• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEBIJAKAN DALAM UPAYA

PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

TERHADAP PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

ALEX YUNGAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2013

Alex Yungan

(4)

ABSTRAK

ALEX YUNGAN. Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Dibimbing oleh BAMBANG HERO SAHARJO.

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim. Kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, ternyata belum mampu mempengaruhi penurunan emisi gas rumah kaca, sehingga kondisi tersebut akan berdampak terhadap pemanasan global dan perubahan iklim. Hal tersebut tentunya menjadi pertanyaan apakah keputusan pemerintah telah berjalan efektif atau justeru sebaliknya. Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) untuk mengkaji keberadaan keputusan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 yang disertai kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan; 2) Komitmen pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, sedangkan data sekunder diperoleh dengan teknik pengumpulan data dengan dokumen dari Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup. Data sekunder dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Selain itu, uji korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara hotspot dan luas kebakaran hutan. Korelasi antara hotspot dengan luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012 sebesar 51.03%, sementara di 11 Provinsi Indonesia yaitu, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat sebesar 61.25%. Hal ini menunjukan korelasi positif antara hotspot dengan luas kebakaran hutan. Hasil analisis data sekunder menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan adalah kontraproduktif. Tren

hotspot di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2010-2012. Peningkatam

hotspot berdampak terhadap peningkatan luas kebakaran hutan. Akhirnya, emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer juga semakin besar. Hal ini berarti regulasi/kebijakan pemerintah bersifat tidak (mampu) menghasilkan dalam implementasinya. Informasi ini diharapkan mampu memberikan solusi penyelesaian masalah pengendalian kebakaran hutan dan lahan terutama dalam menurunkan emisi gas rumah kaca melalui kebijakan pemerintah Indonesia. Kata kunci : emisi gas rumah kaca, hotspot, kebakaran hutan dan lahan, kebijakan

(5)

ABSTRACT

ALEX YUNGAN. Influence Policy Forest Fire and Land Control Against Greenhouse Gas Emission Reduction. Supervised by BAMBANG HERO SAHARJO.

Global warming and climate change occurs due to an increasing of concentrations of greenhouse gases. Indonesian forest fires and land policy has not been able to reduce the greenhouse gas emissions, so that condition will have an impact to global warming and climate change. The main question about government's decision regarding this matter are effectiveness of the policies. The purpose of this study is 1) to reviewing presence the government’s decision in reduce Greenhouse Gas Emissions (GGE) in the period 2005-2012 that accompanied the policy control of forest fire and land; 2) The government's commitment to reduce Greenhouse Gas Emissions (GGE) due to fire forest and land. Primary and secondary data was used in this study. Primary data obtained by interviews, while secondary data obtained by desk study of Ministry of Forestry and the Ministry of Environment documents. Secondary data were analyzed using descriptive analysis. In this study also conducted statistical tests, which is correlation test, to determine the correlation between forest hotspot and the amount of forest fires. Correlation between hotspot with the amount of forest fires in Indonesia by year 2010-2012 was 51.03%, while in 11 Indonesian province namely, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat of 61.25%. The correlation test shows a positive correlation between hotspots with widespread forest fires. Secondary data analysis of the results showed that the government's commitment to reduce the greenhouse gas emissions, mainly from forest fires is counterproductive. It shows that the trends of hotspot in Indonesia was increased by year 2010-2012. The increasing of hotspot resulted to the amount of forest fire. These fact lead the increasing greenhouse gas emissions amount released into the atmosphere. This means that the government policies implementation does not reach the objectives. This study are expected to provide a solution for of forest fire policy problems, particularly in reducing greenhouse gas emissions programs through Indonesian government policies.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Silvikultur

PENGARUH KEBIJAKAN DALAM UPAYA

PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN

TERHADAP PENURUNAN EMISI GAS RUMAH KACA

ALEX YUNGAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)
(9)

Judul Skripsi : Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Nama : Alex Yungan NIM : E44070033

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, M.Agr Pembimbing I

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nurheni Wijayanto, MS Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari hingga Mei 2013 ialah kebijakan penurunan emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan, dengan judul Pengaruh Kebijakan Dalam Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Bambang Hero Saharjo, M.Agr selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan berharga kepada penulis dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr Ir Agus Priyono Kartono, M.Si selaku dosen penguji dan Dr Ir Noor Farikhah Haneda, MS selaku ketua sidang yang telah memberikan saran dan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Jaya, Sumantri dan Deni dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, yang telah membantu selama pengumpulan data. Khususnya kepada ibu, Suwarni, dan ayah, Edyon Gemady Mulia Harahap S.Pd terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan atas segala doa dan kasih sayangnya yang tidak dapat dibalas dengan dan dalam bentuk apapun. Semoga Allah SWT membalas kebaikanmu, ibu, ayah. Amin. Kepada Jamaludin M. Ali dan bunda Lely, uwak Ramly Rasyid dan keluarga, bunda Cut Laily dan keluarga, terima kasih atas perhatian dan kebaikannya kepada penulis, serta seluruh keluarga, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas segala doa dan kasih sayangnya. Kepada keluarga besar Departemen Silvikultur, terima kasih atas bantuannya dalam pengurusan administrasi seminar, ujian skripsi dan sebagainya, serta keluarga besar Laboratorium Kebakaran Hutan atas bantuannya kepada penulis.

Kepada kawan-kawan HMI Komisariat Fakultas Kehutanan IPB, Wira Ary Ardana, Arifin, Ardiansyah Putra, Laswi Irmayanti, Azizah, terima kasih banyak atas perkawanannya yang begitu intim, melebihi saudara/i sekandung. Kawan-kawan Fahutan IPB senasib sepenanggungan, bang Handyan Atyanto Putro, Nichie Valentino, Adi Dzikrullah Bahri, Rinal Syahputra Lubis, Rusdi Indra Safutra, Rizky Saputra, Anggiana Ginanjar terima kasih atas korsa dan perkawanannya yang begitu mesra. Kawan-kawan Fahutan IPB 44, Bayu Pranayudha, Sri Wahyuni, Sri Handayani, Topik Hidayat, Yasser Pramana, Risky Mohfar, Mustofa, Irham (Mbek), Renato, Djayus, Singgih, Andri, Lembong, serta seluruh kawan-kawan (SVK, MNH, THH, dan KSHE) yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas korsanya. Kepada Zhaviera Fetriza, terima kasih atas perhatian dan kebaikannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

METODE 3

Bahan 4

Alat 4

Prosedur Analisis Data 4

HASIL DAN PEMBAHASAN 4

Hasil 4

Pembahasan 11

SIMPULAN DAN SARAN 16

Simpulan 16

Saran 16

DAFTAR PUSTAKA 16

LAMPIRAN 19

(12)

DAFTAR TABEL

1 Sebaran hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia 5 2 Target penurunan hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 6 3 Perbandingan hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia (jumlah hotspot :

target penurunan hotspot 8

4 Jumlah hotspot dalam kawasan hutan dan luas kebakaran hutan tahun

2010-2012 9

5 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan tahun 2010-2012 di 11

provinsi Indonesia 10

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan alur pemikiran 2

2 Jumlah hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia 6

3 Target penurunan hotspot tahun 2010-2012 di Indonesia 7 4 Perbandingan hotspot tahun 2010-2012 di Indonesia 8 5 Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di Indonesia tahun

2010-2012 9

6 Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di 11 Provinsi

Indonesia tahun 2010-2012 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta sebaran titik panas (hotspot) tahun 2005-2012 di Indonesia 19

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan tropis Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokrasi Kongo dan ditempatkan pada urutan kedua setelah Brazil dalam hal tingkat keanekaragaman hayati (Ministry of Environment 2009). Ironisnya, laju kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2009 laju deforestasi Indonesia tercatat sebesar 1.51 juta hektar tahun-1 (FWI 2011). Konsekuensinya, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia (Hooijer et al.

2006).

Faktor penyebab kerusakan hutan di Indonesia, diantaranya penebangan liar

(illegal logging), alih fungsi hutan serta kebakaran hutan dan lahan yang disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terbesar kerusakan hutan Indonesia. Kebakaran hutan adalah suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi di dalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali. Secara umum, kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia, dimana faktor manusia menyebabkan hampir 100% terjadinya kebakaran hutan dan lahan, baik sengaja maupun tidak sengaja (Syaufina 2008).

Dampak yang ditimbulkan kebakaran hutan dan lahan antara lain, munculnya kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, kesehatan dan lingkungan, seperti meningkatnya emisi gas rumah kaca. Gas Rumah Kaca (GRK) adalah gas-gas yang tertimbun di atmosfir yang sifatnya “menyerap” radiasi gelombang panjang (sinar infra merah) dan menyebabkan naiknya suhu dibumi (Abdullah dan Khairuddin 2009)

Peningkatan konsentrasi emisi gas rumah kaca menimbulkan pemanasan global dan perubahan iklim (Setiawan 1999). Upaya yang dilakukan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) adalah dengan mengatasi deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu caranya melalui penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Departemen Kehutanan 2002) yang diwujudkan dengan mengeluarkan peraturan tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

(14)

2

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah keputusan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 disertai kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan?

2. Bagaimana komitmen pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan?

Adapun perumusan masalah tersebut secara ringkas dapat dilihat pada bagan alur pemikiran berikut:

Gambar 1 Bagan Alur Pemikiran

Hotspot (Pemerintah menargetkan penurunan 20% hotspot setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009

Kebakaran Hutan dan Lahan Rencana Aksi Nasional Penurunan

Emisi Gas Rumah Kaca (Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011)

Emisi Gas Rumah Kaca Pemanasan Global

(15)

3

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu 1) untuk mengkaji keberadaan keputusan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 yang disertai kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan; 2) Komitmen pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menginformasikan kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan mengenai bagaimana jalannya kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan oleh pemerintah utamanya dalam upaya menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga memberikan informasi tentang keseriusan/langkah konkrit pemerintah dalam menjalankan kebijakan terkait penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) akibat kebakaran hutan dan lahan.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah penurunan emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan. Hotspot Indonesia tahun 2005-2012 digunakan sebagai paramer untuk melihat persoalan ini.

METODE

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kebakaran Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilakukan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2013. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (indept interview) menggunakan pendekatan wawancara semiterstruktur (semistructure interview) serta dialog antara peneliti dengan narasumber penelitian (responden). Pemilihan responden dilakukan dengan metode purposive sampling (Sugiyono 2007). Kriteria narasumber adalah orang yang paling berwenang, paling menguasai peran lembaganya, dan dapat berkomunikasi dengan baik. Narasumber penelitian merupakan pegawai Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan akademisi (Dosen Fakultas Kehutanan IPB). Narasumber yang diwawancarai berjumlah empat orang dengan rincian tiga orang pegawai Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (SM, JDC, dan DN) dan satu orang akademisi (BHS).

(16)

4

Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sebaran

hotspot di Indonesia tahun 2005–2012. Data sebaran hotspot diperoleh dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menggunakan citra satelit NOAA-AVHRR. Bahan lainnya adalah peraturan perundang-undangan terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan, laporan pemerintah terkait upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2012 di Indonesia, peta sebaran hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia dan data-data lain yang berhubungan dengan penelitian yang diperlukan untuk melengkapi data yang sudah ada.

Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Laptop

2. Software Microsoft Word dan Microsoft Excel 2010 3. Daftar pertanyaan wawancara

4. Alat tulis 5. Tape recorder 6. Alat hitung

Prosedur Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis menggunakan pendekatan statistika deskriptif. Cara yang dilakukan adalah dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang terkumpul sebagaimana adanya (Sugiyono 2009), sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole 1993).

Data yang dianalisa adalah hotspot. Parameter yang diukur/dihitung meliputi jumlah hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia. Sasarannya adalah jumlah

hotspot mengalami penurunan, terlebih setelah terbitnya Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK) yang menargetkan penurunan 20% hotspot setiap tahunnya.

Parameter tersebut dihubungkan dengan kebijakan pemerintah terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Hasil-hasil dari parameter yang telah dianalisis akan dibandingkan dengan laporan pemerintah terkait upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2012 di Indonesia. Selain itu, juga dilakukan analisis dengan uji korelasi untuk mengetahui hubungan antara

hotspot dan luas kebakaran hutan di Indonesia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Sebaran Hotspot Tahun 2005-2012 di Indonesia

(17)

5 (Advanced Very High Resolution Radiometer). Peta sebaran hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 1. Berdasarkan Tabel 1, jumlah

hotspot di Indonesia tahun 2005 adalah 40 197 titik, tahun 2006 sebanyak 146 264 titik, tahun 2007 sebanyak 37 909 titik, tahun 2008 sebanyak 30 616 titik, tahun 2009 sebanyak 39 463 titik, tahun 2010 sebanyak 9 880 titik, tahun 2011 sebanyak 28 474 titik, dan tahun 2012 sebanyak 34 789 titik.

Tabel 1 Sebaran hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia

Provinsi Tahun

(18)

6

Gambar 2 dibawah ini menyajikan fluktuasi sebaran hotspot di Indonesia dari tahun 2005-2012. Sebagaimana ditampilkan grafik, hotspot tertinggi di Indonesia terjadi pada tahun 2006, dengan jumlah hotspot sebanyak 146 264 titik, dan hotspot terendah terjadi pada tahun 2010, dengan jumlah hotspot sebanyak 9 880 titik.

Gambar 2 Jumlah hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia

Target Penurunan Hotspot Tahun 2010-2012 dari Rerata Tahun 2005-2009 di Indonesia

Tabel 2 menyajikan target penurunan hotspot di Indonesia tahun 2010-2012. Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010, pemerintah menargetkan hotspot di Indonesia berkurang sebesar 20% setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009. Rerata hotspot tahun 2005-2009 adalah 58 890 titik.

Hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah tahun 2010 sebanyak 47 112 titik (20% dari rerata hotspot tahun 2005-2009), tahun 2011 sebanyak 37 690 titik (20% dari tahun 2010 atau 36% dari rerata hotspot tahun 2005-2009), dan tahun 2012 hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah sebanyak 30 152 titik (20% dari tahun 2011 atau 48.80% dari rerata hotspot tahun 2005-2009).

Tabel 2 Target penurunan hotspot di Indonesia tahun 2010-2012

Rerata 2005-2009 Tahun

2010 2011 2012

58 890 47 112 37 690 30 152

20% 36% 48.80%

Sumber: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(19)

7 Fluktuasi penurunan hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 disajikan pada Gambar 3. Seperti dapat dilihat, hotspot di Indonesia pada tahun tersebut menggambarkan penurunan.

Gambar 3 Target penurunan hotspot tahun 2010-2012 di Indonesia sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014

Perbandingan Jumlah Hotspot

Tabel 3 menyajikan perbandingan hotspot di Indonesia selang tahun 2005-2012. Perbandingan hotspot meliputi, perbandingan jumlah hotspot berdasarkan hasil pemantauan citra satelit NOAA-AVHRR per tahun terhadap target penurunan hotspot yang ditetapkan pemerintah sebesar 20% setiap tahun dari rerata 2005-2009. Hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah tahun 2010 adalah 47 112 titik, tahun 2011 sebanyak 37 690 titik, dan tahun 2012 sebanyak 30 152 titik. Pada periode yang sama, jumlah hotspot hasil pemantauan citra satelit adalah 9 880 titik tahun 2010, tahun 2011 sebanyak 28 474 titik, dan tahun 2012 sebanyak 34 789 titik. Tahun 2012, hotspot di Indonesia melebihi angka yang ditoleril pemerintah. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

0

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(20)

8

Tabel 3 Perbandingan hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia (jumlah hotspot : target penurunan hotspot)

Jumlah Hotspot di Indonesia Per Tahun

Hotspot Hasil Pemantauan1 Hotspot Maksimal2

2005 40 197 2005

Sumber Data: 1 Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2 Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan tahun 2010-2014

Garis perpotongan hotspot hasil pemantauan citra satelit NOAA AVHRR terhadap target penurunan hotspot oleh pemerintah tahun 2010-2012 dapat dilihat pada Gambar 4. Berdasarkan Gambar 4, garis perpotongan terjadi pada tahun 2012. Pada tahun ini, jumlah hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah melebihi ambang batas yang telah ditetapkan, yaitu 34 789 titik.

Gambar 4 Perbandingan hotspot tahun 2010-2012 di Indonesia

Hubungan Hotspot Terhadap Luas Kebakaran Hutan di Indonesia

Tabel 4 menyajikan jumlah hotspot dalam kawasan hutan dan luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012. Jumlah hotspot dalam kawasan hutan Indonesia tahun 2010 adalah 2 270 titik, tahun 2011 sebanyak 6 652 titik,

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

(21)

9

Sumber: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (2013)

Gambar 5 menyajikan hubungan hotspot terhadap luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012. Model persamaan yang dihasilkan adalah y = 0.5845x + 1169.5, dengan nilai R2 = 0.5103. Nilai R2 menunjukkan korelasi hotspot

terhadap luas kebakaran hutan. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012

Tabel 5 menyajikan jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan di Indonesia yang diwakili oleh 11 Provinsi tahun 2010-2012. Sebelas Provinsi tersebut adalah, Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat.

Jumlah hotspot 11 Provinsi tahun 2010 adalah 8 277 titik, tahun 2011 sebanyak 22 931 titik, dan tahun 2012 sebanyak 28 421 titik. Pada periode yang sama, luas kebakaran hutan di 11 Provinsi tersebut adalah 131.50 hektar tahun 2010, tahun 2011 sebesar 455.55 hektar, dan tahun 2012 sebesar 2 804.40 hektar. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

(22)

10

Tabel 5 Jumlah hotspot dan luas kebakaran hutan tahun 2010-2012 di 11 Provinsi Indonesia

Provinsi Hotspot Per Tahun Luas Kebakaran Hutan (Ha)

2010 2011 2012 2010 2011 2012

(23)

11

Pembahasan

Hotspot Indonesia dan Target Penurunannya

Emisi Gas Rumah Kaca akibat kebakaran hutan dan lahan, salah satunya, pemerintah menargetkan penurunan 20% hotspot setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009 (Lampiran Perpres No. 61 tahun 2011). Target penurunan 20% hotspot

tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Target penurunan hotspot tersebut berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014.

Tabel 2 menunjukkan, rerata hotspot tahun 2005-2009 adalah 58 890 titik. Tahun 2010 hotspot maksimal yang ditoleril pemerintah sebanyak 47 112 titik, tahun 2011 sebanyak 37 690 titik, dan tahun 2012 sebanyak 30 152 titik. Pada periode yang sama, hotspot hasil pematauan tahun 2010 adalah 9 880 titik, tahun 2011 sebanyak 28 474 titik, dan tahun 2012 sebanyak 34 789 titik (Tabel 1).

Berdasarkan Tabel 2, pemerintah telah menetapkan ambang batas maksimum hotspot per tahun di Indonesia. Akan tetapi, standar maksimum

hotspot yang ditolerir pemerintah tergolong tinggi. Misalnya tahun 2010, hotspot

maksimal yang ditolerir pemerintah sebanyak 47 112 titik. Meskipun angka tersebut sebagai target dalam indikator kinerja pemerintah, namun penetapan nilai tersebut sebagai dasar ambang batas pada tahun 2010, justru kontraproduktif dengan jumlah hotspot pada tahun sebelumnya, terutama tahun 2009 (39 463 titik), yang justru lebih rendah. Seharusnya fluktuasi hotspot di Indonesia berada dalam fluktuasi yang menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, terlebih lagi setelah Presiden Republik Indonesia menyatakan kommitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada tahun 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat. Artinya ada langkah kongkrit yang dilakukan oleh pemerintah.

Hal yang cukup menarik untuk diperhatikan adalah metode perhitungan yang dilakukan pemerintah tidak mempunyai landasan ilmiah. Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (SM, JDC dan DN, 2013), para responden mengatakan, munculnya penetapan ambang batas penurunan hotspot sebesar 20% setiap tahun ditetapkan begitu saja. Munculnya angka tersebut lebih karena dorongan politik dari pada teknis. Menurut (SM 2013), didalam proses penetapan persentase penurunan hotspot, pemerintah tidak melihat fakta distribusi hotspot dilapangan. Ketika hotspot tahun 2005-2009 ditetapkan menjadi rerata sebagai acuan persentase untuk penurunan, tidak ada grafik distribusi hotspot yang menjadi alat bantu untuk mengambil keputusan.

Dibalik persoalan tersebut, ternyata tren hotspot di Indonesi tahun 2010-2012 justru malah meningkat. Tahun 2010 hotspot di Indonesia sebanyak 9 880 titik. Tahun 2011 hotspot di Indonesia meningkat menjadi 28 474 titik. Puncaknya, tahun 2012 hotspot di Indonesia melebihi ambang batas yang ditolerir pemerintah, yaitu 34 789 titik. Jumlah hotspot yang ditolerir pemerintah pada tahun tersebut adalah 30 152 hotspot (Tabel 3 dan Gambar 4). Tahun 2012,

hotspot mengalami kenaikan sebesar 252% dari tahun 2010. Tahun tersebut menjadi “raport merah” bagi Kementerian Kehutanan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Persentase sebaran hotspot tahun 2012 tersebut adalah, 72.2% hotspot

(24)

12

berada di kawasan hutan (hutan konservasi 4%, hutan lindung 1%, IUPHHK-HT 16% dan IUPHHK-HA 6.1%).

Hubungan Hotspot Terhadap Luas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Hasil analisis (Gambar 5 dan Gambar 6) menunjukkan bahwa komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan, ternyata menjadi kontraproduktif. Tren hotspot di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2010-2012. Tren kenaikan hotspot ini ternyata berdampak terhadap luas kebakaran hutan yang juga ikut meningkat pada tahun tersebut. Akibatnya, emisi gas rumah kaca yang dirilis ke atmosfer juga mengalami peningkatan dari tahun 2010-2012 di Indonesia.

Data yang ditampilkan pada Tabel 4 dan Gambar 5 diatas menunjukkan bahwa tahun 2010 jumlah hotspot dalam kawasan hutan Indonesia sebanyak 2 270 titik. Tahun 2011 jumlah hotspot ini meningkat menjadi 6 652 titik. Pada tahun 2012 jumlah hotspot meningkat sebesar 325% dari tahun 2010 menjadi 9 667 titik. Akibatnya, luas kebakaran hutan pada tahun 2012-2013 juga ikut meningkat. Luas kebakaran hutan tahun 2010 adalah 3 493.12 hektar. Meskipun pada tahun 2011 luas kebakaran hutan mengalami penurunan menjadi 2 612.09 hektar, akan tetapi luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2012 mengalami peningkatan besar yaitu sebesar 136% dari tahun 2010 menjadi 8 268.65 hektar.

Korelasi hotspot terhadap luas kebakaran hutan di Indonesia tahun 2010-2012 adalah 51.03%. Model persamaan yang dihasilkan adalah y = 0.5845x + 1169.5.

Sementara itu, hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 yang diwakili oleh 11 Provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat juga menunjukkan tren yang sama, yaitu mengalami peningkatan. Tahun 2010 hotspot di 11 Provinsi sebanyak 8 277 titik. Tahun 2011 hotspot ini meningkat menjadi 22 931 titik. Puncaknya, tahun 2012

hotspot meningkat sebesar 243% dari tahun 2010 menjadi 28 421 titik.

Akibatnya, luas kebakaran hutan di 11 Provinsi pada periode tersebut juga meningkat. Tahun 2010 luas kebakaran hutan di 11 Provinsi ini sebesar 131.50 hektar. Tahun 2011 luas kebakaran hutan ini meningkat menjadi 455.55 hektar. Puncaknya, tahun 2012 luas kebakaran hutan di 11 Provinsi ini meningkat sebesar 2 032% dari tahun 2010 dan mencapai angka 2 804.40 hektar.

Korelasi hotspot di 11 Provinsi Indonesia terhadap luas kebakaran hutan di 11 Provinsi Indonesia adalah 61.25%. Model persamaan yang dihasilkan adalah y = 0.1099x - 1053.3 (Tabel 5 dan Gambar 6).

(25)

13 Catatan terhadap Tabel 4 tahun 2011, terdapat satu fenomena dimana jumlah hotspot yang tinggi tidak diimbangi dengan luas kebakaran hutan yang tinggi juga. Hal tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, angka tersebut belum mencakup kebakaran lahan yang terkadang lebih luas dari pada kebakaran hutan. Kedua, menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) umumnya angka yang tercatat di Kementerian berasal dari laporan kejadian kebakaran, dan adanya kemungkinan kejadian kebakaran yang tidak dilaporkan atau tidak dicatat.

Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan

Kejadian kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan munculnya berbagai persoalan, seperti kerusakan lingkungan, pencemaran asap, dan dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca di udara, yang pada akhirnya dapat mengakibatkan pemanasan global dan perubahan iklim. Kenyataannya, kejadian kebakaran hutan di Indonesia selalu berulang hampir setiap tahun pada lokasi yang sama. Padahal regulasi/kebijakan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan telah banyak dikeluarkan pemerintah. Diantaranya adalah (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; (2) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan; (3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan; (4) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan. Bahkan perhatian khusus pemerintah untuk menanganai kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ditunjukkan dengan mengeluarkan (5) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Hadirnya berbagai regulasi/peraturan tersebut, terutama Inpres Nomor 16 tahun 2011 dan didalamnya melibatkan lima belas kementerian/lembaga terkait, diharapkan akan dapat mengatasi laju kerusakan hutan Indonesia, khususnya akibat kebakaran hutan dan lahan.

Pengaruh Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terhadap Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca

Sejak pertemuan G-20, 25 September 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat, Presiden Republik Indonesia telah menyatakan keseriusannya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha sendiri dan mencapai 41% apabila mendapat dukungan pendanaan internasional pada tahun 2020 (Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BPPN, 2011). Keseriusan tersebut ditunjukkan pemerintah dengan mengeluarkan berbagai macam regulasi, diantaranya adalah Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.

(26)

14

Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Hadirnya Inpres tersebut, dengan melibatkan lima belas kementerian/lembaga didalamnya diharapkan dapat mengatasi laju kerusakan hutan Indonesia, khususnya akibat kebakaran hutan dan lahan, sehingga pada akhirnya peningkatan emisi gas rumah kaca dapat ditekan (diturunkan). Kenyataan yang berbanding terbalik dengan komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan sesuai Inpres No. 16 tahun 2011, menunjukkan bahwa hal tersebut adalah kontraproduktif. Tren

hotspot justru meningkat di tahun 2010-2012.

Seperti yang telah disampaikan dalam pembahasan sebelumnya (Gambar 5 dan Gambar 6), peningkatan hotspot berkorelasi positif terhadap peningkatan luas kebakaran hutan. Dengan kata lain, semakin tinggi hotspot, maka semakin tinggi luas kebakaran hutan. Akhirnya, emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer juga semakin besar. Faktanya, tren peningkatan hotspot ditahun 2010-2012 justeru terjadi ketika Presiden Republik Indonesia baru saja menyatakan komitmenya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca pada 25 September 2009 di Pittsburg, Amerika Serikat dan juga setelah dikeluarkannya Perpres No. 61 tahun 2011 pada tanggal 20 September 2011 tentang RAN-GRK serta Inpres No. 16 tahun 2011 pada tanggal 30 November 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Pemerintah telah banyak mengeluarkan peraturan untuk mengatasi kerusakan hutan akibat kebakaran hutan dan lahan, seperti yang telah disebutkan dalam sub bab sebelumnya. Banyaknya peraturan yang telah dikeluarkan pemerintah terhadap pengendalian kebakaran hutan dan lahan malah bertentangan dengan realita dan fakta yang didapatkan. Misi penyelamatan bumi yang sering digaungkan pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan, menjadi hal yang kontraproduktif. Regulasi/kebijakan pemerintah bersifat tidak (mampu) menghasilkan dalam implementasinya. Hal ini ditunjukkan dengan tren hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 yang terus mengalami peningkatan. Peningkatan hotspot ini berdampak terhadap peningkatan luas kebakaran hutan pada tahun tersebut. Akhirnya, emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer juga ikut meningkat.

Berdasarkan hasil wawancara, Saharjo (2013) mengungkap bahwa, selama ini kebijakan pemerintah dalam menangani kebakaran hutan dan lahan di Indonesia ibarat rel kereta api. Antara kebijakan dan langkah implementasi yang dilakukan pemerintah dilapangan berjalan sendiri-sendiri. Hadirnya kebijakan tidak mampu mengatasi kerusakan hutan akibat kebakaran hutan dan lahan.

Belum seriusnya pemerintah untuk menghentikan kerusakan hutan (deforestasi dan degradasi), terutama akibat kebakaran hutan dan lahan terlihat dari beberapa fakta berikut ini. Pertama, pengawasan yang dilakukan pemerintah dilapangan masih sangat rendah. Menurut Soedomo (2012), ada tiga puluh juta hektar kawasan hutan negara tanpa kehadiran manajer di lapangan. Bahkan, jika ada pejabat pemerintah yang hadir di lapangan, maka ini tidak berarti bahwa masalah dapat diatasi karena banyak pejabat pemerintah juga bermasalah.

(27)

15 berjumlah 1 755 orang. Sebanyak 30-60 orang personil Manggala Agni tersebar dalam 2-4 regu di setiap DAOPS (Daerah Operasi Manggala Agni) dan Provinsi di Indonesia. Jumlah personil SMART (Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis) hanya berjumlah 461 orang untuk wilayah Indonesia, atau sedikitnya sekitar 10 orang anggota SMART yang tersebar di setiap DAOPS.

Selain itu, dukungan pemerintah dalam hal finansial (alokasi APBN) terhadap penurunan emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan terlihat belum memadai dan belum rasional, jika dibandingkan dengan dukungan finansial (APBN) untuk kegiatan yang justeru dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca (CO2) di udara. Penggunaan bahan bakar fosil seperti BBM praktis meningkatkan emisi gas rumah kaca (CO2) di udara. Faktanya, pemerintah malah mendukungnya dengan memberikan subsidi.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (2012) dan Peraturan Menteri No. P.8-II (2010), APBN yang dialokasikan untuk subsidi BBM yang menambah CO2 di udara adalah lebih besar dari yang dialokasikan untuk kegiatan atau sektor yang berpotensi mendukung pengurangan CO2 dari udara akibat kebakaran hutan dan lahan. Pada tahun 2010, subsidi BBM adalah Rp 82.4 triliun, kontras dengan dana pengendalian kebakaran hutan hanya Rp 0.3 triliun. Tahun 2011 anggaran ini berkurang menjadi Rp 0.275 triliun. Akan tetapi subsidi BBM melonjak hingga Rp 165.1 triliun. Tahun 2012 dana pengendalian kebakaran hutan kembali diturunkan menjadi Rp 0.25 triliun. Akan tetapi subsidi BBM pada tahun ini mencapai angka Rp 211.9 triliun.

Kementerian dan lembaga pemerintah yang representatif dalam melakukan peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, terutama setelah terbitnya Perpres No. 16 tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, seperti Kementerian Kehutanan mendapat anggaran tahunan hanya sebesar Rp 3.3 triliun tahun 2010, Rp 5.9 triliun tahun 2011, dan Rp 6.1 triliun pada tahun 2012. Sementara Kementerian Negara Lingkungan Hidup mendapat anggaran tahunan lebih kecil, sebesar Rp 0.4 triliun tahun 2010, Rp 1.0 triliun tahun 2011 dan Rp 0.9 triliun tahun 2012. Selain melibatkan dua Kementerian seperti yang telah disebutkan diatas, Kementerian Negara Riset dan Teknologi yang bertanggung jawab sebagai penyedia tekologi untuk meningkatkan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, ternyata hanya mendapat anggaran sebesar Rp 0.62 triliun tahun 2010. Meski tahun 2011 anggaran tahunan Kementerian ini sedikit naik menjadi Rp 0.675 triliun, akan tetapi tahun 2012 anggaran ini berkurang menjadi Rp 0.672 triliun. Selain itu, Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana juga punya tanggung jawab yang sama. Tahun 2010, lembaga ini mendapat anggaran tahunan sebesar Rp 0.266 triliun, tahun 2011 sebesar Rp 0.939 triliun dan tahun 2012 berjumlah Rp 0.995 triliun (Kementerian Keuangan 2012).

(28)

16

langsung menggambarkan sikap nyata pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama akibat kebakaran hutan dan lahan.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1) Keputusan pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) pada periode 2005-2012 di Indonesia telah disertai kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, 2) Komitmen pemerintah dalam menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK), terutama akibat kebakaran hutan pada kenyataannya menjadi hal yang kontraproduktif. Regulasi/kebijakan pemerintah bersifat tidak (mampu) menghasilkan dalam implementasinya. Tren hotspot di Indonesia tahun 2010-2012 mengalami peningkatan. Peningkatan hotspot berdampak terhadap peningkatan luas kebakaran hutan. Akhirnya, emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer juga semakin besar.

Saran

Saran dari penelitian ini adalah: 1) implementasi kebijakan kedepannya, khususnya dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan serta komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, agar benar-benar diterapkan. Artinya tidak hanya sebatas aturan, namun juga bertanggung jawab dalam implementasinya, 2) jika pemerintah ingin benar-benar berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di Indonesia, terutama akibat kebakaran hutan dan lahan, dukungan pemerintah seperti dukungan finansial yang memadai dan rasional perlu diperbaiki serta tenaga kerja (SDM Manggala Agni) juga perlu ditingkatkan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Khairuddin. Emisi Gas Rumah Kaca dan Pemanasan Global. Jurnal Biocelebes. 3:10-11.

[Dephut RI] Departemen Kehutanan Republik Indonesia. 2002. Informasi Umum Kehutanan. Jakarta (ID): Departemen Kehutanan Republik Indonesia.

Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2012. Profil Manggala Agni. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan.

(29)

17 Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2013. Penurunan Hotspot 2010-2014 Sesuai P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kemenhut 2010-2014. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan.

Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2013. Rekapitulasi Luas Kebakaran Hutan Per Provinsi di Indonesia tahun 1997-2012. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan.

Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2013. Jumlah Hotspot Berdasar Peruntukan Kawasan Hutan dan Non Hutan di Seluruh Indonesia Tahun 2010-2012. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan.

[FWI] Forest Watch Indonesia. 2011. Potret Keadaan Hutan Indonesia: Periode Tahun 2000-2009. Bogor (ID): Forest Watch Indonesia.

Hooijer A, Silvius M, Wosten H, Page S. 2006. Peat CO2, Assessment of CO2 Emissions from Drained Peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics Report Q3943. Rotterdamseweg: The Netherlands (NTH).

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.

Ismayawati D. 2003. Kualitas Gas Rumah Kaca Akibat Pemadaman Kebakaran di Lahan Gambut dengan Menggunakan Air Laut [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 2003.

Kartodihardjo H, Jhamtani H. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta (ID): Equinox.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2012. Data Pokok APBN 2006-2012. Kementerian Keuangan. Jakarta (ID).

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Pedoman Pelaksanaan Rencana Aksi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta (ID): Kementerian PPN/BPPN.

Ministry of Environment 2009. Fourth National Report The Convention on Biological Biodiversity. Jakarta (ID): Biodiversity Conservation Unit, Ministry of Environment.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan.

Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 6/Menhut-II/2011 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama Kementerian Kehutanan.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014.

Setiawan I. 1999. Manajemen Hutan sebagai Upaya Pengurangan Gas Rumah Kaca [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tidak Dipublikasikan. Soedomo S. 2012. Climate Change, Economy, and Forest Resources. Presented in

DAAD Alumni conference, Bogor, February 14-16th.

(30)

18

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R dan B. Bandung (ID): Alfabeta.

Syaufina L. 2008. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia Perilaku Api, Penyebab, dan Dampak Kebakaran. Malang (ID): Bayumedia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Walpole R E. 1993. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka

(31)
(32)
(33)
(34)
(35)

23 Lampiran 2 Pertanyaan Wawancara

Teknik wawancara dalam penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara semiterstruktur (semistructure interview). Tujuan dari wawancara jenis ini adalah untuk menemukan permasalahan secara lebih terbuka, dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat, dan ide-idenya (Sugiyono 2007). Berikut beberapa pertanyaan wawancara yang diajukan kepada responden.

1. Apa pendapat bapak/ibu terhadap rencana pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, dimana emisi gas rumah kaca akibat kebakaran hutan dan lahan, salah satunya pemerintah menargetkan penurunan 20%

hotspot setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009? 2. Kenapa target penurunan hotspot harus 20%?

3. Apakah ada landasan/dasar ilmiah dibalik penetapan angka 20% tersebut? 4. Didalam lampiran Peraturan Presiden No. 61 tahun 2011 tentang Rencana

Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca, pemerintah menetapkan penurunan hotspot untuk 11 provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat).

Kenapa harus 11 provinsi tersebut? Apakah ada landasan/dasar ilmiahnya?

Dalam 11 provinsi tersebut, jika dicermati, terdapat beberapa provinsi yang jumlah hotspotnya tergolong kecil/rendah dibandingkan dengan beberapa provinsi yang justru hotspotnya lebih tinggi, namun tidak dimasukkan dalam target penurunan

hotspot oleh pemerintah. Mengapa?

5. Terkait metode perhitungan ambang batas hotspot yang ditolerir pemerintah. Pemerintah menargetkan untuk 11 provinsi yang harus diturunkan hotspotnya. Namun kenapa metode penghitungannya mencakup seluruh Indonesia?

(36)

24

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sigli pada tanggal 01 Desember 1989 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Edyon Gemady Mulia Harahap, S.Pd dan Suwarni. Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMAN 1 Sigli dan pada tahun yang sama masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mayor Silvikultur Fakultas Kehutanan dan selanjutnya menekuni bidang Kebakaran Hutan. Pada tahun 2009 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Pangandaran dan Gn. Sawal. Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Pada bulan Juni-Agustus 2011, penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HT PT. Wana Subur Lestari, Kalimantan Barat.

Gambar

Gambar 1 Bagan Alur Pemikiran
Tabel 1 Sebaran  hotspot tahun 2005-2012 di Indonesia
Gambar 2 dibawah ini menyajikan fluktuasi sebaran hotspot di Indonesia
Tabel 4 menyajikan jumlah  dalam kawasan hutan dan luas hutan di Indonesia tahun 2010 adalah 3 493.12 hektar, tahun 2011 sebesar 2 612.09 hektar, dan tahun 2012 sebesar 8 268.65 hektar
+3

Referensi

Dokumen terkait

Bi ikasleek aurrera egiten dute irakaslearen mezuekin ezartzea lortzen duten kohere n- tzia-graduan. Ikasturte hasieran bi haurren arteko diferentzia indibidualak

Dari hasil prediksi curah hujan dan sifat hujan untuk periode Desember 2008 hingga Nopember 2009, dengan mempertimbangkan sumber air irigasi dan pola tanam yang telah

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga

Data genom sapi Bali yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 48 sampel, berasal dari DNA hasil isolasi dari darah 48 ekor sapi Bali yang dibudidayakan di BPTU Denpasar..

Salah satu media informasi berbasis internet yang dapat dimanfaatkan adalah situs web yang manfaatnya dapat diakses oleh pengguna untuk mendapatkan dan memenuhi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan daya dukung struktur perkerasan jalan beton yang diperkaku dan diperkuat dengan sirip yang sirip dalamnya dua diagonal

Hal ini diperlukan karena file log proxy server dicatat dalam file teks secara squensial sehingga akan sulit untuk diolah menjadi sebuah informasi yang

Sedangkan KAMMI, lebih cenderung menampung masa dari kader-kader yang su- dah sejak di SMA mengikuti organisasi Rohis (Rohani Islam), meskipun tidak punya kesepa- katan