SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan
Ujian Sarjana Psikologi
Oleh :
SUSI TAMBUNAN
081301061
FAKULTAS PSIKOLOGI
PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA
Dipersiapkan dan Disusun oleh:
SUSI TAMBUNAN 081301061
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 09 November 2013
Mengesahkan
Dekan Fakultas Psikologi
Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog
NIP. 195301311980032001
Tim Penguji
1. Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi., psikolog Penguji I
NIP. 198602032010122003 Merangkap Pembimbing
2. Dr.Wiwik Sulistyaningsih Penguji II
NIP. 196501122000032001
3. Ika Sari Dewi, S.Psi., psikolog Penguji III
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya
bahwa skripsi saya yang berjudul:
Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kepuasan Pernikahan Pada Suku Batak Toba
adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar
kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari
hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan
norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.
Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi
ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Medan, Oktober 2013
SUSI TAMBUNAN
ABSTRAK
Awal pernikahan merupakan masa yang rentan bagi pasangan menikah untuk mengalami perceraian. Perceraian merupakan indikasi dari tidak adanya kepuasan pernikahan. Namun, pada suku Batak Toba sangat jarang ditemukan perceraian dan keluarga sangat berpengaruh terhadap pernikahan anak-anak mereka. Kepuasan pernikahan adalah penilaian positif terhadap pernikahan yang telah dijalani bersama oleh suami dan istri, meliputi area-area dalam pernikahan yakni komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya. Kepuasan pernikahan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah adanya dukungan sosial.
Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang tujuannya untuk melihat hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Subjek penelitian berjumlah 70 orang individu menikah dengan rentang usia pernikahan 1-4 tahun. Tekhnik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala dukungan keluarga berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan skala kepuasan pernikahan berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (1989). Analisa data yang digunakan adalah analisis korelasi Pearson Product Moment.
Dari analisa data diperoleh hasil nilai korelasi antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba dengan nilai r = 0.745 dengan p<0.05, artinya ada hubungan positif antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Dukungan keluarga memberikan sumbangan efektif sebesar 55.6% terhadap kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
ABSTRACT
Early of marriage is a susceptible phase for married couples to get a divorce. Divorce is an indication of the absence of marital satisfaction. However, in the ethnic of Batak Toba, divorce was very rare and the family was very influential towards the marriage of their children. Marital satisfaction is a positive assessment to whose marriage has lived together by a husband and wife, including the areas in marriage that is fun commnunication, religious life is good, how to fill in spare time, solve problems, manage finances, quality and quantity of sexual intercourse, good relations with family and friends, caregiving to children, accepting the nature of partner, and the egalitarian roles between husband and wife in their marriage. Marital satisfaction can be affected by various factors, one of them is the existence of social support.
This research is a quantitative correlation, which the purpose is to see the relationship between family support and marital satisfaction in the ethnic of Batak Toba. Subject of this research amounted to 70 married people with length of married one to four year. The instrument of this research are family support scale based on the theory by Sarafino (2006) and marital satisfaction scale based on theory by Olson and Fowers (1989). Data analysis used is the analysis of correlation Pearson Product Moment.
From the calculations result obtained that the correlation between family support with marital satisfaction in ethnic of Batak Toba amounted r = 0.745 with p <0.05, meaning that there is a positive relationship between family support and marital satiscation in the ethnic of Batak Toba. Family support give an effective contribution as many as 55.6% to marital satisfaction in the ethnic of Batak Toba.
berkat, karunia dan kekuatan yang Dia berikan dalam penyelesaian skripsi ini
yang berjudul “Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepuasan Pernikahan pada
Suku Batak Toba” untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Syukur
kepada Tuhan Yesus untuk penyertaanNya kepada peneliti dalam menyelesaikan
tahap demi tahap penyelesaian skripsi ini.
Terutama sekali peneliti mengucapkan terima kasih kepada kedua
orangtua peneliti yaitu Bapak Ropinus Tambunan dan Mamak Kentina Siahaan
yang tidak henti-hentinya berdoa, memberikan perhatian, dukungan dan semangat
kepada peneliti sehingga peneliti bisa menyelesaikan skripsi ini. Peneliti juga
mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara peneliti, yaitu Kak Stephanie/
Bang Stephanie, Bang Michelle/ Eda Michelle, Bang Ronaldo, Kak Denny, dan
Kak July. Peneliti menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai
pihak lain maka peneliti tidak mampu menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena
itu, peneliti ingin menyampaikan terima kasih yang tulus kepada semua pihak
yang telah membantu penyelesaian penelitian ini. Untuk itu peneliti mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sumatera Utara.
ini. Semua kebaikan dan kesabaran Kakak dalam membimbing peneliti tidak
akan mampu peneliti balas dengan apapun dan akan peneliti kenang selalu.
Semoga Tuhan membalas semua kebaikan Kakak.
3. Arliza Juairiani Lubis M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing akademik yang
juga sebagai kakak dan orangtua bagi peneliti. Terima kasih atas bimbingan,
arahan dan bantuan selama peneliti mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi
USU. Semoga Tuhan membalas semua kebaikan Kakak.
4. Ibu Dr.Wiwik Sulistyaningsih, M.Si., psikolog selaku dosen penguji skripsi.
Terima kasih telah meluangkan waktu untuk menguji dan memberikan masukan
dan saran yang sangat berarti bagi peneliti guna membuat penelitian ini menjadi
lebih baik. Semoga Tuhan senantiasa memberkati dan melimpahkan kasihNya
kepada Ibu.
5.Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi., psikolog selaku dosen penguji skripsi, yang telah
bersedia meluangkan waktu untuk memberikan saran dan masukan yang sangat
berarti bagi peneliti. Semoga Tuhan senantiasa memberkati dan melimpahkan
kasihNya kepada Ibu.
6. Responden peneliti yang berada di kecamatan Balige sekitarnya kabupaten
Toba Samosir. Terima kasih atas kesediaannya dan telah meluangkan waktu
telah diberikan kepada peneliti selama ini.
8. Kakak dan teman-teman KTB Solideo Gloria, Kak Rani, Alfine, dan Erika
Gresia Sihombing. Terimakasih untuk bantuan, semangat, doa, saran-saran, dan
kesediaannya untuk mendengarkan setiap curahan dan keluh kesah peneliti.
9.Adik KK Blessing, Karin dan Yosefine, yang bersedia mendengarkan curahan
peneliti, memberikan doa dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.
10.Teman-teman senasib dan seperjuangan, Alfine, Yosi, Asda, Kak Dewi, Erika,
Moyang, Nanda dan semua teman stambuk 2008 yang tak bisa disebutkan satu
persatu. Terimakasih untuk setiap masukan, cerita, dan perjuangan kita.
11.Semua orang yang telah membantu peneliti, secara khusus kepada kekasih
tercinta Soritua Panggabean. Terimakasih untuk setiap masukan, kritikan, dan
bantuannya selama pengerjaan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena itu peneliti terbuka untuk menerima semua saran dan kritik demi
tercapainya penulisan yang lebih baik lagi. Akhir kata, semoga Tuhan Yesus
berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Semoga penelitian
ini membawa manfaat bagi rekan-rekan semua.
Medan, Oktober 2013
Peneliti
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang . ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
E. Sistematika Penulisan ... 10
BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Definisi Kepuasan Pernikahan ... 12
2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan.... 13
3. Aspek-Aspek Kepuasan Pernikahan ... 15
4. Kriteria Kepuasan Pernikahan... 19
B. Dukungan Keluarga 1. Pengertian Dukungan Sosial ... 20
2. Bentuk-Bentuk Dukungan Sosial... 21
3. Sumber Dukungan Sosial... 23
4. Dukungan Keluarga ... 24
C. Kepuasan Pernikahan pada Suku Batak Toba. ... 26
D. Dewasa Awal 1. Pengertian Dewasa Awal……… 28
2. Karakteristik Dewasa Awal……….28
3. Tugas Perkembangan Dewasa Awal………... 29
4. Tugas Psikososial Dewasa Awal……….30
F. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepuasan Pernikahan pada Suku Batak Toba. ... 31
G. Hipotesis... 35
BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Penelitian... 36
B. Definisi Operasional 1. Kepuasan Pernikahan. ... 36
2. Dukungan Keluarga. ... 37
C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel 1. Populasi ... 38
2. Metode Pengambilan Sampel... 39
F. Hasil Uji Coba Alat Ukur ... 46
G. Prosedur Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Persiapan Penelitian ... 50
2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 51
3. Tahap Pengolahan Data ... 52
H. Metode Analisis Data ... 52
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Subjek Penelitian 1. Usia Pernikahan Subjek Penelitian ... 54
2. Jumlah Anak dari Subjek Penelitian ... 55
3. Keterangan Tempat Tinggal dari Subjek Penelitian ... 56
4. Tingkat Pendidikan Subjek Penelitian ... 57
5. Penghasilan/ Bulan Subjek Penelitian... 57
B. Hasil Penelitian 1. Hasil Uji Asumsi Penelitian ... 58
a. Uji Normalitas Sebaran... 59
b. Uji Linearitas... 59
2. Hasil Utama Penelitian a. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepuasan Pernikahan pada Suku Batak Toba ... 61
3. Hasil Analisa Tambahan a. Kategorisasi Data Penelitian ... 62
1. Kategorisasi Skor Dukungan Keluarga... 62
2. Kategorisasi Skor Kepuasan Pernikahan. ... 64
b. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Status... 67
c. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Tempat Tinggal. ... 68
d. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Tingkat Pendidikan. ... 69
e. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Penghasilan/Bulan ... 69
C. Pembahasan ... 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 75
B. Saran 1. Saran Metodologis... 76
2. Saran Praktis ... 77
Tabel 2. Blue print Skala Kepuasan Pernikahan Sebelum Uji Coba...42
Tabel 3. Blue-Print Skala Dukungan Keluarga Sebelum Uji Coba... ...43
Tabel 4. Distribusi Susunan Aitem Skala Kepuasan Pernikahan Sesudah Uji Coba...47
Tabel 5. Distribusi Susunan Aitem Skala Kepuasan Pernikahan Pada Saat Penelitian...48
Tabel 6. Distribusi Susunan Aitem Skala Dukungan Keluarga Sesudah Uji Coba...49
Tabel 7. Distribusi Susunan Aitem Skala Dukungan Keluarga Pada Saat Penelitian...50
Tabel 8. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia Pernikahan ...54
Tabel 9. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Jumlah Anak. ...55
Tabel 10. Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Keterangan Tempat Tinggal. ...56
Tabel 11 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan...57
Tabel 12 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Penghasilan/Bulan ...57
Tabel 13. Normalitas Sebaran Variabel Dukungan Keluarga dan Kepuasan Pernikahan ...59
Tabel 14. Linearitas Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepuasan Pernikahan ...60
Tabel 15. Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik Variabel Dukungan Keluarga dan Kepuasan Pernikahan ...63
Tabel 16. Kategorisasi Data Variabel Dukungan Keluarga. ...63
Tabel 17. Gambaran Skor Mean Dukungan Keluarga. ...64
Tabel 18. Deskripsi Skor Empirik dan Hipotetik VaribelKepuasan Pernikahan. 64 Tabel 19. Kategorisasi Data Kepuasan Pernikahan...65
Tabel 20. Kategorisasi Data Kepuasan Pernikahan pada Suami dan Istri...66
Tabel 21. Gambaran Skor Mean Kepuasan Pernikahan...67
Tabel 22. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Status. ...67
Tabel 23. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Keterangan Tempat Tinggal...68
Tabel 24. Kepuasan Pernikahan ditinjau dari Tingkat Pendidikan. ...69
Lampiran 1 A. Data Mentah Skala Dukungan Keluarga Saat Uji Coba B. Data Mentah Skala Kepuasan Pernikahan Saat Uji Coba
Lampiran 2 A. Reliabilitas Skala Dukungan Keluarga Saat Uji Coba B. Reliabilitas Skala Kepuasan Pernikahan Saat Uji Coba
Lampiran 3 A. Data Mentah Penelitian Dukungan Keluarga B. Data Mentah Penelitian Kepuasan Pernikahan
Lampiran 4 A. Hasil Uji Asumsi B. Hasil Penelitian
ABSTRAK
Awal pernikahan merupakan masa yang rentan bagi pasangan menikah untuk mengalami perceraian. Perceraian merupakan indikasi dari tidak adanya kepuasan pernikahan. Namun, pada suku Batak Toba sangat jarang ditemukan perceraian dan keluarga sangat berpengaruh terhadap pernikahan anak-anak mereka. Kepuasan pernikahan adalah penilaian positif terhadap pernikahan yang telah dijalani bersama oleh suami dan istri, meliputi area-area dalam pernikahan yakni komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya. Kepuasan pernikahan itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah adanya dukungan sosial.
Penelitian ini adalah penelitian korelasional, yang tujuannya untuk melihat hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Subjek penelitian berjumlah 70 orang individu menikah dengan rentang usia pernikahan 1-4 tahun. Tekhnik pengambilan sampel adalah purposive sampling. Alat ukur yang digunakan adalah skala dukungan keluarga berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sarafino (2006) dan skala kepuasan pernikahan berdasarkan aspek-aspek kepuasan pernikahan yang dikemukakan oleh Olson dan Fowers (1989). Analisa data yang digunakan adalah analisis korelasi Pearson Product Moment.
Dari analisa data diperoleh hasil nilai korelasi antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba dengan nilai r = 0.745 dengan p<0.05, artinya ada hubungan positif antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba. Dukungan keluarga memberikan sumbangan efektif sebesar 55.6% terhadap kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
ABSTRACT
Early of marriage is a susceptible phase for married couples to get a divorce. Divorce is an indication of the absence of marital satisfaction. However, in the ethnic of Batak Toba, divorce was very rare and the family was very influential towards the marriage of their children. Marital satisfaction is a positive assessment to whose marriage has lived together by a husband and wife, including the areas in marriage that is fun commnunication, religious life is good, how to fill in spare time, solve problems, manage finances, quality and quantity of sexual intercourse, good relations with family and friends, caregiving to children, accepting the nature of partner, and the egalitarian roles between husband and wife in their marriage. Marital satisfaction can be affected by various factors, one of them is the existence of social support.
This research is a quantitative correlation, which the purpose is to see the relationship between family support and marital satisfaction in the ethnic of Batak Toba. Subject of this research amounted to 70 married people with length of married one to four year. The instrument of this research are family support scale based on the theory by Sarafino (2006) and marital satisfaction scale based on theory by Olson and Fowers (1989). Data analysis used is the analysis of correlation Pearson Product Moment.
From the calculations result obtained that the correlation between family support with marital satisfaction in ethnic of Batak Toba amounted r = 0.745 with p <0.05, meaning that there is a positive relationship between family support and marital satiscation in the ethnic of Batak Toba. Family support give an effective contribution as many as 55.6% to marital satisfaction in the ethnic of Batak Toba.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Ketika manusia sudah menginjak usia dewasa, mereka dituntut untuk
memenuhi berbagai hal sesuai dengan tugas perkembangannya. Havighurst
(dalam Hurlock, 1999) menyatakan bahwa menginjak usia dewasa atau biasa
disebut sebagai usia dewasa awal yang berada pada rentang usia 18 – 40 tahun,
individu dihadapkan pada tugas perkembangan untuk memilih pasangan hidup.
Pada masa ini mereka dituntut untuk melakukan pernikahan.
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau
sebuah rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa
(UU No.1 tahun1974 dalam Subekti & Tjitrosudibio, 2001). Wismanto (2012)
menambahkan bahwa pernikahan mengandung harapan untuk mencapai suatu
kebahagiaan baik material maupun spiritual. Kebahagiaan yang ingin dicapai
adalah kebahagiaan yang kekal karenanya pernikahan yang diharapkan juga
merupakan pernikahan yang kekal, yang hanya berakhir dengan kematian dari
salah satu pasangan.
Setiap orang menginginkan keluarga yang utuh dan bahagia selamanya di
dalam pernikahannya. Namun pada kenyataannya bahwa tidak semua orang dapat
meneruskan pernikahan tersebut. Ketika ketegangan antara pasangan tidak mereda
dan terus memuncak, dan terjadi pada waktu yang cukup lama, maka tidaklah
mengherankan jika perceraian dilihat sebagai alternatif penyelesaian yang baik
untuk permasalahan yang sedang dihadapi (Miller & Siegel, dalam Margiantari,
2008).
Ketika pasangan memilih untuk melakukan perceraian, hal itu merupakan
indikasi dari adanya ketidakpuasan pasangan di dalam pernikahannya. Seperti
yang diungkapkan Wismanto (2004) yang menyatakan bahwa perceraian adalah
indikasi tidak adanya kepuasan pernikahan di antara suami istri. Ketika seseorang
puas dengan pernikahannya, maka kehidupannya akan bahagia dan berusaha
mempertahankan pernikahan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang merasa tidak
puas dengan pernikahannya, maka ia cenderung akan mengakhiri hubungan itu
dan dapat mengakibatkan perceraian. Hurlock (1999) juga berpendapat bahwa
perceraian merupakan puncak dari ketidakpuasan pernikahan yang tertinggi dan
terjadi apabila suami dan istri sudah tidak mampu lagi saling memuaskan, saling
melayani dan mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua
belah pihak.
Penelitian yang dilakukan oleh Markman (dalam Larsen & Olson, 1989)
menemukan bahwa terdapat 77% pasangan yang bercerai mengalami
masalah-masalah yang berhubungan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kepuasan
pernikahan. Gottman dan Levenson (2002) juga mengadakan studi penelitian
longitudinal terhadap 79 pasangan mengenai prediksi terjadinya perceraian
tersebut merupakan salah satu aspek penting dalam menentukan kestabilan dan
keberhasilan dalam pernikahan. Dengan kata lain, jika kepuasan pernikahan tidak
terpenuhi, pernikahan tersebut akan menjadi tidak stabil dan bahkan berakhir
dengan perceraian.
Kepuasan pernikahan itu sendiri merupakan evaluasi yang dilakukan oleh
suami dan istri terhadap hubungan pernikahan mereka, apakah baik, buruk, atau
memuaskan (Hendrick & Hendrick, 1992). Roach, dkk (dalam Pujiastuti &
Retnowaty, 2004) juga menambahkan bahwa kepuasan pernikahan merupakan
persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang diukur dari besar
kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu tertentu. Kepuasan
pernikahan dapat dilihat dari evaluasi yang dilakukan terhadap sepuluh aspek
dalam pernikahan, meliputi komunikasi yang menyenangkan, kehidupan
beragama yang baik, cara mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah,
mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik
dengan keluarga dan teman, pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan,
dan berbagi peran antara suami dan istri di dalam pernikahannya (Olson &
Fowers, 1989). Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan berkaitan erat
dengan kebahagiaan di dalam pernikahan dan tingkat perceraian yang mungkin
terjadi (Wismanto, 2004).
Kepuasan pernikahan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni
latarbelakang ekonomi, pendidikan, hubungan dengan orang tua, kehadiran anak
penelitiannya juga menyebutkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
kepuasan pernikahan adalah latarbelakang sosial budaya.
Budaya itu sendiri dianut oleh manusia dan berpengaruh terhadap
kehidupan manusia tersebut. Individu sebagai makhluk sosial tidak dapat
dilepaskan dari lingkungan dimana mereka hidup dengan norma-norma dan adat
istiadat yang selalu mengikat, termasuk pernikahannya (Amir dkk, 1986).
Pernikahan sebagai bagian dari kehidupan manusia dan merupakan salah satu cara
hidup di dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh budaya.
Pandangan setiap budaya terhadap pernikahan berbeda-beda. Menurut
Saragih (1980), pada budaya tertentu pernikahan bukan hanya menjadi masalah
antara pihak yang menikah tetapi juga menjadi masalah kedua keluarga belah
pihak. Bagi sebagian suku, kehidupan pernikahan dipandang sebagai urusan
bersama oleh keluarga besarnya sedangkan sebagian suku lainnya memandang
bahwa kehidupan pernikahan itu merupakan urusan kedua pasangan yang telah
menikah dan tidak ada campur tangan dari keluarga besarnya. Misalnya di dalam
suku adat Minangkabau dimana pernikahan menjadi urusan bersama didasarkan
pada falsafah yang menganggap bahwa manusia dan individu hidup bersama-sama
sehingga masalah rumah tangga menjadi urusan bersama pula (Amir dkk., 1986).
Pada suku Jawa, pernikahan tidak dipandang sebagai penggabungan dua jaringan
keluarga yang luas, tetapi dimaksudkan untuk membentuk suatu rumah tangga
sebagai unit yang berdiri sendiri dan semua keputusan berada di tangan pasangan
yang telah menikah tersebut. Dengan kata lain, pihak orang tua tidak begitu
budaya Batak Toba, adat istiadat sangat dijunjung tinggi dan berperan dalam
mengatur keseluruhan tingkah laku masyarakatnya, begitu juga dengan
pernikahan sebagai salah satu siklus kehidupan seseorang, sangat dipengaruhi
oleh budaya yang terdapat pada suku tersebut (Saragih, 1980).
Sumatera Utara merupakan provinsi yang mayoritas didiami oleh Suku
Batak Toba (Hadiluwih, 2008). Walaupun merupakan suku mayoritas, tingkat
perceraian pada suku ini ditemukan sangat rendah. Berikut data tingkat perceraian
suku Batak Toba yang terjadi di kota Medan berdasarkan data yang diperoleh dari
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Medan.
Tabel 1.
Data Tingkat Perceraian Di Kota Medan
Tahun Jumlah orang yang
bercerai
Jumlah seluruh kasus perceraian
Persentase
2011 40 1894 2.11 %
2012 43 2229 1.93 %
Sumber: Pengadilan Negeri Medan 2013 & Pengadilan Agama Medan 2013
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa kasus perceraian pada suku Batak Toba pada
tahun 2011 sebesar 40 kasus dari total 1894 kasus perceraian atau sebesar 2.11%.
Pada tahun 2012, tercatat sebanyak 43 kasus dari total 2229 kasus perceraian atau
sebesar 1.93% (sumber data dari Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama
Medan). Jika kita memperhatikan tabel di atas lebih lanjut, dapat dilihat bahwa
tingkat perceraian semakin meningkat pada periode tahun 2011 ke 2012, namun
sebaliknya kasus perceraian pada suku Batak Toba tidak mengalami peningkatan
dan justru mengalami penurunan, yakni dari 2.11% menjadi 1.93%.
Silaban (2010) menyebutkan bahwa adanya adat yang mengikat akan
Sitohang dan Sibarani (1988) yang menyatakan bahwa pada suku Batak Toba,
perceraian sangat dilarang dan apapun akan dilakukan agar perceraian antara
pasangan yang telah menikah tidak terjadi. Ia juga menambahkan bahwa pasangan
suami istri Batak Toba adalah satu perasaan baik susah maupun senang dan atas
seluruh kehidupan mereka dan tidak dapat dipisahkan, apapun alasannya.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, rendahnya tingkat perceraian
merupakan indikasi dari adanya kepuasan pernikahan sehingga pasangan akan
mempertahankan pernikahan tersebut (Wismanto, 2004). Berdasarkan data yang
dikemukakan sebelumnya, tingkat perceraian pada suku Batak Toba adalah
rendah. Rendahnya tingkat perceraian ini menunjukkan bahwa umumnya
pernikahan Batak Toba cenderung stabil, bertahan, dan kekal. Hal ini sesuai
dengan pendapat Matlin (2008) yang menyatakan bahwa pernikahan yang stabil
dan langgeng itu merupakan pernikahan yang memuaskan, bahagia, dan bertahan
lama. Adanya kepuasan di dalam kehidupan pernikahan membuat pernikahan itu
kekal dan hanya akan dapat berakhir dengan kematian dari salah satu pasangan
(Wismanto, 2004).
Adat suku Batak Toba juga tidak terlepas dari sistem kekerabatan dan
kekeluargaan yang disebut dengan dalihan na tolu. Nilai adat ini memandang
bahwa pernikahan merupakan urusan bersama kedua belah pihak keluarga dan
bukan hanya menjadi masalah antara pihak yang menikah. Hal ini disebabkan
karena pernikahan pada suku Batak Toba bertujuan untuk melanjutkan keturunan
marga dan akan bertambahnya keluarga yaitu orang tua dan keluarga pihak suami
menyebutkan bahwa pernikahan suku Batak Toba merupakan suatu pranata yang
tidak hanya mengikat seorang laki-laki dengan seorang wanita, tetapi juga
mengikat kaum kerabat si laki-laki (paranak) dengan kaum kerabat si wanita
(parboru) dalam suatu hubungan yang tertentu.
Di awal pernikahan, semua keluarga memberikan nasehat agar pasangan
menikah tersebut menjadi keluarga yang rukun dan ‘gabe’ atau bahagia, memiliki
anak laki-laki dan perempuan. Hal ini tampak pada pesan yang selalu disampaikan
pada pesta pernikahan pasangan agar: “maranak sampulu pitu, marboru sampulu
onom”, artinya mempunyai putra tujuh belas orang dan putri enam belas (Siahaan,
2005). Pasangan tersebut sangat diharapkan untuk menjadi keluarga yang kekal
sampai selama-lamanya, tetap harmonis sampai memiliki cucu, langgeng,
bahagia, saling memahami dan menghargai. Pasangan tersebut diharapkan untuk
tetap bersama baik dalam keadaan suka maupun duka, dan akan tetap
mempertahankan pernikahannya (Sitohang & Sibarani, 1988).
Lubis (1999) menyebutkan bahwa keluarga Batak Toba dari kedua belah
pihak pasangan suami istri turut dalam penyelesaian konflik yang terjadi di antara
pasangan tersebut. Apabila terjadi perselisihan di antara pasangan, maka akan
diselesaikan oleh sistem keluarga dalihan na tolu tersebut. Dalihan na tolu ikut
serta mengatasi masalah di antara pasangan dengan cara musyawarah dan mufakat
dan keputusan yang diambil harus dipatuhi anggotanya. Dalihan na tolu ini juga
turut berperan dalam mempertahankan pernikahan pasangan tersebut. Secara
psikologis, penerapan nilai adat dalihan na tolu yang ada pada pernikahan suku
Sunarti, dkk. (2005) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa dukungan
sosial juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan
pernikahan. Semakin besar dukungan sosial yang diperoleh oleh pasangan, maka
semakin baik kepuasan pernikahannya. Blood (dalam Margiantari, 2008) juga
menambahkan bahwa adanya support (dukungan) berperan penting untuk
mencapai pernikahan yang sukses. Hal ini senada dengan penelitian Atirah (2005)
yang menemukan bahwa dukungan sosial, baik itu dukungan yang berasal dari
keluarga besar, keluarga inti, dan tetangga berhubungan dengan pernikahan.
Dukungan sosial itu sendiri merupakan perasaan nyaman yang dirasakan,
dihargai, atau bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain
(Sarafino, 2006). Sunarti dkk. (2005) mendefinisikan dukungan sosial itu sebagai
bantuan fisik dan nonfisik dari keluarga luas, tetangga, atau teman yang
mendatangkan nilai positif kepada pasangan dalam menjalankan fungsi dan
perannya. Anggraeni (2009) menambahkan adanya berbagai dukungan sosial yang
diterima oleh individu menyebabkan individu merasa kuat dan tetap tegar dalam
menjalani hidupnya, termasuk kehidupan pernikahannya. Dukungan sosial itu
dapat diperoleh dari keluarga, teman, orang tua, pasangan, komunitas sosial, rekan
sekerja, tetangga, maupun professional kesehatan (Baron & Byrne, 2000; Taylor,
2009; Nichole, 2004).
Keluarga merupakan sumber dukungan sosial pertama yang penting untuk
mengatasi masalah. Kertamuda (2009) menyatakan bahwa dukungan keluarga
menjadi kebutuhan setiap anggotanya, dikarenakan keluarga merupakan tempat
bahagia, sehat, dan aman. Gunarsa dan Gunarsa (2000) juga menyatakan
hubungan yang didapatkan dari keluarga juga akan menentukan dan berpengaruh
terhadap keharmonisan atau ketidakbahagiaan yang dirasakan oleh seseorang.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melihat apakah ada
hubungan antara dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku
Batak Toba.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian
ini adalah “apakah ada hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan
pada suku Batak Toba?”
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara dukungan
keluarga dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa manfaat teoritis dan
manfaat praktis, sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
- Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah kajian Psikologi,
terutama Psikologi Perkembangan mengenai hubungan dukungan keluarga
- Penelitian ini dapat dijadikan bahan perbandingan pada penelitian
selanjutnya terutama yang berhubungan dengan dukungan keluarga dan
kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
2. Manfaat Praktis
- Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai gambaran kepuasan
pernikahan dan dukungan keluarga pada suku Batak Toba.
- Masyarakat umum dapat mengetahui hubungan antara dukungan keluarga
dan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba.
- Pasangan menikah memperoleh informasi sejauhmana hubungan
dukungan keluarga dalam meningkatkan kepuasan pernikahan pada suku
Batak Toba.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan laporan ini adalah:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah yang ingin
diteliti yaitu mengenai hubungan antara dukungan keluarga
dengan kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba dan berisikan
perumusan masalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika
BAB II : Landasan Teori
Bab ini berisi tentang tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam
pembahasan masalah. Teori yang digunakan adalah teori yang
berhubungan dengan kepuasan pernikahan, dukungan keluarga,
dan hubungan dukungan keluarga dengan kepuasan pernikahan
pada suku Batak Toba. Bab ini juga mengajukan hipotesis sebagai
jawaban sementara terhadap masalah penelitian.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini berisikan tentang identifikasi variabel penelitian, definisi
operasional dari kepuasan pernikahan dan dukungan keluarga,
populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan
data, validitas, uji daya beda dan reliabilitas alat ukur, hasil uji
coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode
analisis data.
BAB IV : Analisa Data Dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil analisis data yang diperoleh, meliputi
subjek penelitian, hasil uji asumsi meliputi uji normalitas dan
linearitas, hasil utama penelitian, deskripsi data penelitian, dan
hasil tambahan serta pembahasan hasil penelitian.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisi tentang kesimpulan berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dan saran penelitian yang meliputi saran praktis
A. KEPUASAN PERNIKAHAN
1. Pengertian Kepuasan Pernikahan
Olson dan Fowers (1989) mendefinisikan kepuasan pernikahan sebagai
evaluasi terhadap area-area dalam pernikahan. Area ini mencakup komunikasi
yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara mengisi waktu
senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas dan kuantitas
hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman, pengasuhan
terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara suami dan istri
di dalam pernikahannya. Senada dengan pendapat tersebut, Hawkins (dalam
Pujiastuti & Retnowati, 2004) juga mengemukakan bahwa kepuasan pernikahan
adalah perasaan subjektif yang dirasakan pasangan suami istri, berkaitan dengan
aspek-aspek yang ada dalam suatu pernikahan, seperti rasa bahagia, puas, serta
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bersama pasangannya.
Hendrick dan Hendrick (1992) berpendapat bahwa kepuasan pernikahan
dapat merujuk pada bagaimana pasangan mengevaluasi hubungan pernikahan
mereka, apakah baik, buruk, atau memuaskan. Hughes dan Noppe (1985)
menyatakan bahwa kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan
tergantung pada tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai
memuaskan adalah pernikahan yang stabil, langgeng, bahagia, saling memahami
dan menghargai.
Berdasarkan uraian definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka
dapat disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri
terhadap kehidupan pernikahannya, dilihat dari area-area dalam pernikahan
meliputi komunikasi yang menyenangkan, kehidupan beragama yang baik, cara
mengisi waktu senggang, menyelesaikan masalah, mengatur keuangan, kualitas
dan kuantitas hubungan seksual, hubungan baik dengan keluarga dan teman,
pengasuhan terhadap anak, menerima sifat pasangan, dan berbagi peran antara
suami dan istri di dalam pernikahannya.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pernikahan
Hendrick dan Hendrick (1992) menyatakan ada dua faktor yang dapat
mempengaruhi kepuasan pernikahan, yaitu :
a. Premarital Factors adalah faktor-faktor sebelum pernikahan, meliputi:
1) Latar belakang ekonomi
2) Pendidikan
3) Hubungan dengan orang tua
b. Postmarital Factors adalah faktor-faktor setelah pernikahan, meliputi:
1) Kehadiran anak, penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya anak bisa
menambah stres pasangan, dan mengurangi waktu bersama pasangan. Kehadiran
anak dapat mempengaruhi kepuasan pernikahan suami istri berkaitan dengan
2) Usia pernikahan, seperti yang dikemukakakan oleh Newman dan Newman
(2006) bahwa kemungkinan munculnya perceraian sangat tinggi selama tahun
pertama pernikahan dan mencapai puncaknya antara antara usia dua dan empat
tahun pernikahan.
Senada dengan hal tersebut, Papalia dkk. (2007) juga mengemukakan ada
lima faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan, yaitu:
a. Usia saat menikah, merupakan salah satu prediktor utama. Orang yang menikah
pada usia dua puluhan memiliki kesempatan lebih sukses dalam pernikahan,
daripada yang menikah pada usia yang lebih muda.
b. Latar belakang pendidikan dan penghasilan. Karena pendidikan dan
penghasilan adalah saling berhubungan, mereka yang berpendidikan tinggi
pada umumnya berpenghasilan lebih tinggi dan memiliki cara berpikir yang
lebih terbuka.
c. Agama, dimana orang yang memandang agama sebagai hal yang penting relatif
jarang mengalami masalah pernikahan dibandingkan orang yang memandang
agama sebagai hal yang tidak penting.
d. Dukungan emosional. Kegagalan dalam pernikahan ini ada kemungkinan
terjadi karena ketidakcocokan secara emosional dan tidak adanya dukungan
emosional dari lingkungan.
e. Perbedaan harapan, dimana perempuan cenderung lebih mementingkan
ekspresi emosional dalam pernikahan, di sisi lain suami cenderung puas jika
Selain faktor-faktor di atas, terdapat faktor lain yang juga mempengaruhi
kepuasan pernikahan menurut Salim (2010), yaitu harapan dalam perkawinan,
usia dan alasan saat menikah, latar belakang sosial-budaya, kebahagiaan
pernikahan orangtua, peran orangtua dan keluarga, pola komunikasi, waktu
bersama suami, waktu bersama anak, peran dan tanggung jawab dalam
pernikahan, dan kondisi keuangan. Sunarti dkk. (2005) juga mengemukakan
bahwa faktor dukungan sosial yang diterima oleh pasangan akan mempengaruhi
kepuasan pernikahan. Semakin besar dukungan sosial yang diperoleh pasangan
maka akan semakin baik kepuasan pernikahannya.
3. Aspek-aspek Kepuasan Pernikahan
Menurut Olson dan Fowers (1989) terdapat beberapa area dalam
pernikahan yang dapat digunakan untuk mengukur kepuasan. Adapun area-area
tersebut adalah sebagai berikut:
a. Komunikasi
Area ini melihat bagaimana perasaan dan sikap individu dalam
berkomunikasi dengan pasangannya. Area ini berfokus pada rasa senang yang
dialami pasangan suami istri dalam berkomunikasi, dimana mereka saling berbagi
dan menerima informasi tentang perasaan dan pikirannya. Laswell (1991)
membagi komunikasi pernikahan menjadi lima elemen dasar, yaitu : keterbukaan
diantara pasangan (openness), kejujuran terhadap pasangan (honesty), kemampuan
pasangan (empathy), dan kemampuan menjadi pendengar yang baik (listening
skill).
b. Orientasi Keagamaan
Area ini menilai makna keyakinan beragama serta bagaimana
pelaksanaannya dalam kehidupan pernikahan. Jika seseorang memiliki keyakinan
beragama, dapat dilihat dari sikapnya yang peduli terhadap hal-hal keagamaan dan
mau beribadah. Umumnya, setelah menikah individu akan lebih memperhatikan
kehidupan beragama. Orang tua mengajarkan dasar-dasar agama yang dianut
kepada anaknya, dan merasa bahwa mereka wajib memberi teladan kepada
anaknya dengan membiasakan diri beribadah, melaksanakan praktek agama,
bersembah yang secara teratur, ikut dalam kegiatan atau organisasi agama
(Hurlock, 1999).
c. Kegiatan di waktu luang
Area ini menilai pilihan kegiatan untuk mengisi waktu senggang yang
merefleksikan aktivitas yang dilakukan secara personal atau bersama. Area ini
juga melihat apakah suatu kegiatan yang dilakukan merupakan pilihan personal
atau bersama, serta harapan-harapan dalam mengisi waktu luang bersama
pasangan. Pasangan sama-sama merasa senang dan dapat menikmati kebersamaan
yang mereka ciptakan.
d. Penyelesaian Konflik
Area ini menilai persepsi suami istri terhadap konflik serta
penyelesaiannya. Fokus pada area ini adalah keterbukaan pasangan untuk
untuk mendapatkan solusi terbaik. Area ini juga menilai bagaimana anggota
keluarga saling mendukung dalam mengatasi masalah bersama-sama serta
membangun kepercayaan satu sama lain.
e. Pengelolaan Keuangan
Area ini menilai sikap dan cara pasangan mengatur keuangan,
bentuk-bentuk pengeluaran dan pembuatan keputusan tentang keuangan. Konsep yang
tidak realistis, yaitu harapan-harapan yang melebihi kemampuan keuangan,
harapan untuk memiliki barang yang diinginkan, serta ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup dapat menjadi masalah dalam pernikahan (Hurlock,
1999). Konflik dapat muncul jika salah satu pihak menunjukkan otoritas terhadap
pasangannya dan ketidakpercayaan terhadap kemampuan pasangan dalam
mengelola keuangan.
f. Orientasi Seksual
Area ini melihat bagaimana perasaan pasangan dalam hal kasih sayang dan
hubungan seksual. Fokusnya area ini adalah refleksi sikap yang berhubungan
dengan masalah seksual, tingkah laku seksual, serta kesetiaan terhadap pasangan.
Penyesuaian seksual dapat menjadi penyebab pertengkaran dan ketidakbahagiaan
apabila tidak tercapai kesepakatan yang memuaskan. Kepuasan seksual dapat
terus meningkat seiring berjalannya waktu jika pasangan memahami dan
mengetahui kebutuhan mereka satu sama lain. Selain itu mereka juga mampu
mengungkapkan hasrat dan cinta mereka, juga membaca tanda-tanda yang
sehingga dapat tercipta kepuasan bagi pasangan suami istri. Kualitas dan kuantitas
hubungan seksual adalah hal yang penting bagi kesejahteraan pernikahan.
g. Keluarga dan teman
Area ini menilai perasaan dan perhatian pasangan terhadap hubungan
kerabat, mertua serta teman-teman. Area ini merefleksikan harapan dan perasaan
senang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Hubungan yang
baik antara menantu dan mertua juga dengan saudara ipar dapat terjadi jika
individu dapat menerima keluarga pasangan seperti keluarganya sendiri.
Pernikahan akan cenderung lebih sulit jika salah satu pasangan menggunakan
sebagian waktunya bersama keluarganya sendiri, jika ia juga mudah dipengaruhi
oleh keluarganya, dan jika ada keluarga yang datang dan tinggal dalam waktu
yang lama (Hurlock, 1999).
h. Anak dan pengasuhan anak
Area ini menilai sikap dan perasaan tentang menjadi orangtua, memiliki
dan membesarkan anak. Fokusnya adalah bagaimana orangtua menerapkan
keputusan mengenai disiplin anak, cita-cita terhadap anak serta bagaimana
pengaruh kehadiran anak terhadap hubungan dengan pasangan. Kesepakatan
dengan pasangan dalam hal mengasuh dan mendidik anak penting halnya dalam
pernikahan.
i. Kepribadian
Area ini menilai persepsi individu mengenai persoalan yang berhubungan
dengan tingkah laku pasangannya dan tingkat kepuasan dalam setiap persoalan
kebiasaan-kebiasaan serta kepribadian pasangan. Persoalan tingkah laku pasangan yang tidak
sesuai harapan dapat menimbulkan kekecewaan, sebaliknya jika tingkah laku
pasangan sesuai yang diinginkan maka akan menimbulkan perasaan senang dan
bahagia.
j. Kesetaraan Peran
Area ini menilai perasaan dan sikap individu terhadap peran yang beragam
dalam kehidupan pernikahan. Fokusnya adalah pada pekerjaan, tugas rumah
tangga, peran sesuai jenis kelamin, dan peran sebagai orangtua. Hurlock (1999)
menjelaskan bahwa konsep egalitarian menekankan individualitas dan persamaan
derajat antara pria dan wanita. Suatu peran harus mendatangkan kepuasan pribadi
dan tidak hanya berlaku untuk jenis kelamin tertentu. Pria dapat bekerjasama
dengan wanita sebagai rekan baik di dalam maupun di luar rumah. Suami tidak
merasa malu jika penghasilan istri lebih besar dan jabatan lebih tinggi. Wanita
mendapatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan dirinya, mengembangkan
potensi yang dimilikinya serta memanfaatkan kemampuan dan pendidikan yang
dimiliki untuk mendapatkan kepuasan pribadi.
4. Kriteria Kepuasan Pernikahan
Menurut Skolnick (dalam Lemme, 1995), ada beberapa kriteria dari
pernikahan yang memiliki kepuasan yang tinggi, antara lain :
a. Adanya relasi personal yang penuh kasih sayang dan menyenangkan dimana
dalam keluarga terdapat hubungan yang hangat, saling berbagi, dan menerima
b. Kebersamaan, adanya rasa kebersamaan dan bersatu dalam keluarga. Setiap
anggota keluarga merasa menyatu dan menjadi bagian dalam keluarga.
c. Model parental role yang baik. Pola orang tua yang baik akan menjadi contoh
yang baik bagi anak-anak mereka. Hal ini dapat membentuk keharmonisan
dalam keluarga.
d. Penerimaan terhadap konflik-konflik. Konflik yang muncul dalam keluarga
dapat diterima secara normatif, tidak dihindari melainkan berusaha untuk
diselesaikan dengan baik dan menguntungkan bagi semua anggota keluarga.
e. Kepribadian yang sesuai dimana pasangan memiliki kecocokan dan saling
memahami satu sama lain. Hal yang penting juga yaitu adanya kelebihan yang
satu dapat menutupi kekurangan yang lainnya sehingga pasangan dapat saling
melengkapi satu sama lain.
f. Mampu memecahkan konflik. Kemampuan pasangan untuk memecahkan
masalah serta strategi yang digunakan oleh pasangan untuk menyelesaikan
konflik yang dapat mendukung kepuasan pernikahan pasangan tersebut.
B. DUKUNGAN KELUARGA
1. Pengertian Dukungan Sosial
Menurut Sarafino (2006) dukungan sosial adalah perasaan nyaman yang
dirasakan, diperhatikan, dihargai, atau bantuan yang diperoleh individu dari orang
atau kelompok lain yang membuat individu merasa diperhatikan, bernilai, dan
disayangi. Gottlieb (dalam Kuntjoro, 2002) juga mendefinisikan dukungan sosial
yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam lingkungan
sosialnya atau berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan
emosional atau pengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dalam hal ini orang
yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega karena
diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya.
Baron dan Byrne (2000) juga menyatakan bahwa dukungan sosial adalah
kenyamanan fisik dan psikologis yang disediakan oleh teman dan anggota
keluarga. Lebih jauh lagi Taylor (2009) mendefinisikan dukungan sosial sebagai
informasi dari orang lain bahwa ia dicintai dan diperhatikan, memiliki harga diri
dan bernilai, serta merupakan bagian dari jaringan komunikasi dan kewajiban
bersama.
Berdasarkan uraian definisi yang telah dikemukakan sebelumnya maka
dapat disimpulkan bahwa dukungan sosial adalah bantuan yang diperoleh individu
dari orang atau kelompok lain dapat berupa informasi, tingkah laku tertentu,
ataupun materi yang menjadikan individu merasa diperhatikan, bernilai, dan
disayangi.
2. Bentuk – bentuk Dukungan Sosial
Sarafino (2006) mengemukakan empat bentuk dari dukungan sosial, yaitu:
a. Dukungan Emosional
Jenis dukungan mencakup mencakup ungkapan empati, kepedulian dan
perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosional merupakan
untuk mendengar keluhan seseorang akan memberikan dampak positif sebagai
sarana pelepasan emosi, mengurangi kecemasan, membuat individu merasa
nyaman, tenteram, diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan
dalam hidup mereka.
b. Dukungan Instrumental
Jenis dukungan mencakup bantuan yang diberikan secara langsung atau
nyata, dapat berupa jasa atau materi. Misalnya pinjaman uang bagi individu atau
menghibur saat individu mengalami stres. Dukungan ini membantu individu
dalam melaksanakan aktivitasnya.
c. Dukungan Informasional
Jenis dukungan mencakup pemberian nasehat, petunjuk, saran, atau umpan
balik mengenai bagaimana orang melakukan sesuatu. Dukungan ini dapat
dilakukan dengan memberi informasi yang dibutuhkan oleh seseorang. Dukungan
ini membantu individu mengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan
pemahaman individu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut
diperlukan untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis.
Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusan karena
mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat, dan petunjuk.
d. Dukungan Persahabatan
Jenis dukungan mencakup kesediaan waktu orang lain untuk
menghabiskan waktu atau bersama dengan individu, dengan demikian akan
memberikan rasa keanggotaan dari suatu kelompok yang saling berbagi minat dan
3. Sumber Dukungan Sosial
Taylor (2009) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat berasal dari
banyak sumber yang berbeda, seperti orangtua, pasangan atau orang yang dicintai,
keluarga, teman, maupun komunitas sosial.
Kahn dan Antonucci (dalam Orford, 1992) menyatakan bahwa seorang
individu dikelilingi oleh suatu pengiring yang selalu mendukung atau menyertai
individu tersebut sepanjang masa hidupnya. Ada anggota-anggota pengiring yang
stabil sepanjang waktu perannya, yaitu yang menyertai dan mendukung individu.
Peran mereka sangat berarti bagi individu. Yang tergolong ke dalam pengiring ini
adalah pasangan, keluarga, dan teman dekat.
Kahn dan Antonoucci (dalam Orford, 1992) membagi sumber-sumber
dukungan sosial menjadi tiga kategori yaitu:
a. Sumber dukungan sosial yang stabil sepanjang waktu perannya, yaitu yang
selalu ada sepanjang hidupnya, yang menyertai dan mendukungan individu
tersebut. Misalnya keluarga dekat, pasangan (suami atau istri) atau teman
dekat.
b. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sedikit berperan
dalam hidupnya dan cenderung berubah sesuai sepanjang waktu. Misalnya
teman kerja, tetangga, sanak keluarga, dan teman sepergaulan.
c. Sumber dukungan sosial yang berasal dari individu lain yang sangat jarang
member dukungan dan memiliki peran yang sangat cepat berubah. Sumber
dukungan ini misalnya tenaga ahli atau professional dan keluarga jauh dan
4. Dukungan Keluarga
Menurut Gerungan (2009) menyatakan keluarga merupakan kelompok
sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan menyatakan
diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan kelompoknya.
Setiono (2011) juga menyatakan keluarga adalah kelompok orang yang ada
hubungan darah atau perkawinan. Burgess dan Locke (dalam Degenova, 2008)
juga menyatakan keluarga adalah pola kecil dari suatu masyarakat yang terdiri
dari individu-individu yang disatukan oleh ikatan pernikahan, ikatan darah, ikatan
adopsi, hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan antar anggota keluarga
saling bereaksi, berkomunikasi dalam peran-peran sosial keluarga, sesuai dengan
kultur bagi masyarakat tetapi dengan ciri yang unik. Kertamuda (2009)
menambahkan bahwa keluarga adalah tempat seseorang untuk bergantung baik
secara ekonomi maupun untuk kehidupan sosial lainnya, tempat untuk
memperoleh dukungan, sekaligus berperan dominan dalam pengambilan
keputusan dalam kehidupan.
Gunarsa dan Gunarsa (2000) menyatakan bahwa keluarga sebagai unit
terkecil dalam masyarakat memegang peranan penting dan berguna untuk
mengurangi masalah yang mungkin terjadi. Di dalam keluarga terjadi interaksi
antara pribadi antara orangtua dan anak maupun sebaliknya, yang berpengaruh
terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada
anggota keluarga tersebut.
1. Keluarga batih/ inti (nuclear family), terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang
kesemuanya sedarah.
2. Keluarga besar (extended family), adalah semua orang dari satu keturunan dari
kakek dan nenek yang sama, termasuk keturunan suami dan istri atau merujuk
pada keluarga inti dengan penambahan anggota keluarga selain anak, misalnya
paman, bibi, serta orang tua dari pasangan suami istri.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan
pusat utama dalam kehidupan manusia yang senantiasa mendampingi dan
mengiringi seorang manusia sepanjang hidupnya dan merupakan pendukung
utama bagi individu dalam menghadapi suka dan duka di dalam kehidupannya.
Berdasarkan beberapa literatur diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
dukungan sosial yang berasal dari keluarga merupakan dukungan yang cukup
penting bagi pasangan yang telah menikah. Dukungan sosial keluarga adalah
bantuan yang diperoleh individu dari keluarganya yang dapat berupa informasi,
tingkah laku tertentu, ataupun materiil yang menjadikan individu merasa
disayangi, diperhatikan, dan bernilai. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan
tempat utama pasangan yang menikah untuk mendapatkan nasehat, saran,
informasi, interaksi yang dapat mendukung mereka di dalam pernikahannya. Tipe
keluarga yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah keluarga besar (extended
C. KEPUASAN PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA
Suku Batak Toba merupakan suatu kesatuan yang memiliki kebudayaan
dan bahasa tersendiri yang berbeda dengan suku lainnya (Irmawati, 2002). Suku
Batak Toba merupakan masyarakat patrilineal dan menarik garis kekeluargaan
dari pihak laki-laki, juga memiliki aturan dan adat pernikahan. Suku ini mengenal
bentuk pernikahan eksogami marga yaitu pernikahan dengan orang di luar
kelompok marga sendiri dan tidak boleh melakukan pernikahan secara timbal
balik (Saragih dkk, 1980).
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Irmawati (dalam
Irmawati, 2008), suku bangsa Batak Toba memiliki nilai-nilai budaya yang sangat
berbeda. Dalam menjalani hidupnya suku Batak Toba berpedoman pada sejumlah
nilai-nilai utama yang menjadi keyakinan, penghormatan, dan cita-cita hidupnya.
Sistem kekerabatan dan kekeluargaan memegang peranan penting dalam
mengatur hubungan antara manusia dan lingkungannya. Sistem kekerabatan
tersebut disebut dalihan na tolu. Sistem kekerabatan dalihan na tolu merupakan
prinsip dasar kekerabatan suku Batak Toba (Gultom, 1992). Ihromi (dalam
Vergouwen, 2004) juga mengemukakan bahwa segi kehidupan kemasyarakatan
serta beberapa hal penting, seperti kebahagiaan dan kesejahteraan keluarga orang
Batak Toba, berkaitan erat dengan hubungan-hubungan kekerabatan yang disebut
dalihan na tolu.
Khans dan Eva (dalam majalah Horas, 2003) menyatakan bahwa lembaga
pernikahan dan hubungan kekerabatan merupakan tiang terpenting yang
memiliki keluarga besar dengan banyak kerabat. Pernikahan dan hubungan
kekerabatan menjadi tujuan hidup dan yang memberi makna hidup bagi orang
Batak Toba. Pernikahan juga dipandang sebagai pernikahan yang sakral dan oleh
karena itu hanya berlangsung satu kali seumur hidupnya, pasangan yang telah
menikah tidak diperbolehkan untuk berpisah apapun yang terjadi.
Pernikahan dipandang bukan hanya menjadi urusan pria dan wanita yang
melakukan pernikahan, tetapi menjadi urusan bersama di dalam kedua belah pihak
keluarga (Saragih dkk., 1980). Bahkan ketika pasangan tersebut mengalami
konflik di dalam pernikahannya, maka dalihan na tolu akan langsung turut
menyelesaikan perselisihan tersebut dan mengambil keputusan untuk pasangan
tersebut (Lubis, 1999). Dalihan na tolu memiliki pengaruh di dalam kehidupan
pernikahan suami dan istri tersebut.
Suami dan istri disebut mardongan saripe, artinya berbagi atas suatu hak
milik benda. Karena itu di dalam kehidupan pernikahannya, seorang suami dan
istri dikatakan ‘na marripe ripe do nasida di saluhut hangoluan, di nasa sitaonon,
hasonangan, parulian dohot lan angka na asing’, ‘gumul na so jadi bagian,
ansimun na so tupa bola on.’ Suami dan istri adalah satu perasaan baik susah
maupun senang dan atas seluruh kehidupan mereka, mereka berdua tidak dapat
dipisahkan dengan alasan apapun (Sitohang & Sibarani, 1988).
Pasangan suku Batak Toba sangat jarang melakukan perceraian sehingga
pernikahan pada suku Batak Toba umumnya bertahan lama dan hanya dipisahkan
oleh kematian salah satu dari pasangan (Sitohang & Sibarani, 1988). Siagian
pasangannya, hanya memiliki pasangan satu saja di sepanjang kehidupannya.
Wismanto (2004) juga menyatakan bahwa adanya pernikahan yang kekal dan
bertahan lama dikarenakan adanya kebahagiaan dan kepuasan yang dirasakan oleh
pasangan di dalam pernikahannya. Jadi berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa kepuasan pernikahan pada suku Batak Toba adalah baik yang
ditunjukkan dari jarangnya pasangan melakukan perceraian dan cenderung untuk
mempertahankan pernikahannya.
D. DEWASA AWAL
1. Pengertian Dewasa Awal
Masa dewasa awal merupakan masa dewasa yang dimulai dari usia 18
tahun – 40 tahun. Pada masa ini, terjadi perubahan-perubahan fisik, psikologis
dan kemampuan reproduktif (Hurlock, 1999).
2. Karakteristik Dewasa Awal
Hurlock (1999) menyebutkan ada beberapa karakteristik dari usia dewasa
awal yaitu sebagai masa pengaturan, usia reproduktif, masa bermasalah, masa
ketegangan emosional, masa keterasingan emosional, masa komitmen, masa
ketergantungan, masa perubahan nilai, masa penyesuaian diri dengan cara hidup
baru, masa kreatif.
Sebagai masa pengaturan, individu sudah saatnya menerima tanggung
jawab sebagai orang dewasa. Sebagai usia reproduktif, individu berperan menjadi
banyak mengalami masalah baru pada tahun awal masa dewasanya. Sebagai masa
ketegangan emosional, individu mungkin agak bingung dan mengalami keresahan
emosional dikarenakan memasuki suatu wilayah baru. Sebagai masa keterasingan
sosial, individu merasakan keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah
akan berkurang seiring dengan berakhirnya pendidikan formal dan masuknya ke
dalam pola kehidupan orang dewasa sehingga individu mengalami keterasingan
sosial.
Sebagai masa komitmen, individu mengalami perubahan tanggungjawab
menjadi orang dewasa dan membuat komitmen-komitmen baru di dalam
hidupnya. Sebagai masa ketergantungan, individu yang telah mencapai usia
dewasa awal masih agak tergantung kepada orang lain selama jangka waktu yang
berbeda-beda, misalnya kepada orangtua, lembaga pendidikan, atau pemerintah.
Sebagai masa perubahan nilai, individu mengalami perubahan pandangan karena
pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dan karena nilai-nilai dilihat dari
kacamata orang dewasa. Sebagai masa penyesuaian diri, individu melakukan
penyesuaian diri terhadap gaya hidup yang baru, seperti penyesuaian pola
kehidupan keluarga ataupun peran seks. Sebagai masa kreatif, individu bebas
untuk mengembangkan kreatifitas tergantung pada minat, kemampuan individual
3. Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Hurlock (1994) menyebutkan ada beberapa tugas perkembangan yang
harus dipenuhi oleh individu usia dewasa awal, yaitu:
1. Mendapatkan suatu pekerjaan
2. Memilih seorang teman hidup atau menikah
3. Belajar hidup bersama dengan suami atau istri membentuk suatu keluarga
4. Membesarkan anak-anak
5. Mengelola sebuah rumah tangga
6. Menerima tanggung jawab sebagai warga negara dan bergabung dalam
kelompok sosial yang cocok
4. Tugas Psikososial Dewasa Awal
Erikson mengatakan bahwa tahap perkembangan psikososial dewasa awal
adalah intimacy versus isolation, sebagai salah satu tugas yang penting bagi
dewasa awal (dalam Papalia, 2007). Intimacy akan muncul saat seseorang sudah
mencapai atau menemukan cara untuk membentuk dan mempertahankan identitas
secara menetap, yang dilakukan dalam masa remaja. Intimacy merupakan
kemampuan seseorang untuk menyatukan identitas diri yang sudah ditemukan di
masa remaja dengan identitas diri orang lain. Newman dan Newman (2006)
menambahkan bahwa intimacy merupakan kemampuan seseorang untuk
mengalami, baik itu menerima atupun memberi, suatu hubungan yang terbuka,
saling mendukung dan hubungan yang penuh kasih dengan orang lain tanpa
dewasa awal dapat ditemukan melalui hubungan intim yang dibentuk dengan
pasangan romantisnya (pacar, suami atau istri) dan juga dengan sahabat (Papalia,
2007). Newman dan Newman (2006) juga mengemukakan bahwa salah satu tugas
perkembangan pada dewasa awal adalah membangun hubungan yang intim
dengan seseorang di luar dari anggota keluarganya.
Suatu hubungan yang intim memiliki komponen kognitif dan afektif.
Seseorang akan mampu untuk memahami pandangan dan pemikiran dari
pasangannya. Individu biasanya juga akan mengalami suatu rasa kepercayaan diri
dan saling memberikan perhatian yang merefleksikan kasih sayang mereka
terhadap pasangannya. Intimacy juga akan mendorong individu untuk terbuka
dengan perasaannya sehingga memungkinkan individu tersebut untuk berbagi
ide-ide dan rencana dengan pasangannya (Newman & Newman, 2006).
E. HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPUASAN
PERNIKAHAN PADA SUKU BATAK TOBA
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin maju, tingkat
perceraian pun semakin meningkat. Berdasarkan data Badilag pada tahun 2010,
kasus dan tingkat perceraian di Indonesia tampak terus meningkat dari tahun ke
tahunnya. Data menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia tergolong
besar, bahkan di atas lima puluh persen angka pernikahan.
Menurut Brigham (1986), salah satu penyebab terjadinya perceraian
adalah karena individu merasa tidak puas dengan kehidupan pernikahannya.
merupakan sebentuk persepsi terhadap kehidupan pernikahan seseorang yang
diukur dari besar kecilnya kesenangan yang dirasakan dalam jangka waktu
tertentu. Kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh pasangan tergantung pada
tingkat dimana mereka merasakan pernikahan tersebut sesuai dengan kebutuhan
dan harapannya (Hughes & Noppe, 1985). Kepuasan pernikahan tersebut dapat
dilihat melalui beberapa aspek yang dikemukakan Olson dan Fowers, yaitu
meliputi komunikasi, orientasi keagamaan, kegiatan di waktu luang, penyelesaian
konflik, pengelolaan keuangan,hubungan seksual, keluarga dan teman, anak dan
pengasuhan anak, kepribadian, dan kesetaraan peran.
Adanya kepuasan pernikahan di dalam sebuah pasangan suami istri dapat
dilihat dari bagaimana mereka mempertahankan pernikahannya atau dengan kata
lain bertahan dengan pernikahannya. Di dalam pernikahan tersebut,
masing-masing suami dan istri merasa bahagia satu sama lain, saling memahami dan
menghargai satu sama lain. Suami dan istri juga memahami dan menilai latar
belakang budaya mereka (dalam Matlin, 2008).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Salim (2010) yang
mengatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kepuasan pernikahan
adalah latar belakang sosial budaya. Hal tersebut menunjukkan bahwa budaya
dapat mempengaruhi pernikahan yang dilakukan oleh pasangan suami dan istri.
Hal ini dapat dilihat pada suku Batak Toba yang sangat berpengaruh terhadap
pernikahan pasangan suami istri. Keluarga dari pihak suami dan istri turut serta
Dalam pernikahan suku Batak Toba, pernikahan bertujuan untuk
melanjutkan keturunan marga dan akan bertambahnya keluarga baik pada pihak
suami maupun istri. Oleh karena itu kedua belah pihak keluarga terlibat dalam
pasangan yang telah menikah (Saragih, 1980). Ketika ada konflik dalam keluarga
maka keluarga akan turut serta dalam menyelesaikan masalah tersebut dengan
cara musyawarah dan mufakat (Lubis, 1999). Sistem kekeluargaan yang disebut
dengan dalihan na tolu ini sangat berpengaruh di dalam pernikahan yang utuh,
dan adat pada budaya ini juga sangat melarang adanya perceraian (Saragih, 1980).
Dengan kata lain, pada suku Batak Toba keluarga berperan penting terhadap
kehidupan pernikahan.
Keluarga adalah sumber dukungan sosial pertama yang penting untuk
mengatasi masalah. Keluarga dapat menyediakan dukungan dan dapat
memberikan rasa aman serta melalui ekspresi kehangatan, empati, persetujuan
atau penerimaan yang ditunjukkan oleh anggota keluarga yang lain (Santrock,
2005). Hartanti (2002) juga mengatakan apabila individu mendapat dukungan
keluarga akan mengalami berkurangnya kelelahan emosi dan stress sehingga
individu menjadi tidak sedih lagi, tidak merasa kecewa dan mendapatkan
masukan-masukan untuk masalah yang sedang dihadapi, akibatnya individu akan
mampu menyelesaikan masalah dengan sikap yang positif.
Dukungan keluarga merupakan kebutuhan dari setiap anggotanya, baik
ketika masih anak-anak hingga dewasa. Hal ini dikarenakan keluarga merupakan
tempat bagi seseorang untuk memperoleh kenyamanan, cinta, dan dukungan
(2007) menambahkan ketika pasangan menikah tidak mendapatkan dukungan
emosional maka dapat menimbulkan kegagalan dalam pernikahan. Lestari (2012)
juga menyatakan adanya dukungan yang diberikan orang tua berupa dukungan
emosional dan instrumental merupakan hal yang sangat penting bagi pasangan.
Dukungan yang diberikan oleh keluarga mampu meningkatkan kepuasan
yang dirasakan pasangan di dalam pernikahannya (Nichole, 2004). Penelitian
yang dilakukan oleh House (dalam Maldonado, 2005) juga menemukan bahwa
dukungan dari keluarga merupakan hal yang paling efektif dalam mengurangi
beban pada individu. Pentingnya dukungan keluarga juga diun