commit to user
TERHADAP UPAYA PENANGGULANGAN KEBUTUHAN AKSES AIR MINUM DAN SANITASI
MASYARAKAT MISKIN
( Studi Kasus Di Kabupaten Sragen Tahun 2008)
TESIS
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister
Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan Konsentrasi: Ekonomi SDM dan Pembangunan
Oleh :
CHOIRIL SURYA ADMAJA
NIM S4209010
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN SURAKARTA
commit to user
DAMPAK IMPLEMENTASI PROGRAM
PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI BERBASIS MASYARAKAT TERHADAP UPAYA PENANGGULANGAN
KEBUTUHAN AKSES AIR MINUM DAN SANITASI MASYARAKAT MISKIN
( Studi Kasus Di Kabupaten Sragen Tahun 2008)
Disusun Oleh:
CHOIRIL SURYA ADMAJA S4209010
Telah Disetujui Pada :
Hari, Tanggal:...
Surakarta, November 2010
Dewan Pembimbing I Dewan Pembimbing II
Prof . Dr. Tulus Haryono, SE,MEk Izza Mafruhah, SE,MSi
NIP.19550801 198103 1 006 NIP. 19720323 200212 2 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan MESP FE UNS
commit to user
DAMPAK IMPLEMENTASI PROGRAM
PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI BERBASIS MASYARAKAT TERHADAP UPAYA PENANGGULANGAN
KEBUTUHAN AKSES AIR MINUM DAN SANITASI MASYARAKAT MISKIN
( Studi Kasus Di Kabupaten Sragen Tahun 2008)
Disusun Oleh:
CHOIRIL SURYA ADMAJA S4209010
Telah disetujui oleh Tim Penguji Pada Tanggal:
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Tim Penguji Dr. Evi Gravitiani, M.Si ...
Pembimbing Utama Prof. Dr.Tulus Haryono, SE,Mek ...
Pembimbing Pendamping Izza Mafruhah, SE, M.si ...
Mengetahui, Ketua Program Studi
Direktur PPs UNS Magister Ekonomi dan Studi
Pembangunan
Prof. Drs. Suranto, M.Sc. PhD Dr. J.J. Sarungu, MS
commit to user
Karya ini kupersembahkan untuk :
vMasyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang masih mengalami
krisis multidimensional
vAlmamaterku
commit to user
“Allah tidak akan menguji manusia, melainkan sesuai dengan kemampuannya”
commit to user
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan
Tesis sebagai sebagian dari syarat untuk mendapatkan Gelar Magister dengan judul “Dampak
Implementasi Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat terhadap
Upaya Penanggulangan Kebutuhan Akses Air Minum dan Sanitasi Masyarakat Miskin
( Studi Kasus di Kabupaten Sragen Tahun 2008)”
Penyusunan Tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. J.J. Sarungu, MS selaku Ketua Program Studi Magister Ekonomi dan Studi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Drs. Wahyu Agung Setyo, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Magister
Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Sebelas Maret
Surakarta.
3. Bapak Prof . Dr. Tulus Haryono, SE, Mek selaku Pembimbing Utama dalam penyusunan
tesis ini, yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga tesis ini dapat
terselesaikan.
4. Ibu Izza Mafruhah, SE, MSi selaku Pembimbing Pendamping dalam penyusunan tesis ini,
yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
5. Bapak Ir. Agus Putrono, M.Si, selaku Kabid Statistik Pengendalian dan Evaluasi Bappeda
Kabupaten Sragen, yang telah memberikan ijin penulis untuk melakukan penelitian di
beberapa instansi/ Dinas terkait.
6. Para narasumber dan responden dalam penelitian ini.
7. Orangtua, istri, kakak dan adik, serta saudara-saudaraku mahasiswa pascasarjana MESP
yang telah memberikan dorongan semangat dan do’a restu, sehingga penulis dapat
commit to user
Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan demi sempurnanya
tesis ini. Namun demikian, penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca
pada umumnya dan penulis khususnya.
Surakarta, Nopember 2010
commit to user
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
1.2 Perumusan Masalah ... 7
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1Konsep Pemberdayan Masyarakat ... 9
2.2Konsep Kemiskinan ... 14
2.3Pengukuran Kemiskinan ... 23
2.4Program Penanggulangan Kemiskinan ... 26
2.5Arah Kebijakan Pembangunan ... 30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 34
3.1Populasi ... 34
3.2Sampel ... 34
3.3Variabel Penelitian ... 34
3.4Sumber dan Pengumpulan Data ... 35
3.5Metode Analisis Data ... 36
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
4.1Gambaran Umum Kabupaten Sragen ... 38
4.2Gambaran Umum Program Pamsimas ... 39
4.3Implementasi Program Pamsimas di Kabupaten Sragen ... 55
commit to user
5.2Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
Tabel Hal
4.1 Ringkasan Penggunaan Dana Program Pamsimas 48
4.2 Ringkasan data Desa-desa sasaran Pamsimas 57
4.3 Perbandingan kondisi akses air bersih masyarakat Desa Jetis 74
4.4 Perbandingan kondisi akses masyarakat Desa Tanggan terhadap
air bersih 75
4.5 Perbandingan kondisi akses masyarakat Desa Banyurip terhadap
air bersih 76
4.6 Perbandingan kondisi akses masyarakat Desa Jembangan
terhadap air bersih 77
4.7 Perbandingan kondisi akses masyarakat Desa Kalangan terhadap
air bersih 78
4.8 Perbandingan kondisi akses masyarakat Desa Sambirembe
terhadap air bersih 79
4.9 Perbandingan kondisi akses masyarakat Desa Ngandul terhadap
air bersih 80
4.10 Perbandingan kondisi akses masyarakat Desa Girimargo terhadap
air bersih 81
4.11 Perbandingan kondisi akses masyarakat Desa Gebang terhadap
air bersih 82
4.12 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa Jetis 83
4.13 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa
Tanggan 84
4.14 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa
Banyurip 84
4.15 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa
Jembangan 84
4.16 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa
Kalangan 85
4.17 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa
Sambirembe 85
4.18 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa
Ngandul 86
4.19 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa
Girimargo 86
4.20 Tingkat penggunaan sarana sanitasi sampai tahun 2010 Desa
commit to user
Gambar 2.6 Kerangka Berpikir Penelitian... 33
4.2.4 Struktur Organisasi Pamsimas Secara Umum... 44
4.2.6.6 Struktur Organisasi LKM... 54
4.3.1Kerangka Pikir yang Dikembangkan dari Tujuan dan
commit to user
commit to user
TERHADAP UPAYA PENANGGULANGAN KEBUTUHAN AKSES AIR MINUM DAN SANITASI
MASYARAKAT MISKIN
( Studi Kasus Di Kabupaten Sragen Tahun 2008)
Oleh:
CHOIRIL SURYA ADMAJA NIM S4209010
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang bagaimana dampak dari implementasi dan hal-hal yang menjadi penghambat/kendala yang dihadapi dalam melaksanakan program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas) di Kabupaten Sragen tahun 2008.
Metodologi penelitian menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, dengan populasi adalah Desa sasaran Pamsimas tahun 2008, dan cara menentukan sampel dengan
cara quota sampling yang berjumlah sembilan Desa. Penyajian hasil menggunakan model
tabel ataupun persentase.
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa dampak yang terjadi untuk menanggulangi permasalahan air bersih dan sanitasi di Desa sasaran Pamsimas tahun 2008 terlihat dari cakupan total cakupan masyarakat yang mampu mengakses sarana air bersih setelah atau pasca program Pamsimas dan perubahan yang terjadi di masyarakat dalam menggunakan sarana sanitasi yang sesuai dengan kriteria sarana sanitasi sehat atau tangga sanitasi.
Cakupan sarana air bersih dan sanitasi pasca program pamsimas secara berurutan adalah sebagai berikut: Desa Jetis Kecamatan Sambirejo (83%, 89.8%), Desa Tanggan Kecamatan Gesi (72.1%, 91.6%), Desa Banyurip Kecamatan Jenar (89.7%, 93%), Desa Jembangan Kecamatan Plupuh (28.64%, 93.7%), Desa Kalangan Kecamatan Gemolong (98.5%, 91.7%), Desa Sambirembe Kecamatan Kalijambe (36.5%, 88.75%), Desa Ngandul Kecamatan Sumber Lawang (85.3%, 88.75%), Desa Girimargo Kecamatan Miri (54.36%, 88.86%) dan Desa Gebang Kecamatan Sukodono (78.83%, 88.64%).
Kesimpulan yang bisa ditarik dari penelitian ini adalah: dampak program penyediaan
air minum dan sanitasi berbasis masyarakat belum berdampak besar, karena keterbatasan-keterbatasan yang dialami seperti sumber pendanaan sehingga mengurangi rencana kerja masyarakat khususnya bidang fisik atau sarana air bersih (SAB), dan kegiatan pemicuan penggunaan sarana sanitasi atau jamban di masyarakat yang belum optimal karena membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk merubah perilaku masyarakat ke perilaku yang lebih sehat. Hambatan atau kendala yang terjadi selama program berjalan satu tahun periode ialah proses pemberdayaan masyaraat yang belum optimal mengingat sumber daya masyarakat yang terbatas, serta sulitnya merubah anggapan masyarakat desa penerima program yang menganggap program Pamsimas adalah suatu proyek “top down”, atau dari atas ke bawah sehingga partisipasi yang harusnya muncul, belum terlihat maksimal untuk semua bidang program Pamsimas.
commit to user BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia berhak menentukan
nasib bangsanya sendiri, hal ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan. Menurut
Sondang P.Siagian (1999), pembangunan merupakan suatu usaha atau rangkaian
pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan secara sadar oleh
suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju pada modernitas dalam rangka
pembinaan bangsa. Sedangkan menurut Bintoro (1988) bahwa pembangunan
dapat diartikan pula sebagai suatu proses pembaharuan yang kontinyu dan terus
menerus dari suatu keadaan yang dianggap lebih baik.
Pemerintah Indonesia memiliki komitmen sangat kuat untuk mencapai
target water supply and sanitation – Millenium Development Goals
(WSS-MDGs), yaitu menurunnya jumlah penduduk yang belum mempunyai akses air
minum dan sanitasi dasar sebesar 50% pada tahun 2015.
Berdasarkan UU Nomor 32/2004 tentang pemerintah daerah dan UU Nomor
33/2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, pemerintah daerah bertanggungjawab penuh untuk memberikan pelayanan
dasar kepada masyarakat di daerahnya masing-masing, termasuk pelayanan air
minum dan sanitasi. Namun demikian, bagi daearah-daerah dengan wilayah
perdesaan relatif luas, berpenduduk miskin relatif tinggi dan mempunyai kapasitas
fiskal rendah, pada umumnya kemampuan mereka sangat terbatas, sehingga
memerlukan dukungan finansial utnuk membiayai investasi yang dibutuhkan
commit to user
dalam rangka meningkatkan kemampuan pelayanannya kepada masyarakat, baik
untuk investasi fisik dalam bentuk sarana prasarana, maupun investasi non –fisik
yang terdiri dari manajemen, teknis, dan pengembangan sumber daya manusia.
Menurut Bappeda Propinsi Jawa Tengah (2003) mengatakan kelemahan
pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan di masa lalu antara lain :
1. Berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro.
2. Kebijakan terpusat.
3. Lebih bersifat karitatif.
4. Memposisikan masyarakat sebagai obyek.
5. Cara pandang tentang kemiskinan yang diorientasikan pada ekonomi.
6. Asumsi permasalahan dan penanggulangan kemiskinan yang sering dipandang
sama.
Sehubungan dengan itu perlunya pola baru dalam penanganan kemiskinan
yang lebih berorientasi pada kemandirian dan berkelanjutan upaya – upaya
masyarakat, pemerintah daerah dan kelompok peduli setempat. Oleh karena itu
pemahaman tentang data kemiskinan sangat diperlukan untuk memberikan
informasi kepada pengambil kebijakan yang ditujukan untuk pengentasan
kemiskinan.
Program WSLIC 3/ pamsimas merupakan salah satu program dan aksi nyata
pemerintah (pusat dan daerah) dengan dukungan Bank Dunia, untuk
meningkatkan penyediaan air minum, sanitasi, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat terutama dalam menurunkan angka penyakit diare dan
commit to user
Menurut Departemen Kesehatan, dari 1000 bayi lahir 50 di antaranya
meninggal dunia karena diare. Hal ini sering terkait dengan penggunaan air yang
tercemar tinja. Suplai air bersih yang lebih baik diperkirakan mampu mengurangi
angka kematian akibat diare sebesar 21%. Sedangkan sanitasi yang lebih baik
diperkirakan mampu mengurangi angka kematian akibat diare sebesar 37,5%.
Tindakan sederhana seperti mencuci tangan memakai sabun di saat-saat tepat
dapat mengurangi angka kejadian diare sampai 35%. Sekalipun demikian, sanitasi
tetap menjadi prioritas rendah dengan anggaran yang minim di kota-kota besar.
Hal ini terutama karena manfaat langsung yang dirasakan lebih minim ketimbang
manfaat investasi dalam bentuk pembangunan perumahan, jalan, pasar dan
sekolah (ESP News, Volume 8, 2006 * 2)
Air bersih merupakan kebutuhan pokok yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan. Pemenuhan kebutuhan akan air bersih untuk skala nasional, cakupan
pemakaian air bersih baru mencapai 76,41% (63,37% di pedesaan dan 91,8% di
perkotaan), dimana dari angka tersebut hanya separuhnya (52%) yang memenuhi
syarat bakteriologis air bersih, sedangkan cakupan penduduk yang memakai
jamban adalah sekitar 66,03% (54,2% di pedesaan dan 85,89% di perkotaan).
Melihat data tersebut maka penduduk Indonesia masih kurang dalam
mengakses air bersih dilihat dari kualitas dan kuantitas. Menghadapi situasi yang
demikian, Pemerintah Indonesia telah mencanangkan kebijakan dan strategi baru
dalam suatu “Gerakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan sebagai Strategi
Nasional menuju Idonesia Sehat 2010”. Dalam strategi tersebut telah ditetapkan
commit to user
tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan
permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan, serta
terwujudnya kehidupan masyarakat yang berperilaku hidup sehat dan saling
tolong menolong dengan memelihara budaya bangsa.
Program penyediaan sarana dan prasarana masyarakat seperti sarana air
minum, sanitasi dan kesehatan lingkungan akan lebih efektif dan berkelanjutan
apabila berbasis masyarakat, melibatkan seluruh masyarakat ( laki-laki dan
perempuan, kaya dan miskin) dan menggunakan pendekatan yang tanggap
terhadap kebutuhan masyarakat. Tanggap terhadap kebutuhan berarti bahwa
program menyediakan sarana dan kebutuhan masyarakat sehingga masyarakat
mau berkontribusi dan membiayai, mengelola dan memelihara sarana yang pada
akhirnya akan menumbuhkan rasa memiliki. Untuk itu perlu dilakukan
pendekatan pemberdayaan masyarakat yang partisipatif agar masyarakat mau dan
mampu berpartisipasi secara aktif dalam menyiapkan, melaksanakan,
mengoperasionalkan dan memelihara sarana yang telah dibangun, serta
melanjutkan kegiatan peningkatan derajat kesehatan di masyarakat dan di
lingkungan sekolah.
Tujuan dari program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis
masyarakat (Pamsimas) adalah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
air bersih dan sanitasi guna mengubah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (masyarakat miskin
pedesaan dan peri-urban). Secara khusus program Pamsimas bertujuan untuk :
commit to user
minum dan sanitasi yang berkelanjutan, kapasitas lokal baik pemerintah lokal
maupun masyarakat dalam menyebarluaskan model program penyediaan sarana
air minum dan sanitasi, efektifitas dan keberlanjutan jangka panjang dari
infrastruktur sarana air bersih dan sanitasi berbasis masyarakat serta pembangunan
ekonomi desa/kelurahan dalam mendukung operasional dan pemeliharaan
infrastruktur yang telah dibangun.
Kegiatan program Pamsimas dibagi menjadi lima bagian : a)
pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan lokal, pembiayaan
pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kelembagaan lokal dalam rangka
mengarusutamakan dan menyebarluaskan pendekatan Pamsimas terhadap
peningkatan akses terhadap sarana air minum, sanitasi dan kesehatan, b)
dukungan terhadap kegiatan peningkatan sanitasi dan perilaku hidup sehat
termasuk penyebaran pendekatan CLTS (Community Led Total Sanitation) atau
sanitasi total berbasis masyarakat, kesehatan dan sanitasi sekolah serta promosi
kesehatan, c) dana hibah untuk penyiapan dan implementasi pembangunan sarana
air minum dan sanitasi masyarakat dan sekolah, d) dana hibah untuk inovasi dan
insentif bagi Desa dan kabupaten dalam mengarusutamakan dan replikasi
program Pamsimas, serta e) dukungan administrasi dan manajemen program
Pamsimas.
Oleh karena itu, dalam rangka mencapai tujuan tersebut maka Pemerintah
Indonesia bekerja sama dengan Bank Dunia pada tahun 2008 memberi bantuan
untuk masyarakat yang terbatas akses air bersihnya, kekurangan sanitasi dasar
commit to user
sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas) salah satunya di Kabupaten Sragen,
Propinsi Jawa Tengah. Posting pendanaan program PAMSIMAS:
1. APBN/Loan Bank Dunia : Rp 192.500.000 (70%)
2. APBD Kab/Kota : Rp 27.500.000 (10%)
3. Kontribusi Masy. Desa : Rp 11.000.000 ( 4%) cash
Rp 44.000.000 (16%) tenaga & material
Total dana per Desa : Rp 275.000.000
Desa sasaran program Pamsimas Kabupaten Sragen tahun 2008 sebanyak
sembilan Desa yaitu: Desa Jetis Kecamatan Sambirejo, Desa Tanggan Kecamatan
Gesi, Desa Banyurip Kecamatan Jenar, Desa Jembangan Kecamatan Plupuh, Desa
Kalangan Kecamatan Gemolong, Desa Sambirembe Kecamatan Kalijambe, Desa
Ngandul Kecamatan Sumber Lawang, Desa Girimargo Kecamatan Miri dan Desa
Gebang Kecamatan Sukodono.
Semua Desa tersebut sudah melaksanakan dan menyelesaikan proses
program, dan tentunya dengan berbagai opsi (pilihan) penyediaan air minum dan
peningkatan sanitasi di Desanya masing-masing. Mendasar pada tujuan program
Pamsimas, yaitu peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih dan sanitasi
guna mengubah perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) masyarakat, oleh karena
itu peneliti tertarik untuk mengambil judul tesis ” Dampak Implementasi Program
Pamsimas Terhadap Upaya Penanggulangan Kebutuhan Akses Air Minum dan
commit to user 1.2 Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian dalam latar belakang diatas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah dampak implementasi Program Pamsimas terhadap Desa-desa
sasaran tahun 2008 di Kabupaten Sragen?
2. Kendala apa sajakah yang dihadapi dalam pelaksanaan Pamsimas di
Kabupaten Sragen tahun 2008?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1 Mengetahui dampak implementasi Program Pamsimas terhadap Desa-desa
sasaran tahun 2008 di Kabupaten Sragen.
2 Mengetahui kendala yang dihadapi dalam melaksanakan Program Pamsimas
di Kabupaten Sragen tahun 2008.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai dua manfaat yakni sebagai berikut :
1. Bersifat Teoritis
a. Bagi mahasiwa dapat memperoleh pengetahuan tentang bagaimana peran
program Pamsimas terhadap upaya pengentasan kemiskinan
b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan bagi
mahasiswa dan pemerhati masalah sosial khususnya tentang kemiskinan
2. Bersifat Praktis
a. Pengambil kebijakan dan keputusan mengenai Program Pemberdayaan
commit to user
dapat mengatasi hambatan - hambatan yang muncul dalam
mengimplementasikan program.
b. Memberikan informasi dan wawasan bagi pembaca dan penulis lain
commit to user BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan merupakan konsep yang muncul setelah adanya
perencanaan advokasi dan perencanaan komunikatif. Pemberdayaan dapat
didefinisikan sebagai sebuah proses/ mekanisme di mana sekelompok orang,
organisasi atau masyarakat memiliki penguasaan atas masalah yang dialami
(Rappaport, 1987).
Menurut Cornell Empowerment Group, pemberdayaan masyarakat adalah
suatu proses yang sedang dan terus berlangsung secara sengaja dan berpusat pada
masyarakat lokal yang berpikiran kritis, memiliki prinsip saling menghormati,
kepedulian terhadap sesama dan partisipasi kelompok, yang mana melalui proses
ini mereka yang tidak memiliki akses akan keadilan alokasi sumber daya,
memiliki akses dan kendali akan sumber daya tersebut (Perkins and Zimmerman,
1995).
Asumsi teori pemberdayaan: (1) Pemberdayaan memiliki bentuk yang
berbeda untuk (sekelompok) orang yang berbeda. (2) Pemberdayaan memiliki
bentuk yang berbeda dalam situasi berbeda. (3) Pemberdayaan berfluktuasi atau
berubah sesuai dengan perubahan waktu.
Syarat berlangsungnya proses pemberdayaan: (1) Anggota masyarakat
memiliki rasa kemasyarakatan (sense of community/ guyub/ kebersamaan) dan
mereka aktif berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan. (2) Partisipasi warga,
yaitu suatu proses dimana tiap individu ikut ambil bagian dalam proses
commit to user
pengambilan keputusan dalam lembaga, program dan lingkungan dimana mereka
berada. (Mulayadi ST, 2005)
Menurut TDr. Wahyudi Kumorotomo tiga bentuk tingkatan partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat yakni: 1. Partisipasi dalam pemilihan (electoral
participation), 2. Partisipasi dalam pembuatan keputusan (decision-making
participation) 3. Partisipasi dalam menentukan isi keputusan publik (determining
the content of policies).
Selain itu program penanggulangan kemiskinan juga harus melibatkan
partisipasi masyarakat, karena dengan partisipatif model ada beberapa
keuntungan, yakni: menguatkan rasa tanggungjawab, menunjang efisiensi;
keberhasilan pembangunan akan lebih terjamin dan membantu proses pelaksanaan
program secara teknis. Hal ini didukung dengan UU No. 25/2004: Pemda
hendaknya menciptakan bottom-up planning, dan UU No. 32/2004:
“pembangunan harus memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas, dan meningkatkan peran serta masyarakat” (TDr. Wahyudi
Kumorotomo).
Kiat mengembangkan program partisipatif Menurut TDr. Wahyudi
Kumorotomo: (1). Orientasi pada hasil, jangan pada target, (2). Jangan
menimbulkan ketergantungan, jangan bersifat bagi-bagi habis (charity), (3).
Jangan hanya mengakomodasi kelompok tertentu, (4). Program harus
mengembangkan rasa tanggungjawab, serta (5). Penanggulangan kemiskinan
commit to user
Menurut Mulayadi ST (2005) Landasan teoritis dalam pembangunan
masyarakat dalam konsep Community Development atau pembangunan
masyarakat, teknik perencanaan yang digunakan adalah : (1) Perencanaan
advokasi. (2) Perencanaan komunikatif. (3) Pemberdayaan.
Asian Development Bank (ADB) menyatakan bahwa fokus pada gender
memberi manfaat yang lebih besar dari sekedar kemampuan proyek untuk
menyediakan air dan sanitasi yang baik, yang tercermin dalam beberapa aspek
seperti proses penyediaan yang lebih baik, pengoperasian dan pemeliharaan yang
lebih baik, pengembalian biaya, dan kesadaran terhadap higiene. Adapun
manfaat-manfaat tersebut, termasuk, antara lain:
a. Manfaat ekonomi: Akses yang lebih baik pada air akan memberi kaum
perempuan waktu yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas
mendatangkan pendapatan, menjawab kebutuhan-kebutuhan anggota
keluarga, atau memberikan kesejahteraan dan waktu luang untuk
kesenangan mereka sendiri. Perekonomian, secara keseluruhan, dapat pula
memberikan berbagai manfaat.
b. Manfaat kepada anak-anak: Kebebasan dari pekerjaan mengumpulkan dan
mengelola air yang memakan waktu dapat membuat anak-anak, khususnya
anak perempuan untuk bersekolah. Oleh sebab itu, dampaknya diharapkan
dapat mencapai antargenerasi.
c. Pemberdayaan terhadap kaum perempuan: Keterlibatan dalam
proyek-proyek penyediaan air dan sanitasi akan memberdayakan kaum
commit to user
dengan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan peningkatan
pendapatan dan sumber daya-sumber daya produktif seperti kredit.
Partisipasi dari pihak yang mendapatkan manfaat dan perhatian kepada
pengurangan tingkat kemiskinan merupakan dua penentu utama atas efektivitas
dan kesinambungan pengelolaan penyediaan air dan sanitasi. Sebuah proyek
penyediaan air dan sanitasi harus memperhatikan kendala-kendala partisipasi
kaum perempuan dalam desain proyek, konstruksi, operasional dan pemeliharaan
(O&M), pelatihan, serta monitoring dan evaluasi (M&E).
Proyek tersebut juga harus memperhatikan hubungan antara gender dan
kemiskinan dengan mengidentifikasi, misalnya, rumah tangga yang dikepalai
kaum perempuan dan kebutuhan-kebutuhan khusus rumah tangga tersebut.
Pemberdayaan adalah terminologi yang paling sering disejajarkan dan
digunakan dalam upaya poverty reduction. Pemberantasan kemiskinan
memerlukan keterlibatan perempuan dalam pembangunan sosial dan ekonomi,
kesempatan yang sama dan partisipasi penuh dan adil antara laki-laki dan
perempuan sebagai agen pembangunan berkelanjutan. Pemberdayaan merupakan
proses peningkatan kapasitas seseorang atau kelompok dalam menentukan pilihan
guna melakukan suatu aksi atau output yang diinginkan. Pemberdayaan
merupakan kombinasi antara dua faktor yang saling terkait yakni agency dan
struktur peluang. Agency yang dimaksud adalah kemampuan seseorang dalam
menentukan pilihan yang berarti baginya. Sedangkan struktur peluang adalah
berbagai aspek yang membuat seseorang dapat berbuat sesuatu karena
commit to user
sebagai dalam situasi dimana terdapat ketidakseimbangan relasi kekuasaan, maka
seseorang yang memiliki kapasitas yang memadai mampu melakukan
pilihan-pilihan yang efektif serta dapat memperoleh benefit dari berbagai upaya yang
berusaha menekan angka kemiskinan.
Pemberdayaan perempuan yang dicanangkan dalam Millenium
Development Goals untuk mengurangi kemiskinan berwajah perempuan memiliki
tiga dimensi yaitu Human Capability, kemampuan manusia dalam hal pendidikan,
kesehatan dan gizi, dengan menghilangkan gap pendidikan bagi perempuan dan
laki-laki hingga sekolah menengah; Acces to resources and opportunity, akses
terhadap sumber daya dan kesempatan yang mengacu pada aset ekonomi dan
partisipasi politik; dan Security, terutama kerentanan perempuan terhadap
kekerasan. Pemberdayaan perempuan dapat menekan angka kemiskinan dengan
mengubah dan memperbaiki hidup perempuan. Pemberdayaan perempuan dapat
dilakukan dengan pendekatan pembangunan berbasis hak, bahwa setiap orang
memiliki berbagai hak yang mendasar yang mana setiap negara wajib untuk
memajukan, meningkatkan dan melindungi hak-hak warga negaranya, untuk
hidup layak termasuk untuk tidak hidup dalam kemiskinan. Amartya Sen juga
menggarisbawahi relevansi antara kebebasan, hak asasi manusia dan
pembangunan. Dengan memasukkan konsep hak, kemampuan (dan kapasitas),
peluang, kebebasan dan hak-hak individu ke dalam diskursus kemiskinan, maka
kemiskinan dapat dikategorikan sebagai suatu yang bertentangan dengan hak-hak
commit to user
Pemberdayaan perempuan dapat berupa pemberdayaan hukum yang
diintegrasikan dengan kegiatan pelayanan hukum yang dilengkapi dengan
berbagai kegiatan pendidikan masyarakat/publik, advis hukum, dan reformasi
hukum. Perempuan yang telah berdaya secara hukum atau dengan perkataan lain
telah menyadari hak-hak hukumnya, maka dapat memberikan perlindungan
terhadap dirinya sendiri. Pemberdayaan perempuan dapat juga diintegrasikan ke
dalam kegiatan pembangunan sosial ekonomi seperti pembangunan desa,
kesehatan masyarakat, kesehatan reproduksi dan perumahan. Perempuan yang
telah berdaya dapat memfokuskan dirinya sebagai agent of change baik bagi
perempuan lainnya maupun terhadap masyarakat pada umumnya yang akan
memberikan sumbangan yang besar dalam upaya perlindungan perempuan dan
lebih jauh lagi menekan kemiskinan perempuan (Dewi Mayavanie Susanti).
2.2 Konsep Kemiskinan
Menurut Aris Munandar dalam Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No.
1, September 2002: 12-24, pembangunan adalah sebuah istilah yang sangat
populer dalam kehidupan bangsa Indonesia, terutama pada masa Orde Baru. Kata
ini seakan-akan menjadi suatu kekuatan besar yang memberikan energi dan
motivasi kepada bangsa Indonesia untuk meraih keberhasilan dan kesejahteraan
dalam segala aspek kehidupan.
Kebijakan dan program pembangunan yang disusun setiap lima tahun
(Repelita) sekali dengan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai
landasan operasionalnya telah “membius” dan menambah keyakinan masyarakat
commit to user
statistik, dan dukungan dunia internasional yang menunjukkan kesuksesan
pelaksanaan pembangunan - menurunnya angka kemiskinan sampai 15% pada
tahun 1990; angka pertumbuhan ekonomi (PNB) yang tinggi, mencapai 7,34%
tahun 1993 dan pendapatan perkapita (PDB) mencapai 919 dolar per tahun;
perkembangan teknologi dan industri (industri pesawat terbang dan mobil
nasional); serta indikator-indikator sosial-ekonomi lainnya - semakin menambah
kepercayaan bangsa Indonesia akan keampuhan dan “kesaktian” kata
pembangunan, meskipun dalam kenyataannya sebagian besar mereka hidup dalam
kesulitan dan kebodohan karena kemiskinan.
Kita terjebak dengan laporan dan angka-angka statistik yang begitu
meyakinkan, karena selama itu (Orde Baru) keberhasilan dalam pencapaian
pembangunan sangat bias ekonomi. Sebagaimana dikatakan oleh Arief Budiman
(1995): Di Indonesia, kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala
hal. Secara umum, kata ini diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan
masyarakat dan warganya. Seringkali, kemajuan yang dimaksud terutama adalah
kemajuan material. Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan
yang dicapai oleh sebuah masyarakat dalam bidang ekonomi.
Kemiskinan menurut pendekatan ilmu sosial dapat diartikan sebagai suatu
keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai
dengan taraf hidup kelompoknya dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga,
mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Lebih lanjut Emil Salim
commit to user
pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok
seperti pangan, pakaian, tempat berteduh, dan lain – lain” (Emil Salim,1982:41).
Pengertian “Miskin” menurut kamus yang disusun oleh WJS
Porwadarminta, berarti “tidak berharta benda, serba kurang”. Sementara The
Concise Oxford Dictionary memberikan definisi “ Poor” sebagai “ Lacking
adequate money or means to live comfortably”. Dari kedua pengertian tersebut
jelas sekali bahwa pengertian kemiskinan tidak semata-mata berhubungan dengan
uang saja. Pengertian harta benda lebih luas dari sekedar uang. Demikian juga
halnya dengan “means to live comfortably” (Tjiptoheriyanto, 1996 : 109).
Kemiskinan kemudian didefinisikan lebih luas dari sekedar miskin pendapatan.
Menurut Reitsma dan Kleinpenning (1996) kemiskinan adalah ketidakmampuan
untuk memenuhi kebutuhan seseorang, baik yang mencakup material maupun
non-material. Selanjutnya Gunawan Sumodiningrat (1997:78) membedakan
kemiskinan ke dalam tiga pengertian, yaitu :
a. Kemiskinan Absolut
Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya
dibawah garis kemiskinan atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan minimum, antara lain kebutuhan pangan, sandang,
kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan
bekerja. Rendahnya tingkat pendapatan itu terutama disebabkan oleh keterbatasan
commit to user
b. Kemiskinan Relatif
Adalah pendapatan seseorang yang sudah diatas garis kemiskinan, namun
relatif lebih rendah dibanding pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan
relatif erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang belum menjangkau
seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan pendapatan.
c. Kemiskinan Kultural
Kemiskianan kultural ini mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat
yang (disebabkan oleh faktor budaya) tidak mau berurusan untuk memperbaiki
tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya.
Adapun ciri – ciri mereka yang tergolong miskin menurut Gunawan
Sumodiningrat (1997) adalah :
1. Sebagian besar dari kelompok yang miskin ini terdapat di pedesaan dan
mereka ini umumnya buruh tani yang tidak memiliki lahan sendiri.
Kalaupun ada yang memiliki tanah luasnya tidak seberapa dan tidak cukup
untuk membiayai ongkos hidup yang layak.
2. Mereka itu pengangguran atau setengah menganggur. Kalau ada pekerjaan
maka sifatnya tidaklah teratur atau pekerjaan tidaklah memberi pendapatan
yang memadai bagi tingkat hidup yang wajar.
3. Mereka berusaha sendiri, biasanya dengan menyewa peralatan dengan
orang lain. Usaha mereka kecil dan terbatas dengan ketiadaan modal.
4. Rata – rata semua tidak memiliki peralatan kerja atau modal sendiri.
Kebanyakan dari mereka tidak berpendidikan, apabila ada, tingkat
commit to user
5. Mereka kurang berkesempatan untuk memperoleh dalam jumlah yang
cukup bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas kesehatan,
komunikasi dan fasilitas kesejahteraan sosial pada umumnya (Gunawan
Sumodiningrat, 1997 : 19)
Menurut Mohtar Mas’oed (2003) berdasarkan penyebabnya kemiskinan
dapat dibedakan dalam dua jenis yakni :
1. Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan ini timbul akibat kelangkaan sumber – sumber daya alam,
kondisi tanah yang tandus, tidak ada pengairandan kelangkaan prasarana.
2. Kemiskinan Buatan
Kemiskinan ini timbul akibat munculnya kelembagaan (seringkali akibat
modernisasi atau pembangunan itu sendiri) yang membuat anggota masyarakat
tidak dapat menguasai sumber daya, sarana dan fasilitas ekonomi yang ada secara
merata (atau disebut juga dengan kemiskinan struktural) (Mohtar Mas’oed, 2003 :
138)
Dimensi utama kemiskinan adalah politik, sosial budaya dan psikologi,
ekonomi, dan akses terhadap aset. Dimensi tersebut saling terkait dan saling
mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat
tinggal, bila sakit tidak mempunyai dana untuk berobat. Orang miskin umumnya
tidak dapat membaca karena tidak mampu bersekolah, tidak memiliki pekerjaan,
takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit akibat kekurangan air
bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki
commit to user
Maka ciri – ciri masyarakat miskin dapat dilihat sebagai berikut :
1. Secara politik : tidak memiliki akses ke proses pengambilan keputusan
yang menyangkut hidup mereka.
2. Secara sosial : tersingkir dari institusi utama masyarakat yang ada
3. Secara ekonomi : rendahnya kualitas SDM termasuk kesehatan,
pendidikan, ketrampilan yang berdampak pada penghasilan.
4. Secara budaya dan tata nilai : terperangkap dalam budaya rendahnya
kualitas SDM seperti rendahnya etos kerja, berpikir pendek, dan fatalisme.
5. Secara lingkungan hidup : rendahnya pemilikan aset fisik termasuk aset
lingkungan hidup, seperti air bersih dan penerangan. Kondisi tersebut
menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia seperti
sandang, pangan, papan, keamanan, identitas kultural, proteksi, kreasi,
kebebasan, partisipasi, dan waktu luang (Fernandes, 2000).
Pengertian kemiskinan menurut komite penanggulangan kemiskinan dapat
didefinisikan sebagai berikut :
1. BPS : Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hanya dapat memenuhi
kebutuhan makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari.
2. BKKBN : Kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera yang tidak dapat
melaksanakan ibadah menurut agamanya, tidak mampu makan 2 kali sehari,
tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja, dan bepergian, bagian
terluas rumah berlantai tanah, dan tidak mampu membawa anggota keluarga
ke sarana kesehatan. Pengertian ini lebih lanjut menjadi keluarga miskin,
commit to user
a. Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging, ikan/telur.
b. Setahun sekali seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu
stel pakaian.
c. Luas lantai rumah paling kurang 8 m² untuk tiap penghuni.
Keluarga miskin sekali adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak
dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
a. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.
b. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda untuk dirumah,
bekerja/sekolah, dan bepergian.
c. Bagian lantai yang terluas bukan dari tanah
3. Bank Dunia : Kemiskinan adalah tidak tercapainya kehidupan yang layak
dengan penghasilan US $ 1 per hari per tahun.
Pada umumnya definisi kemiskinan adalah pendapatan minimum yang
dibutuhkan untuk memperoleh masukan kalori dasar. Salah satu pendekatan yang
paling baik dan mengimplementasikan matriks keseluruhan dari kemiskinan
adalah konsep kebutuhan dasar dari Filipina (ADB, 1999) yang mendefinisikan
dalam 3 tingkat hierarki kebutuhan yaitu :
a.Survival : makanan/gizi, kesehatan, air bersih/sanitasi, pakaian.
b.Security : rumah, damai, pendapatan, pekerjaan.
c.Enabling : pendidikan dasar, partisipasi, perawatan keluarga, psikososial.
Menurut Niken S, 2007 kemiskinan itu bersifat multi dimensional. Artinya
kebutuhan manusia itu bermacam – macam maka kemiskinan pun memiliki
commit to user
1). Aspek Primer berupa :
- Miskin aset.
- Organisasi sosial politik.
- Pengetahuan dan Keterampilan.
2). Aspek Sekunder berupa :
- Jaringan sosial
- Sumber Keuangan dan Informasi.
Penyebab Kemiskinan :
a. Karena ciri dan keadaan masyarakat dalam suatu daerah sangat beragam
(berbeda) ditambah dengan kemajuan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi
yang masih rendah.
b. Kebijakan dalam negeri seringkali dipengaruhi oleh kebijakan luar negeri
atau internasional antara lain dari segi pendanaan.
Menurut Izza Mafruhah, Indeks Kemiskinan Manusia diperkenalkan
pertama kali oleh UNDP (United Nation Development Program), dengan
mengkombinasikan antara indikator angka harapan hidup, tingkat buta huruf,
tingkat kekurangan gizi, akses terhadap air bersih dan tingkat pelayanan
kesehatan. Indikator – indikator yang mendasarinya tidak dari kelompok
masyarakat yang sama (izzamafruhah.wordpress.com/multidimensi-kemiskinan)
Indeks kemiskinan manusia menggambarkan sebaran dari ketertinggalan
masyarakat atas kemajuan yang sudah ada dalam suatu negara. Di negara – negara
yang sedang berkembang, termasuk Indonesia, difokuskan pada deprivasi dalam
commit to user
untuk tidak bertahan hidup hingga usia 40 tahun, pengetahuan yang diukur dengan
angka buta huruf pada orang dewasa, dan ketersediaan sarana umum yang diukur
dengan prosentase penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap sumber air
bersih, prosentase penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap fasilitas
kesehatan dan persentase anak – anak di bawah usia 5 tahun dengan berat badan
kurang. (BPS, Bappenas, UNDP, 2001 )
Secara nyata, IKM merupakan indikator hasil secara langsung terhadap
program – program pengentasan kemiskinan yang dilakukan baik secara nasional
maupun daerah. Namun selama ini ukuran yang digunakan oleh BPS dalam
menghitung angka kemiskinan hanya berdasarkan jumlah penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskinan yang diukur dari biaya hidup atau pengeluaran konsumsi
yang dimiliki oleh masyarakat untuk hidup secara layak.
Menurut Kincaid ( 1975 ) semakin besar ketimpang antara tingkat hidup
orang kaya dan miskin maka semakin besar jumlah penduduk yang selalu miskin.
Sehingga Bank Dunia ( world bank ) membagi aspek tersebut dalam tiga bagian
antara lain :
a) Jika 40 % jumlah penduduk berpendapat rendah menerima kurang dari 12 %
pendapatan nasionalnya maka pembagian pembangunan sangat timpang.
b) Apabila 40 % lapisan penduduk berpendapatan rendah menikmati antara 12 –
17 % pendapatan nasional dianggap sedang.
c) Jika 40 % dari penduduk berpendapatan menengah menikmati lebih dari 17 %
commit to user
Dari beberapa definisi kemiskinan tersebut, penulis berpendapat bahwa
kemiskinan bukan hanya sekedar ketidak mampuan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya saja, kemiskinan juga mencakup aspek sosial dan moral.
Misalnya, kurangnya kesempatan berusaha, budaya hidup, dan lingkungan dalam
suatu masyarakat, yang menempatkan mereka pada posisi yang lemah. Tetapi
pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah
kemiskinan material.( Niken Setyaningsih, 2007)
2.3 Pengukuran Kemiskinan
Tidaklah mudah untuk menarik suatu batas yang cukup jelas antara
penduduk miskin dan yang tidak miskin. Langkah pertama untuk memperkirakan
jumlah kaum miskin dengan mendefinisikan garis kemiskinan. Garis kemiskinan
pada dasarnya adalah standar minimum yang diperlukan oleh individu untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya, ternasuk jenis pangan dan bukan pangan. BPS
menggunakan data pengeluaran sebagai representasi dari pendapatan untuk
mendefinisikan titik dasar minimum standar ini bagi kebutuhan pangan dan bukan
pangan. BPS mengartikan penduduk miskin sebagai penduduk yang tingkat
pendapatannya masih dibawah kebutuhan minimum, bahkan mungkin dibawah
Kebutuhan Fisik Minimumnya (KFM). Jumlah pendapatan yang diperlukan untuk
mencapai tingkat kebutuhan minimumnya inilah yang lazim disebut sebagai
“Garis Kemiskinan”.
Pendekatan-pendekatan terhadap formulasi garis kemiskinan terletak
commit to user
a. Pendekatan yang berdasarkan pada beras, termasuk ukuran-ukuran lain atas
dasar jumlah bahan makanan yang digunakan.
b. Pendekatan yang didasarkan pada pemasukan atau pengeluaran
(Tjondronegoro dalam Husken, 1997 : 194)
Menurut Mohtar Mas’oed (2003) untuk mengukur kemiskinan di
Indonesia dikenal tiga cara. Yang pertama adalah metode yang dikembangkan
oleh Prof. Sajogjo, menurut metode ini orang miskin adalah yang tidak mampu
memperoleh penghasilan per kapita setara 320 kg beras, untuk penduduk desa,
atau 480 kg beras untuk penghuni kota.
Garis kemiskinan Sajogjo secara khusus tidak dibuat untuk mendefinisikan
kaum miskin dan non miskin. Dasar yang dirujuk sebagai garis kemiskinan
Sajogjo adalah kandungan makanan dan gizi dalam kaitan dengan Program
Pemajuan Gizi Keluarga Terapan. Konsep ini mengubah pengeluaran perkapita
dengan padanan beras, yaitu pendapatan diekspresikan dalam jumlah beras yang
dapat dibeli. Dengan kemajuan yang terus menerus dalam pembangunan ekonomi,
dan ketika kajian tentang gizi dilakukan, sekarang itu tidak mencukupi, lantaran ia
tidak dapat manunjukkan pengeluaran bagi pemenuhan kebutuhan– kebutuhan
seperti kesehatan, sekolah, dan perumahan di kawasan urban dan rural.
Ketidakuntungan lebih jauh dari garis kemiskinan Sajogjo terletak pada fakta
bahwa harga – harga beras telah naik dibandingkan dengan harga – harga
komoditas lain yangdiperlukan.
Metode kedua dikembangkan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dengan
commit to user
Sosial – Ekonomi Nasional (SUSENAS). Metode ketiga adalah
kriterionkesejahteraan yang disebut indeks Kebutuhan Fisik Minimum (KFM),
yaitu nilai barang dan jasa minimum yang diperlukan oleh satu keluarga kota per
bulan, Indeks tidak didasarkan pada data yang dikumpulkan oleh Departemen
Tenaga Kerja setiap enam bulan untuk menetapkan tingkat upah minimum buruh.
KFM ditetapkan per propinsi (Mohtar Mas’oed, 2003 : 137). Masing – masing
metode itu mempunyai kelebihan dan kekurangan, namun diantara ketiga metode
itu, kriteria yang umum dipakai adalah yang diterbitkan oleh BPS.
Metode BPS yang digunakan secara resmi menggunakan pendekatan basic
needs approach atau kemiskinan yang dikonseptualisasikan sebagai ketidak
mampuan memenuhi kebutuhan dasar, dalam hal ini kemiskinan dipandang dari
sisi ketidakmampuan ekonomi. BPS mendefinisikan garis kemiskinan pemenuhan
kebutuhan minimmal makanan 2100 kalori untuk setiap orang per hari
(Widyakarya Pangan dan Gizi, 1998). Serta kebutuhan bukan makanan
(perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, transportasi serta kebutuhan dasar
bukan makanan lainnya). Untuk batas kecukupan makanan dihasilkan dari 52
jenis komoditi sedangkan untuk paket komoditi bukan makanan mencakup 51
jenis komoditi diperkotaan (27 sub kelompok pengeluaran) dan 47 jenis komoditi
di pedesaan (27 sub kelompok pengeluaran).
Secara matematis, Indeks Kemiskinan Manusia diformulasikan sebagai
berikut:
IKM = [ 1/3 ( P13 + P23 + P33) ]1/3
commit to user
P1 : Didefinisikan sebagai peluang suatu populasi untuk hidup sampai umur 40
th, metode yang digunakan sama dengan penghitungan untuk IPM. Data
yang digunakan adalah data susenas.
P2 : Didefinisikan sebagai angka buta huruf usia dewasa ( 15 tahun ke atas )
P31: Didefinisikan sebagai persentase rumah tangga yang tidak menggunakan air
PAM, air pompa, air sumur yang letaknya lebih dari 10 m dari septik tank.
Indonesia biasanya dikumpulkan dari data Susenas 1998.
2.4 Program Penanggulangan Kemiskinan
Pemerintah sebenarnya telah melaksanakan upaya penanggulangan
kemiskinan sejak pembangunan ber-pelita yaitu Pelita I yang sudah menjangkau
pelosok tanah air. Upaya ini telah menghasilkan perkembangan yang positif.
Namun demikian krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah menimbulkan
lonjakan pengangguran dan meningkatkan kemiskinan. Disisi lain menyadarkan
kita bahwa pendekatan yang dipilih dalam penanggulangan kemiskinan perlu
dikoreksi atau diperkaya dengan upaya untuk meningkatkan taraf hidup. Ada
beberapa alasan penting mengapa kemiskinan perlu mendapat perhatian untuk
ditanggulangi, yaitu :
1. Kemiskinan merupakan kondisi yang kurang beruntung bagi kaum miskin,
akses terhadap perubahan politik dan institusional sangat terbatas.
2. Kemiskinan merupakan kondisi yang cenderung menjerumuskan orang miskin
ke dalam tindak kriminalitas.
3. Bagi para pembuat kebijaksanaan, kemiskinan itu sendiri juga mencerminkan
commit to user
(Tjiptoherijanto, 1996 : 71). Sesungguhnya, Indonesia telah cukup memiliki
perhatian terhadap kelompok miskin, terlihat dari berbagai produk hukum dan
kebijakan yang telah dibuat selama ini. Hal ini mengindikasikan adanya
perhatian khusus bagi mereka yang secara kategorial sangat miskin dan tidak
bisa didekati dengan strategi ekonomi yang normal. Dengan kata lain,
pemerintah memandangnya sebagai kewajiban sosial dengan memberikan
bantuan – bantuan yang berformat hibah.
Dasar hukum utama program penanggulangan kemiskinan adalah UUD
1945. pada pasal 34 UUD 1945 yang terdiri dari 4 ayat, dicantumkan secara jelas
landasan program kemiskinan sebagai berikut :
Ayat 1 : Fakir miskin dan anak – anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Ayat 2 : Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyrakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
Ayat 3 : Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan
dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Ayat 4 : Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang undang.
Khusus pada ayat 1 terlihat bahwa program bantuan untuk anak – anak
terlantar dan fakir miskin bukanlah bantuan yang bertujuan untuk merangsang
kemampuan ekonomi, setidaknya dalam waktu dekat. Kemudian dalam pasal 28
ayat 5 yang berbunyi “setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
commit to user
persaman dan keadilan”. Ayat ini menunjukkan bahwa pemerintah diperbolehkan
memberikan perlakuan yang khusus kepada satu kelompok masyarakat, sehingga
prinsip “adil dalam peluang” dapat dikedepankan dengan memberikan
kemampuan yang relatif seimbang pada mereka yang membutuhkan.
Pada tingkatan yang lebih implementatif, dalam Undang – Undang No. 5
tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), disebutkan
empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu :
1. Penciptaan kesempatan (create opportunity) melalui pemulihan ekonomi
makro, pembangunan yang baik, dan peningkatan pelayanan umum.
2. Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dengan meningkatkan
akses terhadap sumber daya ekonomi dan politik.
3. Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan
perumahan.
4. Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang memiliki cacat
fisik, fakir miskin, kelompok masyarakat yang terisolir, serta terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK), dan korban konflik sosial.
Poin keempat menunjukkan secara tegas perlunya kebijakan yang
segmentatif, salah satunya berupa program perlindungan sosial yang
mengkhususkan kelompok paling bawah. Tiga bentuk program sebelumnya (poin
1, 2, dan 3) belum dapat diakses oleh kelompok paling miskin. Pemerintah juga
menyadari bahwa keluarga miskin tidak saja berlokasi pada desa – desa miskin di
wilayah terpencil dimana telah tercakup dalam program IDT, tetapi juga di tempat
commit to user
baru dalam penanggulangan kemiskinan dilakukan upaya pemberdayaan
masyarakat melalui sasaran kelompok masyarakat tidak individual lagi dan setiap
upaya pemberdayaan baik yang dilakukan pemerintah, dunia usaha maupun
kelompok peduli masyarakat miskin seharusnya dipandang sebagai pancingan dan
pemacu untuk menggerakkan ekonomi rakyat. Untuk itu maka dalam berbagai
upaya penanggulangan kemiskinan memenuhi lima hal pokok sebagai berikut :
a. Bantuan dana sebagai modal usaha.
b. Pembangunan prasarana sebagai pendukung pengembangan kegiatan sosial
ekonomi masyarakat.
c. Penyediaan sarana untuk memperlancar pemasaran hasil produksi barang dan
jasa masyarakat.
d. Pelatihan bagi aparat dan masyarakat.
e. Penguatan kelembagaan sosial ekonomi masyarakat (Sumodiningrat, 1997 : 7
dalam Niken S, 2007).
Menurut Niken S, 2007 strategi / kebijakan dalam mengurangi kemiskinan
antara lain:
1. Pembangunan Sektor Petanian
Sektor pertanian memiliki peranan penting di dalam pembangunan karena
sektor tersebut memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pendapatan
masyarakat di pedesaan berarti akan mengurangi jumlah masyarakat miskin.
Terutama sekali teknologi disektor pertanian dan infrastruktur.
commit to user
Sumberdaya manusia merupakan investasi insani yang memerlukan biaya
yang cukup besar, diperlukan untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara umum, maka dari itu peningkatan lembaga
pendidikan, kesehatan dan gizi merupakan langka yang baik untuk diterapkan oleh
pemerintah.
3. Peranan Lembaga Swadaya Masyarakat
Mengingat LSM memiliki fleksibilitas yang baik dilingkungan masyarakat
sehingga mampu memahami komunitas masyarakat dalam menerapkan rancangan
dan program pengentasan kemiskinan. ( Niken Setyaningsih, 2007)
2.5 Arah Kebijakan Pembangunan
Untuk mencapai sasaran tersebut di atas, maka kebijakan penanggulangan
kemiskinan pada tahun 2007 di arahkan pada perluasan akses masyarakat miskin
atas pendidikan, kesehatan dan infrastruktur dasar.
Perluasan akses masyarakat miskin atas pendidikan, kesehatan dan
infrastruktur dasar meliputi kegiatan prioritas sebagai berikut.
a. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan, meliputi:
(1) Penyediaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD/MI/SDLB,
SMP/MTs, Pesantren Salafiyah dan Satuan Pendidikan Non-Islam setara
SD dan SMP.
(2) Beasiswa siswa miskin jenjang SMA/SMK/MA.
(3) Pengembangan pendidikan keaksaraan fungsional.
commit to user
(1) Pelayanan kesehatan penduduk miskin di puskesmas dan jaringannya
sebagai pendukung desa siaga.
(2) Pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III rumah sakit.
(3) Peningkatan sarana dan prasarana pelayana kesehatan dasar terutama di
daerah perbatasan, terpencil, tertinggal dan kepulauan.
(4) Peningkatan pelayanan kesehatan rujukan terutama untuk penanganan
penyakit menular dan berpotensi wabah, pelayanan kesehatan ibu dan anak,
gizi buruk dan pelayanan kegawatdaruratan.
(5) Pelatihan teknis bidan dan tenaga kesehatan untuk menunjang percepatan
pencapaian MDG.
c. Peningkatan sarana dan prasarana dasar bagi masyarakat miskin, meliputi:
(1) Pembangunan dan rehabilitasi perumahan nelayan dan perumahan rakyat di
wilayah perbatasan dan pulau kecil sebanyak 2.600 unit;
(2) Pengembangan lembaga kredit mikro perumahan sebanyak 8 kegiatan;
(3) Pengembangan subsidi kepemilikan rumah bagi masyarakat berpenghasilan
rendah;
(4) Peningkatan kualitas kawasan kumuh, desa tradisional, desa nelayan dan
desa eks transmigrasi di 150 kawasan;
(5) Pembangunan prasarana dan sarana permukiman di pulau kecil, kawasan
terpencil di 25 kawasan;
(6) Pembangunan prasarana dan sarana air minum melalui pendekatan
pemberdayaan masyarakat di 105 lokasi /desa miskin, desa rawan air, desa
commit to user
d. Pengembangan program (uji coba) subsidi langsung tunai bersyarat, meliputi:
(1) Penyediaan Subsidi Langsung Tunai Bersyarat bidang pendidikan dan
kesehatan kepada rumah tangga miskin di beberapa kabupaten percontohan;
(2) Penyediaan dukungan pembinaan peningkatan kesejahteraan bagi rumah
tangga miskin (journal.ui.ac.id/.../03_Kemiskinan%.pdf-penanggulangan
commit to user 2.6 Kerangka berpikir
Berdasarkan kajian teori yang telah diterangkan di muka, maka dapat
disusun kerangka berpikir dalam penelitian ini :
Gambar 2.6 Kerangka Berpikir Penelitian
1. Dampak program
terhadap Desa
2. Kendala selama
proses pelaksanaan Bantuan program
Pamsimas
APBN, APBD
9 Desa sasaran
Kabupaten
Sragen 2008
1. Pendekatan
pemberdayaan
commit to user BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Suharsimi Arikunto,
2006:130). Sugiyono (2003:55) dalam Niken S, 2007 mengemukakan, populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai
kuantitas dan karakteristik tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh
Desa sasaran Pamsimas Kabupaten Sragen tahun 2008 yang berjumlah sembilan
Desa.
3.2 Sampel
Pada dasarnya semua anggota populasi mempunyai peluang yang sama
untuk menjadi anggota sampel dalam sebuah penelitian (Sutrisno Hadi,
2000:220). Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
metode quota sample yaitu teknik sampling yang dilakukan berdasarkan pada
jumlah yang sudah ditentukan. (Suharsimi Arikunto, 2006:141)
Pada penelitian ini seluruh sampel berdasar pada jumlah populasi
penelitian, yaitu Desa sasaran Pamsimas Kabupaten Sragen tahun 2008 yang
berjumlah sembilan Desa.
3.3 Variabel Penelitian
Variabel penelitian merupakan gejala yang bervariasi yang diamati dalam
suatu penelitian, atau dapat dikatakan bahwa variabel penelitian adalah objek
penelitian (Suharsimi Arikunto, 2006:118). Adapun variabel dalam penelitian ini
adalah :
commit to user
1. Implementasi program penyediaan air minum dan sanitasi berbasis
masyarakat dalam mengatasi permasalahan air minum di masyarakat miskin.
Indikator pengukuran :
a. Tingkat pemanfaat: banyaknya pemanfaat yang menikmati hasil program
Pamsimas serta berapa besar kemampuan membayar masyarakat terhadap
sarana air minum pasca program.
b. Tingkat kesehatan masyarakat : Perubahan yang terjadi di masyarakat,
dalam hal berperilaku hidup bersih dan sehat, serta peningkatan kualitas
jamban dan buang air besar sembarangan (BABS)
2. Hambatan dan kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program penyediaan
air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Pamsimas)
3.4 Sumber dan Metode Pengumpulan Data
1. Survey dan Monitoring
Yaitu suatu kegiatan pengamatan peneliti terhadap populasi untuk
memperoleh data (Suharsimi Arikunto, 1998 : 193). Dalam penelitian ini populasi
yang diamati peneliti ialah masyarakat di Desa penerima program Pamsimas.
2. Dokumentasi
Metode Dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel/yang berupa catatan transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya (Suharsimi Arikunto, 2006:231).
Dalam penelitian ini metode dokumentasi yang digunakan untuk memperoleh data
commit to user
3. Kuesioner atau Angket
Metode kuesioner atau Angket ialah salah satu metode yang digunakan
sebagian besar peneliti untuk memperoleh data (Suharsimi Arikunto, 2006:225).
Dalam penelitian ini metode kuesioner atau Angket digunakan untuk mengetahui
banyaknya pemanfaat yang menikmati hasil program Pamsimas, berapa besar
kemampuan membayar masyarakat terhadap sarana air minum pasca program,
dan perubahan tingkat kesehatan masyarakat dalam hal berperilaku hidup bersih
dan sehat, serta peningkatan kualitas jamban dan buang air besar sembarangan
(BABS).
4. Wawancara (indepth interview)
Wawancara atau indepth interview adalah alat pengumpul informasi
dengan cara mengajukan pertanyaan secara lisan. Wawancara merupakan bagian
dari teknik komunikasi dimana pencari data mengadakan tanya jawab dengan
narasumber untuk menggali data yang diperlukan (Niken Setyaningsih, 2007).
Dalam penelitian ini indepth interview dilakukan terhadap Tim Koordinasi
Kabupaten (TKK), District Project Management Unit (DPMU), Tim Fasilitator
Mayarakat (TFM), Lembaga Kswadayaan Masyarakat (LKM) Desa dan
Masyarakat pemanfaat.
3.5 Metode Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,
yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kata-kata atau simbol (Suharsimi
commit to user
pencandraan (deskripsi) secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta–
fakta dan sifat – sifat populasi atau daerah tertentu (Niken S, 2007)
Menurut Sugiyono (2002:21) statistik deskriptif adalah statistik yang
berfungsi untuk mendiskripsikan atau memberi gambaran terhadap obyek yang
diteliti melalui data sampel atau populasi sebagimana adanya, tanpa melakukan
analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku umum. Dalam statistik deskriptif
akan dikemukakan cara-cara penyajian data, dengan tabel biasa maupun distribusi
frekuensi; grafik garis maupun batang; diagram lingkaran; piktogram; penjelasan
kelompok melalui modus, median, mean, dan variasi kemlompok melalui rentang
dan simpangan baku.
Menurut Niken S, (2007) Penelitian deskriptif dapat dilengkapi dengan
penggambaran secara persentase atau tabel. Adapun rumus perhitungan persentase
yang digunakan sebagai berikut:
% = n x 100 % N
dimana :
% = Persentase yang diperoleh
n = Jumlah skor yang diperoleh dari data
commit to user BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Kabupaten Sragen
Secara geografis Kabupaten Sragen merupakan dataran yang mempunyai
ketinggian antara 75 s/d 300 meter diatas permukaan laut. Iklim yang ada di
daerah Kabupaten Sragen adalah tropis dan bertemperatur sedang dengan curah
hujan rata-rata 3000 s/d 3700 mm/th. Luas wilayah Kabupaten Sragen 941,55
Km² dengan jumlah penduduk 894.031 jiwa, kepadatan penduduk 950 jiwa/Km.
Kondisi alam Kabupaten Sragen dibedakan menjadi 2 wilayah, berdasarkan letak
wilayah kecamatan tersebut terhadap Sungai Bengawan Solo, yaitu 9 wilayah
kecamatan berada di sebelah selatan Sungai Bengawan Solo, 11 wilayah
kecamatan berada di sebelah utara Sungai Bengawan Solo.
Total jumlah penduduk Kabupaten Sragen sekitar 152.264 jiwa (38.050
KK). Dari jumlah total ini, masyarakat mengalami kesulitan dalam mengakses air
bersih yang tersebar di 10 kecamatan dengan jumlah dukuh krisis air bersih
sebanyak 338 dukuh (data DPU Kab. Sragen tahun 2001). Setelah diadakan
bantuan pengadaan air bersih oleh beberapa program di Kabupaten Sragen terjadi
penurunan daerah krisis air sampai dengan akhir 2007 jumlah penduduk yang
krisis air bersih menurun dari 152.264 jiwa menjadi 26.920 jiwa. Sarana air bersih
yang telah terbangun sejumlah 92 paket di 260 dukuh. Dilihat dari kondisi
tersebut sampai dengan awal tahun 2008 penduduk yang belum terlayani air
bersih sejumlah 26.920 jiwa tersebar di 76 dukuh di 10 kecamatan.
commit to user 4.2 Gambaran Umum Program Pamsimas
4.2.1 Latar Belakang Program Pamsimas
Air dan sanitasi adalah kebutuhan makhluk hidup yang sangat penting,
disamping udara. Oleh karena itu, pemenuhan akan kebutuhan tersebut seharusnya
menjadi perhatian semua pihak. Rendahnya cakupan layanan air minum sistem
perpipaan penduduk di perkotaan dan pinggiran kota, rendahnya kualitas
penyediaan air minum (perpipaan maupun non perpipaan yang terlindungi) di
masyarakat pedesaan, keterbatasan ketersediaan air karena rusaknya lingkungan,
pengendalian tata guna lahan dan tata guna air akibat kinerja sektor air minum dan
sanitasi di Negara kita masih rendah, dibandingkan Negara lain di Asia Tenggara.
Selain itu, masih banyak kejadian penyakit berbasis lingkungan, khususnya
penyakit yang ditularkan melalui air (water borne diseases). Hal ini terpengaruh
dari kesadaran masyarakat dalam berperilaku hidup bersih dan sehat yanga masih
rendah.
Pemerintah Indonesia mempunyai komitmen sangat kuat untuk mencapai
target Water Supply and Sanitation – Millenium Development Goals
(WSS-MDGs), yaitu menurunnya jumlah penduduk yang belum mempunyai akses air
minum dan sanitasi dasar sebesar 50 % pada tahun 2015. Untuk itu, Pemerintah
pusat dan Propinsi mengajak pemerintah Kabupaten/Kota, segenap stakeholders
bersama masyarakat untuk mengatasi permasalahan air dan sanitasi, antara lain
melalui program Pamsimas. Program Third Water Supply and Sanitation for Low
Income Community 3 (WSLIC-3) / Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis
Masyarakat (Pamsimas) merupakan salah satu program dan aksi nyata pemerintah