• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN FENOLOGI POPULASI PENGGEREK BATANG

PADI KUNING

Scirpophaga incertulas (Walker)

BERBASIS

PENGARUH IKLIM

SYAHRIZAL KOEM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker)

Berbasis Pengaruh Iklim adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2013

Syahrizal Koem

(4)

RINGKASAN

SYAHRIZAL KOEM. Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan IMPRON.

Provinsi Jawa Barat merupakan daerah produksi padi tertinggi di Indonesia, menyumbang rata-rata produksi beras nasional sebesar 17.4% tahun 2009 sampai 2012. Jumlah produksi dapat dipertahankan atau ditingkatkan jika mampu memproteksi padi dari serangan hama. Tahun 1995, populasi penggerek batang padi putih (PBP) Scirpophaga innotata (Walker) menurun sedangkan populasi penggerek batang padi kuning (PBK) Scirpophaga incertulas (Walker) meningkat menjadi 30%. Sejak itu, PBK lebih mendominasi dengan populasi lebih dari 90%. Berdasarkan laporan dari Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, beberapa wilayah di Jawa Barat khususnya wilayah Pantai Utara memiliki total luas serangan tahunan yang tinggi dibanding dengan wilayah-wilayah lain, mencapai ±

10 sampai 12 ribu ha. Penyebab munculnya PBK diduga sebagai akibat dari peralihan varietas padi. Selain itu, faktor iklim sangat mempengaruhi dinamika populasi penggerek batang padi.

Memahami siklus hidup dan dinamika populasi hama yang erat kaitannya dengan iklim penting dilakukan untuk strategi manajemen jangka panjang, sedangkan prediksi musiman penting untuk menerapkan tindakan pengendalian yang efektif untuk mengurangi kehilangan hasil produksi dan kerugian ekonomi. Penelitian ini menggunakan perangkat lunak DYMEX dan bertujuan menyusun model prediksi populasi PBK dan menilai kemampuan model untuk memprediksi kelimpahan dan puncak populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1. Pemodelan PBK membutuhkan dua komponen utama yaitu paramater iklim dan suhu ambang bawah perkembangan (To) untuk menggambarkan siklus

hidup PBK dari telur, larva, pupa, dan tahap imago. DYMEX juga dapat menggambarkan perkembangan, mortalitas, transfer individu dari satu tahap ke tahap kehidupan selanjutnya, serta fekunditas dan reproduksi PBK.

Nilai koefisien determinasi (R2) kalibrasi model antara prediksi dan observasi menunjukan korelasi positif yang kuat dengan nilai R2 0.72. Validasi model juga dapat memprediksi populasi puncak, dengan R2 sebesar 0.42. Hasil simulasi menunjukan bahwa kecenderungan puncak populasi terjadi ketika intensitas curah hujan tinggi yaitu pada bulan Maret sampai April, Juli sampai September, dan November sampai Desember. Model memprediksi populasi PBK di wilayah Sukamandi dan Pusaka Negara mencapai 3 generasi per tahun sedangkan di Kuningan 2 generasi per tahun. Penurunan jumlah populasi akan mempengaruhi jumlah generasi PBK di tiga wilayah.

(5)

Tingkat akurasi model masih dapat ditingkatkan dengan mengeksplorasi interaksi antara PBK dan tanaman inang (padi) serta parasitasi musuh alami terhadap PBK, menjadi variabel yang dapat ditambahkan sebagai input. Hal ini menjadikan model lebih kompleks, sehingga dapat mencerminkan kondisi populasi PBK di lapangan. Lebih lanjut kemampuan model dapat ditingkatkan dengan mengintegrasikan perangkat lunak DYMEX dan CLIMEX untuk menentukan distribusi spesies dalam kaitannya dengan iklim. Integrasi model ini dapat mensimulasikan risiko regional dan menentukan apakah suatu lokasi berpotensi terserang oleh spesies PBK.

Penelitian ini menghasilkan sebuah model yang mampu memprediksi pengaruh iklim terhadap populasi PBK dan menghasilkan pola yang sesuai antara prediksi dan observasi. Model memprediksi dengan baik jumlah generasi dan puncak populasi ketika intensitas curah hujan tinggi maupun intensitas curah hujan rendah. Hasil ini menunjukkan bahwa DYMEX dapat digunakan sebagai alat untuk merumuskan manajemen dan perencanaan pengendalian PBK pada kondisi iklim saat ini dan masa depan.

(6)

SUMMARY

SYAHRIZAL KOEM. Population Phenology Modelling of Rice Yellow Stem Borer Scirpophaga incertulas (Walker) Based Effects of Climate. Supervised by YONNY KOESMARYONO and IMPRON.

West Java province is the highest of rice production area in Indonesia, contributing an average of national rice production about 17.4% in 2009 to 2012. Rice production can be maintained or enhanced if we have a great capability to protect rice from pests’ infestation. In 1995, the population of rice white stem borer (WSB) Scirpophaga innotata (Walker) decreased, while the population of the rice yellow stem borer (YSB) Scirpophaga incertulas (Walker) increased to 30%. Since 1995, YSB was more dominant than WSB, with population of more than 90%. Based on the report from Directorate of Food Crop Protection, some areas in the West Java in particular of North Coastal region has a total area of high annual infestation compared to other regions, reaching ± 10 to 12 thousand ha. High infestation of YSB is suspected as a result from transition of rice varieties. Furthermore, climatic might have strong influence on population dynamics of rice stem borer.

Understanding relationship between climatic factors and life cycle and population dynamics of YSB is important for long- and short term management strategies, as control measures to reduce production and economic losses. This research utilized DYMEX software and aims to develop a population dynamic model of YSB and to assess model's ability to predict abundance and population peak of YSB under climate change scenario SRES A1FI and B1. Modeling the YSB requires two major components: climate parameter and lower developmental threshold temperatures (To) to describe life cycle of YSB from the egg, larva, pupa, and adult stages. DYMEX also describe development, mortality, transfer of individuals from one to the next life stages, fecundity and reproduction of YSB.

The coefficient of determination (R2) of calibration models between predictions and observations showed a strong positive correlation of 0.72. Model validation could well predict the peak population, with R2 of 0.42. The simulations showed that the trend of population peaks occur at high rainfall i.e. in March to April, July to September, and November to December. The model predicted YSB population in the Sukamandi and Pusaka Negara reaches 3 generations per year, while in Kuningan 2 generations per year. Decrease in the population will affect the number generations of YSB in the three regions.

Simulation models under climate change scenarios SRES A1FI and B1 showed differences in the sensitivities. Trend of YSB population is increasing in the regions Pusaka Negara and Kuningan and decreasing in region Sukamandi. Under changing climate, environment conditions in Pusaka Negara and Kuningan become more suitable for the proliferation YSB, allowing an increase in the number of generations per year.

(7)

model improvement could be facilitated by be integrating DYMEX and CLIMEX software to determine the distribution of species in relation to climatic conditions. This models integration can simulate regional risks and determine whether a site could potentially be infested by YSB species.

This study produces a model which is able to predict effect of climate on YSB populations and generate patterns that fit between the predictions and observations. The model produced good predictions on number of generations and population peaks under high and low rainfall intensities. These results show that DYMEX could be used as a tool for planning and managing YSB control under current and future climatic conditions.

(8)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Klimatologi Terapan

PEMODELAN FENOLOGI POPULASI PENGGEREK BATANG

PADI KUNING

Scirpophaga incertulas (Walker)

BERBASIS

PENGARUH IKLIM

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning

Scirpophaga incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim

Nama : Syahrizal Koem NIM : G251110031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS Ketua

Dr Ir Impron, MAgrSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Klimatologi Terapan

Dr Ir Tania June, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(13)

PRAKATA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur senantiasa tetap kita haturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan kuasanya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 dengan mengambil judul Pemodelan Fenologi Populasi Penggerek Batang Padi Kuning Scirpophaga

incertulas (Walker) Berbasis Pengaruh Iklim.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang sifatnya membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan penelitian ini, sehingga dapat menjadi masukan dalam penyusunan penelitian lainnya.

Ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing Prof Dr Ir Yonny Koesmaryono, MS dan Dr Ir Impron, MAgrSc atas bimbingan dan ilmunya, disamping itu penulis sampaikan terima kasih yang tulus kepada Ir Lilik Retnowati dan Davied Aprianto Sofyan, SP dari Balai Besar Peramalan Organisme Penggangu Tanaman (BBPOPT) atas dukungan data light trap imago dan data iklim. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Karmila Sari, SSi MSi dari Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi (BALITKLIMAT) atas dukungan data iklim dan kepada jajaran Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan RI atas dukungan data serangan penggerek batang padi. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas doa dan dukungannya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Juni 2013

(14)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vii

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Bioekologi Penggerak Batang Padi Kuning 4

Morfologi dan Siklus Hidup Penggerak Batang Padi Kuning 4 Pengaruh Unsur Iklim Terhadap Dinamika Penggerak Batang Padi Kuning 6 Pengaruh Kelembaban Tanah Terhadap Penggerak Batang Padi Kuning 8 Penelitian Sebelumnya yang Pernah Dilakukan Terkait dengan Pemodelan

Fenologi Serangga Menggunakan DYMEX 8

3 METODE PENELITIAN 9

Waktu dan Tempat Penelitian 9

Alat 9

Data dan Sumber Data 9

Pemodelan Populasi 10

Proses Menjalankan Sumulasi 13

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Kondisi Iklim dan Topografi Wilayah Kajian 16

Persyaratan Ambang Suhu Perkembangan Penggerek Batang Padi Kuning 17

Kalibrasi Model 18

Validasi Model 21

DYMEX: Simulasi Model 23

Prediksi Populasi Penggerek Batang Padi Kuningdi Bawah Skenario

Perubahan Iklim 25

Managemen Pengendalian Populasi Penggerek Batang Padi Kuning 30 Penerapan dan Perbaikan Model Populasi ke Depan 31

5 SIMPULAN DAN SARAN 32

Simpulan 32

Saran 32

LAMPIRAN 38

(15)

DAFTAR TABEL

1 Stasiun cuaca yang digunakan untuk menguji dan menjalankan dinamika populasi penggerek batang padi kuning dalam DYMEX 9 2 Periode perkembangan (hari) telur, larva, dan pupa penggerek batang

padi kuning pada suhu konstan (oC) 12

3 Inisialisasi nilai yang digunakan dalam simulasi 13 4 Nilai yang digunakan dalam simulasi untuk skenario perubahan iklim

tahun 2020-an dan tahun 2050-an 14

5 Rata-rata tahunan unsur iklim wilayah Kuningan, Pusaka Negara, dan

Sukamandi tahun 2010 - 2012 16

6 Suhu (oC), periode perkembangan (hari), laju perkembangan (DR), untuk telur, larva, dan pupa penggerek batang padi kuning 17 7 Persamaan regresi laju perkembangan, R2, suhu ambang bawah

perkembangan (To), dan degree days untuk perkembangan telur, larva,

dan pupa penggerek batang padi kuning 18

8 Hasil uji statistik kalibrasi model populasi penggerek batang padi kuning wilayah Jatisari 5 Juni – 31 Desember 2011 19 9 Prediksi dinamika populasi penggerek batang padi kuning wilayah

Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan di bawah skenario

perubahan iklim SRES A1FI 26

10 Prediksi dinamika populasi penggerek batang padi kuning wilayah Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan di bawah skenario

perubahan iklim SRES B1 26

DAFTAR GAMBAR

1 Siklus hidup penggerek batang padi kuning 5

2 Kerangka penelitian 11 Januari-10 November 2012, hasil prediksi (- - -) dan observasi (—) 22 5 Hubungan antara jumlah populasi imago penggerek batang padi

kuning hasil prediksi dan observasi 22

6 DYMEX model prediksi untuk imago dan telur penggerek batang padi kuning, total populasi bulanan wilayah Sukamandi dan Pusaka

Negara, 1 April 2009 – 31 Oktober 2012 23

7 DYMEX model prediksi untuk imago dan telur penggerek batang padi kuning, total populasi bulanan wilayah Kuningan, 1 April 2009 – 31

Oktober 2012 24

(16)

9 Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago dan telur wilayah Pusaka Negara. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an 28 10 Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario

perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago dan telur wilayah Kuningan. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hubungan antara suhu (oC) dan laju perkembangan pada berbagai fase. (a) telur, (b) larva, (c) pupa penggerek batang padi kuning 38 2 Hubungan antara jumlah populasi imago hasil prediksi dan observasi

penggerek batang padi kuning menggunakan nilai ln (x + 1). (a) mortalitas 0.1; (b) mortalitas 0.15; (c) mortalitas 0.2; (d) mortalitas

0.25 39

3 DYMEX prediksi model untuk larva dan pupa penggerek batang padi kuning, total populasi bulanan, 1 April 2009 – 31 Oktober 2012 menggunakan nilai ln (x + 1). Wilayah Sukamandi, Pusaka Negara,

dan Kuningan 40

4 Hubungan antara curah hujan (mm/bln) dan jumlah populasi penggerek batang padi kuning luaran DYMEX. Wilayah Sukamandi dan Pusaka Negara 1 April 2009 – 31 Oktober 2012 41 5 Hubungan antara curah hujan (mm/bln) dan jumlah populasi

penggerek batang padi kuning luaran DYMEX. Wilayah Kuningan 1

April 2009 – 31 Oktober 2012 42

6 Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk larva dan pupa wilayah Sukamandi dan Pusaka Negara. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an 43 7 Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario

perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago, telur, larva dan pupa wilayah Kuningan. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an 44 8 Window komponen dalam model builder yang ditampilkan untuk

menunjukkan beberapa rincian modul. 45

9 Window komponen dalam model simulator 46

10 Contoh data jumlah populasi penggerek batang padi kuning luaran

(17)
(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hama penggerek batang padi kuning (PBK) Scirpophaga incertulas

(Walker) terdistribusi di wilayah tropis seperti Bangladesh, India, Malaysia,

Pakistan, Filipina, Sri Langka, Thailand, Vietnam, dan sebagian wilayah Indonesia (Pathak dan Khan 1994). Di Indonesia, PBK merupakan hama utama pada tanaman padi dan lebih dominan menyerang khusunya di Provinsi Jawa Barat. Di sisi lain, Jawa Barat merupakan provinsi dengan produksi padi tertinggi menyumbang rata-rata produksi beras nasional sebesar 17.4% dengan rata-rata luas panen mencapai 1 967 781 ha pada tahun 2009 sampai 2012 (BPS 2012). Sehingga munculnya PBK dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi dan kerugian ekonomi.

Berdasarkan data Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan beberapa wilayah di Jawa Barat khususnya wilayah Pantai Utara memiliki luas serangan penggerek batang padi yang tinggi dibanding dengan wilayah-wilayah lain. Pada tahun 2012 luas serangan penggerek batang padi di Kabupaten Karawang, Bekasi, Indramayu, dan Subang masing-masing mencapai 11 544, 10 191, 2377, dan 1163 ha. Tingginya luas serangan oleh penggerek batang padi yang dapat menyebabkan padi terkena puso merupakan masalah serius yang perlu mendapat perhatian untuk meminimalisir kehilangan jumlah produksi.

Penyebab munculnya PBK diduga akibat dari perubahan iklim (Estay et al.

2009). Fenomena kemarau panjang yang terjadi pada tahun 1982 sampai 1983 menunjukan bahwa faktor iklim memicu kematian PBK, sementara kondisi pada saat terjadi kemarau panjang hanya memungkinkan untuk penggerek batang padi putih (PBP) S. innotata bertahan hidup, sebab larva PBP mampu berdiapause dan bertahan hidup 10 sampai 12 bulan (Litsinger et al. 2006a). Namun pada tahun 1995, populasi PBP mengalami penurunan, sedangkan populasi PBK meningkat menjadi 30%, sehingga PBK lebih mendominasi dengan populasi lebih dari 90% (Suharto dan Sembiring 2007; Suharto dan Usyati 2008). Disisi lain, PBK lebih mudah beradaptasi dengan iklim monsun (Litsinger et al. 2006a) yang merupakan tipe iklim di wilayah Jawa Barat (Aldrian dan Susanto 2003), hal ini semakin mendukung perkembangan PBK menjadi lebih cepat dan melimpah sehingga menyebabkan kerusakan tanaman padi.

(19)

2

Berbagai faktor yang mempengaruhi dinamika populasi hama penggerek batang padi masih menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Telah banyak penelitian yang menyatakan bahwa kelimpahan hama disebabkan oleh tanaman inangnya. Khusus untuk penggerek batang padi, dinamika populasi lebih disebabkan oleh peralihan varietas padi (Triwidodo 1993). Namun, beberapa peneliti menyimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi dinamika populasi penggerek batang padi sangat dipengaruhi oleh faktor iklim (Litsinger et al.

2006a; Estay et al. 2009). Iklim merupakan faktor paling penting dalam menentukan distribusi geografis, dinamika populasi serangga, dan hama tanaman, yang mana iklim dapat mengontrol tingkat perkembangan, kelangsungan hidup, tingkat aktivitas serta migrasi dan pembentukan serangga sehingga menjadi wabah (Mavi dan Tupper 2004).

Secara kuantitatif, dinamika populasi penggerek batang padi dikendalikan oleh faktor iklim dengan pola tanam konvensional (Yang et al. 2009), akan tetapi faktor iklim seperti suhu, kelembaban, dan curah hujan untuk setiap kelompok yang berbeda, secara signifikan menunjukkan peran penting dalam dinamika populasi hama (Kwon et al. 2012).

Penyusunan model prediksi dinamika populasi PBK dilakukan untuk keperluan manajemen strategis dan pengambilan keputusan ke depan pada kondisi iklim yang cenderung mengalami perubahan setiap dekade. Berdasarkan laporan IPCC (2007a), sejak tahun 1990 sampai 2005 terjadi peningkatan suhu rata-rata global antara 0.15 sampai 0.30 oC. Dampak perubahan iklim secara langsung akan mempengaruhi dinamika populasi hama pertanian seperti fisiologi, kelimpahan, fenologi, dan distribusi serangga (Bale et al. 2002; Dukes et al. 2009; Lastuvka 2009; Shi et al. 2011). Selain itu, perubahan iklim mempengaruhi perubahan dimensi hama (Thomson et al. 2010). Beberapa penelitian yang dilakukan menyatakan bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi distribusi serangga fitofag khususnya lepidoptera yang merupakan bangsa dari PBK (Cannon 1998; Parmesan et al. 1999; Batalden et al. 2007; Trnka et al. 2007). Respon serangga terhadap perubahan iklim akan memberikan informasi tentang faktor-faktor yang mengatur hubungan populasi serangga dengan lingkungan untuk pengendalian di masa depan (Kwon et al. 2012)

Memahami siklus hidup dan dinamika populasi hama yang erat kaitannya dengan iklim penting dilakukan untuk strategi manajemen jangka panjang (Nylin 2001), sedangkan untuk mengurangi kehilangan hasil produksi dan kerugian ekonomi diperlukan prediksi musiman yang dapat digunakan dalam menerapkan tindakan pengendalian yang efektif (Nahrung et al. 2008). Proses dinamika tersebut dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak DYMEX, yang meliputi antara lain perkembangan dan mortalitas, kelimpahan dan waktu puncak populasi PBK pada kondisi iklim yang cenderung fluktuatif.

(20)

3

Perumusan Masalah

Wilayah Pantai Utara Jawa Barat saat ini menjadi wilayah endemik spesies PBK. Selain itu, PBK mampu beradaptasi dengan tipe iklim monsun yang merupakan tipe iklim di wilayah tersebut. Disisi lain, wilayah Pantai Utara sebagai produksi beras nasional, sehingga upaya pengendalian PBK menjadi penting dilakukan untuk mengurangi kehilangan hasil produksi beras. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan melalui pengembangan model prediksi dinamika populasi PBK. DYMEX merupakan perangkat lunak yang memudahkan dalam penyusunan model prediksi. Penyusunan model prediksi dalam DYMEX menggambarkan siklus hidup dan dapat mepredikasi kelimpahan, jumlah, dan puncak populasi PBK. Berdasarkan permasalahan tersebut, beberapa hal yang hendak dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah model dapat memprediksi dengan baik jumlah dan puncak populasi PBK?

2. Bagaimana kemampuan model dalam memprediksi kelimpahan dan puncak populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1F1 dan B1?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

1. Menyusun model prediksi jumlah dan puncak populasi PBK berbasis iklim. 2. Menguji kemampuan model dalam memprediksi kelimpahan dan puncak

populasi PBK pada skenario perubahan iklim SRES A1F1 dan B1.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dimanfatkaan sebagai sumber informasi dalam pegendalian PBK sehingga dapat mengurangi kehilangan produksi dan kerugian ekonomi.

Ruang Lingkup Penelitian

(21)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Penggerak Batang Padi Kuning

Perkembangan suatu spesies hama tidak lepas dari kondisi lingkungan yang cocok untuk perkembangannya baik dari segi iklim, ketersedian makanan, dan musuh alami. Saat terjadi kondisi lingkungan ekstrim seperti fenomena El Nino, perubahan distribusi curah hujan dapat membawa pengaruh yang cukup besar bagi organisme disekitarnya termasuk pada hama yang cenderung berubah secara drastis (Koesmaryono et al. 2005). Akan tetapi, pada kondisi normal hama selalu ada dan biasanya dalam jumlah yang tidak mengkhawatirkan (Triwidodo 1993; Koesmaryono et al. 2005). Respon serangga terhadap perubahan global tidak terkecuali hama PBK, berbeda-beda pada saat terjadi peningkatan suhu yang berpotensi mengubah struktur populasi dan ekologi bergantung pada serangga dan wilayah (Cornelissen 2011). Selain itu, Perubahan suhu akan mempengaruhi perbedaan respon fenologi pada serangga (Kiritani 2006).

Dalam sistem pertanian, upaya pengendalian hama dilakukan untuk menjaga kualitas dan hasil produksi. Saat ini, pengendalian suatu spesies hama seperti PBK masih dilakukan dengan cara-cara yang kurang bijaksana seperti penggunaan pestisida yang dampaknya tidak hanya mempengaruhi spesies hama, tetapi juga dapat mempengaruhi ekosistem menjadi tidak berperan maksimal sebagaimana fungsinya.

PBK merupakan hama yang bermetamorfosis sempurna, siklus hidupnya terdiri atas stadia telur, larva, pupa, dan imago. Larva merupakan stadia yang menggerek tanaman sehingga menimbulkan kerusakan, karena larva bergerak ke dalam batang padi melalui pelepah dan batang menuju bagian tengah anakan padi. Saat padi berada pada stadia generatif, larva PBK menggerek tanaman yang akan bermalai, sehingga aliran hasil asimilasi tidak sampai ke dalam bulir padi, gejala serangan pada tanaman stadia generatif disebut beluk, kerugian hasil yang disebabkan oleh setiap persen gejala beluk berkisar antara 1 sampai 3% (Pathak dan Khan 1994). Larva hidup dalam tanaman sampai instar ke-5 atau ke-6 bergantung pada lingkungan. Larva pindah dari satu tunas ke tunas lainnya (Suharto dan Usyati 2008). Selain itu, PBK merupakan spesies yang mampu bertahan pada kondisi sawah yang tergenang air (Khan et al. 1991).

Morfologi dan Siklus Hidup Penggerak Batang Padi Kuning

Siklus hidup PBK membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai dengan perkembangannya, mulai dari telur sampai menjadi imago dan kemudian bertelur lagi. Siklus hidup ini dapat menggambarkan tinggi rendahnya populasi serta kerusakan dan kehilangan hasil produksi yang disebabkan oleh PBK. Lama siklus hidup PBK dipengaruhi oleh suhu, sehingga di daerah subtropik siklus hidupnya lebih panjang (Suharto dan Usyati 2008).

(22)

5

Gambar 2.1 Siklus hidup penggerek batang padi kuning

antara 39 sampai 58 hari. Periode perkembangan PBK bergantung pada lingkungan dan makanan. Pada periode telur, menetas antara 0 sampai 5 hari sampai berubah menjadi larva muda, sementara periode larva berkisar antara 6 sampai 35 hari sampai menjadi pupa (Reissig et al. 1986). Periode pupa sampai menjadi imago berkisar antara 35 sampai 44 hari (Gambar 2.1), sedangkan periode perkembangan imago membutuhkan waktu 44 sampai 54 hari (Reissig et al. 1986).

Telur

Perkembangan telur dari hama endemik di suatu wilayah ditentukan oleh kondisi iklim di wilayah tersebut. Jika suhu dan kelembaban masing-masing lebih besar dari 34 0C dan kurang dari 70%, maka telur PBK tidak akan berkembang dengan baik (Khan et al. 1991; Pathak dan Khan 1994; Catling dan Islam 1995). Perkembangan yang ideal dan penetasan telur PBK masing-masing terjadi pada suhu 13 dan 16 0C dengan kelembaban ideal antara 90 sampai 100% serta waktu inkubasi mencapai 4 sampai 9 hari dan penetasan biasanya terjadi pada siang hari (Khan et al. 1991; Pathak dan Khan 1994). Lebih lanjut, dalam setiap kelompok, betina PBK mampu bertelur antara 100 sampai 600 butir dan biasanya telur tersebut diletakkan di bawah bilah daun atau di ujung helai daun (Pathak dan Khan 1994; Heinrichs 1994; Litsinger et al. 2006b; Suharto dan Usyati 2008).

Larva

Larva biasanya melewati 4 sampai 5 stadia sebelum menjadi pupa (Reissig

et al 1986; Khan et al. 1991). Larva muda PBK umumya berwarna putih dan

memiliki panjang 25 mm dengan durasi hidup antara 5 sampai 35 hari serta dapat menembus kelopak daun dan menerobos ke dalam batang padi (Heinrichs 1994). Dengan kemampuan membuat lubang pada kelopak daun dan batang padi selama masa perkembangannya menyebabkan larva terhindar dari musuh alami. Selama fase vegetatif tanaman, larva umumnya memasuki bagian dasar, biasanya 5 sampai 10 cm di atas air, sedangkan pada fase generatif tanaman, larva menggerek bagian pangkal atau ruas batang padi sehingga menimbulkan gejala beluk, sehingga pada tahap ini larva menyebabkan kerusakan maksimum (Khan et al.

(23)

6

Perilaku PBK bergantung pada geografi, di daerah subtropik PBK mengalami diapause sedangkan daerah tropis seperti di Indonesia tidak terjadi diapause (Suharto dan Usyati 2008). Ketika musim hujan larva bermetamorfosis menjadi pupa hingga menjadi ngengat. Pathak dan Khan (1994) mengemukakan bahwa suhu ambang batas minimum dan optimum perkembangan larva PBK masing-masing adalah 16 dan 35 oC. Lebih lanjut Khan et al. (1991); Pathak dan Khan (1994) melaporkan bahwa larva PBK biasanya mencapai 4 sampai 7 instar larva sampai pada tahap imago. Tetapi, kebanyakan larva hanya sampai pada larva instar 5 jika suhu mencapai 23 sampai 29 oC dan sampai larva instar 4 jika suhu mencapai 29 sampai 35 oC. Kondisi ini menunjukan semakin tinggi suhu maka perkembangan larva semakin cepat.

Pupa

Perkembangan pupa penggerek batang padi dari larva menjadi pupa biasanya terjadi pada jerami batang padi atau dalam batang padi (Khan et al.

1991). Periode perkembangan pupa sebelum menjadi imago berkisar antara 7 sampai 9 hari, dengan ambang batas suhu perkembangan 15 sampai 16 oC dan suhu optimum 33 sampai 35 oC (Pathak dan Khan 1994). Diopsid pupa biasanya ditemukan dalam jaringan yang membusuk (Khan et al. 1991; Pathak dan Khan 1994).

Imago

Tanaman inang utama PBK adalah padi, tetapi imago dapat bertelur pada tanaman lain (Reissig et al. 1986). Kehadiran imago di areal persawahan hanya terlihat pada saat musim hujan dan biasanya berproduksi selama 3 sampai 5 generasi tanaman padi (Heinrichs 1994), selain itu keberadaan imago tergantung pada durasi penaburan benih dan pemindahan bibit padi, serta mengalami pelonjakan populasi (melebihi populasi musuh alami) pada awal musim hujan. Hal ini disebakan ketika awal musim hujan yang merupakan masa diapause akhir, jumlah populasi musuh alami rendah dan secara masal imago terkonsentrasi untuk bertelur. Heinrichs (1994) mengemukakan bahwa pada siang hari, imago PBK berada di sawah atau di persemaian, dan ketika terganggu mereka terbang hanya beberapa meter. Lebih lanjut, Suharto dan Usyati (2005) menyatakan bahwa imago PBK pada siang hari tidak aktif dan bersembunyi diantara tanaman padi atau gulma di dekat sawah, serta biasanya muncul dan bertelur pada jam 19.00 sampai 22.00 selama 3 sampai 5 malam.

Pengaruh Unsur Iklim Terhadap Dinamika Penggerak Batang Padi Kuning

(24)

7

Curah Hujan

Curah hujan dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap tinggi rendahnya serangan organisme pengganggu tanaman. Pola curah hujan yang berbeda setiap tahun, mempengaruhi dimensi ekologi hama serangga. Diberbagai belahan dunia, curah hujan adalah faktor utama yang mempengaruhi populasi hama (Mavi dan Tupper 2004). Akumulasi ambang batas curah hujan untuk mengakhiri masa diapause penggerek batang padi adalah sekitar 10 mm (Heinrichs 1994).

Kelembaban

Lingkungan yang hangat dan lembab dapat mendukung perkembangan jumlah spesies hama yang banyak. Efek stres kelembaban baik langsung dan tidak langsung pada tanaman membuat tanaman lebih rentan terserang oleh hama sampai tanaman tersebut rusak dan mati, terutama pada tahap awal perkembangan tanaman (Huang et al. 2010). Spesies penggerek batang padi membutuhkan kelembaban yang tinggi, mortalitas penggerek batang padi relatif lebih tinggi pada kelembaban kurang dari 70% (Khan et al. 1991; Catling dan Islam 1995).

Suhu

Suhu memainkan peran penting dalam menentukan fisiologi dan ekologi hama, khususnya distribusi populasi, tingkat perkembangan, dan fenologi (Huang

et al. 2010). Penggerek batang padi sangat sensitif terhadap tinggi rendahnya suhu

lingkungan tempat berkembang. Pada saat suhu mengalami kenaikan secara drastis, jenis PBP mampu berdiapause pada kondisi tersebut. Tetapi, di wilayah tropis termasuk Indonesia PBK tidak berdiapause. Sedangkan untuk jenis pengerek batang padi bergaris (PBG) Chilo suppressalis (Walker) berasal dari family yang sama (Pyralidae dan Crambidae) dengan PBK suhu tinggi secara signifikan mempercepat diapause larva PBG (Xiao et al. 2011). Selain itu suhu minimum tahunan yang secara tidak langsung mencerminkan pemanasan iklim, memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat perkembangan populasi hama tahunan (Shi et al. 2012).

Angin

(25)

8

Pengaruh Kelembaban Tanah Terhadap Penggerak Batang Padi Kuning

Tingkat kelembaban tanah di area persawahan secara umum dipengaruhi oleh faktor irigasi dan curah hujan. Kelembaban tanah secara langsung mempengaruhi perkembangan maupun mortalitas pupa (Yonow et al. 2004). Pada sawah yang beririgasi, PBK mampu berkembang dengan baik (Pathak dan Khan 1994), karena hama ini lebih cenderung hidup pada sawah yang menerapkan penanaman secara berkelanjutan. Rencana pemerintah meningkatkan produksi beras melalui pembangunan kawasan budidaya padi irigasi di Jawa Barat yang meliputi 5 kabupaten yaitu Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, dan Cirebon memungkinkan dilakukan penanaman 2 kali dalam setahun (Rubia et al. 1997). Tentunya, hal ini sangat disukai oleh PBK untuk berkembang.

Penelitian Sebelumnya yang Pernah Dilakukan Terkait dengan Pemodelan Fenologi Serangga Menggunakan DYMEX

Penelitian-penelitian untuk memprediksi dinamika populasi menggunakan DYMEX belum pernah dilakukan di Indonesia. Namun, penelitian menggunakan DYMEX telah banyak dilakukan di wilayah subtropis, karena perancangan perangkat lunak DYMEX dilakukan oleh CSIRO dan Hearne Scientific Software

di Australia, sehingga aplikasi perangkat lunak DYMEX masih terbatas untuk wilayah subtropis seperti Australia dan New Zealand. Penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Yonow et al. (2004) melihat pengaruh faktor abiotik (iklim) mempengaruhi fenologi lalat buah Queensland (QFF) Bactrocera tryoni pada 5 titik wilayah New South Wales Australia menggunakan data iklim harian (suhu maksimum dan minimum, curah hujan, dan evaporasi). Hasil populasi luaran model dibandingkan dengan data tangkapan perangkap. Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil prediksi dan observasi ada kecocokan, namun pada lokasi lain tidak memberikan hasil yang baik antara prediksi dan observasi. Nilai koefisien determinasi (R2) terbaik adalah 0.37.

Nahrung et al. (2008) melakukan penelitian tentang persyaratan ambang batas suhu perkembangan dari populasi kumbang Paropsis atomaria, data ambang suhu yang diperloleh menjadi salah satu input utama untuk memodelkan fenologi populasi kumbang Paropsis atomaria dalam DYMEX untuk memprediksi waktu, durasi, kelimpahan yang terjadi di lapangan dan jumlah generasi di musim semi dan musim gugur dengan menggunakan data iklim di wilayah Canberra dan Queensland Australia. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada kemiripan antara puncak populasi luaran model dengan puncak populasi yang terjadi di lapangan. Namun, ada pergeseran waktu puncak populasi antara model dan lapangan.

Kriticos et al. (2009) mengembangkan sebuah model dinamika populasi untuk mengeksplorasi interaksi antara agen biokontrol Cleopus japonicus dan tanaman inang Buddleja davidii di pulau utara New Zealand menggunakan data iklim harian (suhu maksimum dan minimum, curah hujan, dan evapotranspirasi potensial). Model menunjukan bahwa faktor iklim berdampak signifikan pada interaksi antara kumbang Cleopus japonicus dan Buddleja davidii. Kumbang

Cleopus japonicus berpotensi mengancam pertumbuhan Buddleja davidii

(26)

Tabel 3.1 Stasiun cuaca yang digunakan untuk menguji dan menjalankan dinamika populasi penggerek batang padi kuning dalam DYMEX Nama Stasiun Kabupaten Lintang

selatan Laboratorium Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Alam, Institut Pertanian Bogor.

Alat

Penelitian ini menggunakan perangkat lunak (i) DYMEX versi 3.0 untuk menganalisis dinamika populasi PBK, (ii) Climatic Data Generator versi 2.0 untuk membangkitkan data iklim dan. (iii) Minitab versi 16 untuk uji statistik. Climatic Data Generator versi 2.0 dikembangkan oleh Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi.

Data dan Sumber Data

Data Iklim Harian

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Data suhu minimum dan maksimum, kelembaban relatif minimum dan maksimum, serta data curah hujan dari 3 lokasi stasiun milik Balai Penelitian Agroklimatologi dan Hidrologi (BALITKLIMAT) dan 1 stasiun milik Balai Besar Peramalan Organisme Penggangu Tanaman (BBPOPT) Jatisari di wilayah Pantai Utara Jawa Barat tahun 2009 sampai 2012 (Tabel 3.1). Setiap data yang hilang dibangkitkan dengan menggunakan perangkat lunak Climatic Data Generator versi 2.0 berbasis pada pola curah hujan bulanan dan anomali suhu muka laut (SST) bulanan di wilayah nino 3.4.

Data Light Trap Imago PBK

(27)

10

Pemodelan Populasi

Deskripsi Model

DYMEX merupakan model waktu diskrit yang dapat menelusuri keadaan individu dalam kohort. Sebuah kohort baru akan terbentuk jika satu atau lebih individu memasuki sebuah tahapan kehidupan melalui pengunaan fungsi fisiologis tergantung keadaan variabel pada satu waktu tertentu (Kriticos et al. 2009). Pemodelan PBK membutuhkan 2 komponen utama yaitu paramater iklim dan suhu ambang bawah perkembangan (To) yang dapat diproses dalam siklus hidup

menggunakan DYMEX (Gambar 3.1). Dalam model ini, siklus hidup PBK dapat dimodelkan dari telur, larva, pupa, dan imago. DYMEX mengidentifikasi tahap kehidupan dalam siklus hidup PBK, serangkaian proses menggambarkan siklus hidup, perkembangan, mortalitas, transfer individu dari satu tahap ke tahap kehidupan berikutnya, fekunditas dan reproduksi (Nahrung et al. 2008).

Panjang Hari (Daylenght) dan Evaporasi

Input utama dalam menentukan panjang hari (daylenght) adalah garis

lintang, untuk menghitung waktu antara matahari terbit dan terbenam. Nilai yang diperoleh menjadi nilai input untuk menentukan nilai evaporasi. Evaporasi dihitung dengan menggunakan variabel input suhu harian minimum dan maksimum, kelembaban minimum dan maksimum, dan panjang hari (daylenght)

yang dapat diestimasi dalam DYMEX.

Kelembaban Tanah

Nilai kelembaban tanah dapat dibangkitkan oleh DYMEX dengan input

utama curah hujan dan evaporasi. Kelembaban tanah dapat dinyatakan dalam jumlah air (Handoko 1994), dengan indeks antara titik layu permanen (0) dan kapasitas lapang (1) (Kriticos et al. 2003; Maywald et al. 2007a). Nilai kelembaban tanah digunakan untuk menentukan mortalitas pada fase larva dan pupa PBK, sebab larva dan pupa PBK berada di dalam batang padi dan cukup dekat dengan tanah. Asumsi nilai inisialisasi kelembaban tanah yang digunakan dalam pemodelan didorong oleh beberapa parameter sebagai berikut:

1. Kapasitas kelembaban tanah (C): kapasitas menahan air dari lapisan tanah didefinisikan sebagai 1 meter kedalaman perakaran yang diperlukan, dalam mm. Tanah berpasir dapat menyimpan hanya 50 mm, sedangkan tanah liat dan lempung masing-masing dapat menahan 150 mm dan 200 mm (Maywald et al. 2007a).

2. Koefisien evapotranspirasi (r): jumlah evaporasi dan transpirasi dari vegetasi dinyatakan sebagai proporsi evaporasi panci terbuka. Dalam model ini, koefisien evapotranspirasi didefinisikan sebagai fungsi kelembaban tanah (Yonow et al. 2004). Umumnya antara 0.5 sampai 1.2 dengan nilai tipikal 0.8 (Maywald et al. 2007a).

(28)

11

Gambar 3.1 Kerangka penelitian elem a an

Periode perkembangan (hari) digunakan untuk menentukan suhu ambang bawah perkembangan (To) pada fase telur, larva, dan pupa disajikan pada (Tabel

3.2). To dimaksudkan sebagai suhu ambang yang dapat ditoleransi oleh setiap fase

(29)

12

Tabel 3.2 Periode perkembangan (hari) telur, larva, dan pupa penggerek batang padi kuning pada suhu konstan (oC) Suhu (oC) Periode perkembangan (hari)

Telur Larva Pupa

Sumber: Rahman dan Khalequzzaman (2004)

Mortalitas dalam model ini didorong oleh suhu dan kelembaban tanah. Mortalitas konstan pada fase larva diasumsikan 0.01 per hari, sedangkan mortalitas imago dimodelkan dengan menggunakan nilai 0.1, sehingga mengurangi jumlah populasi sebesar 10% (Maywald et al. 2007b). Mortalitas diasumsikan terkait dengan musuh alami, faktor biotik dan abiotik, serta mortalitas akibat usia. Selain itu, larva terlindungi dari faktor-faktor yang menyebabkan mortalitas, sebab posisi larva berada di dalam batang padi. Hal ini yang menyebabkan mortalitas larva relatif lebih rendah dari mortalitas imago. Nilai mortalitas imago 0.1 menjadi nilai dasar yang digunakan untuk meningkatkan nilai mortalitas sampai 0.25 per hari. Variasi nilai mortalitas imago sebagai pendekatan untuk menentukan nilai mortalitas pada kondisi real sebab keterbatasan data mortalitas imago di lokasi kajian.

Proses tersebut dilakukan untuk menentukan parameter mortalitas imago yang paling baik dan mendekati pola fluktuasi di lapangan. Data pada Tabel 3.2 digunakan untuk menentukan laju perkembangan (development rate) pada setiap fase menggunkan persamaan (Lauziere et al. 2002):

)

DR = laju perkembangan (development rate)

d = lama perkembangan (hari)

Suhu ambang bawah perkembangan (To) yaitu suhu yang menyebabkan

tidak terjadi perkembangan PBK atau laju perkembangan (DR) = 0. Suhu ambang bawah perkembangan (To) setiap fase perkembangan PBK ditentukan dengan

model regeresi linier antara laju perkembangan dan suhu berdasarkan persamaan (Lauziere et al. 2002; Nahrung et al. 2008):

imago, menggunakan persamaan (Lauziere et al. 2002):

T-T

(3)

d

(30)

13

Tabel 3.3 Inisialisasi nilai yang digunakan dalam simulasi

Variabel model Nilai inisialisasi

Luas area (ha) 1

Kelembaban tanah:

Kapasisitas kelembaban tanah (mm) Koefisien evapotranspirasi

Basal evapotranspirasi (mm)

0.5 50-200 0.5-1.2

0-5

Sex ratio antara jantan dan betina 1:2

dimana:

d = lama perkembangan (hari)

T = suhu tinggi yang dibutuhkan untuk perkembangan (oC) To = suhu dasar (oC)

DD = derajat hari (degree day)

Tahapan Transfer, Fekunditas dan Reproduksi

Seluruh fase mentransfer setelah mencapai perkembangan penuh yaitu mencapai usia fisiologis 1. Jika ambang usia fisiologis diatur ke nilai 1, maka usia fisiologis pada setiap waktu akan sama seperti akumulasi degree days di atas ambang suhu perkembangan (Yonow et al. 2004; Maywald et al. 2007a; Nahrung

et al. 2008).

Fekunditas secara umum diartikan sebagai kemampuan serangga untuk bereproduksi, dan dimodelkan dalam bentuk parameter potensial telur PBK. Jika setiap betina PBK mampu memproduksi telur sebanyak 100 sampai 600 butir (Suharto dan Usyati 2008) dan usia rata-rata jantan dan betina masing-masing 2.5 dan 5.09 hari (Krishnaiah et al. 2004), serta dengan mengasumsikan bahwa sex

ratio antara jantan dan betina adalah 1:2, maka diperoleh telur sebanyak 400 butir

dalam populasi.

Labih lanjut, dalam pemodelan fenologi PBK, reproduksi diasumsikan dikendalikan oleh siklus suhu harian dan curah hujan. Produksi meningkat jika siklus suhu harian berkisar 22 oC, hal ini didasarkan pada suhu minimum rata-rata wilayah kajian. Penggunaan suhu minimum sebagai indikator reproduksi disebabkan imago betina bereproduksi dan meletakan telur pada malam hari (bersifat nocturnal). Oleh karena itu, suhu minimum rata-rata dinilai cukup tepat untuk digunakan. Sedangkan curah hujan 5-40 mm atau lebih digunakan sebagai nilai acuan puncak aktivitas munculnya imago betina untuk bereproduksi (Yonow

et al. 2004; Krishnaiah et al. 2004).

Proses Menjalankan Sumulasi

Inisialisasi Model

Sebelum menjalankan simulasi model harus diinisialisasi. Inisialisasi meliputi pengaturan berbagai nilai yang diperlukan untuk menjalankan model (Maywald et al. 2007b). Standar inisialisasi diterapkan untuk memastikan peniruan hasil untuk simulasi (Yonow et al. 2004). Nilai inisialisasi yang digunakan dalam simulasi terdiri atas luas area, komponen kelembaban tanah, dan

(31)

14

Kalibrasi, Validasi dan Simulasi Model

Kalibrasi dan validasi model dilakukan di wilayah Jatisari Kabupaten Karawang menggunakan data populasi imago yang tersedia di lapangan sejak 5 Juni 2011 sampai 10 November 2012, kemudian dibandingkan dengan jumlah populasi yang diperoleh dari hasil prediksi model. Evaluasi kebaikan model mengacu pada indeks statistik koefisien determinasi (R2) antara 0 sampai 1.

Kalibrasi model bertujuan untuk menyamakan hasil prediksi model dengan fakta atau kondisi yang terjadi di lapangan. Kalibarasi model ini dilakukan pada 1 lokasi yang memiliki data tangkapan light trap populasi imago yaitu di wilayah Jatisari Kabupaten Karawang. Proses dalam kalibrasi model yaitu dengan cara mengubah parameter model sampai hasil prediksi model mendekati fakta. Parameter yang diubah-ubah yaitu tingkat mortalitas imago dari 0.1 sampai 0.25. Data tersebut merupakan data pengamatan harian PBK antara 5 Juni sampai 31 Desember 2011.

Validasi kemampuan prediksi model menggunakan data pada 1 lokasi yang sama pada saat melakukan kalibrasi model yaitu di wilayah Jatisari Kabupaten Karawang. Pada umumnya, data yang digunakan untuk melakukan kalibrasi tidak dapat digunakan untuk melakukan validasi. Hal ini dilakukan untuk melihat keakuratan model pada kondisi yang lain. Data yang digunakan untuk validasi model tanggal 22 Januari sampai 10 November 2012. Adapun kegunaan validasi model yang dilakukan adalah untuk memberikan kepercayaan bahwa model dapat dijadikan sebagai alat pengendalian serta antisipasi perubahan populasi yang dinamis (Higgins et al. 2001; Kriticos et al. 2003; Regniere et al. 2012). Setelah model dinilai baik dalam memprediksi populasi PBK, kemudian dilakukan simulasi pada 3 wilayah yaitu Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan. Simulasi model menggunakan data iklim harian tanggal 1 April 2009 sampai 31 Oktober 2012 untuk menganalisis pola dinamika populasi PBK.

Skenario Perubahan Iklim

Nilai perubahan iklim digunakan untuk melihat respon PBK ± 60 tahun kedepan (Tabel 3.4). Skenario dan Proyeksi perubahan suhu udara dan curah hujan berdasarkan pada laporan Special Report on Emissions Scenarios (SRES) A1FI dan B1 yaitu proyeksi tahun 2020-an dan 2050-an dengan sub wilayah Southeast Asia (10S - 12N; 100E - 150E) (IPCC 2007b). Skenario A1 menggambarkan pertumbuhan ekonomi sangat cepat, populasi global mencapai puncaknya pada pertengahan abad dan menurun setelahnya, serta pengenalan Tabel 3.4 Nilai yang digunakan dalam simulasi untuk skenario perubahan iklim

(32)

15 teknologi baru dan lebih efisien dengan sangat cepat. Skenario A1 berkembang menjadi tiga kelompok skenario salah satunya adalah skenario A1FI yang menggambarkan perubahan teknologi dalam sistem energi dengan karakteristik penggunaan energi fosil yang intensif, kondisi ini menyebabkan peningkatan emisi CO2 dan disertai dengan peningkatan suhu (IPCC 2007b).

Skenario B1 menggambarkan dunia yang konvergen dengan populasi mencapai puncaknya pada abad pertengahan dan menurun setelahnya, seperti dalam skenario A1, tetapi dengan perubahan yang cepat dalam struktur ekonomi sesuai dengan layanan dan informasi ekonomi, dengan pengurangan intensitas material dan pengenalan teknologi yang bersih dan efisien. Penekanan skenario B1 adalah pada solusi global untuk ekonomi, sosial, dan kelestarian lingkungan, termasuk peningkatan kesetaraan, tetapi tanpa tambahan inisiatif iklim (IPCC 2007b). Selain itu, skenario B1 menggambarkan emisi CO2 lebih rendah

dibandingkan dengan skenario A1FI.

Respon perbedaan populasi pada setiap skenario perubahan iklim terhadap kondisi iklim kini dianalisis menggunakan uji t untuk 2 sampel berpasangan

(paired two sample for means), dengan hipotesis, tolak Ho dan terima H1, jika

(33)

Tabel 4.1 Rata-rata tahunan unsur iklim wilayah Kuningan, Pusaka Negara, dan Sukamandi tahun 2010 – 2012

Tahun T min (oC) T max (oC) CH (mm) RH max (%) RH min (%)

T: suhu, CH: curah hujan, RH: kelembaban, max: maksimum, min: minimum.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Iklim dan Topografi Wilayah Kajian

Secara geografis wilayah Kuningan terletak antara 06o47' dan 07o12' LS serta antara 108o27' dan 108o28' BT. Sebagian besar wilayah Kuningan merupakan lereng bukit dan pegunungan dengan rata-rata ketinggian dibagian utara dan barat sekitar 700 mdpl serta sebelah selatan dan timur antara 120 sampai 222 mdpl (BAPPEDA 2007). Berdasarkan data pada tahun 2007 sampai 2009 suhu rata-rata mencapai 24.3 sampai 24.7 oC, dan tahun 2011 sampai 2012 berkisar antara 24.5 dan 24.2 oC. Suhu minimum tahun 2007 sampai 2012 berkisar antara 15 sampai 23 oC dan suhu maksimum berkisar antara 24 sampai 31

o

C. Berdasarkan pembagian pola iklim wilayah Kuningan, Sukamandi, dan Pusaka Negara berada pada region A dengan pola curah hujan berbentuk U, sehingga masuk pada wilayah dengan tipe iklim monsun. Tipe iklim ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi monsun dengan puncak curah hujan berada pada bulan Desember dan curah hujan terendah atau musim kemarau terjadi pada Juli sampai September (Aldrian dan Susanto 2003).

(34)

17

Tabel 4.2 Suhu (oC), periode perkembangan (hari), laju perkembangan (DR) untuk telur, larva, dan pupa penggerek batang padi kuning

Suhu

dapat mempengaruhi variasi suhu, kelembaban, curah hujan, kecepatan angin, dan radiasi matahari dengan tingkat penurunan suhu 6.5 oC/km, sehingga lokasi yang lebih tinggi umumnya memiliki suhu yang lebih dingin daripada lokasi yang lebih rendah. Selain itu, kelembaban umumnya menurun seiring dengan bertambahnya ketinggian suatu wilayah, meskipun curah hujan biasanya meningkat (Whiteman 2000).

Persyaratan Ambang Suhu Perkembangan Penggerek Batang Padi Kuning

Laju perkembangan (development rate) merupakan suatu variabel mendasar dalam membangun model fenologi PBK yang digunakan untuk menentukan suhu ambang bawah perkembangan (To), sehingga dengan adanya To dapat digunakan

untuk memprediksi puncak populasi di setiap wilayah. Karitani (2006); Nietschke

et al. (2007) menyatakan bahwa penggunaan suhu ambang bawah perkembangan

(To) dan thermal constant (K) berguna dalam menyusun model fenologi populasi

serangga di era pemanasan global, karena fenologi serangga bergantung pada suhu yang memungkinkan terjadinya distribusi geografis serangga (Regniere et al.

2012). Oleh karena itu, suhu merupakan pemicu utama perkembangan spesies serangga dan suhu merupakan kontrol dalam mengukur tingkat perkembangan. Suhu ideal untuk perkembangan setiap spesies serangga berbeda-beda, sehingga memerlukan suhu kisaran yang spesifik untuk memodelkan fenologi serangga. Tabel 4.2 mununjukan bahwa periode perkembangan pada setiap fase PBK semakin cepat dengan meningkatnya suhu. Jika diamati pada suhu rata-rata 25 oC waktu yang dibutuhkan untuk perubahan fase dari telur sampai menjadi pupa mencapai 42 hari.

Penentuan suhu ambang bawah perkembangan (To) PBK menggunakan

model regresi linier yang didukung oleh data periode perkembangan setiap fase PBK, sehingga diperoleh laju perkembangan (1/d) untuk telur 0.040, 0.095, 0.104, 0.180, 0.366, sedangkan laju perkembangan larva 0.013, 0.018, 0.044, 0.063, 0.065, dan laju perkembangan pupa 0.063, 0.079, 0.105, 0.175, 0.248 pada suhu 15 sampai 35 oC (Tabel 4.2). Nilai laju perkembangan setiap fase kemudian digunakan untuk menentukan suhu ambang bawah perkembangan (To) dimana

(35)

18

Tabel 4.3 Persamaan regresi, R2, suhu ambang bawah perkembangan (To) dan

degree days untuk perkembangan telur, larva, dan pupa penggerek dilaporkan oleh Rahman dan Khalequzzaman (2004) yaitu 75.2 DD dan 4.8 hari, dengan menggunakan DD = d (T - To), sehingga diperoleh nilai ambang suhu

terendah untuk fase imago (To) 19.2 oC.

Hasil analisis regresi menunjukan hubungan linier antara suhu dan laju perkembangan PBK dengan nilai R2 0.84, 0.93, dan 0.92 untuk telur, larva, dan pupa (Tabel 4.3 dan lampiran 1). Keeratan hubungan antara suhu dan laju perkembangan disebabkan oleh respon setiap serangga khususnya PBK terhadap suhu tergantung pada metabolisme. Metabolic theory of ecology (MTE) yang dikemukan oleh Brown et al. (2004) bahwa suhu merupakan hal yang mendasar terhadap tingkat terjadinya kehidupaan, reproduksi, laju perkembangan populasi, laju mortalitas, usia, sampai keragaman spesies. Oleh karena itu, menentukan suhu ideal untuk perkembangan PBK dalam memodelkan fenologi penting untuk dilakukan, karena faktor lingkungan seperti suhu sangat mempengaruhi kelimpahan PBK dalam ukuran yang berbeda pada setiap wilayah. Hampir semua kajian dalam konteks biologi, seperti tingkat perkembangan individu dan populasi, serta periode perkembangan menunjukan organisme memiliki ketergantungan yang sama terhadap suhu (Gillooly et al. 2001, 2002; Savage et al. 2004).

Kalibrasi Model

Data di wilayah Jatisari Kabupaten Karawang tidak dilakukan modifikasi atau pun perubahan, sehingga data yang digunakan merupakan data light trap

(36)

19 Tabel 4.4 Hasil uji statistik kalibrasi model populasi penggerek batang

padi kuning wilayah Jatisari 5 Juni – 31 Desember 2011 Parametera tvalue Pvalueb R2 R2adj

Parameterisasi mortalitas imago 0.1 - 0.25; bTaraf nyata sebesar 5%

menyebabkan tinggi rendahnya mortalitas pada setiap fase PBK diluar faktor iklim.

Luaran hasil prediksi model jumlah populasi imago PBK dan jumlah populasi tangkapan light trap harian dikonversi menjadi total populasi 3 minggu, hal ini dilakukan agar tampak ragam fluktuasi imago PBK. Luaran hasil prediksi model menggambarkan jumlah populasi pada luas area 1 ha, sedangkan hasil observasi berdasarkan tangkapan light trap hanya sebagai indikator untuk melihat kelimpahan imago PBK. Perbedaan satuan antara hasil prediksi dan observasi diabaikan dalam melakukan pemodelan, karena cukup sulit untuk menegasakan bahwa hasil observasi dari data tangkapan light trap mewakili populasi pada luas area 1 ha, hal ini bergantung pada jumlah dan posisi light trap yang digunakan untuk kalibrasi parameter model, serta karakteristik populasi PBK dalam merespon perubahan kondisi lingkungan. Luaran hasil prediksi model dan observasi menggunakan nilai ln x + 1 untuk memperkecil nilai, karena perbedaan nilai sangat besar antara hasil prediksi model dan observasi.

Hasil uji statistik menunjukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil prediksi dan observasi, yaitu jumlah populasi hasil prediksi lebih tinggi dari jumlah populasi observasi. Namun, prediksi model cenderung mengikuti pola fluktuasi observasi (Gambar 4.1), sehingga dapat dikatakan bahwa model yang dibangun hanya memprediksi puncak kelimpahan populasi dan tidak memprediksi secara spesifik jumlah populasi. Nilai R2 antara prediksi dan observasi menunjukan hubungan yang kuat dan berkorelasi positif pada setiap parameter mortalitas imago. Nilai R2 tertinggi pada parameter mortalitas imago 0.15 yaitu sebesar 72%, lebih besar daripada yang ditunjukan oleh parameter mortalitas imago 0.1, 0.2, dan 0.25 (Lampiran 2).

(37)

20

Gambar 4.1 Jumlah populasi imago 3 minggu 5 Juni – 31 Desember 2011, hasil prediksi (- - -) dan observasi (—) penggerek batang padi kuning. (a) mortalitas 0.1; (b) mortalitas 0.15; (c) mortalitas 0.2; (d) mortalitas 0.25

3.40 3.56

(38)

21 kelembaban dengan mudah ditambahkan dalam setiap life stage. Namun, bagian yang sulit membangun model menggunakan DYMEX adalah parameterisasi berbagai fungsi yang dipilih sehingga dapat didefinisikan dalam life stage (Yonow

et al. 2004).

Parameter bisa berubah sesuai input data iklim pada lokasi yang menjadi objek kajian (Kriticos et al. 2003), misalnya nilai suhu ambang reproduksi betina PBK menjadi lebih sensitif jika analisis sensitivitas parameter model menggunakan data iklim. Setiap mengidentifikasi dan menetapkan parameter, ukuran ketepatan dari model dapat mengacu pada nilai R2 antara jumlah populasi hasil prediksi dan observasi untuk menilai dampak dari penyesuaian nilai parameter (Yonow et al. 2004).

Berdasarkan nilai R2 yang baik dan bentuk pola fluktuasi yang sesuai antara hasil prediksi dan observasi dapat memberikan pilihan parameter yang tepat yang dapat digunakan pada saat melakukan simulasi dilokasi yang lain. Walaupun model menunjukan kecocokan antara hasil prediksi dan observasi tetapi diakui masih terdapat kekeliruan dalam pemahaman karakteristik perilaku PBK dan perlu penyesuaian beberapa hal yang terkait dengan bioekologi dan fenologi PBK, sehingga model ini dapat memberikan hasil prediksi yang tepat sesuai dengan kondisi populasi PBK di lapangan. Oleh karena itu, ketika memprediksi kejadian hama, tugas pertama adalah untuk membangun sebuah database dari faktor yang relevan yang mempengaruhi terjadinya kelimpahan hama (Nietschke et al. 2007; Yang et al. 2009), hal ini tidak lepas dari peran lingkungan dan faktor hama itu sendiri yang menjadi kontrol terjadinya kelimpahan hama yang menunjukan fluktuasi populasi.

Validasi Model

Proses validasi model menunjukan hasil yang baik antara hasil prediksi dan observasi periode terjadinya puncak populasi. Model dengan baik memprediksi puncak kelimpahan populasi selama periode simulasi. Namun, pada beberapa titik prediksi puncak kelimpahan populasi bergeser 30 hari dari observasi (Gambar 4.2). Hubungan linier antara observasi dan prediksi dengan nilai R2 sebesar 0.42 (Gambar 4.3). Meskipun nilai R2 hasil kalibrasi dan validasi berbeda, namun hasil validasi model dengan nilai R2 sebesar 0.42 memberikan gambaran bahwa 42% dinamika populasi PBK dipengaruhi oleh faktor iklim, sedangkan 58% dinamika populasi PBK dipengaruhi oleh faktor lain. Yonow et el. (2004) menyatakan bahwa 37% faktor iklim mempengaruhi dinamika serangga dinilai hasil tersebut cukup baik. Jumlah populasi tangkapan light trap sangat menentukan keakuratan pada saat melakukan validasi model, hal ini tidak dapat dihindari tergantung perilaku PBK ketika merespon cahaya dari light trap.

(39)

22

Gambar 4.3 Hubungan antara jumlah populasi imago penggerek batang padi kuning hasil prediksi dan observasi

R² = 0.42

untuk validasi memberikan hasil yang baik dan cukup menegaskan bahwa faktor iklim mempengaruhi dinamika populasi serangga yang dimodelkan. Namun sebaliknya, model memberikan hasil prediksi yang buruk pada lokasi lain disebabkan oleh perilaku serangga.

(40)

23

Gambar 4.4 DYMEX model prediksi untuk imago dan telur penggerek batang padi kuning, total populasi bulanan wilayah Sukamandi dan Pusaka Negara, 1 April 2009 – 31 Oktober 2012

Validasi model yang dilakukan di wilayah Jatisari dengan ketinggian 28 mdpl dapat dilakukan pemilihan parameter mortalitas imago yang tepat ketika digunakan untuk melakukan simulasi pada wilayah Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan berdasarkan nilai R2 yang terbaik. Hasil validasi model diperoleh nilai R2 terbaik pada mortalitas imago 0.1, sehingga nilai ini digunakan untuk melakukan simulasi di lokasi lain. Meskipun hasil kalibrasi menunjukan nilai R2 pada mortalitas imago 0.15, tetapi nilai R2 mortalitas imago 0.15 lebih kecil dari parametar mortalitas imago 0.1, yaitu sebesar 0.31.

DYMEX: Simulasi Model

(41)

24

Gambar 4.5 DYMEX prediksi model untuk imago dan telur penggerek batang padi kuning, total populasi bulanan wilayah Kuningan, 1 April 2009 – 31 Oktober 2012

Curah hujan memiliki hubungan negatif dengan jumlah populasi PBK, artinya populasi relatif rendah ketika intensitas curah hujan tinggi di wilayah Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan (Lampiran 4 dan 5). Rendahnya intensitas curah hujan akan diikuti oleh rendanya tingkat kelembaban tanah sehingga memicu laju perkembangan PBK pada fase larva dan pupa. Tingginya jumlah populasi menandakan bahwa kelimpahan PBK juga tinggi. Krishnaiah et al. (2004) meyatakan bahwa kelimpahan populasi serangga meningkat dengan meningkatnya usia tanaman tetapi menurun dengan meningkatnya suhu maksimum dan curah hujan serta penurunan suhu minimum. Tingginya tingkat mortalitas diduga karena pada saat intensitas curah hujan tinggi, telur yang diletakan oleh imago betina di atas daun padi terseret oleh air sehingga telur tidak dapat menetas dengan baik. Selain itu, larva dan pupa terendam oleh air karena kondisi air tanah macapai kondisi kapasitas lapang.

Kondisi berbeda ditunjukan di wilayah Kuningan dengan ketinggian 577 mdpl dan struktur topografi yang cenderung berbukit, dimana terdapat perbedaan jumlah populasi jika dilihat dari aspek ketinggian. Jumlah populasi hasil prediksi di wilayah Kuningan lebih rendah dibandingkan dengan Sukamandi dan Pusaka Negara yang berada di dataran rendah. Artinya, PBK kurang berkembang baik pada wilayah yang lebih tinggi. Namun, di wilayah Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan puncak terjadinya populasi cenderung sama. Puncak populasi tinggi pada saat intensitas curah hujan rendah dan puncak populasi rendah pada saat intensitas curah hujan tinggi.

(42)

25 yang memiliki suhu lebih tinggi dari Kabupaten Kuningan rata-rata, luas serangan penggerek batang padi mencapai 3 kali lipat. Jadi dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan suhu mendorong PBK untuk beradaptasi atau bermigrasi kewilayah yang kondisi iklimnya sesuai dengan perkembangannya.

Penurunan jumlah populasi PBK di wilayah Kuningan disebabkan oleh penurunan fekunditas akibat penurunan suhu (Hodkinson 2005). Penurunan suhu disebabkan oleh perbedaan ketinggian, dimana wilayah Kuningan memiliki ketinggian lebih tinggi (577 mdpl) bila dibandingkan dengan wilayah Sukamandi dan Pusaka Negara (50 dan 56 mdpl). Hal ini didukung oleh beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa jumlah spesies serangga menurun dengan meningkatnya lintang (Wilf dan Labandeira 1999), kecenderungan serupa biasanya ditemukan dengan meningkatnya ketinggian (Gaston dan Williams 1996 dalam Bale et al. 2002), Selain itu, meningkatnya ketinggian menyebabkan reproduksi dan peletakan telur serangga betina lebih sedikit (Dearn 1977).

Penurunan jumlah populasi secara langsung akan mempengaruhi jumlah generasi PBK pada ketiga wilayah Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan. Hasil prediksi model menunjukan bahwa populasi PBK mencapai 3 generasi per tahun di wilayah Sukamandi dan Pusaka Negara sedangkan di Kuningan 2 generasi per tahun, hal ini disebabkan pengaruh faktor iklim yaitu suhu terhadap dinamika yang diterapkan dalam model.

Salah satu aspek yang tidak bisa diabaikan yang dapat mempengaruhi kelimpahan populasi PBK adalah tanaman inang. Pengaruh tanaman inang merupakan faktor penting terhadap dinamika populasi (Ohmart 1991), dalam hal ini lebih ditekankan pada pemilihan varietas padi yang toleran terhadap serangan PBK. Walaupun sampai saat ini belum ada varietas padi yang benar-benar toleran terhadap penggerek batang padi (Suharto dan Sembiring 2007). Selain itu, pengaturan waktu tanam yang serentak juga perlu diterapkan dengan baik, ketika populasi PBK tinggi maka waktu tanam dilakukan ketika tidak ada penerbangan imago (Suharto dan Usyanti 2005). Secara keseluruhan model ini mampu memprediksi populasi pada ketinggian dan iklim yang berbeda. Sejak tahun 2005 sampai 2012 laporan Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Kementrian Pertanian RI hampir diseluruh wilayah Jawa Barat serangan penggerek batang padi selalu ada sampai menyebabkan tanaman padi menjadi puso.

Walaupun dari hasil simulasi menunjukan terdapat perbedaan jumlah populasi dan jumlah generasi antara Sukamandi, Pusaka Negara, dan Kuningan. PBK menjadi salah satu hama yang serius untuk dilakukan penanggulangan sejak dini, karena PBK merupakan hama endemik di wilayah tropis. Upaya untuk melakukan pemusnahan atau menghilangkan populasi PBK secara permanen tidak akan mungkin dilakukan, selama kondisi iklim mendukung perkembangannya, maka populasi PBK akan selalu ada. Model ini penting untuk digunakan dalam memprediksi populasi pada kondisi perubahan iklim agar dapat dilakukan upaya-upaya manajemen penanggulang kelimpahan populasi PBK kedepan.

Prediksi Populasi Penggerek Batang Padi Kuningdi Bawah Skenario Perubahan Iklim

(43)

26

Taraf nyata sebesar 5%; S = signifikan, TS = tidak signifikan

Tabel 4.6 Prediksi dinamika populasi penggerek batang padi kuning wilayah

aTaraf nyata sebesar 5%; S = signifikan, TS = tidak signifikan

merumuskan rencana masa depan (Sutherst et al. 2000). Selain itu, Salah satu upaya untuk memprediksi kemungkinan yang akan terjadi pada masa depan terhadap distribusi dan kelimpahan serangga didasarkan pada skenario perubahan iklim (Thomson et al. 2010).

(44)

27

Gambar 4.6 Dinamika populasi penggerek batang padi kuning pada skenario perubahan iklim SRES A1FI dan B1 untuk imago dan telur wilayah Sukamandi. (—) kini, (—) 2020-an, (—) 2050-an menunjukan adanya perbedaan yang signifikan jumlah populasi imago setelah dilakukan skenario, dengan kecenderungan penurunan jumlah populasi imago untuk proyeksi tahun 2020-an dan 2050-an (Tabel 4.5 dan 4.6). Sedangkan jumlah populasi telur pada kondisi iklim kini menunjukan adanya jumlah populasi yang sama pada saat dilakukan skenario, dengan kata lain telur masih dapat mentolerir peningkatan suhu pada tahun 2020-an dan 2050-an.

Peningkatan suhu pada tahun 2020-an dan 2050-an diduga masih berada pada kisaran ambang suhu perkembangan telur. Walaupun terjadi penurunan jumlah populasi imago atau tingkat mortalitas tinggi, namum hal ini memicu imago untuk memproduksi telur secara cepat pada kondisi suhu mengalami peningkatan. Kondisi serupa terjadi pada fase larva dan pupa, seperti yang terjadi pada fase telur, dengan jumlah populasi sama pada tahun 2020-an dan 2050-an untuk kedua skenario (Lampiran 6). Namun, pada bulan April dan Mei mortalitas tinggi pada semua fase untuk skenario A1FI pada proyeksi tahun 2050-an (Gambar 4.6), hal ini disebabkan oleh suhu maksimum rata-rata pada bulan tersebut cukup tinggi mencapai 33.7 sampai 35.1 oC dan total curah hujan mencapai 329.6 sampai 339.5 mm, suatu kondisi suhu dan curah hujan yang menyebabkan terjadinya tingkat mortalitas yang tinggi pada semua fase.

Gambar

Gambar 2.1  Siklus hidup penggerek batang padi kuning
Gambar 3.1  Kerangka penelitian
Tabel 3.2  Periode perkembangan (hari) telur, larva, dan pupa
Tabel 4.1  Rata-rata tahunan unsur iklim wilayah Kuningan, Pusaka Negara, dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan populasi dan intensitas kerusakan akibat serangan penggerek batang padi kuning serta mengidentifikasi jenis-jenis

Laporan dengan judul “Karakteristik Komunitas Parasitoid Telur dan Potensinya sebagai Agens Pengendalian Hayati Penggerek Batang Padi Kuning, Schirpophaga incertulas

Penelitian ini bertujuan untuk (i) menyusun model prediksi populasi penggerek batang padi kuning (PBK) dan (ii) menilai kemampuan model untuk memprediksi kelimpahan dan

Pada penelitian ini tidak bisa dipisahkan antara karakter produkstifitas dengan karakter ketahanan terhadap penggerek batang padi yang datanya juga menunjukkan

Penelitian telah dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui respons penggerek batang padi kuning terhadap varietas padi dan takaran komposjerami padi pada budidaya

1) mengetahui keragaman dan kesamaan parasitoid yang berasosiasi dengan hama penggerek batang padi kuning pada kedua ketinggian. 2) mengetahui kelimpahan populasi parasitoid

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui keragaman dan kesamaan parasitoid yang berasosiasi dengan hama penggerek batang padi kuning, kelimpahan populasi parasitoid hama penggerek

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan populasi dan intensitas kerusakan akibat serangan penggerek batang padi kuning serta mengidentifikasi jenis-jenis