarak Terdekat ke Sawah JTSH

(38)

Pengambilan sampel dilakukan dengan persentase sebesar 2% dari masing-masing luasan untuk diekstraksi nilainya. Pengambilan sampel ini dilakukan secara acak. Setelah mendapatkan sampel, nilai jarak terdekat dari masing-masing sampel akan didapat baik pada core maupun edge habitat.

3.4.2.2. Analisis Karakteristik Lanskap Habitat Sikep Madu Asia

Analisis karakteristik lanskap menggunakan metode Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU). Analisis Komponen Utama adalah teknik statistik yang secara linear mengubah rangkaian variabel menjadi rangkaian kecil variabel yang berkorelasi yang menunjukkan informasi yang lebih banyak dari variabel asli (Dunteman, 1989). Tujuan dari metode ini adalah untuk mengurangi dimensional dari rangkaian data yang asli yang terdiri dari banyak jumlah variabel yang tidak terkait, lalu memberikan sebanyak mungkin variasi yang ada dari data sebelumnya (Jolliffe, 2002).

Analisis Komponen Utama (AKU) ini menggunakan dengan metode Rotasi Varimax dengan Kaiser Normalization. Melalui analisis ini, Komponen Utama (KU) akan dihasilkan dengan mengkorelasikan antar variabel lingkungan melalui proses AKU tersebut. Penelitian ini menggunakan software XLStat untuk menganalisis keseluruhan variabel lingkungan.

3.4.2.3. Analisis Perbandingan Variabel Lingkungan

(39)

3.5.Output

Hasil dari penelitian ini adalah karakteristik lanskap habitat SMA baik di core

dan edge habitat di Kalimantan Selatan, perbandingan karakterstik keduanya, dan perbandingan variabel yang membentuk karakteristik lanskap habitat SMA.

(40)

IV.

KONDISI UMUM

4.1. Letak Administratif

Secara geografis, provinsi Kalimantan Selatan terletak antara 114º 20‟ 49,2„‟ - 116º 32‟ 43,4‟‟ Bujur Timur dan 1º 21‟ 47,88‟‟ - 4º 56‟ 31,56‟‟ Lintang Selatan. Batas-batas administratif provinsi Kalimantan Selatan di antaranya sebelah utara berbatasan dengan provinsi Kalimantan Timur, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar, dan sebelah barat berbatasan dengan Kalimantan Tengah. Berdasarkan keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor: 0337 tahun 2006, tanggal 17 Juli 2006, wilayah administratif Kalimantan Selatan dibagi menjadi 13 kota/Kabupaten, 134 kecamatan, dan 119 kelurahan (Pemprovkalsel,2010).

4.2. Kondisi Biofisik

Penutupan lahan di wilayah provinsi Kalimantan Selatan dibagi dalam 10 klasifikasi. Hutan lahan kering adalah kelas penutupan lahan yang dominan di Kalimantan Selatan dengan luas 1.351.000 ha (35,94%). Grafik luas penutupan lahan di Kalimantan Selatan tercantum pada Gambar 13. Bentuk geologi wilayah Kalimantan Selatan sebagian besar berupa aluvium muda dan formasi berai.

Kemiringan lahan di wilayah provinsi Kalimantan Selatan dibagi dalam enam klasifikasi. Kemiringan lahan 0-3% merupakan kelas kermiringan lahan yang mendominasi di Kalimantan Selatan dengan luas 5.562.550 ha (39,78%). Grafik persentase luas kemiringan lahan tersaji pada Gambar 14.

Kelas elevasi (ketinggian) di wilayah provinsi Kalimantan Selatan dibagi ke dalam lima kelas (Gambar 15). Kelas elevasi 0-300 meter memiliki luas tertinggi sebesar 13.073.675 ha (88,06%). Hal ini menunjukkan bahwa Kalimantan Selatan memiliki dominasi elevasi yang rendah.

(41)

daerah Kalimantan Selatan pada tahun 2004 berkisar antara 23,300C sampai 32,700C. Sedangkan kelembaban udara rata-ratanya berkisar antara 47% sampai dengan 98% tiap bulan (Portal Nasional RI, 2010).

Gambar 13. Luas Penutupan Lahan di Kalimantan Selatan

Gambar 14. Luas Kemiringan Lahan di Kalimantan Selatan

0 200.000 400.000 600.000 800.000 1.000.000 1.200.000 1.400.000 1.600.000 Lu a s (h a )

Kelas Penutupan Lahan

Hutan Lahan Kering Hutan Rawa Gambut Badan Air

Lahan Terbuka/Pertambangan Lahan Terbangun Hutan Mangrove

Perkebunan/Pertanian/Semak Perkebunan Sawit Semak Belukar Rawa

Persawahan 0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 Lu a s (h a )

Kelas Kemiringan Lahan

(42)
[image:42.595.113.481.90.485.2]

Gambar 15. Luas Elevasi di Kalimantan Selatan

Secara umum, Kalimantan Selatan terdiri dari dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau (panas). Musim hujan biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai Mei. Musim kemarau (panas) terjadi pada bulan Juni sampai Agustus. Antara kedua musim tersebut terdapat musim pancaroba (Portal Nasional RI, 2010).

4.3. Kondisi Sosial Budaya

Penduduk asli Kalimantan Selatan umumnya berasal dari suku bangsa Banjar yang terdiri dari sub suku, yaitu Maayan, Lawangan dan Bukiat (Portal Nasional RI, 2009). Sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja. Pada bulan Februari 2011 tercatat sebanyak 41,66 persen tenaga kerja diserap sektor pertanian (BPS Kalimantan Selatan, 2011) .

Penduduk Kalimantan Selatan yang tinggal di Loksado dan sekitarnya (daerah perbukitan) menopang kebutuhan ekonominya melalui kegiatan berladang dan mengumpulkan hasil hutan. Di samping itu, ada pula usaha lain dalam skala kecil misalnya beternak, berdagang dan mencari ikan. Perladangan yang mereka lakukan masih berupa perladangan berpindah dengan padi sebagai tanaman utamanya (Disporbudpar Kalsel, 2011). Berdasarkan hasil survei di daerah Kandangan, sebagian besar penghidupan masyarakatnya berasal dari sektor perkebunan. Tiga sumber penghidupan utama berasal dari tanaman karet (Hevea

0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000 Lu a s (h a ) Kelas Elevasi

(43)

brasiliensis), kemiri (Aleurites moluccana), dan kayu manis (Cinnamomum burmannii). Terkadang masyarakat juga membuat anyaman bambu untuk dijual, dan juga berjualan cabai (lombok). Getah karet dan kulit kayu manis merupakan salah satu aset ekonomi untuk menunjang kehidupan mereka. Di dataran rendah aluvial, rawa-rawa dan daerah aliran sungai, penduduk hidup dari pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, perdagangan, kerajinan rumah, bertukang, mendulang, dan lain-lain.

Dari sektor pertanian, persawahan basah dengan padi sebagai tanaman utamanya banyak ditemukan di Kalimantan Selatan. Pada musim panas, lahan pertanian digunakan menanam ubi-ubian, sayuran, serta buah-buahan tertentu. Untuk buah-buahan, buah yang biasanya ditanam oleh penduduk setempat adalah semangka. Buah ini banyak terdapat di daerah Lupak dan Nagara. Usaha perkebunan terutama untuk menghasilkan tanaman buah-buahan yang kini terus dibudidayakan adalah tanaman jeruk (Disporbudpar Kalsel, 2011).

Jumlah penduduk di provinsi Kalimantan Selatan mengalami pertambahan dari tahun ke tahun. Menurut hasil sensus dari Biro Pusat Statistik (2010), jumlah penduduk pada tahun 1971 berjumlah 1.699.105 jiwa, kemudian meningkat pada tahun 1995 sebanyak 2.893.477 jiwa (tahun 1995) kemudian meningkat menjadi 2.985.240 jiwa (tahun 2000) dan terus meningkat sebesar 3.626.616 jiwa pada tahun 2010. Peningkatan pertambahan penduduk naik sebesar 21,5% dari tahun 2000 ke tahun 2010.

4.4. Kebijakan Pemerintah terkait Pengelolaan Tata Ruang

(44)

Menurut Peraturan Presiden tentang Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan (2005), program pengelolaan ruang pada kawasan budidaya pertanian dan perkebunan kategori sentra produksi pangan di Kalimantan Selatan ditetapkan pada kawasan-kawasan meliputi : Kabupaten Banjar, Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, dan Tabalong. Program pengelolaan ruang pada kawasan budidaya kehutanan pembangunan sentra produksi hasil hutan kayu berada pada Kabupaten Tabalong dan Kotabaru. Program pembangunan sentra produksi hasil hutan non kayu berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, dan Tapin. Program pembangunan kawasan hutan penunjang industri pariwisata berada di Hulu Sungai Selatan, Barito Kuala, Tanah Laut. Taman Wisata Pegunungan Meratus, Sultan Adam termasuk dalam wilayah program pengelolaan pariwisata. Selain itu, pengelolaan kawasan pertambangan batubara, minyak bumi dan gas berada pada Kabupaten Banjar, Tabalong, Kotabaru Tapin, Hulu Sungai Selatan, dan Hulu Sungai Utara, sedangkan kawasan pertambangan bahan galian logam di antaranya: Banjarbaru, Martapura, Kandangan, Tanjung, Tabalong, dan Tanah Laut.

Menurut Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 9 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Provinsi Kalimantan Selatan, untuk setiap terpeliharanya keseimbangan pemanfaatan sumber daya alam antara fungsi konservasi dengan fungsi ekonomis sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, maka perlu dimantapkan begian-bagian wilayah yang akan atau tetap memiliki fungsi lindung, dengan strategi pengembangan sebagai berikut:

a. Pemantapan kawasan lindung sesuai dengan fungsinya,

b. Pengendalian pemanfaatan ruang pada kawasan lindung sesuai dengan fungsi hutan lindung yang telah ditetapkan, dan

(45)

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Habitat

Core habitat SMA di Kalimatan Selatan berada pada beberapa daerah administratif, di antaranya: Kabupaten Banjar, Tapin, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, dan Hulu Sungai Tengah sedangkan edge habitat

terletak lebih menyebar karena luasannya lebih tinggi dibanding core habitat, di antaranya Kabupaten Banjar, Tapin, Tabalong, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Tanah Laut, Barito Kuala dan Kota Baru. Lokasi lainnya berada pada pegunungan Meratus. Ada tiga lokasi habitat musim dingin SMA yang dijadikan sebagai lokasi survei, di antaranya: Taman Hutan Raya Sultan Adam, Hulu Sungai Selatan, dan Muara Barito.

5.5.1 Taman Hutan Raya Sultan Adam

Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam merupakan core dan edge habitat

bagi SMA. Kawasan ini merupakan kawasan lindung yang secara resmi ditetapkan oleh pemerintah. Tahura ini memiliki danau berukuran besar yaitu Danau Riam Kanan (Gambar 16). Core habitat terletak ditengah-tengah danau ini. Pada edge habitat, danau ini juga menjadi bagian dari edge habitat. Selain itu, banyak ditemukan lahan pertanian, perkebunan, padang rumput, dan hutan (Gambar 17). Selama survei, dua individu SMA ditemukan di kawasan ini.

(46)

Gambar 17. Lanskap Edge habitat di Taman Hutan Raya Sultan Adam

Di sekitar Tahura Sultan Adam, aktivitas penambangan ditemukan di daerah perbukitan. Aktivitas inipun menyebabkan terjadinya pencemaran air dan perubahan bentukan lahan (Gambar 18).

Gambar 18. Aktivitas Penambangan dan Pencemaran Air di Sekitar Tahura Sultan Adam

5.5.2 Hulu Sungai Selatan

Hulu Sungai Selatan merupakan salah satu Kabupaten di Kalimantan Selatan yang menjadi core dan edge habitat bagi SMA. Ibukota dari Hulu Sungai Selatan adalah Kandangan. Saat survei, satu individu SMA ditemukan di edge habitat

(47)
[image:47.595.97.516.116.791.2]

paradisiaca), kapuk randu, kelapa (Cocos nucifera), dan talas air. Pada core habitat, aktivitas penambangan juga ditemukan di Kandangan (Gambar 20).

Gambar 19. Lanskap Core Habitat di Kandangan, Hulu Sungai Selatan

Gambar 20. Aktivitas Penambangan di Core Habitat Kawasan Kandangan

5.5.3 Muara Barito

[image:47.595.111.524.133.474.2]
(48)

berada di perairan sungai Barito. Beberapa jenis tanaman yang ditemukan adalah ketapang (Terminalia catappa) dan nipah (Nypa fruticans).

Gambar 21. Lanskap Edge Habitat di Sungai Barito

5.2. Karakteristik Core habitat

Hasil dari Analisis Komponen Utama adalah tujuh Principal Component (PC) atau Komponen Utama (KU) dapat menjelaskan 76,208 % dari variasi data bagi karakteristik lanskap core habitat musim dingin SMA (Tabel 4). Setiap karakteristik lanskap memiliki struktur lanskap yang tersusun oleh variabel lingkungan. Pada core habitat, karakteristik pertama (KU1c) diinterpretasikan sebagai karakteristik lanskap yang memiliki jarak terdekat ke elevasi lebih dari 300 m dan jarak terdekat ke hutan lahan kering dengan rata-rata jarak sebesar 1,73 km.

(49)
[image:49.595.107.517.108.628.2]

Tabel 4. Hasil Analisis Komponen Utama untuk Core habitat

KU1 KU2 KU3 KU4 KU5 KU6 KU7

JTBG 0,231 0,046 0,311 0,061 -0,021 0,069 0,069

JTBK -0,143 0,170 0,833 0,270 -0,128 -0,079 0,152

JTST -0,351 0,058 0,335 0,013 -0,250 -0,303 0,134

JTSH -0,394 0,147 0,718 -0,062 -0,103 -0,218 0,097

JTSB -0,128 0,150 0,808 -0,148 0,092 -0,164 0,181

JTPS -0,441 0,283 0,277 0,038 -0,059 -0,225 0,289

JTMG 0,274 -0,145 -0,133 0,294 0,315 0,355 -0,062

JTBA 0,031 0,011 0,046 0,959 0,129 0,122 -0,018

JTHK 0,641 0,049 -0,143 0,007 0,566 0,188 -0,047

JTHR 0,202 0,002 -0,015 0,137 0,935 0,106 0,021

JTK1 -0,290 0,364 0,126 0,175 -0,112 -0,183 0,118

JTK2 -0,079 0,970 0,131 0,001 0,004 -0,070 0,106

JTK3 -0,079 0,970 0,131 0,001 0,004 -0,070 0,106

JTK4 0,356 -0,041 -0,050 0,008 -0,012 0,892 -0,006

JTK5 0,310 -0,082 -0,128 0,053 0,122 0,859 -0,100

JTK6 0,196 -0,128 -0,237 0,227 0,212 0,723 -0,047

JTE1 -0,192 0,293 0,342 -0,026 0,017 -0,105 0,832

JTE2 0,774 -0,037 -0,222 0,132 0,193 0,449 -0,070

JTE3 0,834 -0,079 -0,257 0,090 0,133 0,373 -0,114

JTE4 0,806 -0,120 -0,248 0,094 0,128 0,350 -0,149

JTE5 0,915 -0,111 0,030 -0,115 0,060 0,110 -0,015

Eigenvalue 9,311 2,912 1,685 1,505 1,219 0,934 0,588

Variability

(%) 20,323 11,162 12,422 6,007 7,432 14,288 4,572

Cumulative

% 20,323 31,485 43,908 49,915 57,348 71,636 76,208

Metode Ekstraksi :: Analisis Komponen Utama. Metode Rotasi : Varimax with Kaiser Normalization

Keterangan :

JTBG : Jarak Terdekat ke Lahan

Terbangun

JTK2 : Jarak Terdekat ke Kemiringan lahan 3-8%

JTBK : Jarak Terdekat ke Lahan Terbuka JTK3 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

(50)

JTST : Jarak Terdekat ke Perkebunan Sawit

JTK4 : Jarak Terdekat ke Kemiringan lahan 15-25%

JTSH : Jarak Terdekat ke Sawah JTK5 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

lahan 25-40%

JTSB : Jarak Terdekat ke Semak Belukar

Rawa

JTK6 : Jarak Terdekat ke Kemiringan lahan > 40%

JTPS : Jarak Terdekat ke

Pertanian/Perkebunan/Semak

JTE1 : Jarak Terdekat ke Elevasi 0-300

m

JTMG : Jarak Terdekat ke Hutan Mangrove JTE2 : Jarak Terdekat ke Elevasi

300-500 m

JTBA : Jarak Terdekat ke Badan Air JTE3 : Jarak Terdekat ke Elevasi

500-700 m

JTHK : Jarak Terdekat ke Hutan Lahan

Kering

JTE4 : Jarak Terdekat ke Elevasi

700-1000 m

JTHR : Jarak Terdekat ke Hutan Rawa

Gambut

JTE5 : Jarak Terdekat ke Elevasi > 1000

m

JTK1 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

lahan 0-3%

KUnc : Komponen n untuk core habitat

Karakteristik ini menunjukkan bahwa SMA cenderung memilih hutan lahan kering pada ketinggian lebih dari 300 meter. Hutan lahan kering ini diidentifikasi sebagai habitat yang memiliki jenis-jenis pohon inang yang disukai koloni lebah. Habitat lebah berupa sarang umumnya berada pada pohon-pohon yang termasuk dalam famili Dipterocarpaceae. Dipterocarpaceae ini adalah famili yang terdiri dari pohon-pohon kayu keras tropis yang berumur panjang dan dapat tumbuh hingga ukuran yang sangat besar. Hutan dataran rendah (lowland forest) mengalami penurunan kuantitas (WWF, 2006). Dataran rendah mengalami perubahan penutupan lahan yang lebih cepat dikarenakan oleh pemanfaatan areal tersebut oleh manusia. Selain itu, elevasi memberikan pengaruh terhadap jenis vegetasi yang terkait pada jenis penutupan lahan.

(51)

Karakteristik ketiga (KU3c) diinterpretasikan sebagai karakteristik lanskap yang terkait dengan aktivitas manusia di antaranya jarak terdekat ke lahan terbuka, jarak terdekat ke sawah, dan semak belukar rawa. Rata-rata jarak terdekat dari variabel lingkungan JTBG, JTSH dan JTSB masing-masing sebesar 5,82 km, 4,98 km, dan 2,05 km. Karakteristik lanskap ini terkait pada lokasi SMA mencari larva lebah. Habitat lebah umumnya berada di hutan dekat areal yang memiliki aktivitas manusia seperti sawah dan lahan terbuka. Hal ini dikarenakan lebah membutuhkan nektar dari bunga yang dihasilkan oleh tanaman berbunga dan tanaman liar. Jenis tanaman ini dapat ditemukan di areal persawahan, lahan terbuka, dan semak belukar rawa.

Karakteristik keempat (KU4c) diinterpretasikan sebagai karakteristik yang terkait dengan jarak terdekat terhadap kebutuhan air. Hal ini ditunjukkan oleh jarak terdekat dengan badan air. Rata-rata jarak terdekat dengan badan air sebesar 30,28 km. Badan air merupakan salah satu karakteristik core habitat SMA karena spesies ini membutuhkan air sebagai kebutuhan primer bagi makhluk hidup selain mencari makanan. Badan air ini dapat berupa sungai, rawa ataupun danau. Badan air berasosiasi dengan penutupan lahan lainnya, seperti hutan rawa gambut dan hutan lahan kering dalam menopang kebutuhan air. Danau Riam Kanan dan beberapa sungai di Kalimantan Selatan merupakan badan air yang berada di core habitat.

Karakteristik kelima (KU5c) diinterpretasikan sebagai karakteristik lanskap yang terkait dengan jarak terdekat ke hutan rawa gambut (JTHR). Rata-rata jarak terdekat ke hutan rawa gambut sebesar 1,98 km. Hutan rawa gambut merupakan salah satu hutan yang memiliki pepohonan dipterokarpa (Mansor M, Mansor A, 2001). Salah satu tipe struktur hutan rawa gambut adalah hutan rawa campuran. Hutan rawa campuran ini merupakan area marjinal yang digenangi oleh sungai. Hutan ini memiliki banyak ekosistem dan secara kuat berasosiasi dengan ekosistem lainnya. Shorea sp. adalah salah satu spesies pohon penting yang berada pada area ini. Shorea sp. merupakan salah satu spesies yang menjadi habitat lebah madu (Mansor et al., 2001).

(52)

(pegunungan), dan lebih dari 40% (pegunungan). Faktor kemiringan lahan terkait pada sarang dari individu SMA. Menurut MacKinnon (1990), Sikep Madu Asia sering mendatangi bukit berhutan. Oleh karena itu, karakteristik kemiringan lahan dari berbukit hingga pegunungan dapat diidentifikasi sebagai habitat yang disukai SMA. Variasi bentukan lahan yang beragam ini dapat menimbulkan thermal wind

yang mana jenis angin ini disukai oleh SMA.

Karakteristik ketujuh (KU7c) diinterpretasikan sebagai karakteristik lanskap yang terkait dengan elevasi 0-300 meter. Karakteristik ini terkait pada kawasan hutan dataran rendah (lowland forest). Hutan dataran ini memiliki sekitar 22% jenis tanaman yang termasuk dalam famili Dipterocarpaceae.

5.3. Karakteristik Edge habitat

Hasil dari Analisis Komponen Utama adalah delapan Principal Component

(PC) atau Komponen Utama (KU) yang dapat menjelaskan 76,716 % dari variasi data bagi karakteristik lanskap edge habitat musim dingin SMA (Tabel 5). Pada

edge habitat, karakteristik pertama (KU1e) diinterpretasikan sebagai karakteristik lanskap yang terkait pada elevasi lebih dari 300 meter dan jarak terdekat ke hutan lahan kering. JTHK memiliki jarak rata-rata sebesar 2,29 km. Sama halnya dengan KU1e pada core habitat, karakteristik ini terkait dengan lokasi habitat koloni lebah sebagai makanan SMA berada.

(53)
[image:53.595.111.518.108.623.2]

Tabel 5. Hasil Analisis Komponen Utama untuk Edge habitat

KU1 KU2 KU3 KU4 KU5 KU6 KU7 KU8

JTBG -0,015 -0,061 0,252 -0,071 -0,059 0,014 -0,004 0,050

JTBK -0,141 0,109 0,842 -0,233 -0,055 -0,097 0,002 0,187

JTST -0,326 0,038 -0,021 -0,212 -0,048 -0,111 0,163 0,102

JTSH -0,274 0,123 0,826 -0,218 -0,042 -0,110 0,153 0,116

JTSB -0,007 0,120 0,347 -0,017 0,094 -0,048 0,087 -0,045

JTPS -0,256 0,106 0,757 -0,195 0,046 -0,032 0,309 -0,045

JTMG 0,024 -0,149 -0,140 0,163 0,077 0,943 -0,066 0,020

JTBA -0,481 -0,032 0,275 -0,101 -0,008 0,044 0,127 0,759 JTHK 0,601 0,087 -0,269 0,204 0,316 -0,183 0,059 0,149

JTHR 0,130 0,059 -0,022 0,088 0,974 0,078 -0,003 -0,010

JTK1 -0,298 0,275 0,154 -0,176 -0,006 -0,178 0,529 0,271

JTK2 0,074 0,980 0,101 -0,028 0,035 -0,078 0,098 -0,006

JTK3 0,074 0,980 0,101 -0,028 0,035 -0,078 0,098 -0,006

JTK4 0,285 0,054 -0,164 0,825 0,066 -0,024 -0,056 -0,115

JTK5 0,202 0,034 -0,172 0,806 0,041 0,134 -0,073 -0,027

JTK6 0,079 -0,151 -0,152 0,847 0,034 0,099 -0,062 0,027

JTE1 -0,172 0,155 0,207 -0,107 -0,001 -0,040 0,910 0,045

JTE2 0,904 0,066 -0,176 0,221 0,068 0,037 -0,044 -0,158

JTE3 0,936 0,035 -0,198 0,176 0,036 0,071 -0,082 -0,123

JTE4 0,929 0,043 -0,208 0,157 0,036 0,055 -0,093 -0,133

JTE5 0,943 0,020 0,025 0,060 0,042 -0,046 -0,146 -0,002

Eigenvalue 7,378 3,124 1,977 1,626 1,155 0,967 0,831 0,663

Variability (%) 21,80 9 10,22 2 12,36 2 11,78

1 5,209 5,018 6,451 3,865 Cumulative % 21,80 9 32,03 1 44,39 2 56,17 3 61,38 2 66,40 0 72,85 1 76,71 6

Metode Ekstraksi :: Analisis Komponen Utama. Metode Rotasi : Varimax with Kaiser

Normalization

Keterangan :

JTBG : Jarak Terdekat ke Lahan

Terbangun

JTK2 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

lahan 3-8%

JTBK : Jarak Terdekat ke Lahan Terbuka JTK3 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

(54)

JTST : Jarak Terdekat ke Perkebunan Sawit

JTK4 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

lahan 15-25%

JTSH : Jarak Terdekat ke Sawah JTK5 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

lahan 25-40%

JTSB : Jarak Terdekat ke Semak Belukar

Rawa

JTK6 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

lahan > 40%

JTPS : Jarak Terdekat ke

Pertanian/Perkebunan/Semak

JTE1 : Jarak Terdekat ke Elevasi

0-300 m

JTMG : Jarak Terdekat ke Hutan Mangrove JTE2 : Jarak Terdekat ke Elevasi

300-500 m

JTBA : Jarak Terdekat ke Badan Air JTE3 : Jarak Terdekat ke Elevasi

500-700 m

JTHK : Jarak Terdekat ke Hutan Lahan

Kering

JTE4 : Jarak Terdekat ke Elevasi

700-1000 m

JTHR : Jarak Terdekat ke Hutan Rawa

Gambut

JTE5 : Jarak Terdekat ke Elevasi >

1000 m

JTK1 : Jarak Terdekat ke Kemiringan

lahan 0-3%

KUnc : Komponen n untuk core

habitat

Karakteristik keempat (KU4e) diinterpretasikan sebagai karakteristik lanskap yang terkait pada jarak terdekat ke kemiringan lahan 15-25% (berbukit), 25-40% (pegunungan) dan lebih dari 40% (pegunungan). Karakteristik ini memiliki persamaan dengan KU6c. Karakteristik kelima (KU5e) adalah jarak terdekat ke hutan rawa gambut (JTHR). Rata-rata jarak terdekat ke hutan rawa gambut sebesar 1,93 km. Karakteristik lanskap ini memiliki persamaan dengan core habitat.

(55)

Karakteristik kedelapan (KU8e) adalah karakteristik lanskap yang terkait dengan kebutuhan air. Hal ini ditujukan pada jarak terdekat ke badan air dengan rata-rata jarak 28,39 km. Sumber air merupakan salah satu kebutuhan utama makhluk hidup. Badan air ini dapat ditemukan di Danau Riam Kanan yang dimana danau ini menjadi core dan edge habitat SMA. Selain itu, badan air dapat ditemukan pula di sungai Barito dimana sungai hanya berfungsi sebagai edge habitat bagi SMA.

5.4. Perbandingan Karakteristik Core dan Edge habitat

Berdasarkan hasil AKU, core dan edge habitat memilki persamaan dan perbedaan karakteristik. Persamaan karakteristik ini dinilai menjadi prasyarat utama keberadaan habitat musim dingin SMA, sedangkan perbedaan karakteristik dinilai menjadi komponen khusus yang menyusun kedua tipe habitat tersebut. Diagram persamaan dan perbedaan karakteristik lanskap habitat musim dingin SMA tersaji pada Gambar 22.

Keterangan :

KUnce : Komponen n untuk core dan edge habitat

KUnc : Komponen n untuk core habitat

KUne : Komponen n untuk edge habitat

Gambar 22. Diagram Persamaan dan Perbedaan Karakteristik Lanskap Habitat Musim Dingin SMA

5.3.1 Persamaan Karakteristik

Komponen pertama (KU1) yaitu jarak terdekat ke elevasi lebih dari 300 meter dan jarak terdekat ke hutan lahan kering, komponen kedua (KU2) yaitu

KU1ce

KU2ce

KU5ce

KU3c

KU4c

KU6c

KU7c

Edge habitat Core habitat

KU3e

KU4e

KU6e

KU7e

KU8e

Persamaan karakteristik Perbedaan

karakteristik Perbedaan

(56)

kemiringan lahan dari agak datar ke bergelombang, dan komponen kelima (KU5) yaitu jarak terdekat ke hutan rawa gambut merupakan persamaan karakteristik yang ditemukan pada core dan edge habitat. Ketiga karakteristik utama ini merupakan karakteristik dasar yang menentukan keberadaan habitat musim dingin SMA. Ketiga persamaan karakteristik ini memiliki tingkat kepentingan yang sama dalam menyusun karakteristik baik pada core maupun edge habitat.

Hutan lahan kering dan hutan rawa gambut memiliki peranan penting bagi SMA karena struktur lanskapnya yang terdiri dari spesies-spesies tanaman yang menjadi habitat lebah madu. Sebagai contoh, Koompassia excelsa, Koompassia malaccensis, dan Shorea sp. adalah jenis spesies penting bagi SMA yang berada pada kawasan tersebut. Spesies ini disebut sebagai pohon madu (bee tree). SMA umumnya menyerang sarang lebah yang berada di pohon-pohon yang terletak di hutan untuk memakan lebahnya secara langsung. Selain itu, faktor kemiringan lahan juga menjadi karakteristik utama yang berada pada core maupun edge habitat. Kemiringan lahan mempengaruhi variasi bentukan lahan yang kemudian akan mempengaruhi pergerakan angin.

5.3.2 Perbedaan Karakteristik

Karakteristik ketiga (KU3), keempat (KU4), keenam (KU6), ketujuh (KU7), dan kedelapan (KU8) mempunyai perbedaan karakterististik dilihat dari komponen variabel lingkungannya pada core dan edge habitat. Perbedaan ini secara utama ditunjukkan pada perbedaan posisi dari KU, yang berhubungan erat dengan tingkat kepentingan dari masing-masing KU yang menyusun karakteristik lanskap core dan edge habitat. Perbedaan karakteristik ini dibagi menjadi dua tipe perbedaan.

a. Karakteristik yang sama tetapi memiliki urutan KU yang berbeda.

Badan air ditemukan pada KU4 di core habitat sedangkan badan air di

edge habitat ditemukan pada KU8. Hal ini menunjukkan bahwa badan air memiliki tingkat kepentingan yang lebih tinggi pada core dibanding edge habitat. Adapula, karakteristik kemiringan lahan 15-25% (berbukit), 25-40% , dan >25-40% (pegunungan) ditemukan pada KU6 di core habitat

(57)

b. Karakteristik yang berbeda tetapi memiliki urutan KU yang sama.

KU3 pada core habitat terkait pada jarak terdekat ke lahan terbuka, sawah dan semak belukar rawa sedangkan KU3 pada edge habitat adalah karakteristik dengan jarak terdekat ke lahan terbuka, sawah, dan pertanian/perkebunan/semak. KU7 pada core habitat berhubungan dengan karakteristik elevasi rendah (kurang dari 300 meter), sedangkan KU7 pada

edge habitat adalah kombinasi antara jarak terdekat ke elevasi rendah (kurang dari 300 meter) dan kemiringan datar. Hal ini menunjukkan bahwa struktur lanskap yang ditunjukkan oleh komposisi penutupan lahan pada

core habitat yang lebih rendah dari edge habitat dikarenakan oleh tipe penutupan lahan yang berada pada edge habitat yang lebih bervariasi dibanding core habitat.

Karakteristik lanskap

Gambar

Gambar 7. Peta Distribusi Core dan Edge Habitat di Kalimantan Selatan
Gambar 8.  Peta Penutupan Lahan Kalimantan Selatan
Gambar 9. Peta Kemiringan Lahan Kalimantan Selatan
Gambar 10. Peta Elevasi Kalimantan Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam penelitian ini, KOSamf dapat dimodifikasi dengan memfungsionalisasi gugus aldehid yang terdapat pada rantai ujung KOSamf melalui reaksi reduktif

Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai budidaya kutu lak yang merupakan salah satu hasil hutan non kayu yang dapat dijadikan alternatif sebagai salah satu

PENGARUH LEADER-MEMBER EXCHANGE, ROLE STRESS DAN PERCEIVED ORGANIZATIONAL SUPPORT TERHADAP TURNOVER INTENTION PADA KARYAWAN HOTEL GRIYA SANTRIAN

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, kenikmatan dan hidayah-Nya sehingga sampai saat ini masih bisa beribadah kepada- Nya, serta penulis

Setelah dilakukan pemeriksaan darah rutin dan PT/ APTT , pada tanggal 19 Maret 2012 pasien dirawat dengan diagnosis kerja suspek TB laring + radang kronis paru

Peran pendamping UMKM sangatlah penting dan menentukan. Selain itu untuk mendampingi mengembangkan usaha yang dilakukan UMKM, pendamping ini juga membantu mempersiapkan

Pelaksanaan pemasangan batu bata ini membutuhkan bahan batu bata yang cukup banyak pada lapangan apalagi bangunan gedung ini terdiri dari lima (5) lantai,