• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SUBDURAL HEMATOMA OLEH I MADE SUMAHARIANTA RADIN PO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN SUBDURAL HEMATOMA OLEH I MADE SUMAHARIANTA RADIN PO"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

SUBDURAL HEMATOMA

OLEH

I MADE SUMAHARIANTA RADIN

PO7120012083

Kementerian Kesehatan RI

Politeknik Kesehatan Denpasar

(2)

LAPORAN PENDAHULUAN SUBDURAL HEMATOMA

I. KONSEP DASAR A. PENGERTIAN

Hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, suatu ruang ini pada keadaan normal diisi oleh cairan. Paling sering disebabkan oleh trauma, tetapi dapat juga terjadi kecenderungan perdarahan yang serius dan aneurisma. Hematoma subdural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural.

Perdarahan subdural adalah perdarahan karena trauma yang terjadi antara membran luar dan menengah (meninges) yang meliputi otak. Hematoma subdural disebabkan karena robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. Hematoma subdural dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan darah.

Jadi subdural hematom adalah perdarahan diantara lapisan durameter dan lapisan araknoid yang diakibatkan oleh trauma dimana terjadi robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena.

B. PATOFISIOLOGI

Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.

Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat.

Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi serebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran

(3)

vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik.

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.

Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.

C. TANDA DAN GEJALA 1. Hematoma Subdural Akut

Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan

(4)

pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.

2. Hematoma Subdural Subakut

Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural.

Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak.

3. Hematoma Subdural Kronik

Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa. Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.

(5)

Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

a. sakit kepala yang menetap

b. rasa mengantuk yang hilang-timbul c. linglung

d. perubahan ingatan

e. kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras): Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilakukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

2. MRI: Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. 3. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan

jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. 4. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.

5. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

6. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil. 7. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.

8. CSF, Lumbal Punksi: Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

9. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

10.Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial

11.Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

E. PENATALAKSANAAN 1. Konservatif:

a. Bedrest total

b. Pemberian obat-obatan

c. Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran) 2. Prioritas Perawatan:

(6)

a. Maksimalkan perfusi / fungsi otak b. Mencegah komplikasi

c. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal d. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

e. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan rehabilitasi.

II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN A. PENGKAJIAN

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian. 3. Pemeriksaan fisik

a. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)

b. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK c. Sistem saraf :

1) Kesadaran  GCS.

2) Fungsi saraf kranial  trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.

3) Fungsi sensori-motor  adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.

Skala Koma Glasgow

No RESPON NILAI

1 Membuka Mata : -Spontan

-Terhadap rangsangan suara -Terhadap nyeri -Tidak ada 4 3 2 1 2 Verbal : -Orientasi baik -Orientasi terganggu -Kata-kata tidak jelas -Suara tidak jelas

5 4 3 2

(7)

-Tidak ada respon 1 3 Motorik : - Mampu bergerak -Melokalisasi nyeri -Fleksi menarik -Fleksi abnormal -Ekstensi

-Tidak ada respon

6 5 4 3 2 1 Total 3-15 d. Sistem pencernaan

1) Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar  tanyakan pola makan?

2) Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan. 3) Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.

e. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik  hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.

f. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan  disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.

g. Psikososial  data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak. 2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum. 3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak.

4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos -coma).

5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.

(8)

8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.

9. Risiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.

10. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.

11. Risiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.

C. INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Gangguan pola napas berhubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.

Tujuan : Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.

Kriteria evaluasi :

Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.

Rencana tindakan :

a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. Pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa CO2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.

b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.

c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.

d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.

e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.

f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

(9)

2. Inefektif kebersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sputum.

Tujuan : Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi

Kriteria Evaluasi :

Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

Rencana tindakan :

a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.

b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.

c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.

d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.

3. Gangguan perfusi jaringan otak berhubungan dengan udem otak

Tujuan : Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi

motorik.

Kriteria hasil :

Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.

Rencana tindakan :

a. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS. Rasional : Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.

Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.

(10)

Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang otak.

Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata. b. Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.

Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi.

Untuk mengetahui tanda-tanda keadaan syok akibat perdarahan. c. Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.

Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

d. Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan hindari konstipasi yang berkepanjangan.

Dapat mencetuskan respon otomatik penngkatan intrakranial.

e. Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang. Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania.

f. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien. Dapat menurunkan hipoksia otak.

g. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi). Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen otak.

4. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)

Tujuan : Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.

(11)

Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.

Rencana Tindakan :

a. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.

Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.

b. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.

Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.

c. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.

Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.

d. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.

Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien -keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.

e. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan. Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

5. Risiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya sirkulasi perifer.

Tujuan : Gangguan integritas kulit tidak terjadi

Rencana tindakan :

a. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk

menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.

b. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.

c. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah

yang menonjol.

d. Ganti posisi pasien setiap 2 jam

e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan

memudahkan terjadinya kerusakan kulit.

f. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali. g. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.

(12)

h. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8

jam.

i. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam

dengan menggunakan H2O2.

6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.

Tujuan: Klien akan merasa nyaman yang ditandai dengan klien tidak

mengeluh nyeri, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji keluhan nyeri dengan menggunakan skala nyeri, catat lokasi nyeri, lamanya, serangannya, peningkatan nadi, nafas cepat atau lambat, berkeringat dingin.

b. Mengatur posisi sesuai kebutuhan anak untuk mengurangi nyeri. c. Kurangi rangsangan.

d. Pemberian obat analgetik sesuai dengan program.

e. Ciptakan lingkungan yang nyaman termasuk tempat tidur. f. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan distraksi dan relaksasi. 7. Kecemasan keluarga berhubungan keadaan yang kritis pada pasien.

Tujuan : Kecemasan keluarga dapat berkurang

Kriteri evaluasi :

Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien

Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat.

Rencana tindakan :

a. Bina hubungan saling percaya.

Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.

b. Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan. c. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan

pada pasien. Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.

d. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien. Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.

e. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.

Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.

(13)

8. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.

Tujuan: Kebutuhan sehari-hari anak terpenuhi yang ditandai dengan berat

badan stabil atau tidak menunjukkan penurunan berat badan, tempat tidur bersih, tubuh anak bersih, tidak ada iritasi pada kulit, buang air besar dan kecil dapat dibantu.

Intervensi:

a. Bantu anak dalam memenuhi kebutuhan aktivitas, makan – minum, mengenakan pakaian, BAK dan BAB, membersihkan tempat tidur, dan kebersihan perseorangan.

b. Berikan makanan via parenteral bila ada indikasi. c. Perawatan kateter bila terpasang.

d. Kaji adanya konstipasi, bila perlu pemakaian pelembek tinja untuk memudahkan BAB.

e. Libatkan orang tua dalam perawatan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan demonstrasikan, seperti bagaimana cara memandikan anak.

9. Risiko kurangnnya volume cairan berhubungan dengan mual dan muntah.

Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cayran atau

dehidrasi yang ditandai dengan membran mukosa lembab, integritas kulit baik, dan nilai elektrolit dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji intake dan out put.

b. Kaji tanda-tanda dehidrasi: turgor kulit, membran mukosa, dan ubun-ubun atau mata cekung dan out put urine. c. Berikan cairan intra vena sesuai program.

10. Risiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.

Tujuan: Anak terbebas dari injuri.

(14)

a. Kaji status neurologis anak: perubahan kesadaran, kurangnya respon terhadap nyeri, menurunnya refleks, perubahan pupil, aktivitas pergerakan menurun, dan kejang.

b. Kaji tingkat kesadaran dengan GCS

c. Monitor tanda-tanda vital anak setiap jam atau sesuai dengan protokol. d. Berikan istirahat antara intervensi atau pengobatan.

e. Berikan analgetik sesuai program.

11. Risiko infeksi berhubungan dengan adanya injuri.

Tujuan: Klien akan terbebas dari infeksi yang ditandai dengan tidak

ditemukan tanda-tanda infeksi: suhu tubuh dalam batas normal, tidak ada pus dari luka, leukosit dalam batas normal.

Intervensi:

a. Kaji adanya drainage pada area luka. b. Monitor tanda-tanda vital: suhu tubuh.

c. Lakukan perawatan luka dengan steril dan hati-hati.

d. Kaji tanda dan gejala adanya meningitis, termasuk kaku kuduk, iritabel, sakit kepala, demam, muntah dan kenjang.

D. IMPLEMENTASI

Perencanaan disesuaikan dengan kondisi dan respon klien E. EVALUASI

1. Penggunaan otot bantu napas tidak ada 2. Suara napas bersih

3. Tidak ada peningkatan intrakranial. 4. Tanda-tanda vital stabil

5. Kebersihan terjaga

6. wajah tidak menunjang adanya kecemasan

7. Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien

8. Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat. DAFTAR PUSTAKA

Huda Nurarif, Amin, Hardi Kusuma.2013.Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan diagnosa

medis dan NANDA NIC-NOC Jilid 1&2.Yogyakarta:Mediaction.

Juall Carpenito-Moyet, Lynda.2007.Buku Saku Diagnosa Keperawtan.Jakarta:EGC. A.Price,Sylvia, Lorraine M. Wilson.2006.PATOFISIOLOGI Jilid 1.Jakarta:EGC.

(15)
(16)

Pembimbing Praktik Mahasiswa

( I Made Sumaharianta Radin ) NIM. P07120012083 Mengetahui

Referensi

Dokumen terkait

Pokok permasalahan penelitian ini adalah apakah komunikasi, penempatan dan kepemimpinan berpengaruh secara simultan maupun parsial terhadap konflik karyawan pada

Perilaku merokok pada remaja saat ini sudah tidak tabu lagi, dimanapun tempat tidak sulit menjumpai anak remaja dengan kebiasaaan merokok.Orang tua mempunyai pengaruh

Dalam memilih metode penyuluhan kelompok harus mengingat besarnya kelompok sasaran serta tingkat pendidikan formal pada sasaran. Untuk kelompok yang besar, metodenya

SELEKSI CALON SISWA SMA NEGERI 2 LINTONGNIHUTA KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN TAHUN 2014.. NO

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia dan anugerah yang di berikanNya kepada saya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

Saham-saham yang mempunyai Excess Return to Beta (ERB) sama dengan atau lebih besar dari cut-off point (C*) merupakan kandidat dalam pembentukan portofolio optimal.

Kelebihan proyeksi ini adalah daerah pada titik perpotongan tersebut memiliki faktor skala 1 yaitu tidak ada distorsi atau ditorsi sangat kecil, daerah yang tecakup dengan

Bagi Pemerintah Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Timur dpelaksanaan Survei Monitoring Jenis Ikan Terancam Punah, dilindungi/tidak dilindungi (Pari Manta) dapat menjadi masukan