PNEUMOCYSTIS CARINII PNEUMONIA
SUATU INFEKSI OPORTUNISTIK
disusun oleh :
SUNNA VYATRA HUTAGALUNG 132317264
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Abstract :
Pneumocystis carinii pneumonia is an opportunistic infection occurs in
immunosuppressed populations. Pneumocystis carinii pneumonia is caused by
Pneumocystis jiroveci, an organism with characteristic structures resembles to protozoa
and also sensitive to anti parasite drugs. But later on, based on the reseach for the
molecular biology of the RNA, Pneumocystis jiroveci then categorized as a fungi with
close-relation to Askomikotina. Transmission is assumed by respiratory droplet
infection, with the cyst form as the infective stage to human. The disease has become
increasingly recognized worldwide with the epidemic of AIDS. Since the onset of the
disease is fast and sometimes overlooked in immunocompromized patients, the prognosis
is poor due to the respiratory failure which leads to mortality.
Keywords : Pneumocystis carinii pneumonia, Pneumocystis jiroveci, opportunistic
infection, immunocompromized.
Definisi & Etiologi
Pneumocystis carinii pneumonia (selanjutnya disebut PCP) merupakan infeksi pada paru
yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis carinii, sekarang dikenal dengan nama
Pneumocystis jiroveci, sebagai tanda penghormatan kepada ahli parasitologi
berkebangsaan Cechnya; Otto Jirovec. Organisme ini pertama kali ditemukan oleh
Chagas (1909). Pada tahun 1915 Carini dan Maciel menemukan organisme ini pada paru
guinea pig, awalnya diduga sebagai salah satu tahap dalam siklus hidup Trypanosoma
cruzi. Pada tahun 1942, Meer dan Brug pertama kali menyatakan bahwa organisme ini
merupakan salah satu jenis parasit yang patogen pada manusia. Baru pada tahun 1952
Vanek bekerjasama dengan Otto Jirovec menggambarkan siklus paru dan patologi dari
penyakit yang kemudian dikenal sebagai “parasitic pneumonia” atau “pneumonia sel
plasma interstisial (interstitial plasma cell pneumonia)” ini. Sekarang penyakit ini
merupakan infeksi oportunis berbahaya yang paling sering terjadi pada pasien AIDS
(1,2,3,4,5)
Taksonomi
Masih ada perbedaan pendapat mengenai taksonomi Pneumocystis jiroveci. Pada
awalnya sebagian besar peneliti memasukkan Pneumocystis jiroveci dalam golongan
protozoa, apalagi sejak Wenyon mengklasifikasikannya ke dalam sub klas
Coccidiomorpha , klas Sporozoa dari protozoa. Penggolongan ke dalam protozoa ini
dikarenakan karakteristik strukturnya yang menyerupai Toksoplasma gondii dan sensitif
terhadap preparat obat anti parasit, antara lain pentamidin isethionat, pirimetamin,
sulfadiazine, trimetoprim + sulfametoksazol (Gajdusek, 1957; Frenkel et al., 1966; Ham
et al., 1971). Hal ini diperkuat oleh Yoneda et al. (1982) yang berdasarkan
pemeriksaannya dengan mikroskop elektron dan “freeze fracture microscopy”
memastikan bahwa Pneumocystis jiroveci adalah suatu protozoa.
Namun studi terbaru berdasarkan penelitian biologi molekuler asam nukleat RNA
ribosom dan biokimianya, Pneumocystis jiroveci dimasukkan ke dalam golongan fungus
(= jamur) yang berhubungan erat dengan Askomikotina (1,5,6,7,8).
Tbl 1. Nomenklatur terbaru Pneumocystis jiroveci, dikutip dari Wikipedia.
Kingdom: Fungi
Distribusinya luas di seluruh dunia, dapat menginfeksi manusia dan hewan. Pada
manusia, PCP lebih sering terjadi secara sporadik, jarang menimbulkan epidemi(Johnson
et al., 1970; Peneral et al., 1970) dan terjadi pada semua golongan umur (Singer et al.,
PCP biasanya terjadi pada penderita dengan daya tahan tubuh yang menurun, seperti
pada penderita AIDS, serta bayi dan balita yang premature dan mengalami malnutrisi
(kurang gizi). Sebelum adanya epidemik AIDS pada awal 1980-an, PCP jarang terjadi
dan biasanya diderita oleh pasien dengan malnutrisi protein atau penderita ALL (Acute
Lymphocytic Leukemia), atau pada pasien – pasien yang mendapat terapi kortikosteroid.
Sekarang infeksi oportunistik ini umumnya sering dihubungkan dengan dengan infeksi
HIV lanjut (3,6,7,9,10).
Morfologi dan siklus hidup
Vavra dan Kucera (1970) membagi Pneumocystis jiroveci menjadi 3 stadium, yaitu :
a. Stadium trofozoit
Bentuk pleomorfik dan uniseluler, berukuran 1 – 5 µ dan memperbanyak diri
secara mitosis. Dengan mikroskop elektron dapat dilihat ultrastrukturnya sebagai
berikut : berdinding tipis (20 – 40 µ) dengan beberapa ekspansi tubular yang
disebut sebagai filopodium; umumnya mempunyai 1 inti tetapi kadang dapat
lebih dari 2 inti; mitokondria,retikulum endoplasmik yang kasar; benda – benda
bulat (round bodies dan vakuol – vakuol). Pada pewarnaan Giemsa, inti berwarna
ungu gelap dan sitoplasma biru terang tetapi tidak ada ciri lain yang khas. Juga
dapat dilihat dengan pewarnaan “acridine orange”.
Trofozoit yang kecil (1 – 1,5 µ) ditemukan di dekat kista yang berdinding tebal,
berbentuk bulan sabit menyerupai “intracystic bodies” (beberapa sumber
menyatakan “intracystic bodies” sebagai trofozoit yang sedang berkembang).
Trofozoit yang besar menempel pada dinding alveolus dan mempunyai dinding
tipis yang sama dengan trofozoit yang kecil tetapi mempunyai filopodium dan
pseudopodium sehingga berbentuk ameboid.
b. Stadium prakista
Merupakan bentuk intermediate antara trofozoit dan kista. Bentuk oval, ukuran 3
– 5 µ dan dindingnya lebih tebal (berkisar antara 40 – 120 µ) dengan jumlah inti
dinding yang lebih tebal dari stadium prakista dapat diwarnai dengan
“methenamine silver” (Matsumoto dan Yoshida, 1986).
c. Stadium kista
Stadium ini merupakan bentuk diagnostik untuk pneumosistosis (Matsumoto dan
Yoshida, 1986), juga diduga sebagai bentuk infektif pada manusia. Dengan
mikroskop fase kontras, kista mudah dilihat, bentuknya bulat dengan diameter
3,5 - 12 µ (kurang lebih 6 µ), mengandung 8 sporozoit atau trofozoit yang sedang
berkembang (“intracystic bodies”)yang berdiameter 1 – 1,5µ. Sporozoit tersebut
dapat berbentuk seperti buah peer, bulan sabit atau kadang – kadang terlihat kista
berdinding tipis dengan suatu massa di tengah yang homogen atau bervakuol.
Kista dan trofozoit mudah diwarnai dengan Giemsa atau dengan cara Gram –
Weiger. Pewarnaan dengan Giemsa baik untuk melihat bagian – bagian dari
parasit. Kapsul berwarna ungu merah, sitoplasma ungu dan inti ungu biru. Kista
yang tidak mengambil warna dianggap sebagai kista yang berdegenerasi. Untuk
menemukan kista, pewarnaan yang paling cocok adalah Gomori – Silver. Tapi
dengan warna ini tidak mungkin diperiksa susunan dalam kista secara detail.
Kista dapat juga dilihat dengan teknik fluoresen dilabel dengan antibody (Arean,
1971).
Gbr 1. Kista Pneumocystis jirovecii.
Siklus hidup
Siklus hidup yang komplit dari Pneumocystis jiroveci belum sepenuhnya
sangatlah sulit mengobservasi siklus hidupnya hanya dari klinis. Secara umum
siklus hidup dari berbagai variasi spesies Pneumocystis digambarkan oleh John
J. Ruffolo , Ph. D. (Cushion, MT, 1988) seperti pada gambar 1.Jamur ini
ditemukan pada paru – paru mamalia tempat jamur ini tinggal tanpa
menyebabkan infeksi yang nyata sampai sistem imun hospes melemah. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan pneumonia yang sering fatal (1,2,3,4,5,6,7,8,9).
Gam bar 2.Pneum ocyst is st ages w er e r eproduced from a draw ing by Dr. John J. Ruffolo, Sout h Dakot a
St at e Univ ersit y , USA published in Cushion M. Pneum ocyst is car inii. I n: Collier L, Balow s A, Sussm an
M, edit ors. Topley and Wilson's Microbiology and Microbial I nfect ions: Volum e 4 Medical My cology , 9t h
ed. New York: Arnold Publishing; 1998. p. 674.
Keterangan gambar :
Fase aseksual : bent uk t r ofozoit ber eplikasi secar a m it osis ke . Fase
seksual : bent uk t r ofozoit yang haploid ber konj ugasi dan m enghasilk an
zigot ( ear ly cyst , kist a m uda) yang diploid . Zigot m em belah diri secara
m eiosis dan dilanj ut kan dengan m em belah dir i secar a m it osis unt uk
Kist a st adium lanj ut m engandung 8 spor ozoit yang ber isi spor a yang
Pneumocystis jiroveci berada tersebar dimana –mana sehingga hampir semua orang
telah pernah terpapar dengan organisme ini bahkan sejak kanak – kanak sebelum berusia
4 tahun.
Transmisi Pneumocystis jiroveci dari orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory
droplet infection” (tertelan ludah) dan kontak langsung (Brown, 1975), dengan kista
sebagai bentuk infektif pada manusia. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi
terjadi dari orang ke orang melalui inhalasi. Juga dilaporkan bahwa transmisi dapat
terjadi secara “in utero” dari ibu kepada bayi yang dikandungnya (Singer et al., 1975),
namun dengan trofozoit sebagai bentuk infektifnya. Masa inkubasi ekstrinsik ( =
prepaten period) diperkirakan 20 -30 hari dengan durasi serangan selama 1 – 4 minggu.
Masih ada kontroversi apakah PCP muncul akibat reaktivasi infeksi laten yang telah
pernah didapat penderita sebelumnya atau karena paparan berulang dan reinfeksi
terhadap jamur ini. Namun diduga mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya
infeksi laten (Sheldon, 1959; Frenkel et al., 1966)
Organisme ini merupakan patogen ekstra seluler. Paru merupakan tempat primer infeksi,
biasanya melibatkan kedua bagian paru kiri dan kanan. Tetapi dilaporkan bahwa infeksi
Pneumocystis jiroveci bisa juga terdapat ekstrapulmonal yaitu di hati, limpa, kelenjar
getah bening dan sum – sum tulang (Jarnum et al., 1986; Barnet et al., 1969, Arean,
1971). Organisme umumnya masuk melalui inhalasi dan melekat pada sel alveolar tipe I.
Di paru, pertumbuhannya terbatas pada permukaan surfaktan di atas epitel alveolar.
Pneumocystis jiroveci berkembang biak di paru dan merangsang pembentukan eksudat
yang eosinofilik dan berbuih yang mengisi ruang alveolar, mengandung histiosit,
limfosit dan sel plasma yang menyebabkan kerusakan ventilasi dalam paru sehingga
ini mengakibatkan kematian karena kegagalan pernafasan akibat asfiksia yang terjadi
karena blokade alveoli dan bronchial oleh massa jamur yang berproliferasi tadi.
Pada autopsi ditemukan paru bertambah berat dan volumenya bertambah besar, pleura
agak menebal. Penampang irisan paru berwarna kelabu dan terlihat konsolidasi serta
septum alveolus yang jelas. Hiperplasia jaringan interstisial dan terinfiltrasi berat dengan
sel mononukleus dan sel plasma juga tampak. Karena itulah penyakitnya disebut
“Pneumonia sel plasma interstisial”. Dinding alveolus menebal dan alveolus berisi
eksudat yang amorf dan eosinofilik – memberi gambaran seperti sarang lebah
(honeycomb appearance)-, yang mengandung histiosit dan limfosit, sel plasma dan
organisme itu sendiri. Tetapi pneumonia pneumosistis pada penderita
agamaglobulinemia atau dengan imunosupresi, eksudat yang khas mungkin tidak
ditemukan karena tidak ada limfosit B (Beaver et al., 1984).
Infeksi Pneumocystis jiroveci ditemukan dalam paru hospes dan biasanya terbatas di
lumen alveolus. Ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa Pneumocystis jiroveci
terdapat di dalam kapiler alveolus, septum interalveolus interstisial dan sel epitel
(Matsumoto dan Yoshida, 1986) (1,2,5,6,7,8).
Gejala klinis
Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-, dispnoe –
terutama saat beraktivitas-, dan batuk non produktif. Progresivitas gejala biasanya
perlahan, dapat berminggu – minggu bahkan sampai berbulan – bulan. Semakin lama
dispnoe akan bertambah hebat, disertai takipnoe – frekwensi pernafasan meningkat
sampai 90 – 120 x / menit -, sampai terjadi sianosis.
Pada pemeriksaan fisik diagnostik tidak dijumpai tanda yang spesifik. Saat auskultasi
dapat dijumpai ronki kering atau bahkan tidak dijumpai kelainan apapun. Pada 2 – 6 %
kasus, PCP dapat muncul dengan pneumothorax spontan.
Pada pemeriksaan radiologi paru terlihat gambaran yang khas berupa infiltrat bilateral
simetris, mulai dari hilus ke perifer, bisa meliputi seluruh lapangan paru. Daerah dengan
kolaps, diselingi dengan daerah yang emfisematosa menimbulkan gambaran seperti
sarang tawon (“honey comb appearance”), kadang – kadang terjadi emfisema
Pada darah dijumpai kadar LDH (Lactate Dehidrogenase) yang tinggi - > 460 U / L –
atau Pa O2 (tekanan oksigen parsial arteri) < 75 mmHg.
Lesi ekstra pulmoner jarang terjadi - < 3 % -, namun dapat melibatkan limpa, hati,
kelenjar getah bening dan sum – sum tulang.
Pada penderita anak – anak sehubungan dengan malnutrisi, onset penyakit berjalan
perlahan , dijumpai kegagalan tumbuh kembang (failure to thrive), yang akhirnya diikuti
takipnoe dan sianosis. Sedang pada penderita yang imunosupresif – anak mau pun
dewasa -, onset penyakit berjalan cepat (1,2,5,6,7,8,10,11,13).
Diagnosa
Diagnosa laboratorium sukar ditegakkan. Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan
Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru atau bahan yang berasal dari paru, diantaranya :
- sediaan yang diperoleh dari induksi sputum
- sediaan yang diperoleh dari BAL (Broncho Alveolar Lavage) dilakukan bila
hasil induksi sputum (-).
- Sediaan dari biopsi paru
* Pemeriksaan serologis PCR dari sediaan darah, serum dan aspirasi nasofaring
masih diteliti lebih lanjut untuk dapat membedakan antara infeksi yang sedang
berlangsung atau infeksi yang sudah lalu.
* Foto roentgen dada dapat menunjukkan gambaran abnormal seperti adanya gambaran
infiltrate interstisial bilateral difus pada daerah hilus(gbr. 2) Dapat juga terlihat
gambaran yang berbeda seperti nodul, kavitas, konsolidasi, pneumatocele dan
Gbr 3.Foto roentgen dada pada penderita PCP
Terlihat gambaran infiltrat interstisial bilateral difus pada daerah hilus.
* Sebagai pemeriksaan laboratorium tambahan, analisa gas darah dapat menunjukkan
gambaran penurunan level O2 darah (1,3,4,5,6,10,11,12,13,15).
Manajemen PCP
a. Pengobatan
Obat pilihan utama adalah kombinasi trimetoprim 20 mg/kg BB / hari +
sulfametoksazol 100 mg /kg BB / hari per oral, dibagi dalam 4 dosis dengan
interval pemberian tiap 6 jam selama 12 – 14 hari. Obat alternatif lain (namun lebih
toksik) adalah pentamidin isethionat, dosis 4 mg/ kg BB / hari diberikan 1 x / hari
secara IM atau IV selama 12 – 14 hari. Pentamidin isethionat biasanya diberikan
pada pasien yang tidak respon ataupun tidak dapat bertoleransi terhadap pemberian
kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol.
Pemberian kemoterapi alternatif lain seperti trimetrexate + dapsone, trimetoprim +
dapsone, leucovorin + dapsone,clindamycin + primaquine dan atovaquone dapat
dipertimbangkan, namun saat ini masih digunakan sebatas untuk tujuan penelitian.
b. Profilaksis
Profilaksis umumnya diberikan pada pasien dengan immunodefisiensi /
immunocompromized. Pada penderita HIV / AIDS dengan CD4 count menurun
Kemoprofilaksis biasanya berupa pemberian kombinasi trimetoprim +
sulfametoksazol, 150 dan 750 mg / m2 / hari, dibagi dalam 2 dosis dengan interval
pemberian tiap 12 jam. Pentamidin inhaler dalam bentuk aerosol dapat juga
digunakan sebagai alternatif lain kemoprofilaksis (1,9,10,12,13,14).
Prognosis
Prognosis kurang baik karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan
immunodefisiensi / immunocompromized. Bila PCP ditemukan pada penderita dengan
immunodefisiensi, persentase kematian dapat mencapai 100 %. Namun bila infeksi
dapat didiagnosa sedari dini dan diberikan terapi yang adekuat, persentase kematian
dapat diturunkan hingga 10 %. Sayang, sebagian besar kasus PCP bahkan baru
terdiagnosa setelah pasien meninggal dunia pada pemeriksaan autopsy (12,13,14).
Kesimpulan
PCP merupakan infeksi pada paru yang disebabkan oleh jamur Pneumocystis jiroveci.
Infeksi ini sering terjadi pada penderita dengan immunodefisiensi, mis : pada penderita
HIV / AIDS, ALL (Acute Lymphocytic Leucemia), maupun pada pasien yang mendapat
terapi kortikosteroid. Transmisi orang ke orang diduga terjadi melalui “respiratory
droplet infection” dan kontak langsung. Kebanyakan peneliti menganggap transmisi
terjadi melalui inhalasi. Diduga mekanisme infeksinya karena menjadi aktifnya infeksi
laten. Gejala klinis PCP meliputi triad klasik demam – yang tidak terlalu tinggi-, dispnoe
– terutama saat beraktivitas-, dan batuk non produktif. Semakin lama dispnoe akan
bertambah hebat, disertai takipnoe, sampai terjadi sianosis dan gagal nafas.
Diagnosa pasti dilakukan dengan menemukan Pneumocystis jiroveci pada sediaan paru
atau bahan yang berasal dari paru, yang diperoleh melalui induksi sputum, BAL (
Broncho Alveolar Lavage) maupun biopsi paru. Pada pemeriksaan radiologi paru dapat
terlihat gambaran infiltrate bilateral simetris dan “ honeycomb appearance”. Pada darah
Oleh karena onset penyakit berjalan cepat pada penderita dengan immunodefisiensi,
maka prognosis PCP kurang baik dan infeksinya dapat fatal dengan terjadinya gagal
nafas. Untuk itu diperlukan diagnosa dini dan terapi yang adekuat untuk mengurangi
persentase mortalitas penyakit ini. Pada pasien dengan immunodefisiensi, mis :
penderita HIV / AIDS dengan CD4 count menurun hingga < 300, dianjurkan untuk
mengkonsumsi regimen kemoprofilaksis kombinasi trimetoprim + sulfametoksazol (
Kepustakaan :
1. Sisirawaty, et al. Beberapa Aspek Pneumocystis Carinii. Seminar Parasitologi
Nasional V. 1989.
2. Shulman ST, et al. Indonesian edition : Dasar Biologis & Klinis Penyaki Infeksi. 4th
ed. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1994 : 436 – 46.
3. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Indonesian edition : Jawetz, Melnick & Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran. Ed. 20. EGC. 1996 : 632 – 3.
4. Heelan JS, Ingersol FW. Essentials of Human Parasitology. United States. Delmar.
2002 : 130 – 1.
5. Pneumocystis infection (Pneumocystis jirovecii). Available at :
http://www.dpd.cdc.gov/dpdx/HTML/Pneumocystis.htm.
6. Hunter GW, Frye WW, Swartzwelder JC. A Manual of Tropical Medicine. 3rd ed.
London. WB Saunders Company. 1963 : 349 – 50.
7. Brown HW, Neva FA. Basic Clinical Parasitology. United States of America.
Appleton Century Crofts. 1983 : 76 - 7.
8. Faust EC, Russel PF. Clinical Parasitology. 7th ed. Philadelphia. Lea & Febriger.
1964 : 31, 306 -9.
9. Manson – Bahr PH. Manson’s Tropical Diseases. 16th ed. London. ELBS & BT and
C. 1968 : 883 – 4.
10.Wilkin A, Feinberg J. Pneumocystis carinii Pneumonia : A Clinical Review.
Available at: http://www.aafp.org/afp/991015ap/1699.html.
11. Pneumocystis pneumonia (PCP). Available at :
http://www.aidsinfonet.org/factsheet_detail.php?fsnumber=515&newLang=en.
12.Lung Parasites Incertae Sedis : Pneumocystis jiroveci (P. carinii). Available at :
http://www.cdfound.to.it/HTML/lung.htm.
13.Molecular Epidemiology of Pneumocystis carinii Pneumonia. Emerging Infectious
Diseases vol. 2 number 2. Available at :
http://www.cdc.gov/incidod/eid/vol2no2/beard.htm.
14. Pneumocystis carinii Pneumonia : Infectious Diseases. Available at :
15.Cook G. Acute Lobar Pneumonia, Pneumocystosis, Acquired Immune Deficiency
Syndrome. In : Manson’s Tropical Disease. 20th ed. London. ELBS & WB
Saunders. 1996 : 79 – 80, 281, 394.
16.Kwon – Chung KJ, Bennet JE. Medical mycology. Philadelphia. Lea & Febriger.