Mussawir : Analisis Masalah Kemiskinan Nelayan Tradisional Di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2009
ANALISIS MASALAH KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL
DI DESA PADANG PANJANG KECAMATAN SUSOH
KABUPATEN ACEH BARAT DAYA
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TESIS
Oleh
MUSSAWIR
077003022/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2 0 0 9
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA
ANALISIS MASALAH KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL
DI DESA PADANG PANJANG KECAMATAN SUSOH
KABUPATEN ACEH BARAT DAYA
PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
(PWD) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
MUSSAWIR
077003022/PWD
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS MASALAH KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL DI DESA PADANG PANJANG KECAMATAN SUSOH KABUPATEN ACEH BARAT DAYA PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Nama Mahasiswa : Mussawir
Nomor Pokok : 077003022
Program Studi : Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
(PWD)
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE) Ketua
(Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE) (Kasyful Mahalli, SE. M.Si)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B, M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 22 Juli 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Bachtiar Hassan Miraza, SE
Anggota : 1. Prof. Dr. lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE
2. Kasyful Mahalli, SE. M.Si
3. Prof. Aldwin Surya, SE. M.Pd. Ph.D
ABSTRAK
Mussawir, NIM. 077003022. Tesis ini berjudul “Analisis Masalah Kemiskinan Nelayan Tradisional di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam” di bawah bimbingan: Prof. Bachtiar Hasan Miraza, SE sebagai Ketua, Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE dan Kasyful Mahalli, SE. M.Si sebagai Anggota.
Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan miskin saat ini adalah nelayan, di mana sedikitnya 14,58 juta jiwa atau sekitar 90 persen dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Di Desa Padang Panjang terdapat 62 jiwa atau 37,1 persen penduduknya bekerja sebagai nelayan, dan dari 62 jiwa nelayan, terdapat 51 Kepala Keluarga bekerja sebagai nelayan tradisional yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang; 2) Untuk mengetahui bentuk kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang.
Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui kuesioner (Quesioneir), wawancara (Interview) dan pengamatan (Observasi). Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui dokumen-dokumen yang terkait dengan bahasan dalam penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan, kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang Panjang disebabkan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu: 1) faktor kualitas sumber daya manusia; 2) faktor ekonomi; dan 3) faktor kelembagaan. Sedangkan bentuk kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa Padang Panjang adalah kemiskinan natural dan cultural.
ABSTRACT
Mussawir, NIM. 077003022. This thesis entitled "Poverty Issues Analysis traditional Fishermen's Village in Padang Panjang District Susoh Aceh Barat Daya District Province of Nanggroe Aceh Darussalam" under the guidance of: Prof.Bachtiar Hasan Miraza, SE as the chairman, Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE and Kasyful Mahalli, SE. M. Si as a member.
One of the community in the nation of Indonesia as Identify the poor fishermen at this time is, where at least 14.58 million people or about 90 percent from 16.2 million the number of fishermen in Indonesia are still under the poverty line. In the Village of Padang Panjang there are 62 or 37.1 percent of the soul of the people working as fishermen, and fishermen from the 62 lives, there are 51 Family Head to work as fishermen who belong to traditional groups in poor communities. Goal of this research are: 1) To know the factors that cause poverty in the traditional fishing village of Padang Panjang, 2) To know the form of poverty in the traditional fishing village of Padang Panjang.
Research methods used in this research is descriptive method with qualitative analysis and with data using primary and secondary. Primary data collected through the questionnaire (Quesioneir), interview (Interview) and observation (Observation). Whereas secondary data collected through the documents related to the discussion in the research.
Results of research shows, poverty in the traditional fishing village of Padang Panjang caused by three (3) factors, namely: 1) the quality of human resources factors; 2) economic factors, and 3) institutional factors. While the form of poverty that occurred in the traditional fishing village of Padang Panjang is the natural and cultural poverty.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahuwata’ala
yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS MASALAH
KEMISKINAN NELAYAN TRADISIONAL DI DESA PADANG PANJANG
KECAMATAN SUSOH KABUPATEN ACEH BARAT DAYA PROPINSI
NANGGROE ACEH DARUSSALAM”.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan
studi dan meraih gelar Magister Sains (M.Si) pada Program Magister Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Penulis menyadari penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak langsung atau tidak langsung. Untuk itu pada kesempatan ini sepantasnya
ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan terutama kepada yang terhormat
Bapak Prof. Bachtiar Hasan Miraza, SE sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Prof. Dr.
lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE dan Kasyful Mahalli, SE. M.Si sebagai Anggota Komisi
Pembimbing yang dengan penuh kesabaran dan kerelaan memberikan bimbingan dan
petunjuk hingga terselesaikannya penulisan tesis ini. Dalam kesempatan ini juga
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc, sebagai Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
2. Bapak Prof. Bachtiar Hasan Miraza, SE selaku Ketua Program Studi Magister
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, Medan.
3. Bapak Kasyful Mahalli, SE. M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Magister
Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan (PWD) Sekolah Pascasarjana
4. Para Dosen di Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan
(PWD) yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
5. Bupati Aceh Barat Daya yang telah memberikan kesempatan belajar pada penulis
ke jenjang magister di Universitas Sumatera Utara.
6. Pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya yang telah memberikan bantuan biaya
pendidikan kepada penulis, dalam mendukung melanjutkan studi ke jenjang
magister.
7. Berbagai pihak yang tidak disebutkan satu per satu yang telah membantu penulis
dalam kelancaran kegiatan tugas belajar ke Universitas Sumatera Utara.
8. Yang tercinta Ayahanda Tarmizi. N dan Ibunda Zuraidah, di mana dengan berkat
do’a dan usaha beliau keberhasilan ini bisa tercapai.
9. Yang tersayang Cut Sri Hayatun Nufus, SE dan ananda Kayyis Afif Bardad M
dan Adam Tsamir Akhram M, yang telah memberikan dukungan moril
pengorbanan yang begitu besar sehingga semua ini dapat dilalui dengan baik.
10. Seluruh rekan-rekan mahasiswa yang telah memberikan bantuan moril dan
pemikiran kepada penulis dalam penyelesaian tesis ini.
11. Serta berbagai pihak di lokasi penelitian yang telah berpartisipasi dalam
kelancaran kegiatan penelitian, sehingga penelitian ini terlaksana dengan baik.
Penulis sangat menyadari akan kekurangan dan keterbatasan kemampuan diri
penulis. Oleh karena itu penulis akan sangat berterima kasih terhadap berbagai
masukan, saran dan kritikan yang sportif terhadap penulisan ini sehingga penulis
dapat memperbaiki berbagai kekurangan dan kesalahan yang ada demi kesempurnaan
Akhirnya dengan berserah diri kepada Allah yang Maha Kuasa, penulis
berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya dan
pihak-pihak/instansi yang terkait dalam mengurus masalah kemiskinan nelayan tradisional
di negeri ini dan khususnya di Kabupaten Aceh Barat Daya.
Medan, Juni 2009
RIWAYAT HIDUP
Mussawir, dilahirkan di Alue Pisang Nanggroe Aceh Darussalam pada
tanggal 17 September 1973. Menamatkan SD tahun 1985 di SD Negeri No. 2 Sikabu,
SMTP tahun 1988 di SMTP Negeri Kuala Batee, SMTA tahun 1991 di SMTA Negeri
Blangpidie, STPDN tahun 1995 di Jatinangor Bandung-Jawa Barat, dan
STIA-Lembaga Administrasi Negara tahun 1999 di Jakarta jurusan Manajemen
Pembangunan Daerah.
Tahun 1995 bekerja sebagai staf Kantor Pembangunan Masyarakat Desa
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tahun 1996 Staf Kantor Pembangunan
Masyarakat Desa Kabupaten Aceh Selatan dan Staf Pembangunan Masyarakat Desa
di Kantor Kecamatan Kuala Batee, tahun 1997 s/d 1998 sebagai Ajudan Bupati Aceh
Selatan, tahun 1998 s/d 2000 tugas belajar ke STIA-Lembaga Administrasi Negara
di Jakarta, tahun 2001 s/d 2002 sebagai Sekretaris Kecamatan Kuala Batee/Kepala
Desa Kampung Tengah, tahun 2002 s/d 2003 Sekretaris Kecamatan Babahrot, tahun
2003 s/d 2007 sebagai Kasubbag Perlengkapan di Sekretariat Daerah Kabupaten
Aceh Barat Daya, dan tahun 2007 sampai dengan sekarang tugas belajar
di Universitas Sumatera Utara.
Pada tanggal 15 Mei 2000, penulis menikah dengan Cut Sri Hayatun Nufus,
SE dan saat ini telah dikarunia 2 (dua) orang putra yang bernama Kayyis Afif Bardad
DAFTAR ISI
2.1.1. Pengertian dan Bentuk Kemiskinan ... 10
2.1.2. Ciri-Ciri Masyarakat Miskin ... 16
2.1.3. Indikator Kemiskinan ... 19
2.1.4. Faktor-Faktor Kemiskinan ... 20
2.2. Pendapatan... 26
2.3. Nelayan... 29
2.3.1. Pelapisan Sosial Nelayan ... 29
2.3.2. Hubungan Kerja Nelayan ... 32
2.4. Strategi Pengentasan Kemiskinan ... 35
2.5. Penelitian Sebelumnya ... 38
2.6. Analisis Faktor-faktor Kemiskinan Nelayan Tradisional ... 42
2.7. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 44
3.4.2. Sampel ... 47
3.5. Metode Analisis Data ... 47
3.6. Definisi Operasional Variabel ... 48
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 51
4.1. Deskripsi Wilayah ... 51
4.1.1. Kondisi Geografis ... 51
4.1.2. Kondisi Demografis ... 53
4.1.3. Kondisi Sarana dan Prasarana ... 55
4.2. Deskripsi Responden ... 58
4.2.1. Umur Responden ... 58
4.2.2. Tingkat Pendidikan Responden ... 59
4.2.3. Jumlah Tanggungan Keluarga... 61
4.2.4. Pendapatan... 62
4.2.5. Pengeluaran ... 65
4.2.6. Status Kepemilikan Rumah ... 67
4.3. Faktor-faktor Kemiskinan Nelayan Tradisional ... 69
4.3.1. Faktor Kualitas Sumber Daya Manusia ... 70
4.3.2. Faktor Ekonomi ... 79
4.3.3. Faktor Hubungan Kerja Nelayan ... 91
4.3.4. Faktor Kelembagaan ... 98
4.4. Bentuk Kemiskinan Nelayan Tradisional... 107
4.4.1. Kemiskinan Natural ... 108
4.4.2. Kemiskinan Kultural ... 111
4.4.3. Kemiskinan Struktural ... 115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 121
5.1. Kesimpulan ... 121
5.2. Saran-saran ... 123
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1 Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kecamatan di Kabupaten
Aceh Barat Daya Tahun 2008... 8
4.1. Luas Desa Menurut Penggunaan Tanah di Desa Padang
Panjang Tahun 2007... 52
4.2. Jumlah Rumah Tangga Menurut Lapangan Usaha di Desa
Padang Panjang Tahun 2007... 54
4.3. Jumlah Bangunan Tempat Tinggal Penduduk Menurut Jenis
Dinding di Desa Padang Panjang Tahun 2007... 56
4.4. Jumlah Fasilitas Perdagangan dan Jasa di Desa Padang
Panjang Tahun 2007... 57
4.5. Karakteristik Responden Menurut Tingkat Umur di Desa
Padang Panjang Tahun 2009... 59
4.6. Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Desa
Padang Panjang... 60
4.7. Jumlah Tanggungan Rata-rata Keluarga Nelayan Tradisional
di Desa Padang Panjang... 62
4.8. Pendapatan Rata-rata Nelayan Tradisional Per Bulan di Desa
Padang Panjang... 63
4.9. Jumlah Rata-rata Pengeluaran Nelayan Tradisional Per Bulan
Menurut Jenis Konsumsi Barang dan Jasa... 66
4.10. Status Kepemilikan Rumah Nelayan Tradisional di Desa
Padang Panjang... 67
4.11. Lowongan Kerja di Propinsi NAD Menurut Tingkat
4.12. Penguasaan Ketrampilan Alternatif (Non Perikanan) Bagi
Nelayan Tradisional di Desa Padang Panjang... 74
4.13. Jumlah Nelayan Tradisional yang Mengikuti Pelatihan
di Desa Padang Panjang... 75
4.14. Jumlah Nelayan Tradisional yang Mempunyai Pekerjaan
Sampingan (Alternatif)... 77
4.15. Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Pemilikan Modal Usaha
di Desa Padang Panjang... 81
4.16. Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Kepemilikan Tabungan
di Desa Padang Panjang... 82
4.17. Jumlah Nelayan Tradisional yang Berhubungan dengan Bank
Perkreditan di Desa Padang Panjang... 83
4.18. Jumlah Nelayan Tradisional yang Tidak/Diberikan Pinjaman
Modal oleh Koperasi KPNR Susoh... 84
4.19. Kendala yang Ditemukan Oleh Nelayan Tradisional dalam
Memperoleh Pinjaman Modal dari Koperasi KPNR... 85
4.20. Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Kepemilikan Tanah
di Desa Padang Panjang ... 86
4.21. Jumlah Nelayan Tradisional yang Memiliki Tanah
Perkarangan di Desa Padang Panjang... 88
4.22. Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Sumber Pinjaman
Modal/Kebutuhan Keluarga di Desa Padang Panjang... 93
4.23. Sistem Bagi Hasil Antara Nelayan Tradisional dengan Pemilik
Modal di Desa Padang Panjang... 96
4.24. Sistem Bagi Hasil Nelayan Tradisional Pemilik Perahu dengan
Nelayan Penumpang di Desa Padang Panjang... 97
4.25. Peranan Koperasi KPNR Susoh dalam Memasarkan Hasil
4.26. Jumlah Nelayan Tradisional yang Pernah Menerima
Penyuluhan dari Badan Penyuluhan Perikanan di Desa Padang
Panjang... 103
4.27. Persyaratan yang Ditetapkan oleh Koperasi KPNR Kepada
Nelayan Tradisional untuk Meminjam Modal Usaha... 105
4.28. Jumlah Nelayan Pemilik Kapal, Toke Ikan dan Toke Bangku
yang Mendapat Pinjaman dari Koperasi KPNR Susoh... 107
4.29. Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Pemanfaatan Waktu
Senggang di Desa Padang Panjang... 112
4.30. Jumlah Nelayan Tradisional yang Mengkonsumsi Rokok
di Desa Padang Panjang... 114
4.31. Jumlah Nelayan Tradisional Menurut Keikutsertaan dalam
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1. : Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse... 22
2. : Skema Faktor-faktor Kemiskinan Nelayan Tradisional
(Dirangkum dari Berbagai Sumber)... 43
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. : Kuesioner Penelitian... 128
2. : Rekaman Kejadian (Moment Opname)... 135
3. : Data Penelitian... 141
4. : Foto Penelitian... 153
5. : Peta Kabupaten Aceh Barat Daya... 157
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan suatu proses yang terus-menerus dilaksanakan
melaui suatu perencanaan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat dalam berbagai
aspek. Dengan kata lain pembangunan merupakan suatu upaya perbaikan yang
dilakukan secara terus-menerus dari kondisi yang sebelumnya tidak baik menjadi
lebih baik.
Berbicara masalah pembangunan, fokus perhatian kita selama ini selalu
ditujukan kepada ukuran-ukuran kuantitatif seperti pertumbuhan Produk Domestik
Regional Bruto (PDRB), investasi, dan peningkatan pendapatan perkapita.
Keberhasilan suatu proses pembangunan pun sering diasumsikan sebagai
meningkatnya dan terjadinya redistribusi fisik dari membaiknya indikator-indikator
perekonomian di atas.
Pembangunan seharusnya merupakan arena untuk perluasan kebebasan
subtantif (subtantive freedom) bagi setiap orang. Artinya pembangunan
mengharuskan berbagai sumber non-kebebasan (non freedom sources) sudah
seharusnya disingkirkan, yakni kemiskinan dan tirani, minimnya peluang ekonomi
dan kemiskinan sosial sistematis, penelataran sarana umum dan intoleransi serta
Pandangan tersebut mengisyaratkan bahwa tantangan pembangunan adalah
memperbaiki kualitas kehidupan. Terutama di negara-negara yang paling miskin.
Kualitas hidup yang baik memang mensyaratkan adanya pendapatan yang lebih
tinggi, namun yang dibutuhkan bukan hanya itu. Pendapatan yang lebih tinggi itu
hanya merupakan salah satu dari kesekian banyak syarat yang harus dipenuhi.
Banyak hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya yang juga harus diperjuangkan,
yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan standar kesehatan dan
nutrisi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan lingkungan hidup, pemerataan
kesempatan, pemerataan kebebasan individual dan penyegaran kehidupan budaya
(Bank Dunia dalam Tadaro, 2000: 19).
Pembangunan yang kita lakukan sejak orde baru hingga menjelang krisis yang
menerpa Indonesia pada pertengahan tahun 1997 yang lalu telah menunjukkan hasil
yang sangat signifikan dengan tujuan pembangunan, di mana Indonesia dapat
dikatakan tergolong ke dalam negara yang berhasil dalam pembangunan. Selama
lebih dari tiga dekade, Indonesia telah mencatat prestasi yang mengesankan dalam
pembangunan manusia. Kemampuan dicapai di berbagai bidang, mulai dari
pengurangan kemiskinan, kesenjangan pendapatan hingga peningkatan harapan hidup
dan kemampuan membaca dan menulis. Angka kematian bayi misalnya, menurun
tajam sejalan dengan peningkatan akses terhadap sarana kesehatan dan sanitasi. Pada
periode yang sama juga terjadi peningkatan peranan perempuan, perbedaan rasio pria
dengan wanita di berbagai tingkat pendidikan semakin mengecil dan kontribusi
Akan tetapi keberhasilan pembangunan itu hanya berlangsung pada tiga
dekade itu saja. Keberhasilan pembangunan mulai kembali tidak dapat dirasakan oleh
segenap bangsa Indonesia, yaitu pada tahun 1997. Di mana pada tahun itu pula telah
terjadinya krisis ekonomi yang menyebabkan bangsa Indonesia kembali terperangkap
ke dalam kungkungan kemiskinan dan ketertinggalan dalam berbagai dimensi
kehidupan manusia.
Krisis ekonomi tersebut telah meningkatkan kembali jumlah penduduk miskin
di Indonesia secara drastis. Pada tahun 1998 jumlah penduduk miskin meningkat
menjadi 49,5 juta jiwa atau sekitar 24,2 persen dari seluruh penduduk. Dan pada
tahun 2004 jumlah penduduk miskin di Indonesia masih mencapai 36,2 juta jiwa atau
sekitar 16,7 persen dari seluruh penduduk (Kuncoro, 2006: 117).
Selanjutnya pada tahun 2004-2008, angka penduduk miskin di Indonesia
adalah: tahun 2005 sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97 persen. Kondisi ini memburuk
di tahun 2006 jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau 17,75
persen, yang disebabkan oleh tingginya tingkat inflasi dan kenaikan harga BBM.
Namun berangsur-angsur kondisi ini terus membaik. Jumlah penduduk miskin
di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen. jumlah
penduduk miskin sudah berkurang sebesar 2,21 juta jiwa dibandingkan dengan
jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2007, yang berjumlah 37,17 juta jiwa atau
Salah satu komunitas bangsa Indonesia yang teridentifikasi sebagai golongan
miskin saat ini adalah nelayan, di mana sedikitnya 14,58 juta jiwa atau sekitar 90
persen dari 16,2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis
kemiskinan (Martadiningrat dalam Antara, 2008: 1). Padahal negara Indonesia adalah
negara bahari yang pulau-pulaunya di kelilingi oleh lautan yang di dalamnya
mengandung berbagai potensi ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun
sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam jurang kemiskinan.
Di sisi lain nelayan mempunyai peran yang sangat substansial dalam
modernisasi kehidupan manusia. Mereka termasuk agent of development yang paling
reaktif terhadap lingkungan. Sifatnya yang lebih terbuka jika dibandingkan dengan
kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, menjadi stimulator untuk menerima
perkembangan peradaban yang lebih modern (Sudrajad, 2008: 2). Namun dalam
perkembangannya, justru nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti
sebagaimana kelompok masyarakat yang lain. Keberadaan mereka sebagai agent of
development ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya.
Malah nelayan menjadi persoalan sosial yang paling dominan dihadapi di daerah
pesisir oleh kemiskinannya.
Sejak krisis moneter mulai merambah ke berbagai pelosok wilayah
di Indonesia, salah satu golongan nelayan yang menerima efek langsung oleh krisis
tersebut adalah nelayan tradisional boleh dikatakan adalah kelompok masyarakat
sosial ekonomi yang datangnya tiba-tiba dan berkepanjangan (Sudarso, 2008: 1).
Sedangkan bila dilihat dari tempat tinggalnya, pada umumnya nelayan tradisional
berada dalam lingkungan sumberdaya laut yang kaya raya, namun mereka miskin.
Sehingga Sudjatmoko (1995: 47) menyatakan kemiskinan yang terjadi pada nelayan
tradisional adalah kemiskinan struktural.
Kusnadi (2002: 19) menyatakan kemiskinan yang diderita oleh masyarakat
nelayan bersumber dari faktor-faktor sebagai berikut:
Pertama; faktor alamiah, yakni yang berkaitan dengan fluktuasi musim-musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Kedua; faktor non-alamiah, yakni berhubungan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan, ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial tenaga kerja yang pasti, lemahnya penguasaan jaringan pemasaran dan belum berfungsinya lembaga koperasi nelayan yang ada serta dampak negatif kebijakan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abat terakhir.
Selanjutnya Kusnadi (2002: 2) menyatakan kesulitan untuk meningkatkan
kesejahteraan nelayan tradisional dipengaruhi oleh sejumlah faktor internal dan
eksternal. Adapun faktor-faktor tersebut adalah:
Faktor internal, yakni; 1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia; 2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; 3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh; 4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan; 5) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut; dan 6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan.
lingkungan; 5) penegakan hukum yang lemah terhadap perusak lingkungan; 6) terbatasnya teknologi pengolahan pasca panen;7) terbatasnya peluang kerja di sektor non perikanan yang tersedia di desa nelayan; 8) kondisi alam dan fluktuasi musim yang tidak memungkinkan nelayan melaut sepanjang tahun; dan 9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal dan manusia.
Kehidupan mereka sungguh memprihatinkan karena sebagai nelayan
tradisional yang tergolong ke dalam kelompok masyarakat miskin mereka seringkali
dijadikan objek ekploitatif oleh para pemilik modal. Harga ikan sebagai sumber
pendapatannya dikendalikan oleh para pemilik modal atau para pedagang/tengkulak,
sehingga distribusi pendapatan menjadi tidak merata. Gejala modernisasi perikanan
tidak banyak membantu bahkan membuat nelayan tradisional terpinggirkan, seperti
munculnya kapal tangkap yang berukuran besar dan teknologi moderen. Mereka
mampu menangkap ikan lebih banyak dibandingkan nelayan tradisional yang hanya
menggunakan teknologi tradisional.
Kehadiran lembaga ekonomi seperti koperasi belum sepenuhnya dapat
membantu peningkatan taraf hidup nelayan tradisional. Hal ini ditandai dengan tidak
adanya akses nelayan tradisional terhadap lembaga tersebut dalam memperoleh
modal usaha. Ditambah lagi dengan pendapatan mereka yang tidak menentu membuat
nelayan tergatung kepada pemilik modal yang tidak hanya sebatas kebutuhan modal
usaha dan alat produksi, malah sampai kepada biaya kebutuhan hidup keluarga
Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2000 penduduk miskin
berjumlah 1.101.368 jiwa atau 26,5 persen dari jumlah penduduk. Kemudian
kemiskinan di Aceh sedikit meningkat pasca terjadinya bencana alam tsunami, yakni
dari 28,4 persen pada tahun 2004 mencapai 32,6 persen pada tahun 2005. Selanjutnya
tingkat kemiskinan kembali menurun pada tahun 2006 hingga mencapai 26,5 persen,
lebih rendah dari tingkat kemiskinan sebelum tsunami, hal ini disebabkan oleh
adanya aktivitas rekonstruksi yang dilakukan oleh Badan Rekonstruksi dan
Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias, NGO dan lembaga sosial internasional lainnya.
Walaupun demikian, kemiskinan di Aceh tetap jauh lebih tinggi dibandingkan
wilayah-wilayah lain di Indonesia. Kemiskinan tingkat kabupaten menunjukkan
bahwa wilayah-wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi merupakan daerah yang
berada di pedalaman pedesaan dan kabupaten-kabupaten yang lebih terpencil,
sementara wilayah-wilayah sekitar Banda Aceh memiliki tingkat kemiskinan paling
rendah (Amsberg, 2008: 8).
Kabupaten Aceh Barat Daya sebagai salah satu kabupaten di Propinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, pada tahun 2008 mempunyai penduduk miskin
berjumlah 30.919 jiwa atau 23 persen dari jumlah penduduk (Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja, 2008). Persentase angka kemiskinan ini lumayan tinggi bila
dibandingkan dengan persentase angka rata-rata penduduk miskin di Indonesia pada
Salah satu kecamatan yang mempunyai jumlah penduduk miskin tertinggi
di Kabupaten Aceh Barat Daya adalah Kecamatan Susoh. Menurut Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kabupaten Aceh Barat Daya (2008), penduduk miskin di Kecamatan
Susoh pada tahun 2008 berjumlah 6.450 jiwa atau 37,11 persen dari jumlah
penduduk. Untuk memberikan informasi yang lebih jelas tentang angka-angka jumlah
penduduk miskin di masing-masing kecamatan dalam Kabupaten Aceh Barat Daya,
maka data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut ini:
Tabel 1.1 : Jumlah Penduduk Miskin Menurut Kecamatan di Kabupaten Aceh Barat Daya Tahun 2008
Kecamatan Jlh. Penduduk (Jiwa)
Jlh. Penduduk
Miskin (Jiwa) Persentase
Lembah Sabil 8.250 1.750 1
Manggeng 20.972 4.447 3
Tangan-Tangan 17.394 3.807 3
Setia 7.202 1.550 1
Sumber: Data Sekunder Tahun 2008
Desa Padang Panjang merupakan salah satu desa dalam Kecamatan Susoh
Kabupaten Aceh Barat Daya dengan jumlah penduduk 718 jiwa, yang terdiri dari 167
sebagai masyarakat miskin, dan dari 86 kepala keluarga tersebut di dalamnya terdapat
51 kepala keluarga nelayan tradisional (Propil Desa).
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan pada nelayan
tradisional di Desa Padang Panjang?
2. Apa bentuk kemiskinan yang terjadi pada nelayan tradisional di Desa Padang
Panjang?
1.3. Tujuan Penelitian
Dengan memperhatikan permasalahan dan latar belakang di atas, kemudian
dirumuskan beberapa tujuan penelitian seperti di bawah ini:
1. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kemiskinan nelayan tradisional di Desa
Padang Panjang.
2. Untuk mengetahui bentuk kemiskinan nelayan tradisional di Desa Padang
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi pemerintah hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan bagi
penyempurnaan kebijakan lanjutan di wilayah tersebut dan sebagai bahan
pertimbangan dalam menyusun kebijakan sejenis di wilayah lain.
2. Bagi akademisi dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan acuan untuk
melakukan penelitian lanjutan yang berkaitan dengan nelayan tradisional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kemiskinan
2.1.1. Pengertian dan Bentuk Kemiskinan
Kemiskinan merupakan fenomena sosial yang sering terjadi pada
negara-negara dunia ketiga. Kemiskinan ditandai dengan keterbelakangan dan
ketertinggalan, rendahnya produktivitas, selanjutnya meningkat menjadi rendahnya
pendapatan yang diterima. Hampir di setiap negara, kemiskinan selalu terpusat
di tempat-tempat tertentu, yaitu biasanya di pedesaan atau di daerah-daerah yang
kekurangan sumber daya.
Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian kemiskinan ada baiknya
memunculkan beberapa kosa kata standar dalam kajian kemiskinan sebagaimana
yang dikemukakan oleh Friedmann (1992: 89) adalah sebagai berikut:
1) Powerty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk “keranjang pangan” yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan protein utama yang paling murah.
2) Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif). Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh di bawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan (karitas/amal). Sedangkan relatif adalah kemiskinan yang eksis di atas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan kelompok non miskin berdasarkan income relatif.
4) Target population adalah kelompok orang tertentu yang dijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah. Mereka dapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni kampung kumuh perkotaan.
Selanjutnya Friedmann juga merumuskan kemiskinan sebagai minimnya
kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976.
Kebutuhan dasar menurut konferensi itu dirumuskan sebagai berikut:
1) Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan sebagainya).
2) Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan).
3) Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka.
4) Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia.
5) Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar.
Senada dengan itu Kuncoro (2006: 119) mendefinisikan “kemiskinan sebagai
ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum”. Selanjutnya Situmorang
(2008: 3), mendefinisikan “kemiskinan sebagai situasi serba kekurangan dari
penduduk yang terwujud dalam dan disebabkan oleh terbatasnya modal yang dimiliki,
rendahnya pengetahuan dan keterampilan, rendahnya produktivitas, rendahnya
pendapatan, lemahnya nilai tukar hasil produksi orang miskin dan terbatasnya
kesempatan berperan serta dalam pembangunan”. Seterusnya Supradin (2008: 15)
mendefinisikan “kemiskinan adalah seseorang yang tidak memiliki pekerjaan dan
Bagi mereka prioritas utama adalah pemenuhan kebutuhan primer berupa pangan dan
pakaian dengan kualitas rendah”. Sedangkan Kartasasmita (1996: 234)
mendefinisikan “kemiskinan sebagai masalah dalam pembangunan yang ditandai
dengan pengangguran dan keterbelakangan yang kemudian meningkat menjadi
ketimpangan pendapatan”.
Selanjutnya Kartasasmita menjelaskan, masyarakat miskin pada umumnya
lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi
sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih
tinggi.
Di samping itu kemiskinan dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk yang terdiri
dari: 1) Kemiskinan natural, 2) Kemiskinan kultural, dan 3) Kemiskinan struktural.
1) Kemiskinan natural
Kemiskinan natural disebabkan oleh karena tidak memiliki sumber daya yang
memadai baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam. Senada dengan itu
Nasikun (2001: 20) menyebutkan “kemiskinan natural lebih banyak disebabkan oleh
rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam. Pada kondisi
sumber daya manusia dan sumber daya alam lemah/terbatas, peluang produksi relatif
kecil atau tingkat efisiensi produksinya relatif rendah”.
Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996: 235) disebut
Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumber daya
alamnya atau daerah yang terisolir.
2) Kemiskinan kuktural
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh gaya hidup
seseorang atau kelompok masyarakat, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka
merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan serta budaya yang berlaku
pada suatu tempat. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak
berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan
merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah
menurut ukuran yang dipakai secara umum.
Selanjutnya Baswir (1997) dalam Bahri (2008: 14) mengatakan bahwa ia
miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya.
Senada dengan itu Suryawati (2005: 122) yang mengatakan kemiskinan kultural
mengacu kepada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh
faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas,
pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
Lebih lanjut Suryawati (2005: 127) menjelaskan pola hidup konsumtif pada
petani dan nelayan ketika panen raya, adat-istiadat yang konsumtif juga banyak
mewarnai masyarakat pedesaan seperti berbagai pesta rakyat atau upacara
perkawinan, kelahiran dan bahkan kematian yang dibiayai di luar kemampuan karena
3) Kemiskinan struktural
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor
struktur sosial masyarakat pada suatu wilayah tertentu. Kemiskinan struktural
biasanya terjadi dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam
antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan
kaya-raya. Mereka itu walaupun merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat,
dalam realitanya tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki
nasib hidupnya. Sedangkan minoritas kecil masyarakat yang kaya raya biasanya
berhasil memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan
politik (Mubyarto, 1995: 59).
Selanjutnya Sudarso (2008: 2) mendefinisikan “kemiskinan struktural sebagai
kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial
masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka”. Dengan demikian kemiskinan struktural dapat
diartikan sebagai suasana yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebabnya
bersumber pada struktur sosial yang berlaku dalam masyarakat miskin itu sendiri.
Sehingga mereka secara turun-temurun terkurung dalam suasana kemiskinan selama
bertahun-tahun.
Sedangkan Sumodiningrat (1998) dalam Bahri (2008: 14) mengatakan bahwa:
keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang”.
Selanjutnya Kartasasmita (1996: 236) mengatakan hal ini disebut dengan
“accidental poverty”, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan
tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Sudarso (2008: 3) menyebutkan ciri utama dari kemiskinan struktural adalah:
“Yang miskin akan tetap hidup dengan kemiskinannya dan yang kaya akan tetap menikmati kekayaannya. Struktur sosial yang berlaku telah melahirkan berbagai corak rintangan yang menghalangi mereka untuk maju. Seperti halnya kelemahan ekonomi tidak memungkinkan mereka memperoleh pendidikan yang berarti agar bisa melepaskan diri dari kemelaratan. Sedangkan ciri lain dari kemiskinan struktural adalah timbulnya ketergantungan yang kuat pihak si miskin terhadap kelas sosial ekonomi di atasnya. Seperti halnya buruh tidak punya kemampuan untuk menetapkan upah dan pedagang kecil tidak bisa mendapatkan harga yang layak atas barang yang mereka jual”.
2.1.2. Ciri-ciri Masyarakat Miskin
Salim (1984: 42) menyatakan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan
memiliki beberapa ciri-ciri sebagai berikut:
“Pertama; mereka pada umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri
secara turun-temurun mereka terjerat dalam keterbelakangan di bawah garis kemiskinan ini. Keempat; kebanyakan mereka tinggal di pedesaan. Banyak diantara mereka yang tidak memiliki tanah, kalaupun ada maka kecil sekali. Umumnya mereka menjadi buruh tani atau pekerja kasar di luar pertanian. Karena pertanian bekerja dengan musiman, maka kesinambungan kerja kurang terjamin. Banyak diantara mereka lalu menjadi “pekerja bebas” (self
employed) berusaha apa saja. Dalam keadaan penawaran tenaga kerja yang
besar maka tingkat upah menjadi rendah sehingga mengurung mereka di bawah garis kemiskinan. Kelima; banyak diantara mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak punya ketrampilan (skill) atau pendidikan.
Selanjutnya Suryawati (2005: 6) menyabutkan ciri-ciri kelompok (penduduk)
atau masyarakat miskin adalah:
“1) rata-rata tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja dan ketrampilan; 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah; 3) kebanyakan bekerja atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur atau menganggur (tidak bekerja); 4) kebanyakan berada di pedesaan atau daerah tertentu perkotaan (slum area); dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh (dalam jumlah yang cukup) bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi dan kesejahteraan sosial lainnya”.
Senada dengan itu Prayitno (1988: 32) mengemukakan ciri penduduk miskin
sebagai berikut: 1) umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah,
modal, ketrampilan yang rendah, dan pendapatan yang rendah; 2) mengalami
kesulitan dalam akses produksi; 3) tingkat pendidikan umumnya rendah; 4) umumnya
adalah petani pekerja, atau pekerja kasar di sektor pertanian.
Situmorang (2008: 11), ciri-ciri masyarakat miskin secara umum ditandai oleh
ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness)dalam hal:
3) menjangkau akses sumber daya sosial ekonomi; 4) menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistik; dan 5) membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah”.
Badan Pusat Statistik menyebutkan ciri-ciri masyarakat miskin kedalam 14
(empat belas) kriteria, yaitu:
“1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang; 2) Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan; 3) Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplaster; 4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain; 5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik; 6) Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan minyak tanah; 7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari menggunakan kayu bakar/arang/minyak tanah; 8) Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu; 9) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam satu tahun; 10) Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam satu hari; 11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di Puskesmas; 12) Lapangan pekerjaan utama Kepala Rumah Tangga Petani dengan luas lahan 0,5 ha/buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah Rp. 600.000.- (enam ratus ribu rupiah); 13) Pendidikan tertinggi Kepala Rumah Tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD; dan 14) Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,-.
Ciri-ciri kemiskinan berbeda antar wilayah, di mana perbedaan ini terkait pada
kemiskinan sumber daya alam, sumber daya manusia dan kelembagaan setempat.
Oleh karena adanya perbedaan tersebut, maka dalam upaya penanggulangan
kemiskinan di daerah-daerah perlu terlebih dahulu digali penyebab dan ciri-ciri dari
kemiskinan masing-masing daerah. Sehingga program yang diluncurkan tepat
2.1.3. Indikator Kemiskinan
Menurut Suryawati (2005: 124) menyatakan ada beberapa metode pengukuran
tingkat kemiskinan yang dikembangkan di Indonesia, yaitu:
a. Biro Pusat Statistik (BPS). Tingkat kemiskinan didasarkan kepada jumlah rupiah
konsumsi berupa makanan yaitu kurang dari 2100 kalori per orang per hari (dari
52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk yang berada
di lapisan bawah), dan konsumsi non makanan (dari 45 jenis komoditi makanan
sesuai kesepakatan nasional dan tidak dibedakan antara wilayah pedesaan dan
perkotaan).
b. Sajogyo. Tingkat kemiskinan didasarkan jumlah rupiah pengeluaran rumah
tangga yang disetarakan dengan jumlah kilogram konsumsi beras per orang per
tahun dan dibagi wilayah pedesaan dan perkotaan.
Daerah pedesaan:
a) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 320 kg nilai tukar
beras per orang per tahun.
b) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 240 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
c) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 180 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
Daerah perkotaan:
a) Miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 480 kg nilai tukar
b) Miskin sekali: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 380 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
c) Paling miskin: bila pengeluaran keluarga lebih kecil dari pada 270 kg nilai
tukar beras per orang per tahun.
c. Bank Dunia mengukur garis kemiskinan berdasarkan pada pendapatan seseorang
kurang dari US$ 1 per hari.
2.1.4. Faktor-faktor Kemiskinan
Kemiskinan bukanlah suatu hal yang dikehendaki, akan tetapi lebih
diakibatkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang menyebabkan orang terjebak ke
dalam jurang kemiskinan, baik itu berupa faktor alamiah maupun faktor buatan
manusia itu sendiri.
Tidak semua orang sependapat dalam memberi jawaban atas sebab dari
kemiskinan. Secara umum banyak orang mengatakan bahwa penyebab kemiskinan
adalah karena kemalasan, gaya hidup boros tidak memikirkan masa depan, pasrah
pada keadaan, tidak punya keinginan untuk hidup lebih baik dan berbagai sikap yang
tidak bertanggung jawab lainnya. Kemiskinan merupakan konsekuensi dari hidup
yang penuh dengan persaingan, sehingga hanya yang kuatlah yang berhasil
melepaskan diri dari kungkungan kemiskinan. Artinya mereka-mereka yang
mempunyai akses terhadap modal, pengetahuan, penguasaan teknologi dan
informasilah yang berhasil dalam persaingan tersebut.
Hardiman dan Midgley (1982) dalam Kuncoro (2006: 119) mengatakan
Perang Dunia ke II memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian negara
tersebut sebagai akar permasalahannya”.
Selanjutnya Sharp, et,al (1996) dalam Kuncoro (2006: 120) mengatakan
penyebab kemiskinan bila diidentifikasikan berdasarkan sudut pandang ekonomi
adalah:
Pertama; secara mikro, kemiskinan muncul karena ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya, yang menimbulkan kontribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua; kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber daya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung adanya diskrimanasi. Ketiga; kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurske dalam Kuncoro
(2006: 120) ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan
kemiskinan. Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar dan kurangnya
modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas,
mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan
akan berimplikasi kapada rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi
berakibat kepada keterbelakangan, dan seterusnya. Logika berfikir Nurkse tersebut
Gambar 1. Lingkaran Setan Kemiskinan Versi Nurkse (Kuncoro, 2006: 120)
Kartasasmita (1996) dalam Yenny (2006: 16) mengemukakan empat faktor
penyebab kemiskinan. Faktor tersebut adalah: 1) rendahnya taraf pendidikan;
2) rendahnya taraf kesehatan; 3) terbatasnya lapangan kerja; dan 4) kondisi
keterisolasian.
Asnawi (1994) dalam Yenny (2006: 17) menyatakan suatu keluarga menjadi
miskin disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: 1) faktor sumber daya manusia; 2) faktor
sumber daya alam; dan faktor teknologi. Sumber daya manusia ditentukan oleh
tingkat pendidikan, dependensi ratio, nilai sikap, partisipasi, ketrampilan pekerjaan,
dan kesemuanya itu tergantung kepada sosial budaya masyarakat itu sendiri.
Selanjutnya Sigit (1993: 11) menjelaskan kesehatan yang baik, pendidikan
dan ketrampilan yang tinggi akan dapat meningkatkan produktivitas dan selanjutnya Ketidaksempurnaan pasar,
Keterbelakangan, ketertinggalan
Kekurangan Modal
Produktivitas Rendah
Pendapatan Rendah Tabungan
Rendah Investasi
akan dapat pula meningkatkan pendapatan. Selain itu tingkat pendapatan juga
ditentukan oleh penguasaan aset produksi.
Sejalan dengan itu, dalam hal tingkat pendidikan khususnya bagi nelayan
tradisional, untuk bekal kerja mencari ikan di laut latar pendidikan seseorang nelayan
memang tidak penting. Artinya karena pekerjaan sebagai nelayan merupakan
pekerjaan kasar yang lebih banyak mengandalkan otot dan pengalaman, maka
setinggi apapun tingkat pendidikan nelayan itu tidaklah memberikan pengaruh
terhadap kecakapan mereka dalam melaut. Persoalan dari arti penting tingkat
pendidikan ini biasanya baru mengedepan jika seorang nelayan ingin berpindah ke
pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Dengan pendidikan yang rendah, jelas kondisi
itu akan mempersulit nelayan tradisional memilih atau memperoleh pekerjaan lain
selain menjadi nelayan (Kusnadi 2002: 30).
Berkaitan dengan penguasaan ketrampilan alternatif yang dimiliki oleh
nelayan, Sudarso (2008: 7) menyatakan “akibat tidak memiliki ketrampilan yang
memadai juga karena tidak dimilikinya aset produksi yang cukup, maka upaya untuk
mencari pekerjaan baru bagi seorang nelayan tradisional yang miskin jelas bukan hal
yang mudah dilakukan”.
Seterusnya Salim (1984: 40) menyatakan bahwa kemiskinan tersebut melekat
atas diri penduduk miskin, mereka miskin karena tidak memiliki aset produksi dan
kemampuan untuk meningkatkan produktivitas. Mereka tidak memiliki aset produksi
karena mereka miskin, akibatnya mereka terjerat dalam lingkaran kemiskinan tanpa
berpendapat bahwa kemiskinan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain:
1) sumber daya alam yang rendah; 2) teknologi dan unsur pendukung yang rendah;
3) sumber daya manusia yang rendah; dan 4) sarana dan prasarana termasuk
kelembagaan yang belum baik.
Sedangkan bagi masyarakat pasisir, para pakar ekonomi sumber daya melihat
kemiskinan masyarakat pesisir, khususnya nelayan lebih banyak disebabkan karena
faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait karakteristik sumber daya serta teknologi
yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat sehingga nelayan tetap
dalam kemiskinannya.
Subade dan Abdullah (1993) dalam Bengen (2001: 18) “mengajukan argumen
lain yaitu bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya
opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi, adalah
kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang
dapat diperoleh selain menangkap ikan”. Dengan kata lain, opportunity cost adalah
kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap
ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan
usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien.
Panayotou (1982) dalam Bengen (2001: 18) “mengatakan bahwa nelayan tetap
mau tinggal dalam kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu
(preference for a particular way oflife)”. Pendapat Panayotou ini dikalimatkan oleh
Subade dan Abdullah (1993) dalam Bengen (2001: 18) dengan menekankan bahwa
menangkap ikan dan bukan berlaku sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi
pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang
terjadi dengan keadaannya, hal tersebut tidak dianggap sebagai masalah baginya”.
Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan
orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan
bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu.
Selanjutnya Kusnadi (2002: 19) pengalaman selama ini telah menunjukkan
bahwa tidak mudah mengatasi kemiskinan yang membelenggu nelayan tradisional
di berbagai segi kehidupan. Kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan
tradisional disebabkan oleh sejumlah faktor kelemahan, yaitu:
Pertama, sebab-sebab kemiskinan nelayan yang bersifat internal yang mencakup; 1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia nelayan; 2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi penangkapan; 3) hubungan kerja dalam organisasi penangkapan yang seringkali kurang menguntungkan buruh; 4) kesulitan melakukan diverifikasi usaha penangkapan; 5) ketergantungan yang sangat tinggi terhadap okupasi melaut; dan 6) gaya hidup yang dipandang boros, sehingga kurang berorientasi ke masa depan.
2.2. Pendapatan
Salah satu tujuan kebijakan ekonomi adalah menciptakan kemakmuran bagi
masyarakat. Sedangkan salah satu ukuran kemakmuran itu adalah pendapatan, karena
kemakmuran itu sendiri tercipta dengan adanya kegiatan yang menghasilkan
pendapatan. Secara hirarki pendapatan dapat diurut mulai dari Pendapatan Nasional,
Pendapatan Regional, Pendapatan Perkapita dan Pendapatan Personal.
Pendapatan Nasional merupakan balas jasa atas seluruh faktor produksi yang
digunakan. Artinya pendapatan nasional merupakan hasil akumulasi dari berbagai
faktor produksi dalam dan luar negeri yang menghasilkan pendapatan negara. Angka
pendapatan nasional dapat diturunkan dari angka Produk Nasional Neto. Untuk
mendapatkan angka pendapatan nasional dari Produk Nasional Neto, dilakukan
melalui pengurangan Produk Nasional Neto dengan angka pajak tidak langsung dan
ditambah dengan angka subsidi (Rahardja, 2008: 236).
Pendapatan Regional adalah tingkat (besarnya) pendapatan masyarakat pada
suatu wilayah yang dapat diukur dari total pendapatan wilayah maupun pendapatan
rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Dalam menginterpretasikan makna dari
pendapatan regional sering menimbulkan persepsi yang keliru. Di mana sebagian
masyarakat awam beranggapan bahwa besarnya nilai produksi suatu wilayah adalah
identik dengan besarnya pendapatan masyarakat di wilayah tersebut. Hal ini tidak
benar karena yang menjadi pendapatan untuk masyarakat setempat hanyalah yang
bersifat nilai tambah dari kegiatan produksi tersebut. Kemudian nilai tambah inilah
pendapatan itu dinikmati oleh masyarakat setempat. Nilai tambah merupakan hasil
pengurangan dari nilai produksi dengan biaya antara. Sedangkan biaya antara adalah
biaya yang dipakai dari sektor lain atau pihak ketiga untuk menghasilkan produksi
(Tarigan, 2007: 13-14).
Selanjutnya Tarigan (2007: 21) menjelaskan “Pendapatan Perkapita adalah
total pendapatan suatu daerah dibagi jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun
yang sama”. Angka yang dipergunakan dalam pendapatan perkapita adalah
pendapatan regional dibagi dengan jumlah penduduk atau juga disebut dengan total
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga pasar, dan harga dibagi
dengan jumlah penduduk. Di mana angka pendapatan perkapita dapat dinyatakan
dalam harga berlaku maupun dalam harga konstan, tergantung kepada kebutuhan.
Seterusnya Rahardja (2008: 237), menyebutkan “Pendapatan Personal adalah
bagian pendapatan nasional yang merupakan hak individu-individu dalam
perekonomian sebagai balas jasa keikutsertaan mereka dalam proses produksi”.
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa untuk memperoleh angka pendapatan personal dari
pendapatan nasional, maka laba perusahaan yang tidak dibagikan (retained earning)
harus dikurangkan, sebab laba yang tidak dibagikan merupakan hak perusahaan.
Selain laba tidak dibagikan, pembayaran-pembayaran asuransi sosial (social
ansurence payment) juga harus dikurangkan. Kedua ukuran ini belum memberikan
informasi yang sebenarnya tentang pendapatan personal, sebab pendapatan personal
bukan saja diterima karena balas jasa atas kesediaan bekerja (gaji/upah) ataupun
bunga yang diterima dari pemerintah dan konsumen (personal interest income
received from goverment and consumers) dan pendapatan non balas jasa (transfer
payment).
Secara lebih rinci sumber-sumber pendapatan personal menurut Tarigan (2007:
14-15) dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Gaji dan upah; Gaji dan upah adalah balas jasa yang dibayarkan oleh pemerintah yang bekerja pada suatu organisasi pemerintah yang nilainya telah ditetapkan berdasarkan peraturan yang berlaku dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan Upah merupakan balas jasa yang dibayarkan kepada para pekerja sesuai dengan prestasi. Di mana Gaji/Upak tersebut merupakan pendapatan bagi pegawai dan pekerja.
2) Laba atau keuntungan; Laba atau keuntunganadalah total nilai penjualan dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Laba merupakan pendapatan bagi pengusaha.
3) Sewa tanah; Sewa tanah adalah sewa tanah diperhitungkan karena memberikan pendapatan pada pemilik tanah. Jika petani memiliki lahan sendiri berarti dia tidak mengeluarkan biaya sewa tetapi labanya akan meningkat. Perlu diingat bahwa sewa tanah yang dihitung adalah yang dibayarkan, sedangkan sewa tanah yang diterima karena menyewakan tanah, nilai tambahnya akan terlihat pada laba. Hal ini juga berlaku untuk alat-alat yang disewa apabila kegiatan penyewaan alat bukan merupakan sektor tersendiri. Dengan demikian apakah petani itu memiliki lahan sendiri atau dia menyewa lahan, hal ini tidak mengubah total nilai tambah, hanya saja orang yang menikmatinya bisa beda.
4) Bunga uang; Bunga uang adalah pendapatan bagi pemilik modal karena meminjamkan uangnya untuk ikut serta dalam proses produksi. Perlu diingat bahwa bunga yang dihitung adalah yang dibayarkan, sedangkan bunga yang diterima karena membungakan uang, nilai tambahnya terlihat pada laba. Apabila petani tidak meminjam uang dalam berusaha (menggunakan modal sendiri) sehingga tidak membayar bunga maka labanya akan meningkat. Jika petani itu meminjam uang dan harus membayar bunga, labanya akan menurun. Akan tetapi, ada orang lain yang memperoleh pendapatan (dalam jumlah yang sama dengan penurunan laba), yaitu pemilik modal. Dengan demikian apakah investor memilki modal sendiri atau dia meminjam modal, hal itu tidak total mengubah nilai tambah hanya saja orang yang menikmatinya bisa berbeda.
input yang diberikan, misalnya dalam bentuk tunjangan sosial bagi para penganggur, jaminan sosial bagi orang-orang miskin dan berpendapatan rendah.
2.3. Nelayan
2.3.1. Pelapisan Sosial Nelayan
Penggolongan sosial dalam masyarakat nelayan menurut Kusnadi (2002: 17)
pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yakni:
Pertama, dari segi penguasaan alat produksi atau peralatan tangkap (perahu, jaring dan perlengkapan yang lain), struktur masyarakat nelayan terbagi dalam kategori nelayan pemilik (alat-alat produksi) dan nelayan buruh. Nelayan buruh tidak memiliki alat-alat produksi dan dalam kegiatan sebuah unit perahu, nelayan buruh hanya menyumbangkan jasa tenaganya dengan memperoleh hak- hak yang sangat terbatas.
Kedua, ditinjau dari tingkat skala investasi modal usahanya, struktur masyarakat nelayan terbagi kedalam kategori nelayan besar dan nelayan kecil. Nelayan, disebut sebagai nelayan besar karena jumlah modal yang diinvestasikan dalam usaha perikanan relatif banyak, sedangkan pada nelayan kecil justru sebaliknya.
Ketiga, dipandang dari tingkat teknologi peralatan tangkap yang digunakan, masyarakat nelayan terbagi ke dalam kategori nelayan modern dan nelayan tradisional. Nelayan-nelayan modern menggunakan teknologi penangkapan yang lebih canggih dibandingkan dengan nelayan tradisional.
Susunan masyarakat nelayan baik secara horizontal maupun vertikal sangat
dipengaruhi oleh organisasi penangkapan ikan dan tingkat pendapatan yang dicapai.
Posisi semakin strategis dalam organisasi kerja nelayan dan semakin besar
pendapatan, semakin besar pula kemungkinan menempati posisi yang tinggi dalam
stratifikasi sosial. Pendapatan semakin kecil dan semakin tidak strategis peranan
dalam organisasi penangkapan ikan, maka semakin rendah pula posisi dalam
posisi yang lebih tinggi dari pada nelayan pandega, demikian juga juragan darat akan
menempati posisi yang lebih tinggi dari pada juragan laut (Masyhuri, 1996: 47).
Menurut Wahyuningsih dkk (1997: 33) masyarakat nelayan dapat dibagi tiga
jika dilihat dari sudut pemilikan modal, yaitu:
1) Nelayan juragan. Nelayan ini merupakan nelayan pemilik perahu dan alat penangkap ikan yang mampu mengubah para nelayan pekerja sebagai pembantu dalam usahanya menangkap ikan di laut. Nelayan ini mempunyai tanah yang digarap pada waktu musim paceklik. Nelayan juragan ada tiga macam yaitu nelayan juragan laut, nelayan juragan darat yang mengendalikan usahanya dari daratan, dan orang yang memiliki perahu, alat penangkap ikan dan uang tetapi bukan nelayan asli, yang disebut tauke (toke) atau cakong;
2) Nelayan pekerja, yaitu nelayan yang tidak memiliki alat produksi dan modal, tetapi memiliki tenaga yang dijual kepada nelayan juragan untuk membantu menjalankan usaha penangkapan ikan di laut. Nelayan ini disebut juga nelayan penggarap atau sawi (awak perahu nelayan). Hubungan kerja antara nelayan ini berlaku perjanjian tidak tertulis yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu. Juragan dalam hal ini berkewajiban menyediakan bahan makanan dan bahan bakar untuk keperluan operasi penangkapan ikan, dan bahan makanan untuk dapur keluarga yang ditinggalkan selama berlayar. Hasil tangkapan di laut dibagi menurut peraturan tertentu yang berbeda-beda antara juragan yang satu dengan juragan lainnya, setelah dikurangi semua biaya operasi;
3) Nelayan pemilik merupakan nelayan yang kurang mampu. Nelayan ini hanya mempunyai perahu kecil untuk keperluan dirinya sendiri dan alat penangkap ikan sederhana, karena itu disebut juga nelayan perorangan atau nelayan miskin. Nelayan ini tidak memiliki tanah untuk digarap pada waktu musim paceklik (angin barat).
Berdasarkan teknologi penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan,
orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi Satria (2002: 28-29)
menggolongkan nelayan ke dalam empat kelompok yaitu:
Kedua; post-peason fisher dengan berkembangnya motorisasi perikanan, nelayanpun berubah dari peasant-fisher menjadi post-peasant fisher yang dicirikan dengan penggunaan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju atau modern. Meski mereka masih beroperasi di wilayah pesisir, tetapi daya jelajahnya lebih luas dan memiliki surplus untuk diperdagangkan di pasar;
Ketiga; commersial-fisher, yakni nelayan yang telah berorientasi pada peningkatan keuntungan. Skala usahanya telah besar, yang dicirikan dengan banyaknya jumlah tenaga kerja dengan status yang berbeda dari buruh hingga manajer. Teknologi yang dipergunakan lebih modern dan membutuhkan keahlian tersendiri dalam pengoperasian kapal maupun alat tangkapnya;
Keempat; industrial fisher yang memiliki ciri-ciri: 1) diorganisasi dengan cara-cara yang mirip dengan perusahaan agro industri di negara maju; 2) lebih padat modal; 3) memberikan pendapatan yang lebih tinggi dari pada perikanan sederhana; dan 4) menghasilkan produk ikan kaleng dan ikan beku yang berorientasi ekspor. Nelayan berskala besar ini umumnya memiliki organisasi kerja yang kompleks dan benar-benar berorientasi pada keuntungan.
Sudarso (2008: 1) menyatakan “Nelayan tradisional adalah nelayan yang
memanfaatkan sumber daya perikanan dengan peralatan tangkap tradisional, modal
usaha yang kecil dan organisasi penangkapan yang relatif sederhana. Dalam
kehidupan sehari-hari nelayan tradisional lebih berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan sendiri”. Dalam arti hasil yang dijual lebih banyak dipergunakan untuk
memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari, khususnya pangan dan bukan diinvestasikan
kembali untuk pengembangan skala usaha.
Selanjutnya Sudarso (2008: 3) menyebutkan usaha nelayan tradisional
mempunyai cicri-ciri yang sangat spesifik bila dibandingkan dengan nelayan lainnya,
yaitu:
Sejalan dengan itu Aldwin (2009: 194) menyatakan secara umum perahu
penangkapan ikan nelayan tradisional dicirikan oleh sebagai berikut:
“Berbahan kayu, ada yang menggunakan motor tempel, juga yang menggunakan layar sebagai pengganti motor tempel, panjang antara 5-8 meter, lebar 1-2 meter, awak perahu 1-5 orang, kecepatan jelajah terbatas, ada yang menggunakan lampu badai (petromak) sebagai pengganti listrik, serta hanya mampu beroperasi di perairan sekitarnya”.
Ukuran modernisasi nelayan sendiri sebetulnya bukan semata-mata karena
menggunakan motor untuk menggerakkan perahu, melainkan juga pada besar
kecilnya motor yang digunakan serta tingkat eksploitasi dari alat tangkap yang
digunakan. Selain itu wilayah tangkap juga menentukan ukuran modernitas suatu alat.
Teknologi penangkapan ikan yang modern akan cenderung memiliki kemampuan
jelajah sampai di lepas pantai (of shore), sebaliknya untuk nelayan tradisional
wilayah tangkapnya hanya sebatas perairan pentai (in-shore), (Sudarso, 2008: 6).
2.3.2. Hubungan Kerja Nelayan
Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk saling berhubungan antar
sesamanya di dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Karena manusia tidak dapat
berdiri sendiri tanpa harus melakukan interaksi antara satu sama lainnya. Di mana
dasar hubungan tersebut adalah dilakukan atas adanya kesadaran untuk saling
mengenal, saling mengakui, dan saling berbuat. Sehingga terjalinlah suatu hubungan
baik berbentuk vertikal maupun horizontal atau yang dikenal dengan jalinan sosial.
Sejalan dengan itu Kusnadi (2002: 23) menyatakan jalinan sosial antar nelayan
membentuk pola hubungan yang dapat dijabarkan secara horizontal dan vertikal. Pola
afinitas. Pola tersebut menggambarkan bahwa individu-individu akan lebih kuat
berinteraksi jika antara satu dengan yang lain tidak mengalami kesenjangan sosial
ekonomi yang terlalu lebar. Sedangkan pola vertikal tergambar dalam interaksi
nelayan yang membentuk pola hubungan patron-klien yang umum terjadi antara
nelayan kaya (juragan) dan tengkulak dengan nelayan miskin (buruh). Pola vertikal
terbentuk karena ada ketergantungan ekonomi antara buruh dan juragan maupun
tengkulak.
Hubungan patron-klien banyak ditemukan di kehidupan petani proletar.
Patron-klien melibatkan hubungan antara seorang individu dengan status sosial
ekonomi lebih tinggi (patron) yang menggunakan pengaruh dan sumber dayanya
untuk menyediakan perlindungan dan keuntungan bagi seseorang dengan status lebih
rendah (klien). Khusus untuk nelayan tradisional Aldwin (2009: 187) menjelaskan
patron adalah toke ikan atau toke perahu yang lazim disebut dengan nelayan kaya.
klien adalah nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya kepada toke ikan
atau toke-toke perahu terutama saat laut pasang, sehingga mereka tidak boleh melaut.
Selama masa menganggur itulah toke ikan atau toke perahu tetap menjamin
kehidupan sehari-hari para nelayan tradisional dan keluarganya.
Pola hubungan kerja di antara unit alat tangkap akan menentukan pola bagi
hasil. Hasil penerimaan bersih dalam sistem bagi hasil, dibagi menjadi dua yaitu 50%
untuk pemilik perahu dan 50% bagian pandega. Bagi hasil ini diperoleh dari
penerimaan kotor yang telah dikurangi dengan retribusi, biaya operasi dan perawatan
turut melaut, sehingga penerimaan pandega tergantung dari jumlah tenaga kerja yang
digunakan. Penerimaan yang diperoleh pandega pada satu unit alat tangkap akan
semakin kecil jika tenaga kerja yang bekerja semakin banyak. Bagian pandega ini
tetap 50%, berapapun jumlah pandega yang bekerja (Purwanti, 1994: 67). Dalam hal
ini nelayan pemilik memperoleh bagian lebih besar dari pada nelayan buruh dalam
sistem bagi hasil. Bagi hasil ini berlaku pada setiap tingkat skala usaha penangkapan,
bahkan dalam unit penangkapan modern, tingkat kesenjangan perolehan pendapatan
antara nelayan pemilik dengan nelayan buruh sangat besar. Tingkat pendapatan yang
diperoleh nelayan buruh semakin kecil karena biaya operasi dan pemeliharaan
peralatan tangkap cukup besar. Biaya tersebut harus ditanggung bersama antara
nelayan pemilik dan nelayan buruh.
Nelayan, khususnya yang tradisional, mempunyai perilaku yang khas dalam
menjalankan usahanya, yakni perilaku yang mengutamakan “pemerataan resiko“
usaha. Perilaku tersebut terbentuk sebagai hasil adaptasi terhadap usaha penangkapan
ikan yang beresiko tinggi dan pola pendapatan yang tidak teratur. Perilaku adaptif
tersebut, setelah melalui proses waktu, melembaga dalam bentuk institusi, dan
merupakan bagian dari kebudayaan nelayan. Institusi-institusi yang dimaksud, yang
merupakan aspek penting dalam pemberdayaan, adalah pola pemilikan kelompok atas
sarana produksi dan sistem bagi hasil. Pola pendapatan nelayan tidak teratur
menyebabkan perilaku mengutamakan pemerataan resiko tetap bertahan (Masyhuri,