• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji enam klon unggul temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan vegetatif maksimum pada tanah vertisol di kabupaten Sragen

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji enam klon unggul temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) terhadap pertumbuhan vegetatif maksimum pada tanah vertisol di kabupaten Sragen"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

i

UJI ENAM KLON UNGGUL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF MAKSIMUM

PADA TANAH VERTISOL DI KABUPATEN SRAGEN

Skripsi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Agronomi

Oleh :

RADITA DANANG ADIWIJAYA H 0106092

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ii

UJI ENAM KLON UNGGUL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF MAKSIMUM

PADA TANAH VERTISOL DI KABUPATEN SRAGEN

yang dipersiapkan dan disusun oleh Radita Danang Adiwijaya

H 0106092

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal :

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji

Ketua

Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S. NIP. 19560225.1986011.001

Anggota I

Ir. Eddy Tri Haryanto,MP NIP.19600205.1986011.001

Anggota II

Ir. Ato Sulistyo, MP. NIP. 195806211.98503.1 003

Surakarta, Mengetahui

Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian

Dekan

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan limpahan karunia, nikmat dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Uji Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Terhadap Pertumbuhan Vegetatif Maksimum Pada Tanah Vertisol Di Kabupaten Sragen”. Skripsi ini disusun dan diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian UNS.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian UNS. 2. Ir. Wartoyo S. P., MS selaku Ketua Jurusan Agronomi FP UNS. 3. Dr. Ir. MTH. S. Budiastuti, MP selaku Pembimbing Akademik. 4. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S. selaku Pembimbing Utama. 5. Ir. Eddy Tri Haryanto,MP selaku Pembimbing Pendamping.

6. Ir. Ato Sulistyo, MP selaku Dosen Pembahas.

7. Prof. Dr. Ir. Kuswanto, MP Selaku Dosen Pembimbing Lapang.

8. Kedua orang tua tercinta atas doanya, serta saudara/iku atas motivasinya. 9. Dewi Nilasari yang selalu menemani selama berjalanya penelitian. 10.Teman-teman Agronomi 2006 yang selalu kompak.

11.Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan karya ini. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua.

Surakarta, Agustus 2010

(4)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... x

RINGKASAN ... xi

SUMMARY ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Hipotesis ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb.) ... 5

B. Pertumbuhan Vegetatif ... 10

C. Tanah Vertisol ... 11

III. METODE PENELITIAN ... 14

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 14

C. Rancangan Penelitian ... 14

D. Pelaksanaan Penelitian ... 15

E. Variabel Pengamatan ... 17

F. Analisis Data ... 18

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 19

(5)

v

B. Jumlah Daun ... 21

C. Jumlah Anakan Per Rumpun ... 23

D. Lebar Daun ... 24

E. Luas Daun ... 25

F. Indeks Luas Daun ... 28

G. Berat Brangkasan Kering ... 29

H. Berat Rimpang Segar per Tanaman Sampel ... 30

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

A. Kesimpulan ... 34

B. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 1. Rata-rata tinggi tanaman enam klon unggul temulawak (Curcuma

xanthorrziza Roxb.) umur 19 MST ... 19

2. Rerata Tinggi Tanaman Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Hingga Umur 19 MST ... 48

3. Rerata Jumlah Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Hingga Umur 19 MST ... 48

4. Rerata Jumlah Anakan per Rumpun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Hingga Umur 19 MST ... 48

5. Rerata Lebar Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Hingga Umur 19 MST ... 49

6. Rerata Luas Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Hingga Umur 19 MST ... 49

7. Rerata Berat Rimpang Segar Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 49

8. Rerata Indeks Luas Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 50

9. Rerata Berat Kering Tanaman Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 50

10.Analisis Ragam Tinggi Temulawak Umur 19 MST ... 51

11.Analisis Ragam Jumlah Daun Temulawak Umur 19 MST ... 51

12.Analisis Ragam Jumlah Anakan Per Rumpun Temulawak Umur 19 MST ... 51

13.Analisis Ragam Lebar Daun Temulawak Umur 19 MST ... 51

14.Analisis Ragam Luas Daun Temulawak Umur 19 MST ... 52

15.Analisis Ragam Berat Rimpang Segar Temulawak Umur 19 MST ... 52

16.Analisis Ragam Indeks Luas Daun Temulawak Umur 19 MST ... 52

17.Analisis Ragam Berat Kering Temulawak Pada Umur 19 MST ... 52

(7)

vii

19.Uji Beda Nyata DMRT 5% Jumlah Daun ... 53

20.Uji Beda Nyata DMRT 5% Jumlah Anakan Per Rumpun ... 53

21.Uji Beda Nyata DMRT 5% Lebar Daun ... 54

22.Uji Beda Nyata DMRT 5% Luas Daun ... 54

23.Uji Beda Nyata DMRT 5% Berat Rimpang Segar ... 54

24.Uji Beda Nyata DMRT 5% Indeks Luas Daun ... 55

(8)

viii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 1. Grafik Laju Pertumbuhan Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma

xanthorrhiza Roxb.) Hingga Umur 19 MST ... 19

2. Histogram Jumlah Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 22

3. Histogram Jumlah Anakan per Rumpun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 23

4. Histogram Lebar Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 25

5. Histogram Luas daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 26

6. Histogram Indeks Luas Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 28

7. Histogram Berat Brangkasan Kering Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 30

8. Histogram Berat Rimpang Segar Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Umur 19 MST ... 32

9. Morfologi Daun Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Klon Sragen ... 40

10.Morfologi Daun Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Klon Jember ... 41

11.Morfologi Daun Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Klon Sumenep .. 42

12.Morfologi Daun Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Klon Pasuruan .. 42

13.Morfologi Daun Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Klon Blitar ... 43

14.Morfologi Daun Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Klon Malang ... 44

15.Foto Lahan Siap Tanam ... 56

16.Temulawak Umur 5 MST ... 56

17.Temulawak Akhir Vegetatif ... 56

18.Temulawak Klon Sragen ... 57

(9)

ix

20.Temulawak Klon Sumenep ... 57

21.Temulawak Klon Pasuruan ... 57

22.Temulawak Klon Blitar ... 57

23.Temulawak Klon Malang ... 57

24.Rimpang Temulawak Klon Sragen ... 58

25.Rimpang Temulawak Klon Jember ... 58

26.Rimpang Temulawak Klon Sumenep ... 58

27.Rimpang Temulawak Klon Pasuruan ... 58

28.Rimpang Temulawak Klon Blitar ... 58

(10)

x

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Deskripsi Temulawak... 39

2. Deskripsi Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) ... 40

3. Denah Penelitian ... 45

4. Hasil Penetapan Kadar Kurkumin Pada Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) . 46 5. Data Hasil Analisis Tanah Tempat Seleksi Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) ... 47

6. Data Pengamatan Temulawak Interval 2 Minggu (Curcuma xanthorrhiza) ... 48

7. Analisis Sidik Ragam Pada Berbagai Variabel Penelitian ... 51

8. Uji Beda Jarak Berganda DMRT 5% ... 53

(11)

xi

UJI ENAM KLON UNGGUL TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF MAKSIMUM

PADA TANAH VERTISOL DI KABUPATEN SRAGEN

RADITA DANANG ADIWIJAYA H0106092

RINGKASAN

Temulawak sebagai tanaman obat perlu dilestarikan dan ditingkatkan hasilnya. kurkumin yang terkandung di dalamnya sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia diantaranya dapat meningkatkan sistem imunitas tubuh. Indonesia telah tersedia berbagai jenis temulawak dengan segala kelebihan dan kekurangannya baik proses pertumbuhan maupun senyawa dalam rimpang temulawak. Kelebihan yang terdapat pada temulawak dapat sebagai potensi pengembangan. Semua potensi tersebut harus segera dievaluasi untuk mengetahui jenis temulawak yang paling baik pertumbuhan vegetatif maksimumnya dan hasil rimpang segar tertinggi untuk dikembangkan pada tanah vertisol di kabupaten Sragen. Beberapa jenis temulawak telah berhasil dievaluasi potensinya berdasarkan kandungan kurkumin dan potensi hasilnya dari seleksi seluruh jenis temulawak seluruh Jawa yang dijadikan sebagai klon unggul.

Penelitian diatur berdasarkan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL), menggunakan jenis klon unggul sebagai faktor tunggal. Klon unggul hasil seleksi yang dipilih terdiri atas klon Sragen, Jember, Sumenep, Pasuruan, Blitar, dan Malang. Analisis data dilakukan dengan uji F pada taraf 5% dan apabila terdapat beda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) dengan taraf nyata 5%.

(12)

xii

TEST OF SIX Curcuma xanthorrhiza Roxb.SUPERIOR CLONES OF THE VEGETATIVE MAXIMUM GROWTH AT VERTISOL SOIL

being’s health, one of which is to improve the body immune system. Indonesia there have been available various types of C. xanthorrhiza with all advantages and disadvantages both in growth process and in the compound in C. xanthorrhiza rhizome. The advantages of C. xanthorrhiza can serve as the development potential. All of such potentials should be evaluated immediately to find out the most potential type of maximum vegetative growth and highest fresh rhizome production C .xanthorrhiza to be developed at vertisol soil in regency Sragen. Many types of C. xanthorrhiza have been successfully evaluated for it potentials based on the curcumin

content and its yield potential from the all types of C . xanthorrhiza selection made as superior clones throughout Java and Madura.

The research was done based on the Randomized Completely Block Design (RCBD), using superior clone type as the single factor. The superior clones from the selection result chosen consisting of Sragen, Jember, Sumenep, Pasuruan, Blitar, and Malang clones. The data analysis was done using F-test at significance level of 5% and if there is significant difference, it was followed by Duncan Multiple Range Test (DMRT) at significance level of 5%.

(13)

xiii

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia termasuk dalam negara hutan hujan tropis yang terkenal akan kekayaan alamnya. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki adalah berupa keanekaragaman tumbuhan. Tumbuhan yang ada dapat dipergunakan sebagai tanaman hias, sayur-sayuran, serta obat-obatan yang berguna bagi kesehatan dan berkhasiat. Masyarakat luas yang menggunakan tanaman sebagai obat tradisional bukan saja terbatas di Indonesia, tetapi juga di pelosok negeri lainnya (Naiola, 1986).

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu jenis tanaman obat dari famili Zingiberaceae yang potensial untuk dikembangkan, serta merupakan salah satu dari sembilan jenis tanaman unggulan dari Ditjen POM yang memiliki banyak manfaat sebagai bahan obat. Pemanfaatan tanaman ini cukup banyak, antara lain dipergunakan oleh masyarakat dalam pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan atau pengobatan penyakit maupun oleh produsen obat tradisional dan kosmetika (Nurjannah et al., 1994; Hernani 2001).

Dilaporkan banyak masyarakat menggunakan rimpang temulawak sebagai bahan baku obat (hepatoprotector) untuk mengobati penyakit lever yang memperbaiki fungsi hati dan menurunkan kadar SGPT dan SGOT (Hadipoentyanti dan Syahid, 2001). Telah dikembangkan adanya usaha peningkatan khasiat temulawak dalam skala besar. Sebagai contoh berupa pesatnya pembangunan pabrik yang menjadi sentra industri baik berupa minuman berkhasiat herbal ataupun dapat berupa pewarna alami. Selain penggunaannya sebagai bahan baku industri seperti minuman dan pewarna alami, manfaat lain adalah dapat meningkatkan sistim imunitas tubuh, berkhasiat anti bakteri, anti diabetik, anti hepatotoksik, anti inflamasi, anti oksidan, anti tumor, diuretika, depresan dan hipolipodemik (Purnomowati dan Yoganingrum, 1997; Raharjo dan Rostiana, 2003).

(14)

xiv

Bagian yang berkhasiat dari temulawak adalah rimpang yang mengandung berbagai komponen kimia di antaranya zat kuning kurkumin, protein, pati dan minyak atsiri. Pati, salah satu komponen terbesar temu lawak sering disebut sebagai pati yang mudah dicerna sehingga disarankan digunakan sebagai makanan bayi. Minyak atsirinya mengandung senyawa phelandren,kamfer, borneol, sineal, xanthorhizol. Kandungan xanthorizol dan kurkumin ini yang menyebabkan temulawak sangat berkhasiat (Taryono et al., 1987).

Para petani di daerah Jawa Tengah umumnya belum mampu menjadikan temulawak sebagai tanaman budidaya yang utama. Petani masih cenderung menanam temulawak di bawah tegakan tanaman hortikultura seperti mangga, rambutan, nangka, durian dan pisang. Langkah tersebut dilakukan dengan berbagai alasan, antara lain tanaman temulawak masih dianggap kurang berpotensi jika dibandingkan dengan tanaman semusim seperti padi, jagung maupun kacang-kacangan. Temulawak ditanam dalam petak-petak kecil, dengan luas lahan hanya berkisar antara 1.000 m2 – 2.500 m2. Permasalahan tersebut mengakibatkan tanaman temulawak masih kurang intensif dalam budidayanya, dan lebih diperparah dengan para petani hanya memberikan pupuk kandang setengah dari dosis mestinya pada lahan yang digunakan sehingga diperoleh hasil segar rimpang hanya sebanyak 18,60 ton/ha. (Kemala et al., 2003).

B. Rumusan Masalah

Temulawak sebagai tanaman obat perlu dilestarikan dan ditingkatkan hasilnya. Kurkumin yang terkandung di dalamnya sangat bermanfaat bagi kesehatan manusia diantaranya dapat meningkatkan sistim imunitas tubuh, berkhasiat anti bakteri, anti diabetik, anti hepatotoksik, anti inflamasi, anti oksidan, anti tumor, diuretika, depresan dan hipolipodemik.

(15)

xv

potensi jika dikembangkan lebih lanjut. Salah satu contoh potensi pertumbuhan tersebut adalah tanaman temulawak mampu tumbuh dengan ketinggian berkisar antara 0-1800 m di atas permukaan laut merupakan tempat yang tepat untuk membudidayakannya. Temulawak juga dapat tumbuh optimal di dataran rendah pada ketinggian 750 meter di atas permukaan laut.

Semua potensi tersebut harus segera dievaluasi untuk mengetahui jenis temulawak yang paling potensial untuk dikembangkan di daerah tertentu. Beberapa jenis temulawak telah berhasil dievaluasi potensinya berdasarkan kandungan kurkumin dan potensi hasilnya dari seleksi seluruh jenis temulawak seluruh Jawa dan Madura.

Pengumpulan koleksi sampel tanaman temulawak telah dilakukan pada tahun 2008 bulan Juni hingga Agustus. Penentuan daerah pengambilan sampel tanaman menggunakan metode sampling terarah (purposive sampling method). Produksi temulawak pada masing-masing kabupaten dianalisis pertumbuhan dan hasil rimpang yang dihasilkan. Data hasil pengamatan kemudian dibandingkan antara kabupaten yang satu dangan yang lainya.

Rimpang masing-masing daerah dilanjutkan dengan analisis kandungan kurkumin sebagai kandungan utama dalam temulawak. Diharapkan dengan seleksi pertumbuhan dan analisis kandungan akan diperoleh jenis temulawak jenis unggul yang tumbuh secara baik dengan hasil senyawa kurkumin tertinggi. Hasil seleksi yang dilakukan oleh pemulia tanaman telah terpilih 6 jenis temulawak terbaik berdasarkan pertumbuhan dan kandungan kurkumin yang dihasilkan, diantaranya klon Sragen, Pasuruan, Blitar, Sumenep, Malang, dan Jember.

Temulawak kultivar yang terpilih perlu diuji di berbagai jenis tanah produksi, agar diketahui kemampuan genetiknya pada lahan tertentu. Salah satu evaluasi yang dilakukan yaitu dengan cara menanam temulawak terpilih pada tanah jenis vertisol di kabupaten Sragen propinsi Jawa Tengah.

(16)

xvi

1. Klon unggul temulawak daerah mana yang memiliki pertumbuhan vegetatif maksimum terbaik saat dibudidayakan pada tanah vertisol?

2. Klon unggul temulawak daerah mana yang menghasilkan rimpang segar tertinggi saat fase vegetatif maksimim pada tanah vertisol?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui pertumbuhan vegetatif maksimum terbaik diantara 6 klon temulawak unggulan yang dibudidayakan pada tanah vertisol .

2. Untuk mengetahui hasil tertinggi rimpang segar temulawak diantara 6 klon unggul terpilih pada tanah vertisol.

D. Hipotesis

(17)

xvii

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Temulawak

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan salah satu tumbuhan Indonesia yang banyak digunakan untuk obat atau bahan obat karena temulawak merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional yang di buat di Indonesia, baik sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu ramuan (Moelyono, 2007).

Temulawak (C. xanthorrhiza) mempunyai klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Zingiberaceae Genus : Curcuma

Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Rukmana, 1995).

Di Indonesia tanaman ini dikenal dengan tetemulawak (Sumatera), temulawak (Jawa Tengah), temolobak (Madura)(Supriadi, 2001). Sedangkan nama asing dikenal dengan Kiang Huang (China), Kurkum (Arab), Kunong Huyung (Indochina), Curcuma (Inggris) (Dalimartha,2006). Tumbuhan yang patinya mudah dicerna ini dapat tumbuh baik di dataran rendeh hingga ketinggian 750 meter di atas permukaan laut (Parahita, 2007). Dari rimpangnya tumbuhan temulawak ini dapat dikembangbiakan, rimpang yang dipilih sebagai bibit yang sudah dalam keadaan kering (Tampubolon, 1995). Rimpang yang sudah cukup tua yang telah berumur 9 bulan atau tanaman yang sudah gugur daunya. Potongan bibit rimpang yang mengandung 2-3 tunas dan di jemur selama kurang lebih satu minggu antara jam 8.00-12.00 (Sudarsono, 1996).

(18)

xviii

Kawasan Indo-Malaysia merupakan tempat dari mana temulawak (C. xanthorriza) menyebar ke seluruh dunia. Temulawak adalah tumbuhan asli

Indonesia sehingga mudah sekali tumbuh dan berkembang biak di negara kita, yang mana persebarannya hanya terbatas di Jawa, Maluku, dan Kalimantan. Saat ini tanaman temulawak selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, Indocina, Bardabos, India, Jepang, Korea, Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa (Sidik, 1997).

Tanaman khas Indonesia satu ini memiliki potensi yang luar biasa, karena termasuk salah satu jenis temu-temuan yang paling banyak digunakan orang sebagai tanaman obat-obatan, bahkan konon tanaman ini memiliki kegunaaan setara dengan ginseng Korea. Olek karenanya masyarakat Indonesia beranggapan bahwa temulawak sebagai ginseng Indonesia (Kunia, 2007).

Temulawak merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun atau terna tahunan (perennial). Tanaman ini mempunyai daya adaptasi yang cukup luas di daerah tropis dengan habitat yang ternaung seperti hutan / padang rumput, dan semak belukar. Tempat tumbuhnya sangat mempengaruhi terhadap kualitas dari rimpang temulawak yang dihasilkan. Bila temulawak ditanam di dataran rendah maka patinya lebih tinggi dibanding di dataran rendah, sedangkan temulawak yang ditanam di daerah dataran tinggi minyak atsirinya lebih besar dibanding di dataran rendah (Tjitrosoepomo, 2005).

(19)

xix

Menurut (Kartasapoetra, 2006) uraian makroskopik rimpang temulawak adalah sebagai berikut :

a) kepingan akar tinggal ini berbentuk bulat / jorong, bersifat keras & rapuh, bergaris tengah ± 6 cm dan tebalnya sekitar 2-5 cm,

b) agak berkerut-kerut, berwarna cokelat kekuningan, keadaannya rata, sedikit melengkung.

Temulawak Mengandung zat kurkumin dan minyak atsiri yang dapat menghambat pertumbuhan organism terutama jamur dan bakteri, karena sifat inilah maka dapat dipakai bahan pengawet benih (Kusnaedi, 1999)

Batang tanaman temulawak berupa batang semu yang merupakan metamorfosis atau penjelmaan dari daun tanaman, temulawak tumbuh merumpun dengan batang semu yang tumbuh dari rimpangnya. Batang semu berasal dari pelepah-pelepah daun yang saling menutup membentuk batang. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 2-2,5 meter dengan warna hijau atau cokelat gelap. Mulai dari pangkalnya sudah memunculkan tangkai daun yang panjang berdiri tegak (Muhlisah, 1999).

Panjang daun sekitar 31-84 cm dan lebar 10-18 cm, berwarna hijau tua atau cokelat keunguan dengan garis-garis cokelat di bagian tulang daunnya dan pada bagian ibu tulang daun (bagian tengah daun) berwarna ungu. Sedangkan panjang tangkai termasuk helaian daun sekitar 43-80 cm. Pada sisi kiri dan kanan tulang daun terdapat semacam pita memanjang berwarna merah keunguan, pertulangan daun menyirip berwarna hijau, daun pelindung banyak, yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota bunga dan berbentuk corong, pelepah daunnya saling menutupi membentuk batang (Mursito, 2002)

(20)

xx

Fungsi minyak atsiri yang paling luas dan paling umum diminati adalah sebagai pengharum, kosmetik, pengharum ruangan, pengharum sabun, pasta gigi, pemberi cita rasa pada makanan dan juga sebagai terapi aroma (Agusta, 2000).

Bagian yang digunakan adalah rimpang (akar) (Dalimartha, 2006). Komponen utama kandungan zat yang terdapat dalam rimpang temulawak adalah

zat kuning yang di sebut “kurkumin”, protein, pati, dan minyak atsiri (Rukmana,

1995). Dua komponen utama temulawak yang diketahui mempunyai kegunaan biologis dengan spektrum luas adalah fraksi zat warna kuning (curcuminoid) 1-2% dan fraksi minyak atsiri 5% (Nanik et al, 2002).

Temulawak mempunyai khasiat laktagoga (perangsang air susu), kolagoga (perangsang empedu), antiinflamisasi, tonikum (obat kuat), dan deuretik (peluruh kencing). Aktivitas kolagoga (perangsang empedu) rimpang temulawak ditandai dengan meningkatnya produksi dan sekresi empedu dilakukan oleh fraksi kurkuminoid. Dengan meningkatnya pengeluaran cairan empedu maka partikel padat dalam kandung empedu berkurang. Hal ini akan mengurangi kolik empedu, perut kembung, dan menurunkan kadar kolesterol yang tinggi (Dalimartha, 2006). Temulawak mengandung zat gizi antara lain karbohidrat, protein, dan lemak serta zat serat juga kalium (K), natrium (N), magnesium (Mg), zat besi (Fe), mangan (Mn) dan kadnium (Cd) (Sampurno, 2004).

(21)

xxi

Temulawak memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Berdasarkan efek teraputik, senyawa kimia yang terkandung dalam temulawak berkait untuk mencegah berbagai penyakit degenerative seperti kardiovaskuler, sebagai antioksidan yang mengikat radikal bebas, penurunan kadar lipid darah, meluruhkan plak pada otak penderita penyakit Alzheimer, mampu memerangi sel kangker dan inveksi virus maupun bakteri (Barmawie et al., 2006).

Senyawa aktif utama yang terkandungdalam rimpang temulawak tersebut adalah kurkumin. Kurkumin merupakan suatu diferuloylmethane yang ada dalam ekstrak temulawak dan menjadi sumber warna kuning pada temulawak (Aggarwal et al., 2005)

Menurut Kuswanto, temulawak yang diperoleh dari seleksi seluruh Jawa dan Madura terdapat salah satu klon unggulan yang berasal dari balitro yang dijadikan sebagai kontrol pertumbuhan dan hasil. Temulawak klon Malang adalah pengembangan pemuliaan tanaman dari berbagai uji coba analisis hasil rimpang kemudian dilanjutkan dengan analisis kandungan kurkumin. Dilihat secara morfologi pertumbuhan temulawak klon Malang memiliki penampilan pertumbuhan dan hasil paling baik jika dibandingkan dengan morfologi pertumbuhan klon unggul yang lainya saat ditanam pada daerah masing-masing. Temulawak yang dijadikan sebagai tanaman obat adalah tanaman yang memiliki pertumbuhan dan kandungan kurkumin tertinggi. Sama halnya dengan tujuan dari penetapan klon unggul temulawak oleh ahli pemulia tanaman adalah untuk diperoleh jenis tanaman yang unggul dalam pertumbuhan dan hasil kurkumin yang dihasilkan. Batang tanaman yang dihasilkan bersifat kokoh dan memiliki karakteristik keras dan memiliki keliling batang mencapai 10 cm.

(22)

xxii

Berbeda dengan klon Sumenep klon Pasuruan merupakan klon yang paling tinggi produksi rimpangnya. Klon Pasuruan ini masuk dalam kelompok produksi rimpang tertinggi namun memiliki kandungan kurkumin hanya berkisar 0,58 - 0,79 %. Sragen adalah sebagai klon temulawak yang memiliki kandungan kurkumin terendah yaitu hanya 0,12% dan jika ditijau dari hasil rimpang yang dihasilkan temulawak klon Sragen masuk dalam kelompok hasil rimpang terendah yaitu hanya berada dibawah 15 ton/Ha namun memiliki penampilan pertumbuahan yang paling baik saat dilakukan penanaman pada berbagai daerah di Indonesia. Sehingga klon Sragen masuk dalam klon unggul yang memiliki daya adaptasi lingkungan tertinggi (Wardiyati et.al., 2010).

Blitar adalah jenis klon unggul yang memiliki karakteristik pertumbuhan vegetatif paling lambat jika dibandingkan dengan klon unggul lainya. Pertumbuhan berada pada posisi bawah namun jika dibandingkan pada saat masuk fase generatif temulawak klon Blitar memiliki pertumbuhan yang paling stabil baik proses pembetukan bunga dan daun. Klon unggul yang lain saat masuk fase vegetatif akan mengalami penurunan pertumbuhan terutama proses pembentukan daun maupun bunga. Oleh kerena itu klon Blitar masuk dalam klon unggul yang memiliki karakteristik pertumbuhan terbaik.

B. Pertumbuhan Vegetatif

Pertumbuhan vegetatif merupakan tahap kedua dalam kehidupan sebuah tanaman setelah selesai perkecambahan dan mulai fotosintesis. Selama tahap ini tanaman akan fotosintesis sebanyak mungkin untuk tumbuh menjadi besar karena dapat sebelum timbulnya berbunga (generatif) fase. Pada dasarnya ini adalah periode antara perkecambahan dan pertumbuhan awal kematangan seksual ditandai oleh berbunga (Anonim, 2007).

(23)

xxiii

pembentukan sel baru, peningkatan dalam ukuran dan berat tumbuhan baik secara keseluruhan tumbuhan maupun sebagian dari jaringan atau organ. Pertumbuhan merupakan proses kenaikan volume yang bersifat irreversible, karena adanya penambahan substansi dan pertambahan sel (Karmana dan Anwar, 1987).

Pertumbuhan pada tanaman biasa terjadi pada jaringan meristematik misalnya, dalam jaringan meristem apical, lateral dan interlateral. Pertumbuhan ujung cenderung menghasilkan pertambahan panjang, pertumbuhan lateral menghasilkan pertambahan lebar, dan pemanjangan batang serta daun terjadi di dalam meristem interkalar yang semuanya memerlukan hormon pertumbuhan (Purwati, 2004).

Peningkatan jumlah fotosintat yang dihasilkan selama proses fotosintesis pada fase vegetatif memungkinkan adanya jumlah dan ukuran organ tanaman disebabkan oleh adanya peningkatan cadangan makanan fotosintat pada titik tumbuh ( Moko dan Rosita, 1996).

Menurut Salisbury and Ross (1995) bahwa tumbuhan merupakan benda hidup yang mengolah bahan dan energi di lingkunganya, yang tumbuh dan berkembang dari zigot menjadi organisme multi sel. Sintesis molekul yang besar dan kompleks berlangsung terus menerus dari ion dan molekul yang lebih kecil menjadi lebih besar dan kompleks.

Untuk meningkatkan hasil umbi atau rimpang yang baik maka perlu ditingkatkan pertumbuhan vegetatif dari tanaman. Dengan meningkatnya pertumbuhan vegetatif, maka pertumbuhan reproduktif yang meliputi hasil produksi umbi atau rimpang juga akan meningkat (Gardner, 1991).

C. Tanah Vertisol

(24)

xxiv

kejenuhan basa yang juga relatif tinggi. Vertisol tersebar luas pada daratan dengan iklim tropis dan subtropis. Setelah N, unsure P merupakan pembatas hara terbesar pada vertisol. Kekurangan unsure P jika kandungan P kurang dari 5 ppm. Ini berpengaruh pada pemupukan P yang cukup kecil jika produksi tanaman pada musim berikutnya rendah. P menjadi nyata jika tanaman yang tumbuh pada kondisi irigasi yang baik, jika produksinya tinggi maka dianjurkan untuk mencoba menambah pemakaian pupuk N. Vertisol adalah tanah yang memiliki KTK dan kejenuhan hara yang tinggi. Rekasi tanah bervariasi dengan asam lemah hingga alkaline lemah, nilai pH antara 6,0 sampai 8,0, pH tinggi (8,0 – 9,0) terjadi pada Vertisol dengan ESP yang tinggi dan Vertisol masam (pH 5,0 – 6,2) (Munir, 1996).

Dalam perkembangan klasifikasi ordo Vertisol, pH tanah dan pengaruhnya tidak cukup mendapat perhatian. Walaupun hampir semua tanah dalam ordo ini mempunyai pH yang tinggi, pada daerah-daerah tropis dan subtropis umumnya dijumpai Vertisol dengan pH yang rendah. Dalam menilai potensi Vertisol untuk pertanian hendaknya diketahui bahwa hubungan pH dengan Al terekstraksi berbeda disbanding dengan ordo lainnya. pH dapat tukar nampaknya lebih tepat digunakan dalam menentukan nilai pH Vertisol masam dibanding dengan kelompok masam dari ordo-ordo lainnya. Perbedaan tersebut akan mempunyai implikasi dalam penggunaan tanah ini untuk pertumbuhan tanaman. Batas-batas antara antara kelompok masam dan tidak masam berkisar pada pH 4,5 dan sekitar 5 dalam air. KTK tanah-tanah Vertisol umumnya sangat tinggi disbanding dengan tanah-tanah mineral lainnya. Hal ini disebabkan oleh tingginya kandungan liat yang terbungkus mineral Montmorillonit dengan muatan tetap yang tinggi. Kandungan bahan organik sungguhpun tidak selalu harus tinggi mempunyai KTK yang sangat tinggi. Katio-kation dapat tukar yang dominant adalah Ca dan Mg sdan pengaruhnya satu sama lain sangat berkaitan dengan asal tanah (Lopulisa, 2004).

(25)

xxv

biasa disebut topografi gilgai. Kadang-kadang disebut juga topografi polygonal (Hardjowigeno, 1993).

Koloid tanah yang memiliki muatan negetif besar akan dapat menyerap sejumlah besar kation. Jumlah kation yang dapat diserap koloid dalam bentuk dapat tukar pH tertentu disebut kapasitas tukar kation. KTK merupakan jumlah muatan negatif persatuan berat koloid yang dinetralisasi oleh kation yang muda diganti. Kadar fosfor Vertisol ditentukan oleh banyak atau sedikitnya cadangan mineral yang megandung fosfor dan tingkat pelapukannya. Permasalahan fosfor ini meliputi beberapa hal yaitu peredaran fosfor di dalam tanah, bentuk-bentuk fosfor tanah, dan ketersediaan fosfor (Pairunan, et al., 1997).

Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau dengan kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi dari pada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir. Jenis-jenis mineral liat juga menentukan besarnya KTK tanah (Hakim, et al.,1986).

Pada tanah Vertisol P tersedia adalah sangat tinggi pada vertisol yang berkembang dari batuan basik tetapi rendah pada tanah yang berkembang dari bahan vulkanis. Pada segi lain vertisol yang berkembang dari bahan induk marl atau napal, kandungan P total tersedia adalah rendah (Soepardi, 1979).

(26)

xxvi

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan bulan Januari hingga Mei 2010 bertempat di Pusat Penelitian Tanaman Pangan Kabupaten Sragen, Desa Karang Pong, Kecamatan Kali Jambe Kabupaten Sragen, dengan jenis tanah vertisol, terletak pada 8°30’ LS dan 111°50’ BT dan ketinggian tempat 112 m dpl. B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan

Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi bibit temulawak, terdiri atas 6 klon unggul yang berasal dari hasil seleksi seluruh Jawa, pupuk kandang.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah cangkul, sabit, papan nama, sprayer, rol meter, penggaris, ember, pisau, oven dan alat tulis.

C. Cara Kerja Penelitian 1. Rancangan penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan menggunakan sebuah faktor perlakuan. Faktor tersebut adalah asal klon dengan menggunakan 6 taraf yaitu 6 klon unggul seluruh Jawa hasil seleksi pada waktu sebelumnya, masing-masing taraf diulang 3 kali.

Faktor tunggal berupa asal klon unggul yang terdiri atas 6 taraf: K0 = Temulawak klon Sragen

K1 = Temulawak klon Jember K2 = Temulawak klon Sumenep K3 = Temulawak klon Pasuruan K4 = Temulawak klon Blitar K5 = Temulawak klon Malang 2. Pelaksanaan Penelitian

(27)

xxvii a. Persiapan Lahan

Lahan yang digunakan untuk penelitian diukur sesuai dengan keperluan penelitian dan dibersihkan dari rerumputan sekitarnya. Lahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah ± 150 m2 dengan pembuatan bedengan sebanyak 18 dan dengan setiap blok berukuran 5x10 m.

Pengolahan tanah dilakukan setelah pembersihan tanaman dari sisa-sisa rumput setelah itu dicangkul sedalam 30 cm, kemudian dibuat blok sebanyak 3 buah serta pembuatan petak sebanyak 18 bedengan dengan ukuran 120 cm x 500 cm. Tanah yang telah terbentuk dalam bedengan dicampur dengan pupuk kandang sebanyak 20 ton/ha. Jarak antar bedengan 40 cm dan jarak antar blok 50 cm. Melalui pengolahan tanah akan menjadikan tanah gembur dan aerasinya menjadi lebih baik. Tahap selanjutnya dibuat bedengan-bedengan pada setiap blok yang berjumlah 6 bedengan yaitu tinggi bedengan 30 cm, lebar 120 cm, panjang 500 cm dan jarak antar bedengan adalah 40 cm.

b. Pembuatan Atap Paranet

Lahan yang sudah di bentuk dan diolah yang berbentuk bedengan-bedengan selanjutnya dibuat kerangka tiang paranet. Kerangka ini dengan luasan sesuai dengan lahan yang digunakan. Tinggi kerangka paranet ini sekitar 3 m dari permukaan tanah. Paranet yang digunakan adalah dengan intensitas cahaya 50%. Tujuan pemasangan paranet ini adalah untuk mengurangi intensitas cahaya yang diterima tanaman dan menekan adanya suhu lingkungan yang terlampau tinggi.

c. Penanaman

(28)

xxviii

antar tanaman sebanyak 2 buah mebujur arah timur-barat. Setiap baris 10 tanaman dengan jarak tanam antar tanaman 50 cm.

d. Pemeliharaan 1) Penyiraman

Penyiraman dilakukan secara rutin setiap hari pada awal penanaman, karena pada saat awal penanaman tanaman membutuhkan cakupan air untuk pertumbuhan. Saat tanaman berumur sekitar 4 bulan keatas, penyiraman atau pemberian air dilakukan seperlunya, jika jumlah air terlalu banyak rimpang akan menjadi busuk.

2) Penyiangan

Penyiangan dilakukan secara mekanis untuk menanggulangi kemungkinan tumbuhnya gulma yang mengganggu penyerapan air, unsur hara dan mengganggu perkembangan tanaman.

3) Pembubunan

Pembubunan dilakukan untuk menggemburkan tanah dan merangsang pembentukan rimpang atau anakan. Sekaligus menurunkan rimpang yang sudah muncul ke permukaan. Rimpang yang terkena sinar matahari akan berwarna hijau dan keras sehingga menurunkan kualitas rimpang dan menurunkan nilai jual rimpang (Yuniastuti, et al., 2002).

4) Pengendalian Hama dan Penyakit

Hama yang biasa menyerang tanaman temulawak ini antara lain ulat, siput, dan belalang karena disini diterapkan pertanian yang organis dan jumlah hama tidak terlalu banyak, maka pengendalian hama dilakukan secara manual, yaitu dengan mengambil dan mematikan hama yang ada.

3. Variabel Penelitian 1) Tinggi Tanaman (cm)

(29)

xxix

tanam sampai pertumbuhan vegetatif berakhir pada 14 minggu setelah tanam. Tinggi tanaman diukur mulai dari leher akar sampai dengan bagian tertinggi tanaman, dengan cara menguncupkan daun dan diukur tingginya. 2) Jumlah Daun per Rumpun

Pengamatan jumlah daun dilakukan setelah tanaman berumur 1 bulan dan selanjutnya dilakukan pengamatan setiap interval 2 minggu sekali. Dengan menghitung daun yang sudah membuka penuh dari setiap tanaman sampel.

3) Jumlah Anakan per Rumpun

Pengamatan jumlah anakan per rumpun dilakukan setelah tanaman berumur 1 bulan dan selanjutnya dilakukan pengamatan setiap interval 2 minggu sekali. Dengan cara menghitung banyaknya jumlah anakan yang muncul pada setiap tanaman sampel.

4) Lebar Daun (cm)

Pengamatan lebar daun dilakukan setelah tanaman berumur 1 bulan dan selanjutnya dilakukan pengamatan setiap interval 2 minggu sekali. Dengan cara mengukur lebar daun yang terlebar pada sisi tepi daun bagian tengah setiap tanaman sampel.

5) Luas Daun (cm2)

(30)

xxx 6) Indeks Luas Daun (ILD)

Indeks luas daun dihitung pada saat akhir fase vegetatif atau 19 MST. Indeks luas daun adalah perbandingan luas daun total dengan luas tanah yang ditutupi atau luas daun diatas suatu luasan tanah, yang disebut

juga “Leaf area index” (LAI). Indeks luas daun dihitung dengan cara:

GA LA daun luas

Indeks 

Keterangan: LA = Luas daun GA = Luas tanah

7) Berat Rimpang Segar per Tanaman Sampel (g)

Penghitungan dilakukan pada saat akhir fase vegetatif atau 19 MST dengan menimbang berat rimpang segar saat setelah pengambilan sampel. 8) Berat Brangkasan Kering (g)

Pengamatan dilakukan dengan cara menimbang berat tajuk dan rimpang segar dari tanaman yang dikeringkan dengan cara menjemur atau dioven pada suhu 80°C hingga mencapai berat konstan kemudian di timbang.

4. Analisis data

(31)

xxxi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang sering diamati baik sebagai indikator pertumbuhan maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan. Tinggi tanaman merupakan ukuran pertumbuhan yang paling mudah dilihat. Tinggi tanaman sensitif terhadap faktor lingkungan tertentu seperti cahaya. Tanaman yang mengalami kekurangan cahaya biasanya lebih tinggi dari tanaman yang mendapat cahaya cukup (Sitompul dan Guritno, 1995).

Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Hingga Umur 19 MST

Temulawak yang diamati pada interval 2 minggu sekali menampilkan laju pertumbuhan tinggi tanaman yang sangat signifikan pada temulawak klon Malang (Gambar 1). Pertumbuhan klon Malang pada umur 5 MST nampak memiliki tinggi tanaman yang tercepat dibandingkan dengan 5 klon yang lainya. Hal tersebut menunjukan tingkat adaptasi klon Malang sangat tinggi terutama saat proses penambahan tinggi tanaman.

Bertambahnya tinggi tanaman klon Malang selama proses pertumbuhan vegetatif tidak mampu di ikuti oleh klon temulawak yang lain. Klon Sragen menjadi klon kedua yang memiliki tinggi tanaman yang paling mendekati dengan klon Malang. Sampai dengan akhir fase vegetatif (19 MST) tinggi temulawak

(32)

xxxii

klon Sragen hanya memiliki tinggi tanaman 102,13 cm (Gambar 1) jauh dibawah klon Malang dengan tinggi 155,13 cm. Terdapatnya penambahan tinggi tanaman yang signifikan pada klon Malang akan menunjukan adanya potensi pertumbuhan yang baik jika dikembangkan pada wilayah yang baru dan jenis tanah vertisol

Tinggi tanaman pada masing-masing klon jika dianalisis dengan uji Duncan 5% terdapat beda nyata antar klon yang satu dengan yang lainya. Klon Malang menjadi klon yang memiliki beda nyata tertinggi dibandingkan dengan klon yang lainya yaitu 155,13 cm (Tabel 1). Begitu pula dengan klon Sragen yang memiliki beda nyata dengan yang lainya dengan tinggi tanaman 102,13 cm. Sehingga dapat dikatakan bahwa dua klon tertinggi temulawak memiliki beda nyata yang signifikan pada selisih tinggi sebesar 53 cm.

Tanah vertisol yang digunakan merupakan tanah yang memiliki porositas yang sangat tinggi. Jenis tanah ini memiliki sifat fisika tanah yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman yang membutuhkan jumlah air yang sangat banyak. Sifat porositas yang tinggi dapat menahan keberadaan air di dalam tanah untuk digunakan sebagai proses pertumbuhan tanaman temulawak yang membutuhkan cukup air pada saat awal pertumbuhan hingga akhir fase vegetatif.

(33)

xxxiii

tanaman obat membutuhkan kondisi lingkungan tertentu agar dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Lingkungan pertumbuhan yang dimaksud meliputi iklim dan tanah. Salah satu diantaranya temulawak memerlukan kondisi yang optimal iklim dan tanah agar menghasilkan rimpang yang baik dari kualitas dan kuantitasnya saat panen (Wardiyati et.al., 2010).

B. Jumlah Daun

Menurut Gardner et.al (1991), daun merupakan pabrik karbohidrat bagi tanaman budidaya. Dalam hal ini daun diperlukan untuk penyerapan dan merubah cahaya matahari melalui proses fotosintesis yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman.

Daun secara umum dipandang sebagai organ produsen fotosintat utama, walaupun proses fotosisntesis juga dapat berlangsung pada bagian lain dari tanaman. Pengamatan daun sangat diperlukan sebagai indikator pertumbuhan dan data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi seperti pada pembentukan biomassa tanaman (Sitompul dan Guritno, 1995).

Keberadaan daun pada tanaman temulawak ini sangat dibutuhkan saat tanaman masih memusuki fase vegetaif. Saat memasuki fase yang berbeda atau fase generatif, daun yang ada pada tanaman akan dibiarkan untuk mengering. Pola pertumbuhan khususnya untuk daun yang dihasilkan terbentuk pola yang terus menurun hingga masuk waktu panen. Oleh karenanya untuk jumlah daun temulawak pada masa vegetatif dijadikan sebuah gambaran untuk tanaman tersebut memiliki pertumbuhan yang baik atau tidak. Sehingga pembentukan rimpang dapat terjadi secara maksimal pada saat fase vegetatif tanaman.

(34)

xxxiv

Keterangan: Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak beda nyata pada uji jarak berganda (DMRT) 5%.

Gambar 2. Histogram Jumlah Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Umur 19 MST

Analisis beda nyata jumlah daun antar klon temulawak tidak terdapat beda nyata antara klon yang satu dengan yang lainya (Tabel 18). Jumlah daun antar klon temulawak dapat dikatakan seragam. Berdasarkan histogram jumlah daun menunjukan untuk jumlah daun terbanyak terdapat pada tanaman temulawak klon Malang (Gambar 2) dengan jumlah daun rata-rata per tanaman sejumlah 20,42 sedangkan klon Sumenep menjadi klon yang paling sedikit jumlah daunnya. Jumlah rata-rata daun per tanaman sampel pada klon Sumenep hanya diperoleh sebanyak 10,42. Klon Malang dengan jumlah daun yang semakin banyak menunjukkan bahwa pertumbuhan suatu tanaman tersebut juga baik, ini sesuai dengan hasil tinggi tanaman temulawak klon Malang sebagai klon tertinggi. Begitu juga klon Sumenep sebagai klon yang paling rendah dalam proses pertumbuhanya karena memiliki jumlah daun yang paling sedikit.

(35)

xxxv

daun. Temulawak yang diambil adalah rimpangnya, sehingga pada kondisi daun yang terlalu banyak dan rimpang yang sedikit akan menimbulkan kerugian.

C. Jumlah Anakan per Rumpun

Pada umumnya tanaman empon-emponan terjadi pertumbuhan majemuk dalam rimpang yang dijadikan bibit sesaat setelah tanam. Pertumbuhan majemuk dalam satu rimpang disebut sebagai pertumbuhan anakan tunas. Dalam satu rumpun tanaman temulawak pada umumnya terdapat 2 sampai 3 anakan. Temulawak dengan jumlah rumpun yang banyak pada dasarnya tetap memiliki satu buah tanaman utama sebagai tanaman induk yang telah tumbuh pertama kali pada saat pertumbuhan tunas setelah dilakukan penanaman bibit tanaman temulawak.

Tanaman utama temulawak dalam satu rumpun dapat terlihat dengan berbagai ciri, diantaranya: tinggi tanaman paling menonjol jika dibandingkan dengan tinggi anakan yang lainya, berbatang keras dan besar, dan pada umumnya memiliki warna daun paling mencolok (hijau tua). Tanah vertisol dengan sifat yang mampu mendukung pertumbuhan awal temulawak, anakan temulawak yang terbentuk akan semakin mudah. Jumlah air dalam tanah secara otomatis memacu pertumbuhan tunas temulawak. Karena pada proses pembentukan tunas faktor utama yang lebih menentukan ialah air atau kelembaban lingkungan bila dibandingkan cahaya atau unsur hara yang lainya.

(36)

xxxvi

Gambar 3. Histogram Jumlah Anakan per Rumpun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Umur 19 MST

Jumlah anakan per rumpun hasil uji lanjut DMRT 5% telah diperoleh bahwa klon Pasuruan dan Malang memiliki jumlah anakan tertinggi (Gambar 3) rata-rata jumlah anakan per rumpun mencapai 3,17. Jumlah tersebut masih tidak berbeda nyata pada perlakuan klon Malang dengan rata-rata jumlah anakan sebanyak 2,25. Sedangkan klon Sragen, Jember, Sumenep dan Blitar tidak bebeda nyata terhadap klon malang yang berada pada posisi kedua dalam hal jumlah anakan per rumpun.

Klon Pasuruan menjadi klon dengan jumlah anakan tertinggi, ini dikarenakan untuk bibitnya memiliki jumlah mata tunas yang lebih banyak jika dibandingkan dengan lima klon yang lainya. Ini akan berdampak pada saat proses pertumbuhan temulawak, jumlah tunas yang muncul setelah tunas utama lebih banyak sehingga nampak sebagai tanaman yang rimbun dengan jumlah anakan dalam satu rumpun lebih dari satu.

Jumlah anakan yang banyak pada tanaman temulawak akan memiliki dapak negatif berupa persaingan untuk memperoleh unsur hara maupun perolehan cahaya. Untuk persaingan dalam hal cadangan makanan pada saat awal pertumbuhan, jumlah anakan yang lebih banyak akan cenderung memiliki kompetisi yang lebih kuat karena hanya memiliki satu buah rimpang yang dijadikan sebagai bibit.

D. Lebar Daun (cm)

Permukaan daun yang semakin luas mempengaruhi besarnya penyerapan cahaya yang semakin banyak pula untuk proses fotosintesis. Komponen dalam luas daun selain panjang adalah lebar daun. Hubungan antara luas, panjang dan lebar daun amatlah dekat. Ketiga komponen tersebut memiliki hubungan yang selaras dan berbading lurus. Tanaman dengan lebar dan panjang daun yang tinggi maka akan diperoleh luas daun yang tinggi pula.

(37)

xxxvii

meningkat seiring jumlah stomata yang semakin banyak dalam satu daun. Lebar daun yang tinggi akan mengakibatkan kecepatan cekaman air semakin meningkat, sehingga perlu penyeimbangan air yang diserap dengan yang direspirasikan agar tidak mengalami kelayuan dan mencegah peristiwa titik layu permanen. Ini sesuai dengan prosedur budidaya temulawak yang pada masa pertumbuhan vegetatif memerlukan cadangan air dalam tanah yang tinggi.

Keterangan: Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak beda nyata pada uji jarak berganda (DMRT) 5%.

Gambar 4. Histogram Lebar Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Umur 19 MST

Lebar daun hasil pengamatan sampai umur 19 MST diuji dengan DMRT pada taraf 5% setiap klon temulawak tidak terdapat beda nyata yang signifikan antara jenis klon yang satu dengan yang lainya (Tabel 20). Secara spesifik klon Malang (Gambar 4) memiliki lebar daun yang tertinggi yaitu sebesar 18 cm dan yang paling rendah pada klon Blitar sebesar 10,96 cm.

(38)

xxxviii E. Luas daun (cm2)

Menurut Sitompul dan Guritno (1995), daun sebagai organ utama untuk menangkap cahaya yang digunakan untuk proses fotosintesis tanaman. Gardner (1991) menambahkan bahwa dengan perkembangan luas daun, meningkat pula penyerapan cahaya oleh daun. Atas dasar ini, luas daun menjadi parameter yang penting untuk diamati. Fitter dan Hay dalam Marjenah (2001) menambahkan bahwa jumlah luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan.

Luas daun suatu tanaman dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, salah satunya adalah cahaya. Semakin besar cahaya yang masuk ke daun akan semakin luas daun yang terbentuk, tetapi jika cahaya yang masuk semakin sedikit (ternaungi) maka luas daun yang terbentuk akan semakin rendah. Luas daun yang semakin besar dapat merugikan dan dapat juga menguntungkan bagi tanaman. Luas daun yang besar akan menguntungkan bagi tanaman karena akan meningkatkan tempat berlangsungnya proses fotosintesis.

Temulawak yang sudah memasuki fase generatif dapat terlihat dengan luas daun berwarna hijau berubah menjadi coklat muda (layu fisiologis). Banyak yang salah beranggapan bahwa untuk kelayuan daun seiring berkurangnya luas daun merupakan tanda kelayuan tanaman karena kekurangan unsur hara ataupun pengaruh perubahan suhu yang signifikan. Oleh karena itu temulawak sering dipandang sebagai tanaman yang tidak mampu tumbuh baik hingga panen.

(39)

xxxix

Gambar 5. Histogram Luas Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Umur 19 MST

Luas daun hasil analisis beda nyata atar jenis klon yang satu dengan yang lainya diperoleh bahwa untuk klon Malang memiliki luas daun yang berbeda nyata dengan lima klon yang lainya (Tabel 21). Klon Malang mempunyai luas daun yang tertinggi (Gambar 5) dengan luas 1.000,83 cm2, sedangkan untuk yang terendah pada klon Sumenep dengan luas daun hanya 244,55 cm2.

Fotosintesis yang optimal menyebabkan fotosintat yang terbentuk juga semakin banyak, sehingga pertumbuhan tanaman akan optimal. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Widiastuti et al., (2004) bahwa dengan intensitas cahaya yang rendah tanaman menghasilkan daun lebih besar, lebih tipis dengan lapisan epidermis tipis, jaringan palisade sedikit, ruang antar sel lebih lebar, dan jumlah stomata lebih banyak. Sedangkan pada tanaman yang menerima intensitas cahaya tinggi menghasilkan daun yang lebih kecil, lebih tebal, lebih kompak dengan jumlah stomata lebih sedikit, lapisan kutikula dan dinding sel lebih tebal dengan ruang antar sel lebih kecil dan tekstur daun keras.

Luas daun yang semakin besar dapat merugikan dan dapat juga menguntungkan bagi tanaman. Luas daun yang besar akan menguntungkan bagi tanaman karena akan meningkatkan tempat berlangsungnya proses fotosintesis. Fotosintesis yang optimal menyebabkan fotosintat yang terbentuk juga semakin banyak, sehingga pertumbuhan tanaman akan optimal. Irwanto (2009) mengungkapkan bahwa produk fotosintesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Widiastuti et al. (2004) menambahkan bahwa dengan luas daun yang meningkat, asimilat yang dihasilkan juga akan lebih besar. Luas daun yang sempit menguntungkan bagi tanaman karena dapat mengurangi hilangnya air melalui transpirasi yang berlebihan.

(40)

xl F. Indeks Luas Daun

ILD adalah perbandingan luas daun total dengan luas tanah yang ditutupi atau luas daun diatas suatu luasan tanah. Harga ILD>1 menggambarkan adanya saling menaungi diantara daun yang mengakibatkan daun yang ternaungi pada lapisan bawah tajuk mendapat cahaya yang kurang dan karenanya dapat mempunyai laju fotosintesis yang lebih rendah dari daun yang tidak ternaungi.

Keterangan: Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak beda nyata pada uji jarak berganda (DMRT) 5%.

Gambar 6. Histogram Indeks Luas Daun Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Umur 19 MST

(41)

xli

Semakin tinggi ILD berarti adanya saling menaungi diantara daun semakin tinggi. Sitompul dan bambang (1995) mengungkapkan kerapatan daun berhubungan erat dengan populasi tanaman atau jarak tanam. Semakin rapat jarak antar tanaman, semakin tinggi kerapatan diantara daun dan semakin sedikit kuanta radiasi (cahaya) yang sampai ke lapisan daun bawah.

Dengan indeks luas daun yang melebihi satu perlu dilakukan evaluasi mengenai jarak tanam. Indeks luas daun sangat erat kaitanya dengan jarak tanam. Jarak tanam yang jauh akan cenderung memiliki indeks luas daun yang rendah serta mampu menekan tingkat kompetisi tanaman terutama dalam hal memperoleh cahaya pada saat proses fotosintesis. Selain itu setiap tanaman juga mampu memperoleh cahaya matahari secara penuh karena minimnya tingkat naungan antara tanaman yang satu dengan yang lainya. Secara khusus indeks luas daun di bawah 0,5 mampu dijadikan suatu pertimbangan untuk memperkecil setengah jarak tanam yang pada sebelumnya dilakukan.

G. Berat Brangkasan Kering(g)

Untuk mengukur produktifitas tanaman akan relevan menggunakan berat brangkasan kering atau bagian tanaman sebagai ukuran pertumbuhanya (Salisbury dan Ross, 1995). Menurut Lakitin (1996) berat kering tanaman mencerminkan akumulasi senyawa organik yang berhasil disintetis tanaman dari senyawa organik maupun anorganik, terutama air dan karbondioksida.

Pengukuran biomassa tanaman dapat dilakukan melalui penimbangan bahan tanaman yang sudah dikeringkan, tetapi data biasanya disajikan dalam satuan berat yang akan proporsional dengan biomassa apabila tempat yang sama digunakan selama penimbangan. Pengeringan bahan bertujuan untuk menghilangkan semua kandungan air bahan, dilakukan pada suhu 800C yang relatif tinggi selama jangka waktu tertentu sampai diperoleh berat konstan.

(42)

xlii

sehingga akan diperoleh berat kering keseluruhan hasil penjumlahan per bagian tanaman.

Keterangan: Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak beda nyata pada uji jarak berganda (DMRT) 5%.

Gambar 7. Histogram Berat Brangkasan Kering Tanaman Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Umur 19 MST

Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan klon Malang memiliki beda nyata tertinggi (Gambar 7) dalam hal berat kering tanaman bila dibandingkan dengan lima klon yang lainya. Berat brangksan kering klon Malang mampu mencapai 168,1 g. Sedangkan berat brangkasan terendah terdapat pada klon pasuruan dengan berat brangksan hanya 27,55 g. Dapat disimpulkan bahwa dengan semakin luas daun temulawak ternyata berat kering total tanaman bertambah dan selanjutnya hasil tanaman bertambah.

Asumsi yang dapat dikemukakan adalah bahwa dengan luas daun yang lebih tinggi maka berat kering akan berbanding lurus dengan berat kering tanaman. Ini juga didukung dengan berat rimpang yang dihasilkan sangat tinggi. Dengan tingginya berat brangkasan kering yang dihasilkan menunjukan bahwa proses asimilasi yang berjalan pada tanaman berlangsung maksimal. Sedangkan apabila berat kering yang rendah menandakan pertumbuhan vegetatif tanaman tersebut terhambat sehingga kegiatan asimilasi sangat terganggu yang berpengaruh terhadap pembentukan hasil.

(43)

xliii

Semua kegiatan budidaya yang dilakukan oleh para petani menginginkan hasil yang optimal baik berupa buah, bunga, umbi, rimpang maupun hasil perkembangbiakan vegetatif suatu tanaman tertentu. Penanaman temulawak sebagai tanaman budidaya bertujuan untuk diperoleh hasil berupa rimpang yang berada di dalam tanah untuk dapat digunakan sebagai obat dan peningkatan kualitas kesehatan pada umumnya.

Berbagai daerah produksi tanaman obat dengan bahan baku temulawak bila dilakukan pengumpulan dan seleksi diperoleh variasi hasil bobot rimpang yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan tidak adanya tindakan budidaya tanaman yang diterapkan oleh petani dan juga tidak jelasnya asal usul bibit yang digunakan dan umur panen yang tidak diketahui secara jelas karena petani jarang menghitung umur rimpang yang dipanen. Pada umumnya petani menggunakan bibit dari pertanaman sebelumnya yang sudah lama turun menurun digunakan.

Sebagian besar tanah yang dijadikan sebagai lahan penanaman temulawak mempunyai kandungan unsur hara makro dan bahan organik yang rendah kecuali unsur hara P dan K (Munir, 1996). Hal ini juga berhubungan dengan manajemen penanaman yang dilakukan petani pemilik lahan. Sebagian besar tanaman temulawak ditanam secara sembarangan tanpa manajemen budidaya yang baik. Sebagai tanaman sela dan tumpangsari di bawah tegakan pohon. Penanaman secara monokultur di lahan terbuka hanya ditemui pada daerah-daerah tertentu saja namun dihasilkan temulawak yang masih rendah produksinya hanya berkisar 10-15 ton/ha.

Hasil rimpang segar yang diperoleh pada penelitian kali ini berupa data kuantitas, namun masih perlu adanya pengembangan lebih lanjut mengenai bagaimana kualitas rimpang yang dihasilkan. Ini bertujuan agar diperoleh data hasil temulawak yang bekuantitas dan berkualitas unggul jika dikembangkan lebih lanjut pada tanah vertisol di kabupaten Sragen.

(44)

xliv

Tujuan akhir yang diharapkan dalam penelitian temulawak adalah mampu menyeimbangkan bobot rimpang dengan besarnya kandungan kurkumin yang dihasilkan. Sehingga diperoleh hasil unggul baik kuantitas maupun kualitas rimpang saat panen.

Keterangan: Nilai yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukan tidak beda nyata pada uji jarak berganda (DMRT) 5%.

Gambar 8. Histogram Berat Rimpang Segar Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Umur 19 MST

Berdasarkan analisis beda nyata antar klon temulawak, diperoleh klon Malang memiliki hasil berat rimpang segar per tanaman sampel tertinggi (Tabel 22) dan mempunyai beda nyata terhadap klon-klon yang lainya. Klon malang memiliki hasil tertinggi yaitu mencapai berat 422,57 g (Gambar 8) untuk masing-masing tanaman. Sedangkan klon Pasuruan menjadi klon terendah dalam menghasilkan berat rimpang segar. Rata-rata hasil rimpang klon Pasuruan hanya mencapai 105,49 g. Ini sangat jauh dengan klon Malang yang mencapai 422,57 g.

Jika dikonversikan dalam hasil per hektar klon Malang mampu menghasilkan 22,31 ton. Jumlah yang mencapai lebih dari 20 ton/ha dalam temulawak sudah termasuk dalam hasil yang terbaik. Hasil temulawak yang lainya hanya mampu mencapai hasil dibawah 20 ton per hektar. Oleh karenanya hasil rimpang yang diproduksi oleh klon Malang sangatlah tinggi dan mampu dibudidayakan secara intensif pada tanah vertisol.

(45)

xlv

temulawak klon malang yang ditanam pada tanah jenis vertisol masih berada pada hasil tertinggi hingga mampu melebihi produksi rimpang segar nasional yang hanya 10-20 ton/ha. Dapat diambil kesimpulan sederhana bahwa tanah vertisol yang memiliki karakteristik fisika tanah yang khusus masih memberikan hasil yang optimal bagi pertumbuhan vegetatif maksimum klon unggul temulawak.

Jika ditinjau dari sifat fisik tanah vertisol, untuk daerah Sragen memiliki tekstur lempung dan berdebu. Tekstur tanah berhubungan dengan kemampuan tanah untuk menyimpan dan mengalirkan air dan udara dalam tanah. Tekstur lempung dan berdebu menunjukan bahwa pengaruh debu lebih besar daripada liat dan pasir sehingga pergerakan air dan udara dalam tanah lebih baik. Selain hal tersebut diatas, tanah yang ada di kabupaten Sragen memiliki struktur yang agak gembur. Kondisi tersebut membuat lingkungan perakaran menjadi lebih baik terutama untuk tanaman obat yang memiliki rhizome atau rimpang dan tanaman obat berakar dangkal dan kecil seperti halnya temulawak. Kondisi fisik tanah yang baik juga dapat meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah yang dapat membantu meningkatkan ketersediaan hara bagi tanaman dan mempercepat dekomposisi bahan organik.

(46)

xlvi

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Temulawak klon Malang memiliki pertumbuhan vegetatif maksimum terbaik pada tanah vertisol dengan tinggi mencapai 155,13 cm luas daun, 1.000,83 cm2, indeks luas daun 1,3, dan berat brangkasan kering 168,1 g.

2. Hasil rimpang tertinggi temulawak yang ditanam pada tanah vertisol terdapat pada klon Malang dengan hasil rimpang segar rata-rata setiap tanaman mencapai 422,57 g atau 22,31 ton/ha.

B. Saran

(47)

xlvii

DAFTAR PUSTAKA

Aggarwal, B.B., A. Kumar, M.S. Aggarwal and S. Shishodia. 2005 Curcumin derived from Tumeric (Curcuma longa). A Spice for All season. In Phytopharmaceuticals In Cancer Chemoprevention. CRC Press. LLC. p.249-387.

Agusta, Andria. 2000. Minyak Atsiri Tumbuhan Tropika Indonesia. Bandung : ITB. Anonim. 2007. Apa pertumbuhan vegetatif. http://www.vbulletinfreelancers.com.

diakses pada 1 Februari 2010.

Beiley. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung.

Barmawie, N., Rahardjo, D. Wahyuno dan Ma`mun.2006. Status Teknologi Budidaya dan Pasca Panen Tanaman Kunyit Temulawak sebagai penghasil Kurkumin. Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. 18(2): 84-99

Dalimartha, S. 2006. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 4. Jakarta: Puspa Swara. Pp:iv, 182,184.

Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Presindo. Jakarta.

. 1985. Klasifikasi Tanah dan Lahan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Irwanto. 2010. Pengaruh Perbedaan Naungan terhadap Pertumbuhan Shorea sp. di Persemaian.http://www.geocities.com/irwantoforester/naungan_shorea. pdf. Diakses Minggu, 27 Mei 2010.

Karmana, O dan Anwar, A. 1987. Penuntun Pelajaran Biologi. Bandung. Ganeca Exact. 312 p.

(48)

xlviii

Kartasapoetra, G. 2006. Budidaya tanaman berkhasiat obat: Temulawak. Jakarta, PT. Rineka Cipta: 60.

Kemala, S; Sudiarto, E. R.Pribadi, JT. Yuhono, M. Yusron, L. Mauludi, M. Raharjo, B. Waskito, dan H. Nurhayati 2003. Studi Serapan, Pasokan dan Pemanfaatan Tanaman Obat di Indonesia. Laporan Teknis Penelitian Bagian Proyek Penelitian Tanaman Rempah dan Obat APBN 2003. 61p.

Kunia, Kabelan. 2007. Temulawak Dan pengobatannya. Http : //www.google.com

Diambil Pada Tanggal 18 Maret 2010.

Kusnaedi. 1999. Pengendalian Hama Tanpa Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta. Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT Raja

Grafindo Persada. Jakarta. herbal indonesia. Htm diakses pada 1 Februari 2010.

Moko, H. dan Rosita, S. M. D. 1996. Pengembangan budidaya, masalah dan peluang peninggkatan produksi jahe di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 15(2):89-95.

Muhlisah, Fauziah. 1999. Tanaman obat keluarga (toga): Temulawak. Cet.2. Jakarta, Penebar Swadaya: 40-41.

Munir, 1996. Tanah-Tanah Utama Di Indonesia. Pustaka Jaya. Jakarta.

Mursito, Bambang. 2002. Budidaya Secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Jakarta : Martha Tilaar Innovation Center.

Naiola, B.P. 1986. Tanaman Budidaya Indonesia Nama Serta Manfaatnya. Jakarta : CV. Yasaguna.

(49)

xlix

Temulawak (Curcuma xantorrhiza) Pada Tikus Putih Yang Diinduksi Radang Dengan Formaldehid. Majalah Kedokteran Indonesia. 52(3). Pp : 87-91.

Nurjanah, N., S. Yuliani dan A. B. Sembiring, 1994. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Review Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. X (2) : 43-57.

Pairunan, J. L. Nanere, S. S. R. Samosir, R. Tangkaisari, J.R. Lalopua, B. Ibrahim, dan H. Asmadi. 1997. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Cetakan IV. Badan Kerjasama antar Perguruan Tinggi se Indonesia Timur.

Parahita, M.L. 2007. Curcuma xanthorrhiza (Temulawak) Morfologi, Anatomi, Fisiologi. http://www.toiusd.multiply.com. diakses pada 1 Februari 2010. Purnomowati, S dan A. Yoganingrum, 1997. Temulawak (Curcuma xanthorhiza

Roxb.). Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah, LIPI, Jakarta. 44p. Purwati, E. 2004. Pengaruh Konsentrasi GA-3, Lama Perendaman Dan Varietas

Terhadap Pertumbuhan Bibit Jambu Mete (Anacardium occidentale L.) Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Rukmana, R. 1995. Temulawak tanaman obat dan rempah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Pp: 14-17

Salisbury F. B and Ross C.W. 1995. Fisiologi Tumbuhan 2 (Terjemahan). Bandung ITB. 173 p.

. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid 3 (Terjemahan). Bandung ITB. 343 hal.

Sampurno, H. 2004. Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia. Volume 1. Jakarta : Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. Pp:51.

Sanchez, P.A., 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Alih bahasa : Amir Hamzah. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Pp.397

Sidik, M.W, 1997. Temulawak, Cucurma xanthorrhiza (Roxb). Yayasan Pengembangan Obat Alam. 105 hal.

2007. Manfaat Temulawak. Http : // www. Google. Com Diakses Pada Tanggal 18 Maret 2010.

S.M.Sitompul dan Bambang Guritno, 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah mada University Press.Yogyakarta.

(50)

l

Sudarsono. 1996. Tumbuhan Obat Yogyakarta: Pusat Penelitian obat Tradisiomal Universitas Gadjah Mada (PPOT-UGM). Pp60-62,65

Supriadi. 2001. Tumbuhan Obat Indonesia : Penggunaan dan Khasiatnya. Jakarta: Pustaka Populer Obor. Pp : 130-133.

Swift, H.J. and P.A. Sanchez. 1984. Biological Management of Tropical soil Fertillity for Sustained Productivity Nature and Resources. 20(4): 2-10

Taryono., E. M. Rahmat, S dan A. Sardina, 1987. Plasma Nutfah Tanaman Temu-temuan. Edisi Khusus Ballittro. 3 (1) ;47-56.

Tjitrosoepomo, Gembong. 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Yogyakarta : Gadjah Mada university Press.

Wardiyati, T., Rinanto, Y., Sunarni, T., Azizah N. 2010. Identifikasi hasil dan Kurkumin pada Curcuma xanthorhiza dan Curcuma domestica Hasil Koleksi Jawa dan Madura. Jurnal Ilmu Pertanian. 32(1):1-12

Widiana, G.N. 1994. Peran EM-4 dalam Meningkatkan Kesuburan dan Produktivitas Tanah. Buletin Kyusei Nature Farming.5:28-43

Widiastuti, L., Tohari, dan E. Sulistyaningsih. 2004. Pengaruh intensitas cahaya dan kadar dominosida terhadap iklim mikro dan pertumbuhan tanaman krisan dalam pot. Agrivita 11(2):35-42.

Gambar

Gambar 1. Grafik Laju Pertumbuhan Enam Klon Unggul Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Hingga Umur 19 MST
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman enam klon unggul temulawak (Curcuma xanthorrziza) pada umur 19 MST
Gambar 2. Histogram Jumlah Daun Enam Klon Unggul Temulawak (pada uji jarak berganda (DMRT) 5%
Gambar 4.  Histogram Lebar Daun Enam Klon Unggul Temulawak (pada uji jarak berganda (DMRT) 5%
+4

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian yang dilakukan oleh Gibbons (1988) menyatakan bahwa diperkirakan sejumlah 50%80% penderita skizofrenia maupun gangguan psikotik lainnya yang berhubungan secara rutin

Putri (2004) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan batang atas terhadap tinggi tunas, jika ditinjau dari fisiologi terjadi gangguan aliran zat

Dengan mengetahui pengaruh perhatian orang tua dan kemandirian belajar terhadap prestasi belajar siswa diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam peningkatan

Analisis Pendapatan & Biaya Pemeliharan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Menganalisis kondisi pemeliharaan dilihat dari aspek pendapatan yang diterima beserta aspek

Berdasarkan hasil analisis menggunakan analisis faktor terdapat beberapa faktor yang dinyatakan berpengaruh terhadap ketimpangan wilayah di Pulau Timor dan juga factor

Oleh karena skor rata-rata kemampuan berpikir tingkat tinggi kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol, maka dapat disimpulkan bahwa, kemampuan berpikir

Pengumpulan data menggunakan angket dengan 13 pertanyaan untuk indikator penerapan model pembelajaran penemuan masalah, 14 pertanyaan untuk indikator penerapan model

Di dalam penelitian ini, peneliti langsung ke lapangan yang dipilih yaitu Majlis Agama Islam dan Adat Melayu Terengganu atau ringkasnya MAIDAM bagi memperoleh data