• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimization of physiological conditions japanese quail (Coturnix coturnix japonica) with turmeric powder supplementation (Curcuma longa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Optimization of physiological conditions japanese quail (Coturnix coturnix japonica) with turmeric powder supplementation (Curcuma longa)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

OPTIMALISASI KONDISI FISIOLOGIS

PUYUH JEPANG (

Coturnix coturnix japonica

) DENGAN

SUPLEMENTASI SERBUK KUNYIT (

Curcuma longa

)

TYAS RINI SARASWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Optimalisasi Kondisi Fisiologis Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) dengan Suplementasi Serbuk Kunyit (Curcuma longa) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

TYAS RINI SARASWATI. Optimalisasi Kondisi Fisiologis Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) dengan Suplementasi serbuk Kunyit (Curcuma longa). Dibimbing oleh WASMEN MANALU, DAMIANA RITA EKASTUTI, dan NASTITI KUSUMORINI.

Puyuh jepang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Produksi telur menurun seiring dengan penurunan kondisi fisiologis puyuh, baik karena penuaan atau stres. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengoptimalkan kondisi fisiologis puyuh dengan suplemen serbuk kunyit. Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap: 1. Menentukan umur saat penurunan kondisi fisiologis hati puyuh jepang, 2. Menentukan dosis optimal serbuk kunyit untuk memperbaiki kondisi fisiologis puyuh jepang, 3. Mengetahui pengaruh pemberian serbuk kunyit terhadap profil hormon reproduksi dalam satu siklus ovulasi, 4. Mengetahui pengaruh pemberian serbuk kunyit pada waktu yang berbeda dan jenis pakan yang berbeda pada puyuh jepang.

Penurunan kondisi fisiologis puyuh jepang terjadi setelah umur 7-8 bulan yang ditunjukkan dengan penurunan bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, diameter hepatosit, bobot ovarium dan saluran reproduksi, serta terjadi peningkatan kadar SGPT dan SGOT serum. Serbuk kunyit dengan dosis 54 mg/ekor/hari dapat meningkatkan fungsi hati. Kurkumin dalam serbuk kunyit sebanyak 7,97% memiliki efek hepatoprotektif, yang didukung oleh persentase kenaikan bobot hati / bobot badan, kadar DNA hati, diameter hepatosit, dan penurunan kadar SGPT dan SGOT , trigliserida, dan kolesterol serum. Kandungan fitoestrogen dalam serbuk kunyit sebesar 6,73% mampu menginduksi peningkatan sintesis vitelogenin sebagai prekursor kuning, sehingga kadar vitelogenin dalam darah meningkat. Sebagian vitelogenin disimpan dalam hepatosit yang ditunjukkan dengan banyaknya vakuola dalam sitoplasma hepatosit. Vitelogenin terutama didistribusikan ke folikel ovarium untuk pertumbuhan hirarki folikel. Pertumbuhan hirarki folikel dapat mempercepat pematangan folikel, yang dibuktikan dengan memperpendek waktu siklus ovulasi sekitar 5 jam 35 menit, dan peningkatan jumlah telur. Jumlah folikel yang diovulasikan dapat memacu pertumbuhan sel-sel kelenjar saluran reproduksi untuk mengeluarkan putih telur, membran kerabang, dan kerabang telur. Serbuk kunyit juga mampu meningkatkan penyerapan kalsium, sehingga dapat meningkatkan kualitas kerabang telur. Jumlah folikel juga memberikan kontribusi untuk meningkatkan kualitas telur yang dibuktikan dengan penurunan kolesterol, dan lemak telur. Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah folikel, maka lemak, dan kolesterol akan didistribusikan ke banyak folikel. Pemberian serbuk kunyit paling efektif jika diberikan sebelum masak kelamin. Pemberian serbuk kunyit dapat memperpanjang produktivitas puyuh. Pemberian pakan dengan protein lebih tinggi dari kebutuhan tidak dapat meningkatkan produktivitas puyuh.

(5)

SUMMARY

TYAS RINI SARASWATI. Optimization of Physiological Conditions Japanese Quail (Coturnix coturnix japonica) with Turmeric Powder Supplementation (Curcuma longa). Supervised by WASMEN MANALU, DAMIANA RITA EKASTUTI, and NASTITI KUSUMORINI.

Quail have an economic value. Egg production decreased as the decline of the quail’s physiological conditions, either due to aging or stress. The purpose of this study was to optimize the physiological condition of quail with turmeric powder supplementation. The study was conducted in four stages: 1. Determining the physiological deterioration quail, 2. Getting the optimal dose of turmeric powder to improve quail physiological conditions, 3. Knowing the profile of reproductive hormones in an ovulation cycle, 4. Determining the effect of turmeric powder at different times and types of feed on Japanese quail.

The decline in quail’s liver function occurs after the age of 7-8 months as evidenced by a decrease in body weight, percentage of liver weight / body weight, hepatocytes diameter, ovarium and reproductive tracts weight, as well as an increase in the levels of SGPT and SGOT serum.Turmeric powder at a dose of 54 mg / quail / day may improve liver function. Curcumin in the content of turmeric powder at 7.97% has a hepatoprotective effect, which was supported by the percentage increase in liver weight / body weight, DNA content of the liver, hepatocytes diameter, and decrease in SGPT and SGOT levels, triglycerides, and blood cholesterol. Content of phytoestrogens in turmeric powder at 6.73% was able to induce increased synthesis vitellogenin as yolk precursor, so vitellogenin levels in the blood rise. Most vitellogenin stored in hepatocytes was indicated by the number of vacuoles in the cytoplasm of hepatocytes. Vitellogenin mainly distributed to the ovarian follicle to the development hierarchy. The number of growing follicles may accelerate follicular maturation, as evidenced by the shortening of the cycle time of ovulation approximately 5 hours 35 minutes, and an increase in the number of eggs. The number of follicles was ovulated that can spur the growth of the glandular cells of the reproductive tract to secrete albumen, shell membranes, and eggshell. Turmeric powder is also able to increase the absorption of calcium, so it can improve the quality of the eggs. The number of growing follicles also contributes to improving egg quality which evidenced by the decrease in cholesterol and fat eggs. This is due to the growing number of follicles, fat, and cholesterol will be distributed to many follicles.

Provision of turmeric powder was most effective when given before maturity sexual. Giving turmeric may extend quail’s productivity. Feeding the higher protein did not able to increase the productivity of quail.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

OPTIMALISASI KONDISI FISIOLOGIS

PUYUH JEPANG (

Coturnix coturnix japonica

) DENGAN

SUPLEMENTASI SERBUK KUNYIT (

Curcuma longa

)

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr.Ir. Rukmiasih.MS

Staf Pengajar Departemen IPTP Fakultas Peternakan IPB

2. Dr.Drh. Wiwin Winarsih.MSi.AP.Vet

Staf Pengajar Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB

Penguji pada Ujian Terbuka:

1. Prof.Dr.Ir. Sofjan Iskandar M.Rur.Sc

Peneliti Utama Badan Litbang Pertanian, Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor

2. Dr. Ir Rachmat Pambudy, MS

(9)

Judul Disertasi: Optimalisasi Kondisi Fisiologis Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) dengan Suplementasi Serbuk Kunyit (Curcuma longa)

Nama : Tyas Rini Saraswati NRP : B161090041

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Ir. Wasmen Manalu,Ph.D

Anggota

Dr drh Damiana Rita Ekastuti MS

Anggota Dr Nastiti Kusumorini

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat

Prof drh Agik Suprayogi, MSc,Ph.D

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2013

(10)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian dengan judul : Optimalisasi Kondisi Fisiologis Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) dengan Suplementasi Serbuk Kunyit (Curcuma longa), telah dilaksanakan sejak Mei 2011 sampai dengan Desember 2012.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Ir Wasmen Manalu,Ph.D, Dr drh Damiana Rita Ekastuti,MS dan Dr Nastiti Kusumorini selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, motivasi serta saran. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua, suami, anak-anak, kakak, adik, teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan dorongan, bantuan moril dan materiil kepada penulis selama penelitian.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv 1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3 Hipotesis Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3 Tingkat Kebaruan (Novelty) 4

Kerangka Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5 Puyuh Jepang (Coturnix coturnix japonica) 5

Hati 6 Regulasi hormon reproduksi 8

Serbuk Kunyit dan Perbaikan Fungsi Hati 11 Sistem reproduksi unggas betina 13 Kualitas telur 15

Pakan 17

3 PENENTUAN UMUR SAAT PENURUNAN KONDISI FISIOLOGIS 18 HATI PADA PUYUH JEPANG (Coturnix coturnix japonica) Abstrak 18

Abstract 18

Pendahuluan 19

Bahan dan Metode 20

Hasil dan Pembahasan 22

Simpulan 26

Daftar Pustaka 26

4 PENENTUAN KADAR OPTIMAL SERBUK KUNYIT UNTUK MEMPERBAIKI KONDISI FISIOLOGIS PUYUH JEPANG (Coturnix coturnix japonica) 28

Abstrak 28

Abstract 29

Pendahuluan 30

Bahan dan Metode 31

Hasil dan Pembahasan 33

Simpulan 39

Daftar Pustaka 39

(12)

Abstrak 42

Abstract 43

Pendahuluan 44

Bahan dan Metode 45

Hasil dan Pembahasan 47

Simpulan 50

Daftar Pustaka 51

6 PENGARUH SUPLEMEN SERBUK KUNYIT PADA WAKTU PEMBERIAN DAN PROTEIN PAKAN YANG BERBEDA PADA PUYUH JEPANG (Coturnix coturnix japonica) 52

Abstrak 52

Abstract 53

Pendahuluan 54

Bahan dan Metode 56

Hasil dan Pembahasan 58

Simpulan 82

Daftar Pustaka 82

7 PEMBAHASAN UMUM 85

8 SIMPULAN DAN SARAN 88

DAFTAR PUSTAKA 89

LAMPIRAN 95

DAFTAR TABEL

1 Rataan bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, bobot hati, diameter hepatosit puyuh jepang pada berbagai umur 23 2 Rataan kadar vitelogenin, SGPT, SGOT, bobot saluran reproduksi dan ovarium puyuh jepang pada berbagai umur 25

3 Rataan konsumsi pakan, bobot badan, bobot lemak, bobot hati/bobot badan, diameter hepatosit, kadar vitelogenin, SGPT, SGOT, trigliserida dan kolesterol serum puyuh jepang pada umur 60 hari 34 4 Rataan bobot saluran reproduksi dan ovarium, panjang magnum, isthmus, uterus, jumlah folikel, dan diameter F1 puyuh jepang pada umur 60 hari, setelah pemberian suplemen serbuk kunyit 37 5 Rataan bobot telur awal, Indeks kuning telur, Indeks kerabang

telur, haugh unit, kadar kolesterol, lemak dan protein

telur pertama puyuh jepang 38

6 Rataan kadar kalsium pakan, serum, tulang, kerabang dan feses puyuh jepang umur 60 hari, setelah pemberian suplemen

serbuk kunyit 39

7 Rataan konsumsi pakan harian, pertambahan bobot badan,

(13)

8 Rataan prosentase bobot hati/bobot badan, bobot hati,

kadar DNA dan RNA hati, dan kadar vitelogenin dalam darah

puyuh jepang umur 9 bulan 61

9 Rataan kadar vitelogenin, SGPT, SGOT, glukosa, trigliserida,

kolesterol dan protein dalam darah puyuh jepang umur 9 bulan 66 10 Rataan jumlah telur, bobot telur, Indeks kuning telur,

Indeks kerabang telur, dan Haugh Unit puyuh jepang umur 9 bulan 69 11 Rataan lemak telur yang diproduksi pertama, bulan ke 4 dan 9 71 12 Rataan kolesterol telur yang diproduksi pertama, bulan ke 4 dan 9 71 13 Rataan protein telur yang diproduksi pertama, bulan ke4 dan 9 73 14 Rataan kadar kalsium darah, kerabang, tulang, dan feses

puyuh jepang umur 9 bulan setelah diberi perlakuan suplemen

serbuk kunyit 74

15 Rataan bobot ovarium, bobot dan panjang saluran reproduksi,

jumlah folikel, dan diameter F1 puyuh jepang umur 9 bulan 75 16 Kriteria pertumbuhan sel penyusun saluran reproduksi 76

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan Alur Kerangka pemikiran 5

2 Jalur Sintesis Steroid 9

3 Regulasi hormon dalam biosintesis vitelogenin 10

4 Organ reproduksi pada puyuh betina 15

5 Anatomi telur dilihat dari potongan melintang telur 16

6 Bagan alur penelitian Tahap I 22

7a.Hati puyuh jepang 24

7 Hepatosit puyuh jepang 24

8 Bagan alur penelitian Tahap II 33

9a.Hati puyuh jepang umur 60 hari 35

9 Hepatosit puyuh jepang umur 60 hari 35

10 Hirarki folikel ovarium puyuh jepang kontrol dan setelah

pemberian serbuk kunyit 13.5 mg/ekor/hari, 27 mg/ekor/hari, dan

54 mg/ekor/hari 36

11 Bagan alur penelitian Tahap III 46

12 Grafik profil hormon progesteron pada ayam kontrol dan ayam yang diberi perlakuan serbuk kunyit pada

satu siklus ovulasi 47

13 Grafik profil hormon estriol pada ayam kontrol dan ayam yang diberi perlakuan serbuk kunyit pada

satu siklus ovulasi 48

(14)

15 Hirarki folikel ovarium pada ayam yang diberi perlakuan 50 serbuk kunyit

16 Bagan alur perlakuan Tahap IV 58

17 Hati puyuh perlakuan A0 63

18 Hati puyuh perlakuan A1 63

19 Hati puyuh perlakuan A2 63

20 Hati puyuh perlakuan A3 63

21 Hati puyuh perlakuan A4 63

22 Hati puyuh perlakuan B0 64

23 Hati puyuh perlakuan B1 64

24 Hati puyuh perlakuan B2 64

25 Hati puyuh perlakuan B3 64

26 Hati puyuh perlakuan B4 64

27 Hirarki folikel puyuh jepang umur 9 bulan 76

28 Magnum puyuh jepang 78

29 Isthmus puyuh jepang 79

30 Uterus puyuh jepang 80

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur pengukuran bobot badan, bobot hati, bobot ovarium,

bobot saluran reproduksi, dan bobot telur 96 2 Prosedur pengukuran pertambahan bobot badan 96

3 Prosedur pengukuran konsumsi pakan 96

4 Prosedur pengukuran konsumsi minum 96

5 Pengukuran kadar SGOT serum 96

6 Pengukuran kadar SGPT serum 96

7 Prosedur Penentuan Kadar DNA 96

8 Penentuan Kadar RNA 97

9 Prosedur Penentuan Hormon Estrogen/Progesteron 97 10 Prosedur pengukuran kadar vitelogenin 97

11 Prosedur penentuan kadar kalsium 99

12 Prosedur penentuan kadar kolesterol telur 100 13 Pembuatan preparat histolog hati dan saluran reproduksi 100

14 Prosedrur pengukuran hirarki folikel 101

15 Prosedur pengukuran Indeks kuning telur (yolk) 101 16 Prosedur pengukuran Indeks putih telur (albumin) 101 17 Prosedur pengukuran Indeks kerabang telur 101

(15)

Latar Belakang

Populasi penduduk Indonesia sekitar 220 juta orang memerlukan kesediaan pangan hewani bermutu tinggi. Rataan konsumsi pangan hewani asal daging dan telur bagi masyarakat Indonesia adalah 4,1 dan 0,3 g/kapita/hari. Sejak tahun 1955 Indonesia sudah mampu berswasembada telur dan daging ayam, akan tetapi masyarakat di Indonesia baru mengkonsumsi protein hewani sebanyak 4,19 g/kapita/hari (Siswono 2005). Komponen telur, selain sebagai sumber nutrien, juga mempunyai beberapa fungsi biologis, yang meliputi immunomodulator, antioksidan, yang bermanfaat bagi kesehatan ( Kovacs et al. 2005).

Puyuh termasuk ternak dengan produktivitas yang relatif tinggi, mulai bertelur sekitar umur 42 hari (Nixon 2008), dengan bobot telur sebesar 10 -11 g setiap butirnya. Pada permulaan masa bertelur, produksi telurnya sedikit dan akan cepat meningkat sesuai bertambahnya umur. Puyuh mencapai puncak produksi pada minggu ke-13. Biasanya puyuh betina yang telah berumur 6-8 bulan sering diafkir dan dijadikan puyuh pedaging (Tetty 2002).

Awal siklus reproduksi ditandai dengan sintesis vitelogenin oleh sel hati. Vitelogenin adalah prekursor kuning telur. Pemicu sintesis vitelogenin adalah hormon estrogen yang disintesis di bawah regulasi axis hipotalamus-hipofisis-gonad (Levi et al. 2009). Seiring dengan bertambahnya umur, jumlah reseptor estrogen pada sejumlah jaringan menurun. Ketika estrogen menurun produksi telur akan menurun (Beck and Hansen 2004). Vitelogenin yang disintesis di hati, dikeluarkan ke plasma dan diangkut ke oosit (Ito et al. 2003). Selanjutnya terjadi pertumbuhan oosit yang diikuti dengan peningkatan akumulasi vitelogenin dalam oosit. Ovum yang sudah matang akan berhenti menghasilkan estrogen, sebaliknya akan mensekresi progesteron. Progesteron selanjutnya akan memacu hipofisis untuk mensekresikan “luteinizing hormon” (LH) yang kemudian akan menginduksi ovum yang sudah matang untuk diovulasikan ke dalam oviduk. Di dalam oviduk terjadi proses pembentukan putih telur yang diekskresikan oleh sel epitelium dan sel kelenjar tubuler, kemudian terjadi pembentukan kerabang telur oleh kelenjar kerabang.

Produksi telur secara terus menerus akan meningkatkan kerja hati dan organ-organ reproduksi selama pembentukan telur. Hati merupakan organ-organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh organ lain di dalam tubuh, juga merupakan organ yang mempunyai berbagai fungsi metabolisme serta menyediakan enzim yang diperlukan untuk metabolisme tubuh, melakukan detoksifikasi, membentuk beberapa hormon dan lain-lain sehingga fungsi hati secara berangsur-angsur menurun dan akan menurunkan produktivitas.

(16)

tersebut biasanya terdapat dalam sel. Ketika terjadi kerusakan hati, enzim-enzim tersebut dikeluarkan dari hati ke pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan kadar enzim tersebut di dalam darah (Gorman et al. 2008).

Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi merupakan suatu proses di bawah pengaruh aktivasi faktor transkripsi yang mengarah pada proses mitosis. Kurkumin merupakan zat aktif pada kunyit yang ikut berperan dalam proses tersebut. Kurkumin berperan sebagai antioksidan, antiinflamasi, antibakteri, antivirus (Aggarwal et al. 2006).

Serbuk kunyit merupakan sumber fitoestrogen dari golongan flavonoid, mempunyai aktivitas mengikat reseptor estrogen (Ravindar et al. 2007). Reseptor estrogen berlokasi di sitosol atau nukleus sel-sel target. Selanjutnya ikatan fitoestrogen dengan reseptor estrogen menyebabkan peningkatan sintesis protein terkait, menghasilkan respon fisiologis (Levi et al. 2009).

Faktor eksternal yang mempengaruhi pembentukan telur adalah pakan. Pakan merupakan komponen penting dalam proses pembentukan vitelogenin. Vitelogenin pada dasarnya adalah proses akumulasi nutrien dalam sel telur, sehingga ketersediaan nutrien pada sel telur akan menentukan kualitas telur.

Perumusan Masalah

Penurunan produktivitas puyuh disebabkan banyak faktor. Salah satu faktor adalah berkurangnya fungsi hati maupun sel-sel penghasil komponen telur lainnya, yang disebabkan organ-organ tersebut terus menerus mensintesis komponen-komponen telur. Keadaan tersebut menyebabkan melemahnya aktivitas fisiologis organ, sehingga mempercepat terjadinya degenerasi sel hati, dan akan diikuti dengan penurunan produksi vitelogenin. Hal ini merupakan salah satu penyebab mengapa hanya beberapa folikel yang mengalami ovulasi, dan banyak yang mengalami atresia karena menerima jumlah vitelogenin secara tidak proporsional.

Kurkumin diketahui dapat memperbaiki fungsi hati, dengan cara mempercepat regenerasi sel hati dan melindungi hati dari pengaruh zat racun yang dapat merusak fungsi hati. Kandungan fitoestrogen dalam serbuk kunyit dapat menstimulasi fungsi hati dalam metabolisme substrat maupun sintesis vitelogenin yang berlangsung secara maksimum.

Studi ilmiah yang mendukung manfaat serbuk kunyit yang mengandung kurkumin dan senyawa lainnya untuk menginduksi fungsi hati dalam meningkatkan sintesis vitelogenin pada burung puyuh belum dilakukan. Pemberian serbuk kunyit dapat mengantisipasi masalah bertambahnya umur agar tetap berdaya guna, produktif, bebas dari penyakit yang berat, dan dengan status fungsional yang baik.

(17)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui waktu terjadinya penurunan fungsi hati dalam biosintesis vitelogenin pada puyuh jepang.

2. Mendapatkan dosis optimal serbuk kunyit dalam memperbaiki fungsi hati untuk biosintesis vitelogenin.

3. Menganalisis perubahan fisiologis puyuh jepang setelah diberi suplemen serbuk kunyit.

4. Membuktikan bahwa terjadi perbaikan fungsi hati dan organ reproduksi pada puyuh jepang yang diberi suplemen serbuk kunyit.

5. Membuktikan terjadi peningkatan produktivitas dan kualitas puyuh jepang yang diberi suplemen serbuk kunyit.

6. Mendapatkan perbedaan profil hormon estriol, progesteron dalam satu siklus ovulasi pada hewan kontrol dan setelah pemberian serbuk kunyit.

7. Mengamati pengaruh suplemen serbuk kunyit pada waktu pemberian dan protein pakan yang berbeda pada puyuh jepang.

Hipotesis Penelitian

1. Penurunan fungsi hati pada periode tertentu akan diikuti dengan penurunan biosintesis vitelogenin.

2. Terdapat perbedaan fisiologis puyuh jepang sebelum dan sesudah diberi suplemen serbuk kunyit.

3. Suplemen serbuk kunyit dapat mengoptimalkan kondisi fisiologis dan penundaan penuaan puyuh jepang dengan meningkatnya perbaikan fungsi hati dan organ reproduksi.

4. Suplemen serbuk kunyit akan meningkatkan produktivitas dan kualitas puyuh jepang dengan meningkatnya bobot tubuh, peningkatan fungsi hati, vitelogenin, peningkatan kualitas dan jumlah telur.

5. Pemberian serbuk kunyit mempengaruhi profil hormon estriol dan progesteron dalam darah.

6. Pakan dan waktu pemberian serbuk kunyit yang tepat akan meningkatkan produktivitas dan kualitas telur burung puyuh.

Manfaat Penelitian

(18)

Tingkat Kebaruan (Novelty)

Penelitian mengenai perlakuan pemberian suplemen serbuk kunyit dalam optimalisasi kondisi fisiologis dan penundaan penuaan pada puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica) dalam rangka peningkatan produktivitas melalui perbaikan fungsi hati, biosintesis vitelogenin, komponen penyusun telur dan penanda fisiologis lainnya, merupakan penelitian yang pertama kali dilakukan.

Kerangka Pemikiran

Bertambahnya umur puyuh menyebabkan terjadi penurunan fungsi hati dan organ reproduksi. Penurunan organ reproduksi puyuh betina seiring bertambahnya umur menyebabkan berkurangnya sekresi hormon estrogen. Hal ini merupakan penyebab terjadinya penurunan sintesis prekursor kuning telur (vitelogenin) oleh hati. Hati berperan dalam mensintesis vitelogenin, yang akan didistribusikan ke folikel ovarium. Berkurangnya produksi vitelogenin menyebabkan semakin banyak folikel yang tidak berkembang dan mengalami atresia. Usaha untuk mengatasi masalah ini, dengan melakukan penelitian menggunakan serbuk kunyit yang dicampurkan dalam pakan. Serbuk kunyit mengandung kurkumin yang bersifat sebagai hepatoprotektor dan fitoestrogen yang mampu berperan sebagai estrogen yang dapat menstimulasi hati untuk mensintesis vitelogenin.

Dari uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa bertambahnya umur akan menurunkan produktivitas puyuh. Untuk mengetahui bagaimana peran serbuk kunyit dalam optimalisasi dan perbaikan kondisi fisiologis hati dapat diketahui dari kegiatan penelitian yang dibagi atas empat tahap. Penelitian dilakukan dengan metode yang spesifik yang hasil dan pembahasannya disampaikan pada bagian tersendiri dari disertasi ini,dengan judul :

1. Penentuan umur saat penurunan kondisi fisiologis hati pada puyuh jepang

2. Penentuan kadar optimal serbuk kunyit untuk memperbaiki kondisi fisiologis puyuh jepang.

3. Pengaruh pemberian serbuk kunyit terhadap profil hormon reproduksi dalam satu siklus ovulasi.

(19)

Gambar 1 Bagan Alur Kerangka Pemikiran

2.

TINJAUAN PUSTAKA

Puyuh jepang (Coturnix coturnix japonica)

Puyuh jepang dikelompokkan ke dalam kelas dengan susunan taksonomi sebagai berikut :

Kelas : Aves Ordo : Galiformes Sub Ordo : Phasianoidae Famili : Phasianidae Sub Famili : Phasianinae Genus : Coturnix

Species : Coturnix- coturnix japonica (Nixon 2008). PAKAN

VITELOGENIN

UMUR PUYUH JEPANG

ORGAN REPRODUKSI

HORMON

HIRARKI FOLIKEL

PRODUKTIVITAS SERBUK KUNYIT

• Kurkumin

• Fitoestrogen FUNGSI

(20)

Puyuh jepang merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil, berkaki pendek. Puyuh jepang merupakan bangsa burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat tahun 1870 dan terus dikembangkan ke penjuru dunia. Di Indonesia puyuh mulai dikenal dan diternakkan semenjak akhir tahun 1979. Ternak puyuh memiliki potensi besar untuk dikembangkan seperti halnya ternak ayam, karena puyuh memiliki sifat-sifat dan kemampuan menguntungkan antara lain:

1. Puyuh jepang dipelihara untuk diambil telur dan dagingnya.

2. Kebutuhan pakan sangat sedikit, yaitu 14 g/ekor/hari. Puyuh dewasa memerlukan makanan sekitar 20 g/ekor/hari.

3. Mencapai dewasa kelamin pada umur muda, yaitu 42 hari atau 6 minggu. 4. Lama menetas singkat, yaitu 16-17 hari (Nixon 2008).

Hati

Hati merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh dan terdiri dari dua lobus, yaitu lobus kanan dan kiri (Reavill 2005). Tiap lobus tersusun atas unit-unit kecil yang disebut lobulus. Lobulus terdiri dari sel-sel hati, disebut hepatosit. Hepatosit dan jaringan hati mudah mengalami regenerasi.

Hati menerima darah dari 2 sumber, yaitu arteri hepatika (banyak mengandung oksigen) dan vena porta (kaya zat gizi, yang menerima darah dari lambung, usus, pankreas dan limpa). Kedua sumber tersebut mengalir ke kapiler hati yang disebut sinusoid, kemudian diteruskan ke vena sentralis di setiap lobulus. Aliran darah dari semua lobulus menuju ke vena hepatika kemudian dialirkan ke vena kava inferior. Darah mudah masuk dan keluar hati melalui vena porta dan vena kava (Reavill 2005).

Fungsi Hati

1. Hati merupakan tempat aktivitas metabolik bagi karbohidrat, protein, dan lipid. Hati juga menyimpan energi dalam bentuk glikogen dan menguraikan hasil sisa protein menjadi asam urat yang dikeluarkan melalui ginjal.

2. Hepatosit bertanggung jawab untuk konjugasi bilirubin dan ekskresi ke dalam saluran empedu.

3. Hati mendetoksifikasi banyak produk metabolik, obat, dan toksin sebelum diekskresikan ke dalam urin.

4. Pada unggas hati juga berfungsi sebagai organ tempat biosintesis vitelogenin.

Vitelogenin

(21)

Estrogen meningkatkan konsentrasi trigliserida dalam sel hati, yang umumnya mengandung asam lemak dengan 16 karbon (trigliserida dengan 53 dan 55 atom karbon. Kolesterol hati terdapat dalam bentuk kolesterol bebas. Perlakuan estrogen meningkatkan trigliserida plasma 55 kali, phospholipid plasma 3 kali dan kolesterol kurang lebih dua kali.

Metabolisme asam lemak, trigliserida, kolesterol dan lipoprotein

Asam lemak terutama dibentuk di hati dengan glukosa makanan sebagai sumber utama karbon. Melalui glikolisis glukosa dirubah menjadi piruvat yang masuk ke dalam mitokondria dan membentuk asetil KoA dan oksaloasetat. Kedua senyawa ini bergabung membentuk sitrat. Sitrat diangkut ke sitosol, tempat zat ini diurai membentuk asetil KoA. Enzim pengatur utama untuk proses ini, asetil KoA karboksilase, membentuk malonil KoA dari asetil KoA. Rantai asam lemak yang terbentuk diperpanjang melalui penambahan secara bersambungan unit 2 karbon yang disediakan oleh malonil KoA. NADPH yang dihasilkan melalui jalur pentose fosfat menyediakan eqivalen pereduksi. Sewaktu mencapai panjang 16 karbon, rantai asam lemak ini dibebaskan sebagai palmitat. Setelah diaktifkan palmitat dapat diperpanjang atau mengalami desaturasi untuk membentuk serangkaian asam lemak. Asam lemak yang dibentuk di dalam sel atau diperoleh dari makanan digunakan oleh berbagai jaringan untuk membentuk triasilgliserol. Triasilgliserol dikemas bersama apoprotein dan lemak lain dalam lipoprotein berdensitas sangat rendah (VLDL) dan disekresikan ke aliran darah (Marks 1996).

Kolesterol diperoleh dari makanan atau disintesis melalui jalur yang terdapat pada hampir semua sel tubuh, terutama di sel hati dan usus. Prekursor untuk sintesis kolesterol adalah asetil KoA yang dapat dibentuk dari glukosa, asam lemak atau asam amino. Dua molekul asetil KoA membentuk asetoasetil KoA yang bergabung dengan molekul asetil KoA lainnya membentuk hidroksimetilglutaril KoA (HMG-KoA). Reduksi KoA menghasilkan mevalonat. Reaksi yang dikatalisis oleh HMG-KoA reduktase, ini adalah reaksi penentu kecepatan pembentukan kolesterol. Mevalonat menghasilkan unit-unit isoprene yang akhirnya bergabung membentuk sequalen. Siklikasi sequalen menghasilkan system cincin steroid, dan sejumlah reaksi selanjutnya menghasilkan kolesterol (Hu et al. 2010).

Triasilgliserol yang terbentuk di dalam retikulum endoplasma halus di dalam hati, dikemas bersama kolesterol, fosfolipid dan protein (disintesis di retikulum endoplasma kasar) membentuk VLDL, kemudian dibawa ke ovarium untuk digunakan sebagai penyusun kuning telur (Watson 2002; Salvante et al. 2007).

Aktivitas dan kerusakan sel hati

(22)

Peningkatan aktivitas sel seiring dengan bertambahnya umur ditandai dengan penurunan progresif fungsi selular. Penuaan berhubungan dengan perubahan morfologi hati seperti penurunan bobot hati disebabkan aliran darah menurun. Dalam proses penuaan, pembentukan radikal bebas endogen dihasilkan di dalam mitokondria diduga menyebabkan kerusakan pada DNA mitokondria (Anantharaju et al. 2002). Kerusakan sel hati menyebabkan fungsi hati secara berangsur-angsur menurun dan akan menurunkan produktivitas. Penurunan fungsi hati pada burung puyuh dapat menurunkan produksi vitelogenin.

Tes untuk menguji fungsi hati, dengan mengukur keberadaan enzim dalam darah seperti kadar SGPT dan SGOT serum. SGOT singkatan dari Serum glutamat oksaloasetat transaminase, sebuah enzim yang secara normal berada di sel hati dan organ lain. SGOT dikeluarkan ke dalam darah ketika hati rusak, sedangkan SGPT adalah singkatan dari Serum Glutamic Piruvic Transaminase, enzim ini banyak terdapat di hati. Dalam uji SGOT dan SGPT, hati dapat dikatakan rusak bila jumlah enzim tersebut dalam plasma lebih besar dari kadar normalnya (Aggarwal et al. 2006). SGOT dan SGPT dalam darah meningkat secara linier dengan bertambahnya umur (Biswas et al. 2010).

Tikus yang diinduksi dengan CCl4

Estrogen merupakan salah satu hormon steroid yang disintesis oleh sel-sel teka eksterna. Estrogen yang terdapat dalam darah memberikan rangsangan balik terhadap hipofisis dan hipotalamus untuk memacu sintesis GnRH. GnRH yang dihasilkan

secara akut dan sub akut mengalami kerusakan hati. Pemberian kurkumin secara signifikan mengurangi kerusakan hati dan menurunkan kadar SGOT dan SGPT dalam darah (Park et al. 2000).

Regulasi hormon reproduksi

Hipotalamus – hipofisis – gonad

Fungsi ovarium unggas melibatkan fungsi neuroendokrin yang disampaikan dari hipotalamus dan kelenjar hipofisis ke ovarium dan juga diantara jaringan-jaringan ovarium itu sendiri. Awal siklus reproduksi pada puyuh jepang ditandai dengan sintesis vitelogenin. Pemicu ekspresi vitelogenin adalah hormon steroid ovarium yaitu estrogen yang disintesis di bawah regulasi axis hipotalamus- hipofisis-gonad (Etches 1996)

(23)

bekerja untuk merangsang hipofisis dalam melepaskan gonadotropin. Gonadotropin yang dihasilkan nantinya berperan dalam proses biosintesis estrogen pada lapisan granulosa. Siklus hormon terus berjalan di dalam tubuh selama terjadinya proses vitelogenesis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi estrogen akan meningkatkan konsentrasi vitelogenin darah dan konsentrasi estrogen yang tinggi dijumpai pada saat vitelogenesis (Chandrashekar et al. 2004).

Metabolisme estrogen

Hormon estrogen merupakan salah satu hormon steroid reproduksi, karena mempunyai struktur kimia berintikan steroid. Sintesis hormon estrogen terjadi di dalam sel-sel teka dan sel-sel granulosa ovarium, di mana kolesterol merupakan zat prekursor dari hormon ini, yang pembentukannya melalui beberapa rangkaian reaksi enzimatik.

LH diketahui berperan dalam sel teka untuk meningkatkan aktivitas enzim pembelah rantai sisi kolesterol melalui pengaktivan ATP menjadi cAMP, dan dengan melalui beberapa proses reaksi enzimatik terbentuklah androstenedion, kemudian androstenedion yang dibentuk dalam sel theka berfusi ke dalam sel granulosa, selanjutnya melakukan aromatisasi membentuk estron dan estradiol 17 β.

Pregnenolone 17-hydroxy pregnenolon Dehydroepiandrosterone

Progesteron 17-hydroxy progesterone Androstenedion

Estron Testosteron

Estradiol 11-keto-testosteron

Gambar 2. Jalur sintesis steroid (Levi et al. 2009)

Aksi fisiologis estrogen pada vitelogenesis

Vitelogenin diangkut dalam darah menuju oosit, lalu diserap secara selektif dan disimpan sebagai kuning telur. Vitelogenesis meliputi beberapa rangkaian proses :

Cholesterol

1. Adanya sirkulasi estrogen dalam darah memacu hati untuk mensintesis dan mensekresikan vitelogenin yang merupakan prekursor protein kuning telur. 2. Vitelogenin diedarkan menuju lapisan permukaan oosit yang sedang tumbuh. 3. Secara selektif, vitelogenin akan ditangkap oleh reseptor dalam endositosis. 4. Terjadi translokasi sitoplasma membentuk badan kuning telur bersamaan dengan

pembelahan proteolitik dari vitelogenin menjadi subunit lipoprotein kuning telur, lipovitelin, dan fosvitin.

(24)

Regulasi perkembangan folikel

Sebelum terbentuk kuning telur, sejumlah folikel kecil menghasilkan dehydroepiandrosteron (DHEA), androstenedione dan estrogen. Ketika folikel menjadi matang, maka folikel terbesar akan kehilangan kemampuan untuk menghasilkan estrogen dan menghasilkan sejumlah besar progesteron. Progesteron menginduksi pelepasan LH yang bekerja melalui umpan balik positif yang akhirnya menyebabkan ovulasi. Peningkatan umur, menurunkan produksi gonadotropin dari kelenjar hipofisis anterior pada respon terhadap GnRH (Ottinger and Lavoie 2007), menghasilkan reduksi jumlah folikel, sehingga folikel yang besar tidak selalu tersedia untuk ovulasi dan kecepatan bertelur menurun.

Folikel post ovulasi

Setelah mengalami ovulasi, folikel yang kosong akan mengkerut. Pada unggas tidak terdapat korpus luteum. (Biswas et al. 2010)

Gambar 3 Regulasi hormon dalam biosintesis vitelogenin (Chandrashekar et al. 2004)

Serbuk Kunyit dan Perbaikan Fungsi Hati

Kunyit

.

(25)

rimpang. Bibit rimpang harus cukup tua. Kunyit tumbuh dengan baik di tanah yang tata pengairannya baik, curah hujan 2.000 mm sampai 4.000 mm tiap tahun dan di tempat yang sedikit terlindung. Rimpang kunyit berwarna kuning sampai kuning jingga. Kunyit mengandung senyawa yang terdiri dari kurkumin, desmetoksikurkumin, bisdesmetoksikurkumin dan zat-zat bermanfaat lainnya seperti minyak atsiri yang terdiri dari keton (sesquiterpen, turmeron, tumeon), zingiberen, felandren, sabinen, borneol dan sineil. Kunyit juga mengandung lemak, karbohidrat, protein, pati, vitamin C, dan garam-garam mineral yaitu zat besi, fosfor dan kalsium (Ide 2011).

Kurkumin sebagai hepatoprotektor

Kurkumin diketahui sebagai zat yang banyak manfaatnya, terutama sebagai hepatoprotektor. Kurkumin diketahui membantu proses perbaikan fungsi hati, dengan cara mempercepat regenerasi sel hati dan melindungi hati dari pengaruh zat racun yang dapat merusak hati. Kurkumin mempunyai efek hepatoprotektif dari berbagai macam hepatotoksik. Ekstrak kasar akar Curcuma longa pada kadar 100 mg/kg berat badan mempunyai efek hepatoprotektif dan melindungi integritas struktur sel hati tikus yang diinduksi parasetamol (Somchit et al. 2005).

Hati sering merupakan organ target sebagian besar toksikan yang memasuki tubuh melalui saluran pencernaan. Hati memiliki kemampuan untuk melakukan biotransformasi dan mengeluarkan bahan kimia tersebut dari tubuh. Hati memiliki konsentrasi tinggi enzim metabolisme xenobiotik, terutama sitokrom P450, yang membuat toksikan menjadi kurang toksik, lebih larut air sehingga lebih mudah diekskresikan. Toksikan dimetabolisme secara ekstensif oleh hati melalui tiga jalur utama; sulfonasi, glucuronidasi dan oksidasi (Farghaly and Hussein 2010). Selain berkhasiat mengatasi gangguan hati, kurkumin merangsang produksi cairan empedu yang akan memecah lemak. Akibatnya proses pencernaan lebih lancar. Kurkumin berpotensi antidiabetes karena mampu melipatgandakan kerja insulin. Konsumsi kurkumin tidak menimbulkan toksisitas. Dosis akut dengan 500 mg/kg berat badan tidak menginduksi polikromik eritrosit (Negi et al. 2007).

Kurkumin mempunyai aktivitas anti bakteri, anti oksidan dan anti inflamasi Kurkumin mempunyai rumus molekul C21H20O6 dengan bobot molekul 368.91 (Gantait et al. 2011). Desmetoksi kurkumin mempunyai rumus molekul C20H18O5 dengan bobot molekul 338, diduga gugusan aktif kurkuminoid terletak pada gugus metoksi. Gugus hidroksil fenolat yang terdapat dalam struktur kurkuminoid menyebabkan kurkuminoid mempunyai aktivitas antimikroba. Zat tersebut dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristastik (menghambat pertumbuhan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat pertumbuhan kapang), dan menghambat germinasi spora bakteri.

(26)

kerusakan yang disebabkan radikal bebas dan melindungi hepatosit dari berbagai racun. Kurkumin berpotensi sebagai antiinflamasi (Chattopadhyay et al. 2004; Nagpal and Sood 2013). Kurkumin menghambat metabolisme asam arakidonat, siklooksigenase (COX), lipoxygenase (LOX), dan sitokin (interleukin dan tumor necrosis factor) Nuklir faktor-kB (Schulz 2008).

Kurkumin berperan dalam detoksifikasi hati

Kurkumin merupakan fitokimia yang penting dalam detoksifikasi. Kurkumin merupakan antioksidan dan mempunyai peran dalam detoksifikasi Fase I dan Fase II. Kurkumin mempunyai aktivitas antikarsinogenik pada beberapa jaringan. Hambatan induksi kanker yang disebabkan oleh berbagai agen penyebab kanker dihubungkan dengan kemampuan kurkumin untuk menghambat enzim detoksifikasi tertentu dan mempertinggi beberapa reaksi fase II seperti kuinon reduktase dan glukoronidasi. Kerusakan hati pada tikus yang diinduksi dengan CCl4 dapat diperbaiki dengan pemberian ekstrak cair akar kunyit dengan dosis 50 mg/kg berat badan (Sengupta et al. 2011). Tidak ada laporan tentang toksisitas pemberian ekstrak kunyit baik secara akut dan kronis pada dosis standar bahkan pada dosis yang sanyat tinggi sekitar 100 mg/kg berat badan (Sengupta et al. 2011).

Peran serbuk kunyit terhadap pertumbuhan

Pertumbuhan merupakan pertambahan dan pembesaran sel. Proses ini dialami oleh semua sel dalam tubuh. Organisme yang sedang tumbuh mengalami perubahan berat atau ukuran tubuh dengan cara yang sangat teratur.

Kurkumin berpengaruh terhadap faktor pertumbuhan. Faktor tersebut adalah NF- kB (faktor nuklir kappa B), berperan penting dalam imunitas dan pertumbuhan sel. Tugas mereka adalah untuk menghancurkan jaringan lama dan memulai konstruksi baru. Dengan mempengaruhi NF- kB, kurkumin memodulasi dan mempercepat proses perbaikan/regenerasi sel (Ravindar et al. 2007). Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian kurkumin mampu memacu pertumbuhan.

Kurkumin dapat digunakan sebagai bahan aditif dalam ransum babi untuk pemacu pertumbuhan (Sinaga 2009). Pemberian tepung kunyit sebagai pakan tambahan pada ayam broiler dengan dosis 0,5% memberikan hasil pertambahan bobot badan tertinggi (1.344,5 gram), dan meningkatkan jumlah sel eritrosit dan leukosit.

Pengaruh serbuk kunyit terhadap sintesis vitelogenin

Kunyit mengandung fitoestrogen yang tinggi (Ravindar et al. 2007). Fitoestrogen merupakan senyawa tumbuhan yang secara struktural dan fungsional mirip dengan estrogen dan memiliki berbagai aktivitas estrogenik pada hewan. Fitoestrogen dapat mengikat pada reseptor estrogen. Potensi estrogenik senyawa ini juga telah diteliti dalam beberapa spesies ikan. Diet fitoestrogen menghasilkan perubahan besar di tingkat plasma vitelogenin (Turker dan Bozcaarmutlu 2009).

(27)

menurun pada dosis yang lebih tinggi. Perubahan GSI dan vitelogenin menjadi penanda sensitif untuk mendeteksi paparan fitoestrogen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa paparan fitoestrogen ekstrak kedelai secara signifikan menginduksi produksi vitelogenin.

Tingginya tingkat vitelogenin plasma dan tingkat produksi vitelogenin bertepatan dengan konsentrasi peningkatan signifikan fitoestrogen kedelai dalam pakan. Kadar vitelogenin ikan mas meningkat pada pemberian ekstrak kedelai dengan kadar 10.000 mg / kg dalam makanan selama 180 hari. Persentase vitelogenin yang diproduksi oleh ikan betina meningkat secara bertahap dengan meningkatnya ekstrak kedelai dalam makanan dari konsentrasi 250, 500, 1.000 dan 10.000 mg / kg ekstrak kedelai diet (Turker dan Bozcaarmutlu 2009). Senyawa fitoestrogen juga berpengaruh terhadap perkembangan alat reproduksi

Ovarium

.

Sistem reproduksi unggas betina

Ovarium pada unggas berbentuk seperti buah anggur yang terletak pada rongga perut berdekatan dengan ginjal kiri dan bergantung pada ligamentum meso-ovarium. Jumlah folikel dapat mencapai lebih dari 12.000 buah. Namun, sel telur yang mampu masak hanya beberapa buah saja. Ovarium sebelah kiri pada unggas betina berkembang baik, sedangkan ovarium kanan tidak fungsional, dan strukturnya rudimenter (Etches 1996).

Saluran reproduksi

Saluran reproduksi betina terdiri dari infundibulum, magnum, isthmus, uterus, dan vagina. Secara garis besar jaringan penyusun saluran reproduksi terdiri dari tunika serosa, tunika muskularis, tunika mukosa. Mukosa magnum mengandung lipatan primer dan beberapa lipatan sekunder. Mukosa magnum terdiri dari epitel yang dibatasi oleh sel sel epitel kolumner bersilia (non sekretoris), sel goblet (sel sekretoris, tidak bersilia), dan terdapat sel kelenjar tubuler di bawah epithelium. Tunika serosa dan tunika muskularis pada magnum sangat tipis (Sturkie 2000).

Isthmus tersusun oleh kelenjar yang sebagian besar menyerupai magnum, dengan lipatan sekunder pada mukosa lebih banyak daripada magnum, epithelium berselang seling antara sel bersilia dengan sel sekretoris, sel epithelium isthmus lebih tinggi daripada sel epithelium pada magnum, tunika muskularisnya lebih tebal dari magnum.

(28)

lebih berkembang dari pada epithelium pada magnum dan isthmus, tunika muskularis lebih tebal (Sturkie 2000).

Pembentukan kerabang telur

Kualitas kerabang dipengaruhi faktor lingkungan, seperti temperatur dan stres, faktor-faktor nutrisi seperti keberadaan diet dan kadar mineral seperti fosfor dan klorida. Kerabang telur sangat penting untuk keberhasilan perkembangan embrio, sebagai proteksi dari kerusakan, infeksi dan memberikan sumber kalsium untuk perkembangan skelet. Perkembangan kerabang yang lebih tebal tidak diinginkan, karena akan mengurangi pertukaran gas dan air dan membuat lebih sulit untuk penetasan telur. Proses mineralisasi, yang melibatkan protein matriks kerabang dan kristal garam kalsium mempengaruhi kekuatan kerabang (Squires 2003).

Unggas petelur mempunyai adaptasi fisiologi dalam memfasilitasi absorpsi, deposisi dan penyimpanan Ca2+ dari makanan dan menggunakan CO2 terlarut dalam darah untuk mensintesis ion karbonat dalam kerabang telur. Konsentrasi Ca2+ dalam plasma darah meningkat ± 100 µg/ ml pada keseluruhan pembentukan kerabang. (Etches 1996).

Metabolisme Kalsium (Ca2+)

Sumber utama Ca2+ adalah makanan. Kalsium yang dikonsumsi disimpan dalam crop, dan dilarutkan dalam lingkungan asam pada proventrikulus. Ion Ca2+ melewati bagian atas usus halus dimana Ca2+ ditransfer ke darah dari sistem vaskuler. Ca2+ dapat digunakan secara langsung pada pembentukan kerabang atau disimpan pada tulang. Sejumlah kecil Ca2+ diekskresikan melalui urin dan sejumlah signifikan diekskresikan melalui feses (Etches 1996).

Simpanan depot Ca2+ pada tulang berkembang di bawah pengaruh stimulasi estrogen, dimana konsentrasi hormon tersebut meningkat saat masak kelamin (Squires 2003). Penggunaan cadangan Ca2+ tulang terjadi ketika konsentrasi Ca2+ plasma menurun selama periode kalsifikasi. Kadar Ca2+ yang tetap dalam darah dipertahankan dengan memobilisasi Ca2+ dari tulang dan membutuhkan partisipasi osteoklas dengan cara mereabsorpsi tulang, khususnya ketika distimulasi oleh hormon paratiroid (PTH).

(29)

Vagina

Vagina berupa saluran pendek dimana telur melewatinya ketika dipindahkan dari kelenjar kerabang ke kloaka selama oviposisi. Lapisan otot sirkuler vagina berkembang baik, meskipun baik lapisan-lapisan berkontribusi untuk kontraksi muskuler yang memaksa telur keluar. Mukosa kurang berkembang, dibatasi dengan sel bersilia. Sel tidak bersilia dan bersilia mensekresikan asam mukopolisakarida (Etches 1996).

Gambar 4 Organ reproduksi pada puyuh betina resources egg_to_chicks/formation.html)

Oviposisi

Pengeluaran telur yang sudah mengalami kalsifikasi penuh dari saluran reproduksi membutuhkan koordinasi aktivitas muskuler dari kelenjar kerabang. Pengeluaran telur diinisiasi oleh endokrin preovulasi. Ovum turun melalui infundibulum, magnum dan isthmus. Kontraksi muskulus di sekitar kelenjar kerabang lemah, dan frekuensinya tidak teratur. Ketika telur masuk ke kelenjar kerabang, frekuensi dan aktivitas kontraksi meningkat. Beberapa menit sebelum oviposisi, intensitas dan frekuensi kontraksi muskulus meningkat lebih cepat. Intensitas kontraksi muskuler berkurang setelah oviposisi (Etches 1996).

Kualitas telur

Telur

(30)

Putih telur merupakan protein yang diekskresikan serta diakumulasi dalam sel epitelium dan sel kelenjar tubuler. Keberadaan kuning telur dalam magnum merupakan stimulasi dari saluran reproduksi untuk mensekresikan albumen. Sintesis protein terjadi karena konsentrasi RNA dan kecepatan sintesis albumin dari kelenjar tubuler meningkat pada saat pembentukan telur. Protein albumin berupa ovalbumin, ovotransverin dan lisosim disintesis dalam kelenjar tubuler, sementara avidin dan ovomucin disintesis oleh sel goblet. Selama berada di dalam magnum kandungan air akan meningkat dua kali sehingga mencapai 3,5-7 gram air setiap gram protein (Yuwanta 2004).

Mekanisme penyerapan air bersama dengan protein di dalam proses pembentukan albumin disebut ”plumping”. Perbedaan struktur albumin telur, tebal tipisnya albumin, terjadinya lapisan albumin tipis, albumin tebal interna, dan eksterna serta kalasa terbentuk saat ”plumping” ini. Kalasa merupakan protein yang terakumulasi akibat adanya rotasi dan tekanan pada saat pembentukan albumin.

Kerabang telur terdiri atas dua bagian, yakni kerabang tipis (membran) dan kerabang telur keras yang dihasilkan oleh isthmus. Membran tersusun atas protein yang berbentuk serat dan berikatan dengan keratin tetapi juga kolagen yang mengandung hidroksiprolin dan hidroksilisin serta elastin. Kerabang telur secara umum terdiri atas air, protein, dan bahan kering terutama CaCO3 dan sisanya berupa MgCO3 serta Ca3(PO4)2 (Yuwanta 2004; Suprijatna et al. 2005).

[image:30.612.165.383.499.634.2]

Pembentukan kerabang telur dimulai dari isthmus kira-kira 4,5 jam setelah ovulasi dan berakhir 1,5 jam sebelum oviposisi. Lapisan pertama yang dideposisikan adalah membran kerabang tipis bagian luar dan inti mamiler. Mineralisasi kalsium karbonat dilakukan di dalam uterus pada 10 jam setelah ovulasi, kemudian secara cepat terbentuk lapisan kerucut (cone) yang secara bersama-sama dengan lapisan yang berbentuk silindris akan menjadi penyusun lapisan palisade. Kalsifikasi terhenti setelah kalsium karbonat membentuk kristalin. Sebelum terjadi kalsifikasi kerabang telur, kalsium tidak disimpan dalam uterus, tetapi terdapat dalam plasma darah dalam bentuk ion kalsium (Yuwanta 2004).

Gambar 5 Anatomi telur dilihat dari potongan melintang telur

(31)

Pakan

Pemenuhan nutrien yang tepat baik secara kualitatif dan kuantitatif diperlukan untuk meningkatkan hasil metabolisme yang dapat menunjang produktivitas hewan. Penambahan suplemen dalam pakan sering digunakan sebagai pelengkap yang dapat memperbaiki daya cerna, tingkat konsumsi pakan dan nilai gizi.

Pakan puyuh harus mampu menyediakan nutrien untuk membentuk tubuh yang sempurna. Nutrisi yang diperlukan puyuh mengandung protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral.

Protein

Protein berfungsi sebagai bahan utama pembentuk organ-organ, seperti sel darah, otot, tulang, syaraf, otak, usus, telur dan lain-lain. Kadar protein pada saat dewasa sangat menentukan produksi telur dan kelangsungan hidup puyuh. Bahan pakan yang mengandung protein tinggi antara lain konsentrat kedelai, kacang hijau, bungkil kedelai/kacang tanah, tepung ikan, tepung daging dan sebagainya. Protein menyediakan asam amino untuk pertumbuhan jaringan dan produksi telur (Sultoni et al. 2006).

Fase kehidupan puyuh, yaitu fase awal, fase pertumbuhan dan fase bertelur. Kadar protein yang dibutuhkan dalam ransum prosentasenya berbeda - beda untuk setiap fase tersebut. Puyuh yang masih berusia 1 hari, dosis pakan per-harinya adalah sebesar 1 gram per ekor, kadar protein yang terdapat dalam pakan adalah sebesar 25 – 26 %. Puyuh yang telah berusia 30 hari, dosis pakan perharinya adalah sebesar 10 – 12 gram per ekor, kadar proteinnya 25 – 26 %. Puyuh yang berumur 41 hari dan seterusnya, dosis pakan perharinya adalah sebesar 20 – 30 gram per ekor, kadar proteinnya 21 – 24 %

Karbohidrat menyediakan kebutuhan dasar yang diperlukan tubuh makhluk hidup. Monosakarida, khususnya glukosa merupakan nutrient utama sel. Misalnya, pada vertebrata, glukosa mengalir dalam aliran darah sehingga tersedia bagi seluruh sel tubuh. Sel-sel tubuh tersebut menyerap glukosa dan mengambil tenaga yang tersimpan di dalam molekul tersebut pada proses respirasi seluler untuk menjalankan sel-sel tubuh. Selain itu, kerangka karbon monosakarida juga berfungsi sebagai bahan

(Sultoni et al. 2006).

Karbohidrat

(32)

baku untuk sintesis jenis molekul organik kecil lainnya, termasuk asam amino dan asam lemak.

Pengaruh kurkumin terhadap metabolisme nutrien

Kurkumin dapat merangsang dinding kantung empedu. Kandungan minyak atsiri pada kunyit dapat mencegah keluarnya asam lambung yang berlebihan dan mengurangi peristaltik usus yang terlalu kuat. Rimpangnya juga mengandung zat lain seperti minyak volatil, pati, lemak, protein, kalsium, fosfor, besi dan vitamin C (Ide 2011). Kurkumin dapat meningkatkan aktivitas lipase, amilase, tripsin dan kimotripsin dan berfungsi sebagai penambah nafsu makan (Chattopadhyay et al. 2004). Kurkumin membantu kerja sistem hormonal, khususnya metabolisme karbohidrat dan memetabolisir lemak di dalam tubuh ( Sinaga 2009).

3. PENENTUAN UMUR SAAT PENURUNAN KONDISI

FISIOLOGIS HATI PUYUH JEPANG (Coturnix coturnix japonica)

Tyas Rini Saraswati1, Wasmen Manalu2, Damiana Rita Ekastuti2, Nastiti Kusumorini2 1

Program Doktor Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana, IPB 2

Mayor Ilmu-ilmu Faal dan khasiat Obat, Sekolah Pascasarjana , IPB.

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kapan terjadi penurunan kondisi fisiologis hati puyuh, dengan menggunakan parameter bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, diameter hepatosit, kadar vitelogenin, SGPT, SGOT serum, bobot ovarium, dan bobot saluran reproduksi. Penelitian menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL). Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini ialah 28 ekor puyuh jepang betina, yang dibagi ke dalam 7 kelompok percobaan, yaitu: puyuh jepang umur 3 minggu, 6 minggu, 3-4 bulan, 5-6 bulan, 7-8 bulan, 9-10 bulan, dan 11-12 bulan, masing-masing kelompok terdiri atas 4 ulangan. Satu satuan percobaan terdiri atas 1 ekor puyuh. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan Uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (α=0.05). Analisis keseluruhan dengan menggunakan perangkat lunak software SAS 9.1 for windows. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa penurunan fungsi hati puyuh jepang terjadi setelah umur 7-8 bulan yang dibuktikan dengan penurunan bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, diameter hepatosit, bobot ovarium dan saluran reproduksi, serta terjadi peningkatan kadar SGPT dan SGOT serum.

(33)

DETERMINATION OF AGE AT THE DECLINE OF PHYSIOLOGICAL CONDITION OF THE JAPANESE QUAIL’S LIVER

ABSTRACT

This research was designed to study when the physiological condition of quail’s liver declines, using the parameters of body weight, percentage of liver weight/body weight, hepatocytes diameter, vitellogenin levels, SGPT, SGOT serum, ovarian weight, and weight of the reproductive tract. This research used experimental methods of completely randomized design (CRD) experiment. The experiment used 28 female quails, which were divided into 7 groups of experiment, namely: quail with age of 3 weeks, 6 weeks, 3-4 months, 5-6 months, 7-8 months, 9 - 10 months, 11-12 months, each group consist of four replications. The data obtained were analyzed using analysis of variance (ANOVA), followed by Duncan test with a 95% confidence interval (α = 0.05). Overall analysis used SAS 9.1 software for windows. Based on the results, the study concluded that the decline in quail’s liver function occurs after the age of 7-8 months as evidenced by a decrease in body weight, percentage of liver weight / body weight, hepatocytes diameter, ovarium and reproductive tracts weight, as well as an increase in the levels of SGPT and SGOT serum

Penurunan produksi telur sehubungan dengan penambahan umur erat hubungannya dengan fungsi fisiologis organ hati dan organ reproduksi. Produksi telur secara terus menerus akan meningkatkan kerja hati dalam biosintesis vitelogenin, sehingga menyebabkan penurunan fungsi hati dan dapat memicu terjadinya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh, dan dapat menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan oksidatif digunakan sebagai bioindikator penuaan (Ottinger and Lavoie 2007). Adanya radikal bebas dalam sel

.

Keywords: Japanese quail (Coturnix coturnix japonica), vitelogenin, SGOT, SGPT

PENDAHULUAN

(34)

hati ditandai dengan kerusakan seluler antara lain kerusakan enzim, reseptor protein, hilangnya integritas membran lipid dan kerusakan DNA. Kerusakan sel akan menginduksi terjadinya reaksi inflamasi (Watson 2002).

Peningkatan aktivitas sel seiring dengan bertambahnya umur ditandai dengan penurunan progresif fungsi selular. Penuaan pada hati berhubungan dengan perubahan morfologi seperti penurunan ukuran diameter sel (Anantharaju et al. 2002). Kerusakan sel hati menyebabkan fungsi hati secara berangsur-angsur menurun dan akan menurunkan produktivitas. Penurunan fungsi hati pada puyuh jepang dapat menurunkan produksi vitelogenin.

Bioindikator untuk mengetahui penurunan fungsi hati dapat diketahui dengan peningkatan kadar SGPT dan SGOT dalam darah (Gorman et al. 2008; Bigoniya et al. 2009; Banerjee 2010). Hati dapat dikatakan rusak bila jumlah enzim tersebut dalam plasma lebih besar dari kadar normal (Aggarwal et al. 2006). SGOT dan SGPT dalam darah meningkat seiring bertambahnya umur (Biswas et al. 2010).

Bertambahnya umur diikuti dengan perubahan degeneratif organ tubuh, yang disebabkan karena penurunan produksi hormon estrogen. Jumlah reseptor estrogen pada jaringan menurun seiring dengan bertambahnya umur (Beck and Hansen 2004). Pada unggas, kadar estrogen menurunsetelah umur 18 minggu( Biswas et al. 2010). Berkaitan dengan penurunan produksi telur, bertambahnya umur menyebabkan terjadi penurunan kondisi fisiologis organ reproduksi yaitu ovarium dan saluran reproduksi, sehingga menyebabkan produktivitas menurun.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kapan terjadi penurunan kondisi fisiologis puyuh jepang dengan menggunakan parameter bobot badan, bobot hati, prosentase bobot hati/bobot badan, kadar vitelogenin, kadar SGPT dan SGOT serum, diameter hepatosit, dan bobot saluran reproduksi dan ovarium.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan Juni 2011 sampai Agustus 2011. Pemeliharaan hewan uji di laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Informatika Universitas Diponegoro, pembuatan preparat histologi hati di laboratorium Balai Besar Veteriner, Wates, Yogyakarta, analisis kadar vitelogenin di laboratorium Biokimia, PAU, Institut Pertanian Bogor, analisis kadar SGPT, dan SGOT serum di Wahana Laboratorium, Semarang.

Bahan dan Alat

(35)

bahan kimia untuk pembuatan preparat histologi hati. Alat yang digunakan adalah timbangan, dissecting set, sentrifuge, spektrofotometer, mikrotom set, oven, dan spektrofotometer serapan atom (AAS).

Metode Penelitian

Puyuh dikorbankan dengan memotong vena jugularis. Darah ditampung dalam tabung rekasi, dibiarkan dalam keadaan terbuka selama 2 jam. Darah disentrifugasi dengan kecepatan 2000 rpm selama 15 menit. Serum didapat untuk analisis kadar vitelogenin, SGPT dan SGOT. Organ hati, ovarium dan saluran reproduksi dipisahkan, ditimbang bobotnya, dan diukur panjang saluran reproduksi, kemudian dimasukkan ke dalam larutan BNF 10%, untuk dibuat preparat histologi.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati adalah bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, kadar vitelogenin menggunakan metode stacking gel (Laemmli 1970), kadar SGPT dan SGOT serum menggunakan metode Reitman and Frankel (Bigoniya et al. 2009), diameter hepatosit dengan software Olympus DP2-BSW olympus Corporation 1986-2008, bobot saluran reproduksi dan ovarium.

Rancangan Percobaan dan Analisis Data

(36)

Gambar 6 Bagan alur penelitian Tahap I

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rataan bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, bobot hati, diameter hepatosit pada berbagai tingkatan umur puyuh disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur puyuh berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, dan diameter hepatosit.

Umur berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot badan. Bobot badan pada berbagai periode waktu mulai dari umur 3 minggu sampai umur 12 bulan menunjukkan perbedaan. Pada umur 3 minggu rataan bobot badan relatif paling rendah yaitu 110 g. Umur 6 minggu bobot badan sudah menunjukkan peningkatan. Pada umur tersebut puyuh sudah mencapai dewasa kelamin terutama alat reproduksi betina sudah tumbuh dan berkembang yang memberi kontribusi pada peningkatan bobot badan. Umur 3-4 bulan bobot badan terus meningkat hingga mencapai 153.33 g. Bobot badan tertinggi terjadi pada umur 5-6 bulan. Pada umur tersebut puyuh mencapai puncak produksi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kaharuddin dkk (2008), bahwa puncak produksi puyuh terjadi pada umur 5 bulan. Umur 7-8 bulan sudah mulai terjadi penurunan bobot badan. Pertambahan bobot badan mempunyai tahap yang cepat dan lambat. Tahap cepat terjadi pada saat-saat sampai dewasa kelamin dan tahap lambat terjadi pada saat-saat kedewasaan tubuh telah tercapai.

serum dibedah

Vitelogenin SGPT, SGOT Hati : Bobot hati, diameter hepatosit

Organ reproduksi: Bobot ovarium, Bobot, dan panjang saluran reproduksi

Ditimbang dan dikorbankan

Luaran : Penetapan penurunan fungsi hati dalam biosintesis vitelogenin 28 ekor puyuh betina dibagi dalam 7 kelompok

(37)
[image:37.612.99.527.132.276.2]

Tabel 1 Rataan bobot badan, prosentase bobot hati/bobot badan, bobot hati, diameter hepatosit puyuh jepang pada berbagai umur

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (tα

Bertambahnya umur setelah 8 bulan akan diikuti dengan kemunduran fungsi organ yang bersifat irreversibel, karena terjadi akumulasi berbagai perubahan fisiologis di dalam sel, sehingga terjadi penurunan fungsi seluler secara progresif (Anantharaju et al. 2002), akibatnya bobot hati akan menurun. Diameter hepatosit burung puyuh umur 9-10 bulan adalah 15.84 µm, umur 11-12 bulan adalah 12.54 µm, lebih kecil dari diameter hepatosit puyuh umur 3 minggu yaitu 16.06 µm. Hal ini menunjukkan sudah terjadi atrofi pada hepatosit. Sel yang mengalami atrofi ditandai dengan ukuran sel yang mengecil, bentuk tidak teratur, inti piknotik, mitokondia dan organela lainnya mengalami kerusakan, sehingga sel mengalami nekrosis atau mati

< 0.05).

Umur berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap prosentase bobot hati/bobot badan. Bertambahnya umur puyuh dari umur 3 minggu sampai 4 bulan diikuti dengan peningkatan prosentase bobot hati/bobot badan. Prosentase bobot hati/bobot badan terbesar adalah puyuh umur 3-4 bulan. Umur berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap bobot hati. Bobot hati puyuh berkaitan dengan fungsi hati. Puyuh jepang betina mengalami dewasa kelamin mulai umur 42 hari (Nixon 2008). Pada umur tersebut, puyuh jepang sudah mulai bertelur. Awal siklus reproduksi ditandai dengan sintesis vitelogenin (prekursor kuning telur) oleh sel hati yang dipacu oleh hormon estrogen. Bobot hati terendah pada puyuh umur 3 minggu dimana pada umur tersebut puyuh belum mencapai dewasa kelamin sehingga produksi hormon estrogen masih rendah. Peningkatan bobot hati umur 6 minggu sampai umur 8 bulan diduga karena peningkatan aktivitas sintesis vitelogenin. Setelah umur 8 bulan, aktivitas hati dalam mensintesis vitelogenin mulai menurun dan diikuti dengan penurunan bobot hati.

Sejalan dengan perubahan bobot hati, maka diameter hepatosit juga ikut berubah. Peningkatan diameter hepatosit terjadi hingga umur 8 bulan. Pada umur ini peningkatan diameter hepatosit diduga disebabkan adanya akumulasi prekursor kuning telur dalam sitoplasma yang ditunjukkan dengan banyaknya vakuola dalam sitoplasma hepatosit (Gambar 7b-E).

Parameter Bobot badan bobot hati Bobot hati/bobot badan Diameter hepatosit

Umur (g) (g) (%) (µm)

(38)

(Gambar 7G). Seiring dengan terjadinya nekrosis pada hepatosit puyuh umur 11-12 bulan, hati terlihat berwarna hitam

Bertambahnya umur menyebabkan berkurangnya reseptor estrogen, penurunan masa hati, perubahan dalam sirkulasi darah, metabolisme terganggu, dan terjadi peningkatan kerusakan DNA. Kerusakan tidak hanya terjadi pada sel, tetapi juga pada mitokondria sehingga terjadi penurunan pembentukan ATP yang berakibat terjadi nekrosis sel (Helbock et al. 1998).

A B C D E F G Gambar 7a. Hati puyuh jepang. H: hati

(39)

Rataan kadar vitelogenin, SGPT dan SGOT serum, bobot saluran reproduksi, dan bobot ovarium pada berbagai umur puyuh jepang disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa umur puyuh berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap kadar vitelogenin, SGPT dan SGOT serum, bobot saluran reproduksi, dan bobot ovarium.

Peningkatan SGPT dan SGOT sejalan dengan peningkatan umur. Peningkatan kadar SGPT dan SGOT serum sebagai akibat dari kerusakan atau kebocoran membran sel. Kadar SGPT normal pada darah itik adalah 1-36 U/L (Hernawan dan Mushawwir 2009), sedangkan puyuh umur 11-12 bulan kadar SGPT dalam darah mencapai 42.88 U/L. Hasil penelitian terhadap kadar SGOT serum menunjukkan terjadi peningkatan kadar SGOT setelah umur 6 bulan, namun peningkatan kadar SGOT masih pada kisaran normal. Kadar normal SGOT dalam darah adalah 8-40 U/L (Hernawan dan Mushawwir 2009). Kadar SGOT tertinggi pada puyuh umur 9-10 bulan sebesar 33.68 U/L.

Tabel 2 Rataan kadar vitelogenin, SGPT, SGOT, bobot saluran reproduksi dan ovarium puyuh jepang pada berbagai umur

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (tα

Bertambahnya umur sampai umur 8 bulan terjadi peningkatan bobot ovarium dan bobot saluran reproduksi. Puyuh jepang umur 6 minggu sudah masak kelamin. Ovarium memberikan respon terhadap peningkatan konsentrasi gonadotropin, sehingga terjadi peningkatan produksi estrogen. Estrogen beredar melalui aliran darah menuju hati dan memasuki jaringan dengan cara difusi dan secara spesifik merangsang sintesis prekursor kuning telur (vitelogenin) (Levi et al. 2009). Vitelogenin diangkut dalam darah menuju lapisan permukaan oosit yang sedang tumbuh, kemudian secara selektif vitelogenin akan ditangkap oleh reseptor dan secara endositosis akan diserap masuk ke dalam oosit dan disimpan sebagai kuning telur (Hiramatsu et al. 2004). Pembesaran oosit disebabkan terutama oleh penimbunan kuning telur. Seiring bertambahnya umur terjadi peningkatan kadar

< 0.05)

[image:39.612.109.528.352.505.2]
(40)

vitelogenin pada serum. Kadar vitelogenin serum tertinggi adalah 12.6 mg/ml pada puyuh umur 9-10 bulan (meskipun parameter yang lain pada umur tersebut sudah menunjukkan terjadi penurunan fungsi fisiologis, yaitu terjadi penurunan bobot badan, bobot hati, diameter hati, bobot saluran reproduksi, bobot ovarium, dan peningkatan kadar SGPT), namun kadar vitelogenin masih tinggi. Tingginya kadar vitelogenin di dalam darah diduga karena vitelogenin yang disekresikan ke dalam darah, belum sempat terdistribusi ke hirarki folikel dengan lancar. Hal ini didukung dengan menurunnya hirarki folikel pada umur 9-10 bulan.

Peningkatan bobot ovarium berhubungan dengan perkembangan hirarki folikel pada ovarium. Semakin banyak folikel, maka bobot ovarium semakin besar. Puyuh jepang umur 3 minggu belum terbentuk hirarki folikel. Umur 6 minggu sampai 8 bulan merupakan umur produktif, sehingga perkembangan hirarki folikel cukup tinggi, antara 3-5 folikel. Setelah umur 8 bulan bobot ovarium sudah menurun, hal ini didukung dengan perkembangan folikel yang sudah menurun. Penuaan menyebabkan berkurangnya reseptor estrogen (Chakraborty and Gore 2004; Lebedeva et al. 2010). Selain itu juga terjadi penurunan sekresi estrogen oleh sel teka dan sel granulosa, selanjutnya terjadi penurunan stimulasi produksi prekursor kuning telur oleh hati, akibatnya berkurangnya pengiriman prekursor kuning telur untuk pertumbuhan folikel, sehingga jumlah hirarki folikel akan semakin berkurang.

Penambahan umur erat hubungannya dengan fungsi fisiologis saluran reproduksi. Hasil penelitian terhadap bobot saluran reproduksi menunjukkan bahwa dengan bertambahnya umur sampai umur 8 bulan terjadi peningkatan bobot saluran reproduksi. Setelah masak kelamin, sekresi estrogen oleh sel teka dan sel granulose meningkat (Biswas et al. 2010), selanjutnya estrogen akan merangsang perkembangan saluran reproduksi. Semakin banyak folikel yang diovulasikan, saluran reproduksi akan aktif menghasilkan sekret ke lumen untuk menyusun putih telur, membran kerabang dan kerabang telur, sehingga bobot saluran reproduksi meningkat. Setelah umur 8 bulan penurunan aktivitas saluran reproduksi diikuti dengan penurunan secara progresif bobot saluran reproduksi.

SIMPULAN

Penurunan fungsi fisiologis puyuh jepang terjadi setelah umur 7-8 bulan yang ditunjukkan dengan penurunan bobot badan, bobot hati, diameter hepatosit, bobot saluran reproduksi, dan bobot ovarium, serta peningkatan SGPT serum.

DAFTAR PUSTAKA

(41)

Anantharaju A, Feller A, Chedid A. 2002. Aging liver. A Review. Gerentology. International Journal of Experimental, Clinical Behavioural, Regenerative and Technological Gerontology 48(6):343-353.

Banerjee S. 2010. Climate of Estern India and Naturally Infected with Aflatoxins. World Applied Sciences Journal 9 (12): 1383-1386.

Beck MM and Hansen KK. 2004. Role of Estrogen in Avian Osteoporosis. Poult Sci 83(2): 200-6.

Bigoniya P, Singh CS, Shukla A. 2009. A Comprehensive Review of Different Liver Toxicants Used in Experimental Pharmacology. International Journal of Pharmaceutical Sciences and Drug Research I(3): 124-135.

Biswas A, Mohan J,Venkata K, Sastry H. 2010. Age-Dependent Variation in Hormonal Concentration and Biochemical Constituents in Blood Plasma of Indian Native Fowl. Vet Med Int: 737292. doi:

Chakraborty TR and Gore AC. 2004. Aging-Related Changes in Ovarian Hormones, Their Receptors, and Neuroendocrine Function. Exp boil Med Vol 229 (10): 977-987.

Gorman KB, Esler D, Walzem RL, Williams TD. 2008. Plasma Yolk Precursor Dynamics during Egg Production by Female Greater Scaup (Aythya marila): Characterization and Indices of Reproductive State. Electronically Published 12/31/2008.

Helbock HJ, Beckman KB, Shigenaga MK, Walter PB, Woodall AA, Yeo HC, Ames BN. 1998. DNA oxidation matters: the HPLC-electrochemical detection assay of 8-oxo-deoxyguanosine and 8-oxo-guanine. Proc Natl Acad Sci USA. 95:288-293.

Hernawan E and Mushawwir A 2009. The Profile of Blood Transaminase Enzyme On Duck (Anas Sp.) Polluted by Lead (Pb) Textile Waste. The 1st International Seminar on Animal Industry. Bogor.

Hiramatsu N, Chapman RW, Lindzey JK, Haynes, MR, and Sullivanm CV. 2004. Molecular Characterization and Expression of Vitellogenin Receptor from White Perch (Morone americana). Biology of Reproduction 70:1720-1730.

Kaharuddin D, Kusiyah, dan Deva. 2008. Performance Pertumbuhan Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Putih dan Coklat. Jurnal Sain Peternakan Indonesia 3 (1):1-4.

Lebedeva IY, Lebedev VA, Grossmann R, and Parvizi N. 2010. Age-dependent role of Steroid in the Regulation of Growth of Hen Follicular Wall. Reproductive Biology and Endocrinology 8:15.doi:10.11867/1477-7827-8-15.

Laemmli U K. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 227:680-685.

(42)

Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan aplikasi SAS dan MINITAB. Ed ke-3. Bogor: IPB Press.

Nixon TM. 2008. Sukses Beternak Puyuh. Penerbit Agromedia Nusantara.

Ottinger MA and Lavoie A. 2007. Neuroendocrine and Immune Characteristics of

Aging in Avian Species.

Tetty 2002. Puyuh Si Mungil Penuh Potensi. Agro Media Pustaka. Jakarata. Watson RR. 2002. Eggs and Health Promotion. Iowa State Press.

4. PENENTUAN KADAR OPTIMAL SERBUK KUNYIT UNTUK

MEMPERBAIKI KONDISI FISIOLOGIS PUYUH JEPANG

(Coturnix coturnix japonica)

Tyas Rini Saraswati1, Wasmen Manalu2, Damiana Rita Ekastuti2, Nas

Gambar

Gambar 1 Bagan Alur Kerangka Pemikiran
Gambar 3 Regulasi hormon dalam biosintesis vitelogenin (Chandrashekar et al. 2004)
Gambar 4 Organ reproduksi pada puyuh betina  (http://chickscope.beckman.uiuc.edu
Gambar 5 Anatomi telur dilihat dari potongan melintang telur (http://www.chicchickenstractor.com.au/eggfacts.html
+7

Referensi

Dokumen terkait