• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Pola Agroforestri Tradisional di Distrik Kokas Kabupaten Fakfak Propinsi Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Pola Agroforestri Tradisional di Distrik Kokas Kabupaten Fakfak Propinsi Papua Barat"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fakfak merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Papua Barat dengan luas wilayah 14.320 km2 dan jumlah penduduk tahun 2008 sebesar 72.594 jiwa (BPS 2009). Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani dan nelayan. Kabupaten Fakfak terletak di daerah pegunungan yang didominasi oleh hutan. Hutan dengan segala sumberdaya yang ada didalamnya menyediakan kebutuhan untuk keberlangsungan hidup dan kesejahteraan masyarakat yang ada di sekitar.

Masyarakat yang hidup di sekitar hutan mempunyai hubungan yang erat dengan sumberdaya hutan. Upaya mereka dalam pendayagunaan dan pemanfaatan hutan yang ada di sekitar mereka selalu berangkat dari pengalaman yang amat baik terhadap lingkungan sehingga mempunyai daya dukung yang baik pula terhadap proses pelaksanaannya. Ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan ini tidak terlepas dari pengetahuan tradisional yang diperoleh secara turun temurun sehingga hutan dan sumberdaya yang ada di dalamnya masih terus dapat dimanfaatkan. Sumberdaya hutan yang dimanfaatkan dapat berupa hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu.

Salah satu pemanfaatan hutan yang ada di Kabupaten Fakfak adalah pemanfaatan hutan dengan sistem agroforestri tradisional yang lebih dikenal dengan sistem kebun. Namun sampai saat ini masyarakat belum memahami cara berkebun yang telah mereka lakukan selama ini merupakan sistem agroforestri tradisional. Pengelolaan kebun hanya ditujukan untuk kebutuhan subsisten. Agroforestri sendiri adalah sistem penggunaan terpadu yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergilir, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan (Nair 1993 diacu dalam Hairiah et al. 2003).

(2)

Hansen dan VanFleet (2003) menyatakan bahwa interaksi masyarakat dengan lingkungan yang terus menerus akan menghasilkan pengalaman yang beradaptasi dengan budaya lokal dan lingkungan, serta terus berkembang dari waktu ke waktu hingga melahirkan suatu sistem pengetahuan tradisional. Kearifan lokal masyarakat Kabupaten Fakfak dalam hal pengelolaan agroforestri tradisional dengan sistem kebun perlu dikaji apakah dapat memberikan manfaat positif yang berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Foresta et al. (2000) menyatakan bahwa sebaiknya agroforestri dalam bentuk kebun dijadikan sumber inspirasi dan model yang sangat menarik untuk pengembangan pola pertanian dan kehutanan berkelanjutan yang memadukan manfaat ekonomi, perlindungan kesuburan tanah, dan pelestarian keanekaragaman hayati. Pengelolaan kebun di Kabupaten Fakfak masih dilakukan secara tradisional, masyarakat masih mengelola kebun hanya untuk memenuhi kebutuhan subsisten saja. Pengelolaan agroforestri tradisional dengan sistem kebun perlu dikaji apakah sistem ini telah sesuai dengan kearifan yang ada, bagaimana pengelolaannya, dan manfaat yang diperoleh.

(3)

Analisis Pola Agroforestri Tradisional

Pengelolaan Tipe Manfaat

Kearifan Lokal Sistem

 Pemilihan jenis dan bibit

 Persiapan dan pengolahan lahan  Pemeliharaan

 Pemanenan  Pemasaran

Kebun

Struktur Tanaman

 Ekonomi  Sosial

(4)

1.3. Tujuan

1. Mengidentifikasi cara pengelolaan kebun sebagai sistem agroforestri tradisional yang ada di Kabupaten Fakafak.

2. Menganalisis manfaat sistem agroforestri tradisional di Kabupaten Fakfak baik dari segi sosial dan ekonomi.

3. Mengidentifikasi kearifan lokal masyarakat Fakfak yang berkaitan dengan sistem agroforestri tradisional yang dikembangkan di Kabupaten Fakfak. 1.4. Manfaat

1. Diharapkan dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan pemerintah dalam upaya pengelolaan kebun sebagai sistem agroforestri tradisional yang ada di Kabupaten Fakfak, sehingga agroforestri tradisional yang ada di Kabupaten Fakfak dapat dikembangkan lebih lanjut karena sistem agroforestri merupakan solusi pengelolaan hutan lestari yang dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroforestri

Agroforestri merupakan sebuah istilah baru yang diberikan kepada sistem pertanian yang sudah lama dipraktekkan. Bermacam-macam definisi telah dikembangkan oleh peneliti agroforestri, sesuai dengan sifat dari masing-masing komponen penyusun sistem tersebut di tempat aslinya. Menurut Nair (1993) diacu dalam Hairiah et al. (2003) agroforestri adalah sistem penggunaan terpadu yang memiliki aspek sosial dan ekologi, dilaksanakan melalui pengkombinasian pepohonan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak (hewan), baik secara bersama-sama atau bergiliran, sehingga dari satu unit lahan tercapai hasil total nabati atau hewan yang optimal dalam arti berkesinambungan.

Lundgren dan Raintree (1982) diacu dalam Affandi (2002) menyatakan bahwa agroforestri adalah suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan, dengan komponen tanaman keras berkayu/pohon-pohon, perdu, jenis-jenis palm, bambu ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, pakan ternak dan/atau ternak pada waktu bersamaan atau campuran antara keduanya. Dalam sistem tersebut terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi di antara berbagai komponen yang bersangkutan.

Agroforestri merupakan bagian dari sistem pertanian masyarakat, petani tidak menganggapnya sebagai „hutan‟ melainkan sebagai „ladang‟ atau „kebun‟. Meskipun agroforestri tidak selalu menampilkan suatu paduan antara tanaman pertanian musiman dan pohon-pohon hutan, agroforestri menyentuh inti paradigma agroforestri itu sendiri yaitu mempertemukan hutan dan pertanian dimana struktur hutan dipadukan dengan logika pertanian (Foresta et al. 2000).

(6)

pengaturan dan pemulihan sumberdaya hutan. Agroforestri terbagi menjadi dua macam yaitu sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Sistem agroforestri sederhana adalah perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, menggambarkan apa yang kini dikenal dengan skema agroforestri klasik. Contoh paling sering ditemui adalah sistem tumpang sari antara jati dan palawija. Sedangkan sistem agroforestri kompleks merupakan sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer dan sekunder.

Menurut Andayani (2005) agroforestri dapat diartikan juga sebagai sebuah bentuk nama kolektif (collective name) dari sistem nilai masyarakat berkaitan dengan model-model penggunaan lahan lestari. Oleh karena itu agroforestri dalam bentuk implementasinya dapat berbentuk sebagai berikut :

1. Agrisilvikultur, yaitu penggunaan lahan secara sadar dan dengan pertimbangan yang matang untuk memproduksi hasil-hasil pertanian dan hasil hutan.

2. Sylvopastural, sistem pengelolaan hutan yang dikelola untuk menghasilkan kayu dan juga memelihara ternak.

3. Agrosylvo-pastoral, yaitu sistem pengelolaan lahan untuk memproduksi hasil pertanian dan hasil kehutanan secara bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak.

4. Multipurpose forest tree production system, yaitu sistem dimana berbagai jenis kayu ditanam dan dikelola tidak saja untuk menghasilkan kayu tetapi juga daun-daunan dan buah-buahan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan manusia maupun dijadikan makanan ternak.

2.2 Klasifikasi Agroforestri berdasarkan Masa Perkembangannya

Agroforestri ditinjau dari masa perkembangannya, terdapat dua kelompok besar agroforestri yang terdiri dari:

1. Agroforestri tradisional/klasik (traditional/classical agroforestry)

(7)

dijumpai dalam satu unit manajemen lahan hingga pada suatu bentang alam (landscape) dari agroekosistem pedesaan. Menurut Thaman (1989) diacu dalam Sardjono et al. (2003), mendefinisikan agroforestri tradisional atau agroforestri klasik sebagai setiap sistem pertanian, dimana pohon-pohonan baik yang berasal dari penanaman atau pemeliharaan tegakan/tanaman yang telah ada menjadi bagian terpadu, sosial-ekonomi dan ekologi dari keseluruhan sistem (agroecosystem).

2. Agroforestri modern (modern atau introduced agroforestri)

Agroforestri modern umumnya hanya melihat pengkombinasian antara tanaman keras atau pohon komersial dengan tanaman sela terpilih. Berbeda dengan agroforestri tradisional/klasik, ratusan pohon bermanfaat di luar komponen utama atau juga satwa liar yang menjadi bagian terpadu dari sistem tradisional kemungkinan tidak terdapat lagi dalam agroforestri modern (Thaman (1989) diacu dalam Sarjono et al. 2003).

Tabel 1 Perbedaan penting agroforestri tradisional dan agroforestri modern

Aspek Tinjauan Agroforestri Tradisional Agroforestri Modern Kombinasi Jenis Tersusun atas banyak jenis (polyculture),

dan hampir keseluruhannya dipandang penting; banyak dari jenis-jenis lokal (dan berasal dari permudaan alami).

Hanya terdiri dari 2-3 kombinasi jenis, dimana salah satunya merupakan komoditi yang diunggulkan; seringkali diperkenalkan jenis unggul dari luar (exotic species).

Struktur Tegakan Kompleks, karena pola tanamnya tidak teratur, baik secara horizontal ataupun vertikal.

Sederhana, karena biasanya menggunakan pola jalur atau baris yang berselang-seling dengan jarak tanam yang jelas.

Orientasi Penggunaan Lahan

Subsisten hingga semi komersial (meskipun tidak senantiasa dilaksanakan dan dalam skala kecil).

Komersial dan umumnya diusahakan dengan skala besar oleh karenanya padat model (capital intensive). Keterkaitan

Sosial Budaya

Memiliki keterkaitan sangat erat dengan sosial-budaya lokal karena telah dipraktekkan secara turun temurun oleh masyarakat/pemilik lahan.

Secara umum tidak memiliki keterkaitan dengan sosial budaya setempat, karena diintroduksi oleh pihak luar (proyek atau pemerintah).

(8)

2.3 Pola Tanam

Pola tanam merupakan salah satu kegiatan dari budidaya tanaman yang sangat besar perannya dalam rangka memberikan hasil yang optimal. Kegiatan pola tanam meliputi penentuan urutan jenis tanaman, rencana tanam, dan luas areal bagi masing-masing tanamannya.

Pola tanam dibedakan menjadi pola tanam tunggal dan pola tanam ganda (campuran). Macam-macam pola tanam ganda menurut Andayani (2005) antara lain: pola tanam sisipan (relay cropping), pola tanam bergilir (sequential cropping), pola tanam lorong (alley cropping), dan pola tanam lajur (strip cropping). Pola tanam dimaksud adalah sistem penanamannya ada yang memiliki jarak tanam teratur dan pada kondisi lahan tertentu sering ditanam dengan jarak tanam yang tidak teratur.

Pola usaha tani agroforestri dibagi menjadi 4 pola (Andayani 2005) yaitu: 1. Pola 1 : kayu-tanaman semusim-hortikultura-perkebunan.

2. Pola 2 : kayu-tanaman semusim-buah-buahan-tanaman perkebunan. 3. Pola 3 : kayu-tanaman perkebunan.

4. Pola 4 : kayu-buah-buahan-tanaman perkebunan.

2.4 Pengaturan Hasil Panen dalam Bentuk Sasi

Indonesia dengan penduduk yang beragam, tentunya memiliki pula berbagai keanekaragaman budaya yang berhubungan dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Pada masyarakat adat Papua terdapat pengaturan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dikenal sebagai sasi. Adat sasi

(9)

masa depan, sedangkan Nikijuluw (1997) menyimpulkan bahwa sasi adalah suatu sistem pengaturan pemanfaatan sumber daya alam (hutan dan laut) bagi anak negeri (penduduk setempat) maupun pendatang.

2.5 Pendapatan Rumah Tangga Usaha Tani

Agroforestri (kebun campuran) merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional sebagai salah satu bentuk usaha tani. Rifal (1960) dicu dalam Kristyawan (1996) mengatakan bahwa usaha tani adalah setiap kontribusi yang tersusun dari alam, kerja, dan modal yang ditujukan bagi produksi di lapangan pertanian. Tata laksana usaha tani ini berdiri sendiri dan diusahakan oleh seorang atau sekelompok orang. Sesuai dengan batasannya setiap usaha tani akan ada unsur lahan yang mewakili alam, unsur-unsur tenaga kerja yang bertumpu pada anggota keluarga, unsur modal yang beranekaragam jenisnya, serta unsur pengelolaan atau manajemen yang perannya dibawakan oleh petani itu sendiri. Keempat unsur tersebut tidak dapat dipisahkan dan kedudukannya dalam usaha tani sangat penting (Hernanto 1988).

Pendapatan rumah tangga petani adalah kumpulan dari anggota-anggota rumah tangga dari masing-masing kegiatan. Menurut BPS (1993) pada sebagian rumah tangga pertanian usaha pertanian masih merupakan penghasilan, tetapi bagi sebagian rumah tangga petani yang lain, usaha selain pertanian lebih menunjang kebutuhan hidupnya. Pendapatan rumah tangga pertanian tidak hanya berasal dari usaha pertanian tetapi juga berasal dari luar sektor tersebut, seperti perdagangan, industri, pengangkutan dan sebagainya. Ilmu ekonomi menyebutkan bahwa pendapatan dari suatu rumah tangga dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1) Pendapatan nominal dari suatu rumah tangga, yaitu pendapatan yang diukur dengan unit uang, 2) Pendapatan riil dari suatu rumah tangga adalah daya beli dari pendapatan berupa uang, yaitu jumlah barang dan jasa yang dapat dibeli dengan pendapatan tersebut.

Beberapa ukuran pendapatan menurut Hernanto (1998) antara lain :

(10)

dengan pengeluaran tunai dan pengeluaran yang diperhitungkan termasuk bunga modal.

2. Penghasilan kerja petani (operator’s farm labor earning), diperoleh dari pendapatan kerja petani ditambah penerimaan yang diperhitungkan untuk keluarga, misalnya tanaman dan hasilnya untuk keluarga.

3. Penghasilan kerja keluarga (family farm labor earning), diperoleh dari penghasilan kerja petani ditambah dengan nilai tenaga keluarga. Ukuran terbaik jika usaha tani dikerjakan oleh petani dan keluarganya.

4. Penghasilan keluarga (family income), yaitu penjualan total pendapatan keluarga dari berbagai sumber.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi usaha tani menurut Hernanto (1988) adalah :

1. Luas usaha tani (areal tanaman, luas penanaman) 2. Tingkat produktivitas (produksi perhektar) 3. Intensitas pengelolaan (jumlah tenaga kerja) 4. Efisiensi tenaga kerja

2.6 Masyarakat Tradisional

Karakteristik masyarakat adat atau masyarakat tradisional yang membedakan dengan masyarakat lain yaitu: 1) mereka mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya baik seluruh atau sebagian, 2) mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut, 3) mempunyai budaya yang khas menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan hidup sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah, 4) mempunyai bahasa tersendiri, 5) hidup terpisah dari kelompok lain dan menolak atau bersikap hati-hati terhadap hal-hal baru yang berasal dari luar komunitasnya (Keraf 2002).

2.6.1 Budaya Masyarakat Tradisional

(11)

Sistem budaya arif masyarakat desa hutan yang bisa diakulturasikan dengan konsep-konsep positif modernisasi adalah 1) Pelibatan kelembagaan lokal, 2) Pengadopsian tata nilai arif masyarakat (kearifan tradisional), 3) Optimalisasi potensi sumber daya hutan yang didasarkan pada karakteristik setempat.

2.6.2 Kearifan Lokal

Menurut Syafaat (2008) konsep kearifan lokal berakar dari sistem pengetahuan tradisional. Pengetahuan tradisional merupakan informasi dalam suatu masyarakat, berdasarkan pengalaman dan adaptasi terhadap budaya lokal dan lingkungan, telah dikembangkan dari waktu ke waktu, dan terus berkembang. Pengetahuan ini digunakan untuk mempertahankan masyarakat dan budayanya serta untuk mempertahankan sumber daya genetik yang diperlukan untuk kelangsungan hidup masyarakat (Hansen & Vanfleet 2003). Pengetahuan tradisional juga mencakup sistem kepercayaan yang memainkan peran mendasar dalam kehidupan masyarakat, dimana pengetahuan local memiliki sifat yang dinamis (Hansen & Vanfleet 2003 ).

Menurut Damanik (2010) kearifan lokal merupakan hasil akumulasi dari pengamatan dan pengalaman masyarakat dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Kearifan lokal (traditional wisdom) adalah sistem sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lingkungan dalam lingkup komunitas lokal serta memiliki sifat yang dinamis, berkelanjutan, dan dapat diterima. Kearifan lokal dimanfaatkan untuk menciptakan suatu keteraturan dan keseimbangan antara kehidupan sosial, budaya, dan kelestarian sumber daya alam. Dalam penerapannya, kearifan lokal biasa dalam bentuk hukum, pengetahuan, keahlian, nilai, dan sistem sosial dan etika yang hidup dan berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya (Pattiselanno & Mentansan 2010).

(12)
(13)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan Mei 2012 dan bertempat di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak, Propinsi Papua Barat. Lokasi penelitian juga merupakan wilayah kerja dari IUPHHK-HA PT. Arfak Indra.

3.2 Alat dan Sasaran Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, kalkulator, komputer (Microsoft Word 2007, Microsoft Excel 2007), alat dokumentasi (kamera), dan lembar kuisioner. Sasaran penelitian adalah petani yang memiliki kebun agroforestri tradisional.

3.3 Metode Pengambilan Data 3.3.1 Pengambilan Contoh

Pemilihan desa contoh dilakukan dengan cara purposive berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yaitu responden yang dipilih merupakan masyarakat yang bermukim dekat hutan dan mengusahakan kebun sebagai sistem agroforestri tradisional. Responden yang dipilih berasal dari Desa Kinam dan Desa Kiriwas-was yang terletak di Distrik Kokas dengan kepala keluarga yang berprofesi sebagai petani. Jumlah petani yang diwawancarai sebanyak 37 orang dari tiga suku yaitu Suku Baham berjumlah 20 orang, Suku Mata berjumlah 14 orang dan suku lainnya berjumlah 3 orang.

3.3.2 Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang diperlukan untuk menunjang jalannya penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam dengan petani pemilik lahan dan pengamatan langsung di lapangan untuk mendapatkan informasi yang lebih detail.

Data primer terdiri dari:

1. Data umum kepala keluarga: nama, umur, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan tetap, dan pekerjaan sambilan.

(14)

3. Pendapatan: besar pendapatan, sumber pendapatan.

4. Pengeluaran: konsumsi, pendidikan, pakaian, transportasi, kesehatan, dan lain sebagainya.

5. Data usaha tani: Jenis tanaman yang diusahakan, pengetahuan, dan pengalaman pada setiap tahapan pengelolaan lahan.

Data sekunder merupakan data primer yang sudah diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak pengumpul data primer atau pihak lain, misalnya dalam bentuk tabel atau diagram. Data sekunder menyangkut keadaan lingkungan baik fisik, sosial ekonomi masyarakat, dan data lain yang berhubungan dengan obyek penelitian yang tersedia di tingkat desa, kecamatan, maupun instansi-instansi lainnya. Data ini digunakan untuk mendukung informasi primer yang diperoleh baik dari dokumen maupun dari observasi langsung ke lapangan.

Data sekunder diperoleh melalui studi literatur terdiri dari : 1. Keadaan umum lokasi penelitian: letak dan keadaan fisik lingkungan.

2. Data umum penduduk: jumlah penduduk, tingkat pendidikan masyarakat, dan struktur umur.

3. Data sumber-sumber pendapatan masyarakat.

3.4 Metode Pengumpulan Data 1. Teknik wawancara

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden. Wawancara dilakukan secara terstruktur dan bebas. Secara terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan, sedangkan wawancara bebas dilakukan tanpa menggunakan daftar pertannyaan mengenai hal-hal yang masih berhubungan dengan penelitian. Cara pengumpulan data yang diperoleh dengan melakukan wawancara secara lagsung dengan menggunakan daftar pertanyaan, dimana wawancara dengan masyarakat (responden).

2. Teknik Observasi

Data dikumpulkan dengan mengadakan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti, dengan metode ini diharapkan peneliti mampu melihat, merasakan dan memaknai gejala sosial yang ditelitinya dan bersama-sama membentuk dan mendapatkan pengetahuan dari objek penelitiannya.

(15)

Pengumpulan data sekunder yang mendukung penelitian dilakukan dengan pencatatan data atau laporan dari desa, kecamatan, dinas atau Instansi yang terkait dalam penelitian.

3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif dan dituangkan dalam bentuk tabel, teks narasi atau berbentuk bagan sehingga dapat diketahui manfaat dari kebun dengan sistem agroforestri tradisional kepada masyarakat.

Untuk menganalisis penelitian ini, maka dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Pengumpulan informasi hasil wawancara maupun observasi lapangan. 2. Reduksi

Langkah ini digunakan untuk memilih informasi mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan masalah penelitian.

3. Penyajian

Setelah informasi dipilih, kemudian disajikan dalam bentuk tabel ataupun uraian penjelasan.

(16)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Luas dan Letak

Desa Kinam dan Desa Kiriwas-was merupakan dua desa yang terletak di Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak dengan total luas Distrik Kokas 1.786 km2. Luas Desa Kinam dan Desa Kiriwas-was sendiri sebesar 298 km2 dan 20 km2 sehingga rasio terhadap luas distrik masing-masing sebesar 16,70%, 1,11% dengan kepadatan penduduk masing-masing desa 0,54 jiwa/km2 dan 4,75 jiwa/km2. Distrik Kokas dibatasi oleh Laut Seram di bagian Utara, Distrik Kramongmongga di sebelah Selatan, Distrik Teluk Patipi di sebelah Barat, dan Distrik Bomberay di sebelah Timur.

Distrik Kokas sebagian besar wilayahnya berada di pesisir yaitu 14 desa, sedangkan yang lainnya yaitu sebanyak 3 desa berada di lereng/punggung bukit, 1 desa berada di lembah/DAS, dan 5 desa terletak di daerah dataran. Desa Kinam dan Desa Kiriwas-was terletak di pesisir dan lereng/punggung bukit. Kedua desa tersebut masuk dalam wilayah kerja IUPHHK-HA PT Arfak Indra, yang secara administratif pemerintahan areal kerjanya tersebar di lima distrik yaitu: Fakfak, Fakfak Timur, Fakfak Barat, Kokas, dan Bomberay.

Tabel 2 Letak, luas, dan keadaan wilayah areal PT Arfak Indra

No Letak Uraian

1 Luas ±177.900 Ha

2 Geografis - Bujur Timur - Lintang Selatan

131°57‟-133°54‟ BT

02°39‟-03°12‟ LS

3 Administrasi Pemerintahan Kecamatan Fakfak, Fakfak Timur, Fakfak Barat, Kokas dan Bomberay Kabupaten Fakfak Provinsi Papua Barat 4 Administrasi Kehutanan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Fakfak

Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat 5 Batas Areal

- Utara

- Timur - Selatan - Barat

Teluk Berau dan ex PT. Bintuni Utama Murni, Hutan Lindung Gunung Fakfak

Ex PT. Agoda Rimba Irian

PT. Hanurata Coy. Ltd Unit II dan ex PT. Prabu alaska Teluk Berau, Teluk Wertopin dan Teluk Sumerin 6 Kelompok Hutan Tanjung Tegin-S. Bomberay

7 DAS/ SUB DAS Sub Das Koror Bomberay

(17)

4.2. Iklim dan Curah Hujan

Data iklim yang tersedia berupa data curah hujan, yang diperoleh dari stasiun udara Fakfak. Tipe iklim di wilyah Fakfak menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson termasuk tipe hujan A dan tipe iklim Koppen Alfa. Tipe iklim tersebut menunjukan bahwa Fakfak termasuk daerah tropika basah dengan curah hujan cukup tinggi ( >2.000 mm/tahun) dan merata sepanjang tahun.

Suhu udara minimum rata-rata bulanan hasil pencatatan Stasiun Meteorologi Fakfak (2007) adalah 24,38oC dan maksimum rata-rata bulanan 30,57oC. Kondisi ini menunjukkan bahwa suhu udara di daerah studi cukup berfluktuatif, dimana perbedaan suhu udara minimum dingin dan suhu udara maksimum panas, cukup besar.

Berdasarkan data suhu udara, daerah Fakfak mempunyai rejim suhu tanah tergolong panas (isohyperthermic), yaitu suhu tanah pada penampang kontrol (kedalaman 50 cm dari permukaan tanah) > 22oC dan perbedaan rata-rata suhu tanah tertinggi dan rata-rata terendah < 6oC (Soil Survey Staff, 2006). Rejim kelembaban tanah tergolong udic karena penampang kontrol tanah hanya kering ≤3 bulan (< 90 hari) dalam tahun-tahun normal. Di daerah-daerah yang selalu digenangi air terdapat rejim kelembaban aquic.

Kelembaban udara rata-rata bulanan mencapai 84,08% yang menunjukkan bahwa daerah studi cukup lembab. Penyinaran matahari rata-rata bulanan 53,17% artinya hanya 53,17% sinar matahari yang sampai ke bumi, hal ini disebabkan tingginya konsentrasi uap air (awan) di udara, sehingga menghalangi sinar matahari untuk sampai ke bumi. Hal ini dapat dilihat dari curah hujan rata-rata tahunan yaitu antara 2.000-3.000 mm dengan jumlah hari hujan 190-210 hari (Tabel 3).

Tabel 3 Karakteristik iklim daerah studi

Bulan Curah hujan (mm) Hari hujan (hari) Karakteristik iklim Schmidt dan Ferguson (1951)

Oldeman et.al, (1980)

Januari 193 19 Bulan basah Bulan lembab

Februari 199 18 Bulan basah Bulan basah

Maret 249 20 Bulan basah Bulan basah

April 243 20 Bulan basah Bulan basah

Mei 245 19 Bulan basah Bulan basah

(18)

Tabel 3 Karakteristik iklim daerah studi (Lanjutan) Bulan Curah hujan (mm) Hari hujan (hari) Karakteristik iklim Schmidt dan Ferguson (1951)

Oldeman et.al, (1980)

Juli 135 16 Bulan basah Bulan lembab

Agustus 128 15 Bulan basah Bulan lembab

September 130 14 Bulan basah Bulan lembab

Oktober 171 15 Bulan basah Bulan lembab

November 172 13 Bulan basah Bulan lembab

Desember 145 21 Bulan basah Bulan lembab

Jumlah 2.211 206 BB=12,BK=0 BB=5,BK=0

Sumber : PT. Arfak Indra, 2011

4.3. Geologi, Bahan Induk Tanah, dan Jenis Tanah 4.1.1 Geologi dan Bahan Induk Tanah

Berdasar Peta Geologi bersistem Indonesia, lembar Fakfak (2913), skala 1:250.000 (Dokumen RKUPHHK Berbasis IHMB IUPHHK-HA PT. Arfak Indra, 2011, diacu dalam Puslitbang Geologi 1990) terdiri dari 7 formasi, yaitu: Aluvial (Qa), Konglomerat Teras (Qt), Steenkol Batulumpur (TQsm), Steenkol batupasir (TQss), Batugamping Ogar (Teog), Batu Gamping Onin (Temo), dan Batu Gamping Rumberi (Tmr) (Tabel 4).

Tabel 4 Rincian formasi geologi daerah studi

Simbol Formasi Bersusunan

Qa Aluvium Kerikil,pasir,lumpur,gambut

Qt Konglomerat ters Kerikil, Pasir, liat

TQss Steenkol Batupasir Batupasir

TQms Steenkol batulumpur Batulumpur dan Batulanau

Temog Batugamping Ogar Batugamping

Temo Batugamping Onin Batugamping

Tmr Batugamping Rumberi Batugamping

Sumber : PT. Arfak Indra, 2011

(19)

4.3.2 Jenis Tanah

Tanah merupakan media tumbuh tanaman. Oleh karena itu informasi mengenai kualitas dan karakteristik tanah penting dalam menunjang pengembangan tanaman kehutanan yang berkelanjutan. Tanah dalam proses pembentukannya dipengaruhi oleh lima faktor yaitu: bahan induk, iklim, relief, organisme (flora dan fauna), dan waktu. Kualitas dan sifat tanah yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh kelima faktor tersebut. Berdasarkan peta tanah skala 1: 250.000 tahun 1990, jenis-jenis tanah yang dapat dijumpai pada lokasi dapat di lihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas dan sebaran jenis tanah daerah studi

Jenis tanah Luas

Dudal (1961) PPT (1983) FAO (1976) USDA (1975) Ha %

Aluvial Aluvial Fluvisol Inseptisol 6.120 4,5

Organosol Organosol Histosol Histosol 35.190 22,8 Yellow-red

Podzolic

Podzolic Acrisol Ultisol 22.950 14,8

Grey-brown podzolic

Podzolic Acrisol Tropohumult 88.740 57,9

Sumber : PT. Arfak Indra, 2011

Pada areal kerja IUPHHK PT Arfak Indra tanah podzolic mempunyai tekstur liat berpasir (halus) sampai lempung liat berpasir (agak halus). Solum tanah pada umumnya dalam (150-175 cm) dengan drainase baik sampai sangat baik. Reaksi tanah sesuai dengan sifat bahan induknya yang intermediar sampai basa menengah, tergolong agak masam sampai netral. Tingkat bahaya kelongsoran dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: jenis batuan, topografi, curah hujan, struktur geologi, kerapatan sungai dan ketebalan solum tanah.

4.4 Landform dan Topografi

Analisis landform dilakukan melalui interpretasi citra ETM 7 dan ditunjang dengan peta kontur interval 12,5 m dari Digital Ekevation Model (DEM). Pengelompokan Landform mengacu pada klasifikasi Landform LREP II (Dokumen RKUPHHK Berbasis IHMB IUPHHK-HA PT. Arfak Indra, 2011,

(20)

tektonik dan aluvial (dengan ketinggian antara 0-1.425 mdpl). Jenis landform yang dapat di jumpai pada lokasi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Rincian landform di daerah studi

Landform Uraian Luas

Luas (Ha) %

M.12 Pesisir Pasir 1.041 0,59

M.22 Dataran Pasang Surut 638 0,36

B.3 Dataran Fluvio-marin 1.536 0,86

A.112 Datran banjir sungai bermaender

7.309 4,11

A.1122 Rawa belakang 20.232 11,37

A.13 Dataran alluvial 13.569 7,63

A.32 Depresi alluvial 1.485 0,84

P.11 Datran tektonik 47.745 26,84

K.2 Perbukitan karst 36.444 20,49

K.3 Pegunungan karst 47.891 26,92

Jumlah 177.900 100,00

Sumber : PT. Arfak Indra, 2011

Kelas lereng sebagian besar merupakan daerah berbukit sampai dengan daerah datar maupun bergelombang di wilayah Desa Goras Distrik Kokas dan Distrik Bomberay. Sedangkan daerah tergolong curam dengan kemiringan 26-40 % terletak di sebelah selatan, untuk daerah landai dengan kemiringan 9-15% terletak di bagian barat, untuk daerah curam dengan kemiringan 16-25% terletak di sebelah utara tanjung tegin sampai kelompok hutan Desa Goras dan daerah yang sangat curan dengan kemiringan >40% terletak pada daerah topografi berbukit.

Berdasarkan peta kontur dan DEM dapat diketahui bentuk topografi, daerah studi didominasi oleh topografi berbukit kecil sampai bergunung (47,12%). Jenis topografi yang dapat dijumpai pada lokasi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Rincian topografi di daerah studi

Simbol Topografi Lereng (%) Beda tinggi Luas (Ha) (%)

F Datar <1 <2 21.727 12,21

N Agak datar 1-3 2-5 32.894 18,49

U Berombak 3-8 2-10 37.785 21,24

R Bergelombang 8-15 2-10 1.158 0,65

C Berbukit kecil 15-25 10-50 25.814 14,51

H Berbukit 25-40 50-300 10.631 5,98

M Bergunung >40 >300 47.891 26,92

Jumlah 177.900 100,00

(21)

4.5 Aksesibilitas

Jarak dari Desa Kinam ke Ibukota sejauh 49 km dan jarak dari Desa Kiriwas-was ke Ibukota sejauh 48 km. Hubungan antara Kabupaten Fakfak dengan Distrik Kokas dapat ditempuh lewat jalur darat sejauh 44 km dengan menggunakan mobil selama 3 jam, atau melalui jalur laut dengan menggunakan

Long Boat berkekuatan 60 PK dalam waktu 8-10 jam.

Fasilitas perhubungan antar kampung atau desa dapat melalui jalan negara yang membentang dari Ibu Kota Kabupaten Fakfak hingga ke distrik dan perkampungan. Kondisi Jalan yang menghubungkan antar Desa Kinam, Desa Kiriwas-was dan Distrik Kokas berupa jalan yang telah diaspal.

4.6 Sosial, Ekonomi, dan Budaya Masyarakat

Areal kerja IUPHHK-HA PT. Arfak Indra terletak di Kabupaten Fakfak dan secara administratif pemerintahan tersebar dalam lima distrik, yaitu: Distrik Fakfak Barat, Fakfak Timur, Fakfak, Kokas, dan Bomberay. Dimana sebagian besar areal kerja IUPHHK-HA PT. Arfak Indra tersebar di Distrik Kokas (Tabel 8).

Tabel 8 Data kependudukan Kabupaten Fakfak

No Distrik Luas (Km²)

Jumlah penduduk Jumlah Rumah Tangga Sex Ratio Kepadatan (Jiwa/Km²) Laki-laki Perempuan

1 Fakfak Barat 1.685 2.436 2.323 1.039 105 2,82

2 Fakfak Timur 1.721 1.545 1.538 761 100 1,79

3 Fakfak 820 15.072 14.200 6.405 106 35,7

4 Kokas 1.786 3.001 2.097 1.606 143 2,85

5 Bomberay 1.910 1.708 1.450 1.148 118 1,65

Sumber : PT. Arfak Indra, 2011

(22)
(23)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Responden 5.1.1 Tingkat Usia

Responden dalam penelitian ini dibagi berdasarkan suku dan terdapat tiga suku yaitu Suku Baham, Suku Mata, dan suku lainnya (Suku Ambon, Seram, Kupang). Suku Baham dan Suku Mata merupakan suku asli masyarakat Kabupaten Fakfak, sedangkan suku lainnya merupakan pendatang yang menikah dengan masyarakat suku asli setempat.

Berdasarkan umur responden dari ketiga suku, persentasenya adalah sebagai berikut yaitu pada usia 33-43 tahun sebesar 37,8%, dengan persentase masing-masing suku 40% dari Suku Baham, 28,6% dari Suku Mata, dan 66,7% dari suku lainnya. Sedangkan untuk persentase terendah yaitu pada usia responden 66-99 tahun sebesar 10,8%. Hal ini menunjukan bahwa petani sudah lama mengelolah kebun agroforestri tradisional. Bervariasinya usia petani menunjukan bahwa dalam pengelolaan kebun tidak hanya dilakukan oleh petani yang berusia lanjutan, melainkan dilakukan juga oleh petani yang berusia muda (Tabel 9).

Tabel 9 Distribusi responden berdasarkan kelompok umur

No Kelompok Umur (tahun)

Suku Baham Suku Mata Suku lainnya Total

N (Jiwa) (%) N (Jiwa) (%) N (Jiwa) (%) N

(Jiwa) (%)

1 22 – 32 5 25 3 21,4 1 33,3 9 24,3

2 33 – 43 8 40 4 28,6 2 66,7 14 37,8

3 44 – 54 4 20 2 14,3 - - 6 16,2

4 55 – 65 2 10 2 14,3 - - 4 10,8

5 66 – 76 1 5 2 14,3 - - 3 8,1

6 ≥ 99 - - 1 7,14 - - 1 2,7

Jumlah 20 100 14 100,0 3 100,0 37 100,0

5.1.2 Pendidikan

(24)

dimiliki oleh responsen yang tidak bersekolah yaitu sebesar 5,4% dan yang terendah berikutnya adalah responden dengan tingkat pendidikan SLTP yaitu sekitar 8,1%. Rendahnya tingkat pendidikan responden berakibat pada minimnya teknik dan teknologi yang digunakan dalam mengelolah kebun agroforestri tradisional, petani lebih mengandalkan pengalaman dan instingnya sebagai petani. Untuk tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Distribusi responden berdasarkan tingkat pendidikan

No

Tingkat Pendidikan

Suku Baham Suku Mata Suku lainnya Total N

(orang) (%) N

(orang) (%)

N

(orang) (%)

N

(orang) (%)

1

Tidak

Bersekolah 1 5 1 7,1 - - 2 5,4

2 SD 14 70 9 64,3 1 33,3 24 64,9

3 SLTP 3 15 - - - - 3 8,1

4 SLTA 2 10 4 28,6 2 66,7 8 21,6

Jumlah 20 100 14 100,0 3 100,0 37 100,0

5.1.3. Agama

Berdasarkan data yang diperoleh dari responden terdapat dua agama yang dianut oleh ketiga suku yaitu Agama Islam dan Agama Kristen. Agama Islam dianut oleh 56,8% responden dari ketiga suku. Sedangkan untuk Agama Kristen dianut oleh Suku Baham dan Suku Mata dengan presentase 43,2% (Tabel 11), dengan demikian Suku Baham dan suku lainnya merupakan penganut Agama Islam terbanyak, sedangkan untuk Suku Mata merupakan penganut Agama Kristen terbanyak. Beragamnya kepercayaan yang dianut oleh responden dari ketiga suku menunjukan tingginya toleransi antar umat beragama.

Tabel 11 Distribusi responden berdasarkan agama

No Agama

Nama Suku

Total

Baham Mata Lainnya

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 Islam 12 60 6 42,9 3 100 21 56,8

2 Kristen 8 40 8 57,1 - - 16 43,2

Jumlah 20 100 14 100,0 3 100 37 100,0

5.1.4. Jumlah Anggota Keluarga

(25)

Baham memiliki persentase 5% dan Suku Mata sebesar 14,3%. Jumlah anggota keluarga terbanyak adalah 9 orang dengan presentase sebesar 2,7% (Tabel 12).

Tabel 12 Distribusi responden berdasarkan anggota keluarga

No Anggota Keluarga

Suku Baham Suku Mata Suku Lainnya Total

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 2 1 5 2 14,3 - - 3 8,1

2 3 3 15 3 21,4 - - 6 16,2

3 4 5 25 - - 2 66,7 7 18,9

4 5 4 20 - - - - 4 10,8

5 6 4 20 4 28,6 - - 8 21,6

6 7 1 5 3 21,4 1 33,3 5 13,5

7 8 1 5 2 14,3 - - 3 8,1

8 9 1 5 - - - - 1 2,7

Jumlah 20 100 14 100,0 3 100,0 37 100,0

Jumlah anggota keluarga akan berpengaruh dalam pembagian tanah yang akan diolah menjadi kebun. Semakin besar jumlah anggota keluarga menunjukan seberapa besar hutan akan digunakan menjadi kebun.

5.1.5. Mata Pencaharian

Mata pencaharian responden dari ketiga suku yaitu sebagai petani dengan persentase sebesar 89,2%. Jika dilihat pada masing-masing suku maka mata pencaharian sebagai petani tertinggi dimiliki oleh suku lainnya yaitu 100%, sedangkan Suku Baham hanya sebesar 95% dan Suku Mata sebesar 78,6%. Hal ini menunjukan bahwa responden memiliki hubungan yang erat dengan sumber daya hutan yang dikelolah sebagai kebun. Selain sebagai petani, ada beberapa responden bekerja sebagai nelayan, tukang kayu, dan PNS. Responden yang bekerja sebagai nelayan yaitu sebesar 5,4%, tukang kayu sebesar 2,7% dan responden yang memiliki pekerjaan sebagai PNS sebesar 2,7% (Tabel 13).

Tabel 13 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian utama

No Jenis Pekerjaan Suku Baham Suku Mata Suku lainnya Total

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 Petani 19 95 11 78,6 3 100 33 89,2

2 Nelayan 1 5 1 7,1 - - 2 5,4

3 Tukang Kayu - - 1 7,1 - - 1 2,7

4 PNS - - 1 7,1 - - 1 2,7

(26)

Selain mata pencaharian utama ada beberapa responden dari ketiga suku yang memiliki pekerjaan sampingan. Responden yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani sebesar 44,4%, nelayan sebesar 33,3%, buruh sebesar 11,1%, dan pedagang sebesar 11,1% (Tabel 14).

Tabel 14 Distribusi responden berdasarkan mata pencaharian sambilan

No Jenis Pekerjaan Sambilan

Suku Baham Suku Mata Suku yang lain Total

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 Petani 1 5 3 21,4 - - 4 44,4

2 Nelayan - - 2 14,3 1 33,3 3 33,3

3 Buruh 1 5 - - - - 1 11,1

4 Pedagang 1 5 - - - - 1 11,1

Jumlah 3 15 5 35,7 1 33,3 9 100,0

5.1.6. Jumlah dan Luas Rumah

Terdapat adanya variasi tempat hunian (rumah) yang dimiliki oleh responden dari ketiga suku. Rata-rata responden dari ketiga suku memiliki satu tempat hunian (rumah) yaitu sebesar 97,3% dan hanya ada satu responden dari Suku Baham sebesar 2,7% yang memiliki dua tempat hunian (rumah). Tempat hunian (rumah) yang dimiliki oleh responden rata-rata terbuat dari beton (Tabel 15). Contoh bentuk hunian yang dimiliki oleh responden pada Desa Kinam dan Desa Kiriwas-was disajikan pada Gambar 1.

(a) (b)

(27)

Tabel 15 Distribusi responden berdasarkan jumlah tempat tinggal yang dimiliki

No Banyak Suku Baham Suku Mata Suku lainnya Total

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 1 19 95 14 100 3 100 36 97,3

2 2 1 5 - - - - 1 2,7

Jumlah 20 100 14 100 3 100 37 100,0

Ukuran dari tempat hunian yang dimiliki oleh responden dikelompokkan menjadi tiga dengan rata-rata berukuran kecil, sedang, dan besar. Hal ini menunjukkan bervariasinya tempat hunian yang dimiliki oleh responden. Tabel 16 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden memiliki hunian/rumah berukuran kecil antara 36 – 50 m2.

Tabel 16 Distribusi responden berdasarkan luas rumah

No Luas (m²) Suku Baham Suku Mata Suku lainnya Total

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 36-50 8 40 7 50 2 66,7 17 45,9

2 50-100 8 40 5 35,7 1 33,3 14 37,8

3 >100 4 20 2 14,3 - - 6 16,2

Jumlah 20 100 14 100,0 3 100,0 37 100,0

5.6 Pengetahuan dalam Pengelolaan Kebun

5.2.1. Sistem Pengelolaan Kebun Agroforestri Tradisional

Hasil wawancara dari 37 orang responden yang terbagi dalam tiga suku menunjukan bahwa responden memiliki kebun yang berasal dari harta warisan, tetapi terdapat satu responden dari suku lainnya yang memiliki kebun berasal dari pemberian. Hal ini karena responden tersebut bukan suku asli setempat. Untuk hak kepemilikan lahan lebih lengkapnya dapat dilihat dalam Tabel 17.

Tabel 17 Distribusi responden berdasarkan status asal lahan

No Suku Asal Status

Warisan Pemberian

1 Baham 20 - Milik Sendiri

2 Mata 14 - Milik Sendiri

3 Lainnya 2 1 Milik Sendiri

Jumlah 36 1

(28)

seseorang yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan tersebut untuk diperoleh manfaatnya. Ditinjau dari asalnya, tanah milik dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu tanah milik warisan keluarga dan tanah milik pemberian dari pihak lain. Dari hasil wawancara rata-rata responden memiliki tanah milik sendiri dari warisan keluarga yang dikelola. Kebun yang dikelola dari tanah warisan merupakan suatu sistem budi daya yang bersifat jangka panjang sehingga kejelasan jaminan akan hak pengusahaan lahan menjadi sesuatu yang sangat penting dan hanya akan diperoleh dari tanah dengan status tanah milik.

Rata-rata luas lahan yang dimiliki oleh petani bervariasi mulai dari < 1 ha, 1-1,5 ha, dan > 1,5 ha. Petani dapat memiliki lahan yang luas disebabkan karena lahan yang dikelolah berasal dari hutan alam, sehingga dalam pengelolaannya lebih kepada kemampuan petani untuk menggelolah. Walaupun dalam pembagian lahan didasarkan atas marga yang dimiliki.

Sebagian besar responden memiliki luas lahan sebesar < 1 ha dengan persentase sebesar 43,2%. Responden dengan jumlah lahan terluas yaitu > 1,5 ha sebesar 16,2% yang berasal dari Suku Mata sebanyak 42,9%. Luas lahan yang dimiliki dari ketiga suku tersebut dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 18. Tabel 18 Distribusi responden berdasarkan luas kebun

No Luas Suku Baham Suku Mata Suku lainnya Total

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 < 1 Ha 9 45 4 28,6 3 100 16 43,2

2 1-1,5 Ha 11 55 4 28,6 - - 15 40,5

3 > 1,5 Ha - - 6 42,9 - - 6 16,2

Jumlah 20 100 14 100,0 3 100 37 100,0

Berdasarkan hasil wawancara pada responden diketahui hampir semua responden dari ketiga suku belum mengetahui apa itu sistem agroforestri. Petani lebih mengenal istilah kebun dari pada istilah agroforestri, kebun yang dikembangkan berasal dari pengetahuan yang diperoleh secara turun-temurun.

(29)

tradisional yang paling banyak yaitu kombinasi antara kayu, buah-buahan, dan tanaman pertanian, dengan adanya pola kebun ini mempunyai manfaat bagi petani yaitu dapat menjadi sumber pendapatan dalam keluarga dan menjamin adanya keberlanjutan produksi sepanjang luas lahan. Berikut ini merupakan contoh gambar pola tanam kebun kombinasi antara kayu, buah-buahan, dan tanaman perkebunan seperti pada Gambar 2.

Gambar 2 Pola tanam kebun agroforestri tradisional 5.2.2. Persiapan Lahan

Kegiatan persiapan lahan dalam rangka pembukaan kebun yang dilakukan oleh petani antara lain upacara atau ritual adat pemanggilan roh atau penunggu setempat, pembersihan lahan, membakar, dan penebangan pohon. Persiapan lahan biasanya dilakukan secara gotong royong dan ada pula petani yang melakukan persiapan lahan sendiri.

Secara umum kegiatan pertama yang dilakukan dalam sistem pengelolaan kebun adalah upacara adat pembukaan lahan. Kegiatan upacara adat masih digunakan oleh sebagian petani, tetapi ada juga petani yang dalam sistem pengelolaan kebun tidak menggunakan ritual. Hal ini tergantung dari keyakinan dan pengetahuan serta kebiasaan turun-temurun dari petani.

Tabel 19 Jumlah responden yang melaksanakan kegiatan ritual

No Pelaksanaan Ritual

Jumlah Responden

Total Suku Baham Suku Mata Suku lainnya

N (%) N (%) N (%) N (%)

1

Selalu

dilakukan 13 65 9 64,3 1 33,3 23 62,2

2

Tidak

melakukan 7 35 5 35,7 2 66,7 14 37,8

(30)

Dari Tabel 19 dapat dilihat sebesar 62,2% responden masih melakukan upacara adat dalam sistem pengelolaan lahan yaitu pada saat awal lahan akan dibuka dan dijadikan kebun. Sedangkan terdapat 37,8% responden sudah tidak melakukan upacara adat dalam sistem pengelolaan lahan.

Upacara adat dilakukan dengan dua cara yaitu pertama upacara adat merupakan permohonan izin kepada Tuhan untuk dilancarkan segala kegiatan atau urusan mereka dan cara yang kedua memberikan sirih, pinang, kopi, tembakau, dan makanan kepada tuan tanah/leluhur yang diyakini menempati tempat tersebut semata-mata agar penghuni daerah tersebut tidak merasa terganggu dengan aktivitas yang dilakukan dalam pengolahan kebun yang akan dibuka. Hal ini dilakukan agar tuan tanah yang diyakini berada pada tempat yang akan dijadikan kebun dapat mendatangkan manfaat dalam pembukaan kebun seperti tidak ada halangan atau rintangan, diberikan keselamatan dan dijauhkan dari malabahaya, pemberitahuan kepada tuan tanah agar menjaga tanaman yang ditanam dan kesuburan tanaman. Sebutan untuk upacara adat dalam Bahasa Mata yaitu

nanahara atau memberikan sirih pinang.

[image:30.595.225.426.596.728.2]

Bentuk upacara yang dilakukan yaitu setelah semua dipersiapkan sirih, pinang, kopi, tembakau, dan makanan maka dilakukan pemanggilan tuan tanah dengan bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa mata yaitu nia mi, tada mi, tambone mi, ihi rentik hawoda weh, opiroh, mahi eir, ahom nawo yang artinya bapak, tete, nene, moyang-moyang mari kita sama-sama isap roko, makan pinang, dan lakukan permintaan misalnya dijauhkan dari musibah pada saat pembukaan kebun dan tanaman yang ditanam dijaga agar tumbuh subur dan hasil panen melimpah (Gambar 3).

(31)

Salah satu nilai yang berlaku dalam masyarakat ialah nilai saling menghormati dan menghargai antara sesama mahluk hidup. Apabila akan melakukan kegiatan pembukaan lahan petani akan meminta izin terlebih dahulu kepada tuan tanah penghuni tempat tersebut. Dalam persiapan lahan ada petani yang melakukan sendiri dan ada juga yang meminta bantuan petani lain (masyarakat dalam satu desa) untuk bergotong royong bersama-sama mempersiapkan lahan yang akan dijadikan kebun.

Kegiatan kedua yang dilakukan yaitu kegiatan membersihkan lahan dengan memotong ranting, membersihkan semak belukar dan rumput. Hal ini dilakukan agar memudahkan dalam melakukan penanaman tanaman. Kegiatan selanjutnya yang dilakukan adalah membakar dan penebangan pohon. Ada petani yang melakukan kegiatan pembakaran terlebih dahulu lalu melakukan kegiatan penebangan pohon atau melakukan kegiatan penebangan pohon terlebih dahulu lalu melakukan pembakaran. Hal ini tergantung tanaman apa yang akan ditanam terlebih dahulu, apabila yang akan ditanam terlebih dahulu adalah tanaman keladi maka pohon tidak ditebang sedangkan apabila yang ditanam adalah sayuran makan dilakukan pembakaran terlebih dahulu. Tanaman keladi membutuhkan naungan sehingga pohon-pohon tidak ditebang, sedangkan pembakaran dilakukan terlebih dahulu sebelum penanaman sayuran dilakukan dengan tujuan tanah menjadi subur. Pembakaran dilakukan hanya pada tumpukan rumput, tali dan ranting atau pada tunggak sehingga kebun tidak terbakar semua. Hal ini dapat di lihat pada Gambar 4.

(a) (b) (c)

[image:31.595.111.509.537.723.2]
(32)

Menurut Nugraha (2005), tujuan pembakaran lahan secara umum adalah sebagai berikut:

1. Mengubah tumbuh-tumbuhan yang telah ditebas dan ditebang menjadi abu, sehingga akan mudah diserap oleh akar-akar tanaman ladang.

2. Mematikan tumbuhan yang masih hidup di ladang termasuk pohon-pohon yang sulit ditebang pada saat membersihkan ladang.

[image:32.595.110.512.251.493.2]

Alat-alat yang digunakan dalam sistem pengelolaan kebun masih tergolong sederhana seperti parang, kampak, tuas, linggis, pakuel, cangkul, dan pacul. Jenis dan jumlah alat pertanian yang digunakan responden dapat di lihat pada Tebel 20. Tabel 20 Distribusi responden berdasarkan alat-alat yang digunakan

No

Nama Suku Baham Suku Mata Suku lainnya Total

Alat N (%) N (%) N (%) N (%)

1 Parang 20 100 14 100 3 100 37 100

2 Kampak/Mencadu 20 100 14 100 3 100 37 100

3 Tuas 17 85 11 78,6 1 33,3 29 78,4

4 Linggis 3 15 2 14,3 2 66,7 7 18,9

5 Pakuel 2 10 3 21,4 1 33,3 6 16,2

6 Cangkul 4 20 2 14,3 2 66,7 8 21,6

7 Pacul 1 5 3 21,4 1 33,3 5 13,5

(33)

Tabel 21 Pengunaan dan fungsi dari alat-alat yang digunakan

No Nama Alat Fungsi Gambar

1 Linggis Membuat lubang tanam

2 Parang Membersihkan rumput, tanaman bawah lainnya, memotong tumbuhan merambat (bersih-bersih kebun).

3 Kampak/ mencadu

Penebangan pohon pada awal pembukaan kebun.

4 Pakuel Membuat lubang tanam

5 Tuas Membuat lubang tanam

[image:33.595.102.512.102.802.2]
(34)

Tabel 22 Distribusi responden berdasarkan kegiatan pembukaan lahan

No Nama Kegiatan

Jumlah Responden

Total Suku Baham Suku Mata Suku lainnya

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 Membersihkan Lahan 20 100 14 100 3 100 37 100

2 Membakar 9 45 8 57,1 2 66,7 19 51,4

3 Penebangan Pohon 20 100 14 100 3 100 37 100

5.2.3. Persiapan Bibit

Bibit untuk ditanam pada kebun agroforestri tradisional oleh para responden biasanya berasal dari pemberian tetangga, keluarga, membeli, anakan alam, dan dari kebun sebelumnya. Kebun sebelumnya berarti pada saat petani menanam tanaman buah-buahan dan tanaman perkebunan pada suatu lahan kebun, setelah tanaman perkebunan dipanen dan tanaman buah-buahan tumbuh menjadi dewasa, maka petani akan membuka lahan baru dan menanam tanaman buah-buahan serta tanaman perkebunan lagi. Hal ini terjadi terus-menerus, sehingga petani akan memiliki kebun buah-buahan yang akan dimanfaatkan pada jangka waktu panjang. Kebanyakan petani menanam buah pala dalam kebun mereka, sehingga pada saat tanaman pala membesar akan menjadi dusun pala. Rata-rata petani memiliki dusun pala, karena pala merupakan komuditi unggulan masyarakat Distrik Kokas, Kabupaten Fakfak. Selain pala ada juga tanaman buah-buahan yang ditanam seperti durian, mangga, rambutan, dan langsat.

Tabel 23 Distribusi responden berdasarkan asal bibit yang diperoleh

No Bibit yang diperoleh

Jumlah Responden

Total Suku Baham Suku Mata Suku lainnya

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 Kebun sebelumnya 15 75 10 71,4 - - 25 67,6

2 Anakan alam 10 50 5 35,7 - - 15 40,5

3 Beli 3 15 4 28,6 2 66,7 9 24,3

4 Tetangga 6 30 7 50 2 66,7 15 40,5

5 Keluarga - - 6 42,9 2 66,7 8 21,6

(35)

persemaian, bibit yang didapat di bedeng pada samping rumah. Tidak ada ukuran pasti untuk bedengan, setelah bibit tumbuh maka petani akan langsung memindahkan ke kebun. Selain itu petani juga langsung menanam bibit yang didapat dari tetangga atau dibeli langsung pada kebun (Gambar 5).

Gambar 5 Contoh bibit durian yang berada di dalam kebun 5.2.4. Penanaman

Penanaman terdiri dari kegiatan yaitu penentuan jarak tanam dan pembuatan lubang tanam. Jarak tanam yang dibuat oleh petani bermacam-macam atau tidak ada jarak tanam pasti dalam melakukan penanaman. Kebanyakan petani menggunakan satu langkah kaki sebagai jarak tanam, hal ini dikarenakan setiap jengkal tanah harus dimanfaatkan seoptimal mungkin, ada juga petani yang membuat jarak tanam sesuai dengan pengalaman mereka.

Untuk pembuatan lubang tanam petani menggunakan tuas yaitu kayu yang dibentuk dan ujungnya dibuat tajam menyerupai linggis, selain itu petani juga menggunakan linggis untuk membuat lubang tanam. Lubang tanam yang dibuat tidak memiliki ukuran khusus, semuanya dilakukan berdasarkan pengalaman dan keterampilan petani.

(36)
[image:36.595.194.448.85.253.2]

Gambar 6 Tanaman keladi dan pohon pala

Waktu penanaman antara individu tanaman tidak selalu bersamaan, hal ini dikarenakan beragamnya jenis yang ditanam dalam kebun sehingga terbentuknya tajuk dengan ketinggian yang berbeda. Petani dapat menanam tanaman pada kebun kapan saja disaat petani mendapat bibit dan ingin melakukan penanaman, sehingga tidak ada waktu tertentu untuk melakukan penanaman. Umumnya petani menanam dimusim penghujan, hal ini dikarenakan terjadinya hujan pada hari dilaksanakan penanaman sangat berperan pada keberhasilan tumbuhnya tanaman. 5.2.5. Pemeliharaan

Pemeliharaan kebun tidak terlalu dilakukan oleh petani. Waktu pemeliharaan kebunpun berbeda-beda tergantung tingkat kerajinan petani dalam memelihara kebunnya.

Tabel 24 Distribusi responden berdasarkan kegiatan pemeliharaan

No Frekuensi pemeliharaan

Jumlah Responden

Total Suku Baham Suku Mata Suku lainnya

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 Setiap hari 3 15 5 35,7 1 33,3 9 24,3

2 1 kali seminggu 5 25 2 14,3 2 66,7 9 24,3

3 2 kali seminggu 3 15 4 28,6 - 7 18,9

4 2-3 kali seminggu 2 10 1 7,1 - 3 8,1

5 2-3 kali sebulan 7 35 2 14,3 - 9 24,3

Jumlah 20 100 14 100,0 3 100,0 37 100,0

(37)

dan tidak menggunakan tenaga luar. Pemeliharaan dilakukan dengan membersihkan rumput dan tali-tali yang ada serta membakarnya. Petani tidak melakukan pemeliharaan dengan menggunakan obat-obatan seperti menyemprot pestisida dan tidak menggunakan pupuk pada tanamannya. Tanaman hanya dibiarkan tumbuh secara alami dengan menyerap unsur-unsur mineral atau hara yang ada pada tanah. Petani tidak perlu merawat tanaman karena merasa tanah yang terdapat pada kebun mereka adalah tanah yang subur, hal ini dapat dilihat dari frekuensi petani dalam memelihara kebunnya.

5.2.6. Pemanenan

Pemanenan terdiri dari beberapa kegiatan yaitu pemanenan dari hasil tanaman jangka pendek dan tanaman jangka panjang. Adanya berbagai macam tanaman yang mengisi kebun dengan tingkat produktivitas, usia tanaman, serta waktu penanaman yang berbeda menyebabkan kegiatan pemanenan tidak teratur. Ketika selesai dipanen, sebagian hasil kebun dijual dan dikonsumsi untuk kebutuhan subsisten. Banyaknya hasil panen yang ingin dijual tergantung pada kebutuhan rumah tangga, karena hasil dari penjualan digunakan untuk membeli kebutuhan rumah tangga yang tidak terpenuhi dari hasil kebun.

(38)

Tanaman pertanian dan tanaman kehutanan sengaja ditanam bersamaan, dan ketika tanaman buah-buahan tumbuh besar atau dewasa, maka petani akan menghentikan penanaman tanaman pertanian dan lebih memprioritaskan pada tanaman buah-buahan. Tanaman pertanian sendiri akan dipindahkan ke kebun yang baru, hal ini menyebabkan petani akan membuka kebun baru pada hutan alam oleh karena itu petani akan memiliki lebih dari satu kebun.

Pemungutan hasil kebun dilakukan oleh petani dan anggota keluarga untuk dijual atau dikonsumsi sendiri, terkadang apabila hasil kebun melimpah petani akan meminta bantuan sesama petani (masyarakat dalam satu desa) untuk bergotong royong dalam melakukan pemungutan hasil kebun. Biaya yang dikeluarkan petani hanya untuk biaya makan dan rokok. Dalam melakukan pemanenan terdapat pengaturan panen yang dikenal sebagai sasi. Budaya sasi

merupakan larangan atau pantangan mengambil dan memanfaatkan hasil kebun pada luasan tertentu dalam jangka waktu tertentu tergantung dari pemilik kebun. Larangan pemanfaatan isi kebun biasanya pada saat mendekati panen dilakukan

sasi, hingga saat akan dilakukan pemanenan sekitar 3-4 bulan untuk tanaman pertanian dan 7-8 bulan untuk tanaman buah-buahan. Kurun waktu berlakunya

sasi tergantung pemilik kebun, sasi biasanya dilakukan oleh orang yang dipercaya atau diyakini memiliki ilmu atau mengetahui doa-doa yang berhubungan dengan

sasi dan tidak sembarang orang dapat melakukannya.

Tahapan pelaksanaan sasi yaitu upacara penutupan dan upacara pembukaan. Tutup sasi merupakan tahapan dilakukannya kegiatan pelarangan terhadap adanya akses masyarakat atau petani lain untuk mengambil atau memungut hasil kebun sampai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Buka sasi hanya dapat dilakukan oleh orang yang melakukan tutup sasi dan dilaksanakan pada saat panen akan dilakukan, sehingga hasil kebun dapat dimanfaatkan. Sasi ditandai dengan tanda larangan berupa simbol larangan yang di letakkan pada jalan menuju kebun atau di dalam kebun yang di sasi. Simbol larangan dapat berupa bambu yang diatasnya diletakkan rumput atau botol yang diikat dengan kain berwarna merah.

(39)

Sanksi disini berupa penyakit seperti sakit keras atau terserang bisul raja dan hanya dapat disembuhkan oleh orang yang melakukan tutup sasi. Budaya sasi

tersebut merupakan bentuk kearifan tradisional dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada (Gambar 7).

Gambar 7 pembuatan sasi pada kebun agroforestri tradisional 5.2.7 Pemasaran

Pemasaran tanaman buah-buahan dan tanaman pertanian petani langsung menjual ke pasar, petani langsung melakukan transaksi jual beli dengan pembeli. Sedangkan untuk tanaman kehutanan seperti matoa (Pometia Sp.), bugem-gem, heg dan pohon lainnya yang terdapat di dalam kebun jarang dijual oleh petani. Mereka umumnya menggunakan kayu-kayu tersebut untuk dijadikan kayu bakar atau papan untuk membuat rumah. Kegiatan jual beli antara petani dan pembeli dapat di lihat pada Gambar 8.

[image:39.595.110.503.550.672.2]
(40)

5.2.8 Kendala yang Dihadapi

Dalam pengelolaan kebun terdapat kendala yang dihadapi oleh petani, umumnya petani dari ketiga suku menghadapi kendala yang sama yaitu adanya gangguan binatang liar seperti babi hutan, rusa, dan binatang hutan lainnya, sedangkan gangguan dari hama tidak ada pada kebun petani. Hal karena kebun yang dibuka terletak dalam hutan alam, sehingga banyak terdapat binatang liar. Namun menurut beberapa petani terkadang masuknya binatang hutan seperti babi kedalam kebun disebabkan ada pantangan yang dilanggar oleh petani, seperti adanya wanita yang sedang datang bulan masuk ke kebun, adanya pemuda-pemudi yang berpacaran di dalam kebun, dan adanya hal-hal tidak sopan yang dilakukan di dalam kebun. Biasanya binatang hutan tidak akan memakan isi kebun, tetapi hanya akan menginjak-injak atau mengacak-acak isi kebun tersebut. 5.3 Komponen dan Komposisi Kebun (agroforestri tradisional)

Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal dari dalam tanaman itu sendiri. Kondisi lingkungan termasuk didalamnya kondisi tanah dan iklim berperan dominan dalam membentuk penampakan tanaman, baik dalam perkembangan kehidupan maupun perkembangan produktivitasnya. Beruntung iklim yang terdapat pada daerah dari ketiga suku adalah tipe iklim menurut klasifikasi Schimidt dan Ferguson termasuk tipe hujan A dan tipe iklim Koppen Alfa, tipe iklim tersebut menunjukan bahwa termasuk daerah tropika basah dengan curah hujan cukup tinggi ( >2.000 mm/tahun ) dan merata sepanjang tahun. Hal ini sangat baik untuk pertumbuhan beragam jenis tanaman baik tanaman buah-buahan maupun tanaman pertanian.

(41)
[image:41.595.110.509.372.610.2]

Tanaman buah-buahan merupakan komponen terpenting dalam kebun, hal ini karena tanaman buah-buahan banyak memiliki kelebihan dibandingkan dengan jenis lain dilihat dari perawatan yang dilakukan. Jenis tanaman buah-buahan yang kerap dijumpai pada kebun adalah pala. Hampir semua responden menanan tanaman pala, karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan jenis tanaman yang lain yaitu tanaman ini mudah ditanam, mudah dipelihara, dan merupakan tanaman andalan. Selain itu tanaman ini juga dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan petani, usia produktif yang relatif pendek (5-6 tahun) sudah menghasilkan buah dan periode panen dua kali dalam satu tahun. Pala banyak dicari oleh pembeli dan memiliki harga yang tiap tahun terus meningkat, sehingga petani tidak mendapat kesulitan dalam melakukan pemasarannya. Tabel 25 menunjukan data 14 jenis tanaman buah-buahan yang banyak ditanam oleh responden.

Tabel 25 Tanaman buah-buahan yang banyak ditanam oleh responden

No Nama Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Langsat Langsat Lansium domesticum

2 Rambutan Rambutan Nephelium lappaceum

3 Jeruk Manis Lemon Citrus sinensis

4 Nangka Tamberak Artocarpus heterophyllus

5 Durian Duran Durio zibethinus

6 Pala Senger Myristica argentea ware

7 Mangga Wawa Mangifera indica

8 Jambu Air Kis/kemkembu Eugenia aquea

9 Kedondong Kedondong Spondia dulcis

10 Lemon Makanini Citrus limon

11 Sukun Kamandi Artocarpus communis

12 Cempedak Sampeda Artocarpus champedan

13 Coklat Coklat Theobroma cacao

14 Alpukat Alpukat Persea americana Mill

(42)
[image:42.595.111.510.305.707.2]

Gambar 9 Jenis keladi yang ditanam di kebun Tabel 26 Tanaman pertanian yang banyak ditanam oleh responden

No Nama Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Ubi Jalar Siao Ipomoea batatas

2 Nanas Saraminak Ananas comosus

3 Pinang Kayem Musa paradisiacal

4 Labu Sambiti Cucurbita moschata

5 Tebu Mbes Saccarum officinarum

6 Sirih Kayey Piper betle

7 Singkong/ketela pohon Panggala Manihot esculenta

8 Talas Kadi Colocasia esculenta

9 Pisang Munggo Musa paradisiacal

10 Daun gedi Mbiyem Abelmoschus manihot

11 Sawi Sawi Brassica juncea

12 Terung Torim Solanum melongena

13 Bayam Bayam Amaranthus hybridus

14 Labu siam Labu siam Sechium edule

15 Pare Papare Momordica charantia

16 Kacang panjang Kacang panjang Vigna sinensis

17 Melinjo Suktawe Gnetum gnemon

18 Jagung Ngaweri Zea mays

19 Pepaya Barangis Carica papaya

20 Cabai Maresan Capsicum annum

21 Kelapa Nor Cocos nucifera

22 Tembakau Tambaki Nicotiana tabacuwi

(43)

kayu-kayuan tidak terlalu dimanfaatkan. Hal ini karena daerah tempat tinggal dari responden masih banyak terdapat hutan alam. Kenyataan ini mengindikasikan kurangnya minat masyarakat dalam menanam tanaman kehutanan kayu-kayuan. 5.4. Pendapatan dan Pengeluaran Petani

5.4.1. Pendapatan Kebun Agroforestri Tradisional

Pendapatan kotor dari kebun tradisional merupakan besarnya nilai manfaat ekonomi yang diperoleh pemilik kebun dari beragam jenis tanaman yang tumbuh di kebunnya sebelum dikurangi dengan sejumlah biaya yang harus dikeluarkan. Merupakan sesuatu hal yang tidak mudah untuk dapat dihitung dengan pasti besarnya pendapatan dari kebun. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (1) Beragamnya jenis tanaman yang tumbuh menyebabkan waktu panen dan hasil panen menjadi tidak teratur dan sulit untuk diprediksi, (2) Masih terdapat hasil kebun yang belum memiliki pasar, (3) Hasil kebun yang relatif kecil sehingga terkadang sulit untuk mengkuantitatifkan secara ekonomi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui hasil dari kebun digunakan untuk memenuhi kebutuhan subsisten dan dapat dijual sebagai pendapatan untuk rumah tangga petani. Dari Suku Baham diketahui memiliki pendapatan rata-rata dari nonkebun per bulan yaitu Rp 610.000 dan pendapatan rata-rata dari hasil kebun yaitu Rp 560.000 dengan rata-rata total pendapatan Rp 1.170.000. Dari 20 orang responden yang berasal dari Suku Baham terdapat 40% yang menggunakan hasil kebun hanya untuk dikonsumsi dan tidak untuk dijual, sedangkan 60% menggunakan hasil kebun untuk dikonsumsi sendiri dan dijual (Tabel 27).

Tabel 27 Rata-rata pendapatan dari responden berdasarkan suku

No Suku

Pendapataan

N Total (Rp/Bln) Kebun (Rp/Bln) Nonkebun (Rp/Bln)

1 Baham 20 1.170.000 560.000 610.000

2 Mata 14 971.4283 553.571 417.857

3 Lainnya 3 999.999 566.666 433.333

Rata-rata 1.047.142 560.079 487.063

(44)

Rp 553.571 dengan rata-rata total pendapatan Rp 971.428. Dari 14 orang responden yang berasal dari Suku Mata terdapat 28,6% yang menggunakan hasil kebun hanya untuk dikonsumsi dan tidak untuk dijual, sedangkan 71,4% menggunakan hasil kebun untuk dikonsumsi sendiri dan dijual. Pada suku lainnya hasil kebun dijual dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan rata-rata pendapatan dari nonkebun Rp 433.333 dan pendapatan rata-rata dari kebun Rp 566.666 dengan total pendapatan Rp 999.999.

Perbedaan pendapatan dari hasil kebun berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara, dikarenakan perbedaan luas kepemilikan kebun yang dimiliki petani dan hasil kebun yang dijual dalam skala kecil disebabkan petani menggunakan hasil kebun untuk memenuhi kebutuhan subsisten.

5.4.2 Kontribusi Kebun Agroforestri Terhadap Pendapatan Petani

Kebun merupakan sistem agroforestri tradisional yang di dalamnya terdapat berbagai jenis tanaman. Pemilihan jenis tanaman oleh petani, pada umumnya memilih jenis-jenis tanaman yang mudah dirawat dan dapat menompang rumah tangga petani. Tabel 28 memperlihatkan bahwa kebun memberikan kontribusi terhadap pendapatan petani. Kontribusi kebun terhadap pendapatan total petani dari ketiga suku yaitu sebesar 47,9% untuk Suku Baham, 56,9% untuk Suku Mata, dan 56,7% untuk suku lainnya dengan rata-rata kontribusi pendapatan kebun terhadap pendapatan total adalah 53,5%.

Tabel 28 Kontribusi kebun terhadap pendapatan total petani

No Suku N Pendapataan

Kontribusi Kebun Terhadap Pendapatan Total (%) Total (Rp/Bln) Kebun (Rp/Bln)

1 Baham 20 1.170.000 560.000 47,9

2 Mata 14 9.714.283 553.571 56,9

3 Lainya 3 999.999 566.666 56,7

Rata-rata 1.047.142 560.079 53,5

(45)

5.4.3. Pengeluaran Petani

Dari hasil wawancara pengeluaran rata-rata pada responden dari ketiga suku yaitu Suku Baham, Suku Mata, dan suku lainnya berturut-turut Rp 248.750, Rp 228.571, dan Rp 166.666. Pengeluaran terbesar dikeluarkan oleh Suku Baham dan terkecil oleh suku lainnya. Pengeluaran yang dikeluarkan oleh petani dari ketiga suku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apabila kebutuhan tersebut tidak terdapat pada kebun mereka, seperti untuk membeli garam, gula, teh, dan beberapa kebutuhan lainnya. Selama kebun dapat menyediakan kebutuhan, maka petani akan menggunakan hasil kebun tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari oleh karena itu pengeluaran petani tidak terlalu besar dari pendapatan yang diperoleh. Rata-rata pengeluaran petani dapat di lihat pada Tabel 29.

Tabel 29 Rata-rata pengeluaran responden berdasarkan suku

No Nama Suku N Pengeluaran (Rp/bulan)

1 Baham 20 248.750

2 Mata 14 228.571

3 Lainnya 3 166.666

Rata-rata 214.662

5.5. Presepsi Umum Responden Terhadap Kebun Agroforestri Tradisional Kebun yang dimiliki oleh responden berasal dari hutan alam yang kemudian dibuka dan dijadikan kebun. Hutan alam yang dibuka dibagi berdasarkan marga yang dimiliki oleh responden. Terdapat 12 marga dari tiga suku pada responden yang berhasil diwawancarai. Kebun yang dimiliki responden pada umumnya merupakan harta warisan. Harta warisan yang diturunkan dari pendahulu secara turun temurun dan harus dijaga serta dipertahankan. Setiap responden memiliki 1 atau 2 kebun bahkan ada responden yang memiliki 3 kebun.

Tabel 30 Distribusi responden berdasarkan jumlah kebun

No Persil (Jumlah) Suku Baham Suku Mata Suku lainnya Total

N (%) N (%) N (%) N (%)

1 1 17 85 7 50 3 100 27 73

2 2 3 15 6 42,9 - - 9 24,3

3 3 - - 1 7,1 - - 1 2,7

Jumlah 20 100 14 100,0 3 100 37 100,0

(46)

Tabel 30 dapat dilihat bahwa responden paling banyak memiliki 1 kebun yaitu sebesar 73%. Adanya kebun dapat memberikan jaminan bagi kelangsungan hidup petani sehari-hari da

Gambar

Gambar 1  Skema Kerangka Pemikiran dalam Penilitian
Tabel 1  Perbedaan penting agroforestri tradisional dan agroforestri modern Agroforestri Modern Hanya terdiri dari 2-3 kombinasi jenis, dimana salah satunya merupakan komoditi yang diunggulkan; seringkali diperkenalkan jenis unggul dari luar (exotic specie
Tabel 3  Karakteristik iklim daerah studi
Tabel 6  Rincian landform di daerah studi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Daftar pertanyaan untuk mengukur variable Y, yaitu kinerja outcome usaha peternakan sapi potong pola gaduhan sistem revolving dan Variabel X, yaitu faktor input, proses dan

Perencanaan pembangunan yang lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat banyak yang sebagian besar tinggal di kampung-kampung, tanpa mengabaikan pendudukan

Terdapat 9 pola tanam agroforestri yang diterapkan petani di Desa Pesawaran Indah dan semua pola tanam tersebut layak secara finansial dan pola tanam VI dengan tanaman

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pola kemitraan agroforestri antara KMK dengan PT BHL, menganalisis performa tanaman kerja sama berdasarkan aspek persen

Pengobatan yang dilakukan oleh para pengobat tradisional di Kabupaten Wonogiri ini ada 50 macam pengobatan dengan menggunakan 99 jenis tanaman obat yang berasal dari