• Tidak ada hasil yang ditemukan

Populasi dan habitat yaki (macac nigra) di cagar alam gunung duasudara sulawesi utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Populasi dan habitat yaki (macac nigra) di cagar alam gunung duasudara sulawesi utara"

Copied!
160
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

P

*

g p p o ABSTRAK

E u u E

a s s g

2 ~n ~n 5 s 3 I

.

Populasi dan Habitat Yaki (Macaca nigra) di Cagar Alam $ 5 5 0 Q

udara Sulawesi Utara. Dibimbing oleh AN1 MARDIASTUTI dan

0 0 s

~ s s c n ~ NDALL C. KYES

s S T Z Q Kawasan Cagar Alam Gunung Duasudara merupakan salah satu tempat

2

% 9 w

P: g

z

mukannya yaki (Macaca nigra), yang keberadaannya semakin terancam oleh

$ 2 :

2 2;. p n 5. ivitas manusia. Data dasar mengenai status populasi yaki serta kondisi habitat

g ' i 2 . r ~ Q dan habitat yaki di CA Gunung

=

8 x 9

5

na itu telah dilakukan suwei populasi dan pengamatan

2;7p',

37, . r g S bitat selama empat bulan (Mei sarnpai dengan Agustus 2005). Metode yang P

s - 0

~ Z ~ Q

S I) suwei populasi adalah line transect sampling.

Q g ~ s - s

amatan habitat difokuskan pada penggunaan stratum vegetasi dan pohon

z

0 %

s:

%:

a<

2

ntuk diagram profil habitat.

S s n r r Q

0.0 asan juga dilakukan untuk

Q

1nE7:.

5

ai aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan

$. a 2.

s i g g

Menurut h a i l suwei populasi yaki di CA Gunung Duasudara dengan luas

E

'6 3 2 6 kelompok yaki, dengan jumlah anggota

$

$:

yaitu 23,51 e k o r h 2 dengan

P

& ?

.

Komposisi umur pada kelompok ini yaitu,

3

9 2

23,44% dan bayi 12,50%. Rasio jantan betina

tT3

L

a Z a

z:

:

3 digunakan dalam beraktifitas

n

i.

2

dari 10 m). Persentase pemanfaatannya yaitu

%

s-s yang digunakan sebagai pohon tidur antara

k %

minum, pohon yang tinggi dan besar, serta

$ 5

$

z $

.

Kanopi pohon yang tertutup dengan tajuk

r

z

E pohon yang digunakan sebagai pohon tidur

i

? 3 um, Macaranga celebica Koord., Talauma

m

s

f g

g

$

itu sebesar 6,33% apabila

x.

Il

un keberadaan populasi ini

5

L masyarakat sekitar kawasan

B

9'

aki di CA Gunung Duasudara.

"

g

=.

i secara diam-diam, masih dapat

r ain seperti tikus hutan, kelelawar

4

Q

s a menjadi satwa yang diburu

*.

2.

Q

K Pengelolaan terhadap kawasan yang kurang baik semakin memperburuk

3 ndisi kawasan. Oleh sebab itu, perlu disusun program penyelamatan habitat dan

E sifatnya partisipatif antara masyarakat sekitar kawasan dan

z

3 innya dan dilakukan secara berkelanjutan, agar keberadaan

2 primata endemik ini dapat terus dipertahankan.

B

(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)

P

*

g p p o ABSTRAK

E u u E

a s s g

2 ~n ~n 5 s 3 I

.

Populasi dan Habitat Yaki (Macaca nigra) di Cagar Alam $ 5 5 0 Q

udara Sulawesi Utara. Dibimbing oleh AN1 MARDIASTUTI dan

0 0 s

~ s s c n ~ NDALL C. KYES

s S T Z Q Kawasan Cagar Alam Gunung Duasudara merupakan salah satu tempat

2

% 9 w

P: g

z

mukannya yaki (Macaca nigra), yang keberadaannya semakin terancam oleh

$ 2 :

2 2;. p n 5. ivitas manusia. Data dasar mengenai status populasi yaki serta kondisi habitat

g ' i 2 . r ~ Q dan habitat yaki di CA Gunung

=

8 x 9

5

na itu telah dilakukan suwei populasi dan pengamatan

2;7p',

37, . r g S bitat selama empat bulan (Mei sarnpai dengan Agustus 2005). Metode yang P

s - 0

~ Z ~ Q

S I) suwei populasi adalah line transect sampling.

Q g ~ s - s

amatan habitat difokuskan pada penggunaan stratum vegetasi dan pohon

z

0 %

s:

%:

a<

2

ntuk diagram profil habitat.

S s n r r Q

0.0 asan juga dilakukan untuk

Q

1nE7:.

5

ai aktivitas masyarakat yang berhubungan dengan

$. a 2.

s i g g

Menurut h a i l suwei populasi yaki di CA Gunung Duasudara dengan luas

E

'6 3 2 6 kelompok yaki, dengan jumlah anggota

$

$:

yaitu 23,51 e k o r h 2 dengan

P

& ?

.

Komposisi umur pada kelompok ini yaitu,

3

9 2

23,44% dan bayi 12,50%. Rasio jantan betina

tT3

L

a Z a

z:

:

3 digunakan dalam beraktifitas

n

i.

2

dari 10 m). Persentase pemanfaatannya yaitu

%

s-s yang digunakan sebagai pohon tidur antara

k %

minum, pohon yang tinggi dan besar, serta

$ 5

$

z $

.

Kanopi pohon yang tertutup dengan tajuk

r

z

E pohon yang digunakan sebagai pohon tidur

i

? 3 um, Macaranga celebica Koord., Talauma

m

s

f g

g

$

itu sebesar 6,33% apabila

x.

Il

un keberadaan populasi ini

5

L masyarakat sekitar kawasan

B

9'

aki di CA Gunung Duasudara.

"

g

=.

i secara diam-diam, masih dapat

r ain seperti tikus hutan, kelelawar

4

Q

s a menjadi satwa yang diburu

*.

2.

Q

K Pengelolaan terhadap kawasan yang kurang baik semakin memperburuk

3 ndisi kawasan. Oleh sebab itu, perlu disusun program penyelamatan habitat dan

E sifatnya partisipatif antara masyarakat sekitar kawasan dan

z

3 innya dan dilakukan secara berkelanjutan, agar keberadaan

2 primata endemik ini dapat terus dipertahankan.

B

(87)

POPULASI

DAN

HABITAT YAK1

(Macaca nigra)

DI CAGAR ALAM

GUNUNG

DUASUDARA

SULAWESI UTARA

SYLVIA LAATUNG

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(88)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Satwa primata merupakan salah satu kekayaan alam Indonesia. Sedikitnya 40 jenis spesies satwa primata dimiliki Indonesia, 21 jenis diantaranya adalah endemik. Beberapa spesies monyet, kera dan prosimian dapat kita temui dibeberapa tempat di Indonesia. Seluruh kekayaan alam termasuk satwa primata tersebut dapat menjadi salah satu sumber devisa negara, meskipun nilainya masih sangat kecil (0,5%), dibandingkan komoditi kayu (Soehartono & Mardiastuti 2003), namun demikian, keberadaan dan peran khusus satwa primata tidak boleh diartikecilkan.

Keanekaragaman dan keendemikan satwa primata Indonesia, telah banyak menarik perhatian banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri. Begitu juga dengan penelitian-penelitian yang dihasilkan oleh para peneliti baik dalam bidang ekologi maupun biomedis, sebagai hewan model atau hewan laboratorium. Monyet yaki (Macaca nigra) adalah salah satu hewan model yang digunakan dalam studi penyakit gula (Sayuthi et al. 1997).

Yaki (Macaca nigra) adalah salah satu spesies Macaca dari 7 spesies Macaca yang ada di Sulawesi (Fooden 1969 dalam Whitten e t al. 1987). Diantara 3 spesies Macaca di Sulawesi bagian utara (M. nigru, M. nigrescens dan M .hecki), yaki merupakan jenis yang paling terancam keberadaannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa populasi maupun habitatnya sernakin menurun dari tahun ke tahun. Kinnaird (1997) melaporkan bahwa, akibat perburuan dan pengrusakan habitat saja, populasi yaki di Cagar Alam (CA) Tangkoko Duasudara yang merupakan salah satu tempat ditemukannya kelompok ini, telah mengalami penurunan 75% sejak tahun 1979.

(89)

Gunung Duasudara menimbulkan beberapa permasalahan yang secara langsung atau tidak langsung mengancam kehidupan yaki.

Permasaiahan klasik yang dialami oieh hampir setiap negara terhadap keberadaan satwaliar termasuk satwa primata adalah masalah perburuan dan perambahan hutan. Masalah tersebut juga terjadi di CA Gunung Duasudara. Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan hutan dan hasil hutan yang sangat tinggi, memicu masyarakat untuk melakukan kegiatan perambahan hutan, penebangan liar, perburuan dan perdagangan liar. Belum lagi masalah lain yang tidak bisa dikendalikan seperti bencana alam (kebakaran), yang kerap terjadi di sekitar kawasan. Faktor lain yang ikut menambah semua tekanan di atas yaitu lemahnya pengelolaan kawasan lindung oleh pemerintah maupun pihat terkait.

Semua permasalahan diatas menyebabkan populasi yaki semakin menurun. Apabila ha1 ini dibiarkan terus berlanjut, dapat dipastikan yaki akan punah. Dalam rangka pembinaan dan pengelolaan kawasan guna menyelamatkan yaki diperlukan data dasar. Adapun data dan informasi terbaru mengenai populasi, penyebaran, habitat yaki dan aspek sosial budaya masyararat di CA Gunung Duasudara sampai saat ini masih sangat terbatas. Hal-ha1 inilah yang menjadi dasar mengapa penelitian ini perlu dilakukan.

Tujuan

1. Mendapatkan informasi tentang populasi yaki yaitu kepadatan populasi, ukuran kelompok, komposisC umur, nisbah kelamin dan penyebaran yaki di CA Gunung Duasudara.

2. Mengetahui keadaan habitat yaki di CA Gunung Duasudara.

3. Mengetahui aktivitas masyarakat yang terkait dengan keberadaan yaki

di sekitar kawasan.

Manfaat

(90)

Kerangka Pemikiran

Populasi satwaliar biasanya akan berubah mengikuti perubahan atau dinamika lingkungan. Perubahan ini juga dapat sekaligus menjadi ancaman, baik terhadap populasi, maupun habitat. Manusia sejauh ini justru menjadi penyebab utama sekaligus menjadi ancaman bagi kehidupan satwaliar. Ancaman terhadap kehidupan yaki di CA Gunung Duasudara, secara umum dapat dibagi atas dua bagian yaitu ancaman yang disebabkan oleh manusia, dan ancaman oleh lingkungan atau alam

Perambahan hutan dan perburuan, adalah aktivitas yang tiada henti terjadi di sekitar kawasan. Penebangan pohon dapat menyebabkan berkurangnya jumlah pohon sebagai tempat aktivitas yaki dan penutup tajuk hutan. Selain itu dapat mempengaruhi ketersediaan atau sumber pakan yaki di hutan. Pembukaan lahan juga dapat menyebabkan fragmentasi hutan, yang pada akhirnya mempersempit daerah jelajah yaki. Jalur-jalur penebangan yang ada, dengan sendirinya mempermudah akses untuk masuk lebih jauh kedalam hutan bagi pemburu liar.

Kebakaran hutan d i sekitar kawasan selama musim kemarau, nyaris menjadi peristiwa tahunan. Kebakaran ini terjadi entah secara sengaja ditimbulkan di dalam kawasan untuk membersihkan tanah bagi pertanian atau dari luar dan kemudian menyebar kedalam kawasan karena tidak diawasi. Kebakaran juga memicu petani-petani _skala kecil untuk memperluas lahan pertanian ke wilayah yang sebelumnya masih berupa hutan yang tak terganggu.

(91)

Yaki (M. nigra) di CA Gunung Duasudara

Ancaman

1

1

Bencana alamlkebakaran

kawasan rendah pemerintah

hutan 2 . Perburuan

Saranalprasarana

titas SDM

Akibatnya :

1) habitat rusak 2) populasi yaki

menurun.

1

Penelitian / Survei Habitat & Populasi

-

1,

Informasi 1 Data Dasar

Strategi Konservasi

(92)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi

Macaca nigra (Gambar 2) adalah salah satu dari tujuh monyet Sulawesi yaitu Dare (M. maura), Yaki (M. nigra), Dihe (M. nigrescens), Dige (M. hecki), Boti (M. tonkeana), Hada (M. ochreata) dan Endoke (M. brunnescens) (Fooden 1969 dalam Whitten et al. 1987). Dari ketujuh jenis monyet Sulawesi ini, tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam ha1 ukuran tubuh seperti tengkorak atau badan, tetapi monyet- monyet tersebut berbeda pada ciri-ciri eksternal yaitu pola warna, bentuk ischial callosities (bantalan tungging), bentuk moncong dan rambut kepala. Klasifikasi Macaca nigra (yaki) dalam taksonomi hewan :

Filum : Chordata Subfilum Kelas Ordo Subordo Infraordo Superfamili Famili Subfamili Genus

: Vertebrata

: Mamalia

: Primates

: Antropoidea

: Catarrhini

: Cercopithecoidea

: Cercopithecidae

: Cercopithecinae

: Macaca

Spesies : Macaca nigra (Desmarest 1822) - Gambar 2 Macaca nigra $

Nama lokal : Yaki (Rowe 1996).

(Corbet & Hill 1992; Collinge 1993)

Morfologi dan Anatomi

(93)

Rambut yang menutupi seluruh tubuh berwarna hitam kelam, namun bagian belakang (punggung) dan paha berwarna lebih terang dibandingkan pada bagian lain. Wajahnya berwarna hitam dan tidak ditumbuhi rambut. Moncongnya jauh lebih menonjol dibandingkan dengan monyet Sulawesi lainnya. Kepala mempunyai jambul, yang merupakan ciri khasnya dan memiliki kantung pipi yang besar (Supriatna

& Hendras 2000).

Warna tubuh betina dan monyet muda sedikit pucat, bila dibandingkan dengan jantan dewasa. Bantalan tunggingnya berbentuk seperti "ginjal" dan berwarna kuning (Supriatna & Hendras 2000). Selanjutnya menurut Arkive (2004), bantalan tungging pada yaki jantan, ukurannya lebih kecil dan berbentuk hati. Sedangkan yaki betina ukurannya lebih besar, bulat dan berwarna merah muda tua.

(94)

Tabel 1 Data biologis Macaca nigra (Yaki)

Data biologis Jantan Betina

Panjang tubuh (mm) 520-570 a' 445-550 a)

445-600 b' 445-600 b'

550 " 550 "

560 560

Bobot badan (kg) 11 7 e'

9,9 " 5,5 "

9-10 7

Dewasa kelamin (thn) 4-5 3-5 d'

5,5-7,0 fl 2,5-4,0 fl

Sex ratio 1,O a) 3, 4 a'

1 q e' g)

1 " 2,0-3,0

"

Siklus estrus (hari) 36 a'

33-36

''

Lama bunting (hari)

Jarak kelahiran anak (bin)

Day range (kmlhari)

Home range (ha) 114-320 a.b)

Lama hidup (thn)

Panjang ekor (mm)

Kematian bayi (%)

Susunan gigi 212312123 ")

Keterangan: a) Rowe (1996),

b) Supriatna dan Hendras (2002), c) Arkive (2004),

d) Singapore Zoological Garden Docents (2004). e) Kinnaird (1997),

(95)

Perilaku Sosial

Hidup berkelompok merupakan ciri khas genus Macaca. Ukuran dan komposisi setiap kelompok tergantung bentuk kelompok masing- masing.Yaki hidup berkelompok, dengan jumlah anggota antara 20-70 ekor, yang terdiri dari banyak jantan dan betina atau sering disebut multimale-multifemale. Perbandingan antara jantan dan betina dalam kelompok 1:3,4 (Supriatna & Hendras 2000). Untuk membedakan kelompok umurnya, dapat dilihat melalui perubahan bulunya.

Perilaku sosial yaki sangat terorganisir dan kompleks. Pejantan membentuk hierarki kekuasaan. Hierarki kekuasaan atau kedudukan dalam kelompok tersebut, disusun berdasarkan suatu kompetisi, dan setiap saat akan berubah karena bertambahnya umur atau ketika individu tersebut meninggalkan kelompoknya dan bergabung dengan kelompok lain (Singapore Zoological Garden Docents 2004).

Seperti jenis Macaca lain, betina lebih cenderung untuk tetap tinggal didalam kelompok yang sama seumur hidupnya, sedangkan jantan akan meninggalkan kelompok dan bergabung dengan kelompok lain (Singapore Zoological Garden Docents 2004). Pejantan paling dominan, ditandai dengan ukuran tubuh besar dan paling kuat memegang prioritas dalam mendapatkan makanan dan pasangan kawin (Kinnaird 1997). Untuk memperlihatkan dominansi dan menghindari terjadinya perkelahian, jantan dewasa kadang menyeringai untuk memperlihatkan gigi taringnya yang besar kepada lawannya (Arkive 2004).

Betina dewasa menanggung sebagian besar tugas membesarkan anak, sehingga pejantan-pejantan sempat membersihkan segala parasit dari bulu tubuhnya dan membantu betina memperkuat ikatan sosial dengan anggota lainnya (Kinnaird 1997). Yaki remaja melewatkan waktu dengan berjumpalitan dan berkejar-kejaran atau bergumul dengan sebayanya. Meringis lebar adalah senyuman mengajak bermain-main bukan menantang berkelahi (Kinnaird 1997).

(96)

melakukan penjelajahan. Umumnya pergerakan di tanah dan pada percabangan pohon dilakukan secara quadropedal. Namur cara bergerak yaki sangat bervariasi, biasa menggunakan kedua kakinya (bipedal), menggantung (brankiasi), ataupun memanjat (Supriatna & Hendras 2000).

Daerah jelajah yaki berkisar antafa 114-320 ha (Rowe 1996; Supriatna & Hendras 2000), dan jelajah hariannya dapat mencapai 6 km (Rowe 1996). Daerah jelajah suatu kelompok, dapat juga menjadi daerah jelajah kelompok lain. Daerah ini ditentukan berdasarkan kualitas hutan dan distribusi sumberdaya makanan (buah-buahan) yang tersedia di daerah tersebut (O'Brien & Kinnaird 1997).

Yaki aktif pada siang hari (diurnal) dan sore hari menjelang tidur, memilih tumbuhan yang rimbun. Tidur dilakukan pada tajuk tinggi pepohonan yang ditinggalkan menjelang matahari terbit untuk segera mencari makan (Supriatna & Hendras 2000).

Monyet ini menghabiskan setengah waktunya di tanah dan setengahnya lagi di pepohonan dengan bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain untuk mencari makan. Terkadang suatu kelompok bertemu kelompok lain, dan perkelahian dapat terjadi kalau kebetulan ada pohon buah yang menjadi rebutan, terutama pohon buah ara yang buahnya sangat digemari (Kinnaird 1997).

Makanan

Yaki memakan berbagai bagian tumbuhan, mulai dari daun, pucuk, bunga, biji, buah dan umbi, serta beberapa jenis serangga, moluska dan invertebrata kecil (Supriatna & Hendras 2000; Rowe 1996), antara lain tikus dan kadal (Arkive 2004). Terdapat lebih dari 145 jenis buah yang dimakan yaki. Yaki juga sering terlihat berada ditepi laut untuk mencari moluska sebagai salah satu sumber pakannya (Supriatna & Hendras 2000). Yaki juga mengkonsumsi serangga untuk memenuhi. kebutuhan proteinnya (Kinnaird 1997).

(97)

bersosialisasi (O'Brien & Kinnaird 1997). Yaki akan melompat dari satu pohon ke pohon yang lain, sesekali berhenti untuk mengambil buah- buahan atau menangkap hewan-hewan kecil, dan pada akhirnya berhenti pada batang pohon yang besar (misalnya Ficus), tempat dimana semua yaki berkumpul dan makan (O'Brien & Kinnaird 1997). Pada siang hari, kelompok yang besar (> 100 ekor) biasanya membentuk kelompok- kelompok yang lebih kecil (10-25 ekor), untuk mencari makan (Arkive 2004).

Salah satu sumber makanan bagi yaki yang paling melimpah di CA Gunung Duasudara adalah pohon ara (Ficus sp.) yang merupakan 20% dari total makanan yaki. Di CA Tangkoko-Duasudara saja terdapat 45 jenis pohon ara (Kinnaird 1997). Buah ini sangat disukai karena bila matang, banyak mengandung gula dan mudah dicerna. Selain itu berbuahnya ara tidak mengikuti suatu pola musim sehingga buahnya dapat diperoleh sepanjang tahun, cepat matang dan panen buahnya melimpah sampai satu juta buah atau lebih (Kinnaird 1997).

Yaki memiliki kantung pipi yang besar yang berhubungan dengan bagian leher, sehingga dapat menampung makanan dalam jumlah yang hampir sama dengan perutnya (Singapore Zoological Garden Docents 2004). Ketika makan, biasanya yaki menyimpan makanannya dalam kantung khusus di pipinya. Selagi berjalan, yaki kadang mengeluarkan simpanan makanan dari kantungnya lalu mengunyah dan menelan dagingnya, kemudian membuang bijinya. Biji yang dibuang yaki di lantai hutan, secara tidak langsung membantu proses regenerasi hutan

/ h t t v : / / ~ ~ ~ . g e ~ c i t i e s . c o m / Thetrovicsl varadisel 530 I/ P9000008.htm1;2004).

Yaki sering menggunakan gigi bagian belakang untuk memecahkan biji-bijian atau makanan yang keras (Singapore Zoological Garden Docents 20.04). Yaki lebih memilih makan di atas pohon, untuk

(98)

Habitat dan Penyebaran

Habitat adalah tempat yang dihuni oleh suatu makhluk hidup tertentu, bukan tempat pengungsian temporer, akan tetapi sungguh- sungguh tempat dimana organisme tersebut hidup dan berkembang biak dari generasi ke generasi (Dwidjoseputro 1990). Komponen habitat yang paling utama terdiri dari makanan, air dan tempat berlindung. Makanan dan air, sebagai komponen biotik, merupakan faktor pembatas bagi kehidupan makhluk hidup. Habitat juga berfungsi sebagai tempat hidup, berkembang biak dan tempat berlindung dari bahaya serangan pemangsa (Alikodra 2002).

Habitat yaki telah banyak menyusut akibat penebangan dan pembukaan lahan untuk perkebunan. Saat ini yaki telah kehilangan 60% habitat dari 12.000 km2, dan menempati areal seluas 2.750 km2 dalam kawasan konservasi. Yaki dapat dijumpai pada hutan primer atau sekunder dataran rendah (pesisir) hingga dataran tinggi (2.000 m dpl) (Supriatna & Hendras 2000).

Yaki lebih menyukai daerah diantara hutan primer dan sekunder, karena cocok untuk tempat tidur dan tempat untuk mencari makan. Setiap kelompok memiliki pohon tidur masing-masing yang disukai. Biasanya pohon tersebut tinggi dan merupakan sumber makanan bagi kelompoknya (O'Brien & Kinnaird 1997).

(99)

-

(100)

Keterangan :

----

-

-

-

= batas penyebaran yaki

= daerah yg diketahui adanya yaki

2x53

... ...

.

= daerah yg diduga adanya yaki
(101)

Populasi

Populasi satwaliar merupakan salah satu bagian penting dalam pengelolaan satwaliar dalam suatu kawasan, sehingga dapat disusun strategi pengelolaan dengan tepat. Populasi dapat berubah sewaktu-waktu mengikuti keadaan lingkungan dimana satwaliar tersebut tinggal.

Adapun batasan populasi adalah kelompok organisme yang terdiri dari individu-individu satu spesies yang mampu menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya (Alikodra 2002). Batasan lain tentang populasi menurut Wirakusumah (2003) adalah kumpulan individu organisme-organisme disuatu tempat yang memiliki sifat-sifat serupa, mempunyai asal usul yang sama, dan tidak ada yang menghalangi individu-individu anggotanya untuk berhubungan satu sama lain mengembangkan keturunan secara bebas. Individu-individu itu merupakan kumpulan-kumpulan heteroseksual.

Ciri-ciri dasar suatu populasi adalah kepadatan, perbandingan kelamin, struktur umur, kematian dan kehadiran. Metode pengukuran atau sensus populasi dapat dibagi menjadi 3 cara yaitu sensus langsung, tidak langsung dan kombinasi antara sensus langsung dan tidak langsung (Alikodra 2002)

Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu ruang, umumnya dinyatakan sebagai jumlah individu dalam satu unit luas atau

. ..

volume ( ~ l i k h d r a 2002; Heddy e; al. 1989). Beberapa parameter populasi yang berpengaruh terhadap nilai kepadatan yaitu mortalitas, natalitas, imigrasi dan emigrasi. Kepadatan populasi bervariasi menurut wilayah dan tipe hutan, sehingga hasil analisis dari suatu wilayah, tidak dapat langsung digunakan untuk wilayah lain (Alikodra 2002).

(102)

menurunnya populasi satwaliar sampai tahap kritis (Rosenbaum et al.

1998).

Beberapa penelitian tentang populasi yaki di Sulawesi Utara telah dan masih dilakukan sampai saat ini. Sugardjito et al. (1989) melaporkan bahwa kepadatan populasi yaki tahun 1987-1988 di CA

Tangkoko Batuangus Duasudara yaitu 98,2 ekor/km2, dengan luas daerah survei 11,34 km2. Penelitian di tempat yang sama juga dilakukan oleh Rosenbaum et al. pada tahun 1992- 1994, diperoleh kepadatan populasi yaki 141,7 ekor/km2, dengan luas daerah survei 61 km2. Adapun kepadatan populasi yaki khususnya di CA Gunung Duasudara yaitu 25,l ekor/krn2 (Rosenbaum et al. 1998). Penelitian ini adalah penelitian terakhir yang dilakukan di CA Gunung Duasudara, selama 10 tahun terakhir. Disebutkan juga bahwa penyebab utama penurunan populasi ini akibat kerusakan habitat, perburuan dan kekeringan.

Penelitian yang dilakukan oleh Kyes selama 4 tahun berturut-turut (1999-2002) di CA Tangkoko, menunjukkan populasi yang stabil, dengan kepadatan populasi pada tahun terakhir 42,l ekor/km2 (Kyes et al. 2004).

Menurut Lee et al. (2001), apabila pemanenan suatu jenis satwa dilakukan secara berlebihan, populasi tidak dapat lagi menghasilkan keturunan untuk menggantikan yang mati karena perburuan terus menerus dan sebab-sebab tidak langsung lainnya seperti hilangnya habitat dan gangguan" lain: Populasi tersebut kemudian akan menyusut dan rentan bagi kepunahan setempat. Selanjutnya disebutkan bahwa yaki memiliki tingkat reproduksi yang rendah dan membutuhkan waktu yang panjang bagi satwa muda untuk merijadi dewasa. Bahkan tekanan perburuan tingkat sedang saja mungkin dapat menurunkan populasi yaki (Lee et al. 200 1).

Ancaman terhadap Populasi Yaki

Menurut Mittermeier et al. (1986), beberapa ancaman terhadap kelangsungan hidup satwa primata terbagi dalam 3 faktor utama :

(103)

penangkapan hidup-hidup baik untuk dieksport atau dijual. Akibat yang ditimbulkan dari ketiga faktor tersebut berbeda-beda sesuai dengan jenis satwa primata maupun daerah tempat satwa tersebut tinggal. Ditambahkan lagi bahwa ketiga faktor tersebut disebabkan oleh beberapa ha1 antara lain : tingkat dan jenis aktivitas manusia dimana satwa tersebut tinggal, tradisi perburuan lokal, jumlah permintaan satwa primata baik sebagai hewan model maupun untuk diperjualbelikan, ukuran dan tingkat kesukaan terhadap satwa tersebut (Mittermeier e t al. 1986).

Diantara tiga jenis Macaca yang hidup di Sulawesi bagian utara (Macaca nigra, M. nigrescens dan M. hecki), yaki merupakan jenis yang paling terancam (Lee e t al. 2001). Ancaman utama bagi binatang ini adalah perburuan subsisten dan pasar. Yaki diburu untuk dimakan dalam perayaan dan pesta, yang disuplai lewat pasar-pasar gelap. Ancaman lain terhadap yaki adalah penangkapan hidup-hidup untuk dipelihara, serta kerusakan habitat (Lee e t al. 2001).

Menurut Riyanto (2004), kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka, sehingga akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Adanya pemukiman yang terletak di sekitar kawasan, memperbesar kemungkinan berkurangnya daerah kawasan cagar alam. Daerah yang semestinya menjadi tempat perlindungan yaki menjadi sasaran penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pola tanam tradisional masih digunakan penduduk untuk bercocok tanam. Setelah panen, lahan ditinggalkan dan akhirnya menjadi padang rumput atau hutan sekunder.

Di CA Tangkoko-Duasudara, kebakaran hutan selama musim kemarau nyaris menjadi peristiwa tahunan. Kebakaran itu terjadi entah secara sengaja ditimbulkan di dalam kawasan untuk membersihkan tanah bagi pertanian atau dari luar dan kemudian menyebar kedalam kawasan karena tidak diawasi (Lee et al. 2001).

(104)

menjadi penyebab utama berkurangnya populasi yaki. Berbeda dengan Pulau Bacan di Maluku Utara, tekanan akibat aktivitas manusia relatif kecil dibandingkan di Sulawesi Utara. Populasi manusia yang tidak terlalu padat dan larangan untuk mengkonsumsi yaki oleh agama, merupakan dua faktor yang mempengaruhi populasi yaki. Yaki biasanya diburu oleh penduduk karena dianggap sebagai hama pertanian. Ada juga yang memburu anak yaki untuk dijadikan hewan peliharaan, namun ha1 ini jarang terjadi (Rosenbaum et al. 1998).

Akses untuk masuk lebih jauh ke dalam hutan semakin besar dengan kehadiran pemburu-pemburu liar. Hal ini terbukti dengan ditemukannya beberapa perangkap d i dalam hutan. Menurut Riyanto (2004), pemburu liar dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu

a) pemburu liar untuk memperoleh daging satwa guna kebutuhan sehari-hari,

b) pemburu liar untuk keperluan perdagangan satwa guna pemeliharaan, dan

c) pemburu liar karena hobi berburu satwa.

Dua butir pertama merupakan kelompok-kelompok yang sering ditemui di CA Gunung Duasudara. Selain kedua butir diatas, alasan mengapa yaki diburu adalah karena yaki sering mengambil tanaman perkebunan, sehingga dianggap sebagai hama oleh penduduk sekitar kawasan (Dwiyahreni et al. 2001).

Lee (1997) menambahkan bahwa adanya kenaikan populasi manusia dari tahun ke tahun telah meningkatkan pemintaan daging

satwa. Hal ini menciptakan suatu situasi yang mengakibatkan

kebanyakan satwa yang diburu di daerah barat Sulawesi bagian utara adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar. Ditambah lagi dengan tidak adanya larangan agama dalam ha1 mengkonsumsi daging satwaliar tertentu, mengakibatkan permintaan satwaliar di pasaran bertambah.

(105)

hutan, yang mempunyai latar belakang ekonomi lemah dan berpendidikan rendah (Riyanto 2004).

Status Konservasi Yaki

Yaki dilindungi oleh Pemerintah RI dengan SK Menteri Pertanian 29 Januari 1970 No. 4211kpt1um1811970, SK Menteri Kehutanan 10 Juni 199 1 No. 30 1IKpts-I111991 dan Undang-Undang No.5 tahun 1990. Dalam daftar yang dikeluarkan IUCN, yaki digolongkan sebagai satwa

"endangered" dan dicantumkan dalam Appendix I1 CITES (Supriatna &

Hendras 2000). Rosenbaum et al. (1998), mengambil kesimpulan bahwa tanpa tekanan perburuan, status yaki akan masuk dalam kategori extinct

(106)

KEADAAN

UMUM

LOKASI PENELITIAN

Di Propinsi Sulawesi Utara, hutan konservasi yang telah ditunjuk dan ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan konservasi adalah sejumlah 14 unit. CA Gunung Duasudara adalah satu dari tujuh unit cagar alam di Sulawesi Utara.

Letak, Luas dan Dasar Hukum

CA Gunung Duasudara secara geografis terletak kurang lebih 125'3'-125'15' BT dan 1'30'-1°34' LU. Secara administratif terletak di Kecamatan Bitung Utara dan Bitung Tengah Kotamadya Bitung. Cagar alam ini ditetapkan berdasarkan SK. Menteri Pertanian No. 700/Kpts/Um/7/1978, pada tanggal 13 November 1978, dengan luas 4.299 ha dan diperuntukkan antara lain bagi perlindungan yaki, burung rangkong, tarsius dan maleo. Cagar alam ini mempunyai dua puncak dengan ketinggian 1.36 1 m dpl.

Topografi

Kawasan CA Gunung Duasudara berbatasan langsung dengan CA Gunung Tangkoko-Batuangus, dengan topografi dari landai sampai bergunung, mulai dari hutan dataran rendah, hutan pegunungan dan hutan lumut.

Iklim dan Tanah

Berdasarkan tipe klasifikasi iklim menurut Schmid dan Ferguson, tergolong kelas B1, yang mempunyai curah hujan 2.500-3.000 mmlthn. Temperatur rata-rata 20°C-25'C. Musim kemarau dimulai pada bulan April sampai dengan November dan musim penghujan pada bulan Desember sampai dengan Maret.

(107)

Potensi Flora dan Fauna

Kawasan CA Gunung Duasudara memiliki potensi biotik (flora dan fauna) dengan tingkat keanekaragaman yang cukup tinggi. Terdapat beberapa jenis potensi biotik yang endemik, Jenis-jenis flora yang ada antara lain : beringin (Ficus spp.), aras (Duabanga meluccana), nantu (Palaquium obtusifolium), kananga (Canangium odoratum), coro (Ficus variegatus), kayu arang (Eugenia sp.), gopasa (Lagerstroemia ovalifolia), woka (Livistona rotundifolia), cempaka (Elmerrilia ovalis), wasian (Ficus laurifolia) dan lain lain.

Adapun jenis-jenis fauna yang terdapat di kawasan ini diantaranya yaki (Macaca nigra), tangkasi (Tarsius spectrum), kuskus beruang (Ailurops ursinus), babi hutan (Sus celebensis), tikus (Rattus sp.), burung maleo (Macrocephalon maleo), burung rangkong (Rhyticeros cassidix) dan lain-lain (BKSDA 1998).

Pencapaian ke Lokasi

CA Gunung Duasudara berjarak kurang lebih 55 km dari kota Manado ke batas kawasan di Desa Duasudara dan 10 km dari kota Bitung ke batas kawasan di Desa Pinangunian. Alat transportasi yang umum digunakan oleh penduduk disekitar kawasan adalah kendaraan roda empat (pick up) dan ojek. Waktu yang ditempuh dari Manado kurang lebih 1,5 sampai 2 jam, sedang dari kota Bitung kurang lebih 20 menit (BKSDA 1998).

Adapun tiga desa yang letaknya paling dekat dengan CA Gunung Duasudara dan dijadikan desa contoh dalam penelitian ini adalah Desa Pinangunian, Desa Duasudara dan Desa Donuwudu (Gambar 5).

Gambaran umum mengenai ketiga desa ini adalah sebagai berikut :

1. Profil Desa Pinangunian, Kecamatan Bitung Timur

(108)

Batas desa sebelah utara dengan kawasan CA Tangkoko, sebelah timur perkebunan Desa Makawidey dan Tandurusa, sebelah selatan dengan Desa Winenet dan Kekenturan, dan sebelah barat dengan CA Tangkoko-Duasudara (Dwiyahreni et al. 2001). Desa ini terletak sangat dekat dengan CA Gunung Duasudara, pada ketinggian kurang lebih 500 m dpl di kaki gunung Duasudara. Jalan yang ditempuh dari kota Bitung menuju Desa Pinangunian tidak begitu baik dan cukup berbahaya, dengan kondisi jalan beraspal yang mulai rusak dan berbatu-batu. Apabila hujan deras datang, air hujan akan mengalir melalui jalan, karena tidak tersedianya selokan air, sehingga memperparah kondisi jalan.

Mata pencarian utama yaitu bertani dan berkebun (134 orang). Luas perkebunan yaitu 357,25 ha. Tanaman perkebunan yang ditanam umumnya kelapa. Sebagian masyarakat ada yang bekerja sebagai buruh kapal atau bangunan, wiraswasta, pegawai negeri, dan tukang. Hasil pertanian dan perkebunan, dipasarkan di Desa Pinangunian sendiri atau di pasar terdekat yang terletak di Desa Winenet. Tidak sedikit masyarakat yang membawa hasil pertanian di pasar besar (pasar Girian) yang terletak di kota Bitung.

Masalah umum yang dialami oleh penduduk dalam ha1 bercocok tanam yaitu kurangnya pengetahuan dalam bertani. Beberapa bantuan bibit (bawang dan kacang) yang diberikan oleh Departemen Kehutanan tidak berhasil dengan baik. Bantuan tersebut hanya dinikmati dalam satu kali tanam dan tidak dilanjutkan oleh masyarakat.

2. Profil Desa Duasudara, Kecamatan Bitung Utara

(109)

Mata pencarian utama yaitu bertani. Masalah umum yang dialami oleh penduduk dalam ha1 bercocok tanam yaitu kurangnya pengetahuan dalam bertani, kurangnya modal usaha dan gangguan satwa pada kebun yang berbatasan dengan cagar alam. Gangguan terjadi terutama pada musim tanam dan panen.

Masyarakat umumnya memiliki beberapa ekor ayam dan babi, tetapi belum ada yang dapat menjadi sumber pendapatan alternatif selain dari hasil pertanian.

3. Profil Desa Danowudu, Kecamatan Bitung Utara

Desa ini berbatasan dengan CA Gunung Duasudara disebelah utara, Desa Pinokalan dan Kec. Bitung Tengah disebelah selatan, Desa Tewaan dan Apela disebelah barat dan sabelah timur dengan cagar alam Bitung tengah. Jarak desa ke ibukota propinsi kira-kira 45

km, dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam.

Jumlah kepala keluarga 378 dengan jumlah penduduk 1.529 jiwa (laki-laki 775 jiwa dan perempuan 754 jiwa), dengan kepadatan

penduduk 40 jiwa/km2.

(110)

/

Nature Reserve boundary

I A L 1 5 L L . > E S L

-

Recreation Park (R.P.) boundary

r") V~llagefcity

Sumber peta: Kyes (2005)

(111)

METODE

PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini telah dilaksanakan di kawasan CA Gunung Duasudara Kota Bitung Propinsi Sulawesi Utara (survei populasi yaki), dan desa-desa yang berbatasan langsung dengan cagar alam yaitu Desa Pinangunian, Duasudara dan Danowudu (survei aktivitas masyarakat). Penelitian berlangsung kurang lebih empat bulan yakni dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2005.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: kompas, binokuler, pita transek, GPS (Global Positioning System) G a m i n , jam, kamera, meteran (50 m), dbh (diameter at breast height) m dan alat tulis menulis. Bahan antara lain: peta lokasi penelitian (skala 1:50.000), borang, dan data iklim.

Metode Penelitian

Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan di lapangan dilakukan beberapa minggu sebelum penelitian dilaksanakan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan informasi awal tentang keberadaan yaki dan lokasi penelitian, baik dari masyarakat setempat atau disekitar kawasan, dan dari instansi terkait. Selain itu juga mencari informasi awal tentang kondisi masyarakat disekitar kawasan.

Survei Populasi

(112)

VV+lZ

S

G. Duasudara

737mo mrno mmo 7wmo 741mo 742000 7umo 744030 w m o 746~00

4000 0 4000 Meters

I

Legenda

.

JalurA Jalur B Jalur C

0

Pemukiman

N ~ a l a n utama

Garis pantai Batas kawasan

Kontur

0

Desa yg disurvei
(113)

Panjang transek tidak seragam, disesuiakan dengan kondisi lapangan yang cukup sulit dan berbahaya. Pada saat pembuatan transek, menyertakan penduduk yang tinggal di desa terdekat dengan lokasi penelitian, yang mengetahui keadaan hutan serta keberadaan yaki.

Survei dilakukan pada waktu yang sama setiap hari yaitu pagi pada pukul 06.00-1 1.00 dan siang hari pukul 13.00-17.00. Pada waktu tersebut, diasumsikan bahwa yaki sedang aktif mencari makan atau melakukan aktivitas lainnya. Menurut Freese (1 975); Green (1 978 a,b)

dalam NRC (1981), satwa primata Iebih mudah diamati ketika mereka sedang beraktivitas daripada beristirahat. Apabila cuaca tidak memungkinkan (hujan, berkabut atau berangin), survei ditunda pada keesokan harinya.

Survei populasi dilakukan dengan berjalan sepanjang garis transek, dengan kecepatan kira-kira 1-1,5 kmljam (disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan) dan sesekali berhenti beberapa menit untuk mendengar atau mengamati keadaan sekeliling. Selama survei, diusahakan untuk tidak menimbulkan suara yang akan menarik perhatian yaki, sehingga yaki lari untuk menghindar. Apabila bertemu dengan yaki, dilakukan pengamatan dan pencatatan peubah-peubah yang diamati dalam lembar pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya. Selain itu dicatat juga posisi geografis yaki pada saat survei dengan menggunakan GPS. Adapun peubah-peubah yang diamati yaitu kepadatan populasi, ukuran kelompok, sebaran kelompok, komposisi umur (dewasa, remajalanak, bayi) dan nisbah kelamin Cjantan dan betina). Batasan peubah-peubah yang diamati adalah sebagai berikut ini.

1. Kepadatan populasi

Kepadatan populasi diperoleh dengan menghitung jumlah individu atau kelompok disetiap lokasi contoh.

2. Ukuran kelompok

(114)

3. Komposisi umur dan nisbah kelamin

Data komposisi umur ditentukan dengan mengidentifikasi setiap anggota kelompok ke dalam beberapa kelompok umur.

a. Bayi (infant) : berumur 0-1 tahun. Rambut pada lengan berwarna putih, wajah dan bagian bawah badan. Masih menyusui dan dirawat oleh induknya selama kurang lebih setahun. Induk akan selalu membawa bayinya kemanapun induk pergi dengan cara meletakkan bayi pada bagian depan perut.

b. Anakhemaja (juvenile) : berumur di atas satu tahun sampai kira- kira mencapai dewasa kelamin. Umumnya kelompok umur ini lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berrnain. Ukuran tubuh sangat bervariasi sesuai dengan perkembangan umur.

c. Dewasa (adult) : dicirikan dengan pertumbuhan tubuh yang optimal dan kematangan reproduksi. Kematangan reproduksi antara jantan dan betina berbeda. Betina lebih dahulu matang reproduksi ditandai dengan pembengkakan di daerah ischial sebagai gejala estrus. Pada jantan ditandai dengan berfungsi optimalnya organ genitalia dan karakter seks sekunder. Penanda lain untuk betina yang telah melahirkan adalah melihat puting susu yang panjang dan menggantung serta berwarna merah jambu.

Data nisbah kelamin diambil dengan cara mengidentifikasi jumlah jantan dan betina dewasa, berdasarkan organ kelamin (bentuk dan warna bantalan tunggingnya), ukuran tubuh dan beberapa karakteristik lainnya, seperti yang telah disebutkan diatas. Dalam menentukan komposisi umur dan kelamin menggunakan binokuler, dan diperlukan ketelitian yang cukup tinggi.

Pengamatan Habitat dan Penyebaran Yaki

(115)

pemanfaatan strata atau tajuk pohon oleh yaki dalam melakukan aktivitas, serta pengamatan pohon tidur (sleeping trees).

Pengamatan pemanfaatan strata ini dilakukan bersamaan dengan survei populasi, dengan mencatat selang ketinggian di atas pohon, yang digunakan oleh yaki yang pertama kali terlihat serta aktivitas yang dilakukan pada saat terlihat. Pemanfaatan stratum oleh yaki dibagi menjadi 5 kategori yaitu

a) stratum A dengan ketinggian diatas 20 m, merupakan lapisan teratas yang mempunyai batang tinggi, tegak lurus dan bertajuk diskontinu;

b) stratum I3 dengan ketinggian antara 10-20 m, umumnya bertajuk kontinu dan batang pohon banyak bercabang;

c) stratum C dengan ketinggian antara 5-10 m, tajuknya kontinu, terdiri dari pohon-pohon yang kecil, rendah dan banyak cabang;

d) stratum D adalah lapisan perdu dan semak, tingginya 0-5 m;

e) stratum E merupakan lantai hutan dan lapisan penutup tanah.

Pengamatan pemanfaatan pohon tidudmakan yang digunakan yaki, dilakukan dengan membuat masing-masing satu plot vegetasi pada setiap jalur, dengan ukuran 20x50 m. Plot dibuat pada daerah tempat yaki tidurlmakan, dengan mengidentifikasi semua pohon dalam petak contoh yang mempunyai dbh 2 20 cm. Data yang diperlukan yaitu jenis, tinggi dan diameter pohon, tinggi dan lebar tajuk, serta posisi pohon dalam plot contoh. Pohon yang tidak diketahui jenisnya, kemudian dibuat herbarium dan diidentifikasi di laboratorium Herbarium Bogoriense Bogor. Data yang diperoleh kemudian digambarkan dengan menggunakan Program Core1 Draw 12, sehingga diperoleh profil pohon tidurlmakan yang digunakan oleh yaki.

(116)

Survei Aktivitas Masyarakat

Survei dilakukan dengan menggunakan metode wawancara semi struktural, yang dibuat untuk mendapatkan jawaban secara terbuka. Wawancara ditujukan kepada masyarakat yang berada di 3 (tiga) desa yang berbatasan langsung dengan kawasan. Seleksi responden tidak dilakukan secara acak, tetapi dengan purposive sampling yaitu melakukan pemilihan atas responden berdasarkan pekerjaan, umur dan terutama yang berhubungan langsung dengan yaki dan hutan. Jumlah responden untuk ketiga desa masing-masing 10 orang atau kepala keluarga. Adapun 3 desa tersebut yaitu Desa Pinangunian, Duasudara, dan Danowudu (Gambar 6). Survei masyarakat ini dilengkapi dengan data sekunder yang berasal dari kepala desa, pihak terkait dan beberapa pasar yang biasanya menjadi tempat penjualan satwaliar.

Analisis Data

Populasi Yaki

Data hasil survei populasi yang diperoleh, dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan rumus sebagai berikut ini.

1. Kepadatan populasi; merupakan perbandingan antara jumlah individul kelompok yang terlihat dengan luas daerah pengamatan. Perhitungan kepadatan populasi menggunakan rumus (Palacios dan Perez 2005) :

keterangan :

D = kepadatan kelompok (kelompoldkm2), ND = jumlah kelompok yang terlihat (kelompok),

L = panjang jalur kumulatif (krn), dan ESW = lebar salah satu sisi jalur (km).

(117)

2. Ukuran kelompok (ekor/kelompok); merupakan nilai yang diperoleh dari hasil tabulasi jumlah anggota dalam setiap kelompok.

3. Komposisi umur; merupakan nilai yang diperoleh dari hasil tabulasi setiap kelompok urnur.

4. Nisbah kelamin; diperoleh dengan membandingkan jumlah individu jantan dan betina.

Habitat dan Penyebaran Yaki

Data pengamatan pemanfaatan strata oleh yaki dikelompokkan sesuai dengan kategori pembagian stratum, dan dihitung presentase pemanfaatannya. Hasil perhitungan pemanfaatan strata, gambar profil pohon tidur dan peta penyebaran yaki yang dihasilkan, selanjutnya dianalisis secara deskriptif.

Survei Aktivitas Masyarakat

(118)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Lokasi Penelitian

CA Gunung Duasudara yang membentang seluas 4.299 hektar terdiri dari beberapa tipe habitat yaitu habitat hutan primer, sekunder dan semak belukarlalang-alang, dengan topografi yang berbukit-bukit dan curam (Gambar 7). Keadaan habitat, terutama topografi yang berbukit- bukit ini, menyulitkan dalam melakukan pengambilan data, terutama survei populasi. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab mengapa jalur yang dibuat panjangnya berbeda-beda. Jalur tersebut berada pada ketinggian antara 300-940 m dpl. Jalur dibuat mengikuti garis kontur, terutama pada ketinggian lebih dari 600 m dpl.

Jenis vegetasi atau pohon yang sering ditemui di hutan primer dan sekunder antara lain Spathodea campanulata (kayu bungalkayu perahu),

Piper aduncum (sirih), Syzygium (pakoba), Ficus spp. (beringin). dan

Macaranga spp. Sedangkan di habitat semak belukarlalang-alang,

ditemui jenis-jenis seperti Lantana camara, Imperata cylindrica dan

Mimosa pudica.

Umumnya pohon-pohon yang berdiameter lebih dari 20 cm, tumbuhnya tidak terlalu rapat, sedangkan pohon-pohon yang berukuran sedang (tinggi pohon antara 10-20 m) dan berdiameter kurang dari 20 cm, tumbuhnya lebih rapat dan jumlahnya lebih banyak. Stratifikasi, tajuk dalam hutan CA Gunung Duasudara lengkap, mulai dari stratum atas, tengah dan bawah, yang dicirikan dengan susunan pohon-pohon dalam tingkatan yang cukup jelas pada setiap stratumnya. Pohon yang paling tinggi, dapat mencapai kurang lebih 40-50 m. Jumlahnya lebih sedikit dan tumbuh diseia-sela pohon yang berukuran sedang. Diantaranya yaitu

(119)

Gambar 7 CA Gunung Duasudara.

Populasi Yaki

Kepadatan dan Ukuran Populasi Yaki

Estimasi kepadatan populasi di CA Gunung Duasudara pada setiap

jalur disaj ikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Estimasi kepadatan populasi yaki, lokasi dan luas daerah pengamatan setiap jalur, Mei

-

Agustus 2005 di CA Gunung Duasudara

Luas daerah Jlh kel. Kepadatan Rata-rata Kepadatan Tipe pengamatan yang kelompok ukuran kel. individu

(kmz) terlihat (kel.1 km2) (ekorlkel) (ekor/km2) habitat

Pinangunian

6,OO 10,OO 1,67 20,50 Primer1

(Jalur A) 34924 sekunder

Duasudara

4,80 8,OO 1,67 17,50 Primer1

(Jalur B) 29923 Sekunder

Temboan (Jalur C)

-~ ~ ~

7,06 semak-

alane2 Total 16,80 23,OO

(120)

Hasil estimasi kepadatan populasi pada setiap jalur, dengan luas daerah survei 16,82 km2 (Tabel 2), menunjukkan bahwa kepadatan individu di CA Gunung Duasudara yaitu 23,51 ekorlkm2 dengan kepadatan kelompok 1,39 kel/km2. Pada jalur A, dari 20 kali survei, terjadi 10 kali kontak dengan yaki, dengan jumlah individu yang teramati 57 ekor. Estimasi kepadatan kelompok dan individu masing-masing 1,67 k e l o m p o ~ k m 2 dan 34,24 ekor/km2 dengan rata-rata ukuran setiap kelompok 20,50 ekor.

Sesuai dengan hasil pengamatan pada saat survei dan berdasarkan letak geografis di lapangan menunjukkan bahwa estimasi jumlah kelompok pada jalur A yaitu sebanyak 2 kelompok. Kelompok pertama berada pada koordinat 125'1 0'24" BT

-

1'29' 12" LU sampai 125'1 0'7" BT

-

1°29'14" LU sedangkan yang kedua 125°10'59" BT

-

1°29'25" LU sampai 125°9'51" BT

-

1°29'35" LU. Kelompok pertama diduga berjumlah 21 ekor, dengan komposisi 4 jantan, 8 betina, 6 remajdanak dan 3 bayi. Kelompok yang kedua, terdiri dari 3 ekor yaki, dengan komposisi 1 jantan dan 2 betina. Arah pergerakan kedua kelompok ini pun berbeda, dimana kelompok yang pertama, bergerak ke arah selatan dari jalur, sedangkan kelompok yang kedua, pergerakannya ke arah barat. Pada jalur B, dari 20 kali survei, terjadi 8 kali kontak dengan yaki, dengan jumlah individu yang teramati 61 ekor. Hasil pengamatan pada jalur B di lapangan menunjukkan bahwa estimasi jumlah kelompok pada jalur ini yaitu sebanyak 2 kelompok. Kelompok pertama berada pada koordinat 125~9'9" BT

-

1°29'46" LU sampai 125O9'12" BT

-

1°29'40" LU, dan kedua pada koordinat 1 ~ 5 ~ 9 ' 1 4 " BT

-

1°29'32" LU sampai
(121)

Estimasi populasi pada jalur C lebih kecil dari kedua jalur sebelumnya. Hasil survei yang dilakukan pada jalur C, terjadi 5 kali kontak dengan yaki, dengan jumlah individu yang teramati 26 ekor. Estimasi jumlah kelompok pada jalur ini yaitu 1 kelompok dan berada pada koordinat 125~8'33" BT

-

1'3 1 ' 15" LU sampai 125~8'50" BT

-

1°30'52" LU. Kelompok ini terdiri dari 10 ekor, dengan komposisi 3 jantan, 5

betina dan 2 ekor remajalanak. Kepadatan individu yaitu 7,06 ekor/km2 dengan kepadatan kelompok 0,83 k e l o m p o ~ k m 2 .

Pada dasarnya tingkah laku yaki pada waktu pengamatan berbeda antara pagi dan sianglsore hari. Pada pagi hari, yaki cenderung lebih aktif bergerak mencari makan dibandingkan sianglsore hari. Pada waktu siang, yaki biasanya beristirahat dan sore harinya akan bergerak mencari pohon tidur. Hal ini juga yang menyebabkan mengapa kontak dengan yaki lebih sering terjadi pada pagi hari.

Perbedaan kepadatan populasi pada ketiga jalur diatas terjadi karena beberapa faktor yaitu (1) kemampuan individu populasi untuk melakukan pergerakan, (2) adanya penghalang-penghalang baik fisik maupun biologis, (3) pengaruh kegiatan manusia dan (4) kemampuan suatu wilayah untuk mendukung dan merangsang satwaliar untuk datang (Alikodra 2002). Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, keadaan habitat di jalur A dan B masih cukup menunjang keberlangsungan hidup

yaki, terutama keadaan hutan yang cukup baik, dengan ketersediaan sumber pakan serta tempat berlindung dari gangguan predator. Keadaan hutan yang berbukit dan cukup terjal, memungkinkan yaki untuk berlindung atau bersembunyi apabila melihat pemburu datang. Kondisi ini terjadi juga saat survei dilakukan.

(122)

didalam wilayah jelajahnya sangat ditentukan oleh sumberdaya makanan, pohon-pohon yang dipergunakan sebagai tempat bersuara/bernyanyi.

Ukuran kelompok yang relatif kecil banyak terjadi di tempat- tempat yang habitatnya telah rusak dan terganggu oleh aktifitas perburuan. Satwaliar yang hidupnya berkelompok dalam jumlah yang besar, akan terpecah-pecah menjadi kelompok yang lebih kecil. Menurut (Supriatna & Hendras 2000), ukuran kelompok monyet ini adalah 20-70 ekor. Dibandingkan dengan monyet Sulawesi, untuk M. brunescens adalah 30 ekor (Whitten e t al. 1987), M. nigrescens dan M. ochreata adalah 16-18 ekor, sedangkan

M.

maurus adalah 20-30 ekor setiap kelompok (Matsumura 1998).

Penelitian populasi ini menunjukkan penurunan populasi bila dibandingkan dengan penelitian terakhir yang dilakukan di CA Gunung Duasudara oleh Rosenbaum e t al. (1998). Jumlah jalur yang dibuat pada penelitian tersebut yaitu 1 (satu) jalur, namun tidak disebutkan letak jalur dalam lokasi penelitian. Adapun kepadatan populasi yaki di CA

Gunung Duasudara oleh Rosenbaum e t al. (1998) yaitu 25,lO ekor/km2, dengan kepadatan kelompok 2 kelompok/km2. Apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini, maka telah terjadi penurunan kepadatan populasi, baik individu maupun kelompok yaitu masing-masing sebesar 6,33 dan 30,50%.

Banyak faktor yang menjadi penyebab menurunnya populasi yaki' di CA Gunung Duasudara. Faktor yang paling utama yaitu perambahan hutan dan perburuan. Selain itu, pengelolaan yang kurang baik disebabkan kurangnya patroli dan pengawasan yang intensif dari petugas jagawana terhadap kawasan ini, memungkinkan masyarakat di sekitarnya

(123)

lapangan, tidak tersedianya alat-alat patroli (kompas, binokular dll) serta tidak adanya pos penjagaan untuk kawasan ini. Alat transportasi yang ada saat ini adalah 1 (satu) buah kendaraan bermotor. Adapun jumlah jagawana yang ditugaskan untuk kawasan CA Gunung Duasudara hanya 4 (empat) orang saja. Ini berarti luas kawasan yang harus dijaga oleh setiap orang petugas adalah 1.074 ha.

Berbeda halnya dengan yaki di Pulau Bacan Maluku, populasi ini cenderung berkembang pesat bahkan sudah menjadi hama bagi tanaman perkebunan penduduk sekitarnya. Faktor perburuan relatif kecil, karena adanya larangan dalam mengkonsumsi satwaliar oleh agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Bacan (Rosenbaum et al. 1998). Besarnya persentase penurunan populasi di CA Gunung Duasudara, dikhawatirkan akan membuat populasi ini semakin kecil dan lambat laun akan punah.

Hasil survei di lapangan ini tentunya memiliki berbagai keterbatasan yang tidak dapat dihindari, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil estimasi populasi.

Komposisi Umur dan Nisbah Kelamin

Tabel 3 memperlihatkan populasi, komposisi umur dan nisbah kelamin yaki pada tiap lokasi pengamatan.

Tabel 3 Populasi, komposisi umur dan nisbah kelamin yaki, Mei

-

Agustus 2005 di CA Gunung Duasudara.

Dewasa Remaja/ Bayi

Anak Nisbah

Lokasi Total kelarnin

8 9

x

C

dewasa

Jalur A (kel. 1) 4 8 6 3 2 1 1 : 2

(kel. 2) 1 2 3 1 : 2

Jalur B (kel. 1 ) 2 4 3 1 10 1 : 2

(kel. 2) 3 9 4 4 20 1 : 3

Jalur C 3 5 2 10 1 : 6,7

Jumlah 13 28 15 8 64

Rerata 1 : 2,13

Keterangan: (-) = tidak teridentifikasi

(124)

umur masing-masing yaitu, untuk dewasa 64,06%, remajalanak 23,44% dan bayi 12,50%. Dari tabel diatas dapat dihitung rasio antara jantan dan betina yaitu 1 : 2,13. Rasio jenis kelamin dewasa (adult) lebih bisa ditentukan daripada kelompok usia muda (juvenile dan bayi). Animal Diversity (2004) menyebutkan bahwa ratio jantan dan betina yaki adalah

1: 2-3.

Pada kelompok Macaca yang jumlah anggota kelompoknya besar, biasanya kestabilan ratio jantan betina akan lebih besar. Betina cenderung berjumlah sekitar 4 kali jumlah jantan dengan masyarakat berpusat pada betina, sedangkan jantan akan keluar dari kelompok kelahirannya (Whitten e t a1. 1987). Melihat komposisi jantan dewasa dan betina dewasa, maka yaki mempunyai struktur multimale-multifemale atau kelompok yang mempunyai banyak jantan dan betina beserta anak- anaknya sesuai dengan pernyataan Rowe (1996).

Tingkah Laku Yaki pada Saat Pengamatan

Secara umum tingkah laku yaki yang ada di CA Gunung Duasudara cenderung liar. Kemungkinan besar tingkah laku yaki ini dipengaruhi oleh aktivitas masyarakat sekitar kawasan (pemburu) yang sering berburu yaki serta satwaliar lain di hutan. Menurut keterangan penduduk sekitar, tingkah laku yaki saat ini lebih liar dibandingkan sebelumnya. Kedatangan pemburu ke dalam hutan, seakan-akan

-

merupakan ancaman bagi yaki, yang akhirnya menjadikan yaki lebih liar dari sebelumnya.

(125)

0.10 11-20 21-30 31-40 4 1-50

Jarak perpendikuler (meter)

Gambar 8 Hubungan jarak perpendikular dengan persentase yaki yang terlihat di CA Gunung Duasudara, Mei

-

Agustus 2005.

Gambar 8 memperlihatkan bahwa persentase jumlah yaki yang teramati paling tinggi pada jarak perpendikular 11-20 m yaitu 34,78%. Hal ini mengindikasikan bahwa yaki yang teramati berada pada jarak yang cukup jauh dari transek, karena dipengaruhi oleh tingkah laku yaki yang liar. Pada saat survei populasi, sebagian besar yaki yang ditemui sedang mencari makan di atas pohon. Yaki akan membuat kegaduhan dan lari bersembunyi di dalam lembah atau di atas bukit, apabila mengetahui kedatangan manusia. Ada juga yang bersembunyi di atas pohon, di balik dahan pohon yang besar, sampai keadaan kembali aman. Biasanya yaki akan mengeluarkan bunyi tanda bahaya (alarm call), sehingga semua anggota dalam kelompok lari ke tempat yang lebih aman.

Habitat dan Penyebaran Yaki

Kondisi Habitat CA Gunung Duasudara

(126)

penduduk memanfaatkan kawasan sebagai tempat untuk menggembalakan ternak.

Gambar 9 Perambahan hutan untuk areal perkebunan di daerah Pinangunian, Mei

-

Agustus 2005.

Gambar di atas adalah salah satu contoh perambahan hutan untuk dijadikan areal perkebunan di daerah perbatasan antara Desa Pinangunian dan CA Gunung Duasudara. Keadaan ini sangat berbeda dengan keadaan sepuluh bahkan lima tahun yang lalu, dimana habitat kawasan masih sangat baik. Menurut informasi yang diperoleh dari pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang melakukan patroli di kawasan CA

(127)

Gambar 10 Perambahan hutan untuk areal perkebunan di daerah Temboan, Mei

-

Agustus 2005.

Gambar 10 adalah salah satu bagian di daerah Temboan yang akan dijadikan areal perkebunan oleh masyarakat Desa Duasudara. Daerah Temboan ini berada di sebelah timur laut Desa Duasudara, tepat disisi jalan utama yang menjadi penghubung antara desa-desa di sebelah utara dan Kota Bitung. Letak daerah yang berada di sisi jalan ini, mempermudah akses masyarakat untuk membuka lahan. Dahulu daerah ini masih hutan, bahkan sering terlihat beberapa kelompok yaki bermain atau mencari makan di tempat tersebut. Namun saat ini tempat tersebut telah berubah menjadi kebun oleh penduduk yang tinggal di sekitarnya

Hal-ha1 di atas merupakan gambaran umum keadaan habitat CA

(128)

Pemanfaatan Stratum

Persentase pemanfaatan stratum oleh yaki dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4 Persentase pemanfaatan stratum oleh yaki Stratum Persentase pemanfaatan (%)

A 30,43

B 34,78

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa yaki memanfaatkan semua bagian stratum. Stratum A dan B (tinggi lebih dari 10 m) dengan persentase pemanfaatan 65,21%, adalah dua bagian stratum yang paling banyak digunakan dalam beraktivitas. Stratum ini merupakan kumpulan pohon yang membentuk suatu kanopi tertutup dengan tajuk yang bersentuhan. Aktivitas yang dilakukan pada saat teramati adalah makan dan bergeraklberjalan.

Yaki menyukai bagian tepi tajuk pada kedua stratum ini karena bagian tumbuhan yang dimakan seperti buah, bunga dan pucuk daun muda berada pada tepi tajuk suatu individu pohon. Kesukaan yaki untuk bergerak pada kedua straium i n i terutama untuk berpindah dari satu pohon ke pohon lain, karena keadaan tajuk yang kontinu (saling bersentuhan) sehingga yaki dapat bergerak cepat tanpa harus berpindah stratum. Yaki juga memanfaatkan bagian stratum ini untuk bersembunyi, karena pada bagian ini terdapat percabangan pohon yang berukuran besar, terutama pada stratum B.

(129)

Alikodra (2002) menyatakan bahwa suatu masyarakat satwaliar dapat dibedakan menurut perbedaan lapisan hutan. Setiap stratum mempunyai kemampuan untuk mendukung kehidupan jenis-jenis satwaliar tertentu. Yaki digolongkan sebagai hewan arboreal (hidup di pohon) dan juga terestrial (di atas tanah), meskipun lebih dominan hidup secara arboreal dan sering menggunakan dahan pohon untuk melakukan penjelajahan (Supriatna & Hendras 2000).

Karakteristik Lokasi Pohon Tidur Yaki

Sesuai dengan hasil pengamatan di lapangan, preferensi lokasi pohon

Gambar

Gambar  1  Bagan alir kerangka pemikiran  penelitian.
Tabel  1 Data biologis Macaca  nigra (Yaki)
Gambar 3  Daerah penyebaran yaki  di  Sulawesi Utara dan Pulau Bacan,  Maluku  (Rosenbaum  et  al
Gambar  4  Daerah penyebaran yaki di Sulawesi Utara (Lee  1997).
+7

Referensi

Dokumen terkait

[A cikk részben az Europa ismertetését foglalja össze Toldy Ferenc A magyar költészet története cím ű munkájának német fordításáról, részben a következ ő

Pada bahasan ini, mendefinisikan dan membandingkan berbagai jarak dari produk hitungan dengan sistem koordinat yang dijelaskan diatas, adalah untuk dapat membedakan

Dari hasil perhitungan diperoleh koefisien korelasi ganda (uji R) didapat R hitung = 0.672 sedangkan R tabel diperoleh sebesar 0.355, jadi R hitung &gt; R tabel ,

Menurut Buckman dan Brady (1980) secara umum problem P yaitu jumlahnya yang relatif kecil dan terjadi fisksasi P dalam tanah dari sumber pupuk yang diberikan. Salah satu

Sesudah dilakukannya pengujian simulasi sistem penyala mesin otomatis pada boat berbasis barcode , maka hasil dari pengujian tersebut akan dianalisis sesuai parameter

d) Hasil analisis kondisi sarana informasi wisata lebih banyak (58% responden) yang mengatakan tidak berfungsinya karena akses jalan yang tidak memenuhi standar

Perkembangan teknologi informasi khusnya sistem informasi semakin dioptimalkan penggunaannya untuk mempermudah kinerja suatu perusahaan. PDAM Cianjur sebagai salah

Pada perencanaan bendung tetap Gunung Nago tersebut dilakukan perhitungan seperti analisa hidrologi menggunakan metode aritmatik, perhitungan debit banjir rencana