• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor untuk Uji Keawetan Kayu dengan Metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7207-2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor untuk Uji Keawetan Kayu dengan Metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7207-2006"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

LIMA JENIS JAMUR PELAPUK KAYU ASAL BOGOR

UNTUK UJI KEAWETAN KAYU

DENGAN METODE STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI)

01-7207-2006

Oleh

NIFA HANIFA

E44070065

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRAK

Nifa Hanifa. E44070065. Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor untuk Uji Keawetan Kayu dengan Metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7207-2006. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. dan Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr.

Jamur merupakan suatu organisme yang tidak mengandung klorofil dan memperoleh sumber energi dengan cara menyerap makanan dari bahan-bahan organik lain diantaranya adalah kayu. Kayu mempunyai kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin yang disukai jamur pelapuk kayu. Pohon yang kayunya dikenal dalam perdagangan sampai saat ini diperkirakan 400 jenis botani (spesies). Sekitar 80 - 85% kayu - kayu Indonesia memiliki keawetan rendah yang mudah diserang oleh jamur pelapuk kayu contohnya adalah Sengon, Mangium dan Tusam. Jamur pelapuk kayu yang berpotensi merusak kayu diantaranya yaitu Schizophyllum commune, Pycnoporus sanguineus, Dacryopinax spathularia, Pleurotus ostreatus dan

Pleurotus djamor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi serangan lima jenis jamur pelapuk kayu asal Bogor tersebut terhadap tingkat keawetan pada tiga jenis kayu berdasarkan metode SNI 01-7207-2006.

Hasil analisis ragam dengan menggunakan selang kepercayaan 99%, menunjukkan bahwa terjadi perbedaan yang sangat nyata antara jenis jamur, jenis kayu, maupun jenis jamur x jenis kayu terhadap persentase penurunan bobot kayu. Parameter keawetan kayu terhadap lima jenis jamur pelapuk dilihat dari persentase penurunan bobot (weight loss) yang diperoleh dari hasil uji laboratorium. Hasil penelitian berdasarkan SNI 01-7207-2006 menunjukkan bahwa persentase penurunan bobot oleh jamur pelapuk kayu diketahui bahwa kayu Sengon termasuk ke dalam kelas awet IV - V (tidak tahan sampai sangat tidak tahan), Mangium dan Tusam masing – masing termasuk ke dalam kelas awet III (agak tahan) dan IV (tidak tahan). Persentase penurunan bobot tertinggi terjadi pada kayu Sengon pada biakan P. sanguineus (31,09%) dan persentase penurunan bobot terendah terjadi pada kayu Tusam pada biakan D. spathularia (2,64%). Berdasarkan hasil pengamatan visual, miselium menyebar dari sisi kayu ke tengah permukaan kayu serta semakin menebal seiring dengan lamanya inkubasi. Warna permukaan kayu menjadi lebih terang setelah diserang oleh jamur pelapuk putih dan warna kayu menjadi kecoklatan setelah diserang oleh jamur pelapuk coklat.

(3)

ABSTRACT

Nifa Hanifa. E44070065. Performance Resistance of Wood with Five Kinds of Wood Decay Fungi Using the SNI Methods (Standar Nasional Indonesia) 01-7207-2006. Under Guidance Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. and Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr.

Fungi is a organism which does not have chlorophyll and receives the energy resources by absorption system to the organic matters. A wood contains cellulose, hemicelluloses, and lignin which in the wood decay fungi is very good needs. The kind of tree which the most acquainted with commercial trading till now is about 400 kinds of botanical (species). Around 80 – 85% of Indonesian woods had low class which it’s very easy attacked by wood decay fungi for instance Sengon, Mangium and Tusam. Kinds of it which potentially most decaying off the woods are

Schizophyllum commune, Pycnoporus sanguineus, Dacryopinax spathularia, Pleurotus ostreatus and Pleurotus djamor. This study was purposed to determine the potential of five kinds wood decay fungi provide that from Bogor city to the level of resistance by three kinds of wood based on SNI Method (Standar Nasional Indonesia : SNI 01-7207-2006). 7207-2006 point out of wood weight loss percentage by the wood decay fungi knows that Sengon belong to IV - V resistance class (not resistant till very not resistant), Mangium and Tusam belong to III resistance class (moderately resistant) and IV (not resistant) respectively. The highest wood weight loss percentage was Sengon by P. sanguineus breed (31,09%) and the lowest wood weight loss percentage was Tusam by D. spathularia breed (2,64%). Based on visual performance that the mycelium spreads from side part to the middle surface of wood and also it is thicker than before along with incubation time. The surface color of woods become brighter after attacked by white rot fungi and the color of wood becomes brown after attacked by brown rot fungi.

(4)

LIMA JENIS JAMUR PELAPUK KAYU ASAL BOGOR

UNTUK UJI KEAWETAN KAYU

DENGAN METODE STANDAR NASIONAL INDONESIA (SNI)

01-7207-2006

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

NIFA HANIFA

E44070065

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor untuk Uji Keawetan Kayu dengan Metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7207-2006

Nama Mahasiswa : Nifa Hanifa

NRP : E44070065

Menyetujui: Komisi Pembimbing,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr NIP. 19670421 199103 2 001 NIP. 19521113 197803 1 002

Mengetahui,

Plh. Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Sc NIP 19660921 199003 2 001

(6)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor untuk Uji Keawetan Kayu dengan Metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7207-2006” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 10 Agustus 1989 dari Ayah H. Mamat Rakhmat dan Ibu Hj. Lilis Suryati. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pendidikan formal yang telah ditempuh adalah Sekolah Dasar di SDN 02 Balekambang (1995-2001), Madrasah Tsanawiyyah di Pesantren Persatuan Islam 76 Tarogong Garut (2001-2004), Madrasah Aliyah di Pesantren Persatuan Islam 76 Tarogong Garut (2004-2007). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Departemen Silvikultur melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru).

Penulis telah mengikuti beberapa kegiatan praktek lapang antara lain Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada bulan Juli 2009 di Gunung Sawal-Pangandaran, Ciamis. Bulan Juli – Agustus 2010, penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Gunung Walat. Praktek Kerja Profesi (PKP) dilakukan penulis pada bulan Maret - Mei 2011 di KPH Bandung Selatan, Pangalengan, Jawa Barat.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kekhadirat Allah SWT. atas nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor untuk Uji Keawetan Kayu dengan Metode Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-7207-2006”. Karya ilmiah ini merupakan syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Ibu Dr. Ir. Elis Nina Herliyana M.Si. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Yusuf Sudo Hadi, M.Agr. atas segala bantuan, bimbingan, arahan dan kasih sayangnya. 2. Ayahanda dan ibunda tercinta serta kakak dan adik tersayang, Teguh

Kharisma dan Rima Nurkarima, atas segala do’a, perhatian, dukungan moril maupun materil dan kasih sayang yang tiada hentinya kepada saya.

3. Ibu Tutin Suryatin, BScF. selaku laboran di Laboratorium Penyakit Hutan atas bantuan, dukungan dan kasih sayangnya selama melaksanakan penelitian. 4. Ibu Eva Rachmawati, S.Hut, M.Si selaku dosen penguji sidang dan Bapak Dr.

Ir. Iwan Hilwan, M.Si selaku ketua sidang atas segala bantuan, arahan dan kritik yang sangat membangun.

5. Teman satu bimbingan (Kak Dewi, Kak Laila, dan Ucik) serta Wiwit, Tya, mbak Lilik, Nunge, Bundo dan Ijah atas bantuan, perhatian dan semangat yang diberikan kepada saya.

6. Teman-teman SVK 44 yang telah memberikan perhatian, semangat serta warna warni kasih sayang yang terbentuk dalam keluarga silvikultur.

7. Pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian dan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya akan kekurangan yang terdapat dalam skripsi ini, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini, khususnya kepada pihak-pihak yang berkompeten dengan skripsi ini.

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor ... 3

2.1.1 Schizopyllum commune ... 3

2.1.2 Pleurotus ostreatus ... 3

2.1.3 Pleurotus djamor ………... ... 4

2.1.4 Picnophorus sanguineus ... 4

2.1.5 Dacrypinaxspatularia ... 4

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jamur…….. 5

2.3 Siklus Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Kayu……….. 6

2.4 Proses Pelapukan Kayu ... 6

2.5 Komponen Kayu yang Digunakan Jamur……… 7

2.5.1 Kayu Mangium ... 8

2.5.2 Kayu Sengon………... 8

2.5.3 Kayu Tusam……….. 9

2.6 Serangan Jamur Pelapuk Terhadap Sifat-sifat Kayu…………... 9

(10)

ii

III. METODE PENELITIAN ... 13

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

3.2 Alat dan Bahan ... 13

3.2.1 Alat ... 13

3.2.2 Bahan ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 13

3.3.1. Pengambilan Contoh Uji ... 13

3.3.2. Penyediaan Biakan Jamur ... 14

3.3.3. Pengujian Kayu ... 14

3.3.4. Perhitungan Persentase Penurunan Bobot ... 14

3.4 Pengolahan Data ... 15

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 16

4.1 Pengamatan Visual Kayu ... 16

4.2 Persentase Penurunan Bobot ... 16

4.3 Keawetan 3 Jenis Kayu terhadap 5 Jenis Jamur Pelapuk Asal Bogor ... 19

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

5.1 Kesimpulan ... 25

5.2 Saran ... 25

(11)

iii

DAFTAR TABEL

No Halaman

1 Komponen kimia kayu daun lebar dan daun jarum ... 7

2 Komponen kimia kayu Sengon ... 8

3 Komponen kimia kayu Tusam ... 9

4 Kelas ketahanan kayu terhadap jamur pelapuk kayu ... . 11

5 Rata-rata persentase penurunan bobot kayu terhadap lima jenis Jamur pelapuk kayu... . 16

6 Masa pengovenan kayu tiga jenis kayu untuk lima jenis biakan jamur ... 18

7 Rata-rata kadar air tiga jenis kayu ... 18

(12)

iv

DAFTAR GAMBAR

(13)

v

DAFTAR LAMPIRAN

(14)

I.

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Indonesia sebagai negara beriklim tropis sangat memungkinkan bagi pertumbuhan berbagai jenis jamur. Jamur merupakan suatu organisme yang tidak mengandung klorofil dan memperoleh sumber energi dengan cara menyerap makanan dari bahan-bahan organik lain yang salah satunya adalah kayu. Kayu mempunyai kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin yang disukai jamur pelapuk kayu. Jamur yang berpotensi merusak kayu diantaranya yaitu Schizophyllum commune Fr,

Pycnoporus sanguineus (Fr.) Korst, Dacryopinax spathularia (Sch), Pleurotus ostreatus (Fr.) P. Kumm dan Pleurotus djamor (Fr.) Boedijn.

Pohon yang kayunya dikenal dalam perdagangan sampai saat ini diperkirakan 400 jenis botani (spesies), tercakup dalam 198 marga (genera) dari 68 suku (familia). Selanjutnya berdasarkan pertimbangan persamaan ciri dan sifat kayu dari jenis-jenis pohon tersebut dikelompokkan kembali menjadi 186 (kelompok) jenis dengan nama perdagangan tiga diantaranya adalah Paraserianthes falcataria, Acacia mangium dan

Pinus merkusii (Mandang dan Pandit 1997).

Keawetan kayu adalah daya tahan suatu jenis kayu terhadap faktor-faktor perusak yang datang dari luar kayu itu sendiri. Secara alami kayu mempunyai keawetan tersendiri, dan berbeda untuk tiap jenis kayu. Keawetan kayu biasanya ditentukan oleh adanya zat ekstraktif yang terkandung di dalam kayu tersebut (Muherda 2011). Sekitar 80 - 85% kayu - kayu Indonesia memiliki keawetan rendah yang mudah diserang oleh organisme perusak kayu (Yunasfi (2008). Jenis kayu yang memiliki keawetan rendah tersebut contohnya adalah Sengon, Mangium dan Tusam.

(15)

2

Pada Metode SNI 01-7207-2006, terdapat tiga jenis jamur pelapuk kayu yang memiliki daya serang (virulensi) tinggi dan banyak ditemukan di Indonesia, yaitu S. commune Fr, P. sanguineus (Fr.) Korst, dan D. spathularia (Sch). Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui potensi ketiga jamur pelapuk kayu tersebut dan memberikan masukan terhadap SNI dalam penggunaan jamur uji P. ostreatus

serta P. djamor.

1.2Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk: 1). Mengetahui potensi lima jenis jamur pelapuk kayu asal Bogor terhadap tiga jenis kayu dengan metode SNI 01-7207-2006; 2). Mengetahui tingkat keawetan kayu terhadap serangan jamur pelapuk kayu berdasarkan metode SNI 01-7202-2006.

1.3Manfaat Penelitian

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor

Jamur merupakan sekelompok tumbuhan tingkat rendah yang tidak berklorofil dan tubuhnya dapat terdiri dari satu sel atau lebih. Individu yang terdiri atas satu sel biasanya terbentuk benang-benang halus yang disebut miselium atau hifa. Karena tidak berklorofil, untuk hidupnya, jamur memerlukan bahan organik yang dapat diserap dari lingkungan sekitarnya (heterotrof). Bahan-bahan organik tersebut didapatkan oleh jamur dari benda mati (saprofitik) ataupun dari jasad hidup, seperti tumbuhan atau hewan (bersifat parasitik) (Alexopoulos dan Mims 1979 dalam

Herliyana 1997).

2.1.1 Jamur Pelapuk Kayu S. commune

Jamur S. commune dikenal dengan tanda tubuh buah tidak bertangkai, bagian bawah menyempit hingga berbentuk kipas, bagian atas berwarna putih keabu-abuan pada waktu muda dan setelah tua berwarna abu-abu, tersusun radial, ujung pecah ini melengkung, pada waktu segar S. commune liat dan kenyal, dan setelah kering menjadi kaku (Martawijaya 1965 dalam Eksanto 1996). S. commune memiliki tubuh buah seperti lamela pada bagian bawahnya. Tubuh buahnya sangat kecil dan tidak memiliki batang (Kuo 2003 dalam Kurnia 2009). Fungsi lamela tersebut adalah untuk memproduksi basidiospora pada permukaannya. Tidak seperti jamur lain, miseliumnya hanya memproduksi satu kumpulan tubuh buah per tahun yang dapat mengering dan mendapatkan air kembali dan tetap berfungsi (Volk 2000 dalam

Kurnia 2009).

2.1.2 Jamur Pelapuk Kayu P. ostreatus

(17)

4 mushroom karena bentuk tudungnya agak membulat, lonjong dan melengkung seperti cangkang tiram. Batang atau tangkai tanaman ini tidak tepat berada di tengah tudung, tetapi agak ke pinggir (Yuniasmara dkk. 2001 dalam Natalia 2010).

2.1.3 Jamur Pelapuk Kayu P. djamor

Jamur P. djamor mempunyai tudung seperti tiram, seperti kipas, permukaan bagian tengah berlekuk, tidak ada ornamentasi. Warna merah muda (pink) putih keruh. Konsistensi lunak dan berdaging. Pinggiran menggulung kearah himenium (muda), lurus (tua), bergelombang bergaris (tua). Daging tudung putih, tebal, kenyal (tua). Habitat dan substrat, beberapa mengelompok atau serumpun pada serbuk gergajian kayu campuran seperti Mangium, jeunjing, kayu merah, karet dan sebagainya yang sudah lapuk di tempat penggergajian (Herliyana 2007).

2.1.4 Jamur Pelapuk Kayu P. sanguineus

Jamur P. sanguineus adalah jamur pelapuk putih yang mendaur ulang lignin.

Polypore merah ini tumbuh keluar dari kayu mati (Daniel 2008). Pada awal musim kemarau tidak banyak jamur yang mencolok. Namun diantara beberapa spesies yang dilihat adalah jamur dengan topi merah dan tumbuh pada kayu. Jamur P. sanguineus

ini adalah jamur pelapuk putih ‘pan-tropis’ yang mendaur ulang lignin. Pan tropis

yang berarti ditemukan di daerah tropis di seluruh dunia (Jim Conrad 2010). 2.1.5 Jamur Pelapuk Kayu D. spathularia

(18)

5

2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Jamur

Tambunan dan Nandika (1989) dalam Shahnaz 2010 menyatakan bahwa, faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jamur antara lain:

1. Temperatur

Jamur perusak kayu dapat berkembang pada interval suhu yang cukup lebar. Suhu optimum berbeda-beda untuk setiap jenis, tetapi pada umumnya berkisar antara 22°C sampai 35°C. Suhu maksimumnya berkisar antara 27°C sampai 39°C, dengan suhu minimum kurang lebih 5°C.

2. Oksigen

Oksigen sangat dibutuhkan oleh jamur untuk melakukan respirasi yang menghasilkan karbon dioksida (CO2) dan air (H2O). Tanpa adanya oksigen, tidak ada jamur yang dapat hidup.

3. Kelembaban

Kebutuhan jamur akan kelembaban berbeda-beda, namun hampir semua jenis jamur dapat hidup pada substrat yang belum jenuh air. Kadar air substrat yang rendah sering menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jamur. Kayu dengan kadar air kurang dari 20% umumnya tidak diserang jamur perusak, sebaliknya kayu yang memiliki kadar air 35 – 50% sangat disukai oleh jamur perusak.

4. Konsentrasi Hidrogen (pH)

Pada umumnya jamur akan tumbuh baik pada pH kurang dari 7 (dalam suasana asam sampai netral). Pertumbuhan yang optimum akan dicapai pada pH 4,5 - 5,5. 5. Bahan makanan

Jamur memerlukan makanan dari zat-zat yang terkandung dalam kayu seperti selulosa, hemiselulosa, lignin, dan zat isi sel lainnya. Selulosa, hemiselulosa dan lignin yang menyusun kayu terdapat sebagai makromolekul yang terlalu besar dan tidak larut dalam air untuk diasimilasi langsung oleh cendawan.

(19)

6

berada di dalam kayu. Selain itu, Hunt dan Garratt (1986) menambahkan bahwa, cendawan-cendawan permbusuk kayu sangat berbeda-beda dalam hal kebutuhan lembabnya, tetapi ada sedikit yang dapat membusukkan kayu pada kadar air di bawah titik jenuh serat (kadar air 25-30% dari berat kayu pada daerah beriklim sedang). 2.3 Siklus Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Kayu

Umumnya siklus pelapukan oleh jamur pelapuk kayu dari kelas Basidiomycetes adalah sebagai berikut. Basidiospora menempel pada permukaan kayu karena terbawa udara, air, serangga atau bahan-bahan yang mudah terkena infeksi. Apabila keadaan lingkungan sesuai, basidiospora tersebut akan berkecambah menjadi hifa atau miselium yang berinti sel satu yang haploid (miselium primer) (Tambunan dan Nandika 1989 dalam Herliyana 1997). Dua hifa miselium yang kompatibel akan mengadakan somatogami sehingga terjadi dikarionasi (terjadinya hifa baru dengan tetap berinti dua), sehingga terbentuk miselium sekunder yang selanjutnya berinti dua yang masing-masing haploid (Buller 1924 dalam Herliyana 1997). Miselium sekunder ini berkembang secara khusus, yaitu tiap inti membelah diri dan hasil belahan tiap pasangan inti berkumpul lagi membentuk pasangan baru tanpa mengadakan kariogami dalam sel baru, sehingga miselium sekunder tiap sel selalu berinti dua. Pembelahan tiap-tiap inti diikuti dengan terbentuknya suatu kait yang mengakibatkan terjadinya suatu struktur pada tiap antar dua sel yang lama dan baru yang biasa disebut sambungan apit (clamp connection) (Buller 1924 dalam

Herliyana 1997). Setelah terbentuk miselium sekunder yang sel ke sel pada kayu melalui lubang pengeboran yang dibuatnya di tempat-tempat pertemuan antara hifa itu dengan dinding sel atau melalui noktah-noktah dan dinding sel kayu.

2.4 Proses Pelapukan Kayu

(20)

7

Hasil dari proses respirasi oleh jamur tersebut berupa karbondioksida sesuai dengan persamaan reaksi di bawah ini.

C6H12O6 + 6O2 6H2O + 6CO2

Jamur pelapuk kayu dapat berkembang dalam kondisi lingkungan yang cocok melalui perkecambahan spora atau pertumbuhan segmentasi hifa (miselium) yang berasal dari sumber-sumber yang terinfeksi disekitarnya. Hifa tumbuh sepanjang permukaan kayu dan melakukan penetrasi untuk pertama kali melalui dinding sel kayu atau lubang yang dibuat oleh hifa itu sendiri (Haygreen dan Bowyer 1982; Manion 1981 dalam Herliyana 1997). Menurut Khan (1954) dan Shigo (1979) dalam

Herliyana (1997), kejadian tersebut merupakan awal dari proses pelapukan.

Kemampuan hifa menyerang sel-sel kayu ditentukan oleh kenormalan aktivitas pertumbuhan sel hifa yang ada pada ujung hifa, yang dikenal sebagai zona sub-apikal hifa. Sel-sel pada ujung hifa selain dapat mengadakan proses biokimia juga dapat menghasilkan enzim yang diperlukan untuk mempercepat (katalisator) proses biokimia dalam rangka menembus dinding sel kayu serta perolehan zat makanan yang diperlukan hifa (Haygreen dan Bowyer 1982 dalam Herliyana 1997).

2.5 Komponen Kayu yang digunakan Jamur

Pada prinsipnya bahan yang terkandung dalam kayu dapat dimanfaatkan oleh jamur. Holoselulosa (selulosa dan hemiselulosa) serta lignin yang secara bersama-sama membentuk zat kayu, dirombak oleh mikroorganisme menjadi senyawa-senyawa lebih sederhana dengan bantuan enzim tertentu, sehingga dapat diabsorbsi dan dimetabolisme (Tambunan dan Nandika 1989 dalam Natalia 2010). Berikut Tabel 1 komponen kimia kayu.

Tabel 1. Komponen kimia kayu daun lebar dan daun jarum

Komponen Kimia Kayu daun lebar (%) Kayu daun jarum (%)

(21)

8

Nicholas (1987) dalam Herliyana (2007), mengatakan bahwa dalam kegiatan pelapukan kayu jamur membutuhkan nitrogen dan mineral-mineral. Kandungan nitrogen yang tersedia pada kayu kurang lebih 0,03% - 0,10%, sedangkan kandungan abu mineral tersebut mampu mendukung kegiatan pelapukan oleh jamur.

2.5.1 Kayu Mangium (A. mangium)

Kayu Mangium termasuk ke dalam family Fabaceae. Kayu teras Mangium berwarna coklat pucat sampai coklat tua, kadang-kadang coklat zaitun sampai coklat kelabu, batasnya tegas dengan gubal yang berwarna kuning pucat sampai kuning jerami. Tekstur kayu ini halus sampai agak kasar merata, arah serat lurus, kadang-kadang berpadu, permukaan agak mengkilap, licin. Tingkat kekerasan agak keras sampai keras. Berat jenis kayu Mangium rata-rata 0,61 (0,43 - 0,66) dengan kelas awet III dan kelas kuat II - III. Kayu Mangium digunakan untuk bahan konstruksi ringan sampai berat, rangka pintu dan jendela, perabot rumah tangga (a.l. lemari), lantai, papan dinding, tiang (Pandit 2008).

2.5.2 Kayu Sengon (P. falcataria)

Kayu Sengon termasuk ke dalam famili Leguminoseae. Warna kayu teras dan gubalnya sukar dibedakan, warnanya putih abu-abu kecoklatan atau putih merah kecoklatan pucat. Kayu ini memiliki tekstur agak kasar sampai kasar. Tingkat kekerasan kayu Sengon ini agak lunak dan beratnya ringan. Berat jenis kayu Sengon rata-rata 0,33 dengan kelas awet IV - V dan kelas kuat IV - V. Kayu sengon ini digunakan untuk bahan bangunan terutama di pedesaan, peti, papan partikel, papan serat, papan wool semen, kelom, dan barang kerajinan lainnya (Pandit 2008). Komponen kimia kayu Sengon disajikan pada Tabel 2.

(22)

9

Kayu Tusam termasuk ke dalam family Pinaceae. Kayu Tusam memiliki kayu teras dan gubal yang sukar dibedakan kecuali pada pohon berumur tua. Kayu terasnya berwarna kuning kemerahan sedangkan gubalnya berwarna putih krem. Tekstur kayu ini agak kasar dan serat lurus tapi tidak rata. Tingkat kekerasan agak keras dan berat agak ringan sampai agak berat. Berat jenis rata-rata kayu Tusam ini adalah 0,55 (0,40 -0,75) dengan kelas awet IV dan kelas kuat III. Kayu Tusam ini digunakan untuk korek api, papan partikel, pulp, dan kertas, vinir, perabot rumah tangga, pensil, kotak, kerangka pintu dan jendela, mainan anak (Pandit 2008). Komponen kimia kayu Tusam disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komponen kimia kayu Tusam

2.6 Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk Kayu terhadap Sifat-sifat Kayu

(23)

10

Jamur kelas ini mampu mendegradasi holoselulosa kayu dan meninggalkan residu kecoklatan yang banyak mengandung lignin. White rot fungi merupakan jamur dari kelas Basidiomycetes yang mampu mendegradasi holoselulosa dan lignin sehingga menyebabkan warna kayu menjadi lebih muda daripada warna normal. Soft rot fungi

merupakan jamur dari kelas Ascomycetes. Jamur ini mampu mendegradasi selulosa dan komponen penyusun dinding sel kayu sehingga menjadi lebih lunak (Fengel dan Wegener 1989 dalam Herliyana 2007).

Pengaruh serangan jamur pelapuk putih terhadap sifat-sifat kayu diantaranya adanya perubahan struktural kayu dari yang normal, pengurangan berat yang disebabkan oleh hilangnya sebagian selulosa dan lignin karena dirombak jamur, berkurangnya kekuatan kayu, peningkatan kadar air karena kayu yang telah diserang jamur banyak menyerap air daripada kayu sehat, penurunan kalori terjadi karena intensitas pelapukan semakin tinggi maka nilai kalori semakin rendah sebab kayu yang lapuk memberi panas yang rendah daripada kayu yang sehat, perubahan warna pelapuk putih menimbulkan warna putih pada bagian kayu yang terserang, perubahan bau akan menimbulkan bau yang tak sedap dan perubahan struktur mikroskopis pelapukan putih menyebabkan dinding sel kayu semakin lama makin tipis dan akhirnya habis (Nandika dan Tambunan 1989 dalam Herliyana 1997).

Zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari suatu pohon dan bukan merupakan penyusun struktur kayu, namun zat ini cukup esensial dan berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu termasuk ketahanan terhadap serangan serangga dan organisme pelapuk lainnya karena bersifat racun (Ediningtyas 1993 dalam Fitriyani 2010). Variasi keawetan kayu juga terdapat di dalam kayu teras, dimana kayu teras bagian luar lebih awet dibandingkan kayu teras bagian dalam. Sedangkan kayu gubal memiliki keawetan yang rendah karena kayu gubal tidak mengandung zat ekstraktif (Tobing 1997 dalam Fitriyani 2010).

2.7 Keawetan Kayu

(24)

11

(Muherda 2011). Zat ekstraktif tersebut terbentuk pada saat kayu gubal berubah menjadi kayu teras sehingga pada umumnya kayu teras lebih awet dari kayu gubal.

Tim ELSSPAT (1997) dalam Fitriyani (2010), umur pohon memiliki hubungan yang positif dengan keawetan kayu. Jika pohon ditebang dalam umur yang tua, pada umumnya lebih awet daripada jika ditebang ketika muda karena semakin lama pohon tersebut hidup maka semakin banyak zat ekstraktif yang dibentuk. Berdasarkan penurunan berat kayu oleh jamur pelapuk, penentuan ketahanan kayu di bagi ke dalam beberapa kelas awet.

Tabel 4. Kelas ketahanan kayu terhadap jamur

Kelas Ketahanan Penurunan Berat (%)

I Sangat Tahan ≤ 1

II Tahan 1 – 5

III Agak Tahan 5 – 10

IV Tidak Tahan 10 – 30

V Sangat Tidak Tahan >30

Sumber : SNI 01 – 7207 – 2006

Terdapat lima kelas awet kayu, mulai dari kelas awet I (yang paling awet) sampai kelas awet V (yang paling tidak awet). Kelas awet kayu didasarkan atas keawetan kayu teras karena bagaimanapun awetnya suatu jenis kayu, bagian gubalnya selalu mempunyai keawetan yang terendah (kelas awet V). Hal ini disebabkan karena pada bagian kayu gubal tidak terbentuk zat-zat ekstraktif seperti phenol, tannin, alkaloide, saponine, chinon, dan dammar. Zat-zat tersebut memiliki daya racun terhadap organisme perusak kayu (Findlay dan Martawijaya 1962 dalam

(25)

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Oktober 2010 sampai dengan Juli 2011. Penelitian ini bertempat di Laboratorium Pathologi Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

3.2Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan

Bahan yang digunakan yaitu isolat jamur pelapuk kayu S. commune (DB1), P. ostreatus (HO), P. djamor (EB9), P. sanguineus (DB2) yang masing-masing termasuk ke dalam jamur pelapuk putih dan D. spathularia (CD1) termasuk jamur pelapuk coklat. Isolat ini diperoleh dari koleksi Dr. Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. (Laboratorium Penyakit Hutan). Sedangkan kayu yang digunakan adalah Kayu P. falcataria (Sengon), A. mangium (Mangium), dan P. merkusii (Tusam), masing-masing berukuran 5 x 2,5 x 1,5 cm dengan arah serat longitudinal. Media ME (Malt Extract), agar, antibiotik Chloramphenicol, air suling, alkohol 70 % dan spirtus.

3.2.2 Alat

Peralatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan pengujian SNI 01-7207-2006 adalah diantaranya labu erlemeyer, cawan Petri, gelas ukur, botol uji berukuran antara 500 ml – 1000 ml dengan tinggi 12 - 16,5 cm dan diameter 11 cm, batang pengaduk, neraca analitik, lampu pemanas, sudip, karet gelang, kapas,

aluminium foil, plastik tahan panas, desikator, oven, autoclave, laminar air flow, ruang inkubasi, alat hitung, alat tulis dan kamera.

3.3. Metode Penelitian Berdasarkan SNI 01-7207-2006 dengan Perbaikan 3.3.1 Pengambilan Contoh Uji

(26)

13

oven hingga mencapai kering tanur dalam suhu 60°. Lama pengovenan kayu antara 4 - 6 bulan.

3.3.2 Penyediaan Biakan Jamur

Kondisi pengujian keawetan kayu terhadap jamur harus dibuat lembab dengan menyediakan lebih dahulu biakan jamur di dalam botol uji yang steril. Media biakan jamur yang digunakan adalah media MEA (Malt Extract Agar). Biakan jamur dibuat dengan mencampurkan 50 gram malt extract dengan 20 gram agar dalam 1 liter air suling. Sebanyak 40 ml campuran tersebut dimasukkan ke dalam toples pengujian dan ditutup dengan kapas. Toples tersebut yang telah berisi media biakan jamur disterilkan ke dalam autoclave selama 30 menit pada tekanan 15 psi. Setelah proses sterilisasi, gelas tersebut diletakkan mendatar sehingga biakan berada di bagian bawah leher gelas. Jamur penguji diinokulasikan beberapa hari kemudian.

3.3.3 Pengujian Kayu

(27)

14

P = W1 – W2 x 100% W1

Dengan :

P = Persentase Penurunan bobot (%)

W1 = Bobot kering tanur contoh uji sebelum diumpankan (g) W2 = Bobot kering tanur contoh uji setelah diumpankan (g)

3.4Pengolahan Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan pola factorial 2 faktor yaitu : 1). Jenis Jamur; 2). Jenis Kayu. Ulangan dilakukan sebanyak 5 kali pada setiap jenis perlakuan.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel 2007 dan Costat untuk mengetahui hubungan antara jenis kayu, jenis jamur, dan persentase penurunan bobot (weight loss) dari metode pengujian SNI berbeda nyata atau tidak, maka digunakan pengujian beda nilai tengah (beda rata-rata). Nilai F-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan F-tabel dengan selang kepercayaan 99% dengan kaidah keputusan:

1. Apabila F-hitung < F-tabel, maka perbedaan dari kedua metode standar pengujian tersebut memberikan pengaruh tidak nyata atau sangat tidak nyata terhadap persentase penurunan bobot (weight loss) pada selang kepercayaan 99%.

(28)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengamatan Visual Kayu

Pengamatan visual kayu dilakukan setelah contoh uji kayu diumpankan ke dalam biakan jamur selama 3 bulan. Dari hasil pengamatan terlihat jelas adanya perubahan warna pada kayu akibat serangan jamur pelapuk kayu. Contoh uji kayu menjadi lebih terang (cokelat muda atau kemerahan) oleh jamur pelapuk putih dan contoh uji kayu menjadi lebih kecoklat-coklatan oleh jamur pelapuk coklat, baik itu pada kayu Mangium, Sengon maupun pada kayu Tusam (Gambar 1).

(a) (b) (c)

Gambar 1. (a) kayu Sengon sebelum pengujian, (b) kayu Sengon setelah pengujian oleh jamur pelapuk Putih, (c) kayu Sengon setelah pengujian oleh jamur pelapuk Coklat.

Jamur pelapuk putih merombak selulosa dan lignin sehingga warna kayu yang ditinggalkan menjadi lebih terang dari warna kayu awal sedangkan jamur pelapuk coklat merombak hemiselulosa sehingga warna kayu yang ditinggalkan menjadi kecoklatan karena meninggalkan komponen lignin yang berwarna coklat didalam kayu.

4.2 Persentase Penurunan Bobot

(29)

16

Parameter uji keawetan kayu terhadap lima jenis jamur pelapuk kayu asal Bogor ini dilihat dari nilai persentase penurunan bobot contoh uji (weight loss) yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium (laboratory test). Persentase penurunan bobot merupakan nilai dari pengurangan contoh uji kayu terhadap jamur pelapuk kayu yang dilakukan selama 12 minggu sehingga terjadi penurunan bobot pada kayu contoh uji. Persentase penurunan bobot contoh uji kayu akibat serangan jamur pelapuk kayu ini digunakan sebagai patokan terhadap keawetan kayu.

Pengujian yang telah dilakukan diperoleh nilai rata-rata penurunan bobot tiga jenis contoh uji kayu oleh lima jenis jamur pelapuk kayu. Persentase penurunan bobot kayu yang disebabkan oleh serangan jamur pelapuk kayu nampak bervariasi hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rata-rata persentase penurunan bobot kayu terhadap lima jenis jamur pelapuk kayu

Jenis Jamur Pelapuk Kayu Jenis Kayu (%)

Sengon Mangium Tusam Jamur pelapuk kayu mempunyai kemampuan merombak komponen kayu seperti selulosa dan lignin dari senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana sehingga dapat diabsorpsi dan dimetabolisme oleh jamur sebagai makanan. Hal ini dapat menurunkan bobot kayu dari bobot awalnya. Besarnya nilai penurunan bobot contoh uji akibat serangan jamur pelapuk kayu dalam waktu 12 minggu menunjukkan tingkat penyerangan jenis jamur pelapuk kayu terhadap jenis kayu yang digunakan.

(30)

17

sedangkan untuk Mangium termasuk ke dalam kelas awet II. Hasil pengujian belum dikatakan berhasil karena menurut Seng (1990) kayu tersebut seharusnya termasuk ke dalam kelas awet III.

Jamur P. djamor ini mampu menurunkan bobot contoh uji masing-masing kayu Sengon (20,51%), Mangium (7,08%) dan Tusam (3,83%). Berdasarkan SNI 01-7207-2006, nilai penurunan bobot kayu Sengon, Mangium dan Tusam masing-masing termasuk ke dalam kelas awet IV, III dan II. Hal ini sesuai dengan pernyataan Martawijaya (1989) yang mengatakan bahwa Sengon termasuk kelas awet IV yang berarti memiliki keawetan rendah. Menurut Seng (1990), Mangium termasuk kelas awet III yang berarti memiliki keawetan cukup rendah. Namun untuk Tusam, hasil pengujian belum dikatakan berhasil karena menurut Seng (1990) kayu tersebut seharusnya termasuk ke dalam kelas awet IV.

Jamur S. commune ini mampu menurunkan bobot contoh uji masing-masing kayu Sengon (3,42%), Mangium (7,11%) dan Tusam (3,33%). Berdasarkan SNI 01-7207-2006, nilai penurunan bobot kayu Sengon, Mangium dan Tusam masing-masing termasuk ke dalam kelas awet II, III dan II. Seng (1990) mengatakan, Mangium termasuk kelas awet III yang berarti memiliki keawetan cukup rendah. Sedangkan untuk Sengon dan Tusam hasil pengujian belum dikatakan berhasil karena menurut Seng (1990) kayu tersebut seharusnya termasuk ke dalam kelas awet IV.

Jamur P. ostreatus ini hanya mampu menurunkan bobot contoh uji masing-masing kayu Sengon (2,65%), Mangium (3,02%) dan Tusam (3,47%). Berdasarkan SNI 01-7207-2006, nilai penurunan bobot kayu Sengon, Mangium dan Tusam masing-masing termasuk ke dalam kelas awet II. Begitupula dengan jamur D. spathularia hanya mampu menurunkan bobot contoh uji masing-masing kayu Sengon (4,16%), Mangium (3,37%), dan Tusam (2,64%). Berdasarkan SNI 01-7207-2006, nilai penurunan bobot kayu Sengon, Mangium dan Tusam masing-masing termasuk ke dalam kelas awet II. Pengujian ketiga kayu ini belum dikatakan berhasil karena menurut Seng (1990), Sengon seharusnya termasuk ke dalam kelas awet IV-V, Mangium termasuk kelas awet III, dan Tusam termasuk kelas awet IV.

(31)

18

karena pengovenan kayu terlalu lama yang menyebabkan kayu menjadi sangat kering. Namun, hal tersebut tidak menjadi masalah untuk jamur P. sanguineus dan P. djamor yang menunjukkan adanya persentase penurunan bobot contoh uji kayu cukup besar. Hal tersebut dapat diduga bahwa kedua jamur pelapuk kayu ini berpotensi menyerang kayu dengan kadar air yang sangat rendah.

4.3 Keawetan Tiga Jenis Kayu terhadap Lima Jenis Jamur Pelapuk Kayu Asal Bogor

Kemampuan jamur dalam melapukkan kayu bervariasi tergantung dari karakteristik jenis kayu dan jenis jamur yang menyerang. Berdasarkan hasil pengujian dapat dijelaskan bahwa untuk jenis kayu Sengon serangan jamur pelapuk kayu tertinggi terjadi pada jamur P. sanguineus (31,09%) dan P. djamor (20,51%). Serangan jamur pelapuk kayu tertinggi untuk jenis kayu Mangium terjadi pada jamur

S. commune (7,11%) dan P. djamor (7,08%). Sedangkan serangan jamur pelapuk kayu tertinggi untuk jenis kayu Tusam hanya terjadi pada jamur P. sanguineus

(13,18%).

Jamur P. sanguineus dan P. djamor mampu menyerang dua dari tiga jenis kayu. Hal ini terjadi diduga karena jamur P. sanguineus dan P. djamor memiliki kemampuan mendegradasi kayu meskipun kayu yang digunakan mengalami masa pengovenan yang lama (4 – 6 bulan) atau dengan kata lain jamur P. sanguineus dan

P. djamor memiliki kemampuan mendegradasi kayu pada tingkat kadar air yang rendah.

Tabel 6. Masa pengovenan kayu tiga jenis kayu untuk lima jenis biakan jamur Masa Pengovenan kayu untuk lima biakan jamur

Jenis biakan jamur Sengon Akasia Pinus

S. commune 4 bulan 4 bulan 4 bulan

P. ostreatus 6 bulan 6 bulan 6 bulan

P. sanguineus 4 bulan 6 bulan 6 bulan

D. spathularia 4 bulan 6 bulan 4 bulan

P. djamor 4 bulan 4 bulan 4 bulan

Tabel 7. Rata-rata kadar air tiga jenis kayu

Jenis Kayu Sengon Mangium Tusam

(32)

19

Hasil pengujian di laboratorium, Sengon memiliki penurunan kadar air sebesar 28,34% sedangkan untuk Mangium dan Tusam masing-masing memiliki kadar air sebesar 21,06% dan 22,32%. Menurut Hunt dan Garratt (1986), cendawan-cendawan pembusuk kayu sangat berbeda-beda dalam hal kebutuhan lembabnya, tetapi ada sedikit yang dapat membusukkan kayu pada kadar air di bawah titik jenuh serat. Tsoumis (1991) dalam Iswanto (2008) besarnya kadar air dalam pohon hidup bervariasi antara 30-300% tergantung dari spesies pohon, (hardwood atau softwood), posisi dalam batang (vertical dan horizontal) serta musim (salju, semi, panas dan gugur). Panshin dkk (1964) dalam Iswanto (2008) juga mengemukakan bahwa kadar air titik jenuh serat besarnya tidak sama untuk setiap jenis kayu, hal ini disebabkan oleh perbedaan struktur dan komponen kimia.

Interaksi yang kuat ditunjukkan dengan adanya persentase penurunan bobot contoh uji kayu tertinggi pada biakan P. sanguineus dalam kayu Sengon sebesar 31,085% dan interaksi yang lemah ditunjukkan dengan adanya persentase penurunan bobot contoh uji kayu terendah pada biakan D. spathularia dalam kayu Mangium sebesar 2,645%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Suprapti dkk (2002) dalam

Suprapti (2004) bahwa kemampuan melapukkan kayu tertinggi terjadi pada

Polyporus sp., T. palustris, P. sanguineus, dan L. lepideus., sedangkan kemampuan terendah terjadi pada P. chrysosporium, D. spathularia, dan C. globosum.

Nilai persentase penurunan bobot kayu Sengon oleh serangan jamur P. sanguineus dan P. djamor lebih tinggi dibandingkan dengan kayu Mangium dan Tusam. Hal ini diduga karena adanya hifa jamur yang masuk ke dalam contoh uji kayu sehingga mempengaruhi bobot akhir setelah contoh uji selesai diumpankan. Faktor lain seperti kandungan selulosa dan lignin yang lebih tinggi dapat mempengaruhi persentase penurunan bobot kayu. Menurut Pari (1996) dalam

(33)

20

penurunan bobot kayu daun lebar yaitu Sengon dan Mangium lebih tinggi daripada kayu daun jarum yaitu Tusam. Kayu Sengon dan Mangium termasuk ke dalam kayu daun lebar (Hardwood), sedangkan kayu Tusam termasuk ke dalam kayu daun jarum (Softwood). Adapun hubungan berat jenis terhadap keawetan kayu menurut Seng 1990, berat jenis kayu tidak berpengaruh terhadap keawetan kayu. Namun, ada hubungan antara berat jenis dan keawetan dalam batas-batas keawetan yang khusus dari suatu genus atau famili, kayu – kayu yang lebih berat kebanyakan lebih awet daripada kayu yang lebih ringan. Berat jenis untuk masing – masing kayu Sengon, Mangium dan Tusam adalah 0,33; 0,61 dan 0,55.

Ediningtyas 1993 dalam Fitriyani 2010, menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan bagian kecil dari suatu pohon dan bukan merupakan penyusun struktur kayu, namun zat ini cukup essensial dan berpengaruh terhadap sifat-sifat kayu termasuk ketahanan terhadap serangan serangga dan organisme pelapuk lainnya karena bersifat racun. Tobing (1977) dalam Fitriyani (2010) menambahkan bahwa kayu gubal memiliki keawetan yang rendah karena kayu gubal tidak mengandung zat ekstraktif.

Hal tersebut dapat dilihat dari berkembangnya miselium lima jenis jamur pelapuk kayu yang menempel pada permukaan masing-masing jenis kayu. Rata-rata jamur P. sanguineus dan P. djamor memiliki miselium yang lebih tebal dibandingkan dengan jamur pelapuk kayu lain sehingga diduga kedua jenis ini mampu mendegradasi kayu lebih cepat. Seperti tercermin pada Gambar (2, 3, dan 4).

(a) (b) (c)

(34)

21

Gambar 2. Miselium yang menempel pada kayu contoh uji Sengon. (a) Jamur S. commune, (b) Jamur P. ostreotus, (c) Jamur P. sanguineus, (d) Jamur D. spathularia, (e) Jamur P. djamor

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 3. Miselium yang menempel pada kayu contoh uji Mangium. (a) Jamur S. commune, (b) Jamur P. ostreotus, (c) Jamur P. sanguineus, (d) Jamur D. spathularia, (e) Jamur P. djamor

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 4. Miselium yang menempel pada kayu contoh uji Tusam. (a) Jamur S. commune, (b) Jamur P. ostreotus, (c) Jamur P. sanguineus, (d) Jamur D. spathularia,

(e) Jamur P. djamor

Jamur P. ostreatus dan D. spathularia belum dapat digunakan sebagai uji

(35)

22

penurunan bobot kayu yang dihasilkan tidak menghasilkan persentase penurunan bobot yang sesuai dengan kelas awet berdasarkan literatur dalam Seng (1990) dan Martawijaya (1989). Selain itu, persentase penurunan bobot masih dibawah jenis jamur P. sanguineus, P. djamor dan S.commune yang sama-sama telah diujikan.

Hasil analisis ragam dengan menggunakan selang kepercayaan 99%, dapat diketahui bahwa terjadi perbedaan yang sangat nyata antara jenis jamur, jenis kayu, maupun jenis jamur x jenis kayu terhadap persentase penurunan bobot kayu, artinya setiap jenis jamur pelapuk kayu dan setiap jenis kayu sangat berpengaruh terhadap persentase bobot kayu serta ketiga jenis kayu sangat mempengaruhi tingkat persentase penurunan bobot yang berbeda dengan menggunakan lima jenis jamur pelapuk kayu. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai P < 0,01 untuk setiap perlakuan.

Tabel 8. Hasil analisis ragam persentase penurunan bobot contoh uji kayu terhadap jenis kayu dan jenis jamur pelapuk kayu.

Sumber DB JK KT F Pr > F

Jenis Jamur 4 1891,21 472,80 67,49 0,00 *** Jenis Kayu 2 888,03 444,02 63,37 0,00 *** Jenis Jamur x Jenis Kayu 8 1878,29 234,79 33,51 0,00 ***

Galat 60 420,40 7,01

(36)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Persentase penurunan bobot tertinggi terjadi pada kayu Sengon dalam biakan

P. sanguineus sebesar 31,09% dan persentase penurunan bobot terendah terjadi pada kayu Tusam dalam biakan D. spathularia sebesar 2,64%.

2. Analisis statistik dengan selang kepercayaan 99% terhadap persentase penurunan bobot kayu menerangkan bahwa terjadi perbedaan sangat nyata antara jenis jamur, jenis kayu dan jenis jamur x jenis kayu.

3. Pengujian keawetan dengan menggunakan metode SNI 01-7207-2006 jamur pelapuk kayu diketahui bahwa kayu Sengon termasuk ke dalam kelas awet IV-V, Mangium dan Tusam masing-masing termasuk ke dalam kelas awet III dan IV.

4. Dua dari lima jenis jamur pelapuk kayu yang diujikan terhadap tiga jenis kayu tidak masuk ke dalam kelas awet berdasarkan literatur. Hal tersebut karena kemampuan setiap jenis jamur pelapuk kayu dalam melapukkan kayu berbeda tergantung karakteristik jenis kayu yang diserang dan jenis jamur pelapuk kayu yang menyerangnya.

5. Jamur P. ostreatus dan jamur D. spathularia belum dapat digunakan dalam pengujian ketahanan kayu Sengon, Mangium dan Tusam pada metode SNI 01-7207-2006 karena hasil menunjukkan tidak satupun dari kedua jamur ini yang mampu mencapai kelas keawetan kayu.

5.2 Saran

(37)

24

2. Kayu yang digunakan dalam penelitian ini memiliki masa pengovenan 4 – 6 bulan sehingga perlu dilakukan uji lanjut terhadap penelitian dengan menggunakan masa pengovenan kayu yang standar.

(38)

DAFTAR PUSTAKA

Conrad J. 2010. Newsletter ‘The Red Fungus’. [terhubung berkala]. http://www.backyardnature.net/yucatan/red-fung.htm [11 Juli 2011].

Eksanto EJ. 1996. Pengaruh Perendaman Air Belerang dan Minyak Tanah Terhadap Sifat Fisis Mekanis Tiga Jenis Kayu Melalui Uji Serangan Jamur Pelapuk (Schizophyllum commune Fr.). [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Emberger G. 2008. Dacryopinax spathularia. [terhubung berkala]. http://www.messiah.edu/Oakes/fungi_on_wood/club%20and%20coral/species %20pages/Dacryopinax%20spathularia.htm [11 Juli 2011].

Fengel D dan Wegener G. 1985. KAYU : Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-reaksi. Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo dan Soenardi Prawiroatmojo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Fitriyani I. 2010. Pengujian Keawetan Alami Kayu Karet (Hevea barasiliensis Muell. Arg.) dan Sugi (Cryptomeria japonica (L. f.) D. Don) Terhadap Jamur Pelapuk Kayu Schizophyllum commune Fr. [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

Herliyana EN. 1997. Potensi Schizophyllum commune dan Phanerochaete chrysosporium untuk Pemutihan Pulp Kayu Acacia mangium dan Pinus merkusii. [Thesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Herliyana EN. 2007. Potensi Lignolitik Jamur Pelapuk Kayu Pleurotoid. [Desertasi].

Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Hunt GM, Garratt GA. 1986. Pengawetan Kayu. Diterjemahkan Jusuf M. Akademika Pressindo. Jakarta.

Iswanto AH. 2008. SIFAT FISIS KAYU: Berat Jenis dan Kadar Air Pada Beberapa Jenis Kayu. [Karya Tulis]. Sumatera: Departemen Kehutanan. Fakultas Pertanian USU.

Kurnia A. 2009. Sifat Keterawetan dan Keawetan Kayu Durian, Limus, dan Duku Terhadap Rayap Kayu Kering, Rayap Tanah, dan Jamur Pelapuk. [Skripsi]. Bogor: Departemen Hasil Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.

(39)

26

Martawijaya A, Kartasujana I, Mandang YI, Prawira SA, Kadir K. 1989. Atlas Kayu Indonesia Jilid II. Bogor: Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.

Muherda. 2011. Keawetan Kayu. [terhubung berkala]. http://muherda.blogspot.com/2011/03/keawetan-kayu.html. [11 Juli 2011] Natalia DA. 2011. Jamur Tiram Sebagai Jamur Uji Keawetan Alami Kayu Karet dan

Sengon dengan Metode Standar Nasional Indonesia dan Standar Industri Jepang. [Skripsi]. Bogor: Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan IPB. Nurjayadi MY, Martawijaya EI. 2011. Sukses Bisnis Jamur Tiram di Rumah Sendiri.

Bogor : IPB Press.

Padlinurjaji IM. 1977. Rendaman Dingin Larutan Wolmanit terhadap Lima Jenis Kayu pada Berbagai Tingkat Konsentrasi dan Waktu Rendam. Fakultas Kehutanan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Pandit IKN, Kurniawan D. 2008. Struktur Kayu Sifat Kayu sebagai Bahan Baku dan Ciri Diagnostik Kayu Perdagangan Indonesia. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Seng OD. 1990. Berat Jenis dari Jenis-jenis Kayu Indonesia dan Pengertian Beratnya Kayu untuk Keperluan Praktek. Terjemahan Soewarsono P.H. Pengumuman Nr. 13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Shahnaz N. 2010. Pengembangan Fumigasi Amonia Sebagai Metode Pewarnaan Beberapa jenis Kayu Rakyat. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2006. Uji Ketahanan dan Produk Kayu Terhadap Organisme Perusak Kayu. SNI 01-7207-2006.

Suprapti S, Djarwanto, Hudiansyah. 2004. Ketahanan Lima Jenis Kayu Terhadap Beberapa Jamur Perusak Kayu. Bogor: Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 22 (3): 239-246.

Yunasfi. 2008. Fungi at Eucalyptus urophylla S.T. Blake in Log Yard (TPK) PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Kabupaten Toba Samosir North Sumatera. Sumatera: Jurnal Hutan dan Masyarakat. 3 (1): 001-110.

(40)
(41)

Lampiran 1. Hasil perhitungan ANOVA

Bartlett's Test tests the homogeneity of variances, an assumption of

ANOVA. Bartlett's Test is known to be overly sensitive to non-normal data. A resulting probability of P<=0.05 indicates the variances may be not

homogeneous and you may wish to transform the data before doing an ANOVA. For ANOVA designs without replicates (notably most Randomized Blocks and Latin Square designs), there is not enough data to do this test.

Bartlett's X2 (corrected) = 95,68 Degrees of Freedom (nValues-1) = 14

P = ,00 ***

ANOVA

2011-07-30 10:31:02 Using: C:\clipboard.dt

AOV Filename: 2WCR.AOV - 2 Way Completely Randomized Y Column: 4) Penurunan Berat (%)

1st Factor: 1) Jenis Jamur 2nd Factor: 2) Jenis Kayu Keep If:

(42)

28

Mean Y = 7,51

Coefficient of Variation = (Root MSerror) / abs(Mean Y) * 100% = 35,27%

(43)

29

Lampiran 3. Dokumentasi penelitian

Gambar kayu Sengon Gambar kayu Akasia Gambar kayu Pinus Sebelum di uji sebelum di uji sebelum di uji

Gambar botol uji pada biakan jamur Gambar kayu Akasia dalam biakan

P. djamor jamur P. djamor

Gambar botol uji pada biakan jamur Gambar kayu Pinus dalam biakan

(44)

30

Gambar botol uji pada biakan jamur Gambar kayu Sengon dalam biakan

P. sanguineus jamur P. sanguineus

Gambar botol uji pada biakan jamur Gambar kayu Pinus dalam biakan

D. spathularia jamur D. spathularia

Gambar botol uji pada biakan jamur Gambar kayu Pinus dalam biakan

Gambar

Tabel 1. Komponen kimia kayu daun lebar dan daun jarum
Tabel 3. Komponen kimia kayu Tusam
Tabel 4. Kelas ketahanan kayu terhadap jamur
Tabel 6. Masa pengovenan kayu tiga jenis kayu untuk lima jenis biakan jamur
+5

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kasus anak penderita autisme, komunikasi antarpribadi digunakan sebagai alat untuk membantu agar anak-anak dengan gangguan spektrum autisme secara perlahan-lahan

Untuk itu suatu organisasi yang berkecimpung dalam teknologi Internet yaitu Internet Engineering Task Force (IETF) telah mengembangkan protokol baru yang

Berdasarkan hasil penelitian bahwa jenis tumbuhan yang memiliki nilai-nilai kesakralan/ ulayat bagi masyarakat Suku Dayak Kota Palangka Raya adalah Pinang Merah

Lembaga Pendidikan Islamiyah atau Yayasan Pendidikan Islamiyah Buduran dirintis sejak tahun 1958 dengan dibukanya lembaga pendidikan setingkat SD yaitu Madrasah Ibtida’iyah

Faktor terjadinya retinopati diabetikum: lamanya menderita diabetes, umur penderita, kontrol guladarah, faktor sistematik (hipertensi, kehamilan). Nefropati diabetikum yang

Metode penelitian meneakup pengukuran karakteristik bahan bakar permukaan, yang terdiri dari potensi, kadar air, susunan (secara vertikal dan Ilorisontal),

MENGELOLA PROSES BELAJAR MENGAJAR SMKN 1 PAGER WOJO...1 MEDIA DALAM PROSES PEMBELAJARAN SMK QOMARUL HIDAYAH 2...5 KURIKULUM DALAM PEMBELAJARAN SMK NEGERI 1 PAGERWOJO

Ada beberapa hal yang bisa kita analisis terhadap prinsip maskulinitas yang terinternalisir dalam diri feminisme dominan, diantaranya; feminisme liberal